Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF

PADA KLIEN DENGAN OCULUS DEXTRA LACRIMAL GLAND TUMOR


DENGAN TINDAKAN EKSISI TUMOR (ANTERIOR ORBITOTOMY APPROACH)
DI RUANG OK 505 IBP GBPT RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

DISUSUN OLEH:

WINNI WIDYAPUTRI B.
NIM. P27820716014

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT SURABAYA

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA

2019
LAPORAN PENDAHULUAN

LACRIMAL GLAND TUMOR (TUMOR KELENJAR AIR MATA)

1. Definisi Tumor Kelenjar Lakrimal

Lacrimal gland tumor adalah tumor epitel yang paling sering dijumpai tetapi
dengan istilah lacrimal gland pleomorphic adenoma (LGPA), yaitu suatu tumor jinak
kelenjar lakrimal. Dari keseluruhan lesi kelenjar lakrimal, 50% diantaranya berasal dari
sel epitel. Tumor sel epitel ini sendiri bisa bersifat jinak dengan kejadian pleomorphic
adenoma dengan angka tertinggi, bisa juga bersifat ganas, yaitu adenoid cystic carcinoma
dengan prevalensi tertinggi. Pleomorphic merupakan suatu tumor campuran berisi sel
epitel dan komponen mesenkimal.

Pleomorphic adenoma merupakan tumor jinak dari sel epitel pada kelenjar
lakrimal yang paling sering dijumpai. Sebagaimana tumor-tumor jinak lainnya,
pleomorphic adenoma mempunyai onset dengan sifat progresifitas yang lambat, yaitu 6-
12 bulan.

Pleomorphic adenoma mempunyai klinis sebagai massa padat, tegas pada fosa
lakrimalis dengan gejala yang ditimbulkan berupa proptosis yang tidak disertai nyeri,
pergeseran bola mata kearah medioinferior. Pertumbuhan tumor pada pleomorphic
adenoma juga mampu menstimulasi periosteum untuk membentuk suatu lapisan tipis
berisi tulang-tulang baru (kortikasi).

2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimalis


a. Apparatus Lakrimalis
Sistem lakrimalis mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi dan
drainase air mata, apparatus lakrimalis terdiri dari 2 bagian:
1) Komponen sekresi, yang terdiri atas kelenjar yang menghasilkan berbagai unsur
pembentuk cairan air mata, yang disebarkan di atas permukaan mata oleh kedipan
mata.
2) Komponen ekskresi, yang mengalirkan sekret ke dalam hidung, terdiri dari
kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.
Gambar 1: Apparatus Lakrimalis.

Gambar 2: Apparatus Lakrimalis

b. Sistem Sekresi Air Mata


1. Kelenjar Lakrimalis
Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimal yang terletak di
fossa glandulae lakrimalis di kuadran temporal atas orbita. Duktus kelenjar ini
mempunyai panjang berkisar 6-12 mm, berjalan pendek menyamping di bawah
konjungtiva.
Kelenjar yang berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis
levator menjadi:
a) Lobus orbita yang berbentuk kenari dan lebih besar, terletak di dalam fossa
glandulae lakrimalis di segmen temporal atas anterior orbita yang dipisahkan
dari bagian palpebra oleh kornu lateralis muskulus levator palpebrae. Untuk
mencapai bagian kelenjar ini dengan pembedahan, harus diiris kulit, muskulus
orbikularis okuli, dan septum orbita.
b) Lobus palpebra yang lebih muara ke forniks temporal superior. Bagian palpebra
yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal forniks konjungtiva
superior. Duktus sekretorius lakrimal, yang bermuara pada sekitar 10 lubang
kecil, yang menghubungkan bagian orbita dan bagian palpebra kelenjar lakrimal
dengan forniks konjungtiva superior. Pengangkatan bagian palpebra kelenjar
akan memutus semua saluran penghubung dan mencegah seluruh kelenjar
bersekresi. Lobus palpebra kadang-kadang dapat dilihat dengan membalikkan
palpebra superior.
Persarafan kelenjar-utama datang dari nucleus lakrimalis di pons melalui
nervus intermedius dan menempuh suatu jaras rumit cabang maxillaris nervus
trigeminus. Denervasi adalah konsekuensi yang sering terjadi pada neuroma
akustik dan tumor-tumor lain di sudut cerebellopontin.
2. Kelenjar Lakrimal Aksesorius
Meskipun hanya sepersepuluh dari massa kelenjar utama, kelenjar lakrimal
aksesorius mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar Krause dan Wolfring
identik dengan kelenjar utama, tetapi tidak memiliki ductulus. Kelenjar-kelenjar
ini terletak di dalam konjungtiva, terutama di forniks superior. Sel-sel goblet
uniseluler, yang juga tersebar di konjungtiva, mensekresi glikoprotein dalam bentuk
musin. Modifikasi kelenjar sebasea Meibom dan Zeis di tepian palpebra memberi
lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga
ikut membentuk film air mata.
Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan
menyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epifora).
Kelenjar lakrimal aksesorius dikenal sebagai “pensekresi dasar". Sekret yang
dihasilkan normalnya cukup untuk memelihara kesehatan kornea. Hilangnya sel
goblet berakibat mengeringnya kornea meskipun banyak air mata dari kelenjar
lakrimal.
c. Sistem Ekskresi Air Mata
Sistem ekskresi terdiri atas punctum, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus
nasolakrimalis.
1) Punctum Lakrimalis
Ukuran punctum lakrimalis dengan diameter 0,3 mm terletak di sebelah medial
bagian superior dan inferior dari kelopak mata. Punctum relatif avaskular dari
jaringan sekitarnya, selain itu warna pucat dari punctum ini sangat membantu jika
ditemukan adanya sumbatan. Punctum lakrimalis biasanya tidak terlihat kecuali
jika kelopak mata dibalik sedikit. Jarak superior dan inferior punctum 0,5 mm,
sedangkan jarak masing-masing ke kantus medial kira-kira 6,5 mm dan 6,0 mm.
Air mata dari kantus medial masuk ke punctum lalu masuk ke canalis lakrimalis.
2) Kanalikuli Lakrimalis
Lacrimal ducts (lacrimal canals), berawal pada orifisium yang sangat kecil,
bernama puncta lacrimalia, pada puncak papilla lacrimales, terlihat pada tepi
ekstremitas lateral lakrimalis. Duktus superior, yang lebih kecil dan lebih pendek,
awalnya berjalan naik, dan kemudian berbelok dengan sudut yang tajam, dan
berjalan ke arah medial dan ke bawah menuju lacrimal sac. Duktus inferior
awalnya berjalan turun, dan kemudian hampir horizontal menuju lacrimal sac.
Pada sudutnya, duktus mengalami dilatasi dan disebut ampulla. Pada setiap
lacrimal papilla serat otot tersusun melingkar dan membentuk sejenis sfingter.
3) Sakus Lakrimalis (Kantung Lakrimal)
Merupakan ujung bagian atas yang dilatasi dari duktus nasolakrimal, dan terletak
dalam cekungan (groove) dalam yang dibentuk oleh tulang lakrimal dan prosesus
frontalis maksila. Bentuk sakus lakrimalis oval dan ukuran panjangnya sekitar 12-
15 mm; bagian ujungnya membulat, bagian bawahnya berlanjut menjadi duktus
nasolakrimal.
4) Duktus Naso Lakrimalis
Kanal membranosa, panjangnya sekitar 18 mm, yang memanjang dari bagian
bawah lacrimal sac menuju meatus inferior hidung, dimana saluran ini berakhir
dengan suatu orifisium, dengan katup yang tidak sempurna, plica lakrimalis
(Hasneri), dibentuk oleh lipatan membran mukosa. Duktus nasolakrimal terdapat
pada kanal osseus, yang terbentuk dari maksila, tulang lakrimal, dan konka nasal
inferior.
Setiap kali berkedip mulai dari lateral, menyebarkan air mata secara merata
di atas kornea, dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial
palpebra. Pada kondisi normal, air mata dihasilkan dengan kecepatan yang kira-kira
sesuai dengan kecepatan penguapannya. Dengan demikian, hanya sedikit yang
sampai ke sistem ekskresi. Bila sudah memenuhi sakus konjungtivalis, air mata
akan memasuki puncta sebagian karena sedotan kapiler. Dengan menutup mata, bagian
khusus orbicularis pratarsal yang mengelilingi ampula akan mengencang untuk
mencegahnya keluar. Bersamaan dengan itu, palpebra ditarik ke arah crista lakrimalis
posterior, dan traksi fascia yang mengelilingi sakus lakrimalis berakibat memendeknya
kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif di dalam sakus.
Kerja pompa dinamik ini menarik air mata ke dalarn sakus, vang kemudian
berjalan melalui duktus nasolakrimalis karena pengaruh gaya berat dan elastisitas
jaringan, ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan serupa katup milik epitel
pelapis sakus cenderung menghambat aliran balik udara dan air mata. Yang paling
berkembang di antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di ujung distal duktus
nasolakrimalis. Struktur ini penting karena bila tidak berlubang pada bayi, menjadi
penyebab obstruksi kongenital dan dakriosistitis menahun.
Gambar 3: Anatomi Sistem Drainase Lakrimal

Gambar 4: Fisiologi Sistem Drainase Lakrimal


d. Air Mata
Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 um Yang menutupi epitel
kornea dan konjungtiva. Fungsi lapisan ultra-tipis ini adalah:
1) Membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan meniadakan
ketidakteraturan minimal di permukaan epitel
2) Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang
lembut
3) Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan mekanik dan
efek antimikroba
4) Menyediakan kornea berbagai substansi nutrien yang diperlukan

3. Klasifikasi Tumor Kelenjar Lakrimal


1) Tumor Jinak Pleomorphic adenoma (Benign Mixed Tumor)
a. Myoepithelioma
b. Oncocytoma
c. Cavernous hemangioma
2) Tumor Ganas Adenoid Cystic Carcinoma
a. Primary adenocarcinoma
b. Pleomorphic adenocarcinoma (malignant mixed tumor)
c. Mucoepidermoid carcinoma
d. Squamous cell carcinoma
e. Sebaceous cell carcinoma

4. Epidemiologi
Data mengenai prevalensi lacrimal gland tumor dalam beberapa literatur masih
belum terlalu jelas diakibatkan oleh angka kejadian lacrimal gland tumor yang tidak
terlalu banyak. Angka kejadian tumor epitel ganas pada kelenjar lakrimal mencapai 2%
dari seluruh tumor-tumor orbita. Hampir sama dengan itu, angka kejadian tumor epitel
jinak kelenjar lakrimal mencapai 4-9% dari seluruh kejadian tumor orbita dengan lebih
dari setengah tumor epitel kelenjar lakrimal tersebut adalah pleomorphic adenoma.
Di Amerika, prevalensi tumor kelenjar lakrimalis yang terdapat pada literature
cukup sulit ditemukan. Neoplasma epithelial glandula lakrimal hanya sekitar 2% dari
kejadian total neoplasma orbita. Tidak jauh berbeda, neoplasma epithelial hanya sekitar
4% dari total lesi glandula lakrimal. Pasien dengan tumor glandula lakrima, terutama yang
ganas, membutuhkan observasi jangka panjang sebelum membuktikan bahwa terapi yang
kita berikan berhasil. Angka harapan hidup beragam tergantung jenis tumornya. Insidensi
tumor glandula lakrimal lebih sering pada decade ketiga, dan puncak keduanya pada umur
remaja.

5. Patofisiologi dan Etiologi


Translokasi kromosom yang terlihat pada kasus pleomorphic adenoma kelenjar
saliva diduga terjadi juga pada LGPA. Secara spesifik, translokasi genetik terjadi pada
PLGA1 (kromosom 8q12) atau gen HMGA2 yang dicurigai. Gen ini terlibat dalam proses
pengiriman sinyal faktor pertumbuhan dan regulasi siklus sel.
Kejadian pleomorphic adenoma, salah satunya adalah terpaut oleh umur penderita,
dimana tumor kelenjer lakrimal paling banyak menyerang pada usia dekade ke tiga
kehidupan (sekitar usia 30-an tahun) dan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia
remaja. Namun beberapa sumber juga menyebutkan bahwa pleomorphic adenoma paling
sering terjadi pada dekade ke-4 dan ke-5 masa kehidupan.

6. Diagnosis
Pada penegakan diagnosis, presentasi klinis kejadian lacrimal gland tumor
sangatlah bervariasi pada tiap-tiap pasien. Lacrimal gland tumor bisa saja didapati sebagai
suatu penyakit yang asimptomatis, namun terkadang dapat dirasakan bengkak pada daerah
superiolateral orbita, dengan diikuti adanya gejala proptosis, diplopia dan adanya massa
yang teraba jelas. Keadaan ini biasanya dirasakan cukup lama (sekitar 1-2 tahun), pada
lesi kelenjar lakrimal yang bersifat tidak menginfiltrasi (tumor jinak), misalnya pada
pleomorphic adenoma. Sedangkan pada keluhan yang dirasakan pada waktu singkat, kita
bisa curiga dengan suatu proses keganasan pada kelenjar lakrimal. Pada kasus – kasus lesi
jinak, termasuk didalamnya pleomorphic adenoma, manifestasi klinis didapati rasa penuh
pada daerah superotemporal orbita dan pergerseran bola mata (globe displacement) ke
daerah inferonasal yang tidak disertai dengan rasa nyeri (painless).
Sedangkan pada kasus-kasus keganasan, nyeri terasa amat sangat disertai dengan
adanya tanda-tanda inflamasi. Nyeri juga dapat dirasakan seperti nyeri pada daerah
persarafan, serta adanya keterlibatan nyeri pada tulang. Pada tumor ganas kelenjar
lakrimal juga didapati keadaan proptosis yang terjadi dalam jangka waktu singkat, dan
diikuti oleh gangguan sensoris pada daerah temporal yang dilalui oleh persarafan lakrimal
pada sepertiga pasien tumor ganas. Diplopia dan gangguan penglihatan dapat terjadi juga
pada lesi progresif.

7. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk alat bantu diagnosis kejadian
lacrimal gland tumor. Pada inspeksi dapat terlihat pergesaran bola mata dengan atau tanpa
proptosis, yang merupakan manifestasi klinis utama pada kasus lacrimal gland tumor
(terjadi pada 75% kasus). Presentasi klinis ini secara karakteristik berupa pergeseran bola
mata non-axial kearah inferomedial (nonaxial with inferomedial globe displacement).
Suatu kontur berbentuk huruf S pada bagian atas kelopak mata juga sering
dijumpai pada lesi kelenjar lakrimal, tapi relatif non-spesifik untuk jenis tumor. Pada
palpasi, massa dapat teraba ataupun tidak teraba pada fosa lakrimalis. Massa yang padat,
berbatas tegas, konsistensi lunak, non-tender didapati pada tumor jinak ataupun tumor
limphoproliferative. Penurunan tes Schrimer untuk menilai lesi inflamasi curiga
keganasan. Temuan lain yang mungkin saja didapatkan berupa keterbatasan gerakan bola
mata, peningkatan tekanan intra okuli dan gangguan chorioretinal. Temuan non-okular
dapat berupa preauricular lymphadenopathy yang berasal dari metastasis lesi maligna.

8. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis antara lain
sebagai berikut:
1) Penilaian tekanan intraocular
Tonometri adalah pengukuran terhadap tekanan intraokular. Tekanan intraokular
pada populasi adalah sekitar 15-20mmHg. Instrumen yang paling sering digunakan
adalah tonometer aplanasi Goldman, yang dilekatkan ke slitlamp dan mengukur gaya
yang diperlukan untuk meratakan daerah kornea tertentu. Ketebalan kornea
berpengaruh terhadap keakuratan pengukuran.
Pengukuran IOP dengan Tonometri Goldman terbatas pada keadaan korneal
astigmatisme dengan dioptri lebih dari 3 dioptri. Tonometer aplanasi lainnya, yaitu
tonometer Perkins dan TonoPen, keduanya portabel; pneumatotonometer, yang dapat
digunakan walaupun terdapat lensa kontak lunak di permukaan kornea yang ireguler.
Tekanan intraokular dapat ditemukan pada kasus-kasus lacrimal gland tumor.
Sedangkan Tonometer Schiotz sekarang sudah jarang digunakan untuk mengukur
besarnya indentasi kornea yang dihasilkan oleh beban yang telah ditentukan. Dengan
makin meningkatnya tekanan intraokular, makin sedikit indentasi kornea yang terjadi.
2) Hertel Exophtalmometry
Merupakan metode untuk mengukur lokasi anteroposterior bola mata terhadap
tepian tulang orbita. Eksoftalmometer adalah suatu instrument manual dengan 2 alat
pengukur yang identik, yang dihubungkan dengan balok horizontal.
Jarak antar ke 2 alat dapat diubah dengan menggeser salah satunya agar mendekat
atau menjauh, dan masing-masing memiliki takik yang pas untuk menahan tepian
orbita lateral yang sesuai. Bila diposisikan dengan tepat, 1 set cermin yang terpasang
akan memantulkan bayangan samping masing-masing mata di sisi sebuah skala
pengukur, yang terkalibrasi dalam millimeter. Ujung bayangan kornea yang sejajar
dengan bacaan skala menunjukkan jaraknya dari tepian orbita.
Jarak dari kornea ke tepian orbita biasanya berkisar dari 12-20 mm, dan ukuran
kedua mata biasanya berselisih tidak lebih dari 2 mm. Jarak yang lebih besar terdapat
pada eksoftalmos, bisa uni atau bilateral. Penonjolan mata yang abnormal ini dapat
disebabkan oleh penambahan massa orbita apapun, mengingat ukuran rongga orbita
tulang tetap. Penyebabnya antara lain perdarahan orbita, neoplasma, radang, atau
edema.
Kondisi yang diperhatikan adalah apakah pergeseran posisi bola mata axial globe
displacement ataupun non axial globe displacement, yaitu sebagai berikut:
i. Axial (anteroposterior protruding globe): tanpa pergeseran secara horizontal
ataupun vertical. Terjadi pada orbitopati yang general seperti thyroid eye disease
ataupun massa intraconal.
ii. Non-axial : terdapat pergeseran bola mata secara vertical ataupun horizontal akibat
pendorongan massa ke arah samping. Sebagai contohnya, terjadi pada lacrimal
gland tumor pada region superolateral mendorong bola mata kearah inferomedial.
3) Tes Schrimer
Dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip schrimer
(kertas saring Whatman No. 41) kedalam cul-de-sac konjungtiva inferior. Bagian
basah yang terpajan diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang
dari 10 mm tanpa anestesi dianggap abnormal. Bila dilakukan tanpa anestesi, uji ini
mengukur kelenjar lakrimal yang utama, yang aktivitas sekresinya oleh iritasi kertas
saring. Uji Schrimer adalah uji penyaring untuk menilai produksi air mata.
4) CT Scan
Merupakan pemeriksaan radiologi yang paling sering digunakan dalam penegakan
diagnosis pleomorphic adenoma. Bersama dengan MRI, CT scan dapat memberikan
gambaran anatomi secara luas, konfigurasi, batas tumor, dan angulasi yang
ditimbulkan oleh massa pada fossa glandula. Namun, yang menjadi kelebihan CT scan
adalah adanya gambaran yang detail mengenai keterlibatan tulang dan adanya
kalsifikasi.
5) MRI
MRI baik digunakan untuk menilai jaringan lunak namun tidak untuk jaringan
tulang. Berbeda dengan CT scan, MRI memberikan tampilan yang lebih baik pada
tampilan jaringan lunak dan ekstensi intrakranial. Pleomorphic adenoma memberikan
tampilan lesi isointense dengan batas yang teratur, ketika dibandingkan dengan
gambaran otot ekstraokuler dan serebral gray matter pada gambaran T1 dan gambaran
hiperintense pada gambaran T2 dengan bantuan intravenous contrast.
6) Pemeriksaan Histopatologi
Walaupun gambaran radiologi sudah mampu memberikan diagnosis preoperatif,
namun diagnosis definitif yang menjadi gold standard adalah berdasarkan
pemeriksaan histopatologi. Gambaran histopatologi lacrimal gland pleomorphic
adenoma merupakan suatu tumor jinak dengan massa yang berbatas tegas, sering
mengakibatkan kompresi atropi pada kelenjar normal, pergeseran jaringan lakrimal
normal, dan tumor ini diselubungi oleh suatu “pseudocapsule” yang memungkinkan
pertumbuhan suatu adenoma. Pada gambaran histopatologi ditemukan suatu susunan
epitel tubulus yang berdiferensiasi baik yang berasal dari duktus kelenjar lakrimal
dengan myxomatous jaringan ikat longgar. Perlu diketahui bahwa gambaran ini sering
terdiagnosa dengan suatu keganasan, perlu dilakukan pemeriksaan apakah terdapat
tanda keganasan yang ditemukan, untuk mengkonfirmasi diagnosis suatu LGPA
(lacrimal gland pleomorphic adenoma). Lesi inflamasi jinak (psudotumor) memiliki
morfologi poliklonal sedangkan lesi limfoid berbentuk monoklonal.
7) Biopsi jaringan
Pemeriksaan biopsi digunakan untuk mengonfirmasi adanya keganasan dan tipe
tumor tersebut. Pada pemeriksaan histologis adenoma pleomorfik memberikan
gambaran lapisan epitel dan mesenkim mengalami proliferasi. Proliferasi dari sel-sel
epitel biasanya tersusun atas dua lapis dan membentuk lumen. Diferensiasi pada
stroma dapat diperlihatkan pada formasi tulang dan kartilago. Karsinoma adenoid
kistik berasal dari sel-sel duktus dan membentuk celah pada bagian dasar yang mirip
deposit material. Hal ini memberikan gambaran kribriform atau gambaran “Swiss
cheese” pada jaringan, meskipun pertumbuhan pada tubulus dan berkelompok mudah
dikenali. Terdapat lima gambaran histologi yang dapat ditemukan pada lesi yaitu (1)
Kribriform, (2) Sklerosis (3) Basaloid (4) Komedo (5) Duktal. Tipe basaloid memiliki
prognosis yang paling jelek.
9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kasus ini antara lain beberapa tumor, baik itu tumor jinak
ataupun tumor ganas yang menyerang kelenjar lakrimal ataupun tumor di daerah lain yang
mengakibatkan pendorongan kearah orbita, misalnya:
a. Adenoid cystic carcinoma,
b. Granulomatous dacryoadenitis (sarcoidosis),
c. Benign lymphoid hyperplasia,
d. Intracranial schwannoma
Pada tumor-tumor ganas kelenjar lakrimal, dijumpai sifat progresifitas tumor yang
tinggi dan cepat. Keluhan utama selain benjolan, dijumpai nyeri proptosis. Pada
gambaran histopatologi dijumpai gambaran mirip tumor jinak campuran, namun
terlihat gambaran focus-fokus malignansi.
e. Lymphoma, ditandai dengan benjolan. Menyerang kelenjar limfe. Limfoma
merupakan penyebab limfadenopati servikal dibandingkan tumor-tumor metastasis.
f. Sjogren’s Syndrome, merupakan suatu inflamasi kronik yang ditandai dengan infiltrasi
limfositik pada organ eksokrin. Pasien-pasien dengan sjorgen syndrome datang
dengan keluhan mata kering, mulut kering, pembesaran kalenjar parotis.
g. Cavernous hemangioma, merupakan suatu tumor intraorbital yang paling sering terjadi
pada orang dewasa. Lesi jinak yang menyerang sistem pembuluh darah ini
berkembang secara lambat dangan manifestasi klinis tidak disertai nyeri, dan proptosis
yang progresif.
h. Congenital Dermoid Cysts
Kista dermoid pada dasarnya bukan merupakan tumor glandula lacrimalis akan tetapi
berasal dari epitel mata kuadran superolateral. Kista dermoid pada fossa lakrimal
sangat sering muncul dengan gejala proptosi tanpa nyeri yang muncul di usia muda.
Umumnya terdapat perubahan struktur tulang superolateral. Saat tumor melebar
melewati sutura, terlihat sepertimuncul pada kedua tulang (dumbbell dermoid) . Pasien
jarang dating dengan reaksi inflamasi saaat kista rupur. Kista dermoid dapat
didiagnosis dengan mudah dengan temuan CT-scan yang khas, lesi dengan densitas
lemak, dan perubahan struktur tulang yang halus.

Gambar 5. Lesi superficial berbentuk bulat, membesar dengan lambat, tidak nyeri, mobile, biasanya
di superolateral palpebral
Gambar 6. Kista ini dibatasi oleh epitel skuamous bertingkat berkeratinisasi, mirip dengan
epidermis, dengan struktur adneksa termasuk glandula sebasea dan ekrin dan folikel rambut.
Kavitas kista mengandung keratin, dan sekresi sebasea. Jika kista rupture, ini menginduksi respon
intensif inflamasi granulomatosa.
Lesi ini termasuk jinak dan jika ukurannya kecil, bisa cukup dilakukan obesrvasi
saja. Penatalaksanaan untuk kista dermoid adalah eksisi total yang bisa dilakukn
dengan membuat insisi pada kelopak mata atas. Indikasi melakukan pencitraan
preoperative adalah jika kista tidak dapat dipalpasi atau jika kista terfiksir pada
periosteum dan dicurigai adanya keterlibatan orbita.
i. Dacryops
Dacryop disebabkan oleh duktus lakrimalis yang tersumbat yang menimbulkan
massa kistik. Lobus palpebralis lebih sering terkena daripada lobus orbitalis.
Temuan khas untuk dacryop adalah pembengkakan kistik dengan transiluminasi
kebiruan sepanjang konjunctiva. Pada temuan radiologis ditemukan kistik tanpa
adanya perubahan struktur tulang. Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan lesi
tediri dari dua lapisan, lapisan kubus atau kolumnar dan lapsan mioepitelial yang
menipis. Penatalaksanaannya adalah eksisi komplit kista.

Gambar 7. Kista Duktus Lakrimalis.

10. Penatalaksanaan
Tatalaksana yang dianjurkan pada kasus-kasus pleomorphic adenoma adalah eksisi
total pada tumor dan pada jaringan-jaringan sekitar, biasanya dilakukan eksisi tumor
dengan orbitotomy. Orbitotomy adalah tindakan operatif pembedahan untuk lesi massa
orbita. Macam orbitotomy adalah anterior orbitotomy, lateral orbitotomy, transfrontal
orbitotomy, dan temporal orbitotomy.
Anterior orbitotomy memiliki beberapa jenis, yaitu:
a) Superior approach yang digunakan untuk mengangkat lesi pada bagian suproanterior
orbita melalui transcutan atau transconjunctival.
b) Inferior approach yang digunakan untuk mengangkat lesi pada bagian inferoanterior
orbita melalui transcutan atau transconjunctival.
c) Medial approach melalui transcutan, transconjunctival, dan trancaruncular.
d) Lateral approach yang dilakukan melalui canthotomy incision.

Gambar 8. Anterior orbitotomy

Pengobatan pada lacrimal gland tumor bisa juga dengan terapi radiasi untuk lesi
limfoid, dengan kisaran radiasi 2000-3000 cGy. Antineoplastic agents sering diberikan
dengan anjuran dari onkologist, biasanya dibutuhkan pada penyakit sistemik.

11. Komplikasi
a. Pendarahan Orbital
b. Edema
c. Kompresi nervus optikus
d. Infeksi orbital
e. Dry eye syndrome
f. Tosis
g. Retraksi palpebra
h. Diplopia yang bersifat sementara
i. Strabismus
j. Gangguan visus
k. Hipoestesia sensoris
l. Parese pupil
m. Kebocoran cairan serebrospinal
n. Sindrom kompartemen pada mata

12. Prognosis
Prognosis pada kasus ini terbilang baik pada lesi-lesi yang telah dilakukan eksisi
total dengan kapsul yang intak. Rekurensi rasio dalam 5 tahun setelah dilakukan eksisi
hanya terjadi pada 3% kasus dengan eksisi total dan 32% dalam 15 tahun pada kasus
dengan eksisi inklompit. Dikatakan juga 10% pleomorphic adenoma akan berubah
menjadi sel ganas dalam 20 tahun setelah pengobatan pertama dan 20% pada 30 tahun
setelahnya dengan gambaran perubahan pleomorphic adenoma menjadi suatu squamous
cell carcinoma dalam 19 tahun setelah dilakukannya tindakan operasi.
DAFTAR PUSTAKA

Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC.

Binatli O, Yaman O, Ozdemir N, Erdogan IG. Pleomorphic Adenoma of Lacrimal Gland, a


case report. JSCR. 2013;10: 1-4.

Iyeyasu JN, Reis F, Altemani AM, Carvalho KM. An Unususal Presentation of Lacrimal
Gland Pleomorphic Adenoma. Rev Bras Oftalmol.2013;72 (5):339-340

Galloway NR, Amoaku WMK, Galloway PH, Browning AC. 2006.Common Eye Diseases
and Their Management. 3rd ed. London: Springer. 127-128

Ilyas S. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

American Academy of Ophthalmology. 2014.Opthalmic Pathology and Intraocular Tumor,


Section 4, Orbit, Eyelids and Lacrimal System, section 7. San Francisco: AAO

Jogi R. 2009. Basic Ophthalmology. 4th Ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher.
424-427

Trattler W, Kaiser PK, Friedman NJ. 2012. Review of Ophthalmology. 2nd Ed. San
Francisco: Elsevier.166-168

DeAngelis DD. 2015. Lacrimal Gland Tumor. Available at:


http://reference.medscape.com/article/1210619-overview.com [accessed in 14th November
2015]

Kanski J. 2015. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 8th Ed. Australia:
Elsevier. 103-106

Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2008. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th Ed.
USA: The McGraww-Hill Companies.

Yanoff M, Duker JS. 2014. Ophthalmology. 4th Ed. USA: Elsevier,1297- 1299

Olver J, Cassidy L. 2005. Ophthalmology at a Glance. USA: Blackwell Science. 58-60

Said MS. 2013. Pathology of Carcinoma Ex Pleomorphic Adenoma.


http://emedicine.medscape.com/article/1652374-overview.com [accessed in: 14th November
2015]

Vander JF, Gault JA. Ophthalmology Secrets in Colour, 3rd edition. USA: Molby
Elsevier,432-433
Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. 2011. Oxford American Handbook
of Ophthalmology. China: Oxford University Press, 487-488

Riordan-Eva P, Whitcher JP. Lids, Lacrimal Apparatus, and Tears. In : Vaughan DG, Asbury
T, Riodan-Eva P. General Ophthalmology. 14th Ed. New York : Mc.Graw Hill; 2004 : 92-98
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF
PADA KLIEN DENGAN OCULUS DEXTRA LACRIMAL GLAND TUMOR
DENGAN TINDAKAN EKSISI TUMOR (ANTERIOR ORBITOTOMY APPROACH)
DI RUANG OK 505 IBP GBPT RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA

Pengkajian pada tanggal 02 September 2019 pada Tn. F (40 tahun) yang merupakan klien dari
Ruang Rawat Bedah Melati dengan diagnosis medis OD Lacrimal Gland Tumor yang akan
dilakukan tindakan eksisi tumor (anterior orbitotomy approach) di ruang OK 505 IBP GBPT
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

A. Pre Operasi
Sign In
Sebelum melakukan tindakan pembedahan, tim bedah yang meliputi dokter bedah, dokter
anastesi, perawat bedah dan perawat anastesi, tim mengonfirmasi prosedur tindakan
operasi pada klien. Sudah terdapat tanda lokasi pembedahan yang akan di insisi (Side
Marker). Mengecek kelengkapan data berupa identitas klien, foto rongent operasi dan
hasil laborat darah. Operasi tidak menggunakan implan. Mesin anestesi dan premedikasi
telah di cek oleh penanggung jawab. Alat oksimetri terpasang dengan baik dan berfungsi.
Klien tidak memiliki riwayat penyakit alergi, infeksi, hepatitis maupun HIV. Tim
pembedahan mengonfirmasi tingkat kesulitan pernafasan pada klien.

1) Data pengkajian
Klien sign in pada pukul 15.15 WIB
Keluhan utama : Klien mengatakan cemas dengan kondisinya yang akan
dilakukan tindakan operasi
Keadaan umum : Compos mentis
Tanda-tanda vital klien adalah sebagai berikut:
TD : 130/70 mmHg
N : 108x/menit
RR : 20x/menit
S : 36,6oC
BB : 67 kg
TB : 165 cm
Pernapasan klien spontan, klien tidak menggunakan gigi palsu, cat kuku, lensa kontak,
perhiasan, klien tidak terpasang folley catheter, persiapan kulit dan huknah pada klien
tidak dilakukan, klien tidak memiliki contoh darah, klien memiliki hasil laboratorium,
terdapat hasil CT scan orbital dan MRI orbital, klien tidak memiliki riwayat alergi
pada obat, tangan kanan klien terpasang infus RL 500 cc maintenance, klien
diinjeksikan profilaksis cefazolin 1 gr, sebelumnya klien tidak pernah dilakukan
tindakan operasi, klien diberikan pendidikan kesehatan berupa teknik napas dalam.
2) Data Fokus/Analisis Data

Hari/
Kemungkinan
Tanggal/ Pengelompokan Data Masalah
Penyebab
Jam

02/09/2019 DS : Tumor kelenjar


lakrimal
07.35 WIB Klien mengatakan cemas
dengan kondisinya yang akan ↓
dilakukan operasi
Tindakan
pembedahan
Ansietas

DO : Kurangnya informasi
- Wajah klien tampak cemas ↓
- TD : 130/70 mmHg
- N : 108x/menit Ansietas

3) Diagnosis Keperawatan

Ditemukan Masalah Masalah Teratasi


No. Diagnosis Keperawatan
Tanggal Paraf Tanggal Paraf

Ansietas berhubungan dengan kurangnya 02/09/2019 02/09/2019


informasi mengenai prosedur tindakan
1. operasi ditandai dengan ekspresi wajah klien
tampak cemas

4) Intervensi Keperawatan

Perencanaan
Diagnosis
No Tujuan dan Kriteria Tindakan
Keperawatan Rasionalisasi
Hasil Keperawatan

1. Ansietas Tujuan : 1. Tanyakan pada 1. Mengetahui


berhubungan Setelah dilakukan klien penyebab penyebab
dengan tindakan keperawatan kecemasan kecemasan klien
selama 1 x 15 menit, 2. Jelaskan prosedur 2. Memberikan
kurangnya
diharapkan ansietas tindakan dan yang pemahaman pada
informasi klien dapat berkurang. dirasakan selama klien mengenai
mengenai Kriteria hasil : prosedur prosedur tindakan
prosedur a) Ekspresi wajah 3. Kenalkan 3. Mengadaptasikan
tindakan operasi klien tampak terhadap dan meningkatkan
ditandai dengan lebih tenang. lingkungan kamar kepercayaan klien
ekspresi wajah b) Tanda vital klien bedah terhadap tim
dalam batas 4. Anjurkan klien medis
klien tampak
normal, terutama untuk berdoa 4. Mengurangi rasa
cemas untuk tekanan 5. Instruksikan klien takut dan cemas
darah klien (110- menggunakan klien terkait
120/60-80 teknik relaksasi kondisinya
mmHg) dan nadi nafas dalam 5. Mengurangi rasa
klien (60- cemas klien
100x/menit).
c) Postur tubuh dan
ekspresi wajah
klien
menunjukkan
kecemasan
berkurang.

5) Implementasi

No Hari/Tgl No Diagnosis Tindakan Keperawatan Paraf


Keperawatan/Jam

Senin 1
1. Menanyakan pada klien penyebab
1 02/09/2019 15.15 WIB kecemasan
Respon : Klien kooperatif
2. Menjelaskan prosedur tindakan dan
15.20 WIB yang dirasakan selama prosedur
Respon : Klien kooperatif
15.25 WIB 3. Mengenalkan terhadap lingkungan
kamar bedah
Respon : Klien kooperatif
15.25 WIB 4. Menganjurkan klien untuk berdoa
Respon : Klien kooperatif
15.28 WIB 5. Menginstruksikan klien menggunakan
teknik relaksasi nafas dalam
Respon : Klien kooperatif

6) Evaluasi

Diagnosis Tanggal/Jam Evaluasi Keperawatan


No Paraf
Keperawatan Catatan Perkembangan

1. Ansietas 02/09/2019 S : Klien mengatakan bahwa dirinya


berhubungan lebih tenang
dengan kurangnya 15.30 WIB O : Ekspresi wajah klien tampak lebih
tenang
informasi
TD : 110/74 mmHg
mengenai N : 96x/menit
prosedur tindakan A : Masalah ansietas teratasi
operasi ditandai P : Intervensi dihentikan
dengan ekspresi
wajah klien
tampak cemas

Nama Mahasiswa : Winni Widyaputri B. Perawat Anestesi

NIM : P27820716104

(…………………………)
B. Intra Operasi
1) Data Pengkajian
Time Out
Tahap intra operasi dimulai dengan tindakan anestesi pada klien sekitar pukul 15.45
WIB dengan jenis pembiusan general anestesi dengan posisi pembedahan supine, jenis
operasinya adalah bersih dan merupakan golongan operasi kecil. Posisi tangan klien
saat tindakan pembedahan adalah telentang. Desinfeksi kulit dilakukan dengan
povidone iodine. Pemasangan diatermi (dilakukan oleh Ns. Ulfa) menggunakan
diatermi bipolar. Monitor dan mesin anestesi digunakan tanpa melibatkan alat
imaging/X-ray. Kassa yang digunakan saat operasi adalah 15 lembar, deppres 10 buah.
Untuk menjaga keseimbangan cairan klien diberikan cairan RL 500 cc melalui tangan
kanan klien. Perdarahan diperkirakan 50 cc.
2) Data Fokus/Analisis Data

Hari/
Kemungkinan
Tanggal/ Pengelompokan Data Masalah
Penyebab
Jam

02/09/2019 DS :- Tumor kelenjar


lakrimal
15.55 WIB DO :

- Dilakukan pembedahan
(anterior orbitotomy Tindakan
Risiko perdarahan
approach) pembedahan
- Klien terpasang ↓
intravenous (IV) line di
tangan kanan Risiko perdarahan
- Terjadi perdarahan 50 cc
-

3) Diagnosis Keperawatan

Ditemukan Masalah Masalah Teratasi


No. Diagnosis Keperawatan
Tanggal Paraf Tanggal Paraf

Risiko perdarahan berhubungan dengan 02/09/2019 02/09/2019


1. prosedur tindakan operasi
4) Intervensi Keperawatan

Perencanaan
Diagnosis
No Tujuan dan Kriteria Tindakan
Keperawatan Rasionalisasi
Hasil Keperawatan

1. Risiko Tujuan : 1. Monitor tanda 1. Mengetahui tanda


perdarahan Setelah dilakukan vital dehidrasi
berhubungan tindakan keperawatan 2. Pantau perdarahan 2. Mengetahui
selama proses dari luka volume
dengan prosedur
pembedahan 3. Monitor perdarahan
tindakan operasi diharapakan pemberian cairan 3. Mencegah
perdarahan dapat intravenous (IV) terjadinya
diminimalkan. operasi kekurangan
Kriteria hasil : 4. Monitor dengan volume cairan
a) Balance cairan dokter terkait 4. Menghentikan
normal penggunaan perdarahan
b) Tanda vital dalam diatermi maupun 5. Mengganti
batas normal kassa perdarahan akibat
5. Monitor prosedur operasi
pertimbangan apabila diperlukan
transfusi apabila
dibutuhkan

5) Implementasi

No Hari/Tgl No Diagnosis Tindakan Keperawatan Paraf


Keperawatan/Jam

Senin 1 1. Memonitor tanda vital


Respon : TD : 102/81 mmHg
1 02/09/2019 16.00 WIB N : 96x/menit
RR : 19x/menit
S : 36, 3oC
2. Memantau perdarahan dari luka
16.10 WIB Respon : Perdarahan sekitar 50 cc
3. Memonitor pemberian cairan
16.15 WIB
intravenous (IV) selama operasi
berlangsung
Respon:Terpasang intravenous (IV)
line pada tangan sebelah
kanan dengan cairan RL 500
16.20 WIB cc maintenance.
4. Memonitor dengan dokter terkait
penggunaan diatermi maupun kassa
Respon: Penggunaan diatermi dan
16.25 WIB kassa sebanyak 15 lembar
5. Memonitor pertimbangan transfusi
apabila dibutuhkan
Respon : Klien belum membutuhkan
transfusi
6) Evaluasi

Diagnosis Tanggal/Jam Evaluasi Keperawatan


No Paraf
Keperawatan Catatan Perkembangan

1. Risiko perdarahan 02/09/2019 S:-


berhubungan
dengan prosedur 16.30 WIB O:
tindakan operasi a) Perdarahan terkontrol
b) TD : 114/77 mmHg
c) N : 74x/menit
d) RR : 19x/menit
e) S : 36,3oC
Intake cairan 1500 cc
Output urine tidak terukur
A : Masalah risiko perdarahan teratasi

P : Intervensi dihentikan

Nama Mahasiswa : Winni Widyaputri B. Perawat Kamar Operasi

NIM : P27820716104

(…………………………)

C. Post Operasi
1) Data pengkajian
Operasi selesai pada pukul 17.05 WIB. Klien kemudian dipindahkan ke ruang pulih
sadar (ruang RR) dengan brankar belum terpasang pagar pengaman. Klien masih dalam
keadaan tidak sadar dibawah pengaruh sedasi anestesi.
Pemeriksaan fisik B1-B6
Breathing (B1) : Jalan napas bebas, klien bernapas spontan, RR 20x/menit
Blood (B2) : Tekanan darah klien 120/81 mmHg, nadi 96x/menit,.
Brain (B3) : Tidak dapat dikaji karena klien dalam pengaruh sedasi anestesi
Bladder (B4) : Klien tidak terpasang kateter urin dan belum BAK
Bowel (B5) : Klien tidak mengalami mual muntah, mukosa bibir sedikit kering
Bone (B6) : Turgor kulit elastis, akral klien hangat, kering, merah.
2) Data Fokus/Analisis Data

Hari/
Kemungkinan
Tanggal/ Pengelompokan Data Masalah
Penyebab
Jam

02/09/2019 DS : - Tumor kelenjar


lakrimal
17.15 WIB

DO : Klien berada diatas
tempat tidur dan belum Tindakan
terpasang pagar pembedahan
pengaman

Post tindakan
Risiko jatuh
operasi

Penurunan kesadaran
akibat pengaruh
anestesi

Risiko jatuh

3) Diagnosis Keperawatan

Ditemukan Masalah Masalah Teratasi


No. Diagnosis Keperawatan
Tanggal Paraf Tanggal Paraf

Risiko jatuh berhubungan dengan penurunan 02/09/2019 02/09/2019


kesadaran klien akibat pengaruh sedasi
1.
anestesi
4) Intervensi keperawatan

Perencanaan
Diagnosis
No Tujuan dan Kriteria Tindakan
Keperawatan Rasionalisasi
Hasil Keperawatan

1. Risiko jatuh Tujuan : 1. Identifikasi 1. Mengetahui faktor


berhubungan Setelah dilakukan karakteristik risiko jatuh yang
dengan tindakan keperawatan lingkungan yang diakibatkan oleh
selama 1x15 menit dapat lingkungan
penurunan
diharapkan jatuh tidak meningkatkan 2. Meminimalkan
kesadaran klien terjadi. potensi untuk risiko jatuh bagi
akibat pengaruh Kriteria hasil: jatuh klien
sedasi anestesi a) Klien mampu 2. Gunakan teknik 3. Meminimalkan
mempertahankan yang tepat untuk risiko jatuh bagi
keseimbangan memindahkan klien
b) Tercipta klien 4. Meminimalkan
lingkungan yang 3. Kunci roda dari risiko jatuh bagi
aman bagi klien kursi roda, tempat klien
tidur, atau
brankar selama
proses
pemindahan klien
4. Pasang pagar
pengaman pada
bed maupun
brankar klien

5) Implementasi

No Hari/Tgl No Diagnosis Tindakan Keperawatan Paraf


Keperawatan/Jam

Senin 1 1. Mengidentifikasi karakteristik


lingkungan yang dapat meningkatkan
1 02/09/2019 17.15 WIB potensi untuk jatuh
Respon : Lingkungan aman
17.18 WIB 2. Menggunakan teknik yang tepat
untuk memindahkan klien
Respon : Klien aman
3. Mengunci roda dari kursi roda,
17.20 WIB
tempat tidur, atau brankar selama
proses pemindahan klien
Respon : Klien aman
17.20 WIB 4. Memasang pagar pengaman pada bed
maupun brankar klien
Respon : Klien aman
6) Evaluasi

Diagnosis Tanggal/Jam Evaluasi Keperawatan


No Paraf
Keperawatan Catatan Perkembangan

1. Risiko jatuh 02/09/2019 S:-


berhubungan O : Klien aman, pengaman pda bed
dengan penurunan 17.20 WIB maupun brankar klien terpasang
kesadaran klien
A : Masalah risiko jatuh teratasi
akibat pengaruh
sedasi anestesi P : Pertahankan intervensi

Nama Mahasiswa : Winni Widyaputri B. Perawat Ruang Pulih Sadar

NIM : P27820716104

(…………………………………)

Anda mungkin juga menyukai