PTOSIS
Oleh:
Afra Meutia Nasution
210131239
Pembimbing:
dr. Kiki Mohammad Iqbal, Sp. S (K)
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ptosis”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Kiki
Mohammad Iqbal, Sp.S(K), selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dalam menyelesaikan makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, baik
dari segi struktur dan isi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dam saran yang bersifat membangun yang berguna untuk
menyempurnakan makalah ini agar dapat bermanfaat di kemudian hari. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi
penulisan ilmiah.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
tarsal atas dan ke forniks konjungtiva superior. Otot Muller adalah otot polos yang juga
melekat pada lempeng tarsal superior dengan persarafan simpatis, yang rusak pada
ptosis sindrom Horner. Hilangnya persarafan LPS dan otot Muller menyebabkan ptosis
neurogenik. (Shazad et al, 2020)
Ptosis dapat menyebabkan penurunan atau bahkan kehilangan penglihatan, karena
penyumbatan dan obstruksi pupil. Pengurangan penglihatan dapat ditentukan oleh
tingkat keparahan ptosis menghalangi pupil. Dalam kasus ringan, ptosis bisa dibalik
secara alami. Tapi kebanyakan kasus, ptosis perlu diobati melalui intervensi medis.
(Griff, 2017)
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
penulis, khususnya di bidang kedokteran, serta memberikan wawasan kepada
masyarakat umum untuk lebih memahami dan mengerti tentang ptosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
1. Neurogenic: Ini terjadi akibat adanya kerusakan persarafan otot levator kelopak
mata atas. Hal ini dapat disebabkan oleh kelumpuhan Nervus Occulomotor,
sindrom Horner, sindrom mengedipkan rahang Marcus Gunn, multiple
sclerosis, dll.
2. Miogenik: Miopati otot levator atau cacat pada sambungan neuromuskularnya
menyebabkan ptosis miogenik yang meliputi miastenia gravis, miopati okular,
kongenital sederhana, sindrom blefarofimosis, dll.
3. Mekanis: Fungsi levator dapat terganggu akibat efek massa dari beberapa
struktur eksternal yang abnormal seperti neoplasma, kalazion, lensa kontak di
forniks atas, jaringan parut, dll.
3
4
Faktor risiko ptosis tergantung pada etiologinya, apakah itu karena miogenik,
neurogenik, aponeurotik, mekanis atau traumatis. Beberapa kasus seperti ptosis
unilateral sering dikaitkan dengan cedera saraf atau setelah lasik rutin yang merupakan
laser operasi mata, atau operasi katarak akibat peregangan otot atau tendon mata yang
tidak normal. Kondisi ini, yang sering terlihat dengan gejala mata terkulai, juga dapat
dikaitkan dengan kondisi medis serius seperti tumor otak, kanker, stroke, diabetes,
sindrom Horner, dan banyak lainnya. Masalah neurologis seperti miastenia gravis yang
memengaruhi otot dan saraf mata juga dapat menyebabkan ptosis. Dalam beberapa
kasus, ptosis juga dikaitkan dengan migrain.
2.3 Patofisiologi
Levator palpebrae superioris (LPS) dan otot Muller adalah dua otot kelopak mata
atas yang bertanggung jawab atas elevasinya. LPS adalah elevator utama yang disuplai
oleh saraf okulomotor. Otot levator palpebra superioris berasal dari sayap bawah tulang
sphenoid, berjalan ke anterior di atas otot rektus superior, dan melekat pada beberapa
insersi: anterior ke kulit kelopak mata atas, inferior pada permukaan anterior lempeng
tarsal atas dan ke forniks konjungtiva superior. Otot Muller adalah otot polos yang juga
melekat pada lempeng tarsal superior dengan persarafan simpatis, yang rusak pada
ptosis sindrom Horner. Hilangnya persarafan LPS dan otot Muller menyebabkan ptosis
neurogenik.
Disfungsi neurologis atau kegagalan sambungan neuromuskular otot levator juga
bisa menjadi akibat dari ptosis. Cabang superior saraf okulomotor mempersarafi otot
rektus superior dan otot levator palpebra superioris. Saraf okulomotor terletak di
5
Gejala utama dari kondisi ini adalah kelemahan atau drooping salah satu atau kedua
kelopak mata atas. Terlihat juga lipatan kelopak mata atas yang tidak sejajar satu sama
lain. Mata kering dan berair serta nyeri di sekitar area mata juga sering terlihat pada
kasus ptosis. Pasien yang terdiagnosis ptosis seringkali mengeluhkan penglihatan yang
terhambat, sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman sekaligus tidak nyaman. Pasien
ini sering terlihat memiringkan kepala ke belakang saat berbicara karena kelopak mata
menutupi pupil, sehingga sulit bagi mereka untuk mempertahankan kontak mata.
