Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

DACRYOCYSTITIS

Disusun Oleh :
Gilberto Evandrian (2265050091)
Aprilia Pratiwi (2265050105)
Farkhan Setiawan (2365050090)
Andrew Jeremiah Rantemangiling (2365050097)
Karlos Berlusconi Sihaloho (235050147)
Dewa Vighneshwara (2365050167)
Elena (2365050171)

Pembimbing :
dr. Reinne Natali Christine, Sp.M

KEPANTERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIODE 25 DESEMBER 2023 – 27 JANUARI 2024
RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2024
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan, atas
hikmat dan karunia-Nya, penulis telah menyelesaikan referat yang berjudul
“Dacryocystitis”. Penyusunan referat ini dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Indonesia di Rumah Sakit Umum UKI Periode 25 Desember 2023 – 27
Januari 2024.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Reinne Natali Christine, Sp.M, selaku dokter pembimbing referat


yang meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis
sehingga penulisan referat ini dapat tersusun dengan baik.

2. Para dokter dan staf Departemen Ilmu Kesehatan Mata atas


bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

3. Kepada orang tua dan rekan-rekan atas dukungan dan doa yang
diberikan kepada penulis.

Dalam penulisan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas kekurangan yang penulis
lakukan serta penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk penulisan referat berikutnya

Jakarta, 4 Januari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
2.1 Anatomi Sistem Lakrimasi.............................................................2
2.2 Definisi dan Epidemiologi..............................................................5
2.3 Klasifikasi Dakriosistitis................................................................6
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi....................................................7
2.5 Patofisiologi dan Gejala Klinis Dakriosistitis................................9
2.6 Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding Dakriosistitis.......12
2.7 Terapi, Komplikasi, dan Prognosis Dakriosistitis........................15
BAB III KESIMPULAN......................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem sekresi lakrimal dibentuk oleh kelenjar lakrimal dan kelenjar
aksesori lakrimal. Kelenjar lakrimal terletak dalam fossa tulang frontal pada
orbital. superotemporal. Kelenjar lakrimal dipisahkan dari orbit oleh jaringan
fibroadiposa yang terdiri dari lobus orbital dan palpebral. Kelenjar lakrimal
merupakan kelenjar eksokrin yang menghasilkan sekresi serosa. Kelenjar tersebut
terdiri dari dua jenis sel yaitu sel epitel kelenjar asinar dan sel mioepitel yang
mengelilingi parenkim dan ditutupi oleh membran basemen. Kelenjar lakrimal
merupakan kelenjar tubuloasinar yang terdiri dari lobus-lobus yang dipisahkan
oleh septum interstisial fibrovaskuler. Lobus mengandung banyak asini yang
dipisahkan oleh jaringan ikat longgar intralobular dan jaringan adiposa. 1–3

Dakriosistitis adalah inflamasi pada sakus lakrimalis akibat adanya


obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Berdasarkan usianya, penyebab dari
obstruksi ini pun juga akan berbeda dimana pada anak – anak biasanya karena
membran nasolakrimal yang tidak terbuka, sedangkan pada orang dewasa
disebabkan adanya penekanan pada salurannya.4,5 Tanda yang khas akibat
sumbatan ini adalah timbulnya penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan
mukus sakus yang merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik.
Dakriosistitis mempunyai distribusi bimodal, dengan sebagian besar kasus terjadi
segera setelah kelahiran pada kasus bawaan atau pada orang dewasa berusia lebih
dari 40 tahun. Dakriosistitis kongenital terjadi pada sekitar 1 dari 3884 kelahiran
hidup. Dacrocystitis lebih sering ditemukan pada orang dewasa dari ras kulit
putih, dengan hampir 75% kasus terjadi pada wanita.6 Morbiditas dan mortalitas
yang serius rendah pada dakriosistitis. Namun, pada dakriosistitis kongenital,
morbiditas dan mortalitas dapat menjadi signifikan jika tidak ditangani dengan
segera dan tepat. Dakriosistitis dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronik
dan didapat atau kongenital.7

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Lakrimasi


Sistem sekresi lakrimal dibentuk oleh kelenjar lakrimal dan kelenjar
aksesori lakrimal. Kelenjar lakrimal terletak dalam fossa tulang frontal pada
orbital. superotemporal. Kelenjar lakrimal dipisahkan dari orbit oleh jaringan
fibroadiposa yang terdiri dari lobus orbital dan palpebral. Permukaan superior
berbentuk cembung dan berbatasan dengan tulang orbita. Permukaan inferior
berada di atas aponeurosis levator palpebra superior dan tepi atas muskulus rektus
lateral. Bagian anterior berbatasan dengan septum orbita dan lemak pre
aponeurotik, sedangkan bagian posterior diselubungi lemak orbita.1–3

Gambar 1. 1 Aparatus Lakrimalis


Kelenjar lakrimal lobus palpebra berukuran seperempat lebih kecil dari
lobus orbital. Permukaan superior lobus palpebra terletak tepat di atas segmen
temporal forniks konjungtiva superior, dibawah aponeurosis dari muskulus levator
palpebra superior, memanjang menuju kelopak mata atas, dan bagian depan
menempel pada ligamen Whitnall. Permukaan inferior kelenjar ini dapat terlihat
ketika dilakukan eversi palpebra superior, tepatnya di forniks terdapat isthmus
dari kelenjar yang berada di antara palpebra. 1,3,8,9

2
Duktus ekskretori kelenjar lakrimal memiliki 8-12 duktus dari lobus orbital
melewati lobus palpebra bermuara ke forniks konjungtiva superior di atas tepi
tarsal lateral. Duktus tersebut memiliki pembuluh darah, limfatik, dan saraf di
dalamnya. Kelenjar lakrimal aksesorius kelenjar Krause dan Wolfring terletak di
tepi tarsus proksimal dan di forniks superior. Kelenjar-kelenjar ini sangat penting
dalam membantu menjaga kelembaban kornea. Kelenjar ini memberikan sekitar
10% dari total massa sekresi lakrimal.1–3

Gambar 1. 2 Kelenjar Lakrimal Aksesorius


Kelenjar lakrimal merupakan kelenjar eksokrin yang menghasilkan sekresi
serosa. Kelenjar tersebut terdiri dari dua jenis sel yaitu sel epitel kelenjar asinar
dan sel mioepitel yang mengelilingi parenkim dan ditutupi oleh membran
basemen. Kelenjar lakrimal merupakan kelenjar tubuloasinar yang terdiri dari
lobus-lobus yang dipisahkan oleh septum interstisial fibrovaskuler. Lobus
mengandung banyak asini yang dipisahkan oleh jaringan ikat longgar intralobular
dan jaringan adiposa.1,2,8

Vaskularisasi

Kelenjar lakrimal disuplai oleh arteri lakrimalis, cabang besar dari arteri
oftalmika. Arteri lakrimalis bercabang dari arteri oftalmika dekat dengan tempat
keluarnya arteri oftalmika dari kanalis optikum. Arteri ini berjalan pada tepi atas

3
muskulus rektus lateralis bersama dengan nervus lakrimalis. Arteri infraorbital,
cabang dari arteri maksilaris juga terkadang menyuplai kelenjar lakrimal. Darah
yang berasal dari kelenjar lakrimal akan dialirkan menuju vena oftalmika.
Drainase limfatik bergabung dengan aliran yang berasal dari konjungtiva dan
bermuara ke nodus limfatikus parotid. 10,11

Gambar 1. 3 Vaskularisasi Kelenjar Lakrimal


Persarafan

Kelenjar lakrimal menerima persarafan autonomik dan serabut saraf


sensorik. Serabut-serabut saraf afferen atau sensoris dari kelenjar lakrimal dibawa
oleh cabang lakrimal dari nervus V1. Saraf ini juga membawa informasi sensoris
dari kelopak mata dan konjungtiva. Lakrimasi akibat stimulus sensoris seperti
angin, suhu, sentuhan dan nyeri diteruskan melalui cabang saraf trigeminal ini.
Saraf ini berjalan sepanjang orbit superotemporal, antara atap orbita dan muskulus
rektus lateralis untuk kemudian bergabung dengan cabang lain dari nervus V1 di
fissura orbital superior. 10,12

4
Gambar 1. 4 Persarafan Kelenjar Lakrimal
Serabut-serabut efferen berasal dari saraf autonomik. Persarafan
parasimpatetik berperan pada proses reflex tearing sebagai respons terhadap
stimuli emosional. Persarafan parasimpatetik berasal dari nukleus lakrimalis dari
nervus fasialis di pons. Serabut saraf preganglion kemudian berjalan melalui
nervus intermedius dan cabang great petrosal dan melalui nerve of pterygoid
canal untuk bersinaps di ganglio pterigopalatin (ganglion sfenopalatin). Serabut
saraf postganglion meninggalkan ganglion dan bergabung dengan nervus
maksilaris. Serabut ini kemudian melewati cabang zigomatik dan nervus
zigomatikotemporal. Serabut-serabut saraf tersebut mencapai kelenjar lakrimal
melalui nervus lakrimalis. Serabut-serabut saraf postganglionik simpatetik berasal
dari ganglion simpatetik servikal superior dan berjalan di pleksus dari nervus di
sekitar arteri karotis interna. Serabut-serabut ini kemudian bergabung dengan
ganglion deep petrosal, nerve of pterygoid canal, nervus maksilaris, nervus
zigomatikus, nervus zigomatikotemporal, dan akhirnya nervus lakrimalis.12

2.2 Definisi dan Epidemiologi


Dakriosistitis adalah inflamasi pada sakus lakrimalis akibat adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Berdasarkan usianya, penyebab dari
obstruksi ini pun juga akan berbeda dimana pada anak – anak biasanya karena
membran nasolakrimal yang tidak terbuka, sedangkan pada orang dewasa
disebabkan adanya penekanan pada salurannya. Tanda yang khas akibat sumbatan
ini adalah timbulnya penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus
5
yang merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik. Infeksi pada dakriosititis
ini akan menutup jalan dari sistem drainase lakrimal dimana penutupan ini
memicu penumpukan air mata dan menciptakan lingkungan yang subur bagi
bakteri lainnya serta mempercepat pembentukan batu di saluran pengeluaran air
mata sehingga akan menimbulkan benjolan di kulit bawah kelopak mata yang
juga disebut dakriolit. Bakteri tersebut akan bertumbuh di aliran air mata dengan
memperlihatkan gejala yang menganggu kenyamanan dan aktivitas seperti
epifora, pyorrhea, opthalmodynia, dan hiperemia konjungtiva.4,5
Dakriosistitis mempunyai distribusi bimodal, dengan sebagian besar kasus
terjadi segera setelah kelahiran pada kasus bawaan atau pada orang dewasa
berusia lebih dari 40 tahun. Dakriosistitis kongenital terjadi pada sekitar 1 dari
3884 kelahiran hidup. Dakriosistitis lebih sering ditemukan pada orang dewasa
dari ras kulit putih, dengan hampir 75% kasus terjadi pada wanita. Morbiditas dan
mortalitas yang serius rendah pada dakriosistitis. Namun, pada dakriosistitis
kongenital, morbiditas dan mortalitas dapat menjadi signifikan jika tidak ditangani
dengan segera dan tepat.6

2.3 Klasifikasi Dakriosistitis


Dakriosistitis dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronik dan didapat
atau kongenital.7
a. Dakriosistitis akut
Dakriosistitis akut paling sering disebabkan oleh bakteri staphylococcus,
streptococcus, Haemophilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa.
Dakriosistitis akut dapat muncul sebagai selulitis orbital, yang umumnya
melibatkan jaringan lunak di daerah preseptal. Selulitis orbital adalah
penyakit menular yang mengancam penglihatan proses yang melibatkan
struktur adneksa okular di posterior septum orbital. Selulitis orbital jarang
terjadi akibat sekunder dakriosistitis akut dan biasanya berespon baik
terhadap antibiotik sistemik dan drainase bedah tanpa kehilangan
penglihatan permanen.

6
b. Dakriosistitis kronik
Dakriosistitis kronis terjadi akibat obstruksi kronis akibat penyakit
sistemik, infeksi berulang, dakriolit, dan sisa inflamasi kronis pada sistem
nasolakrimalis. Beberapa penyakit sistemik yang umum termasuk
granulomatosis Wegener, sarkoidosis, dan lupus eritematosus sistemik.
c. Dakriosistitis didapat
Keadaan yang didapat biasanya disebabkan oleh trauma berulang,
pembedahan, pengobatan, dan neoplasma. Di antara penyebab trauma
obstruksi nasolakrimalis, fraktur nasoethmoid adalah yang paling umum.
Prosedur sinus endonasal dan endoskopi memiliki hubungan paling tinggi
di antara operasi. Obat topikal umum yang terkait dengan kondisi didapat
adalah timolol, pilokarpin, dorzolamide, idoxuridine, dan trifluridine. Obat
sistemik yang paling umum adalah fluorouracil dan docetaxel. Tumor
kantung lakrimal primer dan papiloma jinak adalah neoplasma yang paling
umum.
d. Dakriosistitis kongenital
Dakriosistitis kongenital disebabkan oleh obstruksi membranosa pada
katup Hasner di saluran nasolakrimalis distal. Sebelum melahirkan, sistem
nasolakrimalis diisi dengan cairan ketuban. Ketika cairan ketuban gagal
dikeluarkan dari sistem nasolakrimalis, cairan tersebut menjadi purulen
dalam beberapa hari setelah melahirkan dan bersifat patologis.

2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Obstruksi pada duktus nasolakrimalis dapat disebabkan karena kelainan
kongenital ataupun didapat. Penyebab dari sumbatan ini pun dibagi menjadi
primer seperti yang disebabkan oleh stenosis involusional pada wanita usia tua
dan sekunder seperti infeksi, inflamasi, mekanikal, trauma, dan neoplasma. Pada
keadaan obstruksi duktus nasolakrimalis, aliran air mata yang stasis dan
berkelanjutan akan menyebabkan infeksi sekunder berupa dakriosistitis.13
Berdasarkan usianya, penyebab dari obstruksi ini pun juga akan berbeda
dimana pada anak – anak biasanya diakibatkan karena ketidakterbukanya
7
membran

8
nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa diakibatkan karena adanya
penekanan pada salurannya. Tanda yang khas akibat sumbatan ini adalah
timbulnya penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus yang
merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik.4
Dakriosistitis dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronik dan didapat
atau bawaan. Etiologi dari dakriosistitis ini akan berbeda dimana bergantung dari
akut ataupun kronis. Pada umumnya, agen mikroorganisme pada dakriosistitis
akut adalah bakteri gram positif, namun beberapa ilmuwan mempertimbangkan
bahwa pada pasien dengan kondisi immunosuppresif dan diabetes, bakteri gram
negatif lah yang berperan. Mikroorganisme yang sering dijumpai pada usia
dewasa ialah Staphylococcus epidermidis, S. aureus, S. pneumoniae, dan
Pseudomonas aeruginosa sedangkan yang sering ditemukan pada usia anak –
anak ialah Staphylococcus aureus, Staphylococcus haemolyticus, Streptococcus
pneumoniae, dan Haemophilus influenzae.14
Dakriosistitis akut dapat disebabkan oleh beberapa mikroorganisme. Jenis
bakteri yang sering menginfeksi dakriosistits akut biasanya berasal dari saluran
pernapasan atas seperti spesies Staphylococcus, Streptococcus, Haemophilus
influenza dan Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan, Dakriosistitis kronik
merupakan hasil dari obstruksi kronis akibat penyakit sistemik, infeksi berulang,
dacryoliths, dan inflamasi kronis dari sistem nasolakrimal. Beberapa penyakit
sistemik yang umum adalah granulomatosis wegener, sarkoidosis, dan lupus
eritematosus sistemik. Sementara itu, bakteri yang dominan menyebabkan
dakriosistitis kronis adalah Haemophillus influenzae atau Streptococcus
pneumonia bahkan pathogen bakteri gram negatif (Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa) dan bakteri anaerob (Arachnia propionica) juga
mampu menjadi pathogen.15
Dakriosistitis yang didapat dapat karena trauma berulang, operasi, obat-
obatan, dan neoplasma. Fraktur nasoethmoid merupakan penyebab yang paling
sering terjadi diantara penyebab traumatis lainnya. Prosedur sinus endonasal dan
endoskopi salah satu contoh penyebab operasi. Obat topikal umum yang terkait
dengan dakriosistitis didapat adalah timolol, pilocarpine, dorzolamide,
9
idoxuridine,

1
dan trifluridine. Obat sistemik yang umum adalah fluorouracil dan docetaxel.
Neoplasma yang paling umum adalah tumor kantung lakrimal primer dan
papiloma jinak. Bentuk kongenital disebabkan oleh obstruksi membran pada
katup Hasner di duktus nasolakrimal distal.7

2.5 Patofisiologi dan Gejala Klinis Dakriosistitis


Patofisiologi dakriosistitis adalah adanya sumbatan pada sakus lakrimal
atau duktus nasolakrimal sehingga menyebabkan bendungan air mata pada sakus
tersebut dan biasanya diikuti oleh infeksi sekunder. Faktor risiko terbesar
terjadinya dakriosistitis adalah obstruksi duktus nasolakrimalis. Prognosis
dakriosistitis adalah baik namun sering terjadi resistansi terhadap antibiotika
hingga berpotensi terjadi kekambuhan, jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak
ditangani secara tepat maka prognosisnya menjadi buruk. Pada dakriosistitis akut
biasanya terjadi setelah adanya obstruksi total maupun sebagian duktus
nasolakrimal. Pada penderita bayi angka kejadiannya 1 dari 100 bayi baru lahir,
obstruksi ini terjadi pada bayi yang lahir prematur. Obstruksi tersebut 90%
disebabkan oleh sisa-sisa epitel yang tertinggal di dalam duktus dan sisanya
karena epitel tidak membuka secara sempurna dan karena kelainan pembentukan
tulang hidung. Kejadian dakriosistitis akut pada anak-anak dan dewasa biasanya
timbul segera setelah obstruksi yang didapat pada duktus nasolakrimal atau
eksaserbasi akut dari dakriosistitis kronis. Penyebab obstruksi yang didapat ini
antara lain oleh trauma, infeksi sinus, tuberkulosis, serta tumor hidung. Infeksi
yang terjadi rata-rata karena kuman pneumokokus, streptokokus viridans, basilus
influenza dan stafilokokus.7,16 Dakriosistitis kronis rata-rata disebabkan oleh:
1. Oklusi kongenital dari duktus nasolakrimal
2. Oklusi yang didapat dari duktus nasolakrimal dengan penyebab yang belum
diketahui
3. Infeksi jamur biasanya disebabkan oleh aspergillus dan candida
4. Tumor jinak atau ganas
5. Kelainan intra/paranasal, seperti polip sakus, infeksi kronis dari hidung ataupun
sinus paranasal
1
6. Dakriosistitis akut yang menahun
Bendungan air mata pada sakus biasanya terkontaminasi oleh kuman-
kuman konjungtiva, seperti pneumokokus, streptokokus, stafilokokus,
tuberkolusis, dan candida
Aliran yang berasal dari sistem lakrimal dimulai dari punctum yang
letaknya di medial dari kelopak mata atas dan bawah. Baik punctum superior
maupun inferior memiliki peran sebagai pintu dari kanalikuli (struktur saluran
yang berada di medial tendon canthal). Kanalikuli ini nantinya akan bergabung
menjadi suatu saluran pendek sebelum memasuki sakus lakrimalis yang disebut
kanalikuli komunis. Sakus lakrimalis ini adalah suatu kantung berisi air mata yang
nantinya akan mengalir melalui duktus nasolakrimalis ke meatus nasi inferior.
Perpindahan ini juga terjadi karena adanya perubahan tekanan intraluminal akibat
gerakan berkedip. Gerakan berkedip ini nantinya akan membuat otot orbicularis
oculi secara spontan akan mengalami kontraksi dan relaksasi.
Duktus nasolakrimal dan fossa lakrimalis akan membentuk suatu sudut
yang memiliki peran dalam aliran air mata. Sudut yang dibentuk pada mata kanan
lebih besar dibandingkan mata kiri, itulah mengapa pada beberapa kasus
dakriosistitis lebih sering dijumpai menginfeksi mata sebelah kanan. Pada
ektoderm, suatu regio di fissura naso optic akan tertanam ke mesenkim diantara
nasi lateral dan proseccus maxilaris. Struktur anatomi ini nantinya akan terus
membentuk suatu aliran dan membuka ke arah forniks konjungtiva sebelum
membentuk pintu ke vestibulum nasi. Kanalisasi dari sistem ekskresi lakrimal
dimulai dari bagian superior yang bersifat segmental lalu bergabung membentuk
suatu lumen. Pada pertemuan sakus lakrimalis dan kanalikuli komunis akan
membentuk suatu lipatan mukosa yang disebut katup rosenmuller sedangkan
katup hasner terletak di pertemuan duktus nasolakrimalis dan mukosa hidung.
Individu yang memiliki bentuk kepala brachycephalic akan lebih berisiko
terinfeksi dakriosistitis dibanding bentuk kepala dolicocephalic atau mesocephalic
dikarenakan pada brachycephalic memiliki saluran ke duktus nasolakrimalis dan
fossa lakrimalis yang lebih sempit, dan duktus nasolakrimalis yang lebih panjang.
Seseorang dengan hidung pesek dan wajah kecil juga memiliki risiko lebih tinggi
1
karena saluran tulang yang sempit. Peradangan yang terjadi pada duktus
nasolakrimalis ini melibatkan berbagai faktor dimana hal yang paling sering
adalah karena obstruksi total pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi ini nantinya
akan menyebabkan aliran air mata bergerak stasis dan terjadilah penumpukan air
mata, sel deskuamasi, dan sekresi mukus berlebihan di bagian atas dari daerah
yang terkan obstruksi. Di tempat itu lah akan mempercepatan pertumbuhan
bakteri sebagai infeksi sekunder.7,17,18
Gejala Klinis
Gejala klinis dakriosistitis akut pada bayi di antaranya muncul eksudat
purulen pada konjungtiva bulbi bagian medial dan pembengkakan pada medial
palpebra inferior yang kemerahan. Jika tidak ada terapi maka proses peradangan
akan memasuki fase kronis. Pada anak-anak dan dewasa biasanya muncul gejala
epifora yang diikuti oleh adanya pembengkakan yang berwarna merah, indurasi,
konsistensi lunak serta rasa nyeri di daerah atas sakus lakrimal. Konjungtiva
kemerahan di area bawah dan kadang tertutup oleh sekret yang purulen.
Penekanan pada area sakus akan menyebabkan regurgitasi pus melalui punctum.
Pada beberapa kasus kadang muncul adanya kejadian ruptur spontan dari dinding
sakus yang menyebabkan terjadinya selulitis atau abses yang menyebar dan pecah
melalui kulit. Selain itu gejala umum yang sering muncul adalah menggigil,
demam dan gejala umum akibat adanya infeksi. Dakriosistitis kronis juga
memiliki gejala klinis berupa epifora. Gejala ini akan meningkat pada keadaan
dingin, paparan debu dan kebiasaan merokok. Apabila sakus ditekan maka cairan
pus yang keluar bersifat mukoid, encer, berwarna kehijauan atau kekuningan. Jika
keadaan ini tidak diterapi maka akan terjadi atrofi pada mukus membran yang
khas dengan ditandai oleh adanya peregangan dinding sakus karena dinding
tersebut menjadi atonik. Sekret yang menumpuk akan menjadi lebih cair dan
kadang telah terkontaminasi oleh mikroba. Isi dari sakus ini tidak pernah kosong
dan inilah yang disebut dengan mukokel. Mukokel ini jika menetap dapat
berkembang menjadi abses lakrimal yang kadang menjadi fistula.16

1
2.6 Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding Dakriosistitis
 Anamnesis

Pada dakriosistitis akut, gejala peradangan muncul dan memberat dalam hitungan
jam atau hari. Sedangkan pada dakriosistitis kronis, gejala yang paling sering
dikeluhkan pasien adalah mata berair (epifora). Keluhan dapat timbul berupa mata
merah, perih, dan bengkak di bagian inferiomedial ligamentum palpebra. Pasien
juga bisa mengeluhkan nyeri yang timbul karena ada distensi pada sakus
nasolakrimal.7,13,19

 Pemeriksaan Fisik
Dakriosistitis akut dapat menunjukkan tanda inflamasi berupa edema, eritema,
dan area indurasi yang nyeri dengan onset cepat pada area sakus lakrimalis. Tepat
di bawah ligamentum kantus medial. Tanda inflamasi tersebut dapat meluas
hingga bagian pangkal hidung (nose bridge). Pada beberapa kasus dapat terbentuk
fistula atau ruptur pada kulit di permukaan sakus lakrimalis. Dan pada bagian
mata dapat ditmeukan injeksi konjungtiva. Penekanan pada area inferior kantus
medial dapat mengeluarkan sekret mukopurulen dari pungtum lakrimalis. Pada
dakriosistitis kronis, dapat ditemukan epifora persisten dan kotoran mata yang
berlebih. Akibat genangan lapisan air mata tersebut, dapat timbul injeksi
konjungtiva dan juga penurunan visus yang ringan. 7,19

 Pemeriksaan Penunjang
 Tes Anel
Tes Anel dapat menilai fungsi ekskresi air mata melalui sistem drainase
nasolakrimal. Tes Anel dilakukan dengan memasukkan cairan garam fisiologis ke
dalam kanalikuli lakrimalis melalui pungtum lakrimalis inferior. Hasil positif
apabila pasien merasakan sensasi asin dan tampak reaksi menelan yang
menunjukkan patensi sistem drainase nasolakrimalis. Bila terjadi regurgitasi
cairan garam fisiologis beserta sekret mukoid dari pungtum lakrimalis superior

1
dan teraba

1
pembesaran sakus lakrimalis, kemungkinan ada obstruksi total pada duktus
nasolakrimal.7
 Dye Disappearance Test (DDT)
Dye Disappearance Test bertujuan untuk menilai ekskresi air mata yang adekuat.
Pemeriksaan DDT dilakukan dengan meneteskan cairan fluoresen pada
konjungtiva forniks, kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter
biru cobalt. Jumlah fluoresen yang persisten setelah 5 menit dapat meningkatkan
kecurigaan adanya obstruksi pada sistem nasolakrimal. Pemeriksaan DT berguna
pada anak- anak, dikarenakan pemeriksaan Anel, Probing, atau Jones sulit
dilakukan tanpa sedasi.7
 Tes Jones
Tes Jones pada awalnya merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengevaluasi
gejala epifora. Tes Jones terbagi menjadi Tes Jones I dan II. Tes Jones I dilakukan
dengan meneteskan fluoresen pada konjungtiva forniks, kemudian wire dengan
ujung kapas dimasukkan melalui meatus nasal inferior selama 2-5 menit. Hasil
negatif (tidak ada pewarnaan pada kapas) menunjukkan adanya bstruksi secara
anatomis ataupun gangguan fungsi sistem lakrimal.
Tes Jones II dilakukan dengan mengirigasi residu fluoresen dari pemeriksaan
Jones I dengan menggunakan kanula dan salin normal melalui pungtum dan
kanalikuli lakrimalis inferior (seperti Tes Anel). Hasil positif apabila keluar
fluoresen melalui hidung tanpa regurgitasi. Hasil negatif ketika tidak ada cairan
pewarna yang keluar dari hitung, yang menunjukkan adanya obstruksi total sistem
nasolakrimal. 7,13
 Dakriosistogram
Merupakan pemeriksaan rontgen substracting dakriosistogram yang dilakukan
untuk dapat memberikan gambaran kelainan anatomis pada pasien dengan
dakriosistitis.
 Nasal Endoscopy
Digunakan untuk mengetahui penyebab obstruksi pada sistem drainase
nasolakrimal (tumor, papiloma, hipertrofi turbinasi inferior, atau deviasi septum
nasal).7,13
1
 Coherence Tomography Scan
Digunakan untuk mengeksklusi adanya perluasan infeksi atau selulitis orbita.
Pada dakriosistitis tanpa komplikasi, temuan dapat berupa pelebaran sakus
lakrimalis atau adanya benda asing atau massa di regio tersebut.
 Perwarnaan Gram dan Kultur
Digunakan untuk mengetahui etiologi penyebab infeksi, dapat dilakukan pada
sampel kotoran mata dari pungtum lakrimal setelah melakukan pemijatan Crigler
 Histopatologi
Hasil histopatologi dakriosistitis kronis biasanya menunjukkan gambaran fibrosis
dan inflamasi non-granulomatosa.7,20

 Diagnosis Banding
 Dacryocele
Dapat ditemukan pada neonatus akibat obstruksi sistem nasolakrimal. Dacryocele
merupakan kondisi steril. Gambaran klinis dapat berupa massa kistik di inferior
kantus medial yang berwarna merah kebiruan. Apabila ditekan dapat memberikan
hasil yang sama dengan dakriosistitis, yaitu pengeluaran sekret mukopurulen atau
air mata dari pungtum lakrimalis.
 Pseudodakriosistitis
Merupakan peradangan pada sinus etmoid anterior yang dapat memberikan
gambaran klinis yang mirip dengan dakriosistitis. Tes Anel pada pasien berikut
biasanya memberikan hasil sistem drainase yang paten. Pada pemeriksaan
penunjang dengan pencitraan, umumnya dapat ditemukan gambaran sinusitis,
yaitu air cell pada ethmoid dan erosi tulang.
 Nasal Gliomal
Dapat ditemukan adanya lesi nodular yang menyerupai manifestasi dakriosistitis
akut. Namun, letak nasal glioma biasanya di bagian hidung yang lebih inferior,
sedangkan dakriosistitis di sekitar nose bridge
 Selulitis Orbita
Merupakan peradangan pada jaringan ikat longgar intraorbita di area posterior
septum orbita. Dapat memberikan gambaran eritema dan edema pada daerah yang
1
sama dengan dakriosistitis namun umumnya selulitis orbita mencakup area yang
lebih luas, sering disertai dengan proptosis, nyeri yang timbul saat menggerakkan
bola mata, dan penurunan tajam penglihatan apabila sudah terjadi neuritis. Jika
kantus medial ditekan, tidak ada sekret mukopurulen yang keluar dari pungtum
lakrimalis seperti pada kasus dakriosistitis.7,13

2.7 Terapi, Komplikasi, dan Prognosis Dakriosistitis


Penanganan farmakologi pada dakriosistitis ini melibatkan pendekatan
konservatif dengan tujuan mengurangi gejala yang muncul. Terapi umum
melibatkan langkah-langkah seperti kompres hangat tiga kali sehari, penggunaan
analgetik untuk meredakan rasa nyeri, dan pemberian antibiotik oral serta crigler
massage.7 Obat tetes mata seperti kloramfenikol 0,8% dapat diberikan setiap
enam jam untuk mempercepat proses penyembuhan, meskipun kurang efektif jika
digunakan untuk infeksi yang terlokalisasi di dalam saluran lakrimal atau jaringan
sekitarnya. Pengobatan dakriosistitis kongenital meliputi tindakan konservatif
terlebih dahulu. Pijat crigler harus diajarkan kepada orang tua atau pengasuh
untuk dilakukan di rumah.
Antibiotik topikal dapat dipertimbangkan untuk flare akut. Sekitar 90%
dakriosistitis kongenital akan sembuh pada usia 6 bulan hingga 1 tahun dengan
tindakan konservatif. Jika tindakan konservatif gagal, maka akan dirujuk ke
dokter spesialis mata untuk pemeriksaan nasolakrimal. 7 Dakriosistitis akut pada
pasien anak merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan penanganan segera
karena tingkat keparahan penyakitnya. Pasien anak biasanya memerlukan
pemantauan ketat karena potensi untuk berkembang dengan cepat serta dosis
antibiotik. Dakriosistitis akut pada anak biasanya memerlukan antibiotik sistemik
melalui jalur intravena. Antibiotik yang biasa digunakan untuk PAD termasuk
penisilin, sefalosporin, klindamisin, dan vankomisin.21

1
Tabel 2.1 Dosis Antibiotik untuk Dakriosistitis22

Pemeriksaan nasolakrimal berhasil pada lebih dari 70% kasus.


Dakrioplasti balon, intubasi nasolakrimal, atau pemasangan stent nasolakrimal
dapat dilakukan jika gejala kambuh. Jika tindakan ini gagal, maka DCR atau EN-
DCR akan menjadi pengobatan definitif. Untuk neonatus dapat menggunakan
antibiotik tetes mata sulfonamid 4-5 kali sehari. Pendekatan konservatif ini
biasanya diterapkan selama periode 5-7 hari.7,23
Dalam kasus gambaran klinis yang parah, cefazolin 3 x 1 gram melalui
infus intravena dapat diberikan (dosis anak 25-50 mg/KgBB/hari dibagi menjadi 3
dosis) atau cefuroxime 3 x 1,5 gram melalui infus intravena (dosis anak 75-100
mg/KgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis). 7,17,24,25

Prosedur bedah yang umum diterapkan pada dakriosistitis ini adalah


Dacryocystorhinostomy (DCR). DCR merupakan opsi penanganan utama untuk
dakriosistitis dan kondisi yang timbul akibat sumbatan pada saluran nasolakrimal.
DCR memiliki dua metode pelaksanaan, yaitu secara eksternal dan endonasal.
Pendekatan DCR eksternal melibatkan insisi transkutan, sedangkan DCR
endonasal melibatkan penggunaan endoskopi. Tingkat keberhasilan yang dicapai

1
adalah sekitar 84% untuk DCR endonasal dan 70% untuk DCR eksternal.7,24

2
Dengan pendekatan eksternal, pembukaan saluran dicapai dengan
melakukan insisi pada crista lacrimalis anterior. Dibentuk saluran berdinding
tulang di lateral hidung, dan mukosa hidung dijahitkan ke mukosa saccus
lacrimalis. Pendekatan endoskopik melalui hidung dengan memakai laser untuk
membentuk anastomosis antara saccus lacrimalis dan rongga hidung atau untuk
menghindari insisi eksternal. Dilatasi sistem nasolakrimal distal dengan balon
transluminal mungkin juga berguna untuk pasien yang tidak dapat dioperasi.7,24

Indikasi pertimbangan untuk melaksanakan DCR eksternal melibatkan faktor-


faktor berikut ini:
1. Pada pasien usia lanjut yang tidak memenuhi syarat untuk anestesi umum,
pilihan yang paling sesuai adalah DCR eksternal, karena dapat dilakukan
dengan sedasi minimal di bawah anestesi lokal.
2. Biopsi pada kantung lakrimal akan lebih mudah dilakukan melalui
pendekatan eksternal. Selain itu, prosedur biopsi dapat dilakukan sebelum
patah tulang, mengurangi risiko potensial penyebaran keganasan.
3. Pada pasien dengan fraktur wajah atau struktur anatomi yang tidak biasa,
pendekatan eksternal dapat memudahkan dan memprediksi prosedur
bedah.
4. Pendekatan eksternal dapat dipilih untuk menghindari kebutuhan
septoplasti.
5. Pada pasien dengan stenosis kanalikuli proksimal atau tengah, DCR
eksternal memungkinkan untuk melakukan intubasi retrograde.

Indikasi pertimbangan untuk melakukan DCR endonasal adalah sebagai berikut :


1. Beberapa Indikasi DCR endoskopi meliputi :
a. Obstruksi duktus nasolakrimalis primer didapat.
b. Obstruksi duktus nasolakrimalis sekunder didapat.
c. Obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital yang persisten
d. Obstruksi duktus nasolakrimalis fungsional

2
e. Dakriosistitis akut, tidak responsif terhadap perawatan medis

2
f. Dakriosistitis kronis

2. Beberapa kontraindikasi DCR endoskopi meliputi :


a. Penyebab epiphora lain, seperti mata kering evaporatif
b. Keganasan kulit canthus medial sebelumnya
c. Melanggar penghalang tulang dan kulit dalam pengaturan DCR eksternal
berpotensi menyebarkan tumor dalam pengaturan penyakit berulang
d. Radioterapi di daerah canthal medial

Dakriosistitis dapat meluas dari kantung lakrimal ke jaringan orbita di


sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan selulitis preseptal, selulitis orbita, dan
abses orbita. Selulitis orbita dapat menyebabkan penekanan saraf optik dan
kehilangan penglihatan. Pemberian antibiotik sistemik secara dini adalah cara
terbaik untuk mencegah komplikasi ini.17,24,25
Secara umum, prognosis untuk dakriosistitis baik. DCR telah dilaporkan
berhasil lebih dari 93% hingga 97%, dan pada kasus bawaan, sekitar 90% akan
sembuh dengan tindakan konservatif saja pada usia 1 tahun. Prospek untuk
sebagian besar pasien dengan obstruksi sederhana adalah baik, tetapi bagi mereka
yang mengalami obstruksi kompleks, hasilnya dijaga dan dapat mengganggu
penglihatan dan gaya hidup.7

2
Tabel 2.2 Bagan Terapi Dakriosistitis7,26
Dakriosistitis Akut Dakriosistitis Kronik Dakriosistitis Kongenital
1. Terapi awal termasuk kompres 1. Pengobatan konservatif dengan 1. Penatalaksanaan awal dengan
hangat dan pemberian antibiotik probing dan lakrimal syringing (anel pijatan pada regio saccus
oral; irigasi dan probing tidak test) dapat dilakukan pada kasus lakrimal dan pemberian
dianjurkan. baru. antibiotik topikal. Pijatan akan
meningkatkan tekanan
2. Dilatasi balon kateter.
2. Insisi dan drainase dapat hidrostatik pada saccus dan
dilakukan jika terdapat pus dan membantu untuk membuka
3. Dacryocystorhinostomy (DCR).
abses. Hal ini juga dapat menjadi oklusi membran. Pijatan
Ini harus menjadioperasi pilihan
resiko terjadinya fistula pada dilakukan setidaknya 4 kali
untuk memperbaiki drainase sistem
daerah sakus. sehari dan diikuti dengan
lakrimal.
pemberian tetes mata antibiotik.
3. Dacryocystorhinostomy (DCR) pengobatan konservatif ini
4. Dacryocystectomy (DCT). Ini
dilakukan setelah tahap akut dapat
harus dilakukan hanya ketika DCR
terkontrol dan resiko rekurensi menyebabkan rekanalisasi
merupakan kontraindikasi.
dapat diminimalkan. spontan pada 90% kasus dalam
5.Conjunctivodacryocystorhinostomy waktu 6-12 bulan.
(CDCR)
2. Lacrimal syringing (irigasi)
jika kondisi tidak sembuh sampai
usia 3 bulan.

3. Probing NLD dengan Bowman


probe. Harus dilakukan dalam
kondisi tidak sembuh sampai usia
6 bulan. Beberapa ahli bedah
lebih suka menunggu sampai usia
9-12 bulan.

4. Dilatasi balon kateter dilatasi


2
dapat dilakukan pada anak-anak

2
dimana telah dilakukan probing
berulang dan gagal.

5. Intubasi dengan tabung silikon


dapat dilakukan jikaprobing dan
balon kateter dilatasi gagal.

6.Dacryocystorhinostomy (DCR)
bila telah dilakukan probing
berulang, balon kateter dilatasi
dan intubasi yang gagal.

2
BAB III
KESIMPULAN
Dakriosistitis adalah inflamasi pada sakus lakrimalis akibat adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Berdasarkan usianya, penyebab dari
obstruksi ini pun juga akan berbeda dimana pada anak – anak biasanya karena
membran nasolakrimal yang tidak terbuka, sedangkan pada orang dewasa
disebabkan adanya penekanan pada salurannya. Dakriosistitis mempunyai
distribusi bimodal, dengan sebagian besar kasus terjadi segera setelah kelahiran
pada kasus bawaan atau pada orang dewasa berusia lebih dari 40 tahun.
Dakriosistitis kongenital terjadi pada sekitar 1 dari 3884 kelahiran hidup.
Dacrocystitis lebih sering ditemukan pada orang dewasa dari ras kulit putih,
dengan hampir 75% kasus terjadi pada wanita.

Dakriosistitis dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronik dan didapat


atau kongenital. Dakriosistitis akut dapat disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme. Jenis bakteri yang sering menginfeksi dakriosistits akut biasanya
berasal dari saluran pernapasan atas seperti spesies Staphylococcus,
Streptococcus, Haemophilus influenza dan Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan,
Dakriosistitis kronik merupakan hasil dari obstruksi kronis akibat penyakit
sistemik, infeksi berulang, dacryoliths, dan inflamasi kronis dari sistem
nasolakrimal. Patofisiologi dakriosistitis adalah adanya sumbatan pada sakus
lakrimal atau duktus nasolakrimal sehingga menyebabkan bendungan air mata
pada sakus tersebut dan biasanya diikuti oleh infeksi sekunder. Faktor risiko
terbesar terjadinya dakriosistitis adalah obstruksi duktus nasolakrimalis.
Penanganan farmakologi pada dakriosistitis ini melibatkan pendekatan konservatif
dengan tujuan mengurangi gejala yang muncul. Terapi umum melibatkan
langkah-langkah seperti kompres hangat tiga kali sehari, penggunaan analgetik
untuk meredakan rasa nyeri, dan pemberian antibiotik oral.

2
DAFTAR PUSTAKA
1. Brar V, Law s, Lindsey J, Mackey D, Schultze R, Singh R. Fundamental
and Principles of Opthalmology. Cantor L, Rapuano C, McCannel C,
editors. San Fransisco: American Academy of Opthalmology; 2019. 28–34
p.
2. Bobby S, Cat N, Keith D. Oculofacial Plastic and Orbital Surgery. Cantor
L, Rapuano C, McCannel C, editors. San Francisco: American Academy
of Ophtalmology; 2019. 279–283 p.
3. Riordan P, Cunningham E. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.
18th ed. California: McGraw Hill Lange; 2011. 78–79 p.
4. Ekananda N, Raswita A, Himayani R. Dakriosistitis Kronis Post Abses
Sakus Lakrimalis dengan Fistula Sakus Lakrimalis. Jurnal Medula
Unila. 2017;7:57–61.
5. Luo B, Li M, Xiang N, Hu W, Liu R, Yan X. The microbiologic
spectrum of dacryocystitis. BMC Ophthalmol. 2021;21:29.
6. Chen L, Fu T, Gu H, Jie Y, Sun Z, Jiang D, et al. Trends in dacryocystitis
in China. Medicine. 2018;97:e11318.
7. Taylor RS, Ashurst J V. Dacryocystitis. 2023.
8. Ansari MW, Nadeem A. Atlas of Ocular Anatomy. Cham: Springer
International Publishing; 2016.
9. Conrady CD, Joos ZP, Patel BCK. Review: The Lacrimal Gland and Its
Role in Dry Eye. J Ophthalmol. 2016;2016:1–11.
10. Snell R, Lemp M. Clinical anatomy of the eye. 2nd ed. Massachusetts:
Blackwell; 1998. 114–124 p.
11. Chalam K, Ambati B, Beaver H, Grover S, Levine L, Wells T.
Fundamentals and principles of ophthalmology. California: American
Academy of Ophthalmology; 2012. 32–34 p.
12. Dutton J. Atlas of clinical and surgical orbital anatomy. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2011. 165–174 p.
13. Ali M. Atlas of lacrimal drainage disorders. 1st ed. Germany:
Springer; 2018.

2
14. Eslami F, Ghasemi Basir HR, Moradi A, Heidari Farah S.
Microbiological study of dacryocystitis in northwest of Iran. Clinical
Ophthalmology. 2018;Volume 12:1859–64.
15. Ramakrishna P. A Bacteriological Study of Dacryocystitis. Journal of
Clinical and Diagnostic Research [Internet]. 2012;6:652–5. Available from:
www.jcdr.net
16. Soebagjo H. Penyakit sistem lakrimal. Nurwasis, Lutfi D,
editors. Surabaya: Airlangga University Press; 2019. 31–39 p.
17. Ilyas S, Yulianti S. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: FK UI; 2015. 222–
229 p.
18. Nurladira ST. Manajemen Dakriosistitis. Jurnal Media Hutama [Internet].
2021;1:1468–74. Available from: http://jurnalmedikahutama.com
19. Dahlan R, Boesoirie MK, Boesoirie SF, Kartiwa A, Puspitasari H.
Karakteristik Penderita Dakriosistitis di Pusat Mata Nasional Rumah
Sakit Mata Cicendo. Majalah Kedokteran Bandung. 2017;49:281–6.
20. Mohite A, Jenyon T, Manoj B, Sandramouli S, Foster K, Oates A, et al.
Pseudodacryocystitis: paediatric case series of infected atypical ethmoid air
cells masquerading as recurrent dacryocystitis. Eye (Lond). 2017;31:657–
60.
21. Ali MJ. Pediatric Acute Dacryocystitis. Ophthalmic Plast Reconstr Surg.
2015;31:341–7.
22. Nurladira ST. Manajemen Dakriosistitis. Jurnal Medika Hutama [Internet].
2021;1468–74. Available from: http://jurnalmedikahutama.com
23. Ilyas S, Yulianti S. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: FK UI; 2015. 105–
106 p.
24. Zaidan Algifari M, Ristyaning Ayu Sangging P, Himayani R.
Dakriosistitis. Medula. 2023;13:202–6.
25. Eva P, Whitcher J. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 19th ed.
McGraw Hill; 2018. 90–91 p.
26. Syawal R, Amir S, Akib M, Maharani R, Kusumawardhani S, Razak H,
et al. Buku Ajar Bagian Ilmu Kesehatan Mata Panduan Klinik dan Skill
Program Profesi Dokter. Makasar: FK UMI; 2018. 170–175 p.

Anda mungkin juga menyukai