Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

CAHAYA DAN PENGLIHATAN


“Hubungan Antara Visus, Hipermetropi, Buta Warna, dan Tes Ischihara
Dengan Anatomi dan Fisiologi Penglihatan Mata Manusia ”

Dosen pengampu:
Anjar Putro Utomo, S.Pd., M.Ed.

Kelompok :
1. Wardah Laily N.B (170210104002)
2. Dinda Ainun Afwina (170210104012)
3. Rindi Antika (170210104019)
4. Sukma Nurmawarni (170210104026)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberi rahmat, taufik serta
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Visus
Artigmatism” tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Cahaya dan Penglihatan dengan dosen pengampu Bapak Anjar Putro Utomo,
S.Pd., M.Ed. Makalah ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini
kedepannya. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan membantu
menambah wawasan bagi para pembaca.

Jember, 30 November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER ……........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................1
1.3 Tujuan ...................................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN.....................................................................................3
2.1 Hubungan Antara Visus dan Kebutaan Dengan Anatomi dan Fisiologi
Penglihatan Mata Manusia....................................................................3
2.2 Hubungan Antara Astigmatisme dengan Anatomi dan Fisiologi
Penglihatan Mata .............................................................................6
2.3 Hubungan Antara Buta Warna dan Tes Ischihara dengan Anatomi dan
Fisiologi Penglihatan Mata................................................................... 7
BAB 3. PENUTUP .........................................................................................13
3.1 Kesimpulan .........................................................................................13
3.2 Saran .........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................14
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
menyatakan bahwa upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya
kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk
agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan indra
penglihatan merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, dalam rangka
mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas, produktif, maju, mandiri, dan
sejahtera lahir dan batin (Tamansa, et all., 2016).
Manusia mempunyai sistem indra yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satunya yaitu mata. Mata merupakan alat indra yang kompleks
yang berevolusi dari bintik-bintik peka sinar primitif pada permukaan
invertebrata. Mata mempunyai reseptor yang terdapat dalam pelindung mata,
lensa yang dapat menfokuskan dan membiaskan cahaya ke reseptor, serta sistem
saraf yang dapat menghantarkan impuls berupa cahaya dari reseptor menuju otak.
Pelindung mata yaitu dinding orbita yang tersusun atas tulang sehingga mata tidak
mudah untuk cedera. Selain itu dengan adanya air mata dan berkedip dapat
membantu menjaga kornea mata tetap basah.
Mata terdiri dari lensa yang menfokuskan cahaya ke reseptor, saraf optik
yang menghantarkan impuls ke otak, dan korteks yang menerima cahaya. Apabila
terjadi kerusakan pada strukur mata maka mata akan mengalami gangguan pada
sehingga penglihatannya menjadi kabur dan dapat mengganggu aktivitas
seseorang (Mansyur, et all., 2008). Terjadinya gangguan pada mata berarti
menyebabkan penurunan pada tingkat sumber daya manusia. Gangguan mata
yang paling sering terjadi yaitu katarak dan glaukoma. Gangguan mata tersebut
diakibatkan karena adanya kerusakan pada struktur anatomi mata sehingga akan
berdampak pada fisiologi mata.
Berdasarkan uraian diatas maka akan dibahas mengenai hubungan antara
visus, hipermetropi, buta warna, dan tes ischihara dengan anatomi dan fisiologi
penglihatan mata manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana hubungan antara visus dan kebutaan dengan anatomi dan
fisiologi penglihatan mata manusia?
1.2.2 Bagaimana hubungan antara astigmatisme dengan anatomi dan
fisiologi penglihatan mata manusia?
1.2.3 Bagaimana hubungan antara buta warna dan tes Ischihara dengan
anatomi dan fisiologi penglihatan mata manusia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui hubungan antara visus dan kebutaan dengan
anatomi dan fisiologi penglihatan mata manusia?
1.3.2 Untuk mengetahui hubungan antara astigmatisme dengan anatomi dan
fisiologi penglihatan mata manusia?
1.3.3 Untuk mengetahui hubungan antara buta warna dan tes Ischihara
dengan anatomi dan fisiologi penglihatan mata manusia?Untuk
mengetahui pengertian astigmatisme
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Antara Visus dan Kebutaan Dengan Anatomi dan Fisiologi
