Anda di halaman 1dari 21

PAPER NAMA : Dirga Machran

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

PAPER

UVEITIS POSTERIOR

Disusun oleh :

Dirga Machran
210131072

Supervisor :

dr. Marlina Yusnita Albar, M.Ked(OPH), Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
kasih, berkat, dan penyertaan Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Uveitis Posterior”. Penulisan makalah ini adalah salah satu
syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Marlina Yusnita Albar, M.Ked(OPH), Sp.M selaku pembimbing yang
telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian
diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 21 Juni 2023


PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................1
BAB I.......................................................................................................................2
1.1. Latar Belakang..........................................................................................2
1.2. Tujuan Penulisan........................................................................................2
1.3. Manfaat Penulisan......................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................4
2.1. Traktus Uvealis..........................................................................................4
2.2. Definisi Uveitis..........................................................................................7
2.3. Uveitis Posterior........................................................................................7
2.4. Epidemiologi.............................................................................................8
2.5. Etiologi......................................................................................................9
2.6. Diagnosis dan Ciri Klinik..........................................................................9
2.7. Tatalaksana..............................................................................................15
2.8. Prognosis.................................................................................................16
BAB III..................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

1
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling
berkaitan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang
berperan penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah
suatu lapisan vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera
disebut uvea.(1)
Uveitis merujuk pada inflamasi intraokuler yang dimana terjadinya
proses inflamasi secara kompleks, melibatkan terutama traktus uvealis
dengan atau tanpa melibatkan struktur intraokuler yang membatasinya.
Penyebab yang mendasari dari inflamasi intraokuler diantaranya mengenai
traktus uvealis, retina, lensa dan jaringan ocular lainnya. (2)
Insiden uveitis pada populasi 100.000 orang adalah 15 kasus pertahun.
Di Amerika terdapat 2,3 juta orang penderita uveitis dimana kasus barunya
ditemukan sebanyak 45.000 pertahun. Uveitis juga menyebabkan 10 %
kebutaan. (3,4)
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat
uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan
peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain
itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu,
diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif,
pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan
penunjang dan penanganan yang tepat.(5)
Uveitis posterior adalah peradangan lapisan koroid yang sering
melibatkan jaringan sekitar seperti vitreus, retina, dan nervus optik. Infeksi
paling sering disebabkan oleh T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ,
cytomegalovirus (CMV), dan HIV. Pada kasus non-infeksi, uveitis posterior
disebabkan oleh koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy, sarkoidosis,

2
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

dan neoplasma.(6)
Uveitis posterior timbul perlahan namun dapat terjadi secara akut.
Pasien mengeluh penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah,
dan fotofobia. Komplikasi dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan
vitreus, edema makula, kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio
retinae, dan atrofi nervus optik.(7) Prognosis uveitis posterior lebih buruk
dibandingkan uveitis anterior karena menurunkan tajam penglihatan dan
kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan baik.(8)

1.1. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca


mengenai uveitis posterior.

1.2. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan paper ini adalah menambah pengetahuan penulis


mengenai uveitis posterior serta dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan
penulisan ilmiah bagi penulis lain.

3
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TRAKTUS UVEALIS


Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini
merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan
sclera. Struktur ini ikut mendarahi retina.(9)
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior
yang berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris
berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang
merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior
longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan
brevis.(10)
2.1.1 Iris
Iris adalah perpanjangan corpus cilliare ke anterior. Iris berupa
permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris
terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik
mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueous
humor. Didalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua
lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan
neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina kearah anterior.(9)
Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara IV.
Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi cilliares.(9)
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara
konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus
kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.(9)

4
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Gambar 1. Bagian penampang mata(4)


