Anda di halaman 1dari 24

PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

PAPER

ANISOMETROPIA

Disusun oleh:
GITA RIZKI MAULIDA
NIM: 110100227

Supervisor:
dr. Hj. Aryani A. Amra, M.Ked(Oph), Sp.M (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2016
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan ketersediaan waktu
bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada
dr. Hj. Aryani A. Amra, M.Ked(Oph), Sp.M (K), selaku supervisor yang telah
memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini berjudul “Anisometropia” dimana tujuan penulisan makalah
ini ialah untuk memberikan informasi mengenai berbagai hal yang berhubungan
dengan anisometropia. Dengan demikian diharapkan karya tulis ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam proses pembelajaran serta diharapkan
mampu berkontribusi dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritikan yang
bersifat membangun dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan manfaat
bagi makalah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2016

Penulis

i
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1.Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2.Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
1.3.Manfaat Penulisan .......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1. Anatomi Media Refraksi .............................................................. 3
2.2. Mekanisme Refraksi ..................................................................... 8
2.3. Anisometropia .............................................................................. 10
2.3.1. Definisi ................................................................................ 10
2.3.2. Epidemiologi ....................................................................... 11
2.3.3. Etiologi ................................................................................ 11
2.3.4. Klasifikasi ........................................................................... 12
2.3.5. Gejala Klinis ....................................................................... 13
2.3.6. Diagnosis ............................................................................. 14
2.3.7. Tatalaksana.......................................................................... 15
2.3.8. Komplikasi .......................................................................... 16
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 19
LAMPIRAN

ii
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


2.1. Anatomi Mata .............................................................................. 3
2.2. Struktur Kornea ........................................................................... 5
2.3. Anatomi Lensa ............................................................................ 7
2.4. Refraksi pada Mata Normal/Emetrop ......................................... 9
2.5. Jaras Penglihatan ......................................................................... 10

iii
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Anisometropia adalah kelainan perbedaan refraksi antara dua mata.
Anisometropia yang tidak dikoreksi pada anak dapat menyebabkan ambliopia,
khususnya bila salah satu mata hipermetropia.1 Hal tersebut terjadi karena mata
tidak dapat berakomodasi secara independen dan mata yang lebih hipermetropia
akan terus-menerus kabur.2 Selain itu juga dapat terjadi perbedaan ukuran
bayangan tiap mata (aniseikonia) dan terjadi perbedaan derajat di berbagai arah
pandangan (anisophoria). Pada pasien anisometropia, anisophoria mungkin lebih
mengganggu daripada aniseikonia.1
Adanya perbedaan refraksi pada kedua mata tersebut masih dapat
ditoleransi apabila besarnya perbedaan bayangan tidak lebih dari 5%. Jika
perbedaan bayangan antara kedua mata sebesar 2,5 dioptri - 4 dioptri maka masih
bisa ditoleransi tergantung sensitivitas tiap individu. Tetapi bila lebih dari 4
dioptri, maka tidak dapat ditoleransi lagi dan merupakan suatu masalah.3
Pervalensi anisometropia yang telah dilaporkan bervariasi antara 4%-30%
tergantung pada populasi penelitian, perbedaan umur dan derajat anisometropia
yang digunakan.4 Angka kejadian anisometropia > 4 dioptri terjadi < 1% dari
jumlah populasi.5 Abrahmson menemukan meskipun secara keseluruhan
prevalensi anisometropia di Swedia relatif stabil, anisometropia pada anak dapat
meningkat atau berkurang selama pengamatan longitudinal.4 Prevalensi
anisometropia pada anak diperkirakan 2%-3,8%. Anisometropia merupakan salah
satu penyebab ambliopia dan strabismus pada anak.6
Status gizi buruk ternyata berperan dalam terjadinya gangguan refraksi
pada seseorang. Dari beberapa penelitian di Afrika telah menemukan bahwa anak-
anak dengan malnutrisi akan menyebabkan peningkatan prevalensi ametropia,
astigmatisma, dan anisometropia.1 Kewaspadaan untuk terjadinya anisometropia
khususnya pada anak-anak tetap harus ditingkatkan walaupun anisometropia
bukanlah penyakit mata yang paling sering dijumpai.

1
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

1.2.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
tentang anisometropia. Penyusunan makalah ini sekaligus dilakukan untuk
memenuhi persyaratan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

2
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Media Refraksi


Refraksi atau pembiasan adalah berbeloknya berkas sinar. Hal ini terjadi
karena cahaya melewati media refraksi di mata.7

Gambar 2.1. Anatomi Mata8

Media refraksi mata terdiri dari:


a. Kornea
Kornea (latin cornum = seperti tanduk) ialah selaput bening mata, yang
tembus cahaya dan merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah
depan.9 Merupakan jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Transparansi kornea disebabkan karena
strukturnya yang seragam, avaskularitas, dan deturgensinya. Kornea ini disisipkan
ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar pada sumbangan ini disebut
sulcus scleralis. Kornea dewasa rata-rata tebalnya 550 µm di pusatnya dan

3
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

bervariasi tergantung ras, diameter horizontal sekitar 11,75 mm dan vertikal 10,6
mm. Dari anterior hingga posterior kornea memiliki 5 lapisan, yaitu:2
1. Lapisan epitel
Lapisan ini terdiri dari 5-6 lapis sel.
2. Lapisan Bowman
Merupakan lapisan jernih, aselular, dan merupakan bagian stroma yang
berubah.
3. Stroma
Menyusun 90% ketebalan kornea. Tersusun dari jalinan lamella serat-
serat kolagen dengan lebar sekitar 10-250 µm dan tinggi 1-2 µm dan
hampir mencakup seluruh diameter kornea. Lamella tersebut berjalan
sejajar dengan permukaan kornea. Karena ukuran dan kerapatannya
menjadikaannya jernih. Lamella terletak di dalam suatu zat dasar
proteoglikan terhidrasi bersama keratosit yang menghasilkan kolagen
dan zat dasar.
4. Membran Descement
Merupakan lamina basalis endotel kornea, memiliki tampilan homogen
dengan mikroskop elektron akibat perbedaan sturktur antara bagian pra
dan pasca nasalnya. Saat lahir tebalnya 3 µm dan terus menebal selama
hidup hingga 12 µm.
5. Lapisan endotel
Terdiri dari satu lapis sel yang sangat memegang peranan penting
dalam mempertahankan deturgensi stroma kornea. Lapisan ini sangat
rentan terhadap trauma dan akan kehilangan sel-selnya seiring dengan
penuaan. Kegagalan fungsi endotel dapat menimbulkan edema kornea.
Sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus,
humor akuos, dan air mata. Permukaan kornea juga mendapatkan sebagian besar
oksigen dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapatkan dari cabang
pertama (ophtalmicus) nervus trigeminus.2

4
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

Fungsi utama kornea adalah merefreksikan cahaya dan bersama dengan


lensa memfokuskan cahaya ke retina. Fungsi kedua ialah melindungi struktur
mata internal. Faktor yang mempengaruhi jumlah refraksi kornea mencakup:
1. Kelengkungan permukaan kornea anterior
2. Perubahan indeks refraksi dari udara ke kornea
3. Ketebalan kornea
4. Kelengkungan permukaan kornea poterior
5. Perubahan indeks refraksi dari kornea ke humor akuos
Total kekuatan refraksi mata bila fokus adalah 60 dioptri – 65 dioptri, dengan
kemampuan kornea 43 dioptri – 48 dioptri.10

Gambar 2.2. Struktur Kornea8

b. Humor Akuos
Humor akuos ialah cairan yang mengisi bilik mata depan dan bilik mata
belakang. Cairan ini dibentuk di prosesus siliaris lalu mengisi bilik mata belakang,
mengalir melalui pupil dan mengisi bilik mata depan. Cairan ini selanjutnya
dialirkan melalui angulus iridocernealis mencapai kanalis Schlemm.2,11

5
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

c. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak bewarna, dan hampir
transparan sempurna yang terletak di dalam bilik mata belakang . Tebalnya sekitar
4 mm dan berdiameter 9 mm. Lensa bergantung pada zonula di belakang iris dan
dihubungkan dengan korpus siliar. Di sebelah anterior lensa terdapat humor
akuos, disebelah posterior terdapat vitreus humour.2,9
Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa di
dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus-menerus
sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga
membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang paling
dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul lensa.9
Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal
sebagai zonula Zinnii yang berjalan di antara korpus siliaris dan kapsul lensa.
terdiri dari kapsul kolagen di bagian luar yang di bawah bagian anteriornya
terletak lapisan sel epitel satu lapis. Ke arah ekuator epitel menghasilkan serabut
lensa. Serabut zonula mentransmisikan perubahan pada otot siliaris sehingga
memungkinkan lensa mengubah bentuk dan kekuatan refraksinya. Serabut lensa
merupakan bagian besar massa lensa. Serabut ini merupakan sel memanjang yang
tersusun dalam lapisan-lapisan yang melengkung di ekuator lensa. Indeks refraksi
lensa yang tinggi berasal dari kandungan protein yang tinggi dari serabut lensa.2,8
Lensa terdiri dari 65% air dan sekitar 35% protein. Selain itu, terdapat
sedikit sekali mineral seperti yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan
kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat
dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat
nyeri, pembuluh darah, atau saraf di lensa.2
Merupakan elemen refraktif terpenting kedua setelah kornea.8 Fungsi
utama lensa adalah merefraksikan cahaya, lensa juga minimal dalam
menghamburkan cahaya karena transparan.10 Lensa mata dibentuk oleh sel
berbentuk cuboid, di tengahnya terdapat nukleus yang lunak sehingga
memungkinkan terjadinya proses akomodasi lensa.11 Dan karena bentuknya yang

6
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

seperti cakram maka lensa dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya
akomodasi.9

Gambar 2.3. Anatomi Lensa8

d. Vitreous Humor
Vitreous humor disebut juga badan kaca, merupakan gel jernih yang
menempati dua pertiga bola mata, terletak di antara lensa dengan retina.8
Mengandung air 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air. Vitreous melekat
pada bagian tertentu pada jaringan bola mata yaitu pada bagian yang disebut ora
serata, pars plana, dan papil saraf optik. Kebeningan vitreus disebabkan tidak
adanya pembuluh darah dan sel.9
Fungsinya sama seperti cairan mata yaitu utntuk mempertahankan bola
mata agar tetap bulat. Selain itu juga berperan untuk menghantarkan dan
merefraksikan cahaya, dan membantu dalam memfokuskan sinar ke retina.
Cahaya yang dihamburkan minimal karena vitreous memiliki konsentrasi partikel
yang sangat rendah dan terdapat kompleks HA-collagen pada jarak antar fibril.9,10

7
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

2.2 Mekanisme Refraksi


Cahaya dapat didefinisikan sebagai bagian dari spektrum elektromagentik
dan mata sensitif terhadap cahaya. Bagian yang dapat dilihat dari spektrum ini
terletak pada panjang gelombang 390nm – 760nm. Agar mata dapat menghasilkan
informasi visual yang akurat, cahaya harus difokuskan tepat di retina. Fokus harus
disesuaikan untuk menghasilkan pandangan yang sama dan jelas untuk objek
dekat maupun jauh. Kornea pada mata bertanggung jawab untuk dua pertiga
kekuatan fokus mata, sedangkan lensa untuk sepertiganya. Dua elemen refraksi
mata ini mengkonvergensikan sinar cahaya karena :
 Kornea memiliki indeks refraksi yang lebih tinggi daripada udara,
lensa memiliki indeks refraksi yang lebih tinggi daripada humor akuos
dan vitreous humor yang mengelilingnya. Kecepatan cahaya berkurang
pada medium padat sehingga cahaya direfraksikkan ke arah normal.
Ketika berjalan dari udara ke kornea atau dari humor akuos ke lensa
maka sinar cahaya akan mengalami konvergensi
 Permukaan refraksi kornea dan lensa berbentuk sferis konveks.8
Semakin besar kelengkungan lensa, semakin kuat daya biasnya. Daya bias
suatu lensa biasanya diukur dalam dioptri, angka dioptri adalah kebalikan dari
jarak fokus utama dalam meter. Mata manusia memiliki daya bias sekitar 60
dioptri saat istirahat.7
Apabila otot siliaris berada dalam keadaan istirahat, berkas cahaya paralel
yang jatuh di mata yang secara optik normal (emetrop) akan difokuskan ke retina.
Proses meningkatnya kelengkungan lensa disebut akomodasi. Pada keadaan
istirahat lensa dipertahankan dalam keadaaan tegang oleh ligamentum lensa.
Karena bahan lensa bersifat lentur dan kapsul lensa memiliki elastisitas yang
tinggi, lensa tertarik menjadi gepeng. Apabila pandangan diarahkan ke benda
yang dekat, otot siliaris akan berkontraksi. Hal ini mengurangi jarak antara tepi
badan siliaris dan melemaskan ligamentum lensa sehingga lensa mengerut dan
menjadi lebih cembung.7

8
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

Gambar 2.4. Refraksi pada Mata Normal / Emetrop8

Lalu akan terbentuk bayangan di retina dalam keadaan terbalik. Dengan


adanya hubungan reseptor-reseptor di retina, maka semua banyangan terbalik di
retina tersebut dilihat sebagai tegak lurus. Selanjutnya diproyeksikan ke lapangan
pandang di sisi kontralateral dari daerah retina yang dirangsang.7
Mata mengubah energi dari spektrum yang dapat terlihat menjadi potensial
aksi di saraf optikus. Bayangan suatu benda di dalam lingkungan difokuskan di
retina. Berkas cahaya yang mencapai retina akan mencetuskan potensial di dalam
sel kerucut dan batang. Impuls yang timbul di dalam retina akan dihantarkan ke
korteks serebri, tempat impuls tersebut menimbulkan sensasi penglihatan.7
Ketika sinar cahaya paralel dari objek jauh jatuh pada fokus di retina
dengan mata dalam keadaan beristirahat (yaitu tidak berakomodasi) keadaan
refraktif mata disebut emetropia. Individu dengan mata emetrop dapat melihat
jarak jauh dengan jelas tanpa berakomodasi. Bila ada kelainan disebut ametropia
dimana sinar cahaya paralel tidak jatuh pada fokus di retina pada mata dalam
keadaan istirahat. Diperlukan perubahan refraksi untuk mendapatkan penglihatan
yang jelas.8

9
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

Gambar 2.5. Jaras Penglihatan10

2.3 Anisometropia
2.3.1 Definisi
Keadaan dimana kedua mata memiliki kekuatan refraksi yang sama
disebut isometropia. Anisometropia (aniso = tidak sama) adalah suatu gangguan
penglihatan, dimana kekuatan refraksi antara dua mata menjadi tidak sama atau
tidak seimbang. Perbedaan yang lebih dari 1 dioptri pada kedua mata harus
dianggap abnormal. 1,3,12
Biasanya anisometropia derajat ringan tidak menyebabkan masalah.
Perbedaan 1 dioptri pada kedua mata menyebabkan 2% perbedaan ukuran saat
pengambilan gambar di kedua retina. Bila perbedaan bayangan antara kedua mata

10
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

sebesar 2,5 dioptri - 4 dioptri masih bisa ditoleransi tergantung sensitivitas tiap
individu. Tetapi bila lebih dari 4 dioptri, maka tidak dapat ditoleransi lagi dan
merupakan suatu masalah. Perbedaan bayangan antara kedua mata sebesar 5%
atau lebih pada umumnya akan menimbulkan gejala aniseikonia.3

2.3.2 Epidemiologi
Pervalensi anisometropia yang telah dilaporkan bervariasi antara 4%-30%
tergantung pada populasi penelitian, perbedaan umur dan derajat anisometropia
yang digunakan.4 Angka kejadian anisometropia > 4 dioptri terjadi < 1% dari
jumlah populasi.5
Dari sebuah program photoscreening dari 119.311 anak diidentifikasi 792
anak dengan anisometropia > 1 dioptri. Pada penderita anisometropia usia yang
lebih muda memiliki prevalensi dan keparahan ambliopia yang lebih rendah. Hasil
penelitian lain menyebutkan bahwa kejadian anisometropia tersering pada anak
umur 6-18 tahun.13 Prevalensi anisometropia pada anak diperkirakan 2%-3,8%.
Anisometropia merupakan salah satu penyebab ambliopia dan strabismus pada
anak.6
Hasil penelitian lain mengenai jenis penyakit mata di RSU Cut Nyak
Dhien Aceh, dari 1.815 orang terdapat 415 orang (22,87%) dengan kelainan
refraksi. Dengan miopia merupakan kasus terbanyak (38,55%), diikuti
astigmatisma (28,67%), hipermetropia (28,43%) dan yang paling sedikit adalah
anisometropia (4,35%). Anisometropia paling banyak ditemukan pada kelompok
umur 31-40 tahun sebesar 1,69% dan pada jenis kelamin laki-laki sebesar
55,55%.14 Dari penelitian di tempat lain yaitu di RSU Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan besarnya anisometropia terbanyak adalah 0,25 – 1,5 dioptri sebanyak
80,6%, kedua >1,5 – 3 dioptri sebanyak 16,6%, dan > 3 dioptri sebanyak 2,8%.15
.
2.3.3 Etiologi
Alasan mengapa terjadinya perbedaan refraksi dari kedua mata masih
belum jelas. Penyakit ini secara umumnya telah diketahui merupakan penyakit
kongenital dengan komponen herediter dapat meningkatkan insidensi.5

11
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

Secara umum penyebab terjadinya ansiometropia adalah: 3,4


1. Anisometropia kongenital dan anisometropia karena pertumbuhan,
terjadi akibat perbedaan pertumbuhan dari kedua bola mata
2. Anisometropia didapat, terjadi akibat aphakia uniokular setelah proses
pengangkatan lensa pada katarak atau akibat kekuatan yang salah dari
implantasi lensa intra okuler. Beberapa tindakan operasi dapat
menyebabkan perubahan panjang aksial mata sehingga refraksi mata
juga dapat berubah.
Anisometropia juga dapat terjadi bila: 3,13
1. Satu mata hipermetropia dan yang lain miopia
2. Satu mata hipermetropia atau miopia atau astigmatisma dan yang lain
isometropia
3. Kedua mata miopia dengan derajat refraksi yang tidak sama
4. Kedua mata hipermetropia dengan derajat refraksi yang tidak sama
5. Kedua mata astigmatisma dengan derajat yang tidak sama

2.3.4 Klasifikasi
Anisometropia dapat diklasifikasikan secara klinis, berupa:3
1. Simple anisometropia
Adalah keadaan dimana satu mata normal (emetropia) dan mata
lainnya miopia (simple myopic anisometropia) atau hipermetropia
(simple hipermetropi anisometropia)
2. Compound anisometropia
Adalah ketika kedua mata menjadi hipermetropia (compound
hipermetropi anisometropia) atau miopia (coumpound miopi
anisometropia), tetapi salah satu mata memiliki gangguan refraksi
yang lebih tinggi.
3. Mixed anisometropia
Adalah satu mata miopia dan yang satunya lagi hipermetropia, disebut
juga sebagai antimetropia.

12
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

4. Simple astigmatic anisometropia


Adalah ketika satu mata normal dan satunya lagi astigmatisma miopia /
hipermetropia sederhana.
5. Compound astigmatic anisometropia
Adalah ketika kedua mata astigmatisma tetapi dengan derajat yang
berbeda.
Sloane membagi anisometropia menjadi tiga tingkat yaitu:15
1. Anisometropia ringan, bila perbedaan refraksinya lebih kecil dari 1,5
dioptri dimana kedua mata masih dapat dipakai bersama-sama dengan
fusi yang baik dan stereoskopik
2. Anisometropia sedang, bila perbedaan refraksinya antara 1,5 diopri – 3
dioptri
3. Anisometropia besar, bila perbedaan refraksinya lebih besar dari 3
dioptri
Sedangkan berdasarkan status kemampuan penglihatan binokuler, maka
anisometropia dibagi menjadi:3
1. Binocular single vision
Biasanya terjadi pada anisometropia derajat ringan ( < 3 )
2. Uniocular vision
Terjadi bila gangguan refraksi tingkat berat pada satu mata, sehingga
mata tersebut tertekan dan terbentuk ambliopia anisometropia.
Sehingga pasien hanya memiliki penglihatan uniokuler.
3. Alternate vision
Terjadi ketika satu mata hipermetropia dan yang satunya miopia. Mata
hipermetropia tersebut digunakan untuk melihat jauh dan mata miopia
untuk melihat dekat.

2.3.5 Gejala Klinis


Gejala anisometropia sangat bervariasi. Gejala anisometropia biasanya
baru muncul apabila terdapat perbedaan bayangan yang diterima pada kedua mata
sehingga menyebabkan aniseikonia. Gejala umum pada anisometropia ialah:4

13
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

 Sakit kepala
 Rasa tidak enak/ tidak nyaman pada kedua mata
 Panas pada kedua mata
 Tegang pada kedua mata
Sedangkan gejala spesifik pada anisometropia ialah :
 Pusing
 Mual-mual
 Penglihatan ganda
 Kesulitan dalam memperkirakan jarak suatu benda
 Melihat lantai bergelombang, hingga sulit naik tangga
Anisometropia kongenital biasanya sering asimptomatik. Pada anak-anak
sering tidak sadar bahwa penglihatannya terganggu dan ada kecenderungan
terjadinya strabismus. Ketika koreksi anisometropia menghasilkan aniseikonia,
penderita akan mengeluhkan sensasi penglihatan yang tidak mengenakan yaitu
penglihatan ganda.5
Selain itu pada anisometropia dapat terjadi beberapa kelainan lain seperti
adanya perbedaan visus yang mengakibatkan gangguan fusi sehingga penderita
akan menggunakan mata yang lebih baik, sedangkan mata yang kurang visusnya
akan disupresi. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus-menerus dapat
menyebabkan strabismus, dan pada anak-anak yang masih mengalami
perkembangan dapat menyebabkan ambliopia.4
Juga terjadi perbedaan bayangan baik dari segi ukuran dan bentuk
sehingga terjadi aniseikonia. Dan penderita akan mengalami gangguan binokuler
yang disebabkan ketidaksamaan rangsangan untuk penglihatan stereoskopik.
Secara klinis, aniseikonia yang terjadi akibat anisometropia dapat diketahui dari
kelainan distorsi dan kelainan stereoskopik yang muncul.4

2.3.6 Diagnosa
Anisometropia biasanya didiagnosa ketika sedang melakukan pemeriksaan
rutin. Diagnosis penyakit ini dibuat berdasarkan dari pemeriksaan refraksi.5 Untuk
menegakkan diagnosis anisometropia memerlukan pemeriksaan retinoskopi pada

14
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

penderita dengan penglihatan yang terganggu. Pada pemeriksaan retinoskopi akan


dinilai bagaimana refleks fundus dan juga dapat diketahui apakah juga menderita
kelainan refraksi lain seperti miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Kemudian
baru ditentukan berapakah perbedaan kekuatan refraksi antara kedua bola mata
dan ditentukan berapa derajat anisometropianya.3

2.3.7 Tatalaksana
Terjadinya gangguan refraksi ini harus segera dikoreksi. Tujuan dari
penatalaksanaan anisometropia ialah memperbaiki kekuatan refraksi kedua mata.
Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk anisometropia yaitu dengan: 1,3,5
1. Kacamata
Dengan kacamata koreksi dapat mentoleransi maksimal perbedaan
refraksi kedua mata sampai 4 dioptri. Anisometropia yang melebihi 4
dioptri tidak dapat dikoreksi dengan kacamata karena secara klinis
berhubungan dengan aniseikonia dan dapat menyebabkan diplopia.
Dalam meresepkan kacamata untuk penderita anisometropia, lebih
dipertimbangkan untuk memberikan sesuai kekuatan lensa yang tepat
untuk mata dengan penglihatan yang lebih buruk daripada kekuatan
lensa yang sama, terutama jika hal tersebut dapat memberikan
penglihatan perifer yang lebih baik pada penderita yang kehilangan
lapangan pandang sentral.
2. Lensa kontak
Lensa kontak dapat memberikan solusi yang lebih baik daripada
kacamata untuk sebagaian besar penderita anisometropia, terutama pada
anak-anak karena dapat terjadi fusi. Selain itu pada anisometropia yang
lebih berat diperlukan koreksi dengan lensa kontak karena dapat
meminimalkan terjadinya aniseikonia.
3. Kacamata aniseikonia
Laporan hasil klinisnya masih sering mengecewakan..
4. Modalitas lainnya untuk penatalaksanaan anisometropia, berupa :

15
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

 Implantasi lensa intraokuler untuk aphakia uniokuler atau yang


tidak dapat mentoleransi lensa kontak. Koreksi dari aphakia
unilateral dengan kacamata unilateral dikontraindikasikan karena
hal tersebut dapat menyebabkan aniseikonia pada 25% kasus.
 Operasi refractive corneal untuk miopia unilateral yang tinggi,
astigmatisme, dan hipermetropia. Tindakan operasi ini juga dapat
menjadi pilihan pada penderita anisometropia dengan gejala atau
penderita anisophoria.
 Pengangkatan dari lensa kristal jernih untuk miopia unilateral yang
sangat tinggi (operasi Fucala).
Koreksi refraktif terhadap anisometropia dipersulit oleh perbedaan ukuran
bayang retina (aniseikonia) dan ketidakseimbangan okulomotor akibat perbedaan
derajat kekuatan prismatik bagian perifer kedua lensa korektif tersebut.
Aniseikonia umumnya merupakan masalah pada afakia monokuler. Koreksi
dengan kacamata menghasilkan perbedaan ukuran bayangan di retina sekitar 25%,
yang jarang dapat ditoleransi. Koreksi dengan lensa kontak menurunkan
perbedaan ukura bayangan menjadi sekitar 6%, yang dapat ditoleransi. Lensa
intraocular menghasilkan perbedaan kurang dari 1%.2

2.3.8 Komplikasi
Komplikasi anisometropia terjadi akibat kompensasi mata terhadap
perbedaan kekuatan refraksi kedua mata, terdiri dari:14
 Diplopia
 Ambliopia
 Strabismus
 Kebutaan monokular

16
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anisometropia adalah suatu gangguan penglihatan, dimana kekuatan
refraksi antara dua mata menjadi tidak sama atau tidak seimbang. Perbedaan 1
dioptri pada kedua mata menyebabkan 2% perbedaan ukuran saat pengambilan
gambar di kedua retina. Bila terjadi perbedaan bayangan antara kedua mata
sebesar 2,5 dioptri - 4 dioptri maka masih bisa ditoleransi tergantung sensitivitas
tiap individu. Tetapi bila lebih dari 4 dioptri, maka tidak dapat ditoleransi lagi dan
merupakan suatu masalah. Perbedaan bayangan antara kedua mata sebesar 5%
atau lebih pada umumnya akan menimbulkan gejala aniseikonia.
Untuk pervalensi anisometropia bervariasi antara 4%-30% tergantung pada
populasi penelitian, perbedaan umur dan derajat anisometropia yang digunakan.
Angka kejadian anisometropia > 4 dioptri terjadi < 1% dari jumlah populasi.
Penyebab terjadinya anisometropia secara umum ialah anisometropia
kongenital dan anisometropia karena pertumbuhan, dan anisometropia didapat.
Klasifikasi anisometropia secara klinis dibagi menjadi simple anisometropia,
compound anisometropia, mixed anisometropia, simple astigmatic anisometropia,
compound astigmatic anisometropia. Sedangkan menurut Sloane berdasarkan
beda refraksi kedua mata dibagi menjadi 3 tingkat yaitu anisometropia ringan (<
1,5 dioptri), anisometropia sedang (1,5-3 dioptri), dan anisometropia berat (> 3
dioptri).
Gejala anisometropia pada umumnya berupa sakit kepala, pada kedua mata
terdapat rasa tidak enak, tegang, atau panas. Untuk gejala spesifik berupa pusing,
mual, penglihatan ganda, kesulitan memperkirakan jarak suatu benda, dan melihat
lantai bergelombang. Selain itu anisometropia juga dapat menyebabkan kelaianan
klinik lain berupa strabismus, ambliopia, dan aniseikonia bahkan bisa
menyebabkan kebutaan monoukuler.
Penyakit ini biasanya didiagnosis ketika sedang melakukan pemeriksaan
rutin dan berdasarkan pemeriksaan refraksi. Untuk menegakkannya diperlukan
pemeriksaan retinoskopi pada penderita dengan gangguan penglihatan.

17
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

Terjadinya gangguan refraksi ini harus segera dikoreksi. Tujuan dari


penatalaksanaan anisometropia ialah memperbaiki kekuatan refraksi kedua mata.
Tatalaksananya dapat menggunakan alat ataupun tindakan seperti penggunaan
kacamata, lensa kontak, kacamata aniseikonia, dan modalitas lain seperti
implantasi lensa intraokuler, operasi refractive corneal, dan operasi Fucala.

18
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology, 2014. Clinical Optics Section 3. San


Francisco: The Eye MD Association, 86-89, 114-115
2. Eva, Paul R. dan Whitcher, John P., 2013. Vaughan & Asbury, Oftalmologi
Umum Ed. 17. Jakarta: EGC, 8-14, 395
3. Khurana, A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology: Fourth Edition. New
Delhi: New Age International (P) Limited, 38-39
4. Elisa, Vouri H., 2010. Refractive Surgery for Iatrogenic and Congenital
Anisometropia and Mild Visual Impairment. Helsinki : University of
Helsinki, 18-19
5. Lang, Gerhard K., 2006. Ophthalmology A Short Textbook, 2nd Edition. New
York: Thieme, 456-457
6. Lee, Joo Y., Seo, Ji Y., Baek, Sung U., 2013. The Effects of Glasses for
Anisometropia on Stereopsis. Am J Ophthalmol, 156: 1261–1266
7. Ganong, W.F., 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, 160-163
8. James, B., Chew, C., Bron, A., Lecture Notes on Ophthalmology Ninth
Edition. 2003. Blackwell Publishing: 1-6
9. Ilyas,S., Yulianti, S.R., 2011. Ilmu Penyakit Mata Ed. 4. In: Anatomi Bola
Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 5-10
10. Remington, Lee A., 2012. Clinical Anatomy and Physiology of the Visual
System Third Edition. New York: Elsevier, 21, 99, 119, 233
11. Wibowo, Daniel S., Paryana, W., 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta:
Graha Ilmu Publishing, 532-533
12. McCarthy, P., 2003. Anisometropia: What Difference Does it Make ?.
Optometry in Practice, 14(1): 1-10
13. Donahue, Sean P., 2006. The Relantionship Between Anisometropia, Patient,
Age, and the Development of Ambylopia. J Ophthalmol, 142: 132-140
14. Yunita, A., Bahri, C., 2001. Pola Distribusi Penyakit Mata di RSU Cut Nyak
Dhien, Meulaboh, Aceh, 1997. Cermin Dunia Kedokteran, 132: 37-40

19
PAPER NAMA : GITA RIZKI MAULIDA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 110100227
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN

15. Kuswandari, Y., Ali, H.M., 2007. Hubungan antara Besarnya Anisometropia
dengan Kedalaman Penglihatan Binokuler dan Ambliopia pada Anak Usia
Sekolah di Unit Rawat Jalan Mata RSU Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal
Oftalmologi Indonesia, 5(2): 58-64

20

Anda mungkin juga menyukai