Penglihatan Mata Manusia
Mata mempunyai dua macam penglihatan yaitu penglihatan sentral
(central vision) dan penglihatan perifer (peripheral vision). Dalam kehidupan
sehari-hari seseorang lebih banyak menggunakan penglihatan sentral (central
vision) dibandingkan dengan penglihatan perifer (peripheral vision). Hal ini
disebabkan karena penggunaan penglihatan sentral (central vision) menghasilkan
waktu reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan penglihatan perifer
(peripheral vision). Waktu reaksi merupakan waktu diantara pemberian
rangsangan (stimulus) dengan respon dari seseorang (Suherman, et all., 2011).
Reseptor visual terletak pada bagian belakang mata yang disebut dengan
retina. Retina mengandung sel-sel khusus yang menginformasikan gelap terang ke
bagian otak yang mengatur ritme biologi. Didalam retina terdapat 120 sampai 125
juta reseptor yang berbentuk panjang dan pipih yang disebut dengan sel batang
(rod). Selain itu, juga terdapat 7 sampai 8 juta reseptor yang berbentuk seperti
corong sehingga disebut dengan sel kerucut. Sel kerucut ditemukan pada pusat
retina (fovea) yang merupakan tempat penglihatan paling tajam. Sel kerucut pada
fovea ditemukan berkelompok dan berdekatan. Dari fovea hingga ke tepi retina
perbandingan antara jumlah sel batang dan sel kerucut terus meningkat. Namun
pada bagian tepi hanya ditemukan sel batang saja. Sel batang sangat peka terhadap
cahaya dibandingkan sel kerucut sehingga seseorang dapat melihat pada malam
hari dalam kondisi yang gelap. Sel batang terletak ditepi retina sehingga sel
batang berperan dalam penglihatan perifer, sedangkan sel kerucut berperan dalam
penglihatan sentral. Sel batang tidak dapat membedakan panjang gelombang
cahaya yang bervariasi sehingga seseorang akan sulit membedakan warna pada
saat berada pada kondisi yang gelap. Sedangkan sel kerucut dapat membedakan
panjang gelombang cahaya yang bervariasi sehingga seseorang dapat
membedakan berbagai macam warna (Wade & Tavris, 2008: 202-203).
Menurut Syauqie & Putri (2014) penglihatan binokular merupakan
keadaan visual yang simultan yang didapat dengan penggunaan yang
terkoordinasi dari kedua mata sehingga bayangan yang sedikit berbeda dan
terpisah yang timbul pada tiap-tiap mata dianggap sebagai suatu bayangan tunggal
dengan proses fusi. Oleh karena itu, penglihatan binokuler menyiratkan fusi dan
menggabungkan penglihatan kedua mata untuk membenruk suatu persepsi
tunggal. Fusi merupakan penyatuan eksitasi visual dari bayangan retina yang
berkorespondensi menjadi suatu persepsi visual tunggal. Dalam sistem
penglihatan, bayangan yang jatuh tepat pada retina akan merangsang neuron-
neuron pada saraf ooksipitalis sehingga akan diteruskan ke otot extraocular yangg
menyebabkan pergerakan pada kedua mata sehingga objek akan terletak pada
pandangan objek kedua mata. Penglihatan binokuler dapat menyebabkan
seseorang melihat dunia 3 dimensi (3D) walaupun bayangan yang dihasilkan
sebenarnya 2 dimensi (2D).
Menurut Tamboto (2015) menyatakan, visus adalah ketajaman
penglihatan. Cedera dan penyakit mata dapat mempengaruhi penglihatan.
Kejenihan penglihatan dapat disebut dnegan ketajaman visus, yang berkisar dari
penglihatan penuh sampai tampak penglihatan. Jika ketajaman menurun,
penglihatan menjadi kabur. Ketajaman penglihatan biasanya diukur dengan skala
yang membandingkan penglihatan seseorang pada jarak 6 meter dengan seseorang
pada jarak 6 meter dengan seseorang yang memiliki ketajaman penuh. Visus 6/6
artinya seseorang melihat benda jarak 6 meter dengan tajam penuh.
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab
kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Untuk
mengetahui tajam penglihatan mata seseorang dapat silakukan dengan kartu
Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan
menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun proyeksi sinar.
Tajam penglihatan normal rata – rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau
20/15 atau 20/20 kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah fovea,
sedangkan beberapa faktor seperti penerangan umum, kontras, berbagai uji warna,
waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam penglihatan.
Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar,
misalnya kartu baca Snellen yang setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit pada
jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut
membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter dan pada baris tanda 30, berarti
huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris 6
adalah huruf yang membentuk sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga huruf
ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas ,dkk, 2017 : 64 - 67).