Sumber:https://nei.nih.gov/health/uveitis/uveitis

2.1.2 Corpus Ciliare


Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan
melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris
(sekitar 6 mm). corpus cilliare terdiri atas zona anterior yang berombak-
ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4
mm). Processus ciliares berasal dari pars plicata. Processus ciliare ini
terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena
vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-lubang sehingga
membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. (9)
Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen disebelah
dalam yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior dan satu lapisan
berpigmen disebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen
retina. Procesus cilliares dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi
sebagai pembentuk aqueous humor.(9)

5
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat longitudional,


sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan
dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di lembah-lembah di antara
procesus cilliares. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga
lensa dapat mempunyai berbagai focus baik untuk objek berjarak dekat
maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat
longitudinal muscullus cilliaris menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk
mempengaruhi besar porinya.(9)
Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus cilliaris berasal
dari circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf
siliaris.(9)

2.1.3 Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sclera.
Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid ; vesikuler besar,
sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid,
semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal
sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat
vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam
dibatasi oleh membran bruch dan disebelah luar oleh sclera. Ruang
suprakoroid terletak diantara koroid dan sclera. Koroid melekat erat ke
posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah anterior koroid
bergabung dengan corpus cilliares. Kumpulan pembuluh darah koroid
mendarahi bagian luar retina yang menyokongnya.(9)

6
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Gambar 2. Lapisan koroid(11)


Sumber: Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors.
General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007

2.2 DEFINISI UVEITIS


Uveitis adalah bentuk peradangan mata yang mempengaruhi lapisan
tengah jaringan di dinding mata (uvea). Uveitis sebagai tanda bahaya karena
seringkali datang secasecara tiba-tiba dan progresif untuk menjadi lebih buruk
dengan cepat. Kondisi uveitis ini dapat mempengaruhi satu atau dua mata dan
terutama mempengaruhi pada usai 20 tahun hingga 50 tahun tetapi dapat juga
mempengaruhi anak-anak. Uveitis bisa menjadi serius karena menyebabkan
kehilangan penglihatan yang permanen.(12)

2.3 UVEITIS POSTERIOR


Uveitis posterior merupakan peradangan lapisan koroid yang dapat
pula melibatkan jaringan sekitar, meliputi vitreus, retina, saraf optik, dan
pembuluh darah retina.(14) Gejala yang timbul umumnya berupa floaters,
kehilangan lapangan pandang atau scotoma, atau penurunan tajam
penglihatan, yang mungkin parah. Ablatio retina walaupun jarang, paling

7
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

sering terjadi pada uveitis posterior; jenisnya bisa traksional, regmatogenosa


atau eksudatif. (13)
Retina, koroid dan nervus optikus dipengaruhi oleh sejumlah
penyakit infeksi dan non-infeksi. Kebanyakan kasus uveitis posterior
berhubungan dengan beberapa sistemik. Penyebab uveitis posterior
seringkali dapat ditegakkan berdasarkan morfologi lesi, onset dan perjalanan
penyakitnya, atau tanda dan gejala sistemik yang menyertai. Pertimbangan
lainnya adalah umur pasien dan apakah timbulnya unilateral atau bilateral.
Tes laboratorium dan penunjang lain seringkali membantu. (13)
Lesi di segmen posterior mata bentuknya bisa fokal, multifocal,
geografik, atau difus. Lesi yang cenderung menimbulkan kekeruhan pada
vitreus diatasnya harus dibedakan dari lesi yang kurang atau tidak memicu
sel-sel vitreus . Jenis dan distribusi kekeruhan vitreusnya harus dijelaskan.
Lesi peradangan pada segmen posterior umumnya tidak kentara di awal,
tetapi sebagian dapat disertai kehilangan penglihatan mendadak yang berat.
(13)

Di seluruh bagian dunia, penyebab retinitis yang umum pada pasien-


pasien imunokompeten adalah toksoplasmosis, sifilis, dan penyakit Behcet;
penyebab koroiditis tersering adalah sarkoidosis, tuberculosis dan sindrom
Vogt-Koyanagi-Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis optik) dapat
disebabkan oleh salah satu dari penyakit-penyakit tersebut, tetapi sklerosis
multipel perlu dicurigai, khususnya pada kasus nyeri mata yang diperparah
dengan pergerakan. Penyebab uveitis posterior yang lebih jarang, antara lain
: limfoma intraokuler, sindrom nekrosis retina akut, oftalmia simpatika, dan
sindrom “titik putih” seperti multiple evanescent white dot syndrome
(MEWDS) atau epiteliopati plakoid posterior multifocal akut (AMPPE). (13)

2.4 EPIDEMIOLOGI
Menurut National Organization for Rare Disorders pada tahun 2005,
uveitis posterior sama kejadiannya pada pria dan wanita.6 Uveitis posterior
juga dapat menyerang hampir semua usia, cenderung lebih sering pada usia di

8
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

bawah 40 tahun.(15,16) Pada studi epidemiologi di Vienna, 18,3% kasus uveitis


merupakan uveitis posterior.(15)

2.5 ETIOLOGI

Menurut etiologinya, uveitis posterior dapat diklasifikasikan


berdasarkan penyebab infeksi dan non-infeksi.(14,16,17) Penyebab infeksi
meliputi infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus.(16) Beberapa patogen yang
diketahui, yaitu Toxoplasma gondii, Mycobacterium tuberculosis, Treponema
pallidum, Bartonella, Herpes Simplex Virus (HSV), Varicella Zoster Virus
(VZV), Cytomegalovirus (CMV), dan Human Immunodeficiency Virus
(HIV).(14,15,17,18) Penyebab non-infeksi meliputi kelainan imunologi, alergi,
keganasan, ataupun penyebab idiopatik. Sekitar 60% kasus uveitis posterior
akibat masalah intrinsik mata dan 40% lainnya akibat masalah autoimun,
infeksi, dan/atau trauma pada mata.(16) Beberapa gangguan yang dikaitkan
dengan uveitis posterior adalah koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy,
sindrom Behcet, ankylosing spondylitis, penyakit Lyme, sindrom Vogt-
KoyanagiHarada, sarkoidosis, neoplasma, dan psoriasis. Namun demikian,
patogenesis umum uveitis posterior masih belum dapat dijelaskan.(19) Pada
anak-anak, kelainan ini sering dikaitkan dengan juvenile rheumatoid arthritis.
(14,15,18)

2.6 DIAGNOSIS DAN CIRI KLINIS

Uveitis posterior dapat terjadi karena peradangan koroid dan retina,


sebagai perluasan dari kelainan kornea dan sklera, atau akibat kelainan
sistemik.(14)
Diagnosis klinis biasanya tidak sulit, namun mencari diagnosis etiologi
merupakan masalah utama. Langkah penting diagnosis uveitis posterior
adalah menentukan penyebab dasar.(14,16,17) Anamnesis dan pemeriksaan mata
merupakan tahap awal diagnosis. Uveitis posterior biasanya memiliki onset
perlahan, namun dapat sebagai serangan akut.(14,17) Kelainan yang dapat

9
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

ditemukan adalah penurunan fungsi penglihatan, gangguan lapang pandang,


dan visual floaters yang biasanya tanpa nyeri, mata merah, ataupun fotofobia.
(14)
Penting juga klasifikasi uveitis berdasarkan anatomi, etiologi, dan
perjalanan penyakit (Tabel 1). (14,20)

Tabel 1. Klasifikasi uveitis berdasarkan SUN

Ditinjau dari manifestasi klinis, perbedaan umum yang dapat


membedakan uveitis anterior dari uveitis posterior adalah adanya fotofobia
serta nyeri tumpul atau berdenyut pada mata disebabkan oleh spasme otot
siliar dan sfingter pupil.(14) Pada uveitis anterior juga dapat ditemukan injeksi
siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris longus dan arteri siliaris anterior yang
mendarahi iris dan badan siliar. Pemeriksaan slit-lamp dapat mengevaluasi
bilik mata depan, memperlihatkan adanya injeksi siliar dan episklera,
skleritis, edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik
mata, hipopion, dan kekeruhan lensa.(14,19) Temuan tersebut merupakan tanda
uveitis anterior, sehingga dapat membantu menyingkirkan diagnosis uveitis
posterior.

10
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Gambar. Gambaran funduskopi pada koroiditis: ditemukan lesi


peradangan pada sisi nasal makula berupa bercak putih kekuningan dengan batas
tidak tegas.(21)
Pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui kelainan di bagian posterior
mata. Tanda yang dapat ditemukan pada uveitis posterior antara lain lesi
korioretina fokal, retinal whitening, dan penyelubungan pembuluh darah retina
(vascular sheathing) (Gambar).(19) Gambaran klinis dapat menunjukkan adanya
vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis, dan kelainan papil saraf optik yang
menentukan keterlibatan peradangan bagian posterior uvea.(14)
Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan penunjang non-invasif
untuk memperlihatkan adanya edema makula, membran epiretinal, dan sindrom
traksi vitreomakula. Pada keadaan media keruh, seperti pada katarak, vitritis, dan
perdarahan vitreus, dapat dilakukan Ultrasonography B-scan (USG) atau spectral-
domain OCT. USG juga dapat membantu membedakan uveitis posterior yang
disebabkan neoplasma atau abses; dapat pula bermanfaat untuk evaluasi ketebalan
koroid dan mengetahui penebalan ruang tenon yang ditandai dengan “T-sign”
yang merupakan tanda patognomonis skleritis posterior.(14)
Ketebalan koroid normal adalah 1,1 milimeter.(17) Fundus Fluorescence
Angiography (FFA) merupakan pemeriksaan fotografi fundus dengan injeksi
intravena zat pewarna natrium fluoresen. Pemeriksaan ini untuk menilai sirkulasi
pembuluh darah retina dan koroid serta mengetahui secara detail epitel pigmen
retina.(14,17)

11
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Pemeriksaan penunjang laboratorium, seperti darah perifer, laju endap


darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody dapat menentukan diagnosis
etiologi. Jika uveitis posterior dicurigai disebabkan tuberkulosis, dapat dimintakan
pemeriksaan radiologis.(17) Pada uveitis ringan dan pada kasus trauma,
pemeriksaan penunjang biasanya kurang bermanfaat untuk diagnosis.(14)
Langkah penting diagnosis uveitis posterior adalah menentukan penyebab
dasar.(14,16,17) Anamnesis dan pemeriksaan mata merupakan tahap awal diagnosis.
(13)

 Usia Pasien(13)

Uveitis posterior pada pasien dibawah usia 3 tahun dapat


disebabkan oleh “sindrom masquerade” seperti retinoblastoma atau
leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok ini
mencakup toksoplasmosis congenital, toksokariasis, dan infeksi
perinatal oleh sifilis, cytomegalovirus, virus herpes simpleks, virus
herpes zoster atau rubella.
Pada kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab tersering
uveitis posterior adalah toksoplasmosis dan toksokariasis. Penyebab
yang jarang, yaitu sifilis, tuberculosis, sarkoidosis, sindrom Behcet, dan
sindrom Vogt-Koyanagi Harada.
Pada kelompok umur 16 sampai 50 tahun, diagnosis banding untuk
uveitis posterior adalah sifilis, tuberculosis, sarkoidosis, sindrom
Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi Harada, dan sindrom nekrosis retina
akut.
Pasien diatas 50 tahun dengan tampilan uveitis posterior mungkin
menderita sifilis, tuberculosis, sarkoidosis, limfoma intraokuler,
retinokoroiditis “birdshot”, sindrom nekrosis retina akut, toksplasmosis,
atau endoftalmitis endogen.

 Lateralitas(13)

Uveitis posterior unilateral lebih cenderung terjadi akibat

12
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

toksoplasmosis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau


infeksi bakteri atau jamur endogen.

 Gejala(13)
a. Penurunan penglihatan- Penurunan ketajaman penglihatan dapat
terjadi pada semua jenis uveitis posterior, tetapi erutama dijumpai
pada kondisi-kondisi dengan lesi macula atau ablasio retina.
Pemeriksaan pupil aferen harus dikerjakan pada setiap pasien, bila
ada, menandakan disfungsi nervus optikus atau kerusakan retina
luas.
b. Injeksi ocular- Kemerahan mata jarang terjadi pada uveitis yang
tebatas di segmen posterior, tetapi dapat terlihat pada uveitis difus
c. Nyeri- Rasa nyeri kurang khas pada uveitis posterior, tetapi dapat
terjadi pada endoftalmitis, skleritis posterior, atau neuritis optic,
terutama bila disebabkan oleh sclerosis multiple

 Tanda(13)
Tanda-tanda yang penting untuk mendiagnosis uveitis posterior
antara lain: pembentukan hipopion, pembentukan granuloma, vitritis,
morfologi lesi, vaskulitis, perdarahan retina, dan pembentukan parut.
1. Hipopion- Kelainan segmen posterior yang mungkin disertai
dengan hipopion dan peradangan anterior yang nyata, yaitu
sifilis, tuberkulosis, sarkoidosis, endoftalmitis endogen,
penyakit Behcet, dan leptospirosis. Bila dijumpai kondisi ini,
uveitisnya disebut uveitis difus atau panuveitis
2. Jenis uveitis- Uveitis granulomatosa anterior bisa disertai
dengan kondisi-kondisi yang mempengaruhi retina posterior
dan koroid, seperti sifilis, tuberkulosis, sarkoidosis,
toksoplasmosis, sindrom Vogt-Kayanagi-Harada, dan oftalmia
simpatika. Di sisi lain, uveitis anterior non-granulomatosa

13
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

mungkin berkaitan dengan penyakit Behcet, sindrom nekrosis


retina akut, limfoma intraocular, atau sindrom “titik putih”.
3. Glaukoma- Hipertensi ocular akut yang berkaitan dengan
uveitis posterior dapat disebabkan oleh toksoplasmasosi,
sindrom nekrosis retina akut oleh virus herpes simpleks atau
varicella zoster, sarkoidosis atau siilis.
4. Vitritis- Uveitis posterior sering disertai dengan vitrits, dari
pembuluh-pembuluh retina, atau dari caput nervus oprici.
Vitreus berat cenderung terjadi pada infeksi yang melibatkan
kutub posterior, seperti retinokoroiditis atau endoftalmitis
bacterial, sedangkan peradangan ringan hingga sedang
biasanya menimbulkan kelainan peradangan primer di koroid
dan retina bagian luar. Koroiditis serpiginosa dan dugaan
histoplasmosis ocular umumnya disertai vitritis ringan.

o Morfologi dan Lokasi Lesi(13)


 Retina- Retina merupakan saran utama banyak jenis agen
infeksi. Toksoplasmosis adalah penyebab tersering retinitis
pada pasien imunokompeten. Lesi aktif toksoplasmosis
umumnya terlihat bersama parut lama yang telah sembuh dan
mungkin dengan pigmentasi pdat. Lesinya mungkin tampak
pada daerah jukstapapilar dan sering menimbulkan vaskulitis
retina. Vitreus umumnya kabur bila lesilesinya besat.
Sebaliknya, infeksi retina oleh virus-virus herpes-seperti
sitomegalovirus dan virus varicella-zoster-lebih banyak pada
pasien dengan gangguan system imun. Infeksi retina oleh virus
rubella dan rubeola terutama terjadi pada bayi; disinikeduanya
cenderung menimbulkan perubahan pigmentasi difus yang
mengenai retina bagian luar, yang disebut retinopai “salt and
pepper”

14
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

 Koroid- koroid merupakan saran utama proses-proses


granulomatosa, seperti tuberkulosis dan sarkoidosis. Pasien
tuberkulosis atau sarkoidosis mungkin menunjukkan suatu
koroiditis yang fkal, multifocal, atau geografik. Pada penyakit
Vogt-Kayanagi-harada dan oftalmia simpatika, bisa ditemukan
infiltrasi koroid yang multifocal maupun difus. Sebaliknya,
pasien retinokoroidopati “bird shot” dan tersangkan sindrom
histoplasmosis ocular hamper selalu disertai koroiditis yang
multifocal.
 Nervus optikus- Nervus optikus onflamatorik primer dapat
terjadi pada infeksi sifilis, tuberkulosis, sarkoidosis,
toksoplasmosis, sclerosis multiple, penyakit Lyme, limfoma
intraocular, atau infeksi Bartonella henselae sistemik (penyakit
cat-scratch). Sering juga didapatkan abalasio retina serosa
peripapilar dan macular star.

2.7 TATALAKSANA

Medikamentosa Tatalaksana uveitis posterior memiliki prinsip menekan


reaksi peradangan, mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur mata,
mempertahankan fungsi penglihatan, dan mengurangi gejala.(17) Reaksi peradangan
dapat dihambat dengan kortikosteroid topikal, antara lain prednisolon 0,5%,
prednisolon asetat 1%, betametason 1%, deksametason 0,1%, dan fluorometolon
0,1%. Namun, penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menimbulkan
risiko peningkatan tekanan intraokular (glaukoma), katarak, dan risiko infeksi,
sehingga harus diawasi dengan cermat.(14) Injeksi kortikosteroid periokular dapat
menghindari efek samping penggunaan steroid jangka panjang dan pada kasus
yang membutuhkan depo steroid.(14) Kortikosteroid sistemik dapat diberikan pada
uveitis derajat cukup berat atau bilateral.(14,16)
Jika radang tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat dilanjutkan
dengan agen imunosupresan.(14,17) Imunosupresan juga merupakan lini pertama

15
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

pada sindrom Behcet karena dapat mengancam jiwa.(14) Agen imosupresan terdiri
dari golongan antimetabolit (azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat mofenil),
supresor sel T (siklosporin dan tacrolimus) serta sitotoksik (siklofosfamid dan
klorambusil).(14,17)
Nyeri dapat diatasi dengan pemberian golongan obat anti-inflamasi non-
steroid (OAINS) dan siklopegik untuk mencegah komplikasi sinekia posterior. (14)
Siklopegik yang dapat diberikan yaitu siklopentolat 0,5-2% dan homatropin. (14)
Tatalaksana utama lain ditujukan untuk mengobati penyebab dasar. Untuk
toksoplasmosis dapat diberi terapi antitoksoplasma, meliputi kotrimoksazol,
klindamisin, pirimetamin, dan sulfadiazin.(14,17) Tuberkulosis dapat diberi terapi
antituberkulosis, seperti isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Pada
infeksi sifilis, terapi utama adalah antibiotik golongan penisilin. Untuk infeksi
virus dapat diberi obat antivirus, seperti asiklovir, valgansiklovir, gansiklovir,
foskarnet, dan sidofovir.(14)
 Non-Medikamentosa
Pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus uveitis yang sudah teratasi,
untuk memperbaiki masalah fungsi penglihatan permanen yang disebabkan oleh
komplikasi, seperti katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio retina. (14,22)
Vitrektomi dapat memperbaiki tajam penglihatan apabila kekeruhan vitreus pada
uveitis posterior tetap terjadi meskipun dengan pengobatan medikamentosa.(14)

2.8 PROGNOSIS
Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan dengan uveitis jenis lain
karena dapat menurunkan tajam penglihatan dan menimbulkan kebutaan. (14) Risiko
komplikasi seperti glaukoma, katarak, gangguan penglihatan, kebutaan, dan
ablasio retina lebih sering ditemukan pada uveitis posterior.(22)

BAB III

KESIMPULAN

16
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan di negara berkembang.


Tata laksana uveitis bertujuan untuk menekan reaksi inflamasi, memperbaiki
struktur dan fungsi penglihatan, menghilangkan nyeri dan fotofobia. Obat yang
dapat digunakan adalah kortikosteroid, imunosupresan, NSAID, siklopegik dan
antimikroba bila terdapat infeksi. Penyakit yang mendasari uveitis harus diatasi
secara komprehensif untuk mencegah perburukan dan komplikasi.
Uveitis posterior merupakan peradangan koroid dan struktur posterior
mata. Keterlambatan diagnosis dan rujukan meningkatkan risiko kerusakan
permanen struktur okular dan dapat menyebabkan kebutaan.
.

17
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

DAFTAR PUSTAKA

1. lyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia: Jakarta.
2. Rao AN. Uveitis in developing countries. Indian Journal of
Ophthalmology 2013;61(6):253-254.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Buku Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter
Pelayanan Primer Edisi 1. Jakarta: IDI; 2013. hlm. 60-1
4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. Edisi ke-6.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2006. hlm. 242-4.
5. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis
PERDAMI. Jakarta: PP PERDAMI, 2006. 34.
6. Sudharshan S, Ganesh SK, Biswas J. Current approach in the diagnosis
and management of posterior uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010;58(1):29–
43
7. Faiz I, Al-Shakarchi. Pattern of uveitis at a referral center in Iraq. Middle
East Afr J Ophthalmol. 2014; 21(4):291–5.
8. Durrani OM, Tehrani NN, Marr JE, Moradi P, Stavrou P, Murray PI.
Degree, duration, and causes of visual loss in uveitis. Br J Ophthalmol.
2004;88(9):1159-62.
9. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya medika, 2000
10. Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea
Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical
Publishing, 1992. 1.1
11. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P,
Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw
Hill, 2007
12. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/uveitis/basics/definition/
con-20026602. Acessed on November 29 2015

18
PAPER NAMA : Dirga Machran
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 210131072
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

13. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya medika, 2000
14. Sitompul R. Diagnosis dan penatalaksanaan uveitis dalam upaya
mencegah kebutaan. E-Jurnal Kedokteran Indonesia. 2016;4(1):60–70.
15. Barisani-Asenbauer T, Maca SM, Mejdoubi L, Emminger W, Machold K,
Auer H. Uveitis - a rare disease often associated with systemic diseases
and infections - a systematic review of 2619 patients. Orphanet J Rare Dis.
2012;7(57):1–7.
16. National Organization for Rare Disorders. Posterior uveitis. In: Rare
disease database [Internet]. 2005 [cited 2019 December 2]. Available
from: https://rarediseases. org/rare-diseases/posterior-uveitis/
17. Sudharshan S, Ganesh SK, Biswas J. Current approach in the diagnosis
and management of posterior uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010;58(1):29–
43.
18. Harman LE, Margo CE, Roetzheim RG. Uveitis: The collaborative
diagnostic evaluation. Am Fam Physician. 2014;90(10):711–6
19. Duplechain A, Conrady CD, Patel BC, Baker S. Uveitis. [Updated 2019
Jun 3]. In: StatPearls [Internet]. 2019 [cited 2019 December 2]. Available
from: https://www. ncbi.nlm.nih.gov/books/ NBK540993/
20. Jabs DA, Nussenblatt RB, Rosenbaum JT. Standardization of uveitis
nomenclature for reporting clinical data. Results of the First International
Workshop. Am J Ophthalmol. 2005;140(3):509–16
21. Li J, Li Y, Li H, Zhang L. Imageology features of different types of
multifocal choroiditis. BMC Ophthalmol. 2019;19(39):1–7.
22. Dick AD, Tundia N, Sorg R, Zhao C, Chao J, Joshi A, et al. Risk of ocular
complications in patients with noninfectious intermediate uveitis, posterior
uveitis, or panuveitis. Ophthalmology 2016;123(3):655–62.

19

Anda mungkin juga menyukai