Anda di halaman 1dari 50

1

REFERAT
TUMOR PADA MATA

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Kesehatan Mata RSD dr. Soebandi Jember

Disusun Oleh:

Diana Eki Cahyani 182011101027


Mizan Maulana 192011101002

Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M

KSM ILMU KESEHATAN MATA RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2019
2

DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................................3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata.............................................................................................4
2.2 Tumor pada Mata.........................................................................................................8
1.1 TUMOR PALPEBRA...................................................................................................8
1.1.1 Karsinoma Sel Basal...............................................................................................9
1.1.2 Karsinoma Sel Skuamosa.....................................................................................9
1.1.3 Karsinoma Kelenjar Sebasea............................................................................10
1.2 TUMOR KONJUNGTIVA.......................................................................................10
1.2.1 Ocular Surface Squamous Neoplasia (OSSN)..................................................10
1.2.2 Tumor Melanositik Epitel.................................................................................15
Nevus Melanositik Konjungtiva......................................................................15
Primary Acquired Melanosis (PAM)...............................................................17
Melanoma Konjungtiva...................................................................................19
1.3 TUMOR PADA UVEA.............................................................................................21
Melanoma Uvea........................................................................................................21
1.4 TUMOR PADA RETINA.........................................................................................28
1.4.1 Retinoblastoma.................................................................................................28
1.5 TUMOR SARAF OPTIK..........................................................................................34
1.5.1 Glioma..............................................................................................................34
1.6 TUMOR PADA ORBITA.........................................................................................37
BAB 3. KESIMPULAN.........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................43
3

BAB 1. PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO, 2010) menyatakan terdapat 285 juta jiwa
penduduk di dunia mengalami kelainan tajam penglihatan dan 39 juta penduduk
mengalami kebutaan (Nowak dan Smigielski, 2015). Kelainan tajam penglihatan
merupakan masalah kesehatan yang dialami setiap negara di dunia. Salah satu risiko yang
meningkatkan angka kejadian kelainan tajam penglihatan dan kebutaan pada mata adalah
tumor mata.
Tumor merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan pertumbuhan sel
tidak normal dan tidak terkendali yang dapat merusak jaringan sekitarnya serta dapat
menjalar ke tempat yang jauh dari asalnya yang disebut metastasis (Oemiati et al, 2011).
Mata sebagai indera manusia untuk melihat pun tidak terlepas dari penyakit neoplasma
(tumor) baik jinak maupun ganas. Tumor mata adalah tumor yang menyerang rongga
orbita, sebagian merusak jaringan lunak mata, saraf mata, dan kelenjar air mata. Tumor
mata jarang ditemukan, frekuensinya hanya 1% di antara penyakit keganasan lainnya.
Tumor mata dapat menjadi penyebab utama kehilangan ketajaman penglihatan dibanding
penyakit mata lainnya serta mengakibatkan cacat kosmetik dan kematian (Rahmadani dan
Ovy, 2012).
Masalah penyakit kanker di Indonesia antara lain hampir 70% penderita penyakit
ini ditemukan dalam keadaan stadium yang sudah lanjut (Oemiati et al, 2011).
4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata

Gambar 2.1. Anatomi Mata


Sumber : Atlas Anatomi Netter
5

Regio orbita adalah sepasang rongga di tulang yang berisi bola mata, otot,
saraf, pembuluh darah, dan sebagian besar apparatus lakrimalis. Lubang orbita
dilindungi oleh dua lipatan tipis yang dapat bergerak, yaitu kelopak mata (palpebra)
(Snell RS, 2006 dan Ilyas S, Sri RY, 2012).
Palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata serta mengeluarkan sekresi
kelenjar yang membentuk film air mata di depan kornea. Pada palpebra terdapat
bagian-bagian: kelenjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis pada pangkal rambut,
dan kelenjar Meibom pada tarsus. Otot seperti: Muskulus orbikularis okuli untuk
menutup bola mata yang dipersarafi Nervus Fasial. M. levator palpebra yang
dipersarafi N. III yang berfungsi untuk membuka mata. Pembuluh darah yang
mempedarahinya adalah arteri palpebra. Persarafan sensorik kelopak mata atas
didapatkan dari ramus frontal N. V, sedang kelopak mata bawah oleh cabang ke II
saraf ke V (Snell RS,2006 dan Ilyas S, Sri RY,2012).
Gambar 2.2. Anatomi kelopak mata potongan sagital
(Sumber: American Academy of Ophtalmology, 2012. Orbital Anatomy, In: Orbit,
Eyelids, and Lacrimal System. Chapter 1. Section 7. American Academy of
Ophtalmology.)

Apparatus lakrimalis terdiri dari glandula lakrimalis, laku, pungta, kanalikuli,


sakus lakrimalis, dan duktus lakrimalis. Persarafan sekretomotorik parasimpatis berasal
dari nukleus lakrimalis. Glandula lakrimalis akan menghasilkan air mata dan mengalir
ke lakus lakrimal dan masuk ke kanalikuli melalui pungta. Kanalikuli berjalan ke
medial dan bermuara ke sakus lakrimalis dan dan terus berlanjut ke duktus
7

lakrimalis (Snell RS, 2006 dan Ilyas S, Sri RY, 2012).


Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Bermacam-macam obat dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva
mempunyai kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat
membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu:
konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva bulbi yang menutupi sklera,
dan konjungtiva forniks (Snell RS, 2006 dan Ilyas S, Sri RY, 2012).
Bola mata berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior 24 mm. Bola
mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu: sklera, jaringan uvea (yang terdiri dari
iris, badan siliar, dan koroid yang diperdarahi oleh arteri siliaris anterior dan
posterior, sedangkan persarafannya dari ganglion siliar dan retina). Pada iris
didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke
dalam mata. Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor) yang
dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan
sklera. Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat gelatin yang
hanya menempel papil saraf optik, makula, dan pars plana. Lensa terletak di
belakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui
Zonula Zinn. Terdapat 6 otot penggerak bola mata, yaitu : oblik inferior, rektus
inferior, rektus medius, dan rektus superior yang dipersarafi N. III, kemudian oblik
superior dan rektus lateral yang dipersarafi N. IV dan N. VI (Snell RS, 2006 dan
Ilyas S, Sri RY, 2012).
Sklera terdiri atas jaringan fibrosa padat dan berwarna putih. Di posterior,
sklera ditembus oleh N. II dan menyatu dengan selubung dura saraf ini. Lamina
kribosa adalah daerah sklera yang ditembus oleh serabut-serabut N. II. Merupakan
area yang relativ lemah dan dapat menonjol ke dalam bola mata oleh peningkatan
tekanan cairan serebrospinal di dalam tonjolan subaraknoid yang terdapat di sekeliling
N.II. Bila tekanan intraokular meningkat, lamina kribosa akan menonjol keluar dan
menyebabkan diskus menjadi cekung (Snell RS, 2006 dan Ilyas S, Sri RY, 2012).
Kornea (latin cornum: seperti tanduk) adalah selaput bening mata yag dapat
8

memantulkan cahaya yang masuk ke mata. Terdiri atas 5 lapisan: epitel, membran
bowman, stroma, membran desemen, dan endotel. Kornea dipersarafi oleh saraf
siliar longus cabang N. V dan saraf nasosiliar. Pembiasan sinar terkuat dilakukan
oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk ke kornea
(Snell RS, 2006 dan Ilyas S, Sri RY, 2012).
Lensa mata di dalam bola mata terletak di belakang iris yang terdiri dari
zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada
saat terjadinya akomodasi. Secara patologik, lensa dapat kaku pada orang dewasa
yang akan mengakibatkan presbiopia, keruh atau yang disebut katarak, dan tidak
berada di tempatnya (subluksasi dan dislokasi) (Snell RS, 2006 dan Ilyas S, Sri
RY, 2012).
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Retina terdiri atas lapisan: fotoreseptor (terdiri atas
sel batang dan sel kerucut), membran limitan eksterna, lapis nukleus luar, lapis
pleksiform luar, lapis nukleus dalam, lapis pleksiform dalam, lapis sel ganglion, lapis
serabut saraf, dan membran limitan interna (Snell RS, 2006 dan Ilyas S, Sri RY,
2012).
Tumor mata bisa terjadi di semua bagian mata yang mengalami
pembelahan sel abnormal dan kematian sel yang menurun. Berdasarkan posisinya,
tumor mata dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tumor eksternal, yaitu tumor yang tumbuh di bagian luar mata seperti umor
palpebra dan tumor konjungtiva.
2. Tumor intraokuler, yaitu tumor yang tumbuh di dalam bola mata.
3. Tumor retrobulbar, yaitu tumor yang tumbuh di belakang bola mata.

2.2 Tumor pada Mata


1.1 TUMOR PALPEBRA
Tumor palpebra merupakan benjolan massa abnormal pada daerah
sekitar mata dan kelopak mata. Tumor palpebra bisa berasal dari kulit, jaringan ikat,
9

jaringan kelenjar, pembuluh darah, saraf, maupun dari otot sekitar palpebra (Khurana
AK, 2007). Tumor palpebra dapat dikelompokkan menjadi tumor jinak dan tumor
ganas. Tumor jinak palpebra sangat umum dan bertambah banyak dengan
meningkatnya usia. Kebanyakan mudah dikenali secara klinis. Tumor ganas palpebra
dibagi menjadi dua, yaitu tumor primer dan tumor metastatik (jarang) (Eva PR,
Whitcher JP. Vaughan & Asbury, 2013).
Tumor ganas yang paling sering mengenai palpebra adalah karsinoma sel
basal, karsinoma sel squamous, karsinoma sel sebasea, melanoma, dan sarkoma
kaposi. Sedangkan tumor jinak palpebra seperti hemangioma dan xanthalesma. (Eva
PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury, 2013).

1.1.1 Karsinoma Sel Basal


Karsinoma sel basal berasal dari lapisan basal epitel kulit atau dari lapis
luar sel folikel rambut. Berupa benjolan yang transparan, kadang dengan pinggir yang
seperti mutiara. Tumor ini umumnya ditemukan di daerah berambut, bersifat invasif,
jarang mempunyai anak sebar atau bermetastasis. Dapat merusak jaringan di
sekitarnya terutama bagian permukaan bahkan dapat sampai ke tulang (bersifat lokal
destruktif), serta cenderung untuk residif lebih bila pengobatannya tidak adekuat. Untuk
menatalaksana karsinoma sel basal dapat ada beberapa pilihan terapi, diantaranya
adalah bedah eksisi dengan potong beku (frozen section), bedah mikrografi Mohs,
bedah dengan laser CO2, dan eksisi tanpa potong beku. Pilihan terapi non bedah
yaitu: Radioterapi, Kemoterapi, dan Interferon (Sukmawati, T.T., Gabriela, R,2012).
1.1.2 Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor ganas kelopak mata tersering
kedua. Insidensinya hanya 5% jauh lebih kecil dari insidensi karsinoma sel basal.
Umumnya sering muncul dari batas kelopak mata (gabungan kulit dengan mukosa)
pada pasien yang tua. Dapat mengenai kelopak mata atas dan bawah. Gejala klinis
dapat muncul dalam 2 bentuk yaitu sebuah luka dengan batas tinggi dan keras yang
paling sering. Kedua adalah bentuk seperti jamur atau polip verukosa tanpa ada
10

luka, tetapi jarang muncul (Khurana AK,2007).


11

1.1.3 Karsinoma Kelenjar Sebasea


Karsinoma kelenjar sebasea adalah karsinoma yang tumbuh dari kelenjar
meibom pada kelopak mata. Etiologinya adalah idiopatik. Jarang muncul pada anak-
anak, dengan frekuensi tertinggi muncul pada orang dengan umur 60-79 tahun.
Karsinoma kelenjar sebasea bisa menunjukkan gambaran klinis berspektrum luas.
Biasanya, berbentuk nodul yang kecil, keras seperti khalazion. Sering terlihat seperti
khalazion yang tidak khas atau berulang, menunjukkan konsistensi yang kenyal. Pada
penatalaksanaan karsinoma sel sebasea dilakukan terapi bedah. Pengobatan bertujuan
untuk mengangkat lesi yang ganas untuk mencegah penyebaran local ataupun sistemik.
Pengobatan dari karsinoma kelenjar sebasea adalah operasi eksisi yang adekuat,
dengan batasan operasi yang luas dengan control potongan beku segar untuk
menggambarkan pinggiran tumor. Evaluasi nodul limfatik diperlukan untuk menilai
metastase (Michael L Glassman MD, 2010).

1.2 TUMOR KONJUNGTIVA


1.2.1 Ocular Surface Squamous Neoplasia (OSSN)
Karsinoma konjungtiva termasuk pada istilah OSSN dengan spektrum
dysplasia epitel, conjunctival intraepithelial neoplasia (CIN), hingga karsinoma
invasive yang menembus membran basal, squamous cell carcinoma (SCC)
(Shields et al., 2017).
OSSN paling sering ditemukan pada laki-laki dengan usia tua yang
berkulit putih yang sering kali terpapar sinar matahari seperti pemain golf,
pemancing, konstruksi, dan bertani. Sinar matahari, terutama radiasi sinar
ultraviolet-B (UV-B) dapat menyebabkan kerusakan DNA, mutasi, dan sel kanker
(Shields et al., 2017). Sebuah meta analisis menyatakan adanya keterkaitan human
papillomavirus-16 (HPV) (OR=2,6) dan human immunodeficiency virus (HIV)
(OR=6,2) dengan kejadian tumor ini (Gichuhi et al., 2013).
12

Patofisiologi
Faktor-faktor predisposisi lingkungan yang paling penting termasuk
paparan radiasi matahari kronis (ultraviolet B) dan paparan asap rokok. Di
Australia, faktor fenotipik seperti kulit pucat, iris pucat, kecenderungan untuk
terbakar matahari, menghabiskan lebih dari 50% waktu di luar ruangan dalam 6
tahun pertama kehidupan, dan tempat tinggal dalam 30 derajat khatulistiwa terkait
dengan pengembangan OSSN. Faktor lingkungan penting lainnya termasuk
defisiensi vitamin A, cedera permukaan mata, paparan minyak bumiproduk, dan
infeksi kronis dengan HIV, HPV, dan hepatitis B dan C virus (Shields et al.,
2017).
Faktor predisposisi host yang paling penting adalah status sistem
kekebalan tubuh. Pasien dengan defisiensi imun, terutama yang terinfeksi HIV,
memiliki risiko yang relatif tinggi untuk OSSN dan memiliki hasil terburuk. Hal
ini terutama dicatat dalam Afrika tempat HIV lebih lazim dan OSSN terjadi pada
keduanyapria dan wanita di usia yang lebih muda dan dengan lebih agresif tumor.
Sindrom disregulasi kekebalan lain yang dapat mempengaruhi OSSN termasuk
penekanan kekebalan medis untuk organ. transplantasi, asma / eksim / penyakit
atopik, okular cicatricial pemfigoid, xeroderma pigmentosum, dan autoimun
lainnya penyakit (Shields et al., 2017).
Peran HPV dalam pengembangan OSSN telah diperdebatkan. Gichuhi et
al diuraikan pada patofisiologi OSSN, menunjukkan bahwa ia muncul di sel epitel
basal, menyebar ke atas menuju permukaan konjungtiva kemudian kemudian
menyerang melalui ruang bawah tanah. selaput. Radiasi ultraviolet merusak DNA
sel yang mengarah ke dimer pirimidin (CC> TT) yang dapat mengubah regulasi
sel dengan memengaruhi penekan tumor TP53. Ini, bersama dengan ultraviolet
photoimmunosupresi dan aktivasi HPV (serotipe 16 dan 18), menyebabkan infeksi
seluler yang memicu divisi neoplastic (Gichuhi et al., 2014).
13

Gambaran Klinis
Selain dari adanya lesi pada permukaan okuler, terdapat gejala lain seperti
mata merah dan terdapatnya iritasi. Secara klinis sulit untuk membedakan antara
dysplasia epitel konjungtiva, karsinoma in situ dan karsinoma sel skuamosa. Lesi-
lesi ini sering muncul diantara fissure interpalpebral yang sering terkena sinar
matahari, lesi ini juga sering terdapat pada limbus. OSSN dapat terlihat seperti
massa gelatinous dengan pembuluh darah superficial atau dengan bentuk seperti
papil atau leukoplakia dengan plak keratin yang menutupinya (Shields et al.,
2017).

Gambar (A) OSSN pada konjungtiva dengan ekstensi kornea, (B) optical coherence
tomography angiography (OCTA) menunjukkan vaskuler intrinsic tumor
(Shields et al., 2017).
Gambaran Histopatologi
Secara histopatologis, CIN ringan (displasia) ditandai dengan penggantian
epitel dengan ketebalan parsial oleh sel-sel anaplastik yang tidak memiliki
maturasi normal. CIN berat ditandai dengan penggantian epitel dengan ketebalan
penuh oleh sel-sel serupa. Kedua varian menunjukkan demarkasi mendadak yang
khas antara epitel yang terkena dan epitel normal. SCC invasif menunjukkan
kerusakan pada membran basal epitel basal dan biasanya neoplasma yang
terdiferensiasi dengan baik yang terdiri dari sel-sel epitel abnormal dengan
aktivitas mitosis dan keratin. Kadang-kadang, dapat dibedakan dengan buruk dan
14

menunjukkan aneh, sel pleomorfik, banyak tokoh mitosis, acanthosis, dan


dyskeratosis (Honavar dan Manjandavida, 2015).

Gambar 2.14 Gambaran histopatologi OSSN (a) perbesaran 100x, (b)perbesaran 400x,
terlihat sel abnormal dengan aktivitas mitosis
(Honavar dan Manjandavida, 2015)
Klasifikasi Sistim TNM menurut AJCC

Tatalaksana
Pemilihan jenis terapi pada karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya ukuran lesi, lokasi, derajat invasi
15

dari lesi, keadaan mata yang satunya, usia, keadaan umum pasien (Honavar dan
Manjandavida, 2015).
16

1. Pembedahan
Eksisi bedah yang lengkap tapi lembut menggunakan teknik tanpa
menyentuh tumor yang disebut teknik “no touch” adalah pengobatan pilihan.
Langkah-langkah eksisi bedah meliputi:
• Sayatan konjungtiva dibuat sekitar 4 mm di luar batas tumor yang ditentukan
secara klinis. Sayatan menggabungkan konjungtiva ketebalan penuh dan fascia
duri,
• Diseksi dilakukan di bidang episkleral (jika tidak ada adhesi episkleral) untuk
mencapai limbus,
• Lamela tipis dari sklera bebas tumor, kedalaman 0,2 mm termasuk 2,0 mm di
luar massa konjungtiva adheren dihilangkan jika fixitas scleral dicatat,
• Alkohol absolut diaplikasikan dengan aplikator berujung kapas ke kornea yang
terlibat untuk memungkinkan epitelelektomi kornea terkontrol 2 mm di luar
komponen kornea,
• Epitel kornea digulirkan ke limbus menggunakan gerakan menyapu terkontrol
dengan pisau berang-berang,
• Seluruh tumor diangkat dalam satu potong tanpa menyentuh tumor dengan
mengeluarkannya di sepanjang limbus,
• Cryotherapy, siklus pencairan-pencairan ganda, diterapkan ke tepi konjungtiva
bulbar yang tersisa dan dasar scleral jika ada adhesi episkleral. Cryotherapy
limbal harus dibatasi hingga 6 jam.

2. Kemoterapi topikal
Neoplasia intraepitel konjungtiva dan bentuk SCC ringan dapat diobati
dengan MMC topikal 0,02-0,04%. Protokol terapi menggunakan rule of 4; dosis
0,04%, 4 kali sehari, 4 hari seminggu selama 4 minggu bekerja paling baik.
Komplikasi lokal yang terkait termasuk hiperemia konjungtiva, erosi kornea
punctate, dan penggunaan jangka panjang yang tidak disengaja dapat
menyebabkan pencairan skleral. Interferon alpha 2b saat ini merupakan bentuk
17

perawatan yang paling diterima dan menguntungkan untuk OSSN. Ini kurang
toksik dengan komplikasi lebih sedikit dibandingkan dengan MMC topikal. Peran
menguntungkan mereka termasuk imunomodulasi, anti-proliferasi, dan anti-virus.
Tingkat keberhasilan yang dilaporkan adalah 83% dengan IFN 1 juta IU topikal
diberikan 4 kali sehari selama 6-12 bulan (Honavar dan Manjandavida, 2015).

1.2.2 Tumor Melanositik Epitel


Nevus Melanositik Konjungtiva
Tumor melanositik konjungtiva memiliki spektrum yang luas. Nevus
konjungtiva biasanya menjadi jelas pada dekade pertama hingga kedua kehidupan
sebagai sekelompok sarang kecil sel epitel berpigmen di lapisan basal epitel.
Ketika sel-sel bermigrasi ke stroma yang mendasarinya pada dekade kedua hingga
ketiga, nevus berkembang menjadi nevus majemuk. Migrasi lebih lanjut terjadi,
dan sel-sel berada di stroma sebagai nevus sub-epitel selama dekade ketiga dan
keempat. Nevus lebih sering terlihat di Kaukasia (89%) daripada Afrika (6%) dan
Asia (5%). Meskipun sebagian besar konjungtiva nevi berpigmen (84%), beberapa
mungkin amelanotik atau berpigmen sebagian (16%).

Gambaran Klinis
Nevi konjungtiva sebagian besar terletak di dekat limbus di daerah
interpalpebral (72%). Lokasi lain adalah caruncle, lipatan semilunar, fornix, tarsus,
dan kornea. Kista yang jelas berkarakteristik sangat mendukung diagnosis. Mereka
juga dapat menunjukkan secara klinis pembuluh makanan (64%) dan vaskulitas
intrinsik (77%). dapat bervariasi dalam ukuran, warna, dan lokasi. Nevus
konjungtiva dapat meningkat ukurannya pada anak-anak yang sedang tumbuh,
selama masa pubertas, kehamilan, dan paparan sinar matahari. Transformasi ganas
diperkirakan <1%. Peningkatan ukuran yang tiba-tiba, perubahan warna, dan
peningkatan ketebalan dengan vaskuler prominen menunjukkan transformasi
ganas. Pola pertumbuhan yang tidak teratur dan difus menimbulkan kebingungan
diagnostik dengan melanosis primer yang didapat (PAM), melanoma, limfoma,
18

dan OSSN berpigmen. Secara histopatologis, nevus konjungtiva terdiri dari sarang
melanosit jinak di stroma dekat lapisan basal epitel. Imunostaining positif untuk
HMB-45 dan Ki-67 adalah tambahan yang berguna dalam membedakan lesi
melanositik jinak dari dugaan entitas ganas.

Gambar (a) nevus konjungtiva dengan kista intralesi dan vaskulernya, (b) secara
histopatologis tampak nevus subepitel dengan gumpalan melanosit tanpa sel atipik
(Honavar dan Manjandavida, 2015).

Tatalaksana
Pengamatan berkala (tahunan) dengan pengukuran lampu celah dan foto
seri adalah manajemen pilihan. Jika eksisi dilakukan untuk kosmesis atau
pertumbuhan yang dicurigai, lebih disukai untuk tidak meninggalkan lesi residual
(Honavar dan Manjandavida, 2015).
Indikasi eksisi nevus yakni:
 Onset berbeda pada usia paruh baya atau lebih lambat dalam kehidupan
 Lokasi di konjungtiva fornix atau palpebral
 Lesi berdiameter lebih dari 10 mm
 Vaskular yang prominen
 Vaskularitas dan perdarahan intrinsik yang banyak
 Lesi tanpa kista
19

 Lesi dengan pigmentasi seragam gelap


 Invasi epitel kornea> 3 jam dan 3 mm dari limbus
 Memperbaiki episkleral
 Masalah kosmetik

Primary Acquired Melanosis (PAM)


Reese mencatat kecenderungan jenis tertentu dari pigmentasi konjungtiva
yang didapat untuk berevolusi menjadi melanoma dan menamakannya melanosis
prakanker. Zimmerman mengganti istilah tersebut dengan melanosis yang didapat
jinak, yang selanjutnya dimodifikasi oleh WHO sebagai PAM pada tahun 1980.
Paparan sinar matahari mungkin memainkan peran dalam pengembangan PAM.
Ini juga telah terlihat pada pasien dengan neurofibromatosis yang meningkatkan
kecurigaan bahwa ia mungkin memiliki hubungan perkembangan dengan puncak
saraf (Honavar dan Manjandavida, 2015).

Gambaran Klinis
Melanosis primer yang didapat biasanya bermanifestasi pada usia
pertengahan sebagai pigmentasi unilateral, superfisial, soliter, tambal sulam, difus
atau multifokal dari bulbar, konjungtiva fornicial dan palpebral, dan kornea.
Kadang-kadang PAM bisa menjadi amelanotik. Pada PAM tanpa atipik, terjadi
pigmentasi melanin epitel basal dengan atau tanpa hiperplasia melanosit. PAM
dapat berkembang menjadi melanosit atipikal untuk membentuk PAM dengan
atipik sehingga ada peningkatan risiko pengembangan melanoma. Studi
menunjukkan bahwa di antara penderita PAM atipik, 13% berkembang menjadi
melanoma. Secara klinis, semakin besar tingkat PAM, semakin besar risiko
transformasi ganas.
20

Gambar (a) nevus konjungtiva dengan kista intralesi dan vaskulernya, (b) secara
histopatologis tampak nevus subepitel dengan gumpalan melanosit tanpa sel atipik
(Honavar dan Manjandavida, 2015).
Tatalaksana
Tatalaksana dari PAM meliputi observasi PAM, cryotherapy PAM
dengan atipik kurang dari sudut 3 jam, eksisi dengan cryotherapy PAM dengan
atipik lebih dari 3 jam, dan MMC topikal untuk PAM difus dengan atipik. Biopsi
diperlukan untuk mengetahui status sitologis dari PAM. Adapun indikasi biopsy
PAM meliputi:
 Diameter lesi ≥5 mm
 Perkembangan yang terdokumentasi
 Penebalan konjungtiva yang terlibat
 Nodul jauh muncul di dalam lesi
 Pembuluh nutrisi
 Keterlibatan kornea
 Keterlibatan konjungtiva palpebra
 Sindrom nevus displastik pada pasien atau kerabat dekat
21

 Riwayat pribadi melanoma kulit / uveal


22

Melanoma Konjungtiva
Melanoma konjungtiva paling sering terjadi pada orang yang berkulit
terang. Biasanya muncul pada usia paruh baya atau lanjut usia. Tidak memiliki
kecenderungan untuk jenis kelamin. Melanoma dapat muncul dari PAM di sekitar
75%, nevus yang sudah ada sebelumnya di 20%, dan de-novo di 5%. Faktor risiko
lainnya adalah sindrom nevus displastik, neurofibromatosis, dan xeroderma
pigmentosum. Paparan sinar matahari juga dianggap sebagai penyebab.

Gambaran Klinis
Melanoma konjungtiva muncul sebagai massa berdaging berpigmen yang
terletak di bulbar, konjungtiva fornicial atau palpebral. Sebagai varian,
konjungtiva dapat tampak sebagai difus atau multifokal dengan margin yang tidak
jelas terutama jika timbul dari PAM. Kadang-kadang berasal dari konjungtiva
forniceal dan palpebral. Dapat meluas hingga menutupi kornea atau bahkan timbul
sebagai tumor kornea primer. Melanoma konjungtiva jarang dapat
mengembangkan sentuhan sekunder hingga kontinu dari melanoma margin
kelopak mata (implantasi melanoma). [59] Melanoma bisa jarang berpigmen atau
amelanotik. Ini biasanya amelanotik, berdaging, dan vaskular ketika berulang
setelah eksisi sebelumnya. Melanoma konjungtiva diklasifikasikan sesuai dengan
klasifikasi AJCC-TNM.
Metastasis regional melibatkan kelenjar getah bening preauricular dan
submandibular. Limfangiografi sentinel memungkinkan untuk mengangkat
kelenjar getah bening dengan akurat dan diindikasikan pada tumor dengan
ketebalan lebih dari 2 mm. Metastasis jauh terjadi di otak, hati, kulit, dan tulang.
Secara histopatologis, melanoma konjungtiva tersusun atas melanosit maligna
berpigmen bervariasi.
23

Gambar Melanoma Konjungtiva (a) massa meninggi, noduler, dan berpigmen pada limbus
inferior dengan ekstensi ke perifer kornea, dapat diamati feeder vessel dan intrinsic vessel (b)
secara histopatologis terlihat melanosit yang berpigmen dan memiliki aktivitas mitosis
(Honavar dan Manjandavida, 2015).

Tabel AJCC-TNM Klasifikasi Melanoma Konjungtiva

Tatalaksana
Tatalaksana melanoma konjungtiva meliputi (Honavar dan Manjandavida, 2015).
• Eksisi lengkap pada bidang episkleral dengan margin jelas 4 mm
24

• Alkohol keratoepitheliectomy dari komponen epitel kornea


• Sklerokeratektomi lamellar parsial jika ada sklera atau stroma kornea
• Cryoterapi pembekuan ganda mencairkan ke tepi eksisi, cryoterapi dasar
eksisi jika sklera terlibat dan tingkat keterlibatan <3 jam
• Brakiterapi plak ajuvan pascaoperasi jika basis eksisi terdeteksi secara klinis
telah terlibat> 3 jam dan jika eksisi dasar positif untuk sel tumor pada
histopatologi. Karena melanoma konjungtiva tidak radiosensitif,
brachytherapy tidak digunakan sebagai pengobatan tunggal
• Enukleasi lanjut dengan eksisi en-blok jika tumor memiliki invasi kornea atau
sklera yang dalam atau ekstensi intraokular
• Eksentasi hemat kelopak mata jika tumor meluas ke orbit. Radioterapi sinar
proton dapat digunakan sebagai alternatif dan / atau tambahan untuk
eksenterasi
• Kemoterapi sistemik diberikan dengan kombinasi IFN dan interleukin-2 pada
melanoma yang disebarluaskan.
Kekambuhan lokal setelah terapi sebesar 50-70% pada 10 tahun. Tingkat
kematian keseluruhan adalah 25% dalam 10 tahun dan lebih dari 30% dalam 15
tahun. Ketebalan kritis yang dapat berfungsi sebagai faktor prognostik, menurut
berbagai penelitian menyiratkan nilai antara 0,8 dan 4 mm. Melanoma konjungtiva
Pementasan AJCC ‐ TNM memprediksi prognosis dan hasil (Honavar dan
Manjandavida, 2015).

1.3 TUMOR PADA UVEA


Melanoma Uvea
Uveal melanoma (UM) adalah keganasan langka yang timbul dari
melanosit di dalam saluran uveal mata. Meskipun UM sering didiagnosis pada
tahap awal, modalitas pengobatan lokal datang dengan morbiditas visual yang
signifikan dan perkembangan metastasis tidak jarang, menunjukkan prognosis
yang sangat buruk (Krantz et al, 2019).
25

UM merupakan keganasan intraokular primer paling umum pada orang


dewasa, mewakili 3% -5% dari semua melanoma. UM paling umum muncul dari
melanosit koroid (85% -90%), tetapi juga dapat timbul dari iris (3% - 5%) dan
tubuh ciliary (5% -8%). UM sangat jarang ditemui pada usia di bawah 20 tahun.
Usia rata-rata diagnosis UM pada iris, banad siliaris dan koroid berturut-turut 40-
45 tahun, dan 55-60 tahun. Namun, kisaran puncak untuk diagnosis adalah antara
70 dan 79 tahun. Insidensi UM bervariasi berdasarkan jenis kelamin, ras, dan
negara. Laki-laki memiliki insiden 30% lebih besar daripada perempuan (Paul dan
James, 2017; Krantz et al, 2019).

Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi dari UM masih belum diketahui, namun faktor risiko yang
teridentifikasi antara lain, termasuk iris dengan warna terang, kulit yang putih,
melanositosis okular (sepierti nefus, PAM), sindrom nevus displastik, dan mutasi
BAP1. BAP1 adalah gen penekan tumor yang terletak pada kromosom 3 yang
dimutasi pada 47% UM. UM dalam BAP1 mutan garis kuman biasanya
didiagnosis antara usia 30 dan 59 tahun, dan didorong oleh inaktivasi mutasi pada
gen BAP1 fungsional tunggal, analog dengan hilangnya kromosom 3 yang diamati
secara teratur pada penyakit sporadis risiko tinggi. Menariknya, pasien dengan UM
memiliki risiko 11% lebih tinggi untuk keganasan kedua, seperti melanoma kulit
dan karsinoma sel ginjal, daripada populasi umum, yang mungkin didorong oleh
adanya mutasi BAP1 garis kuman (Krantz et al, 2019).

Manifestasi klinis dan Diagnosis


Gejala yang paling umum terlihat pada UM primer yakni penglihatan
kabur (37,8%); Namun, banyak pasien tidak menunjukkan gejala pada saat
diagnosis (30,2%). Gejala umum lainnya pada presentasi termasuk fotopsia
(8,6%), floaters (7%), kehilangan bidang visual (6,1%), tumor terlihat (3,1%),
nyeri (2,4%), dan metamorfopsia (2,2%) (Krantz et al, 2019).
26

UM sulit dibedakan dengan nevi berpigmen jinak dipersulit dengan


rendahnya jumlah nevi yang berubah menjadi UM (satu dari 8.000). Faktor-faktor
yang terkait dengan peningkatan risiko termasuk ketebalan lebih dari 2 mm, cairan
subretinal, pigmen oranye, margin tumor kurang dari 3 mm ke disk, kekosongan
pada ultrasonografi. Secara seri dari 200 pasien yang dirujuk untuk evaluasi lesi
iris mengenai melanoma, 24% dikonfirmasi memiliki UM: 38% didiagnosis
dengan kista iris primer, 31% dengan iris nevi, 5,7% dengan atrofi iris esensial,
4,7% dengan benda asing, 4,7% dengan benda asing, 2,5 % dengan synechia
anterior perifer, dan 2,5% dengan metastasis sekunder. Selanjutnya, dalam
serangkaian 400 rujukan berturut-turut untuk evaluasi untuk UM posterior yang
dilakukan oleh kelompok yang sama, 26,5% didiagnosis dengan choroidal nevi,
23,5% dengan degenerasi diskiform, 9,5% dengan hipertrofi pigmen retina-epitel,
dan 8% dengan hemangioma (Krantz et al, 2019).

.
Gambar Melanoma pada iris yang mengisi BMD dengan tebal 3 mm (Paul dan James, 2017)
27

Gambar Melanoma pada badan siliaris yang sudah menginvasi iris perifer,
terletak pada lekukan lensa (Paul dan James, 2017)

Gambar Melanoma pada koroid (Paul dan James, 2017)


28

Diagnosis
Meskipun terdapat diagnosis diferensial yang luas, data dari studi
Collaborative Ocular Melanoma Study (COMS) menemukan tingkat kesalahan
diagnosis klinis hanya 0,48%, menunjukkan bahwa sebagian besar tumor
intraokular dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis saja. COMS,
bagaimanapun, memiliki kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat, dan penelitian
selanjutnya memperkirakan perlunya biopsi aspirasi jarum halus diagnostik mulai
dari 1% hingga 9% kasus. Pencitraan okuler khusus, termasuk ultrasonografi dan
angiografi fluorescein, sering dilakukan untuk karakterisasi lebih lanjut. Biopsi
aspirasi jarum halus menjadi digunakan secara lebih rutin pada saat diagnosis,
karena kemajuan dalam penggunaan analisis sitogenetik dan profil ekspresi gen
untuk prognostikasi. Berikut merupakan klasifikasi TNM menurut AJCC tahun
2017.
Klasifikasi T Melanoma Iris
29

Klasifikasi T Melanoma Badan Siliaris dan Koroid

Klasifikasi N Melanoma Uvea

Klasifikasi M Melanoma Uvea


30
31

Tatalaksana
Tatalaksana UM lokal dapat dibagi ke dalam terapi globe preserving dan
enukleasi. Tatalaksana globe preserving dapat secara luas diklasifikasikan menjadi
terapi radiasi, bedah, dan laser. Sebagian besar lesi UM primer di AS diobati dengan
plak brachytherapy berdasarkan hasil percobaan COMS, yang secara acak pasien
dengan melanoma koroid berukuran sedang dengan terapi primer dengan
125
brachytherapy I versus enukleasi. Tidak ada perbedaan yang diamati dalam
mortalitas antara kedua kelompok hingga 15 tahun masa tindak lanjut (Krantz et al,
2019).
Modalitas terapi radiasi termasuk brachytherapy, radiasi sinar eksternal
photon-based, dan radiasi partikel bermuatan. Modalitas ini telah menunjukkan
kontrol lokal yang sangat baik dan globe preserving; Namun, kehilangan penglihatan
jangka panjang merupakan efek samping yang umum. Brachytherapy melibatkan
pengamanan plak radioaktif ke episclera untuk memberikan dosis tetap radiasi fokus
125 106 125
ke tumor. Radioisotop yang paling umum digunakan adalah I dan Ru. I
memancarkan radiasi γ, yang menembus lebih dalam ke dalam jaringan daripada β
yang memancarkan 106Ru (ketebalan tumor <6 mm) (Krantz et al, 2019).
Modalitas bedah alternatif meliputi endoreseksi transretinal dan reseksi
transkleral. Reseksi transscleral dapat dilakukan pada pasien dengan tumor besar yang
bukan kandidat terapi radiasi yang mencari perawatan yang mempertahankan mata.
Manfaat dari reseksi transscleral yakni vision preserving yang lebih baik. Namun
prosedur ini memiliki beberapa kelemahan termasuk komplikasi dan rekurensi.
Komplikasi termasuk ablasi retina (21%), hipertensi okular (21%), perdarahan
submakular (16%) dan tingginya tingkat operasi vitreoretinal berulang (44% -70%)
(Krantz et al, 2019).
Photodynamic laser photocoagulation dan transpupillary thermal therapy
(TTT) merupakan modalitas yang menggunakan laser untuk menghancurkan suplai
pembuluh darah tumor dan mengurangi rekurensi lokal dengan menyuntikkan dan
mengaktifkan senyawa peka cahaya dan radikal bebas. TTT telah menunjukkan
32

beberapa kemanjuran dalam pengobatan melanoma koroid residual dan sebagai terapi
tambahan setelah brachytherapy (Krantz et al, 2019).
1.4 TUMOR PADA RETINA
1.4.1 Retinoblastoma
Retinoblastoma (RB) adalah tumor ganas intraokular primer umum pada
anak-anak. Gen retinoblastoma (gen RB) adalah gen penekan tumor pertama yang
ditemukan pada manusia. Telah dikonfirmasi bahwa ada kelainan jalur RB di
semua sel tumor manusia. Umumnya pasien datang dengan keluhan leukokoria
(AJCC, 2017).

Epidemiologi
Retinoblastoma (RB) adalah tumor ganas intraokular paling umum pada
anak-anak, dan merupakan tumor ganas pediatrik kedua setelah leukemia. 90%
dari kasus RB telah muncul sebelum usia 3 tahun, dengan keterlibatan bermata
atau teropong. Kedua mata dapat diserang secara berturut-turut atau bersamaan.
RB rentan terhadap metastasis intrakranial dan metastasis sistemik (AJCC, 2017).
Insiden RB pada bayi baru lahir di United States adalah sekitar 1 /
16.000-1 / 34.000. Di Inggris, menurut data statistik dari tahun 1969 hingga 1980,
kejadian BPR dalam kelahiran hidup adalah sekitar 1 / 15.000–1 / 20.000. Pada
1980, Shen Fumin melaporkan bahwa kejadian RB di Shanghai sekitar 1 / 11.800–
1 / 23.160. Tingkat kebutaan yang disebabkan oleh RB menyumbang sekitar 5%
pada penyakit anak-anak yang menyebabkan kebutaan, dan angka ini dalam tumor
ganas di antara anak-anak di bawah 5 tahun adalah sekitar 6,1%. Tidak ada faktor
risiko terkait etnis, regional, dan gender yang signifikan untuk tumor ini. Tingkat
kelangsungan hidup RB sangat berbeda di dunia, yang dapat mencapai 95% di
negara maju, sementara tingkat rata-rata hanya sekitar 50% di seluruh dunia
(AJCC, 2017).

Etiologi
33

Setidaknya dua peristiwa mutasi diperlukan untuk inisiasi RB. RB


genotipik adalah mutasi pada sel germinal dengan mutasi simultan dalam sel
somatik (sel retina), sedangkan RB non-genotipik mengacu pada dua mutasi pada
sel somatik retina yang sama. Sekitar 40% kasus adalah genotip, yang secara
genetik diwariskan oleh orang tua dari pasien RB atau pembawa gen mutan, atau
disebabkan oleh mutasi pada sel reproduksi orang tua normal. Jenis ini adalah
pewarisan dominan autosomal, sebagian besar bilateral, dengan fokus tumor
multipel retina yang khas, dan dapat disertai dengan tumor kedua di tempat lain
dalam tubuh. 60% kasus RB adalah tipe non-genotipik, yang disebabkan oleh
mutasi sel retina pasien sendiri. Jenis ini umumnya bukan genetik, memiliki onset
yang relatif terlambat, dan sering melibatkan unilateral dengan hanya lesi tunggal
retina, dan kemungkinan terjadinya tumor kedua lebih kecil (AJCC, 2017; Li dan
Zhang, 2019).

Manifestasi klinis
Tahap klinis RB: Menurut proses klinis, RB dapat diklasifikasikan
menjadi empat periode termasuk periode intraokular, periode glaukoma, periode
ekstraokular, dan periode sistemik metastasis. Tahap awal RB tidak mudah
dideteksi oleh orang tua, dan tumor sering ditemukan ketika gangguan penglihatan
seperti pupil putih dan strabismus terjadi. Dengan pemeriksaan biomicroscope slit-
lamp, biji-bijian terapung putih tumor dapat ditemukan di ruang anterior, dan
kadang-kadang koloni sel tumor dapat dideteksi pada inferior ruang anterior, dan
itu disebut pseudo-hypopyon. Untuk pasien anak-anak RB yang lebih tua dengan
presentasi atipikal, pseudo-nodul seperti bola salju terlihat di permukaan iris. Pada
periode glaukoma, tumor tumbuh secara konstan sehingga volume intraokular
terus meningkat. Ketika glaukoma terjadi dengan peningkatan tekanan intraocular
terus menerus, manifestasi "bull’s eye" semu dapat terlihat (Li dan Zhang, 2019).
Periode ekstraokular RB merupakan manifestasi klinis yang serius. Sel-
sel tumor berpindah ke daerah intrakranial terutama melalui lamina cribrosa dan
34

saraf optic. Selain itu, sel-sel tumor juga dapat menyerang jaringan koroid dan
mentransfer melalui kateter skleral, yang mengarah ke metastasis sistemik.
Metastasis sistemik dapat terjadi pada setiap tahap RB dalam praktik klinis. Jika
tumor hadir pada atau di sekitar kepala saraf optik, bahkan jika tumornya relatif
kecil, sel-sel tumor juga dapat menyebar dan bermetastasis di sepanjang saraf
optik sebelum tahap glaucoma (Li dan Zhang, 2019)

Gambar Retinoblastoma pada mata tampak leukokoria (Li dan Zhang, 2019)

Gambar (a) Manifestasi pseudo-hipopion pada retinoblastoma jika sel-sel tumor menginvasi
BMD (b) Manifestasi proptosis pada retinoblastoma periode glaucoma
(Li dan Zhang, 2019)
35

Gambar Funduskopi pasien retinoblastoma terlihat massa yang memiliki vaskuler di


permukaan maupun di dalamnya (Li dan Zhang, 2019)

Diagnosis
Diagnosis retinoblastoma bergantung pada pemeriksaan klinis. Dalam
membedakan retinoblastoma dari diagnosis lain (seperti penyakit Coats), USG
dapat menunjukkan kalsifikasi retinoblastoma yang hampir patognomonik. Alat
pencitraan sangat berguna dalam mendiagnosis retinoblastoma dengan presentasi
atipikal, seperti pada anak-anak yang mengalami buphthalmos, hyphema, atau
selulitis orbital. Investigasi ini juga diperlukan untuk menentukan tingkat penuh
retinoblastoma, termasuk saraf optik, orbital, dan keterlibatan intrakranial. USG
juga membantu dalam deteksi dini tumor embrionik intrakranial SSP, yang sering
muncul pada kelenjar pineal (pinealoblastoma) atau wilayah parasellar.
Pemindaian CT tidak lagi direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk
mendukung diagnosis atau stadium penyakit dengan klinis. diagnosis
retinoblastoma. Magnetic resonance imaging (MRI) direkomendasikan pada
stadium awal untuk mengevaluasi keterlibatan saraf optik dan ekstensi
ekstraokuler dan juga sebagai skrining untuk tumor neuroectodermal primitif yang
bersamaan (AAO, 2016; Li dan Zhang, 2019).

Gambaran Histologi
36

Tumor terdiri dari sel basofilik kecil (retinoblas), dengan nukleus


hiperkromotik besar dan sedikit sitoplasma. Kebanyakan retinoblastoma tidak
dapat dibedakan, tapi macam-macam derajat diferensiasi retinoblastoma ditandai
oleh pembentukan Rosettes, yang terdiri dari 3 tipe (AAO, 2016):
1. Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen sentral yang dikelilingi
oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen.
2. Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan sel
terbentuk mengelilingi masa proses eosinofilik
3. Flerettes adalah fokus sel tumor, yang mana menunjukkan differensiasi
fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan sitoplasma dan
tampak menyerupai karangan bunga

Gambar 2.12 Retinoblastoma (AAO, 2016).

Klasifikasi
Klasifikasi Reese-Ellsworth adalah metode penggolongan retinoblastoma
intraokular yang paling sering digunakan. Klasifikasi diambil dari perhitungan
jumlah, ukuran, lokasi tumor dan dijumpai atau tidak dijumpai adanya vitreous
seeding.
Klasifikasi Reese-Ellsworth
• Group I
a. Tumor Soliter, ukuran kurang dari 4 diameter disc, pada atau dibelakang
equator
37

b. Tumor Multipel, ukuran tidak melebihi 4 diameter disc, semua pada atau
dibelakang equator
• Group II
a. Tumor Soliter, ukuran 4-10 diameter disc, pada atau dibelakang equator
b. Tumor Multipel, ukuran 4-10 diameter disc, dibelakang equator
• Group III
a. Ada lesi dianterior equator
b. Tumor Soliter lebih besar 10 diameter disc dibelakang equator.
• Group IV
a. Tumor Multipel, beberapa besarnya lebih besar dari 10 diameter disc
b. Ada lesi yang meluas ke anterior ora serrata
• Group V
a. Massive Seeding melibatkan lebih dari setengah retina
b. Vitreous seeding (AAO, 2016).

Terapi
1. Enukleasi
Enukleasi dipertimbangkan sebagai intervensi yang tepat jika :
- Tumor melibatkan lebih dari 50% bola mata
- Dugaan terlibatnya orbita dan nervus optikus
- Melibatkan segmen anterior dengan atau tanpa glaukoma neovaskular (AAO,
2016).
2. Eksenterasi orbita
Dilakukan pada tumor yang sudah ekstensi ke jaringan orbita ialah
dengan mengangkat seluruh isi orbita dengan jaringan periostnya (AAO, 2016)..
3. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi sistemik mengurangi ukuran tumor, berikutnya
dapat menggunakan gabungan fokal terapi dengan laser. Sekarang ini regimen
kombinasi bermacam-macam seperti Carboplatin, Vincristine, Etoposide dan
38

Cyclosporine. Anak-anak yang mendapat obat kemoterapi secara intravena setiap


3-4 minggu untuk 4-9 siklus kemoterapi. (AAO, 2016).

4. Photocoagulation dan Hyperthermia


Xenon dan Argon Laser (532 nm) secara tradisional digunakan untuk
terapi retinoblastoma yang tinggi apek kurang dari 3mm dengan dimensi basal
kurang dari 10 mm, 2-3 siklus putaran Photocoagulation merusak suplai darah
tumor, selanjutnya mengalami regresi. Laser yang lebih berat digunakan untuk
terapi langsung pada permukaan tumor. Laser diode (8-10mm) digunakan sebagai
hipertermia. Penggunaan langsung pada permukaan tumor menjadikan temperatur
tumor sampai 45-60 oC dan mempunyai pengaruh sitotoksik langsung yang dapat
bertambah dengan kemoterapi dan radioterapi. (AAO, 2016).
5. Krioterapi
Juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal kurang dari 10mm
dan ketebalan apical 3mm. Krioterapi digunakan dengan visualisasi langsung
dengan Triple Freeze-Thaw Technique. Khususnya Laser Photoablation dipilih
untuk tumor pada lokasi posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak
lebih anterior.Terapi tumor yang berulang sering memerlukan kedua tekhnik
tersebut. Selanjut di follow up pertumbuhan tumor atau komplikasi terapi. (AAO,
2016).

1.5 TUMOR SARAF OPTIK


1.5.1 Glioma Saraf Optikus
Glioma adalah tumor yang berasal dari sel-sel glia saraf. Sel glia
merupakan sel yang berkaitan erat dengan neuron, yang berfungsi sebagai
pendukung struktur dan fungsi neuron, namun tidak terlibat dalam fungsi
penjalaran impuls. Dalam otak manusia, jumlah sel glia jauh lebih besar daripada
jumlah neuron. Perbandingan antara jumlah sel glia dan neuron ialah 10:1 (AAO,
2019).
39

Epidemiologi
Tumor jinak ini umumnya muncul pada dekade pertama kehidupan.
Mereka hampir selalu unilateral dan terjadi lebih sering pada wanita. Sementara
kejadiannya mungkin sporadik atau kadang-kadang kekeluargaan, sebagian besar
pasien dengan glioma saraf optik memiliki neurofibromatosis tipe 1 (NF-1).
Laporan telah menunjukkan berbagai tingkat kejadian NF-1 di antara pasien
glioma saraf optik: 10-70%, sedangkan kejadian glioma saraf optik pada pasien
dengan NF-1 bervariasi dari 8 hingga 31% (Nair et al, 2014).
40

Manifestasi klinis
Proptosis biasanya bertahap, tidak nyeri dan sering dikaitkan dengan
infradisplacement bola mata. Namun, pasien dapat mengalami kehilangan
penglihatan akut. Ini terkait dengan perkembangan atau memburuknya proptosis,
yang dihasilkan dari perdarahan ke dalam tumor. Pembengkakan atau pucat
cakram optik, kehilangan ketajaman visual, kehilangan lapang pandang dan defek
pupil aferen relatif terlihat karena efek kompresi tumor. Tumor akhirnya
menyebabkan atrofi saraf optik karena efek tekanan pada serabut saraf serta arteri
nutrisi. Strabismus primer dan sekunder terlihat, bersama dengan pembatasan
motilitas otot okular ekstra. Juga, nystagmus vertikal terdisosiasi dapat terlihat
pada lesi yang memanjang suprasellar. Kompresi kronis dari vena retina sentral
dapat menyebabkan oklusi vena sentral (CRVO) (Nair et al, 2014).

Gambaran radiologi
CT scan orbita

.
Gambar Glioma saraf optik pada seorang gadis berusia 3 tahun dengan proptosis kiri.
Gambar CT noncontrast aksial menunjukkan a isodense merobahkan massa intrakonal di
sepanjang saraf optik kiri yang menyebabkan proptosis kiri
41

Gambaran Magnetic Resonance Imaging

Gambar (a) Glioma saraf optik pada anak laki-laki berusia 4 tahun dengan proptosis kanan
dan sakit kepala. Hasil menunjukkan massa fusiform, isointense di sepanjang saraf optik
kanan. Lemak intrakonal hyperintense yang normal memberikan kontras intrinsik untuk
menggambarkan massa (b) post kontras

Tatalaksana
Tatalaksana glioma optik meliputi observasi, kemoterapi, radiasi, dan
pembedahan. Riwayat glioma saraf optik masa kanak-kanak hampir selalu jinak
dan sebagian besar tumor tumbuh lambat dan beberapa bahkan secara spontan
mengalami regresi. Setelah kerusakan visual terjadi, pengobatan dapat
dipertimbangkan (Nair et al, 2014).
Peran optimal kemoterapi dalam glioma saraf optik anak belum
ditentukan. Kemoterapi memiliki kemungkinan menunda atau sepenuhnya
menghindari penerapan terapi yang memiliki potensi toksisitas jangka panjang
yang lebih besar (mis. Radioterapi dan pembedahan). Ini sangat penting untuk
pasien yang sangat muda, dan laporan telah menyarankan bahwa kemoterapi harus
menjadi modalitas pengobatan utama untuk ONG pada anak di bawah usia 3 tahun
(Nair et al, 2014).
Radioterapi telah digunakan sejak lama untuk pengobatan glioma nervus
optik. Ada banyak studi lembaga tunggal yang dilaporkan dalam literatur yang
menunjukkan bahwa pasien dengan glioma saraf optik yang diobati dengan
radioterapi memiliki 10 tahun bebas progresivitas sekitar 80%. Sekitar sepertiga
dari pasien mengalami peningkatan objektif dalam penglihatan, dan sekitar
42

setengah dari mereka menunjukkan beberapa tanda regresi tumor pada pencitraan
(Nair et al, 2014).
Tindakan bedah dipertimbangkan hanya jika ada proptosis yang tidak
dapat diterima secara kosmetik, pembesaran atau ekstensi tumor yang
terdokumentasi secara radiologis yang jelas (tidak melibatkan kiasma optik), atau
kombinasi dari semuanya ini. Pada pasien dengan visus yang masih baik, operasi
memiliki risiko menurunkan visus. Pilihan metode bedah untuk eksisi tumor yaitu
melalui orbita atau kraniotomi (Nair et al, 2014).

1.6 TUMOR PADA ORBITA


Tumor orbita adalah lesi heterogen yang berasal dari berbagai struktur
dalam orbita. Struktur dari orbita dibagi 4 yaitu bola mata, ekstrakonal, konal, dan
intrakonal (Darsaut et al, 2001). Orbital tumor dibagi berdasarkan lokasi asal dan
histologi. Berdasarkan lokasi asalnya, tumor orbita dibagi menjadi: 1) lesi primer,
yang berasal dari orbita; 2) lesi sekunder merupakan perluasan ke orbita dari
struktur lain yang berdekatan, contohnya tumor intrakranial dan tumor sinus
paranasal; 3) tumor metastasis. Berdasarkan histologinya, tumor orbita dibagi
menjadi: 1) tumor epitel yaitu adenocarcinoma, cylindrinoma, karsinoma
(sekunder); 2) tumor mesenkim yaitu fibroma, lipoma, rhabdomyosarcoma,
osteoma, dan sarcoma; 3) tumor vascular yaitu hemangioma dan lymphangioma;
4) tumor neurogenic yaitu glioma, schwanoma, neurofibroma, dan meningioma; 5)
tumor limfatik dan hematogen yaitu limfoma, limfosarcoma, limfoid chamartoma
dan plasmocytoma; 6) tumor developmental yaitu teratoma, kista dermoid dan
choristoma; 7) tumor pigmen yaitu melanoblastoma (Parashkevova et al, 2007).
Kejadian tumor orbita sangat jarang, diperkirakan hanya 3,5% - 4% dari
penyakit patologi pada mata. Tiga tumor orbita teratas pada anak-anak yaitu kista
dermoid, capillary hemangioma dan rhabdomyo sarcoma. Tiga tumor orbita teratas
pada dewasa yaitu tumor limfoid, cavernous hemangioma, dan meningioma
(Parashkevova et al, 2007).
43

Manifestasi Klinis
Gejala utama yang muncul adalah proptosis akibat dari efek massa tumor
yang mebesar. Perubahan pada visus dan lapang pandang, diplopia, gangguan
pergerakan otot ekstraokular, atau abnormalitas pada pupil dapat diakibatkan dari
invasi atau kompresi bagian intraorbita akibat tumor solid. Disfungsi kelopak mata
dan lagofthalmus atau disfungsi kelenjar lakrimal dapat menyebabkan keratitis
eksposure, keratopati dan penipisan pada kornea.

Diagnosis
Diagnosis tumor orbita didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi, pemeriksaan status lokalis tumor, dan pemeriksaan penunjang seperti
CT Scan/MRI Kepala dengan kontras serta pemeriksaan histopatologi anatomi.
Hemangioma kavernosa lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki.
Tumor ini tumbuh lambat dan menyebabkan proptosis, namun tidak dirasakan
nyeri. Etiologinya dapat akibat rangsangan sitokin dan hormonal pada saat
pubertas dan selama kehamilan.
Pemeriksaan histopatologi anatomi didapatkan rongga kavernosa dilatasi
yang dibatasi oleh sel endotel pipih dan dipisahkan oleh collagenous septa dan
dibungkus oleh fibrous pseudocapsule. Pemeriksaan CT Scan didapatkan batas lesi
tegas, homogen dan ovoid.3 Hemangiopericytoma bisa jarang terjadi (1%). Tidak
ada retangan umur dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Gejala dan
tanda yang didapatkan yaitu proptosis dan teraba massa. Tumor ini dapat kabuh
dan metastasis. Pemeriksaan hstopatologi anatomi didapatkan adanya staghorn
vessel.3 Limfoma sering ditemukan pada pasien tua (≥60 tahun). Malignant
limfoma paling sering terjadi (67-90%). Gejala dan tanda didapatkan adanya
proptosis, terhambatnya gerak bola mata ringan dan sering tidak nyeri. Sebagian
besar lesi unilateral (76%). Lokasi terbanyak di ekstrakonal. Pemeriksaan CT Scan
atau MRI menunjukkan tumor tumbuh cenderung mengikuti bentuk (mold)
struktur orbita dan dapat terbentuk bone remodeling. Tumor kelenjar lakrimal
44

sekitar 514% dari massa orbita yang dibiopsi. Lima puluh persen adalah jinak dan
sisanya ganas. Insiden pleomorphic adenoma atau benign mixed tumor paling
sering dijumpai. Tumor ini tumbuh lambat dan dapat menyebabkan proptosis
karena menggeser bola mata ke bawah. Tidak dikeluhkan adanya nyeri. Analisis
histologi menunjukkan pseudokapsul fibrosa dengan sel epitel yang membentuk
tabung yang menyerupai saluran. Pemeriksaan CT Scan dan MRI didapatkan
massa berbatas tegas di superotemporal orbita.3
Adenoid cystic carcinoma sekitar 5% dari seluruh neoplasma orbita.
Tumor ini bersifat infiltratif cenderung menyebar ke perineural. Pasien biasanya
mengeluh nyeri. Prognosis pasien ini buruk. Analisis histologi menunjukkan tumor
tidak berkapsul dan terdapat cribriform (swiss cheese-like) pattern.3 Optic nerve
glioma merupakan tumor primer yang paling sering. Sering muncul pada pasien
dengan neurofibromatosis I (NF1). Analisis histologi menunjukkan hairlike
(pilocytic) process, dan rosenthal fibers. Pemeriksaan MRI dengan kontras
didapatkan lesi isointens pada T1-weighted dan lesi isointens hingga hiperintens
pada T2-weighted. Terdapat perbedaan penampakan optic nerve glioma pada
pasien tanpa dan dengan NF1 yaitu pada NF1, optic nerve berlekok-lekok dan
mengkerut serta terdapat pembesaran difus. Sedangkan tanpa NFI, glioma
cenderung fusiform.3 Optic nerve sheath meningioma berasal dari arachnoid
sheath dari optic nerve. Lesi ini sering ditemukan pada perempuan daripada laki-
laki. Gejala dan tanda yang sering ditemukan yaitu hilangnya penglihatan lambat
namun progresif, atropi papil dan adanya optociliary shunt vessel akibat kompresi
central retinal vein dalam waktu lama. Analisis histologi didapatkan psammoma
bosies (kalsifikasi bulat dikelilingi oleh sel meningioma) Schwannomas
(neurilemomas) memiliki kapsul, slowly progressive dan merupakan proliferasi
jinak sel Schwann. Lokasi lesi di ekstrakonal tepatnya di superior orbita.
Manifestasi klinis tidak spesifik dan dapat menyerupai hemangioma kavernosa.
MRI lebih baik daripada CT untuk mengevaluasi tumor ini sehingga memudahkan
rencana preoperatif dengan menggambarkan lokasi yang tepat dan perluasan
45

penyakit.3 Neurofibroma merupakan tumor jinak dan tubuh lambat. Neurofibroma


merupakan tumor saraf perifer yang terdiru dari gabungan fibroblast, Schwann
cells dan axons. Tipenya ada 3 macam yaitu terlokalisasi, difus dan pleksiform.
Tipe pleksiform adalah yang terbanyak. Hasil analisis histologi menggambarkan
spindleshaped cells tersusun bentuk pita dengan latar belakang myxoid stroma
yang longgar. Sebagian besar neurofibroma adalah jinak.3 Melanoma Melanoma
orbital berasal dari uvea dan mayoritas lesi berasal dari koroid (90%). Melanoma
koroid dan ciliary body memiliki prognosis yang buruk. Melanoma koroid
cenderung untuk metastasis dan 50% meninggal akibat metastasis. Penyakit ini
asimptomatik, namun bisa terjadi penurunan penglihatan, gangguan lapang
pandang atau floater. Jika lesi terus tumbuh maka dapat menyebabkan retinal
detachment. Hasil analisis histologi pada menunjukkan bahwa melanoma koroid
merupakan spindle cells atau epithelioid cells. Pemeriksaan MRI lebih baik
daripada CT Scan karena dapat mengidentifikasi ukuran tumor, perluasan
ekstraokular dan infiltrasinya ke ciliary body serta mengidentifikasi retinal
detachment dan penyebaran ekstrasklera.3 Prevalensi tumor orbita akibat
metastasis sekitar 1-3% dari keseluruhan tumor orbita. Kanker payudara
merupakan tipe yang paling sering menyebabkan metastasis, kemudian diikuti oleh
kanker prostat, melanoma dan kanker paru-paru. Tandatanda yang paling sering
terjadi adalah proptosis dan gangguan pergerakan mata. Pemeriksaan imaging
menunjukkan infiltrasi ke otot, lemak dan tulang orbita.3
Pemeriksaan imaging dapat membantu untuk mendiagnosis dan
mengevaluasi neoplasma orbita. Analisis histologi diperlukan sebagai panduan
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Deskripsi lokasi yang tepat, keterlibatan
kompartemen orbita, penyebaran ke apex orbita atau sepanjang perineural dan
abnormalitas intracranial memberikan informasi apa yang terlihat melalui
funduskopi dan memudahkan pemulihan terapi.3,4
46

Tatalaksana
Pilihan terapi pembedahan pada tumor orbita berdasarkan pada lokasi,
ukuran, demarkasi dan tipe histologi dari lesinya. Terapi yang dipilih hendaknya
menyebabkan trauma paling minimal. Prosedur yang dilakukan berkisar dari
biopsi untuk mengkonfirmasi diagnosis hingga reseksi subtotal pada proses
infiltratif yang difus dengan mempertahankan fungsi dan eksisi komplit lesi yang
berbatas tegas. Terapi pembedahan pada orbita dilakukan menggunakan salah satu
dari dua tipe pendekatan yaiu transcranial atau direct extracranial.5 Pendekatan
transcranial dilakukan pada lesi yang meluas di belakang orbita hingga ke rongga
kranial atau berlokasi pada optic canal atau superior orbital fissure. Jenis
pendekatan transcranial yaitu 1) subfrontal pada intraorbital optic nerve glioma
yang meluas ke ronggal kranial dan tumor saraf optik sebelah lateral; 2)
frontolateral pterional pada tumor di superior orbital fissure, optic canal, orbital
apex dan intraorbital optic nerve, tumor di sebelah dorsal optic nerve dan tumor
ekstrakonal dan intrakonal sebelah lateral; 3) pterional ekstradural pada tumor
periorbita dan tumor yang dekat dengan superior dan inferior orbital fissure serta
sinus kavernosis. Pendekatan ini digunakan untuk dekompresi optic nerve pada
optic canal; 4) pterional contralateral pada tumor di orbital apex sebelah medial
dan aneurisma pada arteri optalmika.5 Pendekatan extracranial dibagi menjadi 5
tipe yaitu : 1) lateral orbitotomy pada tumor periorbita dan intrakonal yang
berbatas tegas, sebelah dorsal, lateral dan basal dari optic nerve dan tumor kelenjar
lakrimal; 2) transethmoidal pada tumor ekstrakonal sebelah medial dari optic
nerve; 3) frontal trans-sinusoidal pada tumor di sinus frontalis; 4) transmaxillary
pada lesi di basal, intrakonal atau ekstrakonal yang meluas ke sinus maksilaris; 5)
transconjunctival pada tumor intrakonal dan ekstrakonal di basal dan medial.
Selain transcranial dan extracranial, terdapat juga satu pendekatan kombinasi
keduanya yatu supraorbital melalui insisi pada alis. Terapi ini diindikasikan pada
lesi intrakonal dan ekstrakonal yang berbatas tegas terletak di atas optic nerve.5,6
47

BAB 3. KESIMPULAN

Tumor merupakan penyakit tidak menular yang ditandai dengan pertumbuhan sel tidak
normal dan tidak terkendali yang dapat merusak jaringan sekitarnya serta dapat menjalar ke
tempat yang jauh dari asalnya yang disebut metastasis. Mata sebagai indera manusia untuk
melihat pun tidak terlepas dari penyakit neoplasma (tumor) baik jinak maupun ganas. Tumor
mata dapat berupa tumor yang menyerang rongga orbita, sebagian merusak jaringan lunak
mata, saraf mata, dan kelenjar air mata. Tumor mata jarang ditemukan, frekuensinya hanya 1%
di antara penyakit keganasan lainnya. Tumor mata dapat menjadi penyebab utama kehilangan
ketajaman penglihatan dibanding penyakit mata lainnya serta mengakibatkan cacat kosmetik
dan kematian.
Tumor pada palpebra antara lain karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, karsinoma
kelenjar sebasea. Tumor pada konjungtiva antara lain ocular surface squamous neoplasia (OSSN),
tumor melanositik epitel (nevus, PAM, melanoma). Tumor pada uvea meliputi melanoma iris,
badan siliar dan koroid. Tumor pada segmen posterior meliputi retinoblastoma dan glioma nervus
optik.
Diagnosis penyakit tumor pada mata dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
yang disertai biopsi untuk mengetahui jens maupun grading dari sel tumor. Namun, jika tumor
berada pada jalur refraksi, maka pemeriksaan biopsi menjadi kontraindikasi, sehingga hanya dapat
dilakukan pencitraan seperti CT-Scan dan MRI.
Penatalaksanaan penyakit tumor pada mata umumnya bertujuan untuk mempertahankan
visus, baru jika visus tidak dapat dipertahankan, minimal terapi dapat mencegah metastasis.
Berdasarkan metodenya, tatalaksana tumor mata dapat berupa observasi, kemoterapi, radiasi, dan
pembedahan. Observasi umumnya dilakukan pada tumor jinak mata yang memiliki kemungkinan
regresi dengan sendirinya seperti glioma yang tidak disertai penurunan visus. Kemoterapi memiliki
kemungkinan menunda atau sepenuhnya menghindari penerapan terapi yang memiliki potensial
toksisitas jangka panjang yang lebih besar (misalnya radioterapi dan pembedahan), umumnya
dilakukan pada pasien anak-anak. Radioterapi misalnya brachytherapy sangat baik dalam globe
preserving, namun dapat berefek samping berupa penurunan visus jika digunakan dalam jangka
panjang. Pembedahan seperti enukleasi umumnya dilakukan jika pada pasien sudah tidak
memungkinkan untuk mempertahankan visusnya, atau tumor dengan risiko metastasis yang besar.
48

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, EVA RP, Asbury T. 2018. Oftalmologi Umum. Edisi 16. Jakarta:
Penerbit Widya Medika.
2. Khurana AK. 2007. Comprehensive Ophtalmology. Edisi 4. New Delhi: New Age
International.
3. Kanski J J. 2017. Atlas Bantu Oftalmologi. Jakarta: Hipokrates.
4. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi Keenam. 2006.
Jakarta: EGC.
5. World Health Organization. 2015. Glaucoma. Available at :http://who.int. [diakses 3
Agustus 2019].
6. Ilyas, Sidarta. 2016. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
7. Ilyas S, Tanzil M, Salamun, Azhar Z. 2016. Sari Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
8. Ilyas, Sidarta. 2015. Atlas Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Sagung Seto.
9. Ilyas, Sidarta. 2015. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
10. James B, Chew C, Bron A. 2016. Lecture Notes Oftalmologi ed 10. Jakarta: EMS.
11. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 5 tahun 2014 tentang Panduang Praktik Klinis Bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Depkes RI.
th
12. Khaw T, Shah P, Elkington AR. 2017. ABC of Eyes.6 Edition. London: BMJ
Publishing Group.
13. Gleadle, Jonathan. 2015. At A Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
EGC Medical Series.
14. James B, Chew C, Bron A. 2015. Anatomi dalam Oftalmologi. Edisi X. Jakarta:
Penerbit Erlangga. p. 1-17
15. American Academy of Ophthalmology. 2017. Basic And Clinical Science Course.
San Fransisco: American Academy of Ophthalmology.
49

16. Gerhard KL, Oscar, Gabriele, Doris, Peter. 2016. Ophtalmology a short textbook.
Second edition. New York: Thieme Stuttgart.
17. Khaw PT, Elkington AR. 2018. AC Of Eyes. Edisi ke-5. London: BMJ Book.
18. American Academy of Ophthalmology. 2016. Review of Retinoblastoma. The
Ophthalmic News and Education Network
19. American Academy of Ophtalmology. 2019. Ophtalmic Pathology and Intraocular
Tumors, section 4, 2018-2019. San Francisco American Academy of Ophthalmology
20. American Joint Committee on Cancer. 2017. Uveal Melanoma. In: AJCC Cancer
Staging Manual. 8th ed. New York, NY: Springer.
21. Gichuhi S, Sagoo MS, Weiss HA, et al. 2013. Epidemiology of ocular surface
squamous neoplasia in Africa. Trop Med Int Health.18:1424‒1443.
22. Gichuhi S, Ohnuma S, Sagoo MS, et al. 2014. Pathophysiology of ocular surface
squamous neoplasia. Exp Eye Res. 129:172‒182.
23. Honavar, S. G., & Manjandavida, F. P. 2015. Tumors of the ocular surface: A
review. Indian journal of ophthalmology, 63(3), 187.
24. Krantz, B. A., Dave, N., Komatsubara, K. M., Marr, B. P., & Carvajal, R. D. 2019.
Uveal melanoma: epidemiology, etiology, and treatment of primary disease. Clin
Ophthalmol. 2017; 11: 279–89. Advances in Dermatology and Allergology.
25. Li, B., & Zhang, X. 2020. A Review of Retinoblastoma from the Perspective of
Integrative Medicine. In Integrative Ophthalmology (pp. 103-107). Springer,
Singapore.
26. Nair, A. G., Pathak, R. S., Iyer, V. R., & Gandhi, R. A. (2014). Optic nerve glioma:
an update. International ophthalmology, 34(4), 999-1005.
27. Paul, Riordan-Eva dan James, J Ausburger. 2017. Vaughan & Asbury General
Ophthalmology. New York: McGraw Hill Medical
28. Shields, C. L., Chien, J. L., Surakiatchanukul, T., Sioufi, K., Lally, S. E., & Shields,
J. A. 2017. Conjunctival tumors: review of clinical features, risks, biomarkers, and
outcomes—The 2017 J. Donald M. Gass Lecture. The Asia-Pacific Journal of
Ophthalmology, 6(2), 109-120.
29. American Academy of Ophtalmology, 2012. Orbital Anatomy, In:
Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. Chapter 1. Section 7. American
50

Academy of Ophtalmology.
30. Shetlar DJ. 2013. Tumor Palpebra. Dalam: Vaughan DG, Asbury T (eds).
Ofthalmologi umum. Edisi ke 17. Jakarta : EGC.
31. Parashkevova B, Balabanov C dan Stateva D. Orbital Tumor – Clinial Cases
Presentation. Journal of IMAB – Annual Proceding (Scientific Paper). 2007;
13(1):47-50.
32. Darsaut TE, Lanzino G, Lopes B dan Newman S. An Introductory Overview of
Orbital Tumors. Neurosurg Focus. 2001;10(5):19.
33. Tailor TD, Gupta D, Dalley RW, Keene CD dan Anzai Y. Orbital Neoplasms in
Adults: Clinical, Radiologic, and Pathologic Review. Radiographics.rsna.org. 2013:
1739-1759.
34. Ushalatha B dan Sambasivarao. Role of CT in the Evaluation of Orbital Tumors.
IOSR-JDMS. 2016; 15(4):16-19.
35. Hassler W, Unsold R dan Schick U. Orbital Tumors: Diagnosis and Surgical
Treatment. Dtsch Arztebl. 2007;104(8): 496-501
36. Pfortner R, Mohr C, Daamen J, dan Metz A. Orbital Tumors: Operative and
Therapeutic Strategies. Facial Plast Surg. 2014(30): 570-577.
37. Chiriac A, Daja S, Iliescu B dan Poeata I. Our experience in surgical treatment of
Intraorbital Tumors. Romanian Neurosurgery. 2012; 19(4): 289-293.

Anda mungkin juga menyukai