Anda di halaman 1dari 22

PROGRAM PEMERINTAH TERKAIT KESEHATAN REPRODUKSI

Oleh
Silvina Yulandari 1840312650
Nashfitriyah Hidayat 1840312653

Preseptor :

dr. Aladin, Sp.OG(K), MPH

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUP DR. M.DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus di

didapatkan oleh masyarakat dan merupakan salah satu indikator kesejahteraan yang harus

diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam

Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia TAHUN 1945. Setiap individu

mempunyai hak atas kesehatan, baik dalam memperoleh akses kesehatan, memperoleh

pelayanan kesehatan dan menentukan pelayanan kesehatan yang di perlukan. 1

Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial

yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang

berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Oleh karena itu, setiap

orang berhak dalam mengatur jumlah keluarganya termasuk memperoleh penjelasan yang

lengkap tentang cara-cara kontrasepsi sehingga dapat memilih cara yang tepat dan disukai

serta pelayanan kesehatan reproduksi lainnya seperti pelayanan antenatal, persalinan,

nifas, dan lain-lain. 2

Pemenuhan kesehatan reproduksi di regulasi oleh pemerintah pusat melalui

kementerian kesehatan dapat berupa kesehatan reproduksi remaja, kesehatan sebelum

kehamilan, kesehatan selama masa kehamilan, kesehatan saat melahirkan, kesehatan

sesudah melahirkan, kesehatan seksual, serta upaya-upaya reproduksi dengan bantuan,

termasuk upaya kesehatan reproduksi di masa kritis, seperti kesehatan reproduksi saat

terjadinya bencana.3
1.2 Rumusan Masalah

Makalah ini membahas tentang program pemerintah terkait kesehatan reproduksi


di Indonesia.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang program pemerintah terkait
kesehatan reproduksi di Indonesia.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan metode tinjaun kepustakaan yang merujuk pada berbagai

literature.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial

yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang

berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Oleh karena itu,

kesehatan reproduksi berarti dapat mempunyai kehidupan seks yang aman, dan memiliki

kemampuan untuk bereproduksi termasuk hak pria dan wanita untuk memperoleh

informasi dan mempunyai akses terhadap cara keluarga berencana yang aman, efektif dan

terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak melawan hukum, hak memperoleh pelayanan

pemeliharaan kesehatan yang memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani

kehamilan dan melahirkan anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang

sehat.2

Pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode, teknik dan

pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi melalui pencegahan

dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga mencakup kesehatan seksual,

yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan hubungan perorangan. 2

Seks adalah alat kelamin yang mengacu pada sifat-sifat biologis, yakni perempuan

dan laki-laki. Sedangkan, seksualitas merupakan yang dialami dan diungkapkan dalam

pikiran, khayalan, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, perbuatan peran dan hubungan.

Gender adalah pengelompokan individu berdasarkan peran, perilaku dan kegiatan secara

social, yang dianggap sesuai untuk perempuan atau laki-laki.4 Hak reproduksi adalah hak

yang dimilki oleh setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki untuk memutuskan

secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta
penentuan waktu kelahiran anak dan akan melahirkan. 1

2.2 Masalah dan Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi


Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi

ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi : 2

a. Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital,
deskri minasi nilai anak, dsb)

b. Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa


kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja,
kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman)
c. Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman
d. Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan,
persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah
e. Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual
f. Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit
menular seksual
g. Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi
h. Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya

Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak
buruk bagi keseshatan reproduksi :2
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta
lokasi tempat tinggal yang terpencil)
b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk
pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi
tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling
berlawanan satu dengan yang lain, dsb)

c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb)
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit
menular seksual, dsb).
2.3 Landasan Hukum tentang Peran Pemerintah terkait Kesehatan Reproduksi

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/1992 dan Undang-Undang Nomor

10/1992, Strategi kesehatan reproduksi nasional diarahkan pada rencana intervensi untuk

mengubah perilaku didalam setiap keluarga. Tujuannya adalah menjadikan keluarga

sebagai pintu masuk utama upaya promosi pelayanan kesehatan reproduksi.2

Peraturan pemerintah RI No 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi : 3

-Pasal 6 (Pemerintah daerah provinsi bertanggung jawab terhadap) :

a. Penyelerenggara dan fasilitas pelayananan, program, bimbingan, dan koordinasi di


bidang kesehatan reproduksi dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten atau kota
dalam provinsi.
b. Pembinaan dan evaluasi manajemen program kesehatan reproduksi yang meliputi
aspek perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi sesuai standar dalam
lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota dalam provinsi.
c. Pengelolaan, koordinasi dan pembinaan sitem rujukan, sistem informasi, dan sistem
surveilans kesehatan reproduksi dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota
dalam provinsi.
d. Pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan dirumah sakit lingkup provinsi.
e. Penyediaan buffer stock obat esensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan
f. program kesehatan reproduksi dalam lingkup provinsi.
g. Koordinasi dan advokasi dukungan sumber daya di bidang kesehatan serta
h. pendanaan penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi dalam lingkup provinsi dan
lintas kabupaten /kota dalam provinsi;dan
i. Pengelolaan audit maternal perinatal lingkup provinsi.

-Pasal 7 (Pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap):

a. Penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan kesehatan reproduksi di fasilitas pelayanan


kesehatan dasar dan rujukan lingkup kabupaten/kota.
b. Penyelenggaraan manajemen kesehatan reproduksi yang meliputi aspek
perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi sesuai standar dalam
lingkup kabupaten/kota.
c. Penyelenggaraan sistem rujukan,sistem informasi, dan sistem surveilans kesehatan
dalam lingkup kabupaten/kota termasuk fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan milik pemerintah dan swasta.
d. Pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan dirumah sakit lingkup kabupaten/kota.
e. Pemetaan dan penyediaan tenaga dokter, bidan, dan perawat diseluruh puskesmas
dikabupaten/kota.
f. Pemetaan dan penyediaan tenaga bidan didesa bagi seluruh desa/kelurahan di
kabupaten/kota, termasuk penyediaan rumah dinas atau tempat tinggal yang layak
bagi bidan di desa.
g. Penyediaan obat esensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan program kesehatan
reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota.

h. Penyediaan sumber daya di bidang kesehatan serta pendanaan penyelenggaraan upaya


kesehatan reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota
i. Penyelenggaraan audit maternal perinatal lingkup kabupaten/kota.

2.4 Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi

Sesuai dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk negara-negara anggota di


Asia Tenggara, lima kelompok kerja telah sepakat melaksanakan pelayanan dasar berikut
sebagai strategi intervensi nasional penanggulangan masalah kesehatan reproduksi di
Indonesia :2
1. Kesejahteraan Ibu dan Anak
2. Keluarga Berencana
3. Pencegahan dan penanganan ISR (Infeksi Saluran Reproduksi) / PMS (Penyakit
Menular Seksual) / HIV-AIDS
4. Kesehatan reproduksi remaja
5. Pencegahan dan penanganan masalah usia lanjut

2.4.1 Komponen Kesejahteraan Ibu dan Anak


Upaya kesehatan Ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu

melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian Ibu.

Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan

pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.

Tantangan penurunan AKI telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Oleh
karena itu, pada tanggal 1 Agustus 2012, presiden memberikan instruksi agar terkait

merumuskan strategi dan rencana aksi untuk mempercepat penurunan AKI. Menindak

lanjuti instruksi presiden tersebut, Direktorat Bina Kesehatan Ibu bersama lintas program

dan lintas sektor terkait telah merumuskan sasaran strategis dalam upaya percepatan

penurunan AKI, yaitu :5

a. Menyediakan pelayanan KIA di tingkat desa sesuai standar


b. Menyediakan fasyankes di tingkat dasar yang mampu memberikan pertolongan
persalinan sesuai standar selama 24 jam 7 hari seminggu
c. Seluruh Puskesmas Perawatan, Puskesmas PONED dan RS PONEK 24 jam 7
hari seminggu berfungsi sesuai standar
d. Terlaksananya rujukan efektif pada kasus komplikasi
e. Penguatan pemda Kabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi program
kesehatan (regulasi, pembiayaan)
f. Meningkatkan kemitraan lintas sektor dan swasta
g. Meningkatkan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui
pemahaman dan pelaksanan P4K serta Posyandu

Ada 2 indikator dalam pemenuhan komponen kesejahteraan Ibu dan anak yaitu :5

1. Penanganan tenaga medis pada proses persalinan

2. Meningkatkan angka imunisasi di Indonesia

2.4.1.1 Penanganan Tenaga Medis pada Proses Persalinan

Pada tahun 2000, Pemerintah RI mencanangkan kebijakan Making Pregnancy Safer


(MPS) dengan 3 pesan kunci dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu dan
bayi baru lahir yaitu :5
- Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
- Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pertolongan yang adekuat
- Setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang
tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pasca keguguran
2.4.1.2 Meningkatkan angka imunisasi di Indonesia
Pokok-pokok kegiatan imunisasi :5
a. Imunisasi rutin
Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara rutin
dan terus-menerus, yang harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditentukan.
Vaksin untuk imunisasi rutin yang diwajibkan adalah :

1. BCG (diberikan sekali pada bayi usia 0-11 bulan)


2. DPT (diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan jarak waktu antar
pemberian minimal empat minggu. Kemudian diberikan lagi pada umur 18 bulan dan
5 tahun.
3. Polio (imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir, dilanjutkan pada usia 2,
4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin polio diberikan saat berumur 4 hingga 6 tahun)
4. Campak (satu kali pada bayi usia 9-11 bulan)
5. Hepatitis B (diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi dilahirkan, 7 hari
setelahnya, 1 bulan kemudian, dan 6 bulan setelah pemberian pertama)

b. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak rutin dilaksanakan, hanya
dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi.

Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan :


1. Backlog fighting
Adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1-3 tahun,
dilakukan setiap dua tahun sekali.
2. Crash program
Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi cepat karena
masalah khusus, seperti :
a. Angka kematian bayi tinggi, angka kematian PD3I tinggi
b. Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang
c. Untuk memberikan kekebalan pada kelompok sasaran yang belum mendapatkan
pada saat imunisasi rutin
3. Imunisasi dalam penanganan Kejadian Luar Biasa (Outbreak respons)
4. Kegiatan-kegiatan imunisasi massal untuk antigen tertentu dalam wilayah yang luas
dan waktu tertentu, dalam angka rangka pemutusan mata rantai penyakit. Antara lain :
a. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Suatu upaya untuk mempercepat pemutusan siklus kehidupan virus polio
importasi dengan memberikan vaksin polio kepada setiap balita termasuk bayi
baru lahir tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian
imunisasi dilakukan 2 kali, masing-masing 2 tetes dengan selang waktu 1
bulan. Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN, disamping untuk memutus
rantai penularan, juga berguna sebagai booster atau imunisasi ulangan polio.

b. Sub PIN
Suat upaya untuk memutus rantai penelaran polio bila ditemukan satu kasus
polio dalam wilayah terbatas (kabupaten) dengan pemberian dua kali
imunisasi polio dalam interval waktu satu bulan secara serentak pada
seluruh sasaran berumur kurang dari satu tahun.
c. Catch up campaign Campak
Suatu upaya untuk pemutusan transmisi penularan virus campak pada anak
sekolah dan balita. Kegiatan ini dilakukan dengan pemberian imunisasi
campak secara serentak pada anak SD tanpa mempertimbangkan status
imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi campak pada saat catch up
campaign campak di samping untuk memutus transmisi, juga berguna sebagai
booster atau imunisasi ulangan (dosis kedua).

6,7
2.4.2 Komponen Keluarga Berencana

Pelayanan keluarga berencana sebagai pengatur kehamilan bagi pasangan usia subur
untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas. Program KB ditujukan untuk
membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Selain itu,
dilaksanakan tiga upaya pokok program KB lainnya yaitu:

1. Pendewasaan usia perkawinan


2. Pengaturan kelahiran dan pemberdayaan ekonomi keluarga
3. Peningkatan ketahanan keluarga

Berbagai cara untuk ber-KB telah ditawarkan dan berbagai kotrasepsi disediakan oleh

pemerintah, mulai dari cara tradisional, barier, hormonal (pil, suntukan, susuk KB), dan

sebagainya. Bahkan saat ini juga telah tersedia kontrasepsi permane atau yang disebut
debgan kontrasepsi mantap (vasektomi dan tubektomi). Dari segi hak-hak asasi manusia,

segala jenis kontrasepsi yang ditawarkan haruslah mendapat persetujuan dari pasangan

suami atau istri. Namun, hak masyarakat juga untuk menerima informasi yang jelas

tentang kontrasepsi yang ditawarkan, termasuk keuntungan dan kerugiannya.

2.4.3 Komponen Pencegahan dan Penanganan ISR (Infeksi Saluran Reproduksi)/


PMS (Penyakit Menular Seksual) / HIV-AIDS8

Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat pelayanan dasar masih jauh

dari yang diharapkan. Upaya tersebut baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa

provinsi, berupa upaya pencegahan dan penanggulangan PMS dengan pendekatan melalui

pelayanan KIA/KB. Hambatan sosiobudaya sering mengakibatkan ketidak-tuntasan

dalam pengobatannya, sehingga menimbulkan komplikasi ISR yang serius seperti

kemandulan, keguguran, dan kecacatan pada janin.

Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :

a. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) HIV-AIDS dan NAPZA pada kelompok
beresiko tinggi, petugas kesehatan, anak sekolah, Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP), tokoh masyarakat, Karang Taruna.

b. Bekerjasama dengan institusi pendidikan untuk Penyuluhan HIV pada generasi muda
c. Pembinaan di Panti Rehabilitasi
d. Pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) pada pengguna Napza suntik.

2.4.4 Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja6,7,8

Upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi juga perlu diarahkan

pada masa remaja, dimana terjadi peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dan

perubahan-perubahan dari bentuk dan fungsi tubuh terjadi dalam waktu relatif cepat. Hal

ini ditandai dengan berkembangnya tanda seks sekunder dan berkembangnya jasmani

secara pesat, menyebabkan remaja secara fisik mampu melakukan fungsi proses
reproduksi tetapi belum dapat mempertanggungjawabkan akibat dari proses reproduksi

tersebut. Informasi dan penyuluhan, konseling dan pelayanan klinis perlu ditingkatkan

untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja ini.

Pelaksanaan promosi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) termasuk pencegahan

Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno Deficiency Syndromes

(AIDS), Infeksi Menular Seksual (IMS), dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan

Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dan perlindungan hak-hak reproduksi.

Kementerian kesehatan telah mengembangkan model pelayanan kesehtan peduli

remaja (PKPR). Ciri khas pelayanan kesehatan peduli remaja adalah pelayanan konseling

dan peningkatan kemampuan remaja dalam menerapkan pendidikan dan keterampilan

hidup sehat.

PKPR dapat terlaksana dengan optimal bila membentuk jejaring dan terintegrasi

dengan lintas program, lintas sektor, organisasi swasta, dan LSM terkait kesehatan remaja.

Pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) dapat dilaksanakan di dalam gedung fasilitas

kesehatan dan diluar gedung fasilitas kesehatan. PKPR dapat dilaksanakan puskesmas,

rumah sakit, sekolah, karang taruna, tempat ibadah atau tempat – tempat lain dimana

remaja berkumpul. PKPR sangat erat terkait dengan kegiatan usaha kesehtan sekolah

(UKS) yang juga dibina oleh puskesmas setempat. Kegiatan pelayanan reproduksi remaja

juga terdapat dalam program generasi berencana (GenRe) yang dilaksanakn oleh BKKBN.

Program GenRe dilaksanakan melalui pendekatan dari dua sisi yaitu pendekatan kepada

remaja itu sendiri dan pendekatan pada keluarga yang memiliki remaja. Pendekatan kepada

remaja dilakukan melalui pengembangan pusat iformasi dan konseling remaja/mahasiswa

(PIK R/M) sedangkan pendekatan kepada keluarga dilakukan melalui pengembangan

kelompok bina ketahanan remaja (BKR).


2.5 Kebijakan dan Strategi Komponen Kesehatan Reproduksi 9

1. Kebijakan dan Strategi Kesehatan Ibu dan Anak

a. Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak

i. Setiap ibu menjalani kehamilan dan persalinan dengan sehat dan

selamat serta bayi lahir sehat.

ii. Setiap anak hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal

b. Strategi Kesehatan Ibu dan Anak

i. Pemberdayaan perempuan, suami dan keluarga.

ii. Peningkatan pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan,

persalinan, nifas, bayi dan balita (health seeking care).

iii. Penggunaan buku KIA

iv. Konsep SIAGA (Siap, Antar, Jaga)

v. Penyediaan dana, transportasi, donor darah untuk keadaan darurat

vi. Peningkatan penggunaan ASI eksklusif

vii. Pelayanan antenatal.

viii. Pertolongan persalinan, pelayanan nifas dan neonatal esensial.

ix. Penanganan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal

x. Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan

komplikasi pasca keguguran.

xi. Manajemen Terpadu Bayi Muda dan Balita Sakit.

xii. Pembinaan tumbuh kembang anak.

xiii. Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan dan pemenuhan

kelengkapan sarananya.

xiv. Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas pelayanan.


2. Kebijakan dan Strategi Keluarga Berencana.

a. Kebijakan Keluarga Berencana

i. Memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan KB.

ii. Mengintegrasikan pelayanan Keluarga Berencana dengan

pelayanan lain dalam komponen kesehatan reproduksi

iii. Jaminan pelayanan KB bagi orang miskin.

iv. Terlaksananya mekanisme operasional pelayanan.

v. Meningkatnya peran serta LSOM, swasta dan organisasi profesi.

vi. Tersedianya informasi tentang program KB bagi remaja

vii. Terjadinya pemanfaatan data untuk pelayanan.

b. Strategi Keluarga Berencana

i. Prinsip integrasi artinya dalam pelaksanaannya tidak hanya

bernuansa demografis tapi juga mengarah pada upaya meningkatkan

kesehatan reproduksi yang dalam pelaksanannya harus

memperhatikan hak-hak reproduksi serta kesetaraan dan keadilan

gender.

ii. Prinsip Desentralisasi, kebijakan pelayanan program

keluargaberencana perlu menyesuaikan dengan perubahan

lingkungan institusi daerah sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999

dan PPNo. 25 tahun 2000.

iii. Prinsip pemberdayaan, dengan ditingkatkannya kualitas

kepemimpinan dan kapasitas pengelola dan pelaksana program

nasional KB dengan memberdayakan institusi masyarakat, keluarga

dan individu dalam rangka meningkatkan kemandirian.


iv. Prinsip kemitraan, meliputi koordinasi dalam rangka kemitraanyang

tulus dan setara serta meningkatkan partisipasi aktifmasyarakat dan

kerjasama internasional.

v. Prinsip segmentasi sasaran, meliputi keberpihakan padakeluarga

rentan, perhatian khusus pada segmen tertentuberdasarkan ciri-ciri

demografis, sosial, budaya dan ekonomidan keseimbangan dalam

memfokuskan partisipasi danpelayanan menurut gender.

3. Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasukHIV/AIDS

a. Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasuk HIV/AIDS

i. Penanggulangan dilaksanakan dengan memutuskan mata rantai

penularan yang terjadi melalui hubungan seks yang tidak

terlindungi, penggunaan jarum suntik tidak steril pada pengguna

Napza suntik, penularan dari ibu yang hamil dengan HIV (+) ke

anak/ bayi.

ii. Kerjasama lintas sektoral dengan melibatkan organisasi profesi,

masyarakat bisnis, LSM, organisasi berbasis masyarakat, pemuka

agama, keluarga dan para Orang Dengan HIV/AIDS(ODHA).

iii. Setiap orang mempunyai hak untuk untuk memperoleh informasi

yang benar tentang HIV/AIDS.

iv. Setiap ODHA dilindungi kerahasiaannya.

v. Kesetaraan gender dalam pelaksanaan penanggulangan HIV/AIDS.

vi. Adanya hak memperoleh pelayanan pengobatan perawatan dan

dukungan tanpa diskriminasi bagi ODHA.


vii. Pemerintah berkewajiban memberi kemudahan untuk pelayanan

pengobatan, perawatan dan dukungan terhadap ODHA dan

mengintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang telahtersedia.

viii. Prosedur untuk diagnosis HIV harus dilakukan dengan sukarela dan

didahului dengan memberikan informasi yang benar, pre dan post

test konseling.

ix. Setiap darah yang ditransfusikan, serta produk darah dan jaringan

transplan harus bebas dari HIV.

b. Strategi Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasuk HIV/AIDS

i. Pelaksanaan mengikuti azas-azas desentralisasi sedangkan

pemerintah pusat hanya menetapkan kebijakan nasional.

ii. Koordinasi dan penggerakan di bentuk KPA di pusat dan di daerah/

kabupaten/ kota, pelaksanaan Program melalui jejaring

(networking) yang sudah dibentuk di masing-masing sektor terkait.

iii. Suveilans dilakukan melalui laporan kasus AIDS, surveilans

sentinel HIV, SSP dan surveilans IMS

iv. Setiap prosedur kedokteran tetap memperhatikan universal

precaution atau kewaspadaan universal.

v. Melengkapi PP - UU menjamin perlindungan ODHA.

vi. Pembiayaan pencegahan dan penanggulangan IMS termasuk

HIV/AIDS terutama akan menggunakan sumber-sumber dalam

negeri. Pemerintah mengupayakan Bantuan Luar Negeri.

vii. Melakukan monitoring dan evaluasi program dilakukan berkala,

terintegrasi dengan menggunakan indikator-indikator pencapaian

dalam periode tahunan maupun lima tahunan.


4. Kebijakan dan Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja

a. Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja

i. Pemerintah, masyarakat termasuk remaja wajib menciptakan

lingkungan yang kondusif agar remaja dapat berperilaku hidup sehat

untuk menjamin kesehatan reproduksinya

ii. Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam memperoleh

pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang berkualitas termasuk

pelayanan informasi dengan memperhatikan keadilan dan

kesetaraan gender.

iii. Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan manfaat

yang sebesar-besarnya untuk mendukung peningkatan derajat

kesehatan remaja dengan disertai upaya pendidikan

kesehatanreproduksi yang seimbang.

iv. Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja

dilaksanakanmelalui jalur pendidikan formal maupun nonformal,

dengan memberdayakan para tenaga pendidik dan pengelola

pendidikan pada sistem pendidikan yang ada.

v. Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara terkoordinasi

dan berkesinambungan melalui prinsip kemitraan dengan pihak-

pihak terkait serta harus mampu membangkitkan dan mendorong

keterlibatan dan kemandirian remaja.

b. Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja

i. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan dengan

kebutuhan proses tumbuh kembang remaja dengan menekankan


pada upaya promotif dan preventif yaitu penundaan usia perkawinan

muda dan pencegahan seks pranikah.

ii. Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan

terpadu lintas program dan lintas sektor dengan melibatkan sektor

swasta serta LSM, yang disesuaikan dengan peran dan kompetensi

masing-masing sektor sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam

Pokja Nasional Komisi Kesehatan Reproduksi.

iii. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui pola

intervensi di sekolah mencakup sekolah formal dan nonformal dan

di luar sekolah dengan memakai pendekatan“pendidik sebaya” atau

peer conselor.

iv. Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui

penerapan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) atau

pendekatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Integratif ditingkat

pelayanan dasar yang bercirikan ”peduli remaja” dengan melibatkan

remaja dalam kegiatan secara penuh.

v. Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui

integrasi materi KRR ke dalam mata pelajaran yang relevan dan

mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler seperti bimbingan dan

konseling, Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

vi. Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagiremaja di

luar sekolah dapat diterapkan melalui berbagai kelompok remaja

yang ada di masyarakat seperti karang taruna, Saka Bhakti Husada


(SBH), kelompok anak jalanan di rumahsinggah, kelompok remaja

mesjid/gereja, kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR).

2.6 Target Pencapaian Program Kesehatan Reproduksi9

1. Kesehatan Ibu dan Anak.

a. Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak tiga perempat dari

kondisi tahun 1990

b. Menurunkan Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian Bayi

(AKB) dan Angka Kematian Bawah lima tahun (AKBalita) sebanyak dua

pertiga dari kondisi tahun 1990.

c. Cakupan pelayanan antenatal menjadi 95%.

d. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 90%.

e. Penanganan kasus komplikasi obstetri dan neonatal 80%.

f. Cakupan pelayanan neonatal 90 %.

g. Cakupan program kesehatan bagi balita dan anak prasekolah80%.

2. Keluarga Berencana.

a. Penurunan Unmet Need KB sebesar 6%.

b. Cakupan pelayanan KB pada PUS 70%.

c. Penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu” menjadi 50 % dari angka pada

tahun 1997.

d. Penurunan kejadian komplikasi KB

e. Penurunan angka drop out.

3. Penanggulangan IMS, HIV/AIDS.

a. Puskesmas melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS

dengan pendekatan sindrom.

b. Puskesmas yang menjalankan pencegahan umum terhadap infeksi.


4. Kesehatan Reproduksi Remaja

a. Penurunan prevalensi anemia pada remaja menjadi kurang dari 20%

b. Cakupan pelayanan kesehatan remaja melalui jalur sekolah 85%, dan

melalui jalur luar sekolah 20%.

c. Prevalensi permasalahan remaja secara umum menurun.


BAB 3
KESIMPULAN

Persoalan kesehatan reproduksi mencakup lima kelompok masalah yaitu kesehatan

reproduksi itu sendiri, keluarga berencana, PMS dan pencegahan HIV/AIDS, seksualitas

hubungan manusia dan hubungan gender, dan remaja. Berfungsinya sistem reproduksi

dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses yang terkait pada setiap tahap dalam

lingkungan hidup. Masa kanak-kanak, remaja, pra-nikah, reprodukstif baik menikah

maupun lajang, dan menopause yang pada masa tersebut akan terjadi perubahan dalam

sistem reproduksi.

Pada saat yang bersamaan dimungkinkan adanya faktor-faktor non klinis yang

menyertai perubahan itu, seperti faktor sosial, faktor budaya dan faktor politik yang

berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Peran pemerintah sangat penting dalam

pembuatan berbagai program yang berlaku secara massal terkait kesehatan reproduksi

untuk mengatasi berbagai permasalahan reproduksi dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun


2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara.
2. Harahap, Juliandi. 2003. KESEHATAN REPRODUKSI. Bagian Kedokteran
Komunitas dan Kedokteran Pencegahan. Naskah Publikasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
3. Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Sekretariat Negara.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Seks, Seksualitas dan Jender.
Jakarta: Kemenkes RI
5. Prasetyawati, Arsita Eka. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk Kebidanan
Holistik. Yogyakarta : Nuha Medika.
6. Purwoastuti, TE., Walyani, ES. 2015. Panduan Materi Kesehatan Reproduksi dan
Keluarga Berencana.Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
7. Setiyaningrum, Erna dan Zulfa.2014. Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi.Jakarta : Penerbit Buku Kesehatan.
8. Yanti. 2011. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama.
9. Buku Kebijakan dan Streategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia tahun
2005.

Anda mungkin juga menyukai