Anda di halaman 1dari 4

Eksotropia Inkomitan setelah Operasi Polip Nasal

Pendahuluan

Nasal polip merupakan proses inflamasi kronik dalam mukosa nasal atau sinus paranasal yang khas
dengan massa edematous dan infeksi yang merupakan faktor paling penting dalam proses ini.
Prevalensi polip nasal di Indoneisa lebih dari 4,63% dari semua pasien di RS Dr Soetomo Surabaya.
Pada 10 tahun terakhir, teknik operasi sinus umumnya digunakan ialah endoskopik, yang banyak
digunakan untuk etmoidektomi intranasal. Di samping kelebihannya, endoskopik memiliki risiko
terjadinya kerusakan otot ekstraokuler, khususnya pada sinus etmoidalis. Estimasi kejadian
terjadinya cedera mata setelah operasi intranasal lebih dari 3%. Komplikasi okuler yang paling sering
terjadi setelah operasi polip paranasal dan intranasal ialah ruptur dan paralisis otot ekstraokuler,
kelainan vaskular atau inervasi otot ekstraokuler, mikrovaskular yang infark, infeksi kronik atau
inflamasi, kompressi massa tumor. Eksotropia inkomitan adalah salah satu komplikasi okuler yang
dilaporkan setelah operasi intranasal. Eksotropia inkomitan adalah bentuk strabismus dimana terjadi
deviasi ke arah luar dengan sudut yang berbeda pada lapang pandang yang berbeda. Penyebab yang
paling umum adalah paralisis atau restriksi.

Laporan kasus ini bertujuan untuk mendekripsikan kausa eksotropia pada pasien dengan riwayat
operasi polip nasal.

Presentasi Kasus

Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang dengan keluhan utama berupa penglihatan ganda setelah
operasi polip nasal dan semakin memburuk. Mata kanan mengarah ke luar dengan penglihatan
kabur yang minimal. Riwayat trauma dan kelainan neurologis disangkal.

Gambar 1: Pemeriksaan fisik sebelum operasi polip (kiri) dan setelah operasi polip (kanan)

Ketajaman visus pada mata kanan ialah 6/7,5 saat kepala dimiringkan ke kiri. Posisi mata kanan
mengalami deviasi ke arah lateral. Pada pemeriksan fisik, didapatkan hasi tes Hirschberg adalah XT
45o, dan Krimsky test >95 ∆BI. Tes duksi dan versi pada mata kanan mendapatkan aduksi -4. Tidak
ada pergerakan bolah mata pada tes tutup buka mata, tes Ishihara dalam batas normal, tetapi tes
Farnsworth D-15 didapatkan buta warna merah-hijau. Terdapat supresi pada mata kanan pada
WFDT. Tes TNO didapatkan penglihatan stereoskopik yang buruk. Force generation test
menunjukkan keterbatasan aduksi pada mata kanan dan tidak ada restriksi pada force duction test.
Gambar 2. Pergerakan bola mata menunjukkan eksotropia kanan

MRI kepala menunjukkan atrofi otot rektus medialis kanan dengan ukuran 2,2 mm, hipertrofi konka
masal inferior dextra dan sinistra, deformitas kavum nasal lateral kanan, sinusitis kronis pada sinus
maksilaris kanan, ethmoidalis kiri dan kanan dan frontalis kiri.

Gambar 3. MRI kepala menunjukkan atrofi otot rektus medialis

Kami merencanakan operasi pada mata kanan dengan vertical muscle transposition procedure.

Selama evaluasi, restriksi otot rektus medialis tidak ditemukan pada Forced Duction Test. Atrofi otot
rektus medialis didapatkan saat eksplorasi mata kanan. Pengobatan setelah operasi ialah antibiotik
dan anti inflamasi topikal.

Gambar 4: Atrofi otot rektus medialis ditemukan saat eksplorasi mata kanan.
Dua bulan setelah operasi, penglihatan ganda sudah berkurang, hasil tes Hirschberg ialah XT 30 o dan
tes Krimsky ialah 65o∆BI.

Gambar 5: Pergerakan bola mata setelah prosedur transposisi otot vertikal

Diskusi

Polip nasal adalah proses inflamasi kronik pada mukosa nasal, atau sinus paranasal yang khas
dengan massa edematous dan infeksi sebagai faktor paling penting dalam proses ini. Eksotropia
inkomitan umumnya menyerang pada usia 30-60 tahun; dengan prevalensi lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan rasio 2:1 sampai 4:1.

Mekanisme yang umum terjadi pada komplikasi okuler setelah operasi polip intranasal dan
paranasal ialah ruptur otot ekstraokular, kelainan vaskular atau inervasi otot ekstraokular,
mikrovaskuler yang infark, infksi kronis atau inflamasi, kompresi massa tumor. Komplikasinya
seperti enoftalmus, atrofi nervus optik, selulitis orbita, perdarahan orbita, kerusakan dindingorbita,
proptosis, ptosis, strabismus

Eksotropia inkomitan merupakan bentuk strabismus dengan deviasi mata ke arah luar dengan sudut
yang berbeda pada lapang pandang yang berbeda. Kausa yang paling umum ialah paralisis atau
resktriksi. Keluhan subjektif eksotropia inkomitan ialah diplopia binokuler, yang terjadi ketika kedua
mata terbuka dan membaik saat salah satu mata ditutup. Tipe diplopia ini ialah tipe horizontal
karena letak kelainannya berada di otot rektus medialis yangmengalami atrofi. Pasien mengeluhkan
penglihatan ganda yang memburuk saat melihat jauh dan melihat ke sisi yang ototnya terjadi
kerusakan. Pasien dengan keluhan diplopia akan menutup matanya secara spontan. Biasanya, pasien
akan menutup mata yang terganggu. Perubahan posisi kepala pada pasien dengan strabismus
inkomitan dapat mengurangi diplopia.

Pada strabismus inkomitan, yang disebabkan atrofi otot rektus medialis, terdapat perubahan arah
menuju aksis vertikal karena kelainan otot horizontal, yang dikenal sebagai anomalous head position
atau face turn. Pemeriksaan posisi bola mata bisa dilakukan dengan tes tutup buka mata, tes tutup
bergantian, prism alternating cover test (PACT), tes refleks cahaya kornea (tes Hirschberg) dan tes
Krimsky. Pada kasus ini, kami melakukan tes tutup buka mata dan tes tutup mata bergantian namun
bola mata tidak menunjukkan pergerakan. Pada pemeriksaan Hirschberg didapatkan eksotropia 45 0
dan tes Krmsky >95 ∆BI.
Pemeriksaan status sensoris pada pasien strabismus untuk mengevaluasi abnormalitas dari
penglihatan binokular. Pemeriksaan status sensoris paling umum yang dilakukan oftalmologis ialah
worth a Four Dot Test (WFDT) dan stereoskopik. Pasien pada kasus ini hanya melihat 2 titik merah
pada pemeriksaan WDFT yang menandakan terdapat supresi pada mata kanan

Pemeriksaan sensoris binokular ialah pemeriksaan stereoskopik. Stereoskopik ialah teknik untuk
membuat dan memperkuat ilusi pada kedalaman gambar untuk penglihatan binokular dan bisa
dievaluasi melalui tes TNO. Pada tes ini, kaca merah dan hijau digunakan untuk memisahkan
bayangannya masing-masing. Pasien pada kasus ini didapatkan penglihatan stereoskopik yang buruk.

Pada 10 tahun terakhir, teknik operasi sinus yang umum digunakan ialah Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS), khususnya untuk operasi obstruksi sinus. Walaupun prosedur ini dianggap
relatif aman, FESS dapat menyebabkan trauma jaringan, seperti perdarahan orbita, trauma nervus
optikus, trauma pada sistem drainase naslakrimal, ruptur otot ekstraokuler. Selain itu, paralisis otot
esktraokuler, kelainan vaskularitas atau inervasi otot ekstaokuler, infark pada miskrovaskuler, infeksi
kronik atau inflamasi dan kompresi massa tumor juga dapat menyebabkan trauma muskular.
Pemeriksaan penunjang ialah MRI kepala yang menunjukkan atrofi pada otot rektus medialis
dengan ukuran 2,2 cm, hipertrofi pada konka nasalis inferior dextra dan sinistra, deformitas post
operasi pada kavum nasalis lateral kanan, sinusitis maksilaris kanan. Hal ini diduga disebabkan oleh
komplikasi okuler yang terjadi karena kelainan vaskuler dan invervasi selama proses infeksi atau
inflamasi kronik dari polip.

Terdapat banyak literatur mengenai tatalaksana eksotropia seperti bedah dan non bedah, namun
menurut penelitian yang dilakukan oleh Dutton, tujuan tatalaksana atrofi otot yang disebabkan oleh
inflamasi kronis dan supresi massa tumor ialah mengatasi atau mengurangi diplopia, memperbaiki
penglihatan binokuler, dan kosmetik. Evaluasi selama 2 bulan setelah operasi menunjukkan
penglihatan ganda yang berkurang, hasil pemeriksaan Hirschberg ialah 30 o dan Krimsky 65 ∆BI.

Sebagai kesimpulan, eksotropia inkomitan ialah salah satu komplikasi okuler yang dilaporkan yang
dapat terjadi karena atrofi otot ekstrokuler karena kelainan vaskuler atau inervasi dari otot-otot
tersebut dan dapat terjadi karena proses dari infeksi atau inflamasi kronis pada jaringan di
sekitarnya. Tujuan dari operasi ialah mengatasi atau mengurangi diplopia, dan bisa memperbaiki
secara kosmetik.

Anda mungkin juga menyukai