Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN PUSTAKA

DAKRIOSISTITIS AKUT

Disusun untuk melaksanakan Tugas Referat Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Mata di RSUD Nganjuk

Pembimbing :
dr. Linda Susanti, Sp. M

Disusun oleh

Eka Aris Adiatma 2171


Emmanuella Grace Natalia 21710033
Esti Maya 2171

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA


ILMU KESEHATAN MATA
RUMAH SAKIT DAERAH NGANJUK
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya sehingga tinjauan pustaka
yang berjudul “Rhegmatogeneous Retinal Detachment” ini dapat diselesaikan. Pembuatan
tinjauan pustaka ini merupakan salah satu tugas dalam menempuh kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya RSUD Nganjuk.
Ucapan terima kasih karena bimbingan, dukungan dan bantuan dalam pembuatan tinjauan
pustaka ini disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Widodo Ario Knetjono. dr., Sp.THT-KL(L).FICS selaku Rektor Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya.
2. Prof. Dr. Suhartati. dr.,M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
3. dr. AY Bambang Sentanu, Sp.OT selaku ketua TIM KORDIK Rumah Sakit Daerah
Nganjuk.
4. dr. Dini Irawati, Sp. M selaku pembimbing dan Kepala KSM Ilmu Kesehatan Mata
Rumah Sakit Daerah Nganjuk.
5. dr. Linda Susanti, Sp. M selaku dokter pendidik klinis Ilmu Kesehatan Mata Rumah
Sakit Daerah Nganjuk.
6. Kepada sahabat-sahabat sejawat Dokter Muda Kelompok 1 Rumah Sakit Daerah
Nganjuk yang telah memberi dukungan serta doa.

Besar harapan penulis agar tinjauan pustaka ini dapat memperluas wawasan dan menambah
pengetahuan khususnya pada para praktisi ilmu kesehatan mata serta pembaca pada
umumnya.

Nganjuk, Desember 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Sistem lakrimal adalah struktur kompleks yang memfasilitasi sekresi, aliran di

permukaan mata, dan ekskresi dari air mata. Sistem lakrimal terbagi menjadi dua macam

sistem, yaitu sistem sekresi dan ekskresi. Sistem sekresi ini tersusun atas suatu kelenjar

lakrimal yang terbagi atas kelenjar lakrimal utama (mayor) dan kelenjar lakrimal aksesorius

(minor). Kelenjar lakrimal utama mempunyai ukuran yang lebih besar dan terletak di sudut

temporal atas orbita. Kelenjar lakrimal ini dibagi menjadi dua lobus, yaitu lobus orbita dan

palpebra yang dipisahkan secara anatomis oleh aponeurosis levator bagian lateral.

Duktus nasolakrimalis adalah suatu saluran yang memiliki panjang sekitar 18 mm dan

memiliki fungsi sebagai penghubung antara ujung bawah sakus lakrimalis dengan meatus

nasi inferior. Saluran ini rentan mengalami penyumbatan atau yang disebut obstruksi.

Obstruksi pada duktus nasolakrimalis dapat disebabkan karena kelainan kongenital ataupun

didapat. Penyebab dari sumbatan ini pun dibagi menjadi primer seperti yang disebabkan oleh

stenosis involusional pada wanita usia tua dan sekunder seperti infeksi, inflamasi, mekanikal,

trauma, dan neoplasma. Pada keadaan obstruksi duktus nasolakrimalis, aliran air mata yang

stasis dan berkelanjutan akan menyebabkan infeksi sekunder berupa dakriosistitis.

Obstruksi pada duktus nasolakrimalis dapat disebabkan karena kelainan kongenital

ataupun didapat. Penyebab dari sumbatan ini pun dibagi menjadi primer seperti yang

disebabkan oleh stenosis involusional pada wanita usia tua dan sekunder seperti infeksi,

inflamasi, mekanikal, trauma, dan neoplasma. Pada keadaan obstruksi duktus nasolakrimalis,

aliran air mata yang stasis dan berkelanjutan akan menyebabkan infeksi sekunder berupa

dakriosistitis

Dakriosistitis adalah inflamasi yang melibatkan sakus lakrimalis akibat terjadinya

obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Berdasarkan usianya, penyebab dari obstruksi ini pun
juga akan berbeda dimana pada anak – anak biasanya diakibatkan karena ketidakterbukanya

membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa diakibatkan karena adanya penekanan

pada salurannya. Tanda yang khas akibat sumbatan ini adalah timbulnya penumpukan air

mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus yang merupakan media pertumbuhan bakteri

yang baik.

Pengobatan dakriosistitis adalah dengan melakukan pengurutan daerah sakus sehingga nanah

bersih dari dalam kantung dan kemudian diberi antibiotik lokal dan sistemik. Bila terlihat

fluktuasi dengan abses pada sakus lakrimal maka dilakukan insisi. Bila kantung lakrimal

telah tenang dan bersih maka dilakukan pemasokan pelebaran duktus nasolakrimal. Bila

sakus tetap meradang dengan adanya obstruksi duktus nasolakrimal maka dilakukan tindakan

pembedahan dakriosistorinostomi atau operasi Toti.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1. Anatomi Sistem Lakrimal

Anatomi sistem lakrimal terbagi menjadi dua sistem, bagian pertama

adalah sistem sekretori dan bagian kedua adalah sistem ekskretori. Sistem

sekretori terdiri atas kelenjar lakrimal yang merupakan organ yang

menghasilkan air mata. Sistem ekskretori terdiri atas kanalikuli lakrimal

hingga duktus nasolakrimalis. Menurut fungsi sekresinya, kelenjar lakrimal

terbagi menjadi kelenjar lakrimal utama dan kelenjar lakrimal aksesorius.

Kelenjar lakrimal utama dibagi menjadi dua lobus, yaitu lobus orbita dan

palpebra yang dipisahkan secara anatomis oleh aponeurosis levator bagian

lateral.

Kelenjar lakrimal merupakan kelenjar yang terletak pada lapisan atas

terluar orbita pada inferior dari tulang frontalis. Pada area tersebut terdapat

suatu ruang yang dinamakan fossa glandula lakrimalis. Batas permukaan

superior kelenjar ini adalah tulang frontalis sedangkan batas inferiornya adalah

permukaan bola mata yang di antaranya dipisahkan oleh aponeurosis levator.

Karena hubungan yang erat dengan sisi lateral dari aponeurosis levator,

kelenjar ini memiliki bentuk yang bervariasi. Adanya aponeurosis ini seolah

membentuk suatu celah yang hampir membagi kelenjar menjadi dua lobus,

yaitu lobus orbita yang terletal: di atas aponeurosis dan lobus palpebra di

bawahnya. Di atas dan di belakang celah aponeurosis terdapat kelanjutan dari

kelenjar lakrimal.
2.1.2. Suplai Saraf, Vaskular, dan Kelenjar - kelenjar Sistem Lakrimal

Kelenjar lakrimalis dipersarafi oleh percabangan dari nervus trigeminus, yaitu

nervus lakrimalis (sensoris) dari rangsangan struktur okular eksternal, kulit

atau mukosa nasal. Persarafan ganglion trigeminus, menuju nukleus lakrimalis

di atas nukleus saliva superior pada pons. Jalur reflek eferen melalui nukleus

lakrimalis melalui ganglion genukulata. Serat sentrifugal bergabung ke nervus

petrosal magna (sekretori) melalui cabang intermedius nervus fasialis, melalui

kanalis pterigoid sebagai saraf vidian dan bersinapsis pada ganglion

sphenopalatina. Rangsang parasimpatik eferen ditransmisikan melalui saraf

post ganglion pada nervus zigomatikus (cabang dari divisi maksilaris nervus

trigeminus).

Gambar 2.1 Jalur Persarafan Kelenjar Lakrimalis


Cabang temporal nervus zigomatikus memberikan cabang rekuren dari

saraf lakrimalis, dari saraf eferen yang berakhir pada kelenjar lakrimalis. Saraf

sensoris berada pada kelenjar asini dan mengelilingi duktus. Rangsangan

utama untuk sekresi lakrimalis dimediasi melalui rute parasimpatis. Hambatan

dari ganglion sfenopalatina akan menekan sekresi air mata. Di inervasi dari

jalur parasimpatis, saraf eferen akan mensensitisasi kelenjar lakrimalis ke

pilokarpin dan obat parasimpatomimetik yang bertindak langsung pada ujung

saraf.

Serabut saraf simpatis berasal dari serabut simpatis servikal post

ganglion yang berkaitan dengan pleksus karotis namun masih belum jelas

apakah serabut saraf tersebut mencapai kelenjar sepanjang arteri lakrimalis

atau m/raf zigomatikus menuju kelenjar lakrimalis. Kelenjar lakrimal

mendapatkan suplai vaskuler dari arteri lakrimalis yang merupakan cabang

lakrimalis arteri oftalmika dan cabang infraorbital arteri maksilaris. Arus balik

vena melalui vena oftalmika superior. Sedangkan untuk sistem limfatik

terdrainase menuju kelenjar getah bening parotis superfisial.

2.2 Dakriosistitis Akut

2.2.1 Definisi

Dakriosistitis merupakan peradangan sakus lakrimal. Biasanya

peradangan ini dimulai oleh terdapatnya obstruksi duktus nasolakrimal.

Obstruksi ini pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya membrane

nasolakrimal sedang pada orang dewasa akibat tertekan salurannya misalnya

akibat adanya polip hidung. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak

atau orang dewasa berumur di atas 40 tahun, terutama perempuan. Jarang

ditemukan pada orang dewasa usia pertengahan, kecuali apabila didahului


oleh infeksi jamur. Perjalanan penyakit dapat kronik ataupun akut. Kuman

yang dapat merupakan penyebab adalah stafilokok, pneumokok, dan

streptokok, Neiseria catarrkalis dan pseudomonas. Pneumokok merupakan

penyebab yang paling berbahaya, peradangan akut ini dapat berlanjut

menjadi peradangan menahun. Pada yang menahun biasanya disebabkan oleh

tuberkulosis, lepra, trakoma, dan infeksi jamur. Dakriosistitis menahun dapat

merupakan lanjutan dari dakriosistitis akut, dan bersifat rekuren. Pada

keadaan akut terdapat epifora, sakit yang hebat di daerah kantung air mata

dan demam. Terlihat pembengkakan kantung air mata dan merah di daerah

sakus lakrimal, dan nyeri tekan di daerah sakus, disertai sekret mukopurulen

yang akan memancar bila kantung air mata ditekan. Daerah kantung air mata

berwarna merah meradang.

2.2.1 Epidemologi

Usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang berhubungan erat

dengan dakriosistitis. Data di India menunjukkan puncak terjadinya

dakriosistitis berada pada rentang usia 30-60 tahun.5,6 Penelitian

menunjukkan bahwa sekitar 70- 83% dari kasus dakriosisititis terjadi pada

wanita.7,8 Salah satu penelitian di Indonesia di Rumah Sakit Mata Cicendo

Bandung didapatkan hasil dominan perempuan dan rentang usia yang sama

yaitu 31-60 tahun.9 Penelitian bermaksud ini untuk mendapatkan jumlah

kasus, karakteristik klinis dan karakteristik demografis di Poliklinik Mata

RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari 2017- Oktober 2018.


2.2.2 Klasifikasi

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3

(tiga) jenis , yaitu:

Gambar 2.2 Dakriosistitis Akut

a. Akut

Pasien dapat menunjukkan morbiditasnya yang berat namun jarang

menimbulkan kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan abses

pada sakus lakrimalis dan penyebaran infeksinya.

b. Kronis

Morbiditas utamanya berhubungan dengan lakrimasi kronis yang berlebihan

dan terjadinya infeksi dan peradangan pada konjungtiva.


c. Kongenital

Merupakan penyakit yang sangat serius sebab morbiditas dan mortalitasnya

juga sangat tinggi. Jika tidak ditangani secara adekuat, dapat menimbulkan

selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis, hingga kematian.

Dakriosistitis kongenital dapat berhubungan dengan amniotocele, di mana

pada kasus yang berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.

Dakriosistitis kongenital yang indolen sangat sulit didiagnosis dan biasanya

hanya ditandai dengan lakrimasi kronis, ambliopia, dan kegagalan

perkembangan.

Gambar 2.3 Dakriosistitis Kongenital

2.2.3 Faktor Risiko

Faktor resiko yang terbesar terjadinya dakriosistits adalah obstruksi

ductus nasolakrimalis. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

obstruksi duktus nasolakrimalis :

a. Terdapat benda yang menutupi lumen duktus, seperti pengendapan

kalsium, atau koloni jamur yang mengelilingi suatu korpus alienum.

b. Terjadi striktur atau kongesti pada dinding duktus.


c. Penekanan dari luar oleh karena terjadi fraktur atau adanya tumor

pada sinus maksilaris.

d. Obstruksi akibat adanya deviasi septum atau polip.

Faktor resiko lain seperti umur, wanita, ras (kulit hitam lebih sering

dikarenakn ostium nasolacrimal lebih besar, sedangkan kanal lakrimal lebih

pendek dan lurus), abnormal nasal seperti deviasi septum, rhinitis, hipertrofi

inferior tubinate pada bagian yang infeksi (Raswita dan Himayani, 2017).

2.2.4 Etiologi

Etiologi dari dakriosistitis ini akan berbeda dimana bergantung dari

akut ataupun kronis. Pada umumnya, agen mikroorganisme pada dakriosistitis

akut adalah bakteri gram positif, namun beberapa ilmuwan

mempertimbangkan bahwa pada pasien dengan kondisi immunosuppresif dan

diabetes, bakteri gram negative lah yang berperan. Mikroorganisme yang

sering dijumpai pada usia dewasa ialah Staphylococcus epidermidis, S. aureus,

S. pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa sedangkan yang sering

ditemukan pada usia anak – anak ialah Staphylococcus aureus, Staphylococcus

haemolyticus, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus influenzae.

Jenis bakteri yang sering menginfeksi dakriosistits akut biasanya

berasal dari saluran pernapasan atas seperti Staphylococcus atau Streptococcus

beta hemolitikus. Sementara itu, bakteri yang dominan menyebabkan

dakriosistitis kronis adalah Haemophillus influenzae atau Streptococcus

pneumonia bahkan pathogen bakteri gram negatif (Klebsiella pneumoniae,

Pseudomonas aeruginosa) dan bakteri anaerob (Arachnia propionica) juga

mampu menjadi pathogen.


Dakriosistitis jamur terhitung sebanyak 5% dari keseluruhan

dakriosistitis yang didapat. Menurut temuan, jamur yang sering berperan pada

penyakit ialah Candida albicans dan Aspergillus niger. Jenis jamur lainnya

yang juga berpotensi menyebabkan dakriosistitis jamur adalah Acremonium,

Paecilomyces, Rhizopus, and Dermatophytes.

2.2.5 Patofisiologi

Aliran yang berasal dari sistem lakrimal ini dimulai dari punctum yang

letaknya di medial dari kelopak mata atas dan bawah. Baik punctum superior

maupun inferior memiliki peran sebagai pintu dari kanalikuli (struktur saluran

yang berada di medial tendon canthal). Kanalikuli ini nantinya akan bergabung

menjadi suatu saluran pendek sebelum memasuki sakus lakrimalis yang

disebut kanalikuli komunis. Sakus lakrimalis ini adalah suatu kantung berisi

air mata yang nantinya akan mengalir melalui duktus nasolakrimalis ke meatus

nasi inferior. Perpindahan ini juga terjadi karena adanya perubahan tekanan

intraluminal akibat gerakan berkedip. Gerakan berkedip ini nantinya akan

membuat otot orbicularis oculi secara spontan akan mengalami kontraksi dan

relaksasi.
Gambar 2.4 Anatomi sistem lakrima

Duktus nasolakrimal dan fossa lakrimalis akan membentuk suatu sudut

yang memiliki peran dalam aliran air mata. Sudut yang dibentuk pada mata

kanan lebih besar dibandingkan mata kiri, itulah mengapa pada beberapa kasus

dakriosistitis lebih sering dijumpai menginfeksi mata sebelah kanan. Pada

ektoderm, suatu regio di fissura naso optic akan tertanam ke mesenkim

diantara nasi lateral dan proseccus maxilaris. Struktur anatomi ini nantinya

akan terus membentuk suatu aliran dan membuka ke arah fornix

konjungtiva sebelum membentuk pintu ke vestibulum nasi. Kanalisasi dari

sistem ekskresi lakrimal dimulai dari bagian superior yang bersifat segmental

lalu bergabung membentuk suatu lumen. Pada pertemuan sakus lakrimalis dan

kanalikuli komunis akan membentuk suatu lipatan mukosa yang disebut katup

rosenmuller sedangkan katup hasner terletak di pertemuan duktus

nasolakrimalis dan mukosa hidung. Individu yang memiliki bentuk kepala

brachycephalic akan lebih berisiko terinfeksi dakriosistitis dibanding bentuk

kepala dolicocephalic atau mesocephalic dikarenakan pada brachycephalic

memiliki saluran ke duktus nasolakrimalis dan fossa lakrimalis yang lebih

sempit, dan duktus nasolakrimalis yang lebih panjang. Seseorang dengan

hidung pesek dan wajah kecil juga memiliki risiko lebih tinggi karena saluran

tulang yang sempit.

2.2.6 Patogenesis

Peradangan yang terjadi pada duktus nasolakrimalis ini melibatkan

berbagai faktor dimana hal yang paling sering adalah karena obstruksi total

pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi ini nantinya akan menyebabkan aliran

air mata bergerak stasis dan terjadilah penumpukan air mata, sel deskuamasi,
dan sekresi mucus berlebihan di bagian atas dari daerah yang terkan obstruksi.

Di tempat itu lah akan mempercepatan pertumbuhan bakteri sebagai infeksi

sekunder.

2.2.7 Anamnesa

Anamnesis dapat dilakukan dengan cara autoanamnesis dan

heteroanamnesis. Gejala umum pada penyakit ini adalah keluarnya air mata

dan kotoran. Pada dakriosistitis akut, pasien akan mengeluh nyeri di daerah

kantus medial (epifora) yang menyebar ke daerah dahi, orbita sebelah dalam

dan gigi bagian depan. Sakus lakrimalis akan terlihat edema, lunak dan

hiperemi yang menyebar sampai ke kelopak mata dan pasien juga mengalami

demam. Jika sakus lakrimalis ditekan, maka yang keluar adalah sekret

mukopurulen.

Pada dakriosistitis kronis gejala klinis yang dominan adalah lakrimasi

yang berlebihan terutama bila terkena angin. Dapat disertai tanda-tanda

inflamasi yang ringan, namun jarang disertai nyeri. Bila kantung air mata

ditekan akan keluar sekret yang mukoid dengan pus di daerah punctum

lakrimal dan palpebra yang melekat satu dengan lainnya.

Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata

pasien merah pada satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan keluar

air mata diikuti dengan keluarnya nanah terus-menerus. Bila bagian yang

bengkak tersebut ditekan pasien akan merasa kesakitan (epifora).

2.2.8 Pemeriksaan Fisik

Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk

mengetahui ada tidaknya obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi.

Pemeriksaan fisik yang digunakan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi


pada duktus nasolakrimalis adalah dye dissapearence test, fluorescein

clearance test dan John's dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat

warna fluorescein 2% sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa letak

obstruksinya dapat digunakan probing test dan anel test.

Dye dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna

fluorescein 2% pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian

permukaan kedua mata dilihat dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah

satu mata akan memperlihatkan gambaran seperti di bawah ini.

Gambar 2.5 Dye disappearance test menunjukkan marginal tear strip dan

hiperlakrimasi di konjungtiva margin (soebagjo, 2019).

Fluorescein clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran

ekskresi lakrimal. Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein

2% pada mata yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus

nasolakrimalisnya. Setelah itu pasien diminta berkedip beberapa kali dan pada

akhir menit ke-6 pasien diminta untuk beringus (bersin) dan menyekanya
dengan tissue. Jika pada tissue didapati zat warna, berarti duktus

nasolakrimalis tidak mengalami obstruksi.

Gambar 2.6 Fluorescein clearance test

Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran

ekskresi lakrimal. Uji ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones Test

II. Pada Jones Test I, mata pasien yang dicurigai mengalami obstruksi pada

duktus nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2% sebanyak 1-2 tetes.

Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal

inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan berwarna

hijau berarti tidak ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Pada Jones

Test II, caranya hampir sama dengan Jones test I, akan tetapi jika pada menit

ke-5 tidak didapatkan kapas dengan bercak berwarna hijau maka dilakukan

irigasi pada sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna

hijau pada kapas, maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya dalam

keadaan baik. Bila lebih dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau

pada kapas sama sekali setelah dilakukan irigasi, maka dapat dikatakan bahwa

fungsi sistem lakrimalnya sedang terganggu.


Gambar 2.7 Irigasi mata setelah ditetesi fluoresceinpada

Jones dye test II

Tes anel digunakan untuk menilai fungsi ekskresi air mata

melalui sistem drainase nasolakrimal. Tes Anel dilakukan dengan

memasukkan cairan garam fisiologis ke dalam kanalikuli lakrimalis

melalui pungtum lakrimalis inferior. Hasil positif bila pasien merasakan

sensasi asin dan tampak reaksi menelan yang menunjukkan patensi sistem

drainase nasolakrimalis. Bila terjadi regurgitasi cairan garam fisiologis

beserta sekret mukoid dari pungtum lakrimalis superior dan teraba

pembesaran sakus lakrimalis, kemungkinan ada obstruksi total pada

duktus nasolakrimal (Raswita, 2018).

Pemeriksaan lainnya adalah probing test. Probing test bertujuan untuk

menentukan letak obstruksi pada saluran ekskresi air mata dengan cara

memasukkan sonde ke dalam saluran air mata. Pada tes ini, punktum

lakrimal dilebarkan dengan dilator, kemudian probe dimasukkan ke dalam

sakus lakrimal. Jika probe yang bisa masuk panjangnya lebih dari 8 mm

berarti kanalis dalam keadaan normal, tapi jika yang masuk kurang 8 mm

berarti ada obstruksi (Raswita, 2018).


Gambar 2.8 Anel Test

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang

a. Dakriosistografi dengan kontras

Dakriosistografi dilakukan dengan memasukkan kontras radioopak

(ethiodized oil) ke dalam kanalikuli. Indikasi dilakukannya Tindakan ini

untuk mengonfismasi lokasi obstruksi drainase lakrimal sehingga dapat

memandu pembedahan dan diagnosis divertikuli, fistula, dan filling defect

(batu atau tumor) (Salmon, 2020).

b. Pewarnaan gram dan kultur

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari microrganism penyebab dari

dakriosistitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mengambil sampel

kotoran mata dari pungtum lakrimal setelah dilakukan pijatan crigler

(Taylor, 2022).

c. Laboratoium darah

Pemeriksaan laboratorium darah dapat dipertimbangkan pada pasien

dakrosistitis dengan keadaan umum yang verat disertai demam dan

perubahan visus yang berat. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat

ditemukan leukositosis (Taylor, 2022).

2.2.12 Diagnosis Banding

1. Selulitis orbita

Selulitis orbita merupakan peradangan pada area posterior septum orbita

dan melibatkan jaringan lunak dari orbita. Selulitis orbita dapat

memberikan gambaran eritema dan edema pada daerah yang sama dengan

dakriosistitis namun umumnya selulitis orbita mencakup area yang lebih

luas, sering disertai dengan proptosis, nyeri yang timbul saat


menggerakkan bola mata, dan penurunan tajam penglihatan. Jika kantus

medial ditekan, tidak ada sekret mukopurulen yang keluar dari pungtum

lakrimalis seperti pada kasus dakriosistitis (Liyanti, 2019).

2. Sinusitis etmoidalis

Peradangan pada sinus etmoid dapat memberiksan gambaran klinis mirip

dakriosistitis. Tes anel pada kasus ini biasanya memberiksan hasil system

ekskresi yang paten. Dapat dilakukan pemeriksaan radiologi yang

didapatkan gambaran sinusitis yakni air cell pada ethmoid dan erosi tulang

(Nurladira, 2021).

3. Tumor sakus lakrimal

Pada kasus in penekanan di daerah sakus tidak keluar secret dari pungtum

lakrimal (Soebagjo, 2019).

2.2.11 Tatalaksana

Tatalaksana dakriosistitis akut meliputi managemen non-farmakologi dan

farmakologi hingga tindakan operasi.

a. Non-Farmakologi

Pada dakriosistitis akut dapat dilakukan kompres hangat seanyak 3 kali

sehari dan pijatan crigler. Setelah Tindakan tersebut langkah selanjutnya

adalah pemberian terapi farmakologi (Nurladira, 2021).

b. Farmakologi

Terapi farmakologi dapat berupa pemberian analgesic sebagai anti nyeri

dan antibiotik baik sistemik maupun lokal. Obat tetes mata kloramfenikol

0,8% yang diberikan setiap 6 jam juga mampu mempercepat penyembuhan

penyakit ini, namun tidak akan efektif jika diberikan pada infeksi yang

terletak di dalam sakus lakrimalis atau jaringan disekitarnya. Antibiotik oral


yang dapat diberikan seperti cephalexin 4 x 500 mg (dosis anak 25-50

mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis), co-amoxiclav 3 x 625 mg (dosis anak 20-40

mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis). Terapi konservatif ini dilakukan terlebih

dahulu selama 5 – 7 hari. Jika gambaran klinis yang didapat sudah cukup

berat, dapat diberikan cefazolin 3 x1 gr IV (dosis anak 25-50

mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis) atau cefuroxime 3 x 1,5 gr IV (dosis anak

75-100 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis) (Nurladira, 2021).

c. Operasi

Insisi dan drainase dapat dipertimbangkan bila terdapat kemungkinan

abses akan keluar secara spontan. Akan tetapi Tindakan ini dapat

meningkatkan risiko persistent sac-skin fistula (Salmon, 2020).

Pembedahan pada dakriosistitis umumnya bertujuan untuk mengurangi

kejadian berulang, pembedahan yang umumnya dilakukan adalah tindakan

Dacryocystorhinostomy (DCR). Operasi ini merupakan tatalaksana pilihan

utama untuk dakriosistitis ataupun penyakit yang disebabkan karena

obstruksi ductus nasolakrimalis. DCR umumnya dilakukan setelah infeksi

akut telah dikendalikan. DCR memiliki dua pendekatan yaitu eksternal dan

endonasal, dimana pada pendekatan eksternal akan dilakukan insisi

transkutan sedangkan pendekatan endonasal dibantu dengan penggunaan

endoskopi. Endoscopic DCR (EN-DCR) terbukti memiliki tingkat

kesuksesan 84% sedangkan External DCR (EXT-DCR) sebesar 70%.

Dacryocystorhinostomy (DCR) ini nantinya akan membentuk penghubung

dari sakus lakrimalis ke mucosa nasal melalui tulang ostium. Tujuan dari

prosedur ini ialah untuk membentuk tulang ostium yang besar di dalam

hidung dan membentuk mucosa lined anastomoses. Prosedur DCR dapat


dilakukan pada pasien yang memiliki indikasi seperti dibawah ini

(Nurladira, 2021):

1) Obstruksi duktus lakrimal kongenital persistent yang tidak respon terapi

sebelumnya,

2) Obstruksi duktus lakrimal kongenital yang disertai dengan mucocele,

dakriosistitis, dan tidak respon terapi sebelumnya,

3) Obstruksi duktus nasolakrimal primer yang didapat,

4) Obstruksi duktus nasolakrimal sekunder yang didapat.

Pendekatan pada DCR ini melalui 2 metode yaitu external DCR

(EXT -DCR) dan endoscopic DCR (EN-DCR). Pada pendekatan EXT-

DCR bertujuan untuk membentuk penghubung secara langsung dari

sakus lakrimalis dengan dinding lateral hidung sehingga kanalikuli dapat

mengalir ke cavum nasi. Metode ini memiliki kerugian dimana akan

memakan waktu lama saat melakukan operasi, terbentuknya scar dan

luka pada struktur kantus medial, gangguan fungsi dari aliran lakrimalis,

dan kebocoran cerebrospinal fluid. Beberapa kerugian yang sudah

disebutkan tidak cukup membuat para ahli untuk tidak melakukan

tindakan EXT –DCR ini dikarenakan memiliki kelebihan yang dirasa

mampu mempercepat penyembuhan dari dakriosistitis ini seperti tampak

secara jelas struktur anatomi di sekitar sakus lakrimalis, aposisi jahitan

dan penyembuhan luka primer pada flap mukosa.

Pada pendekatan EXT-DCR ini akan membentuk insisi 10 – 15

mm di lateral hidung dan akan meninggalkan luka jahitan yang lama –

kelamaan akan memudar sekitar 7 – 10 hari. Pasien akan disisipi sebuah

batang plastik kecil yang berguna untuk memastikan aliran yang baru
saja dibuat akan tetap membuka sampai memasuki fase penyembuhan.

batang plastik ini nantinya akan dilepas setelah 4 – 6 minggu. Tindakan

yang dilakukan pada metode EN – DCR ini mirip dengan EXT-DCR,

namun tidak dilakukan insisi kulit dan tidak meninggalkan bekas karena

tindakan ini akan dilakukan melalui cavum nasi mengunakan kamera

kecil (endoskop). Pada tindakan ini juga pasien akan disisipi sebuah

batang plastik kecil di aliran yang baru saja dibuat dan akan dilepas

setelah 4 – 6 minggu. Metode EN – DCR ini merupakan pilihan utama

dan sebagai prosedur primer yang dilakukan pada pasien dakriosistitis

akut. Alasan utama dari hal tersebut karena pada metode ini mampu

memperlihatkan aliran abses dari sistem lakrimal secara adekuat dan

berkelanjutan, hal ini akan mempercepat proses pemulihan dari

peradangan dan gejala yang sebelumnya dialami pasien. Post – operasi

dari EN-DCR ini, pasien akan tetap merasakan nyeri dan bengkak di

tendon medial canthal untuk beberapa saat akibat dari dekompresi sakus

lakrimalis secara langsung guna menghilangkan tekanan yang dialami

setelah operasi selesai. EN- DCR ini juga dapat dilakukan sebagai terapi

sekunder setelah sebelumnya

sudah dilakukan drainase perkutan dari abses sakus lakrimalis. Sebagai

terapi sekunder, proses penyembuhan akan lebih lama dan memicu

proliferasi jaringan fibrosa di sakus lakrimalis dan menyebabkan

komplikasi seperti pembentukan fistula dan luka yang mendalam.


Gambar 2.8 External dacryocystorhinostomy (DCR).

A, The incision is marked 10 mm from the medial canthus, starting just

above the medial canthal tendon and extending inferiorly.

B, Bone from the lacrimal fossa and anterior lacrimal crest has been

resected. Flaps have been fashioned in the nasal mucosa. A lacrimal

probe extends through an incision in the lacrimal sac.

C, The anterior lacrimal sac flap is sutured to the anterior nasal mucosal

flap after a stent is placed. D, Final position of the stent following

closure of the skin incision

2.2.12 Komplikasi
Komplikasi pada kasus dakriosistitis akut yang sering terjadi akibat

tidak tertangani dengan baik ialah selulitis preseptal ataupun selulitis orbita

karena infeksi ini akan dengan mudahnya dan secara cepat menyebar ke

jaringan lunak di sekitarnya. Infeksi ini pun juga mampu menyebar ke

daerah proksimal melalui kanalikuli sehingga mengakibatkan konjungtivitis

(Nurladira, 2021).

2.2.13 Prognosis

Secara umum prognosis dakriosistitis baik. DCR telah dilaporkan lebih

dari 93% hingga 97% berhasil. Pada kasus kongenital, kesembuhan 90%

akan sembuh pada usia satu tahun dengan Tindakan konservatif saja

(Taylor, 2022).
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Cantor LB, Rapuano CJ, Cioff GA. 2018. Orbit , Eyelids , and Lacrimal Sistem. Basic
Clin Sci course. Hal ;1–307.
Eslami F, Basir HRG, Moradi A, Farah SH. 2018. Microbiological study of dacryocystitis
in northwest of iran. Clin Ophthalmol hal : 1859–64.
Liyanti R, Sukmawati G, dan Vitresia H. 2019. Orbital Cellulitis.Jurnal Kesehatan
Andalas. Vol. 8 no.3; 295-297.
Nurladira, S. T. 2021. Managemen dakriosistitis.Jurnal Medika Hutama. Vol.03, No. 01;
1468-1473.
Pinar-Sueiro S, Sota M, Lerchundi TX, Gibelalde A, Berasategui B, Vilar B, et al. 2012.
Dacryocystitis: Sistematic approach to diagnosis and therapy. Curr Infect Dis
Rep.14(2):137–46.
Prasasti, N., Indrajati, C., & Soffan, M. 2021. Perbedaan Angka Kesembuhan Teknik
Masase Sakus dengan Sakus Duktus pada Dakriostenosis Kongenital. Prosiding
Konstelasi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) Klaster Kesehatan, 1(1).
Raswita NEA, Himayani R. Dakriosistitis kronis post abses sakus lakrimalis dengan
fistula sakus lakrimalis. J Medula Unila. 2018;7(3):57-61.
Salmon J. F. 2020. KANSKI’S : Clinical Ophthalmology. Edisi ke-9. China : Elseivier.
Hal. 102-110.
Soebagjo, H. D. 2020. Penyakit sistem lakrimal. Airlangga University Press.
Taylor RS, Ashurst JV. Dacryocystitis. In:StatPearls (Internet). Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022. Dacryocystitis - StatPearls - NCBI Bookshelf
(nih.gov)

Anda mungkin juga menyukai