Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Angka kejadian tumor mata terhitung kecil, yaitu hanya 1% diantara


penyakit keganasan lainnya. Namun dampak yang ditimbulkan tumor mata cukup
mengerikan. Hal ini disebabkan letak yang tidak menguntungkan sehingga mudah
menyebar ke dalam otak, dan kematian tidak dapat dihindari lagi.1
Mata bukanlah suatu organ vital bagi manusia, namun keberadaan mata
sangatlah penting. Mata adalah jendela kehidupan, tanpa mata manusia tidak
dapat melihat apa yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu pemeliharaan mata
sangatlah penting. Salah satu struktur mata yang penting adalah orbita. Penonjolan
bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Lesi-lesi ekspansif dapat bersifat
jinak atau ganas dan dapat berasal dari tulang, otot, saraf, pembuluh darah, atau
jaringan ikat. Massa dapat bersifat radang, neoplastik, kistik, atau vaskular.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan banyak petunjuk mengenai
penyebab proptosis. Kelainan bilateral umumnya mengindikasikan penyakit
sistemik. Pada makalah ini akan membahas cara pemeriksaan pada proptosis
sehingga dapat mengarahkan pada suatu diagnosa.1,2,3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI ORBITA
Orbita berbentuk seperti buah pear dengan dengan kanalis optikus
diibaratkan sebagai tangkainya. Puncaknya di posterior dibentuk oleh foramen
optikum dan basisnya di bagian anterior dibentuk oleh margo orbita. Lebar margo
orbita 45 mm dengan tinggi 35 mm. Kedalaman orbita pada orang dewasa kurang
lebih 40-45 mm sampai ke apex. Dinding medial dari mata kanan dan kiri sejajar.
Dinding lateralnya dari mata kanan tegak lurus terhadap dinding lateral mata kiri.
Pertumbuhan penuh dicapai pada umur 18-20 tahun dengan volume orbita dewasa
±30cc. Bola mata hanya menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak dan
otot menempati bagian terbesarnya. Otot-otot mata terdiri dari m. rektus superior,
m. rektus inferior, m.rektus lateralis, m. rektus medialis, m. obliqus inferior, m.
obliqus superior. 2
Orbita dibentuk oleh tulang-tulang, yang terdiri dari : 2
Bagian atap orbita:
1. Os frontalis
2. Os sphenoidalis
Bagian dinding medial orbita :
1. Os maksilaris
2. Os lakrimalis
3. Os sphenoidalis
4. Os ethmoidalis
5. Lamina papyracea hubungan ke os sphenoidalis (dinding ini paling
tipis)
Bagian dinding lantai orbita:
1. Os maksilaris
2. Os zigomatikum
3. Os palatinum
Bagian dinding lateral orbita :
1. Os zigomatikum

2
2. Os sphenoidalis
3. Os frontalis
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah dan saraf,
yang masuk ke dalam mata, yang terdiri dari: 3
1. Foramen optikum yang dilalui oleh n. Optikus, a. Oftalmika.
2. Fissura orbitalis superior yang dialalui oleh n. Lakrimalis, n. Frontalis, n.
Trochlearis, v. Oftalmika, n. Occulomotorius, n. Nasosiliaris, serta serabut
saraf simpatik.
3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena dan arteri infraorbitalis.

Gambar 2.1 Anatomi Orbita 2

3
2.2 ABNORMALITAS ORBITA
Evaluasi abnormalitas orbita harus dapat membedakan orbital dari lesi
periorbital dan intraokular. Perbedaan ini dapat mengarahkan kepada sebuah
diagnosis. Evaluasi dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan untuk membimbing
ke arah diagnosa dan terapi. Pada abnormalitas orbita penting untuk ditanyakan
riwayat 6 P, yaitu : 4
1. Pain, kemungkinan merupakan tanda dari adanya inflamasi dan infeksi,
perdarahan orbita, tumor glandula lakrimalis maligna, invasi dari
karsinoma nasopharyngeal, atau adanya metastase.
2. Proptosis, biasanya diindikasikan dengan adanya massa di belakang bola
mata. Penonjolan axial disebabkan karena lesi-lesi pada intrakonal.
Sedangkan penonjolan nonaxial disebabkan lesi ekstrakonal.
Pada bilateral proptosis biasanya terjadi karena Grave’s disease, lymphoma,
vasculitis, pseudotumor, tumor metastatik, carotid cavernous fistula,
cavernous sinus trombosis, leukemia, dan neuroblastoma.
3. Progression, progresivitas lesi dapat dijadikan indikasi diagnostik. Lesi
dengan onset hari sampai dengan minggu biasanya disebabkan idiopathic
orbital inflammatory disease, cellulitis, hemorrhage, thrombhophlebitis,
rhabdomyosarcoma, thyroid ophthalmopathy, neuroblastoma, tumor
metastatik, atau granulocytic sarcoma. Sedangkan pada onset bulan sampai
dengan tahun biasanya disebabkan dermoid, tumor benigna, tumor
neurogenic, hemangioma kavernosa, lymphoma, histicyioma fibrosa,
osteoma.
4. Palpation, pada massa di belakang orbita tidak dapat teraba.
5. Pulsation, pulsasi tanpa adanya bruits kemungkinan disebabkan adanya
neurofibromatosis atau meningoencephalokel, atau mungkin akibat dari
operasi pengangkatan atap orbital. Pulsasi dengan atau tanpa bruits, dapat
disebabkan karena carotid cavernous fistula, dural arteriovenous fistulas,
dan orbital arteriovenous fistulas.
6. Periorbital changes, yang berhubungan dengan lesi orbital biasanya
terlihat adanya retraksi palpebra, kelainan vaskular pada palpebra, lesi

4
eczematous pada palpebra, ekimosis palpebra, edema pada palpebra
inferior, dan kelainan lainnya.
Yang akan dibahas pada referat ini adalah proptosis. Proptosis
dideskripsikan sebagai penonjolan bola mata yang abnormal, dan disebabkan oleh
lesi retrobulbar, atau pada kasus yang jarang, karena orbita yang dangkal.
Proptosis yang asimetris dapat dideteksi dengan inspeksi mata pasien dari arah
depan bawah (Worm’s eye view) atau dari arah samping. 4

Gambar 2.2 Posisi Worm’s eye view 3

2.3 PROPTOSIS
2.3.1 Definisi
Proptosis adalah keadaan bergesernya posisi bola mata ke anterior, yang
dapat terjadi pada satu atau kedua mata. Dinding orbita yang tersusun dari tulang-
tulang orbita yang keras menyebabkan lesi abnormal apapun yang menambah
volume intraorbita akan mendesak bola mata ke anterior. Berbagai etiologi
penyebab proptosis antara lain adalah tumor, inflamasi, infeksi, trauma, maupun
malformasi vaskular yang terdapat di retrobulbar.
Proptosis dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa. Pada anak-anak,
proptosis unilateral dapat disebabkan oleh hemangioma kapiler,
rabdomiosarkoma, glioma, dan selulitis orbita. Proptosis bilateral pada anak dapat
terjadi akibat infiltrasi leukimia dan neuroblastoma. Pada dewasa, proptosis
bilateral paling sering terjadi pada thyroid eye disease (TED) dan dapat juga
terjadi pada non-specific orbital inflammation (NSOI atau pseudotumor orbita),

5
limfoma maligna, tumor metastasis, infiltrasi leukimia, maupun fistula/trombosis
sinus kavernosa.
Proptosis harus dibedakan dari pseudoproptosis, yaitu keadaan bola mata
yang tampak menonjol yang bukan disebabkan oleh adanya pergesaran posisi bola
ke anterior. Pseudoproptosis dapat dilakukan diakibatkan oleh adanya asimetri
wajah, pembesaran bola mata ipsilateral misalnya pada kasus miopia tinggi atau
bultalmos, adanya retraksi kelopak mata ipsilateral seperti pada TED, maupun
enoftalmos mata kontralateral.6,8,9

Gambar 2.3 Perbedaan proptosis dengan pseudoproptosis. A. CT-scan potongan aksial yang
menunjukkan proptosis mata kanan. Bola mata kanan tampak jelas bergeser ke anterior akibat lesi
di intrakonal ; B. CT-scan menunjukkan pembesaran bola mata kanan akibat miopia tinggi yang
tampak sebagai pseudoproptosis. Posisi bola mata kanan tidak mengalami pergeseran ke anterior. 6

2.3.2 Jenis-jenis Proptosis6,7,10


Proptosis, biasanya diindikasikan dengan adanya massa di belakang bola
mata. Penonjolan axial disebabkan karena lesi-lesi pada intrakonal. Sedangkan
penonjolan nonaxial disebabkan lesi ekstrakonal. Pada bilateral proptosis biasanya
terjadi karena Grave’s disease.
1. Unilateral proptosis
2. Bilateral proptosis
3. Acute proptosis
4. Intermittent proptosis
5. Pulsating proptosis
6. Axial proptosis
7. Non-axial proptosis.

6
2.3.2.1 Unilateral Proptosis
1) Congenital : dermoid, teratoma
2) Traumatic : orbital hemorrhage, emphysema, IOFB
3) Inflammation : orbital cellulitis/abscess, cavernous sinus thrombosis,
pseudotumor, tuberculosis/gumma, sarcoidosis.
4) Vascular : orbital varix
5) Cysts : parasitic
6) Tumor - primary or secondary
7) Mucocoele of paranasal sinuses

2.3.2.2 Bilateral Proptosis


1) Developmental abn/l : Oxycephaly
2) Osteopathies : Rickets / Acromegaly
3) Tumors : Lymphoma / Leukemia, Ewings sarcoma, Neuroblastoma.
4) Endocrinal : Thyroid eye disease
5) Inflammatory : Fungal granuloma, Mikulickz syndrome
6) Systemic : Histiocytosis, systemic amyloidosis

Gambar 2.4 Limphoma2

7
Gambar 2.5 Craniosynostosis2

2.3.2.3 Acute Proptosis


1) Orbital emphysema
2) Fracture of the medial orbital wall
3) Orbital haemorrhage
4) Rupture of ethmoidal mucocele.

2.3.2.4 Intermitten Proptosis


1) Orbital varix
2) Periodic orbital oedema
3) Recurrent orbital haemorrhage
4) Highly vascular tumours.

2.3.2.5 Pulsating Proptosis


1) Carotico cavernous fistula.
2) Saccular aneurysm of ophthalmic artery.
3) Transmitted cerebral pulsations with deficient orbital roof.
- Congenital meningocele.
- Meningoencephalocele.
- Neurofibromatosis.
- Traumatic or operative hiatus.

8
2.3.2.6 Axial Proptosis
Proptosis aksial biasanya disebabkan oleh adanya lesi didalam konus otot
ekstraokuler (intrakonal).
1) Cavernous hemangioma.
2) Optic nerve glioma.
3) Thyroid eye disease.
4) Arteriovenous malformations.
5) Mass lesion within the muscle cone.

2.3.2.7 Non-Axial Proptosis


Prosptosis non aksial disebabkan oleh lesi di luar konus otot dan arah
pergeserannya dapat memberi gagasan tentang etiologi proptosis.
- Superior Globe Displacement:
● Tumor Neural / mesenchymal / vaskular pada orbit inferior.
● Tumor sinus maksilaris menginvasi lantai orbital.
- Inferomedial Globe Displacement:
● Kista dermoid di orbit superolateral.
● Tumor kelenjar lambung.
- Inferolateral Globe Displacement :
● Mukokeles Frontoethmoidal.
● Abses.
● Osteoma.
● Karsinoma sinus.

9
Gambar 2.6 Mucocele Frontal Sinus2

Gambar 2.7 Pie Diagram : Distribusi etiologi Proptosis7

Tabel 2.1 Etiologi Proptosis6

10
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Anamnesis pada pasien dengan proptosis harus dilakukan dengan teliti
untuk dapat memperkirakan etiologi terjadinya proptosis. Onset terjadinya
proptosis penting untuk diketahui. Pada onset yang akut perlu dipikirkan
penyebab inflamasi, infeksi, malformasi vaskular, maupun keganasan. Selulitis
orbita biasanya terjadi dengan onset cepat (dalam hitungan hari) yang disertai
dengan tanda-tanda infeksi akut lainnya seperti demam dan nyeri. Onset subakut
dapat terjadi pada inflamasi, keganasan, maupun lesi jinak. Onset kronik biasanya
terjadi pada lesi jinak maupun lesi kongenital seperti kista dermoid, maupun
hemangioma kapiler.
Pada anamnesis penting untuk ditanyakan apakah penonjolan bola juga
disertai gangguan tajam penglihatan, penglihatan ganda, nyeri pada pergerakan,
rasa pegal, mata merah, rasa baal, dikulit sekitar mata, maupun terdengar suara
gemuruh di ipsilateral. Selain itu perlu ditanyakan apakah mata tampak semakin
menonjol, membaik, ataukah hilang timbul, dan apakah terdapat berbagai keadaan
yang dapat memicu terjadinya mata jadi tampak lebih menonjol seperti bensin,
menangis, maupun kehamilan. Pada pasien dengan hemangioma kapiler dan
malformasi arteri vena, proptosis dapat lebih terlihat setelah dilakukan valsava.
Pasien dengan invasi tumor dari sinus paranasal maupun intrakranial sering
kali datang dengan proptosis sebagai keluhan utama. Oleh karena itu, untuk
mengetahui kemungkinan penyebab yang berasal dari luar orbita, perlu
ditanyakan adanya keluhan hidung tersumbat, suara sengau telinga terasa penuh
atau berdenging, sakit kepala, maupun riwayat mimisan.6,8

Gambar 2.8 Proptosis Axial dan Non-Axial6

11
2.5 PEMERIKSAAN PROPTOSIS
2.5.1 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis harus dilakukan secara lengkap sehingga dapat dikelola
dengan tepat. Ada beberapa tahap pemeriksaan : 1
a. Tahap Pemeriksaan Medis
Tahap ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu ;
1. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit dapat membantu menduga penyebab proptosis. Dari
anamnesis dapat ditanyakan adanya riwayat trauma atau penambahan
proptosis saat pasien membungkuk (mengarah ke proptosis akibat malformasi
arteri vena), onset lama atau tiba-tiba (pada infeksi), kemudian ditanyakan
tanda-tanda infeksi lain seperti adanya panas badan meningkat, atau adanya
penyakit sinusitis atau abses gigi. Dapat ditanyakan juga tanda-tanda penyakit
tiroid, seperti tremor, sifat gelisah yang berlebihan, berkeringat banyak atau
adanya penglihatan ganda.
Bila dari pertanyaan ini tidak didapat jawaban, maka dapat diarahkan
pada penyakit tumor, kemungkinan tumor retrobulber. Anamnesis yang
penting untuk tumor adalah :
i. Onset, karena umumnya proptosis terjadi lebih lambat pada tumor
jinak dan cepat pada tumor ganas.
ii. Umur, dapat menentukan jenis tumor, yaitu tumor anak-anak dan
tumor dewasa
iii. Tajam penglihatan penderita, apakah menurun bersamaan dengan
terjadinya proptosis atau tidak. Jika bersamaan, dapat diduga tumor
terletak di daerah apex atau saraf optik.
iv. Adanya tanda klinis lain tumor ganas seperti rasa sakit, atau berat
badan menurun
v. Riwayat penyakit keganasan di organ lain, untuk mengetahui
kemungkinan metastase.

12
2. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata secara teliti sangat diperlukan,antara lain pada visus,
adanya penurunan visus dapat dicurigai adanya tumor di intrakonal.
Perhatikan pula perubahan pada struktur organ lainnya, seperti
palpebra(jaringan parut, retraksi palpebra atau perdarahan), konjungtiva,
kornea(erosi akibat penonjolan bola mata yang menyebabkan lagoftalmus),
kamera okuli anterior, iris(nevi, neovaskularisasi), pupil (reflek pupil),
fundus(atrofi papil atau edema papil, striae retina). Pemeriksaan dapat
dilanjutkan pada otot bola mata, lapang pandang dan tekanan intraokular.

3. Pemeriksaan Orbita
i. Pengukuran Proptosis, untuk mengetahui derajat proptosis dengan
membandingkan ukuran kedua mata. Normalnya nilai penonjolan
tidak melebihi 20 mm atau beda kedua mata tidak lebih dari 3 mm.
Pengukuran dilakukan dengan eksoftalmometer Hertel.

Gambar 2.9 Pemeriksaan dengan Eksoftalmometer Hertel 5

ii. Posisi proptosis, perlu diketahui karena letak tumor biasanya sesuai
dengan jaringan yang berada di orbita. Ada 2 jenis posisi, yaitu sentrik
dan eksentrik. Posisi sentrik biasanya disebabkan tumor yang berada
di konus. Sedangkan posisi eksentrik harus dilihat dari arah
terdorongnya bola mata untuk memperkirakan tumor.
iii. Palpasi, dinilai konsistensi tumor, pergerakan dari dasarnya, adanya
rasa nyeri pada penekanan, serta permukaan tumor.

13
iv. Pulsasi dan bruits.
v. Ocular movement, gerakan okular mungkin terbatas pada arah tertentu
oleh karena adanya massa atau proses inflamasi.
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Primer
a. Computed Tomography, adalah teknik fotografi yang menggambarkan
satu lapisan tubuh pada suatu kedalaman tertentu, dan dapat
digunakan untuk merekonstruksi setiap bagian dan setiap potongan.
Gambar orbital dapat diperoleh pada potongan aksial, yaitu sejajar
dengan saraf optik. Pada potongan koronal, akan menunjukkan mata,
saraf optik, dan otot luar mata, sedangkan pada potongan sagital,
sejajar dengan nasal septum. 1,4
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging), adalah suatu alat pemeriksaan
yang bersifat non invasif, karena tidak menggunakan radiasi ionisasi,
sehingga tidak menimbulkan efek biologik. Pada dasarnya, MRI
merupakan interaksi dari 3 komponen, yaitu atomic nuclei possessing,
gelombang radiofrekuensi dan bidang magnetik. Setiap jaringan orbita
memiliki parameter resonansi magnet yang berbeda-beda, yang
kemudian ditangkap menjadi data, lalu diubah menjadi gambar oleh
komputer. Kelebihan MRI adalah tidak menggunakan sinar X, gambar
yang terjadi lebih rinci, dan dapat menghitung biokimia jaringan, dan
relatif jarang menimbulkan kerusakan jaringan. 1,4
c. Ultrasonografi Orbita (USG Orbita), biasanya digunakan untuk
pemeriksaan pasien dengan kelainan orbita. Ukuran, bentuk dan posisi
dari jaringan normal dan abnormal dapat diketahui dengan teknik
ultrasound. Gambaran 2 dimensi jaringan dapat dilihat dengan B scan
Ultrasonography. Pada A scan, gambarannya hanya satu dimensi dari
jaringan lunak orbita, ditandai dengan spike yang bervariasi dari
panjang dan tingginya tergantung dari karakteristik tiap jaringan.
Untuk Doppler ultrasonography, dapat memberikan informasi khusus
mengenai aliran darah (misalnya, kecepatan dan arah aliran darah

14
pada pasien dengan penyakit vaskular oklusi pembuluh darah atau
kelainan lain yang terkait dengan peningkatan aliran darah). Tetapi
kekurangan dari ultrasonography adalah keterbatasan dalam menilai
lesi di osterior orbita (karena redaman suara) atau sinus atau ruang
intrakranial (karena suara tidak dapat melewati udara atau tulang). 1,4

2. Pemeriksaan Sekunder
Pemeriksaan sekunder biasanya dilakukan dengan indikasi, pada kasus-
kasus tertentu. Termasuk dalam pemeriksaan sekunder adalah venography,
arteriography, serta CT dan MR angiography. 1,4
a. Venography, digunakan untuk menilai kelainan varises dan sinus
kavernosus dengan menyuntikkan kontras di vena frontal atau vena
angularis. Karena aliran darah akan menghasilkan sinyal kosong pada
MRI, abnormalitas vena yang lebih besar dan strukturnya dapat
divisualisasikan dengan baik pada MR venography. Pada beberapa
malformasi pembuluh darah orbitocranial atau fistula, paling baik diakses
melalui vena oftalmika superior. 1,4
b. Arteriography, adalah gold standard untuk mendiagnosa kelainan arteri
seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Kateter retrograde pada
pembuluh darah cerebral dilakukan lewat arteri femoralis. Namun, dapat
terjadi komplikasi neurologis dan pembuluh darah karena teknik
pemasangan kateter dan suntikan pewarna radiopak ke dalam sistem arteri,
tes ini digunakan untuk pasien dengan probabilitas tinggi dengan lesi.
Pemeriksaan ini dianjurkan bila terdapat kesulitan membedakan massa
dengan kelainan vaskular. Indikasi arteriografi harus benar-nbenar
terseleksi pada penderita terutama pada penderita dngan lesi intrakranial
atau lesi arterial seperti aneurisma. 1,4
c. CT dan MR Angiography, pemeriksaan ini memungkinkan untuk
pemeriksa dalam mendapatkan gambaran tentang arteri-vena malformasi,
aneurysma, dan arteriovenous fistula, tetapi disertai resiko dan
ketidaknyamanan pasien dengan pemasangan kateter intravaskular dan

15
penyuntikan material kontras. MR angiography kurang sensitif dibanding
dengan direct angiography untuk mengidentifikasi carotid atau dural
cavernous sinus fistula.
d. Saat memutuskan untuk melakukan pemeriksaan, ahli mata sebaiknya
berdiskusi dengan ahli radiologi tentang suspek lesi dan menentukan
pemeriksaan imaging yang terbaik untuk pasien. 1,4

2.5.3 Patologi
Pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan penunjang akhir yang
menentukan diagnosis, spesimen jaringan didapatkan dari tindakan orbitotomi
untuk mengambil lesi tersebut. Cara pemeriksaan yang bisa digunakan adalah
frozen section. Frozen section adalah sarana untuk menegakkan diagnosis
histopatologik dengan cepat, saat penderita masih di kamar bedah. Cara ini
dipakai pada pengelolaan proses keganasan, yang memungkinkan ahli bedah
melanjutkan tindakan bedahnya atau terapi definitif lain yang diperlukan. Indikasi
frozen section yang spesifik adalah: 1,4,8
1. Menentukan jenis penyakit, apakah tumor tersebut hanya merupakan suatu
peradangan atau neoplasma. Bila tumor merupakan neoplasma, potong beku
menentukan tumor jinak atau ganas.
2. Identifikasi jaringan.
3. Menentukan luas penyakit, menetapkan batas sayatan atau menetapkan ada
tidaknya metastasis di dalam kelenjar limfe.
4. Menentukan apakah jaringan biopsi sudah adekuat.

16
2.6 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada proptosis diberikan sesuai dengan dugaan
penyebabnyaberdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan oftalmologi, dan
pencitraan. Antibiotik dan antiinflamasi yang kuat diberikan pada gambaran klinis
yang mendukung kearah infeksi seperti pada selulitis dan abses orbita.
Antiinflamasi baik berupa steroid maupun non-steroid dapat diberikan pada kasus
peradangan seperti NSOI maupun TED. Lesi vaskular seringkali membutuhkan
pemeriksaan lanjutan seperti angiografi, arteriografi, maupun venografi.
Pemberian propanolol oral maupun injeksi steroid intralesi memberikan hasil
yang efektif pada balita dengan hemangioma kapiler.
Bila pada hasil pencitraan tampak adanya tumor, maka tatalaksana
selanjutnya ditentukan sesuai dengan kecurigaan tumornya. Pada lesi tumor jinak
biasanya dilakukan ekstirpasi tumor dengan mempertahankan keutuhan kapsulnya
(in toto). Pada lesi yang mengarah pada keganasan biasanya dilakukan biopsi
insisi terlebih dahulu untuk menentukan jenis tumornya dengan pasti serta
penatalaksanaan selanjutnya. Diagnosis pasti proptosis yang disebabkan oleh
tumor retrobulbar hanya dapat dibuat setelah dilakukan biopsi ( insisional,
eksisional, maupun aspirasi jarum halus) yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
histopatologis.6,9-12

17
BAB III

KESIMPULAN

1. Proptosis adalah penonjolan bola mata ke arah luar sehingga tampak


menonjol.
2. Proptosis tidak selalu disebabkan oleh adanya tumor mata, tetapi dapat
disebabkan oleh penyakit lain, misalnya proses inflamasi atau kelainan
pembuluh darah. Proptosis dapat mengindikasikan lokasi massa.
3. Proptosis dapat diklasifikasikan menjadi :
- Unilateral proptosis
- Bilateral proptosis
- Acute proptosis
- Intermittent proptosis
- Pulsating proptosis
- Axial proptosis
- Non-axial proptosis

4. Pemeriksaan abnormalitas orbita meliputi tahap pemeriksaan medis dan tahap


pemeriksaan diagnostik penunjang.
5. Penatalaksanaan proptosis sesuai dengan etiologi yang mendasari

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Moeloek NF, Usman TA. Pandangan Umum dan Penatalaksanaan Tumor


Orbita. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta. 1992.
2. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Fundamentals and Principles of
ophthalmology. Edition 2010-2011. Section 2. The Foundation of the
American Academy of Ophthalmology. 2010
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Indonesia.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2004
4. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Orbit, Eyelid, and Lacrimal
System. Edition 2010-2011. Section 7. The Foundation of the American
Academy of Ophthalmology. 2010
5. Kanski JJ, Bowling B. Cinical Ophthalmology : A Systemic Approach.
Seventh Edition. Elsevier Saunders, London, New York. 2011.
6. Editors : Sitorus, Rita et al. Buku Ajar Oftamologi Edisi 1. Universitas
Indonesia : Jakarta. 2010.
7. Teja N et al. Int J Res Med Sci. International Journal of Research in
Medical Sciences. October 2015.
8. America Academy of Ophthalmology, Ophtalmic Pathology and
Intraocular Tumors, Section 4, Chapter 14, 2008-2009, page : 219-236 .
9. Khurana AK, Disease of The Orbit, Comprehensive Ophthalmology
Fourth Edition, page : 377-382.
10. Vaughan DG. Orbita, Oftalmologi Umum, Edisi 14, Bab 13, 2000, hal
261-270
11. Kanski JJ, Clinical Ophthalmology, Sixth Edition, Chapther 6, 2008, page
: 165-204
12. DeAngelis DD. Lacrimal Gland Tumors. [Online].; 2013 [cited 2018
December 07. Available from: http://reference.medscape.com

19

Anda mungkin juga menyukai