DACRYOCYSTITIS
Disusun Oleh :
Gilberto Evandrian (2265050091)
Aprilia Pratiwi (2265050105)
Farkhan Setiawan (2365050090)
Andrew Jeremiah Rantemangiling (2365050097)
Karlos Berlusconi Sihaloho (235050147)
Dewa Vighneshwara (2365050167)
Elena (2365050171)
Pembimbing :
dr. Reinne Natali Christine, Sp.M
3. Kepada orang tua dan rekan-rekan atas dukungan dan doa yang
diberikan kepada penulis.
Dalam penulisan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas kekurangan yang penulis
lakukan serta penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk penulisan referat berikutnya
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
2.1 Anatomi Sistem Lakrimasi.............................................................2
2.2 Definisi dan Epidemiologi..............................................................5
2.3 Klasifikasi Dakriosistitis................................................................6
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi....................................................7
2.5 Patofisiologi dan Gejala Klinis Dakriosistitis................................9
2.6 Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding Dakriosistitis.......12
2.7 Terapi, Komplikasi, dan Prognosis Dakriosistitis........................15
BAB III KESIMPULAN......................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Duktus ekskretori kelenjar lakrimal memiliki 8-12 duktus dari lobus orbital
melewati lobus palpebra bermuara ke forniks konjungtiva superior di atas tepi
tarsal lateral. Duktus tersebut memiliki pembuluh darah, limfatik, dan saraf di
dalamnya. Kelenjar lakrimal aksesorius kelenjar Krause dan Wolfring terletak di
tepi tarsus proksimal dan di forniks superior. Kelenjar-kelenjar ini sangat penting
dalam membantu menjaga kelembaban kornea. Kelenjar ini memberikan sekitar
10% dari total massa sekresi lakrimal.1–3
Vaskularisasi
Kelenjar lakrimal disuplai oleh arteri lakrimalis, cabang besar dari arteri
oftalmika. Arteri lakrimalis bercabang dari arteri oftalmika dekat dengan tempat
keluarnya arteri oftalmika dari kanalis optikum. Arteri ini berjalan pada tepi atas
3
muskulus rektus lateralis bersama dengan nervus lakrimalis. Arteri infraorbital,
cabang dari arteri maksilaris juga terkadang menyuplai kelenjar lakrimal. Darah
yang berasal dari kelenjar lakrimal akan dialirkan menuju vena oftalmika.
Drainase limfatik bergabung dengan aliran yang berasal dari konjungtiva dan
bermuara ke nodus limfatikus parotid. 10,11
4
Gambar 1. 4 Persarafan Kelenjar Lakrimal
Serabut-serabut efferen berasal dari saraf autonomik. Persarafan
parasimpatetik berperan pada proses reflex tearing sebagai respons terhadap
stimuli emosional. Persarafan parasimpatetik berasal dari nukleus lakrimalis dari
nervus fasialis di pons. Serabut saraf preganglion kemudian berjalan melalui
nervus intermedius dan cabang great petrosal dan melalui nerve of pterygoid
canal untuk bersinaps di ganglio pterigopalatin (ganglion sfenopalatin). Serabut
saraf postganglion meninggalkan ganglion dan bergabung dengan nervus
maksilaris. Serabut ini kemudian melewati cabang zigomatik dan nervus
zigomatikotemporal. Serabut-serabut saraf tersebut mencapai kelenjar lakrimal
melalui nervus lakrimalis. Serabut-serabut saraf postganglionik simpatetik berasal
dari ganglion simpatetik servikal superior dan berjalan di pleksus dari nervus di
sekitar arteri karotis interna. Serabut-serabut ini kemudian bergabung dengan
ganglion deep petrosal, nerve of pterygoid canal, nervus maksilaris, nervus
zigomatikus, nervus zigomatikotemporal, dan akhirnya nervus lakrimalis.12
6
b. Dakriosistitis kronik
Dakriosistitis kronis terjadi akibat obstruksi kronis akibat penyakit
sistemik, infeksi berulang, dakriolit, dan sisa inflamasi kronis pada sistem
nasolakrimalis. Beberapa penyakit sistemik yang umum termasuk
granulomatosis Wegener, sarkoidosis, dan lupus eritematosus sistemik.
c. Dakriosistitis didapat
Keadaan yang didapat biasanya disebabkan oleh trauma berulang,
pembedahan, pengobatan, dan neoplasma. Di antara penyebab trauma
obstruksi nasolakrimalis, fraktur nasoethmoid adalah yang paling umum.
Prosedur sinus endonasal dan endoskopi memiliki hubungan paling tinggi
di antara operasi. Obat topikal umum yang terkait dengan kondisi didapat
adalah timolol, pilokarpin, dorzolamide, idoxuridine, dan trifluridine. Obat
sistemik yang paling umum adalah fluorouracil dan docetaxel. Tumor
kantung lakrimal primer dan papiloma jinak adalah neoplasma yang paling
umum.
d. Dakriosistitis kongenital
Dakriosistitis kongenital disebabkan oleh obstruksi membranosa pada
katup Hasner di saluran nasolakrimalis distal. Sebelum melahirkan, sistem
nasolakrimalis diisi dengan cairan ketuban. Ketika cairan ketuban gagal
dikeluarkan dari sistem nasolakrimalis, cairan tersebut menjadi purulen
dalam beberapa hari setelah melahirkan dan bersifat patologis.
8
nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa diakibatkan karena adanya
penekanan pada salurannya. Tanda yang khas akibat sumbatan ini adalah
timbulnya penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus yang
merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik.4
Dakriosistitis dapat diklasifikasikan menjadi akut atau kronik dan didapat
atau bawaan. Etiologi dari dakriosistitis ini akan berbeda dimana bergantung dari
akut ataupun kronis. Pada umumnya, agen mikroorganisme pada dakriosistitis
akut adalah bakteri gram positif, namun beberapa ilmuwan mempertimbangkan
bahwa pada pasien dengan kondisi immunosuppresif dan diabetes, bakteri gram
negatif lah yang berperan. Mikroorganisme yang sering dijumpai pada usia
dewasa ialah Staphylococcus epidermidis, S. aureus, S. pneumoniae, dan
Pseudomonas aeruginosa sedangkan yang sering ditemukan pada usia anak –
anak ialah Staphylococcus aureus, Staphylococcus haemolyticus, Streptococcus
pneumoniae, dan Haemophilus influenzae.14
Dakriosistitis akut dapat disebabkan oleh beberapa mikroorganisme. Jenis
bakteri yang sering menginfeksi dakriosistits akut biasanya berasal dari saluran
pernapasan atas seperti spesies Staphylococcus, Streptococcus, Haemophilus
influenza dan Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan, Dakriosistitis kronik
merupakan hasil dari obstruksi kronis akibat penyakit sistemik, infeksi berulang,
dacryoliths, dan inflamasi kronis dari sistem nasolakrimal. Beberapa penyakit
sistemik yang umum adalah granulomatosis wegener, sarkoidosis, dan lupus
eritematosus sistemik. Sementara itu, bakteri yang dominan menyebabkan
dakriosistitis kronis adalah Haemophillus influenzae atau Streptococcus
pneumonia bahkan pathogen bakteri gram negatif (Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa) dan bakteri anaerob (Arachnia propionica) juga
mampu menjadi pathogen.15
Dakriosistitis yang didapat dapat karena trauma berulang, operasi, obat-
obatan, dan neoplasma. Fraktur nasoethmoid merupakan penyebab yang paling
sering terjadi diantara penyebab traumatis lainnya. Prosedur sinus endonasal dan
endoskopi salah satu contoh penyebab operasi. Obat topikal umum yang terkait
dengan dakriosistitis didapat adalah timolol, pilocarpine, dorzolamide,
9
idoxuridine,
1
dan trifluridine. Obat sistemik yang umum adalah fluorouracil dan docetaxel.
Neoplasma yang paling umum adalah tumor kantung lakrimal primer dan
papiloma jinak. Bentuk kongenital disebabkan oleh obstruksi membran pada
katup Hasner di duktus nasolakrimal distal.7
1
2.6 Penegakan Diagnosis dan Diagnosis Banding Dakriosistitis
Anamnesis
Pada dakriosistitis akut, gejala peradangan muncul dan memberat dalam hitungan
jam atau hari. Sedangkan pada dakriosistitis kronis, gejala yang paling sering
dikeluhkan pasien adalah mata berair (epifora). Keluhan dapat timbul berupa mata
merah, perih, dan bengkak di bagian inferiomedial ligamentum palpebra. Pasien
juga bisa mengeluhkan nyeri yang timbul karena ada distensi pada sakus
nasolakrimal.7,13,19
Pemeriksaan Fisik
Dakriosistitis akut dapat menunjukkan tanda inflamasi berupa edema, eritema,
dan area indurasi yang nyeri dengan onset cepat pada area sakus lakrimalis. Tepat
di bawah ligamentum kantus medial. Tanda inflamasi tersebut dapat meluas
hingga bagian pangkal hidung (nose bridge). Pada beberapa kasus dapat terbentuk
fistula atau ruptur pada kulit di permukaan sakus lakrimalis. Dan pada bagian
mata dapat ditmeukan injeksi konjungtiva. Penekanan pada area inferior kantus
medial dapat mengeluarkan sekret mukopurulen dari pungtum lakrimalis. Pada
dakriosistitis kronis, dapat ditemukan epifora persisten dan kotoran mata yang
berlebih. Akibat genangan lapisan air mata tersebut, dapat timbul injeksi
konjungtiva dan juga penurunan visus yang ringan. 7,19
Pemeriksaan Penunjang
Tes Anel
Tes Anel dapat menilai fungsi ekskresi air mata melalui sistem drainase
nasolakrimal. Tes Anel dilakukan dengan memasukkan cairan garam fisiologis ke
dalam kanalikuli lakrimalis melalui pungtum lakrimalis inferior. Hasil positif
apabila pasien merasakan sensasi asin dan tampak reaksi menelan yang
menunjukkan patensi sistem drainase nasolakrimalis. Bila terjadi regurgitasi
cairan garam fisiologis beserta sekret mukoid dari pungtum lakrimalis superior
1
dan teraba
1
pembesaran sakus lakrimalis, kemungkinan ada obstruksi total pada duktus
nasolakrimal.7
Dye Disappearance Test (DDT)
Dye Disappearance Test bertujuan untuk menilai ekskresi air mata yang adekuat.
Pemeriksaan DDT dilakukan dengan meneteskan cairan fluoresen pada
konjungtiva forniks, kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter
biru cobalt. Jumlah fluoresen yang persisten setelah 5 menit dapat meningkatkan
kecurigaan adanya obstruksi pada sistem nasolakrimal. Pemeriksaan DT berguna
pada anak- anak, dikarenakan pemeriksaan Anel, Probing, atau Jones sulit
dilakukan tanpa sedasi.7
Tes Jones
Tes Jones pada awalnya merupakan pemeriksaan penunjang untuk mengevaluasi
gejala epifora. Tes Jones terbagi menjadi Tes Jones I dan II. Tes Jones I dilakukan
dengan meneteskan fluoresen pada konjungtiva forniks, kemudian wire dengan
ujung kapas dimasukkan melalui meatus nasal inferior selama 2-5 menit. Hasil
negatif (tidak ada pewarnaan pada kapas) menunjukkan adanya bstruksi secara
anatomis ataupun gangguan fungsi sistem lakrimal.
Tes Jones II dilakukan dengan mengirigasi residu fluoresen dari pemeriksaan
Jones I dengan menggunakan kanula dan salin normal melalui pungtum dan
kanalikuli lakrimalis inferior (seperti Tes Anel). Hasil positif apabila keluar
fluoresen melalui hidung tanpa regurgitasi. Hasil negatif ketika tidak ada cairan
pewarna yang keluar dari hitung, yang menunjukkan adanya obstruksi total sistem
nasolakrimal. 7,13
Dakriosistogram
Merupakan pemeriksaan rontgen substracting dakriosistogram yang dilakukan
untuk dapat memberikan gambaran kelainan anatomis pada pasien dengan
dakriosistitis.
Nasal Endoscopy
Digunakan untuk mengetahui penyebab obstruksi pada sistem drainase
nasolakrimal (tumor, papiloma, hipertrofi turbinasi inferior, atau deviasi septum
nasal).7,13
1
Coherence Tomography Scan
Digunakan untuk mengeksklusi adanya perluasan infeksi atau selulitis orbita.
Pada dakriosistitis tanpa komplikasi, temuan dapat berupa pelebaran sakus
lakrimalis atau adanya benda asing atau massa di regio tersebut.
Perwarnaan Gram dan Kultur
Digunakan untuk mengetahui etiologi penyebab infeksi, dapat dilakukan pada
sampel kotoran mata dari pungtum lakrimal setelah melakukan pemijatan Crigler
Histopatologi
Hasil histopatologi dakriosistitis kronis biasanya menunjukkan gambaran fibrosis
dan inflamasi non-granulomatosa.7,20
Diagnosis Banding
Dacryocele
Dapat ditemukan pada neonatus akibat obstruksi sistem nasolakrimal. Dacryocele
merupakan kondisi steril. Gambaran klinis dapat berupa massa kistik di inferior
kantus medial yang berwarna merah kebiruan. Apabila ditekan dapat memberikan
hasil yang sama dengan dakriosistitis, yaitu pengeluaran sekret mukopurulen atau
air mata dari pungtum lakrimalis.
Pseudodakriosistitis
Merupakan peradangan pada sinus etmoid anterior yang dapat memberikan
gambaran klinis yang mirip dengan dakriosistitis. Tes Anel pada pasien berikut
biasanya memberikan hasil sistem drainase yang paten. Pada pemeriksaan
penunjang dengan pencitraan, umumnya dapat ditemukan gambaran sinusitis,
yaitu air cell pada ethmoid dan erosi tulang.
Nasal Gliomal
Dapat ditemukan adanya lesi nodular yang menyerupai manifestasi dakriosistitis
akut. Namun, letak nasal glioma biasanya di bagian hidung yang lebih inferior,
sedangkan dakriosistitis di sekitar nose bridge
Selulitis Orbita
Merupakan peradangan pada jaringan ikat longgar intraorbita di area posterior
septum orbita. Dapat memberikan gambaran eritema dan edema pada daerah yang
1
sama dengan dakriosistitis namun umumnya selulitis orbita mencakup area yang
lebih luas, sering disertai dengan proptosis, nyeri yang timbul saat menggerakkan
bola mata, dan penurunan tajam penglihatan apabila sudah terjadi neuritis. Jika
kantus medial ditekan, tidak ada sekret mukopurulen yang keluar dari pungtum
lakrimalis seperti pada kasus dakriosistitis.7,13
1
Tabel 2.1 Dosis Antibiotik untuk Dakriosistitis22
1
adalah sekitar 84% untuk DCR endonasal dan 70% untuk DCR eksternal.7,24
2
Dengan pendekatan eksternal, pembukaan saluran dicapai dengan
melakukan insisi pada crista lacrimalis anterior. Dibentuk saluran berdinding
tulang di lateral hidung, dan mukosa hidung dijahitkan ke mukosa saccus
lacrimalis. Pendekatan endoskopik melalui hidung dengan memakai laser untuk
membentuk anastomosis antara saccus lacrimalis dan rongga hidung atau untuk
menghindari insisi eksternal. Dilatasi sistem nasolakrimal distal dengan balon
transluminal mungkin juga berguna untuk pasien yang tidak dapat dioperasi.7,24
2
e. Dakriosistitis akut, tidak responsif terhadap perawatan medis
2
f. Dakriosistitis kronis
2
Tabel 2.2 Bagan Terapi Dakriosistitis7,26
Dakriosistitis Akut Dakriosistitis Kronik Dakriosistitis Kongenital
1. Terapi awal termasuk kompres 1. Pengobatan konservatif dengan 1. Penatalaksanaan awal dengan
hangat dan pemberian antibiotik probing dan lakrimal syringing (anel pijatan pada regio saccus
oral; irigasi dan probing tidak test) dapat dilakukan pada kasus lakrimal dan pemberian
dianjurkan. baru. antibiotik topikal. Pijatan akan
meningkatkan tekanan
2. Dilatasi balon kateter.
2. Insisi dan drainase dapat hidrostatik pada saccus dan
dilakukan jika terdapat pus dan membantu untuk membuka
3. Dacryocystorhinostomy (DCR).
abses. Hal ini juga dapat menjadi oklusi membran. Pijatan
Ini harus menjadioperasi pilihan
resiko terjadinya fistula pada dilakukan setidaknya 4 kali
untuk memperbaiki drainase sistem
daerah sakus. sehari dan diikuti dengan
lakrimal.
pemberian tetes mata antibiotik.
3. Dacryocystorhinostomy (DCR) pengobatan konservatif ini
4. Dacryocystectomy (DCT). Ini
dilakukan setelah tahap akut dapat
harus dilakukan hanya ketika DCR
terkontrol dan resiko rekurensi menyebabkan rekanalisasi
merupakan kontraindikasi.
dapat diminimalkan. spontan pada 90% kasus dalam
5.Conjunctivodacryocystorhinostomy waktu 6-12 bulan.
(CDCR)
2. Lacrimal syringing (irigasi)
jika kondisi tidak sembuh sampai
usia 3 bulan.
2
dimana telah dilakukan probing
berulang dan gagal.
6.Dacryocystorhinostomy (DCR)
bila telah dilakukan probing
berulang, balon kateter dilatasi
dan intubasi yang gagal.
2
BAB III
KESIMPULAN
Dakriosistitis adalah inflamasi pada sakus lakrimalis akibat adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Berdasarkan usianya, penyebab dari
obstruksi ini pun juga akan berbeda dimana pada anak – anak biasanya karena
membran nasolakrimal yang tidak terbuka, sedangkan pada orang dewasa
disebabkan adanya penekanan pada salurannya. Dakriosistitis mempunyai
distribusi bimodal, dengan sebagian besar kasus terjadi segera setelah kelahiran
pada kasus bawaan atau pada orang dewasa berusia lebih dari 40 tahun.
Dakriosistitis kongenital terjadi pada sekitar 1 dari 3884 kelahiran hidup.
Dacrocystitis lebih sering ditemukan pada orang dewasa dari ras kulit putih,
dengan hampir 75% kasus terjadi pada wanita.
2
DAFTAR PUSTAKA
1. Brar V, Law s, Lindsey J, Mackey D, Schultze R, Singh R. Fundamental
and Principles of Opthalmology. Cantor L, Rapuano C, McCannel C,
editors. San Fransisco: American Academy of Opthalmology; 2019. 28–34
p.
2. Bobby S, Cat N, Keith D. Oculofacial Plastic and Orbital Surgery. Cantor
L, Rapuano C, McCannel C, editors. San Francisco: American Academy
of Ophtalmology; 2019. 279–283 p.
3. Riordan P, Cunningham E. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.
18th ed. California: McGraw Hill Lange; 2011. 78–79 p.
4. Ekananda N, Raswita A, Himayani R. Dakriosistitis Kronis Post Abses
Sakus Lakrimalis dengan Fistula Sakus Lakrimalis. Jurnal Medula
Unila. 2017;7:57–61.
5. Luo B, Li M, Xiang N, Hu W, Liu R, Yan X. The microbiologic
spectrum of dacryocystitis. BMC Ophthalmol. 2021;21:29.
6. Chen L, Fu T, Gu H, Jie Y, Sun Z, Jiang D, et al. Trends in dacryocystitis
in China. Medicine. 2018;97:e11318.
7. Taylor RS, Ashurst J V. Dacryocystitis. 2023.
8. Ansari MW, Nadeem A. Atlas of Ocular Anatomy. Cham: Springer
International Publishing; 2016.
9. Conrady CD, Joos ZP, Patel BCK. Review: The Lacrimal Gland and Its
Role in Dry Eye. J Ophthalmol. 2016;2016:1–11.
10. Snell R, Lemp M. Clinical anatomy of the eye. 2nd ed. Massachusetts:
Blackwell; 1998. 114–124 p.
11. Chalam K, Ambati B, Beaver H, Grover S, Levine L, Wells T.
Fundamentals and principles of ophthalmology. California: American
Academy of Ophthalmology; 2012. 32–34 p.
12. Dutton J. Atlas of clinical and surgical orbital anatomy. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2011. 165–174 p.
13. Ali M. Atlas of lacrimal drainage disorders. 1st ed. Germany:
Springer; 2018.
2
14. Eslami F, Ghasemi Basir HR, Moradi A, Heidari Farah S.
Microbiological study of dacryocystitis in northwest of Iran. Clinical
Ophthalmology. 2018;Volume 12:1859–64.
15. Ramakrishna P. A Bacteriological Study of Dacryocystitis. Journal of
Clinical and Diagnostic Research [Internet]. 2012;6:652–5. Available from:
www.jcdr.net
16. Soebagjo H. Penyakit sistem lakrimal. Nurwasis, Lutfi D,
editors. Surabaya: Airlangga University Press; 2019. 31–39 p.
17. Ilyas S, Yulianti S. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: FK UI; 2015. 222–
229 p.
18. Nurladira ST. Manajemen Dakriosistitis. Jurnal Media Hutama [Internet].
2021;1:1468–74. Available from: http://jurnalmedikahutama.com
19. Dahlan R, Boesoirie MK, Boesoirie SF, Kartiwa A, Puspitasari H.
Karakteristik Penderita Dakriosistitis di Pusat Mata Nasional Rumah
Sakit Mata Cicendo. Majalah Kedokteran Bandung. 2017;49:281–6.
20. Mohite A, Jenyon T, Manoj B, Sandramouli S, Foster K, Oates A, et al.
Pseudodacryocystitis: paediatric case series of infected atypical ethmoid air
cells masquerading as recurrent dacryocystitis. Eye (Lond). 2017;31:657–
60.
21. Ali MJ. Pediatric Acute Dacryocystitis. Ophthalmic Plast Reconstr Surg.
2015;31:341–7.
22. Nurladira ST. Manajemen Dakriosistitis. Jurnal Medika Hutama [Internet].
2021;1468–74. Available from: http://jurnalmedikahutama.com
23. Ilyas S, Yulianti S. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: FK UI; 2015. 105–
106 p.
24. Zaidan Algifari M, Ristyaning Ayu Sangging P, Himayani R.
Dakriosistitis. Medula. 2023;13:202–6.
25. Eva P, Whitcher J. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 19th ed.
McGraw Hill; 2018. 90–91 p.
26. Syawal R, Amir S, Akib M, Maharani R, Kusumawardhani S, Razak H,
et al. Buku Ajar Bagian Ilmu Kesehatan Mata Panduan Klinik dan Skill
Program Profesi Dokter. Makasar: FK UMI; 2018. 170–175 p.