6
Amblyopia, atau dikenal sebagai "mata malas", adalah kondisi mata yang ditandai
dengan penurunan penglihatan yang tidak dapat diperbaiki dengan kacamata atau lensa
kontak dan bukan karena penyakit mata, juga dianggap sebagai manifestasi klinis
ptosis.
2.5 Tatalaksana
Stimulasi otot dapat membantu mengurangi durasi ptosis dan dapat dilakukan baik
dengan melatih otot atau stimulasi mekanik atau listrik. Trik terkenal yang dilakukan
oleh banyak praktisi adalah penggunaan bagian belakang sikat gigi listrik di atas otot
selama beberapa menit sehari. Jika ptosis kelopak mata atas memerlukan perawatan,
tetes mata apraclonidine 0,5% dapat diresepkan dengan dosis 1 hingga 2 tetes tiga kali
sehari. Ini adalah agonis reseptor alfa-adrenergik dan agen mydriatik, yang
menyebabkan kontraksi otot Müller (juga dikenal sebagai otot tarsal superior, otot
adrenergik yang terletak di bawah otot levator, panjangnya sekitar 12mm dan
merupakan otot tak sadar yang disuplai oleh saraf simpatik) dan dapat mengangkat
tutupnya sebesar 1 hingga 2 mm. Ada bukti yang lebih besar untuk keberhasilan
penggunaan apraclonidine untuk mengobati ptosis pada sindrom Horner. Ada risiko
menyebabkan miosis dan glaukoma sudut tertutup pada individu yang rentan dan
adalah bijaksana untuk memeriksa apakah seorang pasien memakai kacamata dan
riwayat medis mata mereka. Apraclonidine umumnya ditoleransi dengan baik, tetapi
dapat menyebabkan beberapa sensitivitas mata dengan penggunaan jangka panjang.
Ptosis kelopak bawah mata dapat terjadi karena overtreatment bagian palpebral otot
orbicularis oculi dan dapat berdampak signifikan pada fungsi kelopak mata. Tidak ada
pengobatan khusus untuk komplikasi ini dan biasanya mengendap dalam hitungan
minggu; namun, jika ektropi berkembang, rujukan oftalmologis yang cepat dianjurkan
untuk mencegah paparan keratitis dan kerusakan kornea (King, 2016).
Pada ptosis yang disebabkan oleh Myastenia Gravis, Inhibitor AChE merupakan
terapi simptomatik pada MG dan tidak memperlambat proses autoimun pada NMJ.
Peranan obat ini adalah sebagai terapi pada myastenia ringan atau okular, pada pasien
7
yang tidak dapat mendapat imunosupresi dan sebagai terapi tambahan pada pasien yang
mendapat imunoterapi dengan kelemahan yang masih ada. Pyridostigmine dimulai
pada orang dewasa dengan dosis 30 tiga kali sehari dan dapat dinaikkan hingga 90 mg
tiga hingga empat kali sehari Pada anak-anak, pyridostigmine dimulai pada dosis 1,0
mg/kg.
2.8 Prognosis
Prognosis tergantung pada jenis dan pengobatan ptosis. Prosedur pembedahan yang
tepat yang diterapkan sesuai dengan evaluasi pra operasi menunjukkan prognosis yang
sangat baik. Misalnya, ptosis dengan fungsi levator yang buruk yang dikoreksi dengan
reseksi levator alih-alih prosedur fasia lata sling akan menunjukkan hasil yang buruk.
Penilaian pra operasi yang tepat dan perawatan pasca operasi dengan pemantauan ketat
cukup meningkatkan hasil perbaikan bedah dalam segala bentuk ptosis.
BAB III
KESIMPULAN
8
DAFTAR PUSTAKA
Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Anatomy: orbit and ocular adnexa. Dalam: Basic
Science and Clinical Course Section 2: Fundamentals and principals of
ophthalmology.USA: American Academy of Ophthalmology; 2016. hlm.31–7