Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

KERATITIS

Oleh :

ALIFIA NURDANI DARMAWAN


70700119014

Supervisor Pembimbing :
dr. A.Tenrisanna Devi, Sp.M (K), MARS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua
bahwa dengan segala keterbatasan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Keratitis” dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik Departemen IK Mata Program Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat bimbingan, kerja sama,
serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak yang telah diterima penulis
sehingga segala rintangan yang dihadapi selama penulisan dan penyusunan referat
ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya secara tulus dan
ikhlas kepada yang terhormat :
1. dr. A.Tenrisanna Devi, Sp.M(K), MARS selaku Supervisor pembimbing.
2. Serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu.
Tidak ada manusia yang sempurna maka penulis menyadari sepenuhnya
bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna, sehingga dengan segala kerendahan
hati penulis siap menerima kritik dan saran serta koreksi yang membangun dari
semua pihak.

Makassar, 29 November 2020

Alifia Nurdani Darmawan

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul

“KERATITIS”

Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui

Pada Tanggal, 2020

Oleh:

Pembimbing Supervisor

dr. A.Tenrisanna Devi, Sp.M (K), MARS

Mengetahui,

Ketua program studi Pendidikan profesi dokter

UIN Alauddin Makassar

dr. Azizah Nurdin, Sp.OG, M. Kes


NIP. 198409052009012011
2
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL

KATA PENGANTAR ........................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS.............................................................................3

2.1 Identitas Pasien......................................................................................3

2.2 Anamnesis.............................................................................................3

2.3 Pemeriksaan Tanda Vital......................................................................4

2.4 Pemeriksaan Fisik.................................................................................4

2.5 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................6

2.6 Diagnosa Banding.................................................................................8

2.7 Diagnosa................................................................................................8

2.8 Tatalaksana............................................................................................8

2.9 Planning.................................................................................................9

2.10 Prognosis...............................................................................................9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................11

3.1 Definisi................................................................................................11
3
3.2 Epidimiologi........................................................................................11

3.3 Etiologi................................................................................................12

3.4 Klasifikasi............................................................................................12

3.5 Patogenesis..........................................................................................14

3.6 Manifestasi Klinis................................................................................16

3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding.......................................................16

3.8 Pemeriksaan Fisik................................................................................17

3.9 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................18

3.10 Tatalaksana..........................................................................................19

3.12 Pengobatan Tambahan.........................................................................20

3.13 Prognosis.............................................................................................20

BAB IV ANALISA KASUS..............................................................................21

BAB V KESIMPULAN....................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah.....................................................6

Tabel 2. Follow up pasien harian............................................................................9

KERATITIS

I. ANATOMI DAN HISTOLOGI KORNEA


Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total
58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme
pada sistem optik. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari
aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah
satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf
nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam
stroma kornea, menembus membran Bowman melepas selubung Schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin
oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.1,2
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan
selaput bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis
dari jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :

1. Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal
5
lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan
film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal
sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel
sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan
glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Sedangkan
epitel berasal dari ektoderem permukaan. Epitel memiliki daya regenerasi.1

6
2. Membran bowman
Membran yang jernih dan aselular, Terletak di bawah membran basal dari
epitel. Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan
berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya
generasi.1
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Merupakan lapisan
tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen dengan lebar
sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir mencakup seluruh diameter kornea,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat
kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama,
dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.1
4. Membran Descemet
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastis dan jernih yang tampak amorf
pada pemeriksaan mikroskop elektron, membran ini berkembang terus seumur hidup
dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastis daripada membran
Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya
dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.1
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membran descemet melalui taut. Endotel
dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbeda dengan
lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel
mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel
dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga
keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma
bengkak karena kelebihan cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya
transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh
epitel dan endotel yang merupakan membrane semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan
ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.1

Gambar 1. Anatomi dan histologi kornea

II. FISIOLOGI KORNEA


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air
mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan
membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.2
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Karenanya agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti
bakteri, virus, amuba, dan jamur.2
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel
dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi
di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.2
III. KERATITIS
A. Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis (atau disebut juga
keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan stroma.3
B. Etiologi dan faktor pencetus
Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain
itu penyebab lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada mata,
pajanan terhadap cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata,
reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi
atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik .4

C. Tanda dan Gejala Umum


Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat
dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan
keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan
jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun
gejala umum adalah1,4:
 Keluar air mata yang berlebihan
 Nyeri
 Penurunan tajam penglihatan
 Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
 Mata merah
 Sensitif terhadap cahaya
D. Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena :
yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis
profunda apabila mengenai lapisan stroma.
Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis antara lain adalah1:
1. Keratitis punctata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat disebabkan oleh
sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmus, keracunan obat topical, sinar
ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.
2. Keratitis flikten
Benjolan putih yang yang bermula di limbus tetapi mempunyai kecenderungan
untuk menyerang kornea.
3. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi kelenjar lakrimale
atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
4. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik saraf, disebut juga
keratitis neuroparalitik.
5. Keratitis nummularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya multiple dan
banyak didapatkan pada petani.
Bentuk-bentuk klinik keratitis profunda antara lain adalah :
1. Keratitis interstisialis luetik atau keratitis sifilis congenital
2. Keratitis sklerotikans.
E. Patofisiologi Gejala
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan
tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.5
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris,
yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea,
minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga
merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia
umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada
ulkus bakteri purulen.5

Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas
cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau
letaknya di pusat.5
F. Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi
yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat.
Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh
sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari
gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi
penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga
mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes,
AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus5,6.
Dokter memeriksa di bawah cahaya yang memadai. Pemeriksaan sering lebih
mudah dengan meneteskan anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas
lesi epitel superfisialis yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas.
Pemakaian biomikroskop (slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan
benar; jika tidak tersedia, dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang.
Harus diperhatikan perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas
kornea. Daerah kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini.5
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan terapi
empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur.Hapusan dan kultur sering membantu
dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang terjadi di
mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau vitreous tidak
perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba endophthalmitis. 6
Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif dan satu-
satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur sangat
membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon klinis yang
tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan obat-obatan yang
tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur dimana respon
klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun keterlambatan dalam
pemulihan patogen dapat terjadi.6
Sampel kornea diperoleh dengan memakai agen anestesi topikal dan
menggunakan instrumen steril untuk mendapatkan atau mengorek sampel dari
daerah yang terinfeksi pada kornea. Kapas steril juga dapat digunakan untuk
mendapatkan sampel. Ini paling mudah dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.6
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal terhadap
pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan gambaran klinis
yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat diindikasikan jika
infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan jaringan atasnya tidak
terlibat.6
Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat dilakukan dengan bantuan Slit
Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi topikal, gunakan sebuah pisau untuk
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat
waktu.6
IV. KERATITIS BAKTERIALIS
A. Definisi
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri
khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap
bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus
kornea, pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior
adalah karakteristik dari penyakit ini.5
B. Etiologi
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah
Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,
Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis
jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.4
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri
oportunistik (mis., Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-chelonei), yang
menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar perlahan dan
superficial.4,5

C. Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang
intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan
terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan
invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi.
Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur
non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi,
epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel
inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan
nekrosis lamella stroma.6
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,
menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon.
Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat
diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi
substansi kornea.6
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari keratitis bacterial yaitu4:
 Nyeri sedang - berat
 Fotofobia
 Blefarospasme
 Ulkus kornea , infiltrat
 Penglihatan terganggu
 Lakrimasi
 Sekret purulen

Gambar 2. Keratitis bacterial


a. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam setelah inokulasi
pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas
tegas warna kelabu yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat infeksi
ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi
sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan
istilah "ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah yang pertama
terlibat, kemudian parenkim bagian dalam. Kornea sekitar ulkus sering bening.
Biasanya ada hipopion. Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus
mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif.5

b. Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning di
tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang sangat biasanya menyertainya. Lesi ini
cenderung cepat menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik yang
dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya superfisial, ulkus ini dapat
mengenai seluruh kornea. Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung
membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan eksudat mungkin berwarna
hijau kebiruan. Ini akibat pigmen yang dihasilkan organisme dan patognomonik
untuk infeksi P aeruginosa.5
Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus kornea bakteri. Kasus ulkus
kornea Pseudomonas dapat terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa
kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus kornea yang disebabkan
organisme ini bervariasi dari yang sangat jinak sampai yang menghancurkan.
Organisme itu ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak. Beberapa kasus
dilaporkan setelah penggunaan larutan florescein atau obat tetes mata yang
terkontaminasi. 5
c.Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk cakram dengan tepi
ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi
kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
E. Terapi
Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya
pengobatan dengan dasar berikut:
1. Untuk bakteri gram negatif: tobramisin, gentamicin dan polimiksin
2. Untuk bakteri gram positif : cefazoin, vancomycin dan basitrasin
3. Antibiotic spectrum luas seperti : ofloxacin, norfloxacin, dan pulymyxin4
F. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan
kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis
dan hilangnya penglihatan.4,7
G. Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah
ini, dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
- Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
- Luas dan lokasi ulkus kornea
- Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen7
V. KERATITIS VIRUS
1. Keratitis Herpes Simplek
A. Definisi
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling
sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada
mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita
keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan
jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.3
B. Manifestasi klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus
bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral khususnya
pada pasien-pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa
menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat
dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk
penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya
antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir
oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas.4
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik
atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion
n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat
berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi
kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional,
pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi
imunosupresi.5
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun
pertama, dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan
melaporkan angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh
dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta
mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan
pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.5
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun
beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi
kornea kedua jenis ini tidak dapat dibedakan.4
a. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea
umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala
infeksi herpes rekurens.5
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada
keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia.3
b. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan
proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus
dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan
gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada
kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus
terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,
namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea
yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial.5
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya
penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV
adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis
filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi
dendritik khas dalam satu dua hari.5
Gambar 4. Lesi geografik
Gambar 3. Lesi dendritik

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis


herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.3
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada
infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi
berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk
membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan
keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel
karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes
pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah
berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan
penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal.5
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang
dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga
sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes
simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika
dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel,
akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada
penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes, namun unsur
bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut,
yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin
terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.5
Gambar 5. Lesi dengan Wessely Gambar 6. Keratitis Diskiformis

C. Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma
kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh
sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya
mungkin menahun dan dapat merusak.5
D. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil
efek merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus.
Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis
kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap
hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72
jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel.
Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi
keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi
berbagai keracunan obat.4,6,7
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan
penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap
penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter
terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease
study).4,6,7
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal
ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat
merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti
virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.4,7
3. Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat
timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.4,7
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau
fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi
penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin
diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes
simplek.4,7
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus
dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya.
Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat
dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan
terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan yang
dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum
sebelum menstruasi.4,7
E. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan
gejala sisa.6
2. Keratitis Virus Varisela Zoster
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering
pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian
kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan
lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah
dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi.5
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic
relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya
sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic
dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi
cabang-cabang Nervus Nasosiliaris.5
Gambar 7. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N
Nasosiliaris

Berbeda dari keratitis HSV rekuren, yang umumnya hanya mengenai epithel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi epitelnya
keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang pada pseudodendrite linear yang sedikit
mirip dendrite pada keratitis HSV. Keluhan stroma disebabkan oleh edema dan
sedikit infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti
penyakit stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul
keratitis disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea
selalu merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi
kornea tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa
minggu sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah
berat pada penyakit VZV mata.5
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk
mengobati herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya
terganggu. Dosis oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi
hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal
kurang meyakinkan. Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati
keratitis berat, uveitis, dan glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik
masih kontroversial. Terapi ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi
dan hebatnya neuralgia paska herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri.5
VI. KERATITIS FUNGI
A. Etiologi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea
dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53%
kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan
keratitis jamur. Beberapa spesies yang dapat menyebabkan keratitis jamur yaitu
Aspergilus fusarium, Cefalosporium, dan Candida albicans.4,7
B. Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.
Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut,
respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.4
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang
tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi
utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat
paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan
reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion
dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera
okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi
berwarna putih kekuningan.6
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut4,7 :
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.
Gambar 8. Keratitis Aspergilus Gambar 9. Keratitis Candida

C. Diagnosa Laboratorik
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan
diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan
kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta
India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan
80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar.
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast
microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski)
yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar
Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.10
D. Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:
1. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
2. Jamur berfilamen.
3. Ragi (yeast).
4. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin
5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % .
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.
Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk
mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up)
dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya
infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik
biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-
kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis
diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.6
B.PARESE NERVUS OKULOMOTORIUS

• Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot-otot ekstraokular dan kadang disertai ptosis.
Tidak terdapat internal oftalmoplegia

• Trauma, dapat berupa trauma saat kelahiran ataupun akibat kecelakaan. Namun,
terkenannya nervus okulomotorius lebih kecil kemungkinannya dibandingkan nervus
abdusens.

• Aneurisma, biasanya mengenai a. komunikans posterior atau a. karotis interna pars


supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotorius dapat terjadi sebagian ataupun total
dan biasanya disertai dengan nyeri hebat di sekitar mata. 0pabila aneurisma terjadi
pada a. karotis interna pars infraklinoid maka kelumpuhan nervus okulomotorius
biasanya didahului oleh kelumpuhan nervus abdusens

• Dabetes dan Hipertensi, kelumpuhan nervus okulomotorius disebabkan oleh


arteriosklerosis.

• Neoplasma, kerusakan pada nervus okulomotorius dapat terjadi akibat invasi


neoplasma pada nukleus nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di sepanjang
perjalanan N.III mulai dari fasikulus nervus okulomotorius sampai ke terminalnya di
orbita (misalnya akibat tumor nasofaring, tumor kelenjar hipofisis, meningioma)
Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja sepanjang
perjalanan saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius mempengaruhi M.
rektus medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. levator palpebra, dan kedua M.
rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta
pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral. Dari fasikulus nervus okulomotorius di
otak tengah ke terminalnya di orbita, semua lesi lain menimbulkan lesi yang
semata-mata ipsilateral.

Semua pasien dibawah umur 40 tahun dengan Semua pasien dengan gejala atau tanda
gejala parese N.III diperiksa CT Scan, cairan perdarahan subarachnoid harus
serebrospinalnya, dan angiografi serebral, tanpa diperiksa CT Scan, pemeriksaan CSF, dan
memperhatikan angiografi
keadaan pupil.

Semua pasien berumur lebih dari 40 tahun


Kelompok pasien seleksi dengan kelompok dengan gejala nonpupillary dan N.III
vaskulopati (lebih dari 50 tahun)
palsy harus diperiksa CT Scan, pemeriksaan
dengan gejala pupillary sparing parese N.III akan BSE dan angiografi serebral
diobser)asi setiap hari selama 5-7 hari,
kemudian setiap bulan selama 6 bulan Trauma minor bukan penyebab parese N.III
$enyebab lain harus dicari untuk
evaluasi diagnostiknya.

Bila ditemukan aberrant regeneration maka


evaluasi terhadap adanya suatu lesi
massa harus dimulai, aberrant regenaration
ini adalah sebagai tanda dari lesi
kompresif terkecuali pada kasus-kasus
trauma kepala mayor.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit


Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. h. 1-13
2. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan
Ashabury Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 1-
27
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam :
Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI ; 2010. H 147-78
4. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket
Textbook Atlas. 2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
5. Paul dan John. Kornea. Dalam Vaughhan dan Ashabury Oftalmology
Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 125-48
6. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-
Langston D. Manual of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5 th edition.
Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 67-129
7. Schlote dkk. Pocket Atlas of Ophtalmology. Stuttgart ; thieme ; 2006. P.
96-101

29

Anda mungkin juga menyukai