Anda di halaman 1dari 30

Telaah Ilmiah

NEUROIMAGING PADA KASUS


NEUROOFTALMOLOGI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Departemen Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Oleh:
Wiena Nadella Praja, S.Ked
04054822022110

Pembimbing:
dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp.M(K), MARS

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. MOHAMMAD HOESIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Referat
NEUROIMAGING PADA KASUS NEUROOFTALMOLOGI

Oleh:
Wiena Nadella Praja, S.Ked 04054822022110

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang
periode 21 September s.d. 8 Oktober 2020.

Palembang, September 2020


Pembimbing,

dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp.M(K),


MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan referat ini dengan judul
“Neuroimaging pada Kasus Neurooftalmologi” yang merupakan bagian sistem
pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr.
Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp.M(K), MARS, selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam
penyusunan referat ini.
Dalam penyusunan referat ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
referat ini masih terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan.
Sehingga apabila ada kritik dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan
referat, penulis ucapkan banyak terimakasih. Demikianlah penulisan referat ini,
semoga dapat berguna bagi kita semua.

Palembang, September 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
KATA PENGANTAR....................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1 Anatomi Nervus Optikus................................................................... 3
Nervus Optikus ............................................................................... 4
Kiasma Optikus............................................................................... 5
Traktus Optikus............................................................................... 5
Nukleus Genikulat Lateral............................................................... 5
Radiasi Optik................................................................................... 5
Vaskularisasi.................................................................................... 6
2.2 Computed Tomography (CT Scan).................................................... 7
2.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)................................................ 8
2.4 Neuritis Optik.................................................................................... 9
Klasifikasi........................................................................................ 11
2.5 Hemianopia bitemporal..................................................................... 13
2.6 Hemianopia homonym...................................................................... 14
2.7 Cranial Nerve Palsy........................................................................... 15
2.8 Nistagmus.......................................................................................... 16
2.9 Proptosis ........................................................................................... 18
2.10 Sindrom Horner................................................................................. 18
2.11 Papilledema....................................................................................... 19

iv
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 22

v
DAFTAR GAMBAR

1. Struktur Laminar Retina............................................................................... 3


2. Perjalanan Akso-Akson Ganglion Retina..................................................... 4
3. Nervus opticus.............................................................................................. 6
4. Arteries of the orbit and eyeball (superior view).......................................... 6
5. Gambaran CT Scan orbital secara Axial (A) dan Coronal (B) yang normal 7
6. Gambaran MRI orbital TI-weighted (A) dan T2-weighted (B).................... 8
7. MRI otak dan orbital..................................................................................... 9
8. MRI otak dan orbital..................................................................................... 11
9. Neuritis Optik Terisolasi.............................................................................. 11
10. Sklerosis multipel pada pasien dengan neuritis optic sisi kanan.................. 13
11. MRI stella dengan kontras T1...................................................................... 14
12. Hiperintensitas DWI akibat infark pada arteri cerebral media sinistra........ 15
13. MRI kepala penampang sagittal................................................................... 16
14. Malformasi Arnold-Chiari tipe 1.................................................................. 17
15. Pasien dengan sinusitis fungal dengan ekspansi berat.................................. 18
16. Pasien dengan ptosis kiri dan anisokoria akibat HS kiri19.......................... 18
17. Trombosis Vena............................................................................................ 20

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam tiga dekade terakhir, terdapat banyak sekali kemajuan dalam
modalitas pencitraan yang dapat mengevaluasi, managemen, dan tatalaksana
pada kasus neurooftalmologi. Pendekatan non invasif sebagai deteksi dini dan
monitor tatalaksana telah menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.1
Sebagai organ superfisial, mata merupakan suatu organ yang mudah
dijangkau oleh dokter untuk dilakukan penilaian klinis. Penilaian awal, sifat
optic, dan media konduksi cahaya paling baik dilakukan dengan pemeriksaan
oftalmologi secara langsung. Neuroimaging merupakan suatu alat diagnostic
dan prognostik yang baik dalam oftalmologi. Meskipun penilaian klinis awal
memiliki peran penting dalam penilaian jalur saraf visual, pencitraan
diperlukan untuk menilai anatomi dan patologi saraf optik. Namun, pencitraan
tersebut hanya sebagai pendamping diagnosis, bukan sebagai pengganti
pemeriksaan klinis pasien secara rinci.1,2
Memahami metode dasar teknik pencitraan dan pilihan modalitas
pencitraan pada kasus neurooftalmologi sangat penting untuk evaluasi pasien
dengan tepat. Adapun dua modalitas pencitraan yang sering digunakan berupa
Computed Tomography dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Namun,
variasi dari modalitas tersebut serta lokasi pencitraan yang tepat harus
dipertimbangkan dalam setiap scenario klinis. Pilihan modalitas pencitraan
harus didasari pada perbedaan manifestasi klinis, lesi yang dicurigai,dan
lokasinya.3

1
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan ilmiah ini adalah untuk membahas mengenai
neuroimaging pada kasus neurooftalmologi sehingga dokter umum memiliki
dasar pengetahuan dan tindakan yang akan dilakukannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nervus Optikus

Gambar 1. Struktur Laminar Retina4

Retinal ganglion cells (RGCs) merupakan neuron retina pertama yang


berkembang. Nervus opticus terdiri dari axon-axon RGCs dan sel glial.
Terdapat 1 juta serabut nervus opticus dengan 5 tipe: (1) aferen visual, (2)
aferen pupil, (3) eferen retina, (4) fotostatik, dan (5) serat autonomic.4

3
Gambar 2. Perjalanan akson-akson ganglion retina.4
Nervus Optikus
Memiliki panjang 50 mm dan berjalan melewati globe ke kiasma optic,
memiliki 4 bagian. Bagian pertama adalah bagian intraocular nervus opticus.
Bagian intraocular terbentuk dari axon, astrocytes, sel-sel berhubungan
kapiler, dan fibroblast RGC. Panjangnya sekitar 1-1,5 mm dan diameter 1,5
mm, seta bagian ini adalah ketika axon mengalami mielinasi, transisi untuk
menerima suplai darah dari silier posterior dan arteri ophthalmic dan masuk ke
sebuah region dengan tekanan lebih rendah.4

Kiasma Optikus

4
Kiasma optikus merupakan pertemuan serabut saraf optik dari setiap mata
yang berkumpul di anterior dan menyimpang di posterior. Kiasma optik
berdiameter sekitar 10-20 mm secara melintang, lebar anteroposterior 4-13
mm, dan ketebalan 3-5 mm. Terlepas dari keterikatannya ke otak, kiasma
optik ditutupi selubung arakhnoid dan pia mater. Pada kiasma, sekitar 53%
serabut saraf optik dari setiap mata melintasi dan melewati saluran optik
kontralateral. Sekitar 47% lainnya melanjutkan melalui saluran optik
ipsilateral.4

Traktus Optikus
Traktus optikus optik adalah bagian dari jalur visual aferen, dengan setiap
saluran mengandung serabut saraf optik yang bersilangan dan tidak
bersilangan. Sebagian besar serat ini akhirnya bersinaps di lateral geniculate
nucleus (LGN).4

Nukleus Genikulat Lateral


Setiap LGN adalah nukleus talamus yang terletak di ventrolateral yang
berasal dari dinding lateral diencephalon. LGN terdiri dari tiga segmen utama:
inti dorsal, kompleks pregenikulat, dan selebaran intergenikulat, dengan inti
dorsal menjadi sub-bagian terbesar. Inti dorsal menerima sebagian besar
masukan dari saluran optik dengan cara retinotop. Inti ini mengirimkan
keluarannya terutama ke lapisan granular 4 dari korteks visual utama V1.4

Radiasi Optik
Proyek radiasi optik dari inti dorsal dari inti genikulat lateral ke korteks
visual utama V1. Radiasi optik berjalan ke V1 melalui tiga bundel berbeda:
bundel atas, tengah, dan bawah. Bundel atas dan tengah melakukan perjalanan
ke posterior melalui lobus temporal dan parietal ke V1, dan bundel bawah
(juga dikenal sebagai loop Meyer) melakukan perjalanan superior ke ventrikel
lateral untuk mencapai korteks. Bagian superior dari radiasi optik disuplaioleh

5
cabang arteri serebral tengah, dan bagian inferior disuplai oleh arteri serebral
posterior.4

Gambar 3. Nervus opticus1

Vaskularisasi

Gambar 4. Arteries of the orbit and eyeball (superior view)4

Sebagian besar saraf optik menerima suplai darah dari arteri ophthalmic,
yang merupakan cabang utama ICA. Percabangan ini biasanya terjadi saat ICA
keluar dari sinus kavernosus. Arteri oftalmikus kemudian bercabang ke arteri
siliaris posterior, arteri retina sentral, cabang dural (falcine anterior dan arteri
meningeal rekuren), dan cabang orbital. Saluran optik disuplai oleh komunikasi

6
posterior dan arteri serebral posterior, sedangkan badan genikulat lateral disuplai
oleh arteri koroidal anterior dan arteri koroid posterior lateral. Bagian parietal dari
radiasi optik disuplai oleh arteri serebral tengah, dan bagian temporal dari radiasi
optik disuplai oleh arteri serebral posterior. Arteri serebral posterior juga
mensuplai lobus oksipital otak, yang merupakan korteks visual primer (V1).4

2.2 Computed Tomography (CT Scan)


CT scan mendapat suatu gambaran dengan teknologi sinar-X konvensional.
Sinar-X bergerak di sekeliling pasien dan detektornya yang terletak di sisi
berlawanan dari sumber sinar-X mengukur jumlah atenuasi. Data dianalisis oleh
computer, ditetapkan ke setiap piksel kemudian dibandingkan dengan nilai
atenuasi air (0) dan menjadi piksel yang membentuk gambar yang terlihat di layar
computer.3
Secara konvensi, semakin padat (hiperdense) seperti tulang akan terlihat
gambaran berwarna putih terang. Sementara hipodense seperti udara akan
memperlihatkan gambaran yang lebih gelap. Material dengan densitas diantara
keduanya akan ditampilkan dalam warna abu-abu.1,3
Penggunaan CT Scan sangat tepat pada suatu yang mengandung lemak,
misalnya orbita. Berbeda dengan occuli, kelenjar lakrimal, nervus opticus,
maupun otot-otot ekstraokular. Tulang dan lesi yang mengandung kalsium dapat
dengan mudah divisualisasikan karena redaman sinar-X.1

7
Gambar 5. Gambaran CT Scan orbital secara Axial (A) dan Coronal (B) yang normal.1

2.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Magnetic Resonance Imaging merupakan suatu metode pencitraan pilihan
pada kebanyakan pasien dengan penyakit neurooftalmologi. Pencitraan jenis ini
mengandalkan sifat magnetik proton yang berputar di jaringan lunak. Kekuatan
medan magnet tersebut diukur dalam tesla (T).1

Gambar 6. Gambaran MRI orbital TI-weighted (A) dan T2-weighted (B).1

8
MRI diklasifikasikan menjadi T1- atau T2. Setiap jaringan memiliki
karakteristik sinyal yang berbeda tergantung pada kadar air dan ikatannya
terhadap jaringan. Pada gambar (6.A), T-1 dengan kontras menunjukkan cairan
serebrospinal dan vitreous humor sebagai hipointense (gelap) , orbital fat sebagai
hiperintense (terang) dan gray matter relative hipointense dibandingkan dengan
white matter. Pada gambar (6.B) T-2 menunjukkan bahwa cairan serebrospinal,
vitreous humor, dan orbital fat bersifat hiperintense.1,2

Gambar 7. MRI otak dan orbital yang memperlihatkan anatomi visual. Struktur orbital dari
kiasma menuju orbita anterior. Aksial T1-W(A), Koronal T1-W (B). ACF : Fossa anterior cranial ,
segmen anterior, ICA= arteri karotis interna, IO= Interna oblique, IR= muskulus rektus inferior,
LR= muskulus rektus lateralis, Lev P= Levator palpebral superior, MCF= middle cranial fossa,
MR= Muskulus rektus medialis, Olf fossa= fossa olfaktorius, Sph= sinus sphenoid, SR= muskulus
rekus superios, Vit= vitreous humor1

9
2.4 Neuritis Optik
Neuritis optic merupakan suatu infeksi pada saraf optik mata. Saraf optik
membawa sinyal cahaya dari bagian posterior mata ke otak sehingga apabila
terdapat edema, defek, akibat terinfeksi akan terjadi gangguan penglihatan.5
Penyebab dari neuritis optic belum diketahui secara pasti. Kondisi ini dapat
disebabkan autoimun yang menyerang jaringan saraf optic. Beberapa penyebab
lain dilaporkan akibat infeksi virus. Adapun penyebab tersering yaitu demielinasi.
Demielinasi adalah proses patologis terjadinya kehilangan lapisan myelin
pada serabut saraf. Mielin difagositosis oleh mikroglia dan makrofag, di mana
astrosit meletakkan jaringan fibrosa dalam plak. Penyakit demielinasi
mengganggu konduksi saraf di dalam traktus white matter otak, batang otak, dan
sumsum tulang belakang.Neuritis optik biasanya terjadi pada wanita muda dengan
gejala awal berupa kehilangan penglihatan monokuler subakut yang berkembang
selama beberapa hari dan nyeri periorbital, terutama dengan gerakan mata.5,6

Dasar patologis yang paling umum untuk neuritis optik adalah demielinasi
inflamasi dari saraf optik. Patologi ini mirip dengan plak sklerosis multipel akut
(MS) di SSP, dengan cuffing perivaskular, edema pada selubung saraf mielin, dan
kerusakan mielin. Peradangan pada endotel vaskuler retina dapat mendahului
demielinasi dan terlihat sebagai selubung vena retina. Kehilangan mielin melebihi
kehilangan aksonal. Aktivasi sel T sistemik diidentifikasi pada onset gejala dan
mendahului perubahan dalam cairan serebrospinal (CSF). Perubahan sistemik
juga menjadi normal lebih awal (dalam dua hingga empat minggu) daripada
perubahan sentral. Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan sitokin dan agen
inflamasi lainnya. Aktivasi sel B terhadap protein dasar mielin tidak terlihat pada
darah perifer tetapi dapat ditunjukkan pada CSF pasien dengan neuritis optik.
Seperti MS, diduga terdapat kerentanan genetik untuk neuritis optik. Hal ini
didukung oleh representasi berlebih dari jenis antigen leukosit manusia (HLA)
tertentu di antara pasien dengan neuritis optik.7

10
Modalitas pencitraan yang direkomendasikan dalam menyingkirkan
diagnosis banding pada kasus neuritis optic demielinasi adalah MRI dengan
sebelum dan setelah diberikan kontras untuk mencari peningkatan saraf optic
(Gambar 8). Pencitraan T2-W untuk lesi periventricular demielinasi (termasuk
corpus callosum). Sinyal kuat FLAIR (Fluid Attenuation Inversion Recovery)
dapat menekan sinyal CSF normal pada T2-W yang memudahkan deteksi
demielinasi lesi white matter pada neuritis optic.1

Gambar 8. MRI otak dan orbital yang memperlihatkan anatomi visual. Struktur orbital dari
kiasma menuju orbita anterior. Aksial T1-W(A), Koronal T1-W (B). ACF : Fossa anterior cranial ,
segmen anterior, ICA= arteri karotis interna, IO= Interna oblique, IR= muskulus rektus inferior,
LR= muskulus rektus lateralis, Lev P= Levator palpebral superior, MCF= middle cranial fossa,
MR= Muskulus rektus medialis, Olf fossa= fossa olfaktorius, Sph= sinus sphenoid, SR= muskulus
rekus superios, Vit= vitreous humor1
Klasifikasi

Kondisi demielinasi dapat melibatkan sistem visual meliputi berikut ini,5

1) Neuritis optik terisolasi

11
Gambar 9. Neuritis optik terisolasi. T1-W axial magnetic resonance imaging (MRI) scan orbit
dengan penekanan lemak dan pemberian gadolinium, menunjukkan peningkatan saraf optik
intraorbital kanan (C). pemindaian MRI aksial T2-W pada otak, menunjukkan beberapa
hiperintensitas white matter (panah) yang konsisten dengan demielinasi.6

2) Multiple Sklerosis (MS) sejauh ini yang paling sering dijumpai pada
neuritis optik demielinasi. MS merupakan penyakit demielinasi idiopatik
yang melibatkan white matter sistem saraf pusat.9
Gejala sistemik MS meliputi,10
a. Medulla spinalis: kelemahan, kekakuan, gangguan sfingter, hilang
sensasi
b. Medulla oblongata: diplopia, nystagmus, dysarthria, dysphagia.
c. Serebral: hemiparesis, hemianopia, dysphasia.
d. Psikologis: penurunan intelektual, depresi, euphoria
e. Gejala transien: tanda Lhermitte (sensasi elektrik saat fleksi leher)
dan fenomena Uhthoff (perburukan penglihatan mendadak atau
gejala-gejala lain saat olahraga atau peningkatan temperatur suhu)

Gejala ophthalmic meliputi,10


a. Umum. Neuritis optik (biasanya retrobulbar), ophthalmoplegia
internuklear, nistagmus.
b. Jarang. Deviasi miring, kelumpuhan saraf motorik okuler,
hemianopia.

12
c. Langka. Uveitis menengah dan periphlebitis retinal.

Diagnosis dapat dilakukan dengan,10


a. Pungsi lumbal menunjukkan pita oligoklonal pada elektroforesis
protein cairan serebrospinal pada 90–95%.
b. MRI menunjukkan perubahan tampilan saraf optik pada pencitraan
STIR. Hampir selalu ada lesi khas pada white matter otak (plak)
c. VEP abnormal (penundaan konduksi dan penurunan amplitudo) pada
hingga 100% pasien dengan MS yang pasti secara klinis.

Gambar 10. Multipel sklerosis pada pasien dengan neuritis optik sisi kanan. Tampak
asksial T2-W(A) STIR koronal (B) STIR T-2W (C) yang menunjukkan plak
demielinasi hiperintens yang khas pada white matter supratentorial khususnya di
korpus kalosum10

2.5. Hemianopia bitemporal

13
Adanya pemisahan serabut retina nasal dan temporal pada kiasma optikus,
hilangnya lapang pandang visual akibat lesi kiasma ditandai dengan defek
temporal yang sejajar sepanjang meridian vertikal. Defek bidang visual yang
paling umum dari penekanan kiasma adalah bitemporal hemianopia.1
Kompresi kiasma optikus dapat disebabkan adanya tumor seperti adenoma
hipofisis, meningioma atau disgerminoma. Adenoma pituitary merupakan
penyebab tersering dari kompresi kiasma optikus dan dapat terjadi pasa semua
usia. Pasien dengan tumor non secreting mengeluhkan kehilangan penglihatan
karena tumor relatif membesar tanpa menyebabkan gejala-gejala lain. Tumor yang
aktif mensekresi hormone seperti prolactin atau hormone pertumbuhan sering
terdeteksi sebelum kehilangan penglihatan karena terdapat gejala endokrin
sistemik.1,12
Selain dari kompresi pada kiasma, hemianopia bitemporal dapat terjadi
akibat demielinasi (misalnya neuritis kiasma), atau adanya lesi inflamasi. Proses
patologi tersebut dapat menunjukkan pembesaran kiasma pada neuroimaging.
Untuk membedakannya dengan aneurisma arteri karotis interna dapat dibantu
dengan MRI sella dengan atau tanpa kontras. Dalam keadaan akut, CT scan stella
juga berguna untuk memperlihatkan kalsifikasi pada lesi suprasellar atau
hyperostosis tulang pada kasus meningioma.1

14
Gambar 11. MRI stella dengan kontras T1 memperlihatkan gambaran pituitary
macroadenoma yang menekan kiasma optikus dari bawah (panah).1

2.6. Hemianopia homonym


Hemianopia homonym adalah suatu kondisi dimana penderita tidak dapat
melihat objek di satu sisi. Semua jenis lesi intracranial pada jalur visual
retrokiasma (lesi pada traktus optikus, nucleus genikulat lateral, radiasi optic, dan
korteks oksipital) dapat menyebabkan hemianopia homonym. Pencitraan yang
dilakukan pada kasus ini adalah MRI kranial dengan dan tanpa kontras dengan
perharian pada jalur retrokiasma.13
Pasien dengan stroke atau kecurigaan terhadap perdarahan intracranial
dapat menjalani CT scan kepala tanpa kontras. Namun, jika CT scan negative,
direkomendasikan untuk tetap dilakukan MRI. Diffusion weighted imaging(DWI)
merupakan teknik pencitraan MR khusus yang membantu dalam membedakan
berbagai fase infarks serebral dan hubungannya dengan apparent diffusion
coefficient (ADC) dapat menunjukkan difusi terbatas yang konsisten dengan
iskemia. Dalam pengaturan akut, keduanya dapat membedakan edema vasogenik
reversible (sinyal terang pada T2 dan FLAIR dengan difusi terbatas di
DWI/ADC). Pada edema vasogenik difusi molekul air meningkat, sehingga AFC
meningkat dan DWI terlihat iso- atau hipo-intens. Sebaliknya secara sitotoksik
edema pergerakan air dari ekstraseluler ke kompartemen intraseller menghasilkan
difusi terbatas, sehingga ADC menurun dan DWI terlihat hiperintense. Penting
untuk mengetahui DWI/ADC pada hemianopsia homonym atau kebutaan kortikal
untuk prognosis.1,13

15
Gambar 12. Hiperintensitas DWI akibat infark pada arteri cerebral media sinistra
menyebabkan hemianopsia homonym kanan (panah) (A). Hipointensitas ADC akibat
infark pada arteri cerebri media sininstra (B).13

2.7. Cranial Nerve Palsy


Neuropati kranial occulomotor (kelumpuhan N.III, N.IV, N.VI) sangat
baik diidentifikasi dengan MRI kranial sebelum dan setelah kontras. MRI
terbaru seperti CISS (constructive interference in steady-state) dan FIESTA
(fast imaging employing steady-state acquisition) lebih baik dalam
menunjukkan saraf kranial dan sangat berguna untuk identifikasi lesi instrinsik
pada saraf (misalnya, schwannoma nervus occulomotor). N. VI berjalan
sepanjang klivus menuju midline.1

16
Gambar 13. MRI kepala, penampang sagittal T1 post kontras memperlihatkan clival
chondroma (panah) pada pasien dengan kelumpuhan N.VI1

Bila pasien datang dengan kelumpuhan N.III akut (terutama dengan


keterlibatan pupil) diagnosis yang sering muncul adalah aneurisma arteri
komunikan posterior. Pasien mungkin datang dengan ptosis, anisokor,
diplopia, dan sakit kepala.1

2.8 Nistagmus
Nistagmus adalah gerakan mata abnormal yang ritmis dengan gerakan
mata “lambat” yang mengarahkan mata keluar dari target diikuti dengan
gerakan kedua yang membawa mata kembali ke target. Gerakannya bisa
horizontal, vertikal, torsional atau kombinasi dari gerakan-gerakan tersebut.14
MRI kranial merupakan suatu pencitraan yang tepat pada kasus nistagmus.
Namun penggunaannya bergantung pada klasifikasi nistagmus. Misalnya pada
nistagmus see-saw dapat terlihat suatu lesi yang melibatkan midbrain atau
parasela (misalnya tumor hipofisis, atau craniofaringioma), atau spasmu
nutans pada anak-anak kemungkinan terkait dengan gliomar traktus optikus.
Nistagmus down beat mungkin terlihat pada gangguan yang mempengaruhi
cervicomedullary junction ( misalnya malformasi Arnold Chiari, atau tumor

17
basis cranii). MRI kranial pre dan post kontras merupakan suatu pilihan
pencitraan yang tepat dalam kasus nistagmus.15

Gambar 14. Malformasi Arnold-Chiari tipe 1. MRI Nistagmus downbeat , T1-W


penampang sagital, menunjukkan herniasi pada tonsil serebelar (panah) melewati
foramen magnum yang terdapat pada garis putus-putus.1

2.9 Proptosis
Proptosis atau dikenal juga dengan exoftalmus merupakan suatu kondisi
dimana bola mata menonjol secara tidak normal ke arah anterior. Penyebab
tersering proptosis unilateral atau bilateral pada orang dewasa adalah tiroid
oftalmopati.16

18
Penyebab lain untuk proptosis meliputi selulitis orbita,abses orbita,
penyakit inflamasi seperti granulamatosis Wegener, SLE, atau neoplasma
seperti meningioma , glioma, hemangioma, limfoma.16
Pencitraan pada kasus ini dapat dilakukan dengan MRI atau CT scan tanpa
kontras karena terdapat lemak pada orbita. Selain itu, bahan kontras pada CT
scan mengandung iodium yang mempotensiasi terjadinya tirotoksikosis. CT
lebih cepat dibandingkan MRI dan dapat berguna untuk menentukan selulitis
orbital, abses, orbitopati tiroid dengan neuropati, atau proptosis yang dapat
mengancam penglihatan. MRI dapat dilakukan pada lesi yang kronis sehingga
dapat melihat lesi secara rinci.1

Gambar 15. Pasien dengan sinusitis fungal dengan ekspansi berat sehingga terjadi penekan sinus
ethmoid pada rektus medialis dan mendorong orbita ke anterior. CT scan menunjukkan detail dari
struktur tulang (A) sementara T1 MRI dengan supresi lemak(B) menunjukkan detail dari jaringan
lunak pada orbita dan sinus.1

2.10 Sindrom Horner


Sindrom horner secara klinis ditandai oleh ptosis ipsilateral dan miosis.
HS diklasifikasikan menjadi tiga jenis tergantung dari lokasi gangguan sepanjang
traktus oculosimpatetik yaitu sentral, preganglion, dan post ganglion. Penyebab
HS sentral dikenali dengan gejala neurologis terlibat hipotalamus, batang otak,
atau sumsum tulang belakang (misalnya ataksia, diplopia).17

19
MRI kepala leher hingga T2 dengan atau tanpa kontras merupakan satu-
satunya pilihan pencitraan pada HS sentral. Dengan tanda MRI diagnostic adalah
hiperintesitas bulan sabit.18

Gambar 16. Pasien dengan ptosis kiri dan anisokoria akibat HS kiri. Pasien memiliki diseksi
arteri karotis sinistra. T1-W dengan kontras penampang aksial menunjukkan tanda bulan sabit
(panah) pada distal arteri carotis interna sinistra.18
2.11 Papilledema
Papilledema adalah pembengkakan discus optikus yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intracranial. Pasien biasanya datang dengan keluhan sakit
kepala hebat, pandangan kabur, atau diplopia, atau bahkan
asimptomatik.Meskipun CT scan mungkin berguna dalam keadaan akut,
namun pencitraan definitive direkomendasikan dengan MRI otak dengan atau
tanpa kontras serta MRV kepala. MRI dapat menunjukkan etiologic dari
peningkatan tekanan intracranial sedangkan MRV (magnetic resonance
venography) dapat menunjukkan suatu thrombosis vena.1

20
Gambar 17. Trombosis Vena.1

BAB III
KESIMPULAN

21
Seorang dokter harus mampu untuk menemukan manifestasi klinis yang
spesifik sebagai indikasi penggunaan modalitas pencitraan. Memahami metode
dasar teknik pencitraan dan pilihan modalitas pencitraan pada kasus
neurooftalmologi sangat penting untuk mengenali tanda-tanda pencitraan yang
khas pada tiap klinisnya. Adapun dua modalitas pencitraan yang sering digunakan
berupa Computed Tomography dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Secara
umum, MRI cenderung lebih unggul dibandingkan CT scan pada sebagian besar
kasus neurooftalmologi. Namun, CT scan juga berperan dalam kasus perdarahan
akut, penyakit orbital, sinus, penyakit tiroidoftalmopati, dan bagi beberapa pasien
yang tidak dapat melakukan MRI. Menginterpretasi hasil pencitraan dengan tepat
dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis banding dan menentukan
lokasi lesi yang tentunya dilatarbelakangi oleh pengetahuan diagnosis klinis.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Bhatti MT. et al. Neuro-Opthamology 2019-2020. San Franscisco:
American Academy of Opthamology. 2019. p.85-101. 175-6. 180-1.
2. Mncube, S. S., & Goodier, M. D. (2019). Normal Measurements of the
Optic nerve, Optic nerve sheath and Optic chiasm in the adult population.
South African Journal of Radiology, 23(1), 1–7. [Internet]. [Cited on 2020,
September 24th]. Available from: https://doi.org/10.4102/sajr.v23i1.1772.
3. Al Othman B, Raabe J, Kini A, Lee AG. Neuroradiology for
Ophthalmologists. Eye (Lond). 2020 Jun;34(6):1027-1038. [Internet].
[Cited on 2020, September 24th]. Available from: doi: 10.1038/s41433-
019-0753.
4. Lee AG, et al. Anatomy of the Optic Nerve and Visual Pathway. Elsevier.
[Internet]. [Cited on 2020, September 24th]. 2015; 1. p.277.283. Available
from: https://doi.org/10.1016/B978-0-12-410390-0.00020-2.
5. Bennett, J. L. (2019). Optic Neuritis. Continuum Lifelong Learning in
Neurology. [Internet]. [Cited on 2020, September 24th]. Available from:
doi: 10.1038/s41433-019-0753.
6. Guier CP, Stokkermans TJ. Optic Neuritis. In: StatPearls. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. [Internet]. [Cited on 2020, September 24th].
2020. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/nbk557853/.
7. Louzi OA, Saidha S. Pathophysiology of Optic Neuritis. Elsevier. 2016.
p.288-294. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-800763-1.00012-9
8. Biousse V, Newman NJ. Diagnosis and clinical features of common optic
neuropathies. Lancet Neurol. 2016; 15. p.1355-67.
9. Wesley, S., & Hafler, D. A. (2019). Multiple sclerosis. In The
Autoimmune Diseases. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-812102-
3.00051-8
10. Salmon John F. KANSKI’S Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach 9th Edition. United Kingdom: Elsevier. 2020. p.754-758.
11. Reich, D. S., Lucchinetti, C. F., & Calabresi, P. A. (2018). Multiple
sclerosis. New England Journal of Medicine.
https://doi.org/10.1056/NEJMra1401483

23
12. Mncube, S. S., & Goodier, M. D. (2019). Normal measurements of the
optic nerve, optic nerve sheath and optic chiasm in the adult population.
South African Journal of Radiology, 23(1), 1–7.
https://doi.org/10.4102/sajr.v23i1.1772
13. Wolberg A, Kapoor N. Homonymous Hemianopsia. 2020 Jun 28. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan–. PMID: 32644355.
14. Sekhon RK, Deibel JP. Nystagmus Types. [Updated 2019 Mar 16]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539711/?
report=classic
15. Tarnutzer, A. A., & Straumann, D. (2018). Nystagmus. Current Opinion
in Neurology. https://doi.org/10.1097/WCO.0000000000000517
16. Butt S, Patel BC. Exophthalmos. [Updated 2020 Jun 30]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559323/
17. Barrea, C., Vigouroux, T., Karam, J., Milet, A., Vaessen, S., & Misson, J.
P. (2016). Horner Syndrome in Children: A Clinical Condition with
Serious Underlying Disease. Neuropediatrics. https://doi.org/10.1055/s-
0036-1584085
18. Reyes, E. J., Ibrahim, M., Cornblath, W. T., Trobe, J. D., Mukherji, S. K.,
& Parmar, H. A. (2015). Horner Syndrome: A Practical Approach to
Critical Anatomy and Imaging. Neurographics.
https://doi.org/10.3174/ng.6150135

24

Anda mungkin juga menyukai