Anda di halaman 1dari 27

PBL

GANGGUAN LAPANG PANDANGAN

Disusun oleh:
Felicia Alvita Tjahjono 011723143017
Maya Hapsari Kusumaningtyas 011723143087
Nurul Laily Masruroh 011723143149

Pembimbing:
Lukisiari Agustini, dr., Sp. M(K)

DEPARTEMEN/ SMF ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

2019

1
DAFTAR ISI

Halaman Sampul .............................................................................................. 1


DAFTAR ISI .................................................................................................... 2
BAB 1 LATAR BELAKANG ......................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
2.1 Lapang Pandangan ............................................................................... 4
2.2 Anatomi dan Histologi Retina .............................................................. 4
2.3 Nervus Optikus ..................................................................................... 5
2.4 Fisiologi Mata ...................................................................................... 6
2.5 Proses Visual Mata ............................................................................... 6
2.6 Manifestasi Klinis ................................................................................ 8
2.7 Pemeriksaan Lapang Pandangan .......................................................... 13
2.8 Diagnosis Banding ............................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24

2
BAB 1
LATAR BELAKANG

Lapang pandangan adalah peta yang merepresentasikan retina, nervus


optikus dan central visual system pasien. Lapang pandangan merupakan seluruh
daerah yang dapat dilihat tanpa mengalihkan pandangan. Lapang pandangan
merujuk pada area total dimana objek dapat terlihat di pengelihatan perifer saat
mata fokus pada central point (Lusby, 2017).
Pada kelainan lapang pandangan, dapat terjadi penyempitan dari batas
lapang pandangan tersebut atau adanya bintik buta di berbagai macam daerah di
lapang pandangan. Oleh karena kelaian lapang pandangan yang besar sekalipun
dapat saja tidak jelas bagi pasien pemeriksaan lapang pandangan sebaiknya
dilakukan pada setiap pemeriksaan yang akan dapat membantu diagnosis
penyebabnya. (Kanski, 2016)
Hasil yang abnormal dapat disebabkan oleh penyakit atau kelainan pada
sistem saraf pusat seperti tumor yang dapat merusak atau menekan (kompresi)
bagin dari otak yang berhubungan dengan sistem pengelihatan. Penyakit lain yang
mungkin mempengaruhi lapang pandangan antara lain diabetes mellitus,
glaucoma, macular degeneration, hipertiroid dan masih banyak lagi. (Lusby,
2017)

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lapang Pandangan


Lapang pandangan adalah peta yang merepresentasikan retina,
nervus optikus dan central visual system pasien. (Kanski, 2016).
Lapang pandangan merupakan seluruh daerah yang dapat dilihat
tanpa mengalihkan pandangan. Lapang pandangan merujuk pada area total
dimana objek dapat terlihat di pengelihatan perifer saat mata fokus pada
central point. (Kanski, 2016).
Terdapat tiga jenis lapang pandangan yaitu lapang makular yaitu
lapang pandangan yang paling jelas dilihat oleh kedua mata, lapang
binokular yang dilihat oleh kedua mata secara umumnya dan lapang monokular
yaitu kawasan yang bisa dilihat oleh salah satu mata saja (Lionel, 2008).
Lapang pandangan mata yang normal adalah 60o ke superior dan nasal, 70o
ke inferior, dan >90o ke temporal (Kanski, 2016).
2.2 Anatomi dan Histologi Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis,
semitransparan yang berada di lapisan dalam dinding posterior bola mata
melapisi dua pertiga bagia. Retina terdiri dari 10 lapisan, jika dimulai dari
sisi terdalamnya maka susunannya sebagai berikut : 1. membran limitan
interna, 2. lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion
yang berjalan menuju nervus optikus, 3. lapisan sel ganglion, 4. lapisan
pleksiform, 5. lapisan inti dalam, 6. lapisan pleksiform luar, 7. lapisan inti
luar, 8. membran limitan eksterna, 9. lapisan fotoreseptor dan 10. epitel
pigmen retina. (Riordan-Eva et Witcher, 2018)
Pada bagian tengah retina posterior terdapat makula berdiameter
5.5-6.0mm yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi
cabang pembuluh darah retina temporal. Makula lutea adalah daerah
berdiameter 3mm yang mengandung pigmen luteal kuning xantofil. Fovea
yang merupakan zona avaskular retina terdapat di pusat makula dengan
diameter 1,5mm. Medial dari fovea terdapat discus opticus, yaitu bagian

4
dari nervus opticus yang tampak dengan oftalmoskop. (Riordan-Eva et
Witcher, 2018)
2.3 Nervus Optikus
Nervus optikus terdiri dari 1 juta akson yang muncul dari sel
ganglion di retina. Nervus optikus muncul dari belakang bola mata dan
meninggalkan cavum orbita melalui optic cana luntuk masuk ke cavitas
kepala. Nervus optik kemudian bergabung dengan nervus optik dari sisi
berlawanan untuk membentuk chiasma optik. (Riordan-Eva et Witcher,
2018)

Gambar 2.3. Jalur visual (visual pathway) (Remington, 2012)

Di dalam chiasma optik, serabut dari setengah bagian sisi nasal


(medial) setiap retina, termasuk setengah bagian nasal makula,
menyilang garis tengah dan masuk ke traktus optikus sisi kontralateral,

5
sedangkan serabut-serabut dari setengah bagian temporal (laretal) setiap
retina, termasuk setengah bagian temporal makula berjalan ke posterior
dalam traktus optikus sisi yang sama. Traktus optikus berjalan menuju
corpus geniculatus lateralis tempat traktus optikus akan bersinaps.
Akson sel saraf dalam corpus geniculatus lateralis keluar sebagai
radiatio optika dan menuju korteks lobus oksipitalis (visual cortex).
(Remington, 2012)
2.4 Fisiologi Mata
Tidak semua cahaya yang melewati kornea mencapai reseptor peka
cahaya oleh karena adanya iris. Iris merupakan suatu otot polos tipis
berpigmen yang membentuk struktur seperti cincin di dalam aqueous
humor. Lubang bundar di bagian tengah iris tempat masuknya cahaya ke
bagian dalam mata adalah pupil. Iris mengandung kelompok jaringan otot
polos, yaitu otot sirkuler dan radial. Pupil akan mengecil atau miosis
apabila otot sirkuler (konstriktor) berkontraksi. Miosis terjadi pada cahaya
terang untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata. Apabila otot
radialis (dilator) berkontraksi, ukuran pupil akan meningkat atau midriasis
yang terjadi pada cahaya redup untuk meningkatkan jumlah cahaya yang
masuk. Otot-otot iris diinervasi oleh sistem saraf otonom. Serabut saraf
parasimpatetik menginervasi otot sirkuler untuk miosis, sedangkan serabut
saraf simpatetik menginervasi otot radial untuk midriasis (Sherwood,
2015)
Lensa memiliki kemampuan akomodasi yang berfungsi untuk
menyesuaikan kekuatan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat maupun
jauh dapat difokuskan di retina. Kekuatan lensa bergantung pada
bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah bagian dari
korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior. Pada
mata normal, otot siliaris mengalami relaksasi dan lensa mendatar untuk
penglihatan jauh, tetapi otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan
lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat untuk penglihatan dekat.
Serat-serat saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk
penglihatan jauh, sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan

6
kontraksi otot untuk penglihatan dekat (Sherwood, 2015).
2.5 Proses Visual Mata
Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata melewati kornea
dan lensa. Kornea berfungsi untuk memfokuskan cahaya sedangkan lensa
berfungsi untuk mengatur fokus cahaya agar jatuh tepat pada retina.
Selanjutnya, dari proses tersebut terbentuk bayangan yang kecil dan
terbalik di retina. Informasi dari retina akan diteruskan dalam bentuk
sinyal listrik ke bagian otak yang lain melalui nervus opticus. Nervus
opticus dari mata kanan dan kiri bersilangan sebagian di kiasma optikum.
Persilangan ini membuat otak dapat menerima sinyal dari kedua mata dan
menghasilkan pandangan binokular. (Islam et al, 2016)
Mata manusia terdiri dari sel batang dan sel kerucut. Sel kerucut
terbagi menjadi 3 jenis, yaitu merah, hijau, dan biru. Setiap jenis sel
kerucut memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap tingkatan warna yang
berbeda. Tumpang tindih sensitivitas tersebut membuat sel-sel kerucut
bekerja bersama-sama untuk menghasilkan informasi mengenai seluruh
warna yang dapat dilihat. (Islam et al, 2016)
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous
humour (n=1.33), dan lensa (n=1.40), dan badan vitreous. Sebagian besar
cahaya direfraksi di permukaan anterior kornea. Kornea bersifat sangat
retraktif namun cahaya tidak diatur dan tidak dipertajam. Lensa berfungsi
untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada
benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati
pupil dan mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah
perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan ke
korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina. (Singh, 2014)
Daerah di sekitar fovea, yang dinamakan makula, sangat penting
untuk membaca dan menyetir. Degenerasi makula yang menyebabkan
kematian fotoreseptor di makula merupakan penyebab utama kebutaan
pada populasi berusia lanjut di negara maju. (Islam et al, 2016)
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina yang
terletak di bagian luar dan sensory retina yang terletak di bagian dalam.

7
Pigmented retina memiliki epitel kubus selapis dengan titik – titik melanin
(melanine granules) yang bersama-sama dengan pigmen pada koroid
membentuk suatu matriks hitam yang mempertajam penglihatan dengan
mengurangi penyebaran cahaya dan mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor
yang ada. Sensory retina terbentang dari tepi diskus optikus di posterior
hingga epitel siliaris di anterior. Pada sensory retina, terdapat tiga lapis
neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari
setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari
berbagai lapisan bersatu. Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan
sel bipolar dan ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak
diantara lapisan sel bipolar dan ganglionik. Diskus optikus memiliki
bagian bernama papilla optikus yang dibentuk oleh tonjolan serabut saraf
yyang berjalan dari retina ke nervus optikus. Papilla optikus hanya
memiliki sedikit sekali fotoreseptor dan menjadi bintik buta (blind spot)
retina. Fovea centralis merupakan daerah dengan penglihatan paling tajam.
(Kierszenbaum &Tres, 2019)
Setelah potensial aksi dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal
yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, kiasma optikum, korpus
lgeniculatum lateral dari thalamus, colliculi superior, dan korteks visual
yang terletak di lobus oksipital serebri (Sherwood, 2015).

2.6 Manifestasi Klinis


1. Scotoma
Scotoma adalah suatu area lapang pandangan yang sensitivitas
visualnya terdepresi dikelilingi lapang pandangan yang normal. Tipe
scotoma meliputi scotoma central, paracentral, dan caecocentral. Scotoma
central biasanya terjadi pada neuritis optic. Scotoma paracentral biasanya
terjadi pada glaucoma atau lesi yang mengenai diskus optic. Scotoma
caecocentral biasanya terjadi pada neuropati optic toksik (Rowe, 2016).

8
2. Arcuate visual field defect

9
Terjadi kerusakan serabut saraf retina pada bagian superior atau
inferior. Biasa terjadi pada glaucoma, neuritis optic, dan neuropati optic
iskemik (Rowe, 2016).

3. Sector-shaped (wedge)
Berasal dari scotoma kecil pada bagian central yang meluas
(Rowe, 2016).

10
4. Altitudinal visual field defect
Area defek meliputi 2 kuadran yaitu 2 kuadran superior atau 2
kuadran inferior. Biasanya terjadi pada neuropati optic iskemik (Rowe,
2016).

11
5. Constriction/diffuse defet
Defek yang difus atau penyempitan lapang pandangan dapat terjadi
karena katarak, pupil yang miosis, glaucoma, atau koreksi refraksi yang
tidak tepat (Rowe, 2016).

6. Hemianopia
Defek meliputi setengah dari lapang pandangan. Heteronimus
hemianopia melibatkan sisi lapang pandangan yang berbeda. Contohnya
pada lesi kiasma optikum yang menyebabkan bitemporal heteronimus
hemianopia. Homonimus hemianopia melibatkan sisi lapang pandangan
yang sama. Contohnya pada lesi jaras retrokiasma (Rowe, 2016).

12
13
7. Quadrantanopia
Defek ini meliputi satu kuadran pada lapang pandangan.
Homonimus quadrantanopia meliputi satu kuadran pada superior atau
inferior pada sisi yang sama. Biasanya terjadi pada lesi di lobus temporal,
parietal, atau oksipital (Rowe, 2016).

14
15
2.7 Pemeriksaan Lapang Pandangan
1. Tes konfrontasi
Tes ini paling sederhana, dapat dilakukan di klinik maupun
bedside. Prinsipnya lapang pandangan pasien dibandingkan dengan lapang
pandangan pemeriksa yang dianggap normal. Caranya adalah pemeriksa
duduk berhadapan dengan pasien dengan jarak 60 cm. Pasien diminta
untuk menutup salah satu matanya. Apabila pasien menutup mata kirinya
maka pemeriksa menutup mata kanan pemeriksa. Pasien diminta untuk
memfokuskan mata yang tidak ditutup pada suatu titik. Pemeriksa
menggerakkan tangan pemeriksa dari perifer menuju ke sentral hingga
pasien dapat melihat tangan pemeriksa pada 4 kuadran. Cara lain adalah
dengan menggunakan finger counting pