Anda di halaman 1dari 27

DIAGNOSIS DAN ETIOLOGI EPIFORA

Oleh :
Noufal Riandi Khairul
Andi Ridho Azmi
Satia Bama T Karappiah
M Zharfan Suchyar

Dosen Pakar :
Dr. dr. Hendriati, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “Diagnosis
dan Etiologi Epifora” tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. dr. Hendriati, Sp.M(K) selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan saran dalam penyusunan
makalah ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi
mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan Miopia Patologis. Dengan
demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam
proses pembelajaran serta diharapkan mampu berkontribusi dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis mengucapkan
terima kasih.

Padang, Januari 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 6
2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimal...................................... 6
2.2. Etiologi........................................................................................ 14
2.3. Patofisiologi................................................................................. 16
2.4. Kelainan pada Sistem Drainase Lakrimal.................................... 17
2.5. Gejala Klinis................................................................................ 21
2.6. Diagnosis..................................................................................... 21
2.7. Diagnosis Banding....................................................................... 22
2.8. Penatalaksanaan........................................................................... 22
2.9. Komplikasi................................................................................... 24
2.10. Prognosis.................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 26

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Sistem lakrimal berperan penting dalam memelihara permukaan bola mata.

Mata yang berair seringkali menyebabkan frustasi baik bagi dokter maupun pasien

karena kesulitan menentukan penyebab kelainan di sistem lakrimal. Sitem

lakrimal terdiri atas struktur yang terlibat dalam produksi dan drainase air mata.

Komponen sekresi terdiri atas kelenjar yang menghasilkan berbagai bahan cairan

air mata, yang didistribusikan ke permukaan mata dengan berkedip . Kanalikuli,

sakus lakrimalis, dan duktus lakrimalis membentuk elemen sistem ekskretoris,

yang akhirnya mengalir ke hidung.(1)

Epifora didefinisakan sebagai luapan berlebih dari air mata. Epifora

disebabkan oleh gangguan dalam keseimbangan antara produksi air mata dan

drainase mata. Sistem drainase lakrimal merupakan channel membran yang

bersambung dan kompleks dimana fungsinya tergantung pada interaksi antara

anatomi dan fisiologinya.(2)

Ketika dihadapkan dengan pasien yang mengeluhkan keluarnya air mata,

langkah awal yang perlu dipastikan adalah apakah epifora ini dikarenakan oleh

peningkatan produksi air mata (lakrimasi) ataukah penurunan pada drainase air

mata. Hal-hal seperti trikiasis, benda asing superfisialis, malposisi dari kelopak

mata, penyakit pada tepi kelopak mata defisiensi dan ketidakstabilan pada air

mata, dan iritasi pada nervus kranialis V bisa menjadi penyebab pada peningkatan

produksi air mata yang abnormal. Jika kondisi-kondisi tadi tidak ada, maka

4
abnormalitasnya pada drainase dari air mata merupakan kemungkinan

penyebab utama. Epifora dapat disebabkan hambatan pada semua titik sistem

drainase saluran lakrimal,mulai dari gangguan pompa lakrimal karena kelemahan

kelopak mata sampai dengan hambatan pada meatus inferior hidung.(2)

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimal

a. Embriologi sistem lakrimal

Embriologi sistem lakrimal yaitu, kelenjar lakrimal berkembang

dari beberapa solid ectodermal buds di superolateral anterior orbita.

Cabang tunas dan saluran ini membentuk duktus dan alveoli. Kelenjar

lakrimalis ini kecil dan tidak berfungsi sepenuhnya sampai sekitar 6

minggu setelah lahir. Ini menjelaskan mengapa bayi yang baru lahir tidak

memproduksi air mata ketika menangis. Pada kehamilan akhir minggu ke

lima terbentuk alur nasolakrimal antara nasal dan tonjolan maksila.

