Anda di halaman 1dari 37

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling bersinergi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang berperan penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah suatu lapisan vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera disebut uvea (Ilyas, 2005; Vaughan et all, 2000). Penyakit peradangan pada traktus uvealis umumnya unilateral. Di dunia, rata-rata insiden penyakit ini sekitar 15 dari 100.000 jiwa. Sekitar 75% merupakan uveitis anterior.Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik terkait. Di Amerika Serikat, uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor tiga setelah Retinopati Diabetik dan Degenerasi Macular.Biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan (20-50 tahun). Uveitis jarang terjadi pada anak dibawah umur 16 tahun, hanya sekitar 5% sampai 8% dari jumlah total. Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. Sehingga kadang gejala yang dikeluhkan pasien mirip dengan penyakit mata yang lain. Adapun gejala yang sering dikeluhkan pasien uveitis secara umum yaitu mata merah (hiperemis konjungtiva), mata nyeri, fotofobia, pandangan mata menurun dan kabur, dan epifora (Ilyas, 2005; Jusuf, 2003; Vaughan et all, 2000). Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk

diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang cost-efective dapat terlaksana (Farooqui, Foster, dan Sheppard, 2008). 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan traktus uvea? 1.3 Tujuan Mengidentifikasi asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan traktus uvea. 1.4 Manfaat Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan tindakan dalam asuhan keperawatan pada gangguan traktus uvea.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Uvea Mata sebagai organ penglihatan manusia, tersusun atas elemen-elemen yang memiliki struktur yang berbeda-beda. Struktur yang dimiliki oleh masing-masing elemen menunjang fungsi dari elemen tersebut dalam fisiologis penglihatan manusia. Salah satu elemen mata manusia adalah uvea yaitu suatu lapisan vaskular tengah mata yang membungkus bola mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.

Gambar 1. Anatomi bola mata Uvea terdiri atas 3 unsur yaitu iris, badan siliar, dan koroid (Ilyas, 2005; Vaughan et all, 2000). Bagian ini adalah lapisan vascular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini juga ikut mensuplai darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut juga uvea anterior, sedangkan koroid disebut uvea posterior. a. Iris (Iris, pelangi) Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan diafragma yang membagi bola mata menjadi 2 segmen, yaitu segmen anterior dan segmen posterior, di tengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris membagi bilik mata depan (camera oculi anterior) dan bilik mata posterior (camera oculi posterior). Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola mata.

Iris disusun oleh jaringan ikat longgar yang mengandung pigmen dan kaya akan pembuluh darah. Permukaan depan iris yang menghadap bilik mata depan (kamera okuli anterior) berbentuk tidak teratur dengan lapisan pigmen yang tak lengkap dan sel-sel fibroblas. Permukaan posterior iris tampak halus dan ditutupi oleh lanjutan 2 lapisan epitel yang menutupi permukaan korpus siliaris. Permukaan yang menghadap ke arah lensa mengandung banyak sel-sel pigmen yang akan mencegah cahaya melintas melewati iris. Dengan demikian iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata dan cahaya akan terfokus masuk melalui pupil (Jusuf, 2003; Vaughan et all, 2000). Secara histologis iris terdiri dari stroma yang jarang diantaranya terdapat lekukanlekukan dipermukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripa. Di dalam stroma terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan saraf. Di permukaan anterior ditutup oleh endotel terkecuali pada kripta, dimana pembuluh darah dalam stroma, dapat berhubungan langsung dengan cairan di camera oculi anterior, yang memungkinkan percepatan terjadinya pengaliran nutrisi ke camera oculi anterior dan sebaliknya. Di bagian posterior dilapisi dengan 2 lapisan epitel, yang merupakan lanjutan dari epitel pigmen retina, warna iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma yang banyaknya dapat berubah-ubah, sedangkan epitel pigmen jumlahnya tetap. Pada iris terdapat 2 jenis otot polos yaitu otot dilatator pupil (M. Dilatator pupillae) dan otot sfingter/konstriktor pupil (M.Sphincter pupillae). Kedua otot ini akan mengubah diameter pupil. Otot dilatator pupil yang dipersarafi oleh persarafan simpatis akan melebarkan pupil, sementara otot sfingter pupil yang dipersarafi oleh persarafan parasimpatis (N. III) akan memperkecil diameter pupil (Guyton, 1997;Vaughan et all, 2000). Pasokan darah ke iris adalah dari circulus major iris, kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang. Persarafan iris adalah melalui serat-serat didalam nervi siliaris. Jumlah sel-sel melanosit yang terdapat pada epitel dan stroma iris akan mempengaruhi warna mata. Bila jumlah melanosit banyak mata tampak hitam, sebaliknya bila melanosit sedikit mata tampak berwarna biru (Jusuf, 2003). b. Badan Siliaris (Korpus siliaris) Korpus siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol ke dalam mata terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan perluasan lapisan

khoroid ke arah depan. Korpus siliar disusun oleh jaringan penyambung jarang yang mengandung serat-serat elastin, pembuluh darah dan melanosit. Badan Siliar (Corpus Ciliaris) berbentuk segitiga, terdiri dari 2 bagian yaitu: pars korona, yang anterior bergerigi panjangnya kira-kira 2 mm dan pars plana, yang posterior tidak bergerigi panjangnya kira-kira 4 mm. Badan siliaris berfungsi sebagai pembentuk humor aquous. Badan siliar merupakan bagian terlemah dari mata. Trauma, peradangan, neoplasma di daerah ini merupakan keadaan yang gawat. Pada bagian pars korona diliputi oleh 2 lapisan epitel sebagai kelanjutan dari epitel iris. Bagian yang menonjol seperti jari (processus ciliaris) berwarna putih oleh karena tidak mengandung pigmen, sedangkan di lekukannya berwarna hitam, karena mengandung pigmen. Di dalam badan siliaris terdapat 3 macam otot silier yang berjalan radier, sirkuler dan longitudinal. Dari processus siliar muncul benang-benang fibrillin yang akan berinsersi pada kapsula lensa yang dikenal sebagai zonula zinii yang merupakan penggantung lensa (Jusuf, 2003). Fungsi otot siliar untuk akomodasi. kontraksi atau relaksasi otot-otot ini mengakibatkan kontraksi dan relaksasi dari kapsula lentis, sehingga lensa menjadi lebih atau kurang cembung yang berguna pada penglihatan dekat atau jauh. Badan siliar banyak mengandung pembuluh darah dimana pembuluh darah baliknya mengalirkan darah ke V.vortikosa. Pada bagian pars plana, terdiri dari satu lapisan tipis jaringan otot dengan pembuluh darah diliputi epitel. Korpus siliaris dilapisi oleh 2 lapis epitel kuboid. Lapisan luar kaya akan pigmen dan merupakan lanjutan lapisan epitel pigmen retina. Lapisan dalam yang tidak berpigmen merupakan lanjutan lapisan reseptor retina, tetapi tidak sensitif terhadap cahaya. Sel-sel di lapisan ini akan berfungsi sebagai pembentuk humor aqueaeus (mengeluarkan cairan filtrasi plasma yang rendah protein ke dalam bilik mata belakang (kamera okuli posterior)) (Vaughan et all, 2000). Humor aqueaeus mengalir dari bilik mata belakang (kamera okuli posterior) ke bilik mata depan (kamera okuli anterior) melewati celah pupil (celah di antara iris dan lensa), lalu masuk ke dalam jaringan trabekula di dekat limbus dan akhirnya masuk ke dalam kanal Schlemm. Dari kanal Schlemm humor aqueaeus masuk ke pleksus sklera dan akhirnya bermuara ke sistem vena (Vaughan et all, 2000).

Korpus siliar mengandung 3 berkas otot polos yang dikenal sebagai muskulus siliaris. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudina, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkulaer adalah untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di antara processus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk obyek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang Serat-serat longitudinal muskulus siliaris menyisip ke dalam anyaman-anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar poriporinya (Guyton dan Hall, 1997; Vaughan et all, 2000). c. Khoroid (choroid) Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Khoroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-sel pigmen sehingga tampak berwarna hitam. Lapisan ini tersusun dari jaringan penyambung jarang yang mengandung serat-serat kolagen dan elastin, sel-sel fibroblas, pembuluh darah dan melanosit. Khoroid terdiri atas 4 lapisan yaitu (Vaughan et all, 2000): 1. Epikhoroid merupakan lapisan khoroid terluar tersusun dari serat-serat kolagen dan elastin. 2. Lapisan pembuluh merupakan lapisan yang paling tebal tersusun dari pembuluh darah dan melanosit. 3. Lapisan koriokapiler, merupakan lapisan yang terdiri atas pleksus kapiler, jaringjaring halus serat elastin dan kolagen, fibroblas dan melanosit. Kapiler-kapiler ini berasal dari arteri khoroidalis. Pleksus ini mensuplai nutrisi untuk bagian luar retina. 4. Lamina elastika, merupakan lapisan khoroid yang berbatasan dengan epitel pigmen retina. Lapisan ini tersusun dari jarring-jaring elastik padat dan suatu lapisan dalam lamina basal yang homogen.

BAB 3 PEMBAHASAN 3.1 Definisi Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata dan karena membatasi bagian mata yang lain, maka inflamasi lapisan ini dapat mengancam penglihatan. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. 3.2 Etiologi Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui secara pasti sehingga patofisiologi yang pasti dari uveitis juga belum diketahui. Secara endogen, dapat disebabkan idiopatik, autoimun, keganasan, mikroorganisme, atau agen lain dari dalam tubuh pasien, misalnya infeksi tuberkulosis, Herpes simpleks, toxoplasmosis dan sifilis. Uveitis juga dapat ditemukan dengan hubungannya dengan kelainan autoimun, seperti SLE (Systemic Lupus Erythematosus) dan Rheumatoid Arthritis (RA). Pada kasus ini, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan penimbunanan kompleks imun pada jaringan uvea. Penyebab ganda telah dibuktikan menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Kebanyakan tipe uveitis anterior merupakan reaksi peradangan steril, dimana hal inilah yang membedakan dengan uveitis posterior yang sering disebabkan oleh infeksi. Persentase terjadinya uveitis anterior idiopatik antara 38-70% dari seluruh kejadian uveitis anterior. Kemudian penyebab terbanyak kedua adalah terjadinya onset akut (HLA)-B27 positif atau HLA-B27 ; ankylosing spondilitis, sindrom Reiter, penyakit crohns, Psoriasis, herpes zoster/ herpes simpleks, sifilis, penyakit lyme,inflammatory bowel disease; Juvenile idiopathic arthritis; Sarcoidosis, trauma dan infeksi. 3.3 Patofisiologi Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma

tembus okuli; walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan (antigen endogen).Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas. Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam humor akuos yang tampak pada slitlamp sebagai berkas sinar yang disebuit fler (aqueous flare). Fibrin dimaksudkan untuk menghambat gerakan kuman, akan tetapi justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan, misalnya perlekatan iris pada permukaan lensa (sinekia posterior). Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea. Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada tepi pupil disebut koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut busacca nodules, yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa dan sudut bilik mata depan. Pada iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak sehingga menimbulkan hipopion. Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan miosis dan dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi seklusio maupun oklusio pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior tidak dapat mengalir sama sekali mengakibatkan tekanan dalam dalam camera okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam camera okuli anterior sehingga iris tampak menggelembung kedepan yang disebut iris bombe (Bombans). Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan kanal schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder.Pada fase akut terjadi glaucoma sekunder karena gumpalan gumpalan pada sudut bilik depan,sedang pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi karena adanya seklusio pupil.Naik turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan prostaglandin.

3.4 Klasifikasi Peradangan Uvea (Uveitis) Peradangan uvea (uveitis) dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa parameter. Adapun parameter yang digunakan antara lain: demografi; lokasi dari tempat peradangan; durasi, onset, dan perjalanan penyakit; karakter dari peradangan yang terjadi; dan penyebab dari inflamasi. Klasifikasi dan standarisasi dari uveitis sangat penting dilakukan untuk diagnosis dan penanganan penyakit. Sehingga penanganan yang cost-efective dapat

terlaksana. Adapun klasifikasi dari uveitis antara lain (Ilyas dkk, 2002). Uveitis adalah suatu inflamasi pada traktus uvea. Uveitis dapat diklasifikasikan menurut: 1. Berdasarkan Anatomi Klasifikasi yang paling sering digunakan pada uveitis adalah klasifikasi dari The International Uveitis Study Group (IUSG) yang dipublikasikan pada tahun 1987. Sedangkan lokasi anatomi dari proses inflamasi adalah salah satu tanda penting bagi proses patogenesis dan penanganan dari uveitis. Klasifikasi IUSG berdasarkan lokasi anatomi dari inflamasi yaitu:

Gambar 2. Pembagian uveitis berdasarkan tempat peradangan yang terjadi

a.

Uveitis anterior Uveitis anterior; meliputi iritis, iridosiklitis dan siklitis anterior; yaitu peradangan

intraokular yang paling sering terjadi. Uveitis anterior dapat terjadi apabila terjadi peradangan pada segmen anterior bola mata. Berdasarkan data epidemiologi, kebanyakan dari pasien uveitis tidak memiliki gejala sistemik yang terkait dengan uveitis, namun 50% pasien

mengalami peradangan yang disebabkan oleh trauma, dan paling sering disebabkan oleh sindrom idiopatik postviral (Sindrom HLA-B27, herpes simpleks, dan herpes zoster, Fuchs heterochromic iridocyclitis, dan beberapa penyakit arthritis lainnya). Penyakit sekunder iatrogenik sering ditemukan post operasi, komplikasi pembedahan, implant sklera, transplantasi kornea, distrupsi kapsula, atau fixed hapticdan implantasi lensa intraokular yang difiksasi dengan iris. Penyebab Uveitis anterior Autoimun: Artritis rheumatoid juvenilis Spondilitis ankilosa Sindrom reiter Kolitis ulserativa - Uveitis terinduksi-lensa - Sarkoidosis - Penyakit chron - Psoriasis

Infeksi: Sifilis Tuberkulosis Lepra (morbus Hensen) Herpes Zoster - Herpes simpleks - Onkoserkiasis - Adenovirus

Keganasan: Sindrom masquerade Retinoblastoma Leukemia - Limfoma - Melanoma maligna

Lain-lain: Idiopatik Uveitis traumatika - Iridosiklitis heterokromik Fuchs - Gout

10

Ablatio retina

- Krisis galukomatosiklitik

Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang dalam dan tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan memburuk apabila terpapar cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien dengan mengenakan kacamata. Epifora yang terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata, dan tidak ada hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan. Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih lebih baik, walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya akomodasi menjadi lebih sulit dan tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan menyebabkan pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan sklera, walaupun konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit endotel berwarna coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).

Gambar 3. Keratic precipitates (KP) Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit (hipopion), dan flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang meradang, dan dapat ditemukan pada kamera okuli anterior sehingga kamera okuli anterior tampat kotor dan berkabut). Iris dapat mengalami perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat terjadi perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang terlihat nodul granulomatosa pada stroma iris.

11

Gambar 4. Sinekia Posterior

Gambar 5. Flare

Gambar 6. Hipopion

12

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar. Namun saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum. Apabila debris ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang normal maka dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder. b. Uveitis intermediate Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama terjadi pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat bintik-bintik terapung di dalam lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia. Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan oftalmoskop. Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel di kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan anterior. Sel radang lebih besar kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan dengan slit-lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu terlihat adanya selubung perivaskuler pada pembuluh retina. Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut makular permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi. Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan yang menolong namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila penglihatan menurun sekunder akibat edema makular. Mula-mula dipakai kortikosteroid topikal, namun jika gagal suntikan subtenon atau retrobulber dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan demikian meningkatkan resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien ini menyembuh setelah operasi katarak.

13

c.

Uveitis posterior Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,

korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan perjalanan penyakit, (3) hubungannya dengan penyakit sistemik.

Penyebab uveitis posterior 1.Penyakit infeksi a. Virus: CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi imun

manusia HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut. b. Bakteri: Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic

Nocardia, Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella (penyebab penyakit Lyme). c. d. Fungus: Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca

2. Penyakit Non Infeksi: a. b. Autoimun: Penyakit Behcet Sindrom vogt-koyanagi-Harada Poliarteritis nodosa Keganasan: Sarkoma sel reticulum Melanoma maligna - Leukemia - Lesi metastatik - Oftalmia simpleks - Vaskulitis retina

14

c. -

Etiologi tak diketahui: Sarkoidosis Koroiditis geografik Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut - Retinopati birdshot - Epiteliopati pigmen retina

Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes. Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis, sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti korioretinitis serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma, atau sarkoidosis. Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah menimbulkan selsel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada gilirannya kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder. Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh sindrom samaran, seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur ini adalah infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella. Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior termasuk toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi sitomegalovirus, sindrom samaran, panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen posterior. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial adalah toksoplasmosis, penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis candida, dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis meningococcus. Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis retina akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel retikulum, atau kriptokosis.

15

Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat toksoplasmosis, kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau infeksi bakteri endogen. Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen posterior mata yang onset mendadak adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan infeksi bakterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat. d. Uveitis difus atau panuveitis (peradangan pada kamera okuli anterior, vitreous, retina, dan koroid) Istilah uveitis difus merupakan kondisi terdapat infiltratnya sel kurang lebih merata dari semua unsur di traktus uvealis atau dengan kata lain pada uveitis difus tidak memiliki tempat peradangan yang predominan dimana peradangan merata pada kamera okuli anterior, vitreous, dan retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan vaskulitis retinal). Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial postoperasi, atau toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik secara khas tidak ada. 2. Berdasarkan Gambaran Klinis Berdasarkan berat dan perjalanan dari uveitis dapat dikategorikan menjadi akut, subakut, kronis (> 3 bulan), dan rekurens. Misalnya, pada iritis (inflamasi iris) akut sering terjadi pada dewasa muda. Gejala awal yang sering dirasakan adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia (sensitif terhadap cahaya). Seringnya, pasien memiliki hubungan genetik dengan timbulnya iritis akut seperti adanya riwayat anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hubungan dengan faktor genetik ini sering terjadi pada penyakit lain misalnya pada ankylosing spondylitis (arthritis pada punggung bawah), penyakit inflamasi usus, dan psoriasis. Berdasarkan perjalanan penyakit, terjadinya uveitis memerlukan waktu 2-6 minggu dan selalu muncul hanya pada satu mata. Beberapa pasien dapat mengalami serangan 1-2 kali selama hidupnya, dan kadang ada yang mengalami serangan berulang. Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan badan siliar (struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis sering menunjukan gejala minimal hingga keparahan yang mampu merusak mata. Penyakit sistemik yang sering menyebabkan kronik iridosiklitis adalah anak-anak yang memiliki arthritis rheumatoid juvenile. Pada anak-anak ini, khususnya gadis yang berusia 2-6 tahun, merupakan usia yang sangat berpotensial untuk terjadinya kondisi ini. Banyak dari anak-anak ini tidak

16

mengeluhkan gejala yang berhubungan dengan penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi dokter spesialis mata untuk merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke dokter spesialis mata karena iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah arthritis rheumatoid juvenil timbul, anak-anak yang memiliki riwayat seperti ini memerlukan check up periodik hingga usia remaja. 3. Penyebab yang diketahui a. b. Bakteri : tuberkulosa, sifilis Virus : herpes simpleks, herpes zoster, CMV, Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, Sindrom Behcet. c. d. e. f. Jamur : Kandidiasis Parasit : Toksoplasma, toksokara Imunologik : Lens-induced iridosiklitis, oftalmia simpatika Penyakit sistemik : penyekit kolagen, arthritis rheumatoid, multiple sclerosis, sarkoidosis, penyakit vaskuler. g. h. Neoplastik : Limfoma, reticulum cell sarcoma Lain-lain : AIDS

4. a.

Berdasarkan patologinya Non-granulomatosa Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen

dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini adalah semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yakni iris dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior. Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia, dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum korneal yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia posterior maka pupil tampak tidak teratur.

17

Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan terpajan terhadap toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya fokus infeksi jauh dalam tubuh harus pula dicari. b. Granulomatosa Sedangkan, uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii). Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang ditegakkan. Kemungkinan-kemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan klinik dan laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan permukaan posterior kornea terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan dengan menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis, spirochaeta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab spesifik langka lainnya. Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior, uveitis posterior, dan keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan menjadi kabur dan mata tersebut memerah secara difus daearh sirkumkornea. Sakitnya minimal, dan fotofobianya tidak sama berat dengan non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur karena terbentuk sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar terlihat di permukaan posterior kornea dengan slitlamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris disebut nodul busacca.

18

Gambar 7. Uveitis anterior dengan keratik presipitat mutton-fat dan nodul Koeppe dan Busacca

Gambar 8. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior

Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak putihkekuningan samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum berkabut. Kasus posterior demikian pada umumnya digolongkan sebagai penyakit granulomatosa. Karena retina dan koroid saling melekat erat, retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis). Dalam proses penyembuhan, kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur timbul di tepian bintik-bintik putih kekuningan. Pada tahap sembuh, umumnya terdapat deposit

19

pigmentasi yang cukup banyak. Jika makula tidak terkena, kesembuhan penglihatan sentral umumnya sempurna. Pasien umumnya tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan pandang sesuai dengan daerah parut. 3.5 Tanda dan Gejala klinik 1 Uveitis Anterior a. Gejala subyektif 1) Nyeri : Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat.Sifat nyeri menetap atau hilang timbul. Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri. 2) Fotofobia dan lakrimasi Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia. 3) Kabur Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat atau hilang timbul, tergantung penyebab, seperti:pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin dan bisa juga disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kalsifikasi kornea.

b. Gejala obyektif Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi. 1) Hiperemi Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva. Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis.Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar.

20

2) Perubahan kornea Keratik presipitat terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi aquoshumor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea 3) Kelainan kornea Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea. Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea berupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel kornea. 4) Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin. 5) Iris Hiperemi iris Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karena ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal. Pupil Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri. Nodul Koeppe : Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Koeppe mengalami pigmcntasi baik pada permukaan atau lebih dalam merupakan hiasan dari iris. Nodul Busacca Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan hialinisasi.Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.

21

Granuloma iris Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.

Sinekia iris Oklusi pupil Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil. Atrofi iris Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitel pigmen belakang. Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut disebabkan olch virus, terutama hcrpetik. Kista iris Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea.

2.

Uveitis intermediet a. Gejala subjektif Keluhan yang dirasakan pasien pada uveitis media berupa penglihatan yang kabur dan floaters. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan maupun fotofobia. b. Gejala Objektif Secara umum, segmen anterior tenang dan kadang-kadang terdapat flare di kamera okuli anterior. Dapat ditemukan pula sel dan eksudat pada korpus vitreus.

3.

Uveitis Posterior a. Gejala subjektif Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat lalat berterbangan ataufloaters. Penurunan visus dapat mulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah macula. Pada umumnya segmen anterior bola mata

22

tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga sering kali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita. b. Gejala obyektif Lesi pada fundus biasanya dimuai dari retinitis atau koroiditis tanpa

kompikasi. Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinokoroiditis, hal yang sama terjadi pada koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi lesi yang kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat disertai perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheathingpembuluh darah. Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena.

3.6

Komplikasi Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis yaitu: 1. Glaukoma sekunder Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada peradangan uvea antara lain: a. Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi akibat peradangan iris pada uveitis anterior. Sinekia ini menyebabkan sudut iridokornea menyempit dan mengganggu drainase dari humor aqueous sehingga terjadi peningkatan volume pada kamera okuli anterior dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular, b. Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada lensa di beberapa tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat pupil terfiksasi tidak teratur dan terlihat pupil yang irreguler. Adanya sinekia posterior ini dapat menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan berkumpulnya humor aqueous di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan dan menutup sudut iridokornea. c. Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel radang (fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior meningkat dan terjadi glaukoma.

23

2.

Atrofi nervus optikus Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi

nervus optikus sehingga terjadi kebutaan permanen. 3. Katarak komplikata Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya mengenai seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis visualnya tidak sebaik katarak senilis biasanya. 4. 5. 6. Ablasio retina Edema kistoid macular Efek penggunanan steroid jangka panjang.

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid sistemik:

Tempat 1. Saluran cerna

Macam efek samping 1. Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.

2. Otot 3. Susunan saraf pusat

2. Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu. 3. Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

4. Tulang

4. Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang. 5. Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis

5. Kulit

akneiformis, purpura, telangiektasis. 6. Glaukoma dan katarak subkapsular posterior.

6. Mata 7. Darah 8. Pembuluh darah 9. Kelenjar adrenal bagian

7. Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit. 8. Kenaikan tekanan darah. 9. Atrofi, tidak bisa melawan stres.

24

kortek 10. Metabolisme protein, KH dan lemak

10. Kehilangan

protein

(efek

katabolik),

hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati. 11. Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,

11. Elektrolit

tetani, aritmia kor).

12. Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan 12. Sistem immunitas herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan penanganan yang tepat.

25

BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian 1. Riwayat Riwayat yang berhubungan dengan uveitis: a. Usia, kelamin, suku bangsa penting untuk di catat karena dapat memberikan petunjuk ke arah diagnosis uveitis tertentu. b. Riwayat tentang pribadi penderita, yang utama adalah: Adanya hewan peliharaan seperti anjing, kucing dst. Kebiasaan memakan daging atau sayuran yang tidak di masak termasuk hamburger mentah. Hubungan seks di luar nikah untuk menduga kemungkinan terinfeksi oleh STD atau AIDS. Pengguna obat-obatan untuk penyakit tertentu atau narkoba. Kemungkinan tertular penyakit infeksi menular seperti TBC. Penyakit sistemik yang pernah di derita.

c. Riwayat tentang mata: Apakah pernah terserang uveitis sebelumnya. Apakah pernah mengalami trauma tembus mata atau pembedahan.

2. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan fisik umum Tekanan darah, pernapasan, berat badan, pemeriksaan sinus paranasalis, pemeriksaan paru, kondisi inflamasi sendi. Pemeriksaan suhu tubuh untuk menentukan kejadian demam sebagai tanda infeksi.

b. Pemeriksaan subyektif mata Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan gerakan bola mata. Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan. Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal.

26

c. Pemeriksaan obyektif mata Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan: Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi semakin banyak dengan arah menjauhi limbus.) Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi dari produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah. Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia. pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung mengenai iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara langsung mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu: - Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan beberapa penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis. - Pupil dalam kondisi miosis d. Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau benda asing. Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea. Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka

diklasifikasikan ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak (gambaran granula mutton-fat). Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera okuli anterior tampak kotor. Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4: 0 : tidak ditemukan

+1 :ditemukan dalam jumlah sedikit +2 : ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)

27

+3 : iris dan lensa terlihat berkabut +4 : intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi) 3. Pemeriksaan Penunjang a. Flouresence Angiografi. b. FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal dan komplikasi ntraocula dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk ntraocula maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai adalah edema ntrao, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau retina, N. optikus dan radang pada koroid. c. USG d. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan pelepasan retina. e. Biopsi Korioretinal f. Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan pemeriksaan laboratorium lainnya. g. Hitung darah lengkap, hitung jenis leukosit dan LED ( Laju endap darah). h. Rontgen toraks (untuk membuktikan adanya limfadenopati hilus yang menunjukkan tuberkulosis / sarkoidosis). i. Swab kornea / konjungtiva untuk sitologi. j. Swab untuk kultur bakteri, virus, klamidia, dan jamur. k. Swab untuk PCR (Polymerase chain reaction) adenovirus. l. Serologi akut dan kovalesens untuk agen-agen infeksius.

4.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan pada Klien Uveitis Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut : 1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan efek inflamasi uvea. Subjektif: - Menyatakan nyeri. - Nyeri bertambah bila ditekan, menunduk. - Sukar tidur, tidak nyaman. Objektif: - Blefarospasme

28

- Ekspresi wajah meringis saat dilakukan manipulasi Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang. Kriteria hasil: - Klien mampu mengidentifikasi berbagai tindakan untuk mengurangi nyeri - Klien menyatakan nyeri berkurang atau hilang Intervensi: 1. Kaji derajat nyeri setiap hari. R/ nyeri dapat ditentukan dengan menggunakan skala nyeri 1- 10 nyeri yang meningkat mungkin disebabkan oleh infeksi kelenjar atau sumbtan kelenjar. 2. Kaji faktor yang dapat meningkatakan nyeri. R/ nyeri dapat meningkat karena pengaruh infeksi, manipulasi fisik terhadap lokasi mata atau reaksi terhadap badan iritan (salep atau obat dan kosmetik) 3. Anjurkan klien untuk menghindari berbagai tindakan yang dapat menimbulkan nyeri. R/ meningkatkan kenyamanan, mencegah trauma dan komplikasi skunder gangguan mata. 4. Anjurkan berbagai teknik distraksi. R/ distraksi visual seperti membaca, menggambar, distraksi audotorik seperti mendengar radio, dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri. 5. Kolaborasi pemberian aplikasi topikal analgetik dan anti inflamasi pada daerah mata general. R/ mengurangi nyeri dengan respons inflamasi.

2. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit. Subjektif: - Melaporkan cemas dan kondisinya. - Menyatakan takut kehilangan penglihatannya - Melaporkan tidak dapat tidur. Objektif: - Tanda vital: nadi meningkat, tekanan darah meningkat. - Gelisah. - Sering bertanya hal yang sama. Tujuan: tidak terjadi kecemasan kriteria hasil: - Klien mengungkapkan secara objektif tentang penyakitnya.

29

- Klien mengungkapkan ketidakcemasan. - Kegelisahan berkurang, wajah rileks. Intervensi 1. Kaji pemahaman klien tentang penyakitnya. R/ presepsi yang keliru dari klien mungkin berasal dari informasi yang salah atau pengalaman yang dipersepsikan kurang tepat oleh klien. 2. Jelaskan/ perioritasakan pada klien penyakit yang dideritanya. R/ gangguan uvea umumnya menimbulkan gejala nyeri sedang sehingga menimbulkan kecemasan pada klien. Ketakutan klien tentang terjadinya kebutaan merupakan hal yang penting diatasi. 3. Tunjukan fakta- fakta tentang penyakit. R/ informasi tentang penyakit dan dampak serta konsekuensi/ tindakan yang akan dilakukan pada klien sehingga klien merasa lebih mendapat kepastian dan perlindungan. 4. Berikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan diri. R/ memungkinkan klien mengekspresikan ketakutan, kekhawatiran dan

ketidaktahuannya.

3. Potensial komplikasi (PK): infeksi mata Subjektif: - Menyatakan berbagai tanda infeksi: mata tampak merah, nyeri, tersa mengganjal. Objektif: - Kekaburan penglihatan - Nyeri - Epifora - Kemerahan pada kornea - Kekeruhan kornea - Hipopion - Blefarospasme Tujuan: Infeksi dapat teratasi. Kriteria hasil: - Klien memperlihatkan prilaku perawatan luka adekuat. - Tanda infeksi selama fase perawatan berkurang hiperemia dan epifora.

30

Intervensi 1. Kaji kondisi inflamasi pada mata setiap hari. R/ tabda inflamasi seperti kemerhana konjungtiva, terasa gatal, epifora, dapat memberikan gambaran perkembangan penyakit. Pengkajian dapat dilakukan sambil melakukan perawatan luka. 2. Bersihkan sekret sesering mungkin dan sebelum memberikan obat. R/ sekret harus dibuang untuk memungkinkan seluruh daerah mata (konjungtiva) mendapatkan obat dengan baik. 3. Lakukan perawatan luka. R/ perawatan luka dapat dilakukan dengan membersihkan mata dari sekret dan krista melekukan irigasi (bila perlu) serta menutup mata. 4. Tutup daerah luka. R/ penutupan daerah mata dapat dilakukan dengan kassa bersih dan bila perlu dengan temeng mata. Hal ini untuk menghindari trauma baik fisik maupun kimia. 5. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik dan anti inflamasi. R/ antibiotik diberiakan sesuai dengan dosis, waktu, dan jenis obat. Pemberian salep dan tetes mata secara bersamaan dapat didahulukan pemberian obat tetes, lalu obat salep sehingga memungkinkan kedua obat terpajan secara maksimal pada mata. 6. Kaji reaksi pengobatan. R/ reaksi positif seperti pengaruhnya terhadap inflamasi, maupun efek negatif seperti alergi harus dicatat dengan baik.

4. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang sumber pendukung. Subjektif: - Tidak mengetahui rencana keperawatan. - Melaporkan kesulitan dalam melakukan berbagai tindakan sendiri. - Menyatakan takut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Objektif: - Menerangkan berbagai tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan mata lebih parah. - Penggunaan berbagai obat/ ramuan tidak steril. Tujuan:Klien mampu melakukan berbagai tindakan perawatan diri yang diperlukan dalam proses penyembuhan.

31

Kriteria hasil: - Klien mengungkapkan perannya dalam perawatan. - Klien memeragakan cara memberikan obat sendiri. Intervensi 1. Beri instruksi tertulis terhadap kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. R/ instruksi verbal mudah dilupakan. 2. Instruksikan untuk melindungi mata dari debu, kotoran dan trauma, memperthankan balutan tetap bersih dan kering. R/ pencegahan infeksi sekunder merupakan salah satu aspek perawatan yang harus diperhatikan oleh klien. 3. Ajarkan teknik memberikan obat mata sendiri atau keluarga. R/ klien gangguan uvea mungkin mendapatkan obat dalam waktu lama hingga fase perawatan rumah.

4.3 Penatalaksanaan Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien. Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah: 1. Pemberian Obat Anti Radang a. Kortikosteroid Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan cara: Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel B dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan disebabkan karena infeksi. Mengurangi permeabilitas pembuluh darah.

32

Mengurangi pembentukan jarangan parut. CARA PEMBERIAN STEROID INDIKASI skleritis,

Topikal (tetes mata atau Tetes mata atau salep mata Konjungtivitis, salep mata)

yang kuat adalah decadron episkleritis, uveitis anterior. & predforte yang kurang kuat adalah suspensi FML & HMS yang efek

kenaikan tekanannya kecil. Injeksi subkonjungtival Depo medrol Uveitis anterior berat, uveitis posterior, neuritis optik,

atau retrobulbar

endoftalmitis. Oral Prednison Arteritis sel raksasa, neuritis optik, uveitis posterior,

eksoftalmos tiroid berat.

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid: Menurunkan daya reaksi jaringan. Mengaktifkan proliferasi bakteri. Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain. Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak. Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama. Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata. Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus. Menambah kemungkinan infeksi jamur. Menambah berat radang akibat infeksi bakteri. Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik atau uveitis yang mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan). Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:

33

Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes. Tergantung dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan. Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor. Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika mulai dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu sebelum pemberian steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang responsive terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi. Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat: 1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan. 2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya.

b. Obat antikolinergik Selain untuk mengobati uveitis anterior, antikolinergik juga digunakan untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan retina, agar terjadi paralisis akomodasi pada pemeriksaan refraksi anak-anak. Obat-obat midriatik / siklopegik yang akan dipilih berdasarkan lamanya kerja obat. NAMA OBAT Atropin - 1% Skopolamin % Homatropin 2 5% Siklopentolat (cyclogyl) 1 2% 1 hari Retinoskopi sikloplegik; kerjanya cepat (30 menit) 2 hari 4 hari LAMANYA KERJA 2 minggu PENGGUNAAN PRIMER Uveitis anterior berat atau yang berkepanjangan. Alternatif atropin Uveitis anterior jika alergi terhadap

34

Tropikamid (mydriacyl) 1/2 %

6 jam

Sering digunakan dengan fenilefrin 2,5% untuk melebarkan pupil;

kerjanya cepat (15 menit)

2.

Enukleasi. Enukleasi adalah pengangkatan seluruh bola mata secara pembedahan. Indikasi

prosedur ini adalah luka tembus, kebutaan dengan infeksi rekalsitran (sangat resisten), kebutaan mata yang nyeri yang tidak berespon terhadap terapi obat, dan beberapa tumor terentu pada mata. Prosedur ini dilakukan dengan melakukan insisi konjungtiva, melepaskan otot ekstraokuler, memotong saraf optikus, dan mengangkat mata, otot kemudian direaprosimasi pada bola mata inflan yang dapat menjaga volume orbita. Konjungtiva ditutup, dan pencetak dari plastic diletakkan untuk menjaga kedua forniks kantung konjungtiva selama proses penyembuhan. Setelah sembuh pasien dirujuk ke okularis untuk pengangkatan pencetak (conformer), pengepasan protesis pelatihan penggunaannya. Ada berbagai jenis prosedur pengangkatan mata dan pengambilan keputusan mengenai jenis pembedahannya bergabtung pada derajat keterlibatan okuler dan orbital. Implikasi keperawatan. Balut tekan dipasang pasca operasi selama 24 sampai 28 jam untuk membantu mengurangi pembengkakan. Pasca operasi perlu diberikan salep antibiotika dan steroid. Lender yang terkumpul pada permukaan confermer perlu diirigasi dengan lembut. Kelopak mata harus dijaga tetap bersih. Komplikasi jangka panjang enukleasi bisa berupa orbital tenggelam, yang dapat ditangani oleh okularis atau bedah rekonstruksi. Komplikasi pembedahan meliputi perdarahan, infeksi, dan ekstrusi inflan. Pasien yang perlu dienukleasi perlu dukungan emosi dan psikologis yang cukup. Karena mereka tidak lagi memiliki pandangan binokulerl, mereka juga memerlukan bantuan untuk belajar menentukan jarak dengan sisa mata (pandangan monokuler) dan bagaimana bergerak kedepan dengan gerakkan menggeleng (menggerakkan kepala dari kiri ke kanan, menjelajah panorama) untuk mencari hambatan dan benda.

35

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan Uveitis adalah proses inflamasi pada salah satu atau semua bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya. Penyebab pasti dari uveitis belum diketahui sehingga patofisiologi yang pasti dari uveitis juga belum diketahui. Secara umum, uveitis dapat disebabkan oleh reaksi imunitas. Uveitis sering dihubungkan dengan infeksi seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun, postulate reaksi imunitas secara langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai sel dan pembuluh darah uvea. 5.2 Saran Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan keperawatan terutama pada klien yang mengalami Gangguan traktus Uvea. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.

36

DAFTAR PUSTAKA

Mandal, Wilkins. (2008). Penyakit infeksi edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga. Tamsuri, Anas. (2011). Klien Gangguan Mata dan Penglihatan KMB. Jakarta: EGC. MD, Mark W.Leitman. (1993). Panduan Diagnosis dan Pemeriksaan Mata Edisi 3. Jakarta: Binarupa Aksara. Guyton, Arthur. C., Hall, John. E.. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC: Jakarta. Radjamin, R.K. Tamin. (1984). Ilmu penyakit mata. Surabaya: Penerbit airlangga university perss. Vaughan, Daniel. G., Asbury, Taylor., Riordan-Eva, Paul.. (2000). Oftalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika: Jakarta Ilyas, Sidarta, dkk. (2002). Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-2. Sagung Seto: Jakarta. Ilyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Jusuf, Ahmad. Aulia. (2003). Diakses tanggal 21 September 2012, dari

www.staff.ui.ac.id/internal/132015140/material/SISTEMPENGLIHATAN.doc Farooqui, Saadia. Zohra.. Foster, C. Stephen.. Sheppard.. (2008). Uveitis, Classification. Diakses tanggal 21 September 2012, dari www.emedicine.medscape.com

37

Anda mungkin juga menyukai