Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH KASUS BESAR

PANUVEITIS IDIOPATIK DAN KATARAK IMATUR


OKULI DEXTRA SINISTRA

Disusun oleh:
Riska Afifah
41211396000003

Pembimbing:
dr. Kemala Dewi, Sp.M (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
APRIL 2022

1
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Panuveitis Idiopatik
dan Katarak Imatur Okuli Dekstra Sinistra” dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik
di bagian ilmu penyakit mata RSUP Fatmawati.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Kemala Dewi, Sp.M (K) sebagai dokter
pembimbing laporan kasus ini dan rekan-rekan sejawat yang telah membantu penulis
menyusun makalah laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Demikian
laporan ini penulis susun semoga dapat bermanfaat.

Ciputat, 25 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………2
Daftar Isi……………………………………………………………………………………….3
BAB I – PENDAHULUAN……………………………………………………………………5
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………..6
2.1 Uvea………………………………………………………………………………………..6
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Uvea……………………………………………………………..6
2.1.2 Iris………………………………………………………………………………………..8
2.1.3 Badan Siliaris…………………………………………………………………………..10
2.1.4 Koroid…………………………………………………………………………………..11
2.2 Lensa……………………………………………………………………………………...12
2.3 Uveitis…………………………………………………………………………………….12
2.3.1 Definisi dan Epidemiologi Uveitis……………………………………………………...12
2.3.2 Klasifikasi Uveitis………………………………………………………………………13
2.3.2.1 Uveitis Anterior………………………………………………………………………13
2.3.2.2 Uveitis Intermediat…………………………………………………………………...16
2.3.2.3 Uveitis Posterior……………………………………………………………………...17
2.3.2.4 Panuveitis……………………………………………………………………………..18
2.3.3 Tata laksana uveitis……………………………………………………………………..22
2.4 Katarak……………………………………………………………………………………25
2.4.1 Katarak Senilis………………………………………………………………………….26
2.4.2 Katarak Komplikata…………………………………………………………………….27
2.4.3 Katarak Diabetik………………………………………………………………………..27
2.4.4 Tatalaksana katarak……………………………………………………………………..28
2.4.4.1 Ekstraksi katarak ektra kapsular (EKEK)…………………………………………….28
2.4.4.2 Fakoemulsifikasi……………………………………………………………………...28
2.4.4.3 Ekstraksi katarak intra kapsular (EKIK)……………………………………………..28
BAB III – ILUSTRASI KASUS……………………………………………………………...29
3.1 Identitas Pasien…………………………………………………………………………...29
3.2 Anamnesis………………………………………………………………………………..29

3
3.3 Pemeriksaan Fisik………………………………………………………………………..30
3.4 Pemeriksaan Penunjang………………………………………………………………….34
3.5 Resume…………………………………………………………………………………..34
3.6 Diagnosis…………………………………………………………………………………35
3.7Tatalaksana………………………………………………………………………………..35
3.8 Prognosis…………………………………………………………………………………36
BAB IV – DISKUSI KASUS…………………………………………………………………36
BAB V – KESIMPULAN…………………………………………………………………….39
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...40

4
BAB I

PENDAHULUAN

Uveitis adalah inflamasi primer traktus uvea yang disebabkan oleh beragam penyebab.
Insidens uveitis secara umum adalah 17/100.000, dengan prevalensi sebesar 34/100.000.
Uveitis dapat muncul secara akut, akut-rekuren, atau kronik (inflamasi persisten yang menetap
lebih dari 3 bulan). Etiologi penyakit ini umumnya idiopatik, tetapi dapat terjadi karena
penyebab infeksi, trauma, iatrogenik (pasca bedah, efek penggunaan obat), dan mediasi sistem
imunologi (dengan atau tanpa penyakit sistemik).1

Insidensi dan prevalensi uveitis bervariasi berdasarkan usia, lokasi anatomis dari proses
inflamasi (uveitis anterior, uveitis intermediat, uveitis posterior, panuveitis), gender,
histopatologi (non-granulomatosa dan granulomatosa), tipe proses inflamasi (akut, kronik,
rekuren), dan etiologi (infeksi dan non-infeksi). Uveitis anterior idiopatik merupakan jenis
uveitis paling umum di komunitas. Penyebab infeksius (30-60%) merupakan penyebab umum
uveitis pada negara-negara berkembang dengan etiologi tersering adalah virus herpes dan
parasit toxoplasma. Sedangkan, pada negara maju penyebab tersering uveitis adalah non-
infeksius.2 Berdasarkan aspek anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, uveitis
intermediat, uveitis posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior terdiri dari iritis dan iridosiklitis.
Uveitis posterior terdiri dari koroiditis, korioretinitis, dan retinokoroiditis. Panuveitis terdiri
dari uveitis anterior dan uveitis posterior.1 Komplikasi uveitis dapat berupa sinekia posterior
(30%), katarak (20%), glaucoma yang disebabkan sinekia perifer anterior (15%), dan
keratopati pita atau band keratopathy (10%).3

Katarak merupakan kekeruhan lensa akibat sebab apapun, dimana kondisi ini akan
menimbulkan gejala penurunan kualitas fungsi pengelihatan berupa penurunan sensitivitas
kontras serta tajam pengelihatan. Penurunan tajam pengelihatan disebabkan karena lensa yang
merupakan organ yang transparan dan berfungsi memfokuskan sinar masuk ke dalam mata,
mengalami kekeruhan sehingga terjadi gangguan fungsi untuk memfokuskan bayangan objek.
Penyebab katarak merupakan multifaktorial, akan tetapi proses penuaan merupakan penyebab
paling sering. Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan penggunaan obat-obatan tertentu
dapat menyebabkan katarak.4 Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia,
77.7% kebutaan disebabkan oleh katarak. Sedangkan prevalensi kebutaan akibat katarak pada
penduduk usia 50 tahun ke atas di Indonesia sebesar 1,9%.5

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uvea

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Uvea

Traktus uvealis adalah kompartemen vaskular utama pada mata yang terdiri dari tiga
bagian: iris, badan siliar (terletak di uvea anterior), dan koroid (terletak di uvea posterior).
Traktus uvealis melekat erat hanya pada 3 tempat pada sklera, yaitu: scleral spur (taji sklera),
tempat keluar vena-vena vortikosae dan nervus optikus.6

Gambar 2.1 Anatomi Orbita

Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh dua buah arteri
siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal dekat tempat masuk
saraf optic dan tujuh buah arteri siliar anterior, yang terdapat dua pada setiap otot superior,
medial inferior pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung
menjadi satu membetuk arteri sirkularis mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat
perdarahan dari 15-20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar
tempat masuk saraf optik.7

6
Gambar 2.2 Vaskularisasi Traktus Uvealis

Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan
otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen optic, yang menerima tiga akar saraf di bagian
posterior, yakni:7

1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar


mengandung serabut sensoris untuk kornea, iris,
dan badan siliar.
2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang
berasal dari saraf simpatis yang melingkari arteri
karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan
berfungsi untuk dilatasi pupil.
3. Akar saraf motor akan memberikan saraf
parasimpatis untuk mengecilkan pupil.

Gambar 2.3 Persarafan Uvea

7
2.1.2 Iris

Iris adalah bagian paling anterior dari traktus uvealis, membentuk diafragma di depan
lensa kristalina. Iris berfungsi mengatur banyaknya cahaya yang diteruskan ke mata dengan
mengibah apertura pupil. Pergerakan iris mengakibatkan berubah-ubahnya ukuran pupil. Saat
midriasis, iris tampak mengandung banyak rigi dan lipatan; sedangkan saat miosis, permukaan
anterior iris relatif lebih rata. Iris membagi segmen anterior menjadi kamera okuli anterior dan
kamera okuli posterior.6

Gambar 2.4 Penampang melintang Iris. (A) iris bagian pupil, (B) iris bagian siliar, (C) kripta
Fusch, (D) pigmen ruff, ( E ) sirkulis iridis mayor, (F) sirkulus iridis minor, (G) otot sfingter, (H) otot
dilator, (I) posterior iris, (J) garis Schwalbe, dan (K) pars plikata badan siliar

Secara histologis, iris memiliki tiga lapisan: lamina anterior, yang terdiri dari
fibroblas, melanosit serta kolagen, dan yang merupakan struktur yang melipat membentuk rigi
serta kripta; stroma iris, yang merupakan lapisan bagian tengah yang mengandung fibroblas,
melanosit serta kolagen; dan lamina posterior, yang mengandung epitel pigmen serta otot
dilator. Iris dibentuk dari pembuluh-pembuluh darah dan jaringan ikat, serta melanosit dan sel-
sel pigmen yang bertanggung jawab memberi warna yang khas pada mata.6

8
Gambar 2.5 Histologi Iris

Pada iris terdapat dua otot yang berfungsi memperbesar dan memperkecil diameter iris,
yakni otot dilator dan otot konstriktor/otot sfingter pupil. Otot dilator akan berkontraksi saat
mendapat stimulus simpatis α-1 adrenergik, sedangkan stimulasi saraf parasimpatis
mempunyai peran sebaliknya. Otot sfingter pupil menerima persarafan dari serabut saraf
parasimpatis yang berasal dari nucleus nervus oculimotorius (N.III) yang berespon dengan
stimulasi muskarinik. Sebaliknya, stimulasi simpatis mempunyai peran merelaksasikan
sfingter saat keadaan lingkungan gelap.6

Gambar 2.6 Jalur persarafan otot dilator dan otot sfingter pupil pada iris

9
2.1.3 Badan Siliaris

Badan siliaris berbentuk segitiga pada potongan melintang, menjembatani kamera okuli
anterior dan kamera okuli posterior, dan berjalan dari scleral spur (taji sklera) sampai ke ora
serata. Badan siliar terdiri dari dua bagian: bagian yang dekat dengan ke uvea dan bagian yang
dekat dengan epitel. Bagian badan siliar yang dekat dengan uvea, bersebelahan dengan sklera,
terdiri dari lamina fusca (lamina suprakoroid), otot-otot siliaris, lapisan pembuluh darah,
jaringan ikat penghubung dan membrane Bruch (lamina basalis koroidalis). Tiga lapisan
serabut yang menyusun otot siliaris adalah:6

1. Serabut longitudinal (muskulus Brucke), serabut paling luar, terletak paralel terhadap
sklera.
2. Serabut radial/oblik
3. Serabut sirkular, serabut paling dalam, terletak paralel terhadap ekuator lensa.

Bagian badan siliar yang terletak dekat dengan epitel terbagi menjadi pars plana (orbikulus
siliaris) dan pars plikata (korona siliaris). Pars plana merupakan zona berpigmen hakus dan
relative avaskular, memiliki lebar 4 mm dan meluas dari ora serata hingga ke prosesus siliaris.
Ora serata menghubungkan pars plana dengan retina. Pars plikata berakhir pada ora serata,
mempunyai banyak vaskularisasi, dan terdiri dari sekitar 70 lipatan radial yang disebut sebagai
prosesus siliaris. Serabut zonula lensa melekat terutama ke dasar prosesus siliaris dan di
sepanjang pars plana. Epitel badan siliar terdiri dari satu lapis epitel tidak berpigmen yang
merupakan perluasan retina sensoris ke anterior, dan satu lapis sel epitel berpigmen.6

Gambar 2.7 Anatomi Badan Siliaris

10
2.1.4 Koroid

Koroid merupakan bagian paling posterior dari traktus uvealis yang memberikan nutrisi
ke epital pigmen retina dan separuh bagian luar dan separuh bagian luar lapisan sensoris retina.
Rata-rata tebal koroid adalah 0,25 mm di bagian posterior dan semakin tipis (0,1 mm) di
anterior. Secara histologis, koroid terdiri dari 4 lapisan: lamina fusca (lamina suprakoroid),
stroma, lapisan koriokapilaris, dan lamina basalis koroid (membrane Bruch). Koroid melekat
erat pada sklera di sekitar saraf optik pada tempat masuk arteri siliaris posterior serta pada
tempat keluarnya vena vortikosae, dan terdiri dari 3 lapis pembuluh darah:6

1. Lapisan paling dalam, lapisan koriokapilaris, yang terdiri dari kapiler besar berfenestra.
2. Lapisan tengah (Scatter), terdiri atas pembuluh darah kecil.
3. Lapisan luar (Haller), terletak dekat dengan sklera, memiliki pembuluh darah besar
tanpa katup.

Perfusi koroid berasal dari a. siliaris longus, a. siliaris posterior brevis dan a. siliaris
anterior. Aliran darah vena akan mengalir ke sistem vorteks. Aliran darah yang mengalir
ke koroid sangat tinggi jika dibandingkan dengan jaringan lain, sehingga kandungan
oksigen darah di vena koroidalis hanya 2-3% lebih rendah dari kandungan oksigen darah
arteri. Koroid mendapat persarafan dari serabut simpatis yang melalui ganglion siliaris
tanpa bersinaps.6

Gambar 2.8 Suplai perdarahan koroid

11
2.2 Lensa

Lensa kristalin merupakan organ pengelihatan yang berfungsi memfokuskan cahaya


yang masuk ke mata agar sampai ke makula. Lensa kristalin terletak di belakang iris, digantung
oleh zonula Zinn ke badan siliar. Sel hidup yang aktif hanya terdapat pada lapisan sel epitel
lensa yang terletak di bawah kapsul bagian anterior dan meluas ke ekuator. Sel epitel
berproliferasi pada bagian ekuator dan berelongasi memanjang menjadi serat lensa yang
membentuk korteks lensa. Aktivitas seluler ini terjadi terus menerus seumur hidup, tanpa ada
serat yang dikeluarkan dari lensa sehingga susunan lapisan serat tersebut menjadi padat di
tengah, membentuk nukleus lensa.8

Sejalan dengan pertambahan usia, komposisi protein di dalam lensa akan berubah
sehingga indeks refraksi dan kejernihannya berubah. Sebagian lensa dapat menjadi miopik dan
sebagian lainnya menjadi hipermetropik. Warna lensa juga menguning akibat proses sklerosis
atau pengerasan lensa dan berkurangnya kejernihan lensa, keadaan ini kita sebut sebagai
katarak.8

Gambar 2.9 Anatomi Lensa Kristalin

2.3 Uveitis

2.3.1 Definisi dan Epidemiologi Uveitis

Uveitis adalah inflamasi primer pada tractus uvea yang disebabkan oleh beragam
penyebab. Insidens uveitis secara umum adalah 17/100.000, dengan prevalensi sebesar
34/100.000. Uveitis dapat muncul secara akut, akut-rekuren, atau kronik (inflamasi persisten
menetap lebih dari 3 bulan). Etiologi penyakit ini umumnya idiopatik, tetapi dapat terjadi
karena penyebab infeksi, trauma, iatrogenik (pasca bedah, efek penggunaan obat), dan mediasi
sistem imunologi (dengan atau tanpa penyakit sistemik).1

12
Berdasarkan aspek anatomi, uveitis terbagi menjadi:

1. Uveitis anterior: iritis, iridosiklitis


2. Uveitis intermediat
3. Uveitis posterior: koroiditis, korioretinitis, retinokoroiditis
4. Panuveitis: uveitis anterior dan posterior

Gambar 2.10. Klasifikasi anatomis uveitis

2.3.2 Klasifikasi Uveitis

2.3.2.1 Uveitis Anterior

Uveitis anterior adalah inflamasi yang terbatas pada iris (iritis), atau pada iris dan badan
siliar (iridosiklitis). Uveitis anterior merupan jenis uveitis paling umum dari seluruh kasus
uveitis (60%) dan merupakan jenis uveitis yang paling sering muncul secara akut. Penyebab
non-infeksi menduduki proporsi paling besar, sehingga uveitis anterior sering diasosiasikan
sebagai kejadian autoimun primer, yakni sekitar 40-60% kasus akut memiliki kaitan dengan
HLA-B27. Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh trauma seperti kontusio, perlukaan
intraokular, dan operasi, tetapi jarang disebabkan oleh obat-obatan dan lensa kontak.1

Manifestasi dari uveitis anterior antara lain, nyeri dengan onset mendadak dan mata
merah tanpa sekret (discharge), dengan atau tanpa penurunan tajam pengelihatan. Nyeri yang
dirasakan biasanya nyeri tumpul, dan nyeri bertambah jika diberikan tekanan pada kelopak
mata, dan dapat menjalar hingga pelipis. Manifestasi lain dapat berupa fotofobia.1

13
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan injeksi campuran (konjungtiva dan siliar), deposit
pada bagian belakang/endotel kornea (keratic precipitates), reakis inflamasi hebat pada bilik
mata depan (sel dan flare), serta miosis inflamatorik. Terkadang dapat ditemukan sinekia
posterior. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan hipopion. Tekanan intraokular seringkali
lebih rendah, hal ini disebabkan oleh penurunan akuos akibat inflamasi pada badan siliar.1

Gambar 2.11 injeksi silier dan hipopion pada uveitis anterior akut

Gambar 2.12 sinekia posterior

Gambar 2.13 keratic precipitates

14
Uveitis anterior kronik memiliki progresivitas lambat tanpa keluhan nyeri, sehingga
keluhan utama hanya berupa gangguan pengelihatan. Karena berjalan lambat, seringkali
diagnosis uveitis kronis terlambat ditegakkan, sehingga dapat terjadi komplikasi seperti
degenerasi kornea yang berbentuk pita (band keratopathy), katarak sekunder (subcapsular
posterior), dan glaukoma sekunder.1

Penegakkan diagnosis uveitis anterior perlu dilakukan anamnesis lengkap sebab uveitis
anterior seringkali merupakan manifestasi dari suatu penyakit sistemik (tabel 2.1).

Tabel 2.1 Penyakit sistemik yang disertai dengan uveitis anterior


Sendi Artritis idiopatik juvenil
Spondiloartopati seronegatif
Jaringan Ikat Sistemik lupus eritematosus (SLE)
Polikondritis berulang
Dermatomiositis
Vaskulitis Penyakit Behcet
Poliarteritis nodosa
Granulomatosis Wegner
Sindrom Cogan II
Infeksi/granulomatosa Sifilis
Tuberkulosis
Borreliosis
Lepra
Herpes simpleks
Sarkoidosis
Usus halus Kolitis ulseratif
Penyakit Crohn
Ginjal Sindroma tubulointestinal nefritis dan uveitis
(TINU)
Kulit Herpes zoster oftalmika

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperiksa kemungkinan-kemungkinan adanya komplikasi dari


uveitis anterior, seperti edema makula, katarak, glaukoma. Funduskopi pada uveitis anterior
perlu dilakukan untuk memastikan bahwa peradangan hanya pada anterior mata.1

15
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah radiologi toraks untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab tuberkulosis dan sarkoidosis. Pemeriksaan serologi
dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab sifilis dan borreliosis. Jika memungkinkan,
dapat dilakukan pemeriksaan HLA-27 dan antibodi antinuklear (ANA) untuk menyingkirkan
penyebab autoimun.1

Diagnosis banding dari uveitis anterior adalah ablasio retina lama, sindrom dispersi
pigmen, perdarahan intraokular, dan endoftalmitis.1

Tata laksana uveitis anterior dibedakan berdasarkan etiologinya. Pada penyebab


infeksi, dapat diberikan antivirus atau antibiotik. Sedangkan pada uveitis non-infeksi,
tatalaksana berupa simtomatik. Terapi lokal berupa sikloplegik dan kortikosteroid untuk
mencegah sinekia posterior serta mengurangi nyeri dengan mengistirahatkan badan siliaris.
Pemberian imunosupresan jarang diberikan pada uveitis anterior kronik dan uveitis anterior
berulang.1

2.3.2.2 Uveitis Intermediat

Uveitis intermediat adalah inflamasi intraokular dengan ciri khas berupa peradangan
badan vitreus, selubung pembuluh darah retina, dan atau infiltrasi badan siliar terutama bagian
pars plana. Etiologi uveitis anterior biasanya idiopati, tetapi penyebab yang diketahui adalah
boreliosis, sifilis, dan sarkoidosis. Kejadian uveitis intermediat terjadi pada 5-20% semua kasus
uveitis.2

Keluhan utama pada uveitis intermediet adalah penurunan tajam pengelihatan tanpa
rasa nyeri (pandangan kabur, floaters), seringkali tidak terlihat tanda-tanda inflamasi. Pada
corpus vitreus, dapat terlihat keruh yang disebabkan akumulasi sel-sel radang dan di bagian
perifer inferior vitreus dapat ditemukan akumulasi sel radang berwarna putih yang tampak
seperti kapas dan berbatas tegas (snowballs). Pada pars planitis, kelainan yang ditemukan dapat
berupa membran putih padat (snowbanks) pada pars plana. Selain itu, sering ditemukan
selubung (sheating) inflamasi pada pembuluh darah vena perifer. Uveitis intermediet dapat
menyebabkan komplikasi berupa edema makula, katarak sekunder, dan glaukoma sekunder.
Uveitis intermediat dapat menyebabkan kontraksi badan vitreus sehingga beresiko
menimbulkan perdarahan dan pembentukan robekan retina diikuti dengan ablasio retina.2

16
Gambar 2.14 (A) snowballs, (B) periflebitis dan snowballs, (C) snowballs dan snowbanking inferior

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan uveitis intermediat dapat dilakukan


pemeriksaan rontgent thorax dan serologi untuk menyingkirkan borreliosis, sifilis, dan
sarkoidosis. Pemeriksaan neurologis diperlukan pada pasien dengan gejala ensefalomielitis
diseminata. Diagnosis banding uveitis intermediat adalah endoftalmitis, masquerade syndrome
yang disebabkan limfoma intraokular ablasio retina lama.2

Tata laksana antibiotik diberikan pada uveitis dengan penyebab infeksi. Pada penyebab
uveitis intermediat idiopatik, biasanya visus baik, inflamasi ringan, dan tidak ada kompilkasi;
sehingga tata laksana yang dilakukan adalah observasi berkala tanpa terapi. Pada kasus dengan
aktivitas inflamasi sedang, dapat diberikan kortikosteroid parabulbar. Pada kasus lebih berat
dengan edema makula, membutuhkan terapi sistemik dengan kortikosteroid oral.2

2.3.2.3 Uveitis Posterior

Uveitis posterior didefinisikan sebagai inflamasi intraokular yang terjadi pada retina
dan/atau koroid. Penyebab uveitis posterior bersifat heterogen dan belum jelas. Akan tetapi,

17
diduga penyebab uveitis posterior adalah reaksi yang dimediasi sel T terhadap antigen uvea,
reaksi inflamasi langsung terhadap patogen yang sudah mengalami migrasi ke tractus uvea.
Penyebab infeksi pada uveitis posterior dapat disebabkan oleh tuberkulosis dan
toksoplasmosis. Sekitar 20% kasus uveitis posterior disebabkan oleh toksoplasmosis. Kondisi
autoimun seperti sindrom Cogan juga dapat menyebabkan uveitis posterior.1

Uveitis posterior ditandai dengan penurunan tajam pengelihatan, sehingga pasien


mengeluh pengelihatan kabur yang tidak disertai nyeri dan mata merah. Sel-sel radang dapat
tersebar secara difus pada seluruh rongga vitreus, tersebar pada fokus radang aktif, atau hanya
bagian posterior dari vitreus.1

Jika terdapat gambaran klinis khas toksoplasmosis, tidak diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut. Apabila tidak ada tanda khas, dapat dilakukan pemeriksaan radiologi thorax untuk
menyingkirkan diagnosis sarkoidosis/tuberkulosis, serologi untuk menyingkirkan diagnosis
borreliosis, sifilis, angiotensin-converting enzyme, dan toksokariasis pada anak. Pemeriksaan
lebih lanjut dibutuhkan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik. Diagnosis banding uveitis
posterior adalah masquarede syndrome (ablasio retina lama, limfoma intraokular), dan
endoftalmitis.1

Tatalaksana uveitis posterior bedasarkan etiologinya. Pada etiologi infeksi, diberikan


anti-infeksi. Pada kasus idiopatik atau autoimun, tatalaksana bersifat simtomatik, umumnya
dengan kortikosteroid oral. Agen imunosupresan diberikan pada pasien penyakit berat.
Tatalaksana aspirasi badan vitreus dilakukan jika kondisi pasien tidak membaik dengan terapi.1

2.3.2.4 Panuveitis

Panuveitis merupakan inflamasi yang terjadi pada seluruh bagian uvea (uveitis anterior
bersamaan dengan uveitis posterior). Panuveitis dapat disebabkan oleh infeksi, seperti pada
toksoplasmosis dan borreliosis; dapat disebabkan oleh autoimun seperti pada oftalmia
simpatetik; atau merupakan manifestasi dari autoimun sistemik seperti pada sindrom Behcet
dan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada). Penyebab lain dari panuveitis adalah sistemik lupus
eritematosus (SLE), poliarteritis nodosa, dan granulomatosis Wegner. Panuveitis memiliki
risiko tinggi untuk mengalami kebutaan akibat inflamasi berat pada orbita.1

Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) merupakan penyakit autoimun multisistem


yang ditandai dengan inflamasi pada jaringan yang mengandung melanosit, seperti uvea,
telinga, dan meningen. Pada perjalanan penyakit sindrom VKH, uveitis terjadi pada fase uveitis

18
akut, yakni setelah fase prodromal. Fase uveitis akut ditandai dengan uveitis anterior
granulomatous bilateral dan uveitis posterior multifocal dengan infiltrasi difus pada koroid.
Kelainan lain yang dapat ditemukan pada panuveitis sindrom VKH adalah nodul Dalen-Fuchs,
vitritis, papilitis, dan ablasio retina eksudatif. Pada fase konvalesen sindrom VKH, dapat
ditemukan gambaran sunset glow pada funduskopi, yakni depigmentasi fundus. Kriteria
diagnosis uveitis yang mengarah pada sindrom VKH, yakni: (1) tidak ada riwayat trauma pada
mata, (2) tidak ada riwayat sakit mata lainnya, (3) uveitis bilateral, (4) terdapat manifestasi
neurologis dan auditorik, (5) terdapat kelainan integumen yang tidak mendahului masalah pada
matanya, seperti alopecia, poliosis, vitiligo. 9

Gambar 2.15 Ablasio retina multifocal eksudatif pada fase uveitis akut pada sindrom VKH

Gambar 2.16 Gambaran ‘sunset glow’ pada funduskopi, merupakan tanda depigmentasi uvea pada
fase konvalesen sindrom VKH

19
Gambar 2.17 Gambaran radiologi mata pada sindrom VKH. (A) Pemeriksaan fundus autofluorescent
(FAF) menunjukkan ablasio retina multipel, (B) gambaran OCT, (C) gambaran FAF menunjukan
hiperfluorosen multipel yang menandakan leaking spots, (D) pooling of dye pada area ablasio pada
FA

Oftalmitis simpatetik merupakan panuveitis bilateral granulomatosa yang terjadi


setelah trauma tertusuk. Gambaran trauma yang terjadi dapat ditemukan prolaps uvea. Kondisi
ini dapat juga terjadi setelah operasi pada mata, terutama operasi yang melibatkan vitreoretinal.
Pada gambaran histopatologi dari oftalmitis simpatetik ditemukan infiltrasi limfosit difus pada
koroid, dapat ditemukan agregat sel-sel epiteloid yang mengandung melanin, dan dapat
ditemukan nodul Dalen-Fuchs, yakni granuloma yang berada di antara membrane Bruch dan
lapisan epitel berpigmen pada retina. Manifestasi klinis dari oftalmia simpatetik adalah adanya
riwayat trauma, mata yang sakit merah dan nyeri pada saat kondisi akut, terdapat keluhan
buram, fotofobia, dan penurunan tajam pengelihatan. Tanda uveitis anterior pada oftalmitis
simpatetik adalah adanya keratic precipitates. Pada pemeriksaan funduskopi, dapat ditemukan
infiltrasi pada koroid.9

20
Gambar 2.18. Gambaran histopatologi oftalmitis simpatetik. (A) infiltrasi limfosit dan agregasi sel-sel
epiteloid pada koroid. (B) nodul Dalen-Fuchs, granuloma yang terletak di antara membran Bruch dan
epitel berpigmen retina

Gambar 2.19. Manifestasi klinis pada oftalmitis simpatetik. (A) dapat ditemukan ulkus dan laserasi
kornea, keratic precipitates pada kornea, injeksi campuran, hifema pada COA, dan sinekia posterior,
(B) keratic precipitates, (C) infitrat multifokal pada koroid

Sindrom Behcet merupakan sindrom multisistem idiopatik yang ditandai dengan ulkus
aphthous oral berulang, ulserasi genital, dan uveitis. Vaskulitis merupakan perjalanan penyakit
inti pada sindrom Behcet. Inflamasi okular terjadi pada 70% penderita sindrom Behcet, dan
lebih berat pada pria. Manifestasi mata sindrom ini ditandai panuveitis onset akut
berulang/relaps dengan vaskulitis retinal. Panuveitis pada sindrom Behcet seringkali
mengalami resolusi tanpa terapi. Penyebab gangguan pengelihatan pada sindrom ini adalah
adanya masalah vascular retina, yakni vaskulitis dan oklusi pada retina. Beberapa tanda
panuveitis pada sindrom Behcet, yakni uveitis anterior akut, vitritis, retinitis, vaskulitis retina,
hiperemia dan edema diskus optik, dan neovaskularisasi pada disk dan retina.9

21
Gambar 2.20. Kelainan mata pada sindrom Behcet. (A) hipopion pada COA, (B) infiltrate pada retina,
(C) vaskulitis oklusif, (D) end-stage disease yang meliputi atrofi optik, atrofi retina dan gliosis, serta
pembuluh darah mengalami sheating, atenuasi, dan ghosting

Tata laksana panuveitis pada umumnya berupa pemberian kortikosteroid lokal dan
sistemik. Seringkali juga diperlukan imunosupresan seumur hidup karena tingkat
kekambuhannya yang tinggi. 1

2.3.3 Tata Laksana Uveitis

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, pemberian obat-


obatan pada uveitis bergantung pada penyebab uveitisnya. Pada penyebab infeksi,
diberikan tatalaksana antibiotik, antiviral, dan antijamur yang sesuai. Pada penyebab
autoimun dan idiopatik, perlu dilakukan pemberian kortiksteroid untuk mengatasi
inflamasi dan mencegah inflamasi yang lebih luas yang dapat menyebabkan kebutaan.
Secara umum, obat-obatan yang diberikan pada pasien uveitis adalah agen midriatik
dan sikloplegik, agen antiinflamasi steroid (dapat diberikan secara topikal, periocular,
intraokular, dan sistemik), dan agen immunomodulator.10

Agen midriatik dan sikloplegik berfungsi mencegah dan mengatasi


terbentuknya sinekia posterior, serta berfungsi meringankan fotofobia sekunder yang
disebabkan spasme badan siliaris. Semakin hebat proses inflamasi, semakin tinggi dosis
atau semakin sering pemberian agen sikloplegiknya.10 Obat midriatika bekerja pada

22
otot iris dan berfungsi melebarkan pupil. Obat-obatan midriatik antara lain, fenilefrin
hidroklorida (0.25-10%) dan epinefrin. Sedangkan, sikloplegia bekerja dengan
melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil serta mengakibatkan
paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi. Obat-batan sikloplegia antara
lain atropin (0.5%-2%), homatropin (2-5%), tropikamida (0.5-1%), dan siklopentolat
(0.5-1%).11

Obat anti-inflamasi steroid merupakan obat utama dalam terapi uveitis karena
efek anti-inflamasi yang potensial. Penggunaan anti-inflamasi kortikosteroid memiliki
beberapa indikasi spesifik, yakni mengobati inflamasi aktif pada mata, mengatasi atau
mencegah komplikasi uveitis, mengurangi infiltrasi sel-sel radang ke retina, koroid, dan
saraf optik. Penggunaan obat kortikosteroid memiliki beberapa efek samping, salah
satunya glaukoma, sehingga terapi kortiksteroid diberikan jika manfaatnya lebih besar
daripada efek sampingnya. Selain itu, pemberian kortikosteroid tidak diindikasikan
pada pasien uveitis kronik atau berulang atau pada pasien yang sedang menjalani terapi
spesifik seperti iridosiklitis heterokromik Fuchs, pars planitis tanpa edema makula, atau
pada uveitis toxoplasmosis. Penetapan dosis dan durasi pengobatan kortikosteroid
harus disesuaikan untuk tiap pasien. Secara umum, pengobatan kortikosteroid dimulai
dari dosis besar terlebih dahulu dan secara bertahan dosis diturunkan (tapering off)
seiring dengan membaiknya inflamasi. Dosis kortikosteroid dipertahankan pada dosis
minimal yang efektif mengatasi inflamasi. Penurunan dosis kortikosteroid harus
dilakukan secara bertahap (dalam jarak hari atau minggu) dan tidak disarankan
penghentian secara tiba-tiba jika penggunaan lebih dari 2-3 minggu untuk menghindari
relaps.10

23
Tabel 2.2 Kortikosteroid yang lazim diberikan sebagai terapi uveitis dan efek
sampingnya

Administrasi Relative Anti- Komplikasi / Efek samping


Inflammatory
Activity
Topikal Katarak (posterior subcapsular),
Prednisolone asetat 1% 2.3 peningkatan TIO / glaukoma,
Prednisolone sodium fosfat 2.3 eksaserbasi infeksi eksternal (mis.
1% keratitis), penipisan sklera dan
Fluorometholone 0.1% 21 kornea, dan penyembuhan luka yang
Dexametason fosfat 0.1% 24 semakin lama
Rimexolon 1%
Loteprednol etabonate
0.5% atau 0.2%
Difluprednate 0.05%
Periokular Komplikasi sama seperti pada
Metilprednisolon asetat 5.0 pemberian topikal dan disertai dengan
long-acting ptosis, scarring pada konjungtiva,
Triamsinolon asetonid 5.0 uveitis infeksi dapat memberat,
Triamsinolon diasetat 5.0 perforasi sklera, dan perdarahan
Hidrokortison sodium 1.0
suksinat
Betametason 25
Intraocular Komplikasi sama dengan administrasi
Triamsinolon 4 mg/0.1 mL 5.0 topikal diatas dan dapat disertai
endoftalmitis (steril atau infeksi),
perdarahan vitreus, dan ablasio retina.
Komplikasi sama dengan administrasi
Sistemik topikal diatas dengan dapat disertai:
Prednison 4.0 ulkus peptikum, kenaikan berat
Triamsinolon 5.0 badan, peningkatan nafsu makan,
Deksametason 25 retensi cairan, osteoporosis,

24
Metilprednisolon 5.0 hipertensi, diabetes mellitus,
ketidakteraturan siklus menstruasi,
eksaserbasi dari penyakit infeksi
sistemik, gangguan penyembuhan
luka, timbul jerawat, dsb.

Pemberian imunomodulator secara umum diindikasikan pada pasien yang memiliki


uveitis berat yang mengancam pengelihatan atau pada pasien yang tidak berespon pada terapi
atau tidak dapat menoleransi kortikosteroid. Agen-agen imunomodulator bekerja dengan cara
mengeleminasi limfosit yang menyebabkan respons inflamasi yang berlebih pada uveitis.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pemberian imunomudulator, yakni
ketiadaan infeksi penyebab uveitis, tidak ada kontraindikasi hepatik dan hematologik,
monitoring yang teliti oleh dokter yang memiliki kualifikasi yang baik dalam pemberian
imunomodulator, evaluasi longitudinal pemberian terapi yang objektif, dan informed consent
pada pasien. Imunomodulator terdri dari beberapa jenis, yakni antimetabolit, inhibitor Sel T,
agen alkilasi, dan pemodifikasi respons biologis.10

2.4 Katarak

Katarak didefinisikan sebagai kekeruhan lensa akibat sebab apapun. Kekeruhan


tersebut menyebabkan munculnya gejala penurunan pengelihatan, yakni berupa penurunan
sensitivitas kontras serta tajam pengelihatan. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan
katarak, tetapi proses penuaan merupakan penyebab utama. Akan tetapi, katarak dapat
terbentuk sebelum usia lanjut. Terdapat beberapa faktor resiko terbentuknya katarak sebelum
usia lanjut, yakni diabetes, radang mata, trauma mata, riwayat keluarga dengan katarak,
pemakaian steroid lama, merokok, riwayat operasi mata sebelumnya, terpajan sinar
ultraviolet.4,12

Berdasarkan usia, katarak diklasifikasikan menjadi katarak kongenital, katarak juvenil,


dan katarak senilis. Katarak kongenital adalah katarak yang terbentuk sebelum atau segera
setelah lahir pada bayi usia kurang dari satu tahun. Katarak juvenil merupakan katarak yang
terjadi pada individu setelah usia satu tahun. Katarak senilis adalah katarak yang terjadi pada
individu di atas usia 50 tahun.12 Pada laporan kasus besar ini, penulis akan berfokus pada
katarak senilis.

25
2.4.1 Katarak Senilis

Penyebab pasti dari katarak senilis tidak diketahui. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan terbentuknya katarak senilis, yakni teori putaran biologik, teori radikal bebas, dan
teori persilangan asam nukleat. Pada teori putaran biologic dijelaskan bahwa jaringan
embriologik manusia hanya dapat membelah sebanyak 50 kali dan kemudia mati. Teori radikal
bebas menjelaskan bahwa degenerasi jaringan terjadi akibat reaksi radikal bebas dengan sel.
Teori persilangan asam nukleat menjelaskan degenerasi protein pada lensa dapat disebabkan
oleh pengikatan bersilang asam nukleat. Pada usia lanjut, terdapat perubahan struktur dan
fungsi lensa, yakni:12

1. Perubahan kapsul
a. Kapsul menebal dan kurang elastis
b. Terdapat presbyopia
c. Bentuk lamel kapsul berkurang atau kabur
d. Terlihat bahan granular
2. Epitel
a. Penipisan epitel
b. Sel epitel germinatif pada ekuator bertambah besar dan berat
c. Pembengkakan dan vakuolisasi mitkondria
3. Serat lensa
a. Serat lensa lebih ireguler
b. Dapat terlihat jelas kerusakan serat sel pada korteks
c. Terdapat brown sclerotic nucleus, sinar ultraviolet mengubah susunan protein
nukleus lensa, sehingga lensa mengeruh.

Katarak senilis terdiri dari empat stadium, yakni stadium insipient, stadium imatur, stadium
matur, dan stadium hipermatur (tabel 2.3).

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah (air Normal Berkurang (air
masuk) + masa lensa
berkurang)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans

26
Bilik mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik mata Normal + Normal Terbuka
Shadow test - positif Negative Pseudopositif

2.4.2 Katarak Komplikata

Selain karena proses penuaan, katarak dapat disebabkan oleh adanya penyakit mata
sebelumnya yang mendasari terbentuknya katarak. Katarak yang terbentuk akibat proses ini
disebut katarak komplikata. Penyakit mata yang dapat menyebabkan katarak komplikata
adalah radang dan degenerasi seperti ablasi retina, retinitis pigmentosa, glaukoma, tumor
intraokular, iskemia okular, nekrosis segmen anterior, buftalmos, trauma, dan pasca
pembedahan. Katarak komplikata dapat disebabkan oleh penyakit sistemik endokrin seperti
diabetes mellitus, hipoparatiroid, galaktosemia dan myotonia distrofi; dapat pula disebabkan
oleh pemberian obat-obatan seperti tiotipa intravena, steroid lokal lama, steroid sistemik,
kontrasepsi oral, dan miotika antikolinesterase.12

Katarak komplikata ditandai dengan proses mulainya katarak dari daerah bawah kapsul
atau pada lapis korteks, kekeruhan dapat difus, pungtata maupun linear. Terdapat dua bentuk
katarak komplikata, yakni bentuk yang disebabkan kelainan pada polus posterior mata dan
kelainan pada polus posterior bola mata. Katarak pada polus posterior disebabkan akibat
penyakit koroiditis, retinitis pigmentosa, ablasi retina, kontusio retina, dan myopia tinggi.
Kelainan ini berjalan secara aksial yang tidak berjalan cepat di nukleus sehingga seringkali
nukleus lensa teteap jernih. Katarak akibat kelainan polus anterior disebabkan oleh kelainan
kornea berat, iridosiklitis, kelainan neoplasma, dan glaukoma.12

Perjalanan penyakit katarak komplikata yakni dimulai pada daerah korteks atau di
bawah kapsul yang menuju di daerah korteks atau di bawah kapsul yang menuju ke daerah
sentral.12

2.4.3 Katarak Diabetik

Katarak diabetik merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes
melitus. Terbentuknya katarak diabetik adalah tingginya kadar glukosa pada plasma
menyebabkan lebih banyak glukosa pada aqueous humor berdifusi ke lensa, sehingga terjadi
overhidrasi lensa dan kemudian menyebabkan opasifikasi lensa.13

27
2.4.4 Tatalaksana Katarak

Pengobatan definitif katarak untuk memperbaiki fungsi pengelihatan dan saat ini masih
menjadi satu-satunya pilihan adalah operasi katarak. Prinsip dari operasi katarak adalah
mengeluarkan lensa yang keruh dan menggantinya dengan lensa implant/lensa tanam
intraokular atau intraocular lens (IOL). Teknik operasi katarak antara lain adalah, ekstraksi
katarak ekstra kapsular (EKEK), fakoemulsifikasi, ekstraksi katarak intracapsular (EKIK).4,12

2.4.4.1 Ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK)

EKEK merupakan tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan


pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa
lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut, kemudian dikeluarkan melalui
insisi 9-10 mm, lensa intraokular diletakkan pada kapsul posterior. Indikasi EKEK adalah
pasien dengan katarak imatur, kelainan endotel, keratoplasti, implantasi lensa intraokuler
posterior, implantasi sekunder lensa intraokular, kemungkinan dilakukan bedah glaukoma,
predisposisi prolaps vitreous, riwayat ablasio retina sebelumnya, dan sitoid macular edema.12

2.4.4.2 Fakoemulsifikasi

Metode operasi katarak ini adalah dengan menggunakan vibrator ultrasonic untuk
menghancurkan nukleus yang kemudian diaspirasi melalui insisi 2,5-3 mm, dan kemudian
dimasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat. Keuntungan tindakan ini adalah pemulihan
visus yang lebih cepat, resiko astigmat akibat operasi yang lebih minimal, dan inflamasi pasca
bedah yang minimal.12

2.4.4.3 Ekstraksi katarak intracapsular (EKIK)

Pada EKIK pembedahan dilakukan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersamaan


dengan kapsul. Operasi ini dapat dilakukan pada zonula Zinn yang telah rapuh atau
berdegenerasi dan mudah putus. Kontraindikasi metode ini adalah pasien berusia kurang dari
40 tahun yang masih memiliki ligament hialodea kapsular. Komplikasi yang dapat terjadi pada
EKIK adalah astigmat, glaukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.12

28
BAB III

ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. F
Usia : 58 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Pesanggrahan, Jakarta Selatan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu rumah tangga

3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di poliklinik mata RSUP Fatmawati pada
tanggal 14 April 2022.

Keluhan Utama
Buram kedua mata sejak tiga tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik mata RSUP Fatmawati untuk kontrol USG pada kedua mata
pasien. Tiga tahun yang lalu pasien mengeluh mata merah mendadak yang disertai
dengan nyeri, sekret bening, dan padangan buram dan terdapat bayangan hitam pada
mata kiri. Keluhan pada mata kiri pasien tiga tahun yang lalu juga disertai sakit kepala
berat. Keluhan pandangan buram pada kedua mata dirasakan tidak lama setelah keluhan
mata merah pada mata kiri. Keluhan tidak disertai dengan mual dan muntah. Saat ini
nyeri pada mata pasien tidak ada. Saat ini, keluhan pasien berupa pandangan buram.
Tidak ada keluhan mata merah pada mata kanan, keluhan mata kanan sejak 3 tahun
yang lalu hanya pandangan buram.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit hipertensi tidak diketahui

29
Pasien memiliki penyakit diabetes mellitus tipe II, pasien lupa kapan terdiagnosis DM
pertama kali. Pasien rutin meminum metformin dan glibenklamid untuk diabetesnya.
Riwayat trauma pada mata atau daerah kepala tidak ada.
Riwayat penggunaan lensa kontak dan kacamata sebelumnya tidak ada. Pasien
menggunakan kacamata sejak satu tahun yang lalu untuk keluhan pandangan
buramnya.
Riwayat sakit mata sebelumnya tidak ada.
Riwayat operasi pada mata tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada penyakit mata dan keluhan serupa pada keluarga pasien.
Ayah pasien menderita diabetes mellitus.

Riwayat Sosial
Pasien tidak memiliki riwayat merokok, suami pasien perokok.
Pasien tidak mengonsumsi alkohol.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga sambil terkadang melakukan usaha catering.
Pasien mengaku tidak banyak keluar rumah.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda Vital
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 125/80 mmHg
Frekuensi nadi : 82x/menit
Frekuensi napas : 18x/menit
Suhu : tidak diperiksa
Berat badan : tidak diperiksa
Tinggi badan : tidak diperiksa
IMT : tidak diperiksa
Status Generalis
Kepala : normosefal
THT : nafas cuping hidung (-)
Leher : tidak dilakukan
30
Jantung : tidak dilakukan
Paru : tidak dilakukan
Abdomen : tidak dilakukan
Ekstremitas : tidak dilakukan

Status Oftamologikus

a) Pemeriksaan kamar terang

OD OS
Posisi bola mata ortoforia Ortoforia
Eksoftalmus - -
Endoftalmus - -
Pergerakan bola mata

Palpebra Superior

OD OS
Edema - -
Spasme - -
Hiperemis - -
Benjolan - -
Ulkus - -
Fistel - -
Hordeolum - -
Kalazion - -

Kelenjar lakrimalis

OD OS
Edema - -
Hiperemis - -
Benjolan - -

31
Fistel - -
Nyeri - -
Air mata - -

Konjungtiva tarsal

OD OS
Anemis - -
Folikel - -
Papil - -

Konjungtiva Bulbi

OD OS
Kemosis - -
Pterigium - -
Pinguekula - -
Flikten - -
Sekret - -
Injeksi Konjungtiva - -
Injeksi Silier - -

b) Pemeriksaan Kamar Gelap

Kornea

OD OS
Kejernihan Tampak keratic prescipitate Tampak keratic prescipitate
Edema - -
Ulkus - -
Sikatrik - -
Arkus senilis + +
Tes fluorescein Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Scheidel

32
Tekanan Intra Okular

OD OS
Tonometri Schiotz Tidak terbaca Tidak terbaca
Non-contact Tonometry 13.0 13.0

Kamera Okuli Anterior

OD OS
Kedalaman Dalam Dalam
Hipopion - -
Hifema - -

Iris dan Pupil

OD OS
Bentuk Iregular Iregular
Diameter pupil ± 1 mm ± 1 mm
RCL/RCTL -/- -/-
Sinekia anterior - -
Sinekia posterior + +
Iris bombe - -
Iris termulans - -
Iridodialisis - -

Lensa

OD OS
Kejernihan Keruh Keruh
Shadow test + +
Refleks kaca - -
Luksasi - -
Subluksasi - -

33
Korpus Vitreus

OD OS
Kejernihan Sedikit keruh Sediki keruh
Perdarahan - -

Funduskopi

OD OS
Refleks fundus berkurang Berkurang
Bentuk papil Sulit dinilai Sulit dinilai
C/D ratio Sulit dinilai Sulit dinilai
Aa/Vv Sulit dinilai Sulit dinilai
Retina Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Refleks macula Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai

Tes Konfrontasi

OD OS
Tidak diperiksa Tidak diperiksa

3.4 Pemeriksaan penunjang


Pada tanggal 7 April 2022, dilakukan pemeriksaan USG pada kedua mata pasien
yang didapatkan terdapat sel radang pada korpus vitreus.
3.5 Resume
Pasien wanita, 58 tahun, datang dengan keluhan kedua mata buram sejak tiga
tahun yang lalu. Tiga tahun yang lalu pasien datang ke RSUP Fatmawati dengan
keluhan mata merah mendadak pada mata kiri. Keluhan mata merah disertai dengan
keluhan pandangan buram mendadak, terlihat bayangan hitam, dan sakit kepala berat.
Keluhan pandangan buram pada mata sebelah kanan dirasakan tidak lama setelah
keluhan pada mata kiri. Tidak ada keluhan mata merah pada mata kanan dan tidak ada
keluhan mual dan muntah. Saat ini pasien sedang pengobatan diabetes mellitus tipe 2
dengan metformin dan glibenklamid; serta menggunakan kacamata untuk keluhan
buramnya. Riwayat trauma daerah mata dan kepala, penyakit mata sebelumnya, dan

34
operasi mata disangkal. Riwayat penggunaan lensa kontak disangkal. Riwayat
hipertensi dan autoimun disangkal.

Hasil pemeriksaan oftamologis didapatkan:

OD Pemeriksaan OS
6/60 adisi +3.00 D SPH Visus 6/24 adisi +3.00 D SPH
-0.25 → 6/12 -0.50 → 6/12
13.0 mmHg TIO 13.0 mmHg
Ortoforia Posisi bola mata Ortoforia
Baik ke segala arah Pergerakan bola mata Baik ke segala arah
Tenang Palpebra Tenang
Tenang Konjungtiva bulbi Tenang
Tarsal Konjungtiva tarsal Tenang
Tampak keratic prescipitate Kornea Tampak keratic prescipitate
Arkus senilis + Arkus senilis +
Dalam COA Dalam
Cokelat Iris Cokelat
Sinekia Posterior + Sinekia posterior +
Bentuk ireguler, ukuran 4 Pupil Bentuk ireguler, ukuran 2
mm, RCL - /RCTL - mm, RCL- /RCTL -
keruh Lensa keruh
keruh Cairan vitreus keruh
Sulit dinilai Funduskopi Sulit dinilai

3.6 Diagnosis
Diagnosis Kerja
ODS: Panuveitis idiopatik dengan katarak imatur okuli dekstra sinistra

3.7 Tata Laksana


Medikamentosa
ODS
- Obat antiinflamasi golongan kortiksteroid metilprednisolon tab 8 mg 1x8 tab
untuk mengatasi inflamasi

35
- Obat tetes vitrolenta pada kedua mata untuk mengatasi kekeruhan vitreus
- Obat tetes sikloplegia atropin pada kedua mata

Non-medikamentosa:

- Rujuk ke dokter spesialis mata untuk evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut: operasi
katarak, vitrektomi
- Edukasi pasien dan keluarga mengenai kondisi mata pasien

3.8 Prognosis
Ad vitam : Bonam (ODS)
Ad functionam : dubia ad malam (ODS)
Ad sanationam : dubia ad malam (ODS)

36
BAB IV
DISKUSI KASUS

Traktus uvealis adalah kompartemen vaskular utama pada mata yang terdiri dari tiga
bagian: iris, badan siliar (terletak di uvea anterior), dan koroid (terletak di uvea posterior).
Uveitis adalah inflamasi primer pada tractus uvea yang disebabkan oleh beragam penyebab.
Uveitis dapat muncul secara akut, akut-rekuren, atau kronik (inflamasi persisten menetap lebih
dari 3 bulan). Etiologi penyakit ini umumnya idiopatik, tetapi dapat terjadi karena penyebab
infeksi, trauma, iatrogenik (pasca bedah, efek penggunaan obat), dan mediasi sistem imunologi
(dengan atau tanpa penyakit sistemik). Berdasarkan aspek anatomi, uveitis terbagi menjadi:
uveitis anterior (iritis, iridosiklitis), uveitis intermediat, uveitis posterior (koroiditis,
korioretinitis, retinokoroiditis), dan panuveitis (uveitis anterior dan posterior).

Pada pasien, kedua mata terdapat keratic precipitates, sinekia posterior, kekeruhan
badan vitreus, serta funduskopi tidak dapat dinilai. Keratic precipitates menandakan adanya
infiltrasi sel-sel radang pada permukaan kornea. Sinekia posterior menandakan adanya
perlekatan iris ke lensa yang disebabkan inflamasi pada jaringan iris. Pada dua temuan ini,
pasien dapat didiagnosis uveitis anterior. Pada lensa di kedua mata pasien, terdapat kekeruhan
dan iris shadow test positif pada kedua mata, temuan ini menandakan bahwa terdapat katarak
imatur pada kedua mata pasien. Kemudian, kekeruhan badan vitreus disebabkan oleh adanya
infiltrasi sel radang pada badan vitreus yang dapat diduga sel-sel radang juga meng-inflamasi
struktur retina dan koroid. Selain itu, satu minggu sebelumnya, pasien dilakukan USG mata,
didapatkan interpretasi adanya sel-sel radang pada korpus vitreus, sehingga pasien juga dapat
didiagnosis uveitis posterior. Dengan demikian, diagnosis yang ditegakkan pada pasien adalah
panuveitis dengan katarak imatur okular dekstra dan sinistra. Keluhan buram pada pasien
disebabkan oleh kekeruhan kornea karena adanya keratic precipitates, kekeruhan pada lensa,
kondisi sinekia posterior, dan kekeruhan pada badan vitreus.

Penyebab panuveitis yang dialami pasien merupakan idiopati, sebab tidak ada riwayat
trauma dan operasi pada mata, tidak diketahui penyakit infeksi sistemik yang mungkin pernah
dialami, tidak ditemukan tanda-tanda infeksi pada mata, dan tidak diketahui penyakit autoimun
atau kelainan imunitas yang dialami pasien. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah
lengkap, uji serologi, dan radiologi dapat diajukan untuk mencari etiologi panuveitis pada
pasien. Kondisi katarak pasien dapat terjadi karena penuaan (usia di atas 50 tahun), komplikasi
diabetes mellitus yang diderita pasien, dan kompilkasi dari panuveitis pasien.

37
Tata laksana yang diberikan pada pasien berupa antiinflamasi golongan kortikosteroid
yang berfungsi meredakan proses peradangan dan mencegah inflamasi lebih luas. Obat-obatan
untuk mengatasi kekeruhan badan vitreus diberikan, yakni kalium iodida dan natrium iodida
yang terkandung dalam vitrolenta. Selain itu, diperlukan pemberian sikloplegia atropine untuk
mencegah sinekia dan glaukoma. Tatalaksana pembedahan dapat diberikan pada pasien untuk
mengatasi kataraknya, yakni dengan operasi katarak dan untuk mengatasi kekeruhan lensa,
yakni dengan vitrektomi.

Kekambuhan panuveitis tergolong tinggi, sehingga pasien dapat perlu mengonsumsi


kortikosteroid dalam jangka waktu yang panjang. Penggunaan kortikosteroid baik topikal
ataupun oral dapat memberikan efek samping pada pasien, sehingga perlu dilakukan kontrol
secara berkala untuk memantau penyakit panuveitisnya dan efek samping kortikosteroid.

38
BAB V

KESIMPULAN

Pasien perempuan, 58 tahun, datang ke poliklinik mata RSUP Fatmawati untuk kontrol
USG mata yang dilakukan seminggu sebelumnya atas keluhan pengelihatan buram sejak tiga
tahun yang lalu.

Berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologis didapatkan diagnosis


panuveitis idiopatik dengan katarak imatur okular dekstra sinistra.

Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah pemberian antiinflamasi kortikosteroid


oral, obat untuk mengatasi kekeruhan retina, dan obat untuk mengatasi dan mencegah
glaukoma akibat sinekia posterior, serta dirujuk ke dokter spesialis mata untuk evaluasi dan
tatalaksana lebih lanjut.

Prognosis kedua mata pasien ad vitam bonam, ad functionam dubia ad malam, ad


sanationam dubia ad malam.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Edwar L. Uveitis. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku
Ajar Oftalmologi. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017. p. 162–7.

2. Tsirouki T, Dastiridou A, Symeonidis C, Tounakaki O, Brazitikou I, Kalogeropoulos


C, et al. A Focus on Epidemiology of Uveitis. Ocul Immunol Inflam [Internet].
2018;26(1):2–16. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27467180/

3. Suhardjo, Sasongko MB. Bab 3 - Uveitis. In: Suhardjo, Hartono, Hernowo AT,
Sasongko MB, editors. Ilmu Penyakit Mata. 1st ed. Yogyakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2007. p. 83–101.

4. Widyawati S. Katarak. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors.
Ilmu Penyakit Mata. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Gangguan Pengelihatan.


Jakarta; 2018.

6. Edwar L. Uvea. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Buku Ajar
Oftalmologi. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017. p. 22–30.

7. Ilyas S, Yulianti SR. Anatomi dan Fisiologi Mata. In: Ilyas S, Yulianti SR, editors.
Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2014. p. 7–8.

8. Widyawati S, Martha F. Lensa. In: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP,
editors. Ilmu Penyakit Mata. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2017. p. 35–56.

9. Bowling B. Uveitis. In: Bowling B, editor. Kanski’s Clinical Ophtalmology. 8th ed.
New South Wales: Elsevier; 2016. p. 395–465.

10. American Academy of Ophtalmology. Clinical Approach to Uveitis. In: American


Academy of Ophtalmology, editor. Intraocular Inflammation and Uveitis. San
Fransisco: Lifelong Education for The Ophtalmologist; p. 75–116.

40
11. Ilyas S, Yulianti SR. Obat-Obat dalam Ilmu Penyakit Mata. In: Ilyas S, Yulianti SR,
editors. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2018. p. 298–310.

12. Ilyas S, Yulianti SR. Katarak. In: Ilyas S, Yulianti SR, editors. Ilmu Penyakit Mata.
5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. p.
210–21.

13. Mahmood A. Cataract: Pathogenesis and Clinical Findings [Internet]. Calgary Guide.
2016 [cited 2022 Apr 25]. p. 1. Available from:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/cataract-pathogenesis-and-clinical-findings/

41

Anda mungkin juga menyukai