Pembentukan saluran ke arah bawah secara lengkap terjadi pada saat

sekitar kelahiran. Kegagalan pembentukan saluraan pada bagian bawah

akan menyebabkan terjadinya congenital nasolakrimal duct obstraction.(1)

b. Aparatus lakrimal dan alirannya

Aparatus lakrimal terdiri dari (1) kelenjar lakrimalis utama, (2)

kelenjar lakrimalis aksesori, dan (3) bagian lakrimal yang meliputi:

punktum, kanlikuli, kantung lakrimalis dan duktus nasolakrimal.

6
Gambar 2.1 Aparatus Lakrimal (Christine Grallap, 2010)

Kelenjar lakrimalis utama terdiri dari bagian orbital atas dan bawah

palpebral. Bagian orbital lebih besar, bentuk seperti almond dan terletak di

fossa kelenjar lakrimal pada bagian luar dari pelat orbital tulang frontal.

Terdapat dua permukaan superior dan inferior. Permukaan superior

berbentuk cembung dan kontak dengan tulang. Permukaan inferior cekung

dan terletak pada otot levator palpebra superior. (3)

Gambar 2.2 Anatomi sistem lakrimal (Wagner,2006)

7
Bagian palpebra ukurannya lebih kecil dan hanya terdiri dari satu

atau dua lobul. Terletak pada bagian orbital yang terpisah oleh otot levator

palpebra superior. Pada bagian posterior akan bergabung dengan bagian

orbital.(3)

Saluran kelenjar lakrimal. Sejumlah 10-12 saluran berjalan ke

awah dari kelenjar utamau untuk menuju bagian lateral forniks superior.

Satu atau dua saluran juga terbuka pada bagian lateral forniks inferior. (3)

Aliran lakrimal :

1. Punktum Lakrimal. Terdapat 2 buah, bulat atau oval pada kelopak atas

dan bawah, sekitar 6 hingga 6,5 mm, pada bagian temporal kantus

dalam. (3)

2. Kanalikuli lakrimal. Bergabung dengan punktum menuju sakus

lakrimal. Beberapa kanalikuli memiliki 2 bagian: vertikal (1-2 mm)

dan horizontal (6-8mm). Kedua kanalikuli dapat membuka sendiri-

sendiri atau bersamaan menuju dinding luar sakus lakrimal. Lipatan

mukosanya akan membentuk katub Rossenmuler yang mencegah

refluks air mata. (3)

3. Sakus lakrimal. Terdapat pada bagian depan dinding medial orbital.

Fossa lakrimal dibentuk oleh tulang lakrimal dan processus frontal dari

maxilla. Terdiri dari 3 bagian: fundus, badan, dan leher (yang akan

berhubungan langsung dengan duktus nasolakrimal). (3)

8
4. Duktus nasolakrimal. Panjang sekitar 15-18 mm. Terdiri dari banyak

katub membran, diantaranya katub hasner, yang terletak pada bagian

bawah duktus yang berfungsi mencegah refluks dari hidung.(3)

c. Air mata

Air mata mebentuk lapisan tipis setebal 7-10 µm yang menutupi

epitel kornea dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultra-tipis ini adalah (1)

membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan

meniadakan ketidakterturan minimal di permukaan epitel; (2) membasahi

dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut;

(3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan

mekanik dan efek antimikroba.; dan (4) menyediakan kornea berbagai

substansi nutrien yang diperlukan.(4)

Gambar 2.3 Lapisan-lapisan film air mata.

Lapisan-lapisan film air mata: terdapat 3 lapisan yaitu:

1. Lapisan superfisial adalah film lipid monomolekular yang berasal

dari kelenjar meibom. Diduga lapisan ini menghambat penguapan

9
dan membentuk sawar kedap-air saat palpebra ditutup.

2. Lapisan akuosa tengah yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor

dan minor; mengandung substansi larut-air (garam dan protein).

3. Lapisan musinosa dalam terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel

epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas

lipoprotein dan karenanya relatif hidrofobik. Permukaan yang

demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja. Musin

diadsorbsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan oleh

mikrovili ditambatkan pada sel-sel epitel permukaan. Ini

menghasilkan permukaan hidrofilik baru bagi lapisan akuosa untuk

menyebar secara merata ke bagian yang dibasahinya dengan cara

menurunkan tegangan permukaan.(4)

Gambar 2.4 Lapisan air mata


d. Struktur, suplai darah dan saraf

Seluruh glandula lakrimal merupakan serous, mirip dengan

struktur glandula salivari. Secara ,ikroskopis terdiri dari jaringan

10
glandular (acini dan duktus), jaringan penghubung dan puncta.(3)

Suplai aliran darah melalui arteri lakrimal yang merupakan

cabang arteri ophtalmik. Suplai saraf : (1) sendorik dari saraf lakrimal,

cabang divisi ophtalmik saraf V. (2) Simpatik berasal dari pleksus

simpatik cervikal. (3) sekretomoto dari nukleus salivari superior.(3)

Gambar 2.5 Struktur, suplai darah dan saraf

e. Sistem sekresi air mata

Volume terbesar air dihasilkan oleh kelenjar lakrimal yang

terletak di fossa glandula lacrimalis di kuadran temporal atas orbita.

Kelenjar yang berbentuk almon ini di bagi oleh kornu lateral aponeurosis

levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang

lebih kecil, masing-masing dengan sistem duktulusnya yang bermuara

ke forniks temporal superior. Lobus palpebra kadang-kadang dapat

dilihat dengan membalikkan palpebra superior. Persarafan kelenjar-utama

datang dari nukleus lacrimalis di pons melalui nervus intermedius dan

11
menempuh suatu jaras rumit cabang maxillaris nervus trigeminus.

Denervasi adalah konsekuensi yang sering terjadi pada neuroma akustik

dan tumor-tumor lain di sudut cerebellopotin. (4)

Kelenjar lakrimal aksesorius, meskipun hanya sepersepuluh dari

massa kelenjar utama, mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar

Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama, tetapi tidak memiliki

duktulus. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama di

forniks superior. Sel-sel goblet uniseluler, yang juga tersebar di

konjungtiva, mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi

kelenjar sebasea meibom dan zeis di tepian papebra memberi lipid pada

air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga

ikut membentuk film air mata.(4)

Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan

menyebabkan air mata mengair berlimpah melewati tepian palpebra

(epifora). Elenjar lakrimal aksesorius dikenal sebagai “pensekresi dasar”.

Sekret yang dihailkan normalnya cukup untuk memelihra kesehatan

kornea. Hilangnya sel goblet berakiat mengeringnya kornea meskipun

banyak air mata dari kelenjar lakrimal.(4)

f. Sistem ekskresi air mata

Sistem ekskresi terdiri atas punktum, kanalikuli, sakus lakrimalis,

dan duktus lakrimalis. Setiap kali berkedip, palpebra menutup seperti

ritsleting mulai dari lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas

kornea., dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial

12
palpebra. Pada kondisi normal, air mata dihasilkan dengan kecepatan yang

kira-kira sesuai dengan kecepatan penguapannya. Dengan demikian, hanya

sedikit yang sampai ke sistem ekskresi. Bila sudah memenuhi sakus

kojungtivalis, air mata akan memasuki puncta sebagian karena sedotan

kapiler. Dengan menutup mata, bagian khusus orbikuaris pra tarsal yang

mengelilingi ampula akan mengencang untuk mencegahnya keluar.

Bersamaan dengan itu, palpebra ditarik ke arah krista lakrimalis posterior,

dan traksi facia yang mengelilingi sakus lakrimalis berakibat

memendeknya kanalikulus dan menyebabkan tekanan negatif di dalam

sakus. Kerja pompa dinamik ini menarik air mata ke dalam sakus, yang

kemudian berjalan melalui duktus nasolakrimalis kaena pengaruh gaya

berat dan elastisitas jaringan, kedalam meatus inferior hidung. Lipatan-

lipatan serupa katup mirip epitel pelapis sakus cenderung menghambat

aliran balik udara dan airmata. Yang paling berkembang di antara lipatan

ini adalah “katup” Hasner di ujung distal duktus nasolakrimalis. Struktur

ini penting karena bila tidak berlubang pada bayi, menjadi penyebab

obstruksi kogenital dan dakriosistitis menahun. (4)

13
Gambar 2.6 Sistem eksresi air mata

2.2 Etiologi

Epifora bisa didapatkan karena hambatan pada semua titik sistem darinase

saluran lakrimal. Penyebabnya yaitu :

1. Primary acquired nasolacrimal duct obstruction. Hal ini bisa terjadi

stenosis parsial atau obliterasi total dari lumen duktus yang merupakan

hasil dari inflamasi yang idiopatik dan fibrosis dari duktus nasolarimal.(2)

2. Secondary acquired nasolacrimal duct obstraction. Bisa dikarenakan

infeksi (bakteri, virus, dan jamur), inflamasi eksogen karena obat

antineoplastik atau obat topikal antiglaukoma. Inflamasi endogen seperti:

Scleroderma, Sarcoidosis. Bisa pula karena mekanik (benda asing

intralumen, kompresi eksternal, trauma). (2)

14
Selain itu abnormalitas sekresi lakrimal dan sistem drainase juga disebabkan

oleh:

a. Obstruksi saluran lakrimal kongenital

1. Obstruksi saluran lakrimal kongenital biasanya disebabkan oleh

penyumbatan membran pada katup Hasner pada bagian akhir saluran

lakrimal di hidung. Kasus ini terjadi pada 50 % bayi baru lahir.

Umumnya akan terbuka spontan pada 4-6 minggu setelah lahir.

Obstruksi ini menjadi masalah klinis hanya pada 2-6 % full term

infant. Sepertiga kasus ini terjadi bilateral. Hampir 90 % obstruksi

saluran lakrima kongenital membaik dalam tahn pertama kehidupan.(1)

2. Dacryostenosis: Sebuah kondisi yang umum didapatkan dimana ujung

dari duktus nasolakrimal di bawah konka gagal untuk menyelesaikan

kanalisasinya pada periode bayi baru lahir dan bisa memberikan tanda

klinis pada 2-4% bayi baru lahir.(6)

3. Anomali pada sakus: walaupun divertikulum dari sakus lakrimal bisa

ada, fistula kongenital dari sakus lakrimal, yang juga bisa disebut

lacrimal anlage duct bisa muncul.(6)

4. Anomali pada puncta dan kanalikuli: bisa terjadi atresia.(6)

b. Obstruksi saluran lakrimal didapat

Keluhan mata berair dapat disebabkan oleh 2 kelompok penyebab:

hipersekresi air mata (lakrimasi) dan gangguan drainase (epifora). Epifora

dapat disebabkan hambatan pada semua titik sistem drainase saluran

lakrimal, mulai gangguan pompa lakrimal karena kelemahan kelopak mata

15
sampai hambatan pada meatus inferior hidung.(1)

1. Involutional stenosis: Kemungkinan penyebab paling umum pada

obstruksi duktus nasolakrimal pada orang dewasa atau usia tua. Terjadi

dua kali lipat lebih sering pada wanita daripada pria.(7)

2. Trauma : bisa menyebabkan obstruksi ketika terjadi fraktur pada naso-

orbita sehingga menyebabkan kerusakan pada sakus lakrima maupu

duktus nasolakrimalis. Gejala klinis epifora bisa muncul jika tidak

tertangani dengan segera. (7)

3. Lain-lain: seperti penyait inflamasi (sarcoidosis, Wegener

granulomatosis dan lethal midline granuloma bisa mengarah ke

obstruksi duktus nasolakrimal), iodin radioaktive serta neoplasma bisa

menimulkan obstruksi duktus nasolakrimal. (7)

c. Infeksi

1. Kanalikulitis: Infeksi kronis pada kanalikuli lakrimalis yang

disebabkan oleh Actinomyces israelii, Candida albicans, atau spesies

aspergillus. Lebih sering terjadi pada kanalikuli inferior, pada orang

dewasa, dan menyebabkan konjungtivitis purulen sekunder yang

sering luput dari diagnosis etiologi. (1)

2. Dacryocystitis

Keradangan pada sakus lakrimal mempunyai berbagai penyebab. Yang

terbanyak karena obstruksi total duktus nasolakrimalis sehingga

menghambat drainase normal dari sakus lakrimalis ke hidung.

Hambatan drainase air mata dan stasis menyebabkan infeksi sekunder.

16
2.3 Patofisiologi

PANDO (Primary Acquired Nasolacrimal Duct Obstruction) lebih umum

terjadi pada usia paruh baya dan wanita usia tua. Dengan menggunakan CT scan,

Groessl dkk, mendemonstrasikan bahwa wanita memiliki dimensi fossa

nasolakrimal bagian bawah dan duktus nasolakrimal bagian tengah yang lebih

kecil. Mereka mengemukakan bahwa perubahan pada dimensi anteropoterior dari

canal nasolakrimal berhubungan dengan peubahan osteoporosis pada tubuh.

Selain itu, faktor menstruasi dan fluktuasi hormon dan status imunitas penderita

mempengaruhi proses penyakit. Perubahan hormon membuat de-epitelisasi saccus

dan duktus lakrimal. Sehingga, fossa nasolakrimal pada wanita yang sudah kecil

bisa menjadi lebih sempit dikarenakan obstruksi dari serpihan-serpihan derbis

yang terkelupas.(2)

SALDO (Secondary Acquired Nasolacrimal Duct Obstraction) yaitu

termasuk di antaranya : infeksi, inflamasi, neoplastic, trauma, dan mekanik.

Bakteri, viru, jamur, dan parasit bisa menjadi penyebab obstruksi drainase

lakrimal karena infeksi. Infeksi virus yang paling umum adalah infeksi herpes.

Obstruksi terjadi oleh karena kerusakan pada substansi propia dari jaringan elastik

canaliculi dan atau lengketnya membran yang inflamasi pada epitel permukaan

dari canaliculi. Jamur bisa mengobstruksi saluran lakrimal dengan membentuk

batu (dacryolith). Obstruksi oleh karena parasit jarang, namun pernah dilaporkan

bahwa terdapat pasien dengan Ascaris lumbricoides, yang masuk ke dalam sistem

lakrimal dan melalui “katup” hasner.(2)

17
2.4 Kelainan pada sistem drainase lakrimal

a. Obstruksi duktus nasolakrimalis dan dacrocystisis

Infeksi pada kantung lakrimal sering terjadi dan unilateral yang

umumnya didahului oleh obstruksi pada duktus nasolakrimalis.(8)

Pada dacrocystisis infantil, tempat yang umumnya terjadi obstruksi

adalah memban presisten yang melapisi katup hasner. Kegagalan

kanalisasi dukuts nasolakrimalis terjadi hingga 87% pada bayi yang baru

lahir, namun kondisi ini akan membaik secara spontan pada akhir bulan

pertama setelah kelahiran dalam 90% kasus.(8)

Pada orang dewasa, obstruksi duktus nasolakrimal biasanya terjadi

pada wanita-wanita yang sudah mengalami menopause. Penyebab

utamanya masih belum dapat dipastikan namun secara umum dapat

dikaitkan dengan inflamasi kronis yang mengakibatkan fibrosis di dalam

duktus nasolakrimalis.(8)

Dacrocystisis akut dan kronis biasanya didahului oleh riwayat

obstruksi dari duktus nasolakrimal sebelumnya yang dapat disebabkan

oleh S Aureus, S epidermidis, Pseudomonas aeruginosa.(8)

Gejala utama yang ditemukan pada dacrocystisis adalah epifora

dan discharge. Pada dacrocystisis akut dapat ditemukan inflamasi, nyeri,

edema, dan rasa tidak nyaman di dalam tendon kantus medialis pada

area kantung lakrimal, sekret purulen dapat terlihat keluar ke punctum

lakrimalis dengan cara menekan daerah kantung lakrimal. Pada fase

kronis, gejala yang dapat ditemukan hanya epifora dan bulu mata yang

18
kotor, namun bisa saja ditemukan sekret mukoid yang keluar dari

kantung lakrimal.(8)

Dilatasi dari kantung lakrimal (mucocele) mengdindikasikan

obstruksi pada duktus nasolakrimalis.(8)

Pemeriksaan bagian dalam hidung sangat penting untuk

mengetahui ada tidaknya space drainage yang adekuat diantara septum

dan lateral nasal wall.(8)

Gambar 2.7 Dacrocystisis akut(8)

Gambar 2.8 Dacrocystisis akut fase infantil pada bayi akibat kongenital anomali
obstruksi duktus nasolakrimalis.(10)

19
b. Kelainan Kanalikuli

Kelainan konginetal pada sistem kanalikuli meliputi puncta

imperforata, fistula kanalikuli, dan agenesis dari sistem kanalikuli.(8)

Kasus terbanyak pada stenosis kanalikuli adalah didapat (aquired)

dan disebabkan oleh infeksi virus, seperti virus varisela zoster, virus

herpes simpleks atau infeksi adenovirus. Trauma, Sindrom Steven

Johnson, toxic epidermal necrloyting, eritema multiform, dan pemfogoid

sikatrik.(8)

Kanalikulitis adalah infeksi kronik unilateral yang jarang terjadi,

disebabkan oleh Actinomyces, Candida albicans, dan Aspergillus,

streptokokus anaerobik atau stapilokokus. Keluhan yang biasanya

muncul pada pasien adalah mata merah dan iritasi disertai discharge.

Kanalikuli inferior lebih sering terinfeksi daripada kanalikuli superior,

lebih banyak terjadi pada orang dewasa dan dapat menyebabkan

sekunder konjungtivitis purulen yang dimana kanalikulitis sering luput

dari diagnosa etiologi penyebab dari konjungtivitis sekunder.(8)

Pemeriksaan dan irigasi kanalikuli sangat penting dalam

mengidentifikasi lokasi dan keparahan dari obstruksi yang selanjutnya

dapat dilakukan kompresi pada kantung lakrimal. Jika ada obstruksi

total maka discharge tidak akan muncul keluar melalui puncta meski

telah dilakukan kompresi pada kantung lakrimal.(8)

Pada kanalikulitis punctum lakrimalis biasanya akan mencondong

keluar dan discharge dapat keluar dari kanalikuli. Discharge dapat

20
diambil untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut guna

mengidentifikasi mikroba penyebab infeksi dengan mikroskop atau

kultur.(8)

Gambar 2.9 Actinomyes kanalikulitis(8)

2.5 Gejala klinis

Gejala klinis yang muncul yaitu berupa air mata yang keluar berlebih. Bisa

terdapat chantus medial yang bengkak dan nyeri.(2)

2.6 Diagnosis

Riwayat terkait kondisi yang bersangkutan dengan epifora sangat penting

untuk menegakkan diagnosis. Riwayat penyakit sinus, operasi sinus, trauma okuli

maupun midfacial serta hambatan pada duktus nasolakrimal semasa kanak-kanak

dapat mengindikasikan masalah obstruksi. Selain itu, nanah dan perdarahan pada

tear film dapat mengindikasikan infeksi maupun keganasan. Gejala terkait seperti

nyeri, gatal, rasa terbakar akan sangat berguna apabila ditemukan pada anamnesis

untuk menentukan etiologi penyebab terjadinya epifora. Pemeriksaan mata secara

menyeluruh dapat menunjang penemuan dari penyebab dari ephipora.(8)

21
Gambar 2.10 Alur diagnosis epifora.(9)

2.7 Diagnosis Banding(2)

 Entropion / Ekstropion

 Trichiasis

 Stenosis punctum

 Kanaliculitis / Blok kanalikulitis

 Dacrocystisis Akut

 Meibomianitis / Blepharitis

 Allergic rhinitis

 Konjungtivitis virus

 Kongenital anomali duktus nasolakrimalis pada bayi

22
2.8 Penatalaksanaan

Berhasil atau tidaknya penatalaksanaan dari ephipora tergantung dari

tenaga kesehatan dalam menelusuri penyebab utama dari epifora itu sendiri.

Penatalaksanaan dan evaluasi dari epifora dimulai dari menjelaskan kepada pasien

tentang keseimbangan air mata normal dan menegaskan bahwa kerusakan pada

satu sistem pada mata akan memicu kerusakan pada bagian mata lainnya. Berikut

penatalaksanaan Epifora berdasarkan penyebabnya:

Tabel 2.1 Penyebab dan Penatalaksanaan Epifora(9)

Penyebab Penatalaksanaan

Obstruksi punctum Dilatasi, three-snip punctoplasty,

intubasi silikon

Obstruksi kanalikuli

a. Stenosis/konstriksi kanalikuli Intubasi silikon

b. Oklusi kanalikuli Eksisi daerah oklusi dan perbaikan

total/komplit kanalikuli dengan bedah plastik

c. Kanalikulitis Antibiotik, kompres air hangat,

kuretase dengan kanalikulotomi untuk

membuang konkresi/massa.

Obstruksi duktus nasolakrimalis/ Intubasi silikon dengan atau tanpa

NLDO dacryocystorhinostomy

Dengan dacryocystisis Antibiotik

NLDO berulang Dacryocystorhinostomy

23
Fungsi lacrimal-pump yang buruk/

malposisi kelopak mata

Ectropion involusi Horizontal eyelid tightening dengan

modifikasi tarsus lateralis.

Entropion involusi Retractor reinsertion dengan

modifikasi tarsus lateralis.

Punctal ectropion Medial spindle dengan atau tanpa

Horizontal eyelid tightening procedure.

Kelainan ocular surface Koreksi masalah penyebab, jika mata

kering menjadi faktor pemberat,

pertimbangkan pemberian artificial

tears, punctal plugs, retasis, dll.

Kongenital anomali duktus Masase dengan jari-jari (digital

nasolakrimalis pada bayi pressure) untuk mempercepat resolusi

dari obstruksi.(5)

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada epifora:

a. Dacryocystisis akut dan kronis(8)

b. Kanalikulitis(8)

c. Konjungtivitis kronis sekunder(8)

d. Selulitis preseptal.(8)

24
2.10 Prognosis

Kesembuhan dari pasien epifora tergantung dari penatalaksanaan yang

sesuai dengan etiologi penyebab. Prosedur dan tindakan yang sesuai dengan

penyebab epifora sangat membantu dalam mempercepat waktu penyembuhan.(8)

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Rowena G Hoesin, Harijo W, Ratna D, Sutjipto. Rekonstruksi okuloplastik

dan orbita dalam buku ajar ilmu kesehatan mata. Airlangga University press.

Surabaya; 2013. Hal.44-47

2. Sandara R Worak. 2016. Obstruction nasolacrimal duct. Medscape. Diakses 31

Desember 2019.

http://emedicine.medscape.com/article/1210141-overview#a4

3. Ululil CW, Ratna M, Retna GD, Ilhamiyati. 2013. Buku Ajar Kepaniteraan

Klinik SMF Mata RSU Haji Surabaya. Hal.46-48.

4. Sullivan JH, Shetlar DJ, John PW. Palpebra, Apparatus Lakrimalis, dan Air

Mata dalam Vaugan dan Asbury: Oftalmologi Umum. Edisi 17. Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2008. Hal. 89-90.

5. Mounir B. 2016. Congenital anomalies of the nasolacrimal duct.

Diakses tanggal 31 Desember 2019

http://emedicine.medscape.com/article/1210252-overview#a4

6. Basic and Clinical Science Course. Orbit,Eyelids, and Lacrimal

System.Chapter 13: Abnormalities of the Lacrimal Secretory and Drainage

System. Hal. 249-271.

7. Reza MV, Sullivan JH. Lacrimal Apparatus. In: Vaughan & Asbury’s General

Ophthalmology, 18th Edition. United States of America: The McGraw-Hill

Company;2013. p. 79 – 81.

8. Kristina PM, Richard MJ. The tearing patient: Diagnosis and management.

American Academy of Ophtalmology. San Fransisco. 2009.

26
9. Strange GR, Ahrens WR, Schafermeyer R W, Wiebe RA. Pediatric Emergency

Medicine, 3th Edition. United States of America: The McGrow-Hill Company.

Diakses 31 Desember 2019

https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/page/congenital-nasolacrimal-duct-

obstruction

27

Anda mungkin juga menyukai