Setiap organ mata pada seseorang tidak semuanya normal,. Terdapat


beberapa orang yang mengalami gangguan penglihatan salah satunya kebutaan.
Kebutaan adalah keadaan dimana seseorang mengalami gangguan atau
ketidakmampuan organ mata untuk berfungsi. Orang yang mengalami kebutaan
disebut dengan tunanetra. Seseorang dikatakan tunetra apabila memiliki
ketajaman penglihatan dibawah 6/18. Hal ini berarti bahwa sisa penglihatan
orang tunanetra berkisar dari 0 yaitu buta total hinggal 6/18. Orang yang memiliki
gangguan pada penglihatan (buta) tidak hanya meliputi buta total saja, melainkan
pada seseorang yang masih memiliki ketajaman penglihatan yaitu dibawah 3/60
atau yang dikenal dengan low vision (Utomo & Muniroh, 2019: 22-23).
Kebutaan pada seseorang terjadi karena adanya kerusakan pada struktur
mata, yaitu:
1. Lensa mata
Kondisi seperti ini disebut dengan katarak. Katarak atau kekeruhan pada
lensa disebabkan oleh pengendapan protein atau bahan lainnya yang berhubungan
dengan bertambahnya usia. Protein dalam lensa mengalami kerusakan akibat foto-
oksidasi. Bertumpuknya protein yang rusak merupakan bagian dari aktivitas yang
meningkat dari proteolisis (penguraian protein). Protein yang rusak tersebut
menyatu dan mengendap. Katarak biasanya berkembang secara perlahan sehingga
seringkali tidak disadari oleh penderitanya. Jika katarak hanya terjadi pada sisi
luar lensa mata, tidak ada perubahan penglihatan yang berarti. Namun jika katarak
terjadi dekat pusat lensa maka akan timbul gangguan penglihatan (Sri dan Sri,
2017).
2. Saraf optik
Kondisi seperti ini disebut dengan glaukoma. Menurut Johanes (2019)
glaukoma adalah suatu keadaan degenerasi glaukomatous pada nervus optikus,
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada syaraf optik. Kerusakan syaraf optik
akan menyebabkan gangguan pada sebagian atau seluruh lapang pandang, yang
diakibatkan oleh tingginya tekanan bola mata seseorang. Apabila tekana bola mata
naik, maka serabut saraf yang memiliki fungsi membawa informasi penglihatan
ke otak akan tertekan, lalu menimbulkan kerusakan hingga kematian saraf.
Kematian saraf menyebabakan kehilangan fungsi penglihatan yang permanen.
Selain itu, kerusakan saraf optik dapat disebabkan karena gangguan suplai darah
ke serat saraf optik (Achmad, 2016).
3. Konjungtiva
Kondisi seperti ini disebut dengan traokoma. Traokoma terjadi karena
infeksi konjungtiva yang berlangsung lama dan disebabkan oleh bakteri
Chlamydia trachomatis. Penyakit ini dapat menular, bakteri yang menyebabkan
trakoma menyebar melalui kontak langsung dengan mata, kelopak mata, dan
hidung atau sekresi tenggorokan dar orang yang terinfeksi (Rani, 2018).
Trakoma menyebabkan keratokonjungtivis bilateral, biasanya pada masa
anak – anak, yang menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea pada masa
dewasa yang apabila parah akan menyebabkan kebutaan (Vaughan, dkk, 2014 :
426).
4. Retina
Kondisi seperti ini disebut dengan retinopati. Retinopati merupakan
gangguan penglihatan yang disebabkan karena adanya kelainan pada retina.
Terjadi suatu mikroangiopati progresif yang ditandai dengan kerusakan dan
sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus sehingga mengakibatkan gangguan
nutrisi pada retina. Retinopati biasanya terjadi pasa seseorang yang berusia 20-74
tahun. Penderita diabetes memiliki resiko 25 kali lebih besar mengalami retinopati
dibandingkan non penderita diabetes.
5. Ketiadaan fotoresepto (sel sensor cahaya)
Degernerasi makula akan menyebabkan gangguan apda makula. Menurut
Tyas, et all., (2019) didalam makula terdapat fovea yang mengandung banyak
fotoreseptor yang berfungsi untuk ketajaman penglihatan dan penglihatan wara.
Fovea hanya mengandung sel kerucut dan sel muller sedangkan sel batang tidak
terdapat didalamnya. Apabila terjadi degenerasi makula maka terjadi ketiadaan
fotoresptor sehingga seseorang kesulitan untuk melihat. Ketiadaan fotoresptor
juga dapat menyebabkan retinis pigmentaso (RP) karena adanya penyempitan
arteriol retina.

2.2 Hubungan Antara Astigmatisme Dengan Anatomi dan Fisiologi


Penglihatan Mata Manusia
Astigmatisme merupakan kelainan refraksi sistem lensa mata yang
disebabkan oleh bentuk kornea atau lensa mata yang membujur. Pada astignatisme
salah satu lensa mempunyai kelengkungan lensa yang lebih kecil sehinggga sinar
cahaya yang jatuh pada bagian ferifer lensa tidak akan dibengkokan dengan sudut
yang sama besar. Apabila kornea bulat (sferis) yang berarti bertambahnya
kelengkungan kornea pada bidang vertikal atau jari-jari horizontal lebih pendek
disebut dengan astigmat lazim. Kondisi dapat diperbaiki dengan mnegunakan
lensa silinder negatif dengan sumbu 180o. Selain itu terdapat suatu kondisi,
apabila kornea mata menjadi lebih sferis disebut dengan astigmat tidak lazim
(against the rule). Kondisi tersebut disebabkan karena kornea di bagian
kelengkungan kornea vertikal lebih lemah daripada meridian horizontal. Kondisi
tersebut dapat diperbaiki dengan menggunakan lensa silinder negatif yang
dilakukan dengan sumbu tegak lurus yaitu 60-1200, sedangkan pada silinder
positif dilakukan dengan sumbu horizontalyaitu 30-1500 (Saminan, 2017).

Astigmatisme terjadi ketika sinar cahaya masuk melalui kornea mata.


Kemampuan refraktif mata sangat dipengaruhi oleh kornea karena densitas udara-
kornea lebih bedar dibandingkan dengan densitas antara lensa dan caiaran
disekitarbya. Kornea khususnya pada bagian anterior memiliki daya bias terbesar
pada mata yaitu 40 dioptri dari 50 dioptri. Pada astimatisme, kornea mata
memiliki kelengkungan yang berbeda-beda yang menyebbakan permukaan kornea
mata menjadi tidak beraturan. Hal tersebut menyebabkan cahaya yang masuk ke
dalam mata akan dibiaskan dan difokuskan pada beberapa titik pada retina.
Bayangan yang dihasilkan merupakan bayangan distorsi.
Penyebab kelainan astigmatism antara lain:
a. Chalazion
Chalazion adalah peradangan kronis steril idiopatik granulomatous
dari kelenjar meibom, biasanya ditandai dengan pembengkakan lokal,
tidak nyeri yang berlangsung selama beberapa minggu. Chalazoin diawali
dengan peradangan ringan menyerupai hordeolum. Chalazoin dibedakan
dari hordeolum oleh tidak adanya tanda-tanda inflamasi akut. Kebanyakan
chalazoin mengarah ke permukaan konjungtiva, yang mungkin sedikit
merah atau meninggi. Jika cukup besar, chalazoin mungkin menekan pada
bola mata dan menyebabkan astigmatisme, dimana mengakibatkan distorsi
visus atau gangguan kosmetik, indikasi untuk dilakukan eksisi (Ilyas,
2017).
b. Faktor Genetik
Faktor genetik memiliki hubungan positif yang paling kuat dengan
astigmatisma pada anak usia sekolah dibandingkan dengan faktor gaya
hidup seperti kebiasaan menggunakan gadget, kebiasaan membaca dan
kebiasaan menonton televisi. Anak yang memiliki orang tua dengan
astigmatisma memiliki resiko 2 kali lebih besar daripada anak-anak yang
orang tuanya tidak menderita astigmatisma. Hubungan genetik dengan
astigmatisma mencapai 63% dengan pengaruh gen dominan hingga 54%
(Guyton dan Hall, 2014).

2.3 Hubungan Antara Buta Warna dan Tes Ischihara Dengan Anatomi
Dan Fisiologi Penglihatan Mata Manusia
Buta warna dikenal berdasarkan istilah Yunani protos (pertama), deutros
(kedua) dan tritos (ketiga) yang pada warna 1. Merah, 2. Hijau, 3. Biru. Buta
warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Pasien tidak atau
kurang dapat membedakan warna yang dapat terjadu kongenital ataupun
didapatkan akibat penyakit tertentu. Kebanyakan penderita buta warna dapat
membedakan warna akan tetapi dengan penilaian yang berbeda (Ilyas, dkk.,
2017).
Buta warna dapat terjadi karena faktor keturunan, atau karena memang
mengalami kelainan pada retina, saraf-saraf optik, dan mungkin ada gangguan
pada otak (Purnamasari,2015). Buta warna adalah suatu kelainan yang disebabkan
ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap suatu spektrum warna
tertentu yang disebabkan oleh faktor genetis. Buta warna merupakan kelainan
genetika yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya, kelainan ini sering
disebut dengan sex linked, karena kelainan ini dibawa oleh kromososm X. Artinya
kromososm Y tidak membawa faktor buta warna. Hal ini lah yang membedakan
antara penderita buta warna pada laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan
terdapat istilah ‘pembawa sifat’, hal ini menunjukkan ada satu kromosom X yang
membawa sifat buta warna. Perempuan dengan pembawa sifat, secara fisik tidak
mengalami kalainan buta warna sebagaimana wanita normal pada umumnya,
tetapi wanita dengan pembawa sifat berpotensi menurunkan faktor buta warna
kepada anaknya kelak. Apabila kedua kromosom X mengandung faktor buta
warna maka seorang wanita tersebut menderita buta warna (Octaviano dan
Umbari, 2017).
Sel kerucut retina merupakan sel yang dapat membedakan warna. Pada sel
kerucut terdapat 3 macam pigmen yang dapat membedakan warna dasar hijau,
merah, dan biru. Sel kerucut yang dibagian sentral atau makula lutea memegang
peranan yang terpenting untuk melihat warna. Seseorang yang mampu
membedakan tiga macam warna, disebut sebagai trikomat. Dikromat adalah orang
yang hanya dapat membedakan 2 komponen dan mengalami kerusakan pada 1
jenis pigmen kerucut. Kerusakan pada pigmen sel kerucut akan menyebabkan
orang hanya mampu melihat satu komponen yang disebut monokromat. Pada
keadaan tertentu dapat terjadi seluruh komponen pigmen warna kerucut tidak
normal sehingga pasien tidak dapat mengenal warna sama sekali yang disebut
sebagai akromatopsia (Ilyas, dkk., 2017).
Menurut Kurniadi, dkk. (2016), secara fisiologi, buta warna terjadi ketika
terjadi perubahan pada saraf reseptop cahaya di retina, terutama sel kerucut.
Terdapat dua sel-sel saraf di retina yaitu sel kerucut dan sel batang. Sel batang
sangat peka terhadap warna putih dan warna hitam, sedangkan sel kerucut sangat
peka terhadap warna-warna lainnya seperti hijau, merah, dan biru. Apabila
terdapat salah satu pigmen yang hilang, maka penderita buta warna tidak dapat
melihat warna-warn seperti layaknya orang normal tetapi hanya bisa melihat
beberapa gradasi warna saja.
Awalnya seorang penderita buta warna tidak menyadari bahwa mereka
mengalami gangguan pada mata yaitu tidak dapat membedakan beberapa warna.
Oleh karena itu, untuk mengetahui seseorang menderita buta warna atau tidak
maka perlu dilakukan pemeriksaan dengan metode tes Ischihara. Tes Ishihara
merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi seseorang yang
mengalami buta warna yang dikembangkan oleh Dr. Shinobu pada tahun 1917.
Tes Ishihara merupakan tes yang digunakan untuk mendeteksi gangguan persepsi
warna , berupa tabel warna khusus dan lembaran pseudoisokromatik (plate) yang
disusun oleh berbagai macam titik dengan kepadatan warna yang berbeda yang
dapat dilihat oleh mata normal, tetapi tidak dapat dilihat oleh mata yang
mengalami defisiensi sebagian warna. Plate merupakan warna primer dengan
warna dasar yang hampir sama atau abu-abu. Tes buta warna dapat digunakan
oleh seseorang utnuk membedakan antara defisit (lemah) warna merah dan defisit
(lemah) warna hijau (Ocatviano & Umbari, 2017). Dalam tes Ishihara digunakan
38 plate atau lembaran gambar yang mempunyai urutan 1 sampai 38.
Seseorang yang akan melakukan tes Ishihara harus masuk keruangan
dengan penerangan yang cukup, pasien akan disuruh melihat plate dan harus
mengidentifikasi atau menyebut angka didalam plate dengan cara mengikuti garis-
garis warna di dalam lingkaran dalam waktu sekitar 10 detik. Angka di dalam
plate dapat terlihat oleh orang normal., tetapi pada penderita buta warna,
angka/tulisan tersebut akan berbeda bahkan ada yang tidak tampak. Setelah itu,
hasil tes seseorang akan dibandingkan dengan kunci jawaban. Kemudian
diidentifikasi dan diklasifikasikan tingkatan buta warnanya (Dhika, et all., 2014).
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Hubungan antara visus dan kebutaan dengan anatomi dan fisiologi
penglihatan mata manusia yaitu bagian mata yang berfungsi untuk
menfokuskan cahaya adalah lensa dan bagian mata yang berfungsi untuk
dalam ketajaman mata adalah retina. Apabila lensa dan retina mengalami
kerusakan maka dapat menyebabkan kebutaan pada seseorang. Selain itu,
kebutaan juga terjadi karena rusaknya saraf optik, konjungtiva, dan
ketiadaan fotoreseptor.
3.1.2 Hubungan antara astigmatisme dengan anatomi dan fisiologi penglihatan
mata manusia yaitu astigmatisme terjadi kelengkungan yang berbeda-beda
yang menyebbakan permukaan kornea mata menjadi tidak beraturan. Hal
tersebut menyebabkan cahaya yang masuk ke dalam mata akan dibiaskan
dan difokuskan pada beberapa titik pada retina. Bayangan yang dihasilkan
merupakan bayangan distorsi.
3.1.3 Hubungan antara buta warna dan tes ischihara dengan anatomi dan
fisiologi penglihatan mata manusia yaitu buta warna terjadi karena adanya
kerusakan pada retina khususnya pada fotoreseptor yaitu sel kerucut dan
sel batang sehingga tidak dapat digunakan untuk menangkap suatu
spektrum warna tertentu. Awalnya seorang penderita buta warna tidak
menyadari bahwa mereka mengalami gangguan pada mata yaitu tidak
dapat membedakan beberapa warna. Oleh karena itu, untuk mengetahui
seseorang menderita buta warna atau tidak maka perlu dilakukan
pemeriksaan dengan metode tes Ischihara Tes Ishihara merupakan tes yang
digunakan untuk mendeteksi gangguan persepsi warna , berupa tabel
warna khusus dan lembaran pseudoisokromatik (plate) yang disusun oleh
berbagai macam titik dengan kepadatan warna yang berbeda yang dapat
dilihat oleh mata normal, tetapi tidak dapat dilihat oleh mata yang
mengalami defisiensi sebagian warna.
3.2 Saran
Diperlukan studi literatur mengenai hubungan antara visus, hipermetropi,
buta warna, dan tes ischihara dengan anatomi dan fisiologi penglihatan mata
manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad.M., Ninik.M.U., Mereyska.S. 2016. Profil Peresapan Penyakit Mata


Galukoma pada Pasien BPJS Rawat Jalan. Jurnal of Pharmacy and
Science. 1 (1) 28.

Dhika, R. V., Ernawati, & D. Andreswari. 2014. Aplikasi Tes Buta Warna
Dengan Metode Ishihara Pada Smartphone Android. Jurnal Pseudocode.
1(1): 51-59.
Guyton dan Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Keduabelas.
Jakarta: Elsevier.

Ilyas, S. 2017. Ilmu penyakit mata.Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Ilyas. S., Sri. R. Y. 2017. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: penerbit
FKUI.

Kurniadi, D., M. M. Fauzi, dan A. Mulyani. 2016. Aplikasi Simulasi Tes Buta
Warna Berbasis Android Menggunakan Tes Iscchihara. Jurnal Algoritma
Sekolah Tinggi Teknologi Garut. 13(1): 451-456.

Mansyur, M., E. D. D. Rianti, dan F. Ama. 2008. Waktu Reaksi Terhadap


Berbagai Sinar Warna pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2(1): 1-6.

Octaviano, A. & A. Umbari. 2017. Penerapan Metode Ishihara Untuk Mendeteksi


Buta Warna Sejak Dini Berbasis Android. Jurnal Informatika Universitas
Pamulang. 2(1): 42-50.
Purnamasari,P. 2015. Tes Buta Warna Metode Ishihara Berbasis Komputer (Kelas
XI jurusan teknik instalasi tenaga listrik SMK Negeri 3 Semarang).
Skripsi: Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri
Semarang.

Rani.D.C. 2018. Sistem Pakar berbasis Rule untuk Diagnosa Awal Penyakit Mata
Manusia. Thesis. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Saminan. 2017. Penyimpangan Reflaksi Cahaya Dalam Mata Pada Anak Usia
Sekolah. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 17 (3): 184-189.
Sri,S. dan Sri.P. 2017. Analisa Faktor Risiko Pekerjaan yang berpengaruh
terhadap Kejadian Katarak pada Masyarakat di Sragen. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kesehatan. 8(2) 65.
Syauqie, M. dan S. H. M. Putri. 2014. Development of Binocular Vision. Jurnal
Kesehatan Andalas. 3(1): 8-14.

Suherman, J., S. U. Sugeng, Benedict, Sihombing. 2011. Pengaruh Penglihatan


Perifer Mata Kanan terhadap Waktu Reaksi Sederhana pada Pria Dewasa
Normal. JKM. 10(2): 120-125.

Tamansa, G. E., J. S. M. Saerang, L. M. Rares. 2016. Hubungan Umur dan Jenis


Kelamin dengan Angka Kejadian Katarak di Instalasi Rawat Jalan
(Poliklinik Mata) RSUP.Prof.Dr.R.D. Kandou Manado Periode Juli 2015-
2016. Jurnal Kedokteran Klinik. 1(1): 64-69.

Tamboto.F.C., Herlina.I.S.W., Damajanti.H.C.P. Gambaran Visus Mata pada


Senat mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
Jurnal e-Biomedik. 3(3) 805 – 808.

Tyas, P. A. S. N., B. Ali., N. Haliyanti. 2019. Retinitis Pigmentosa. Jurnal


Medical Profession. 1(2): 138-143.

Utomo & N. Muniroh. 2019. Pendidikan Anak Dengan Hambatan Penglihatan.


Kota Banjar Baru : Prodi. PJ JPOK FKIP ULM Press.

Vaughan.D.G., Taylor.A., Paul.R.E. 2014. Oftalmologi Umum. Jakarta : Widya


Medika.

Wade, C. dan C. Tavris. 2008. Psikologi Edisi Ke-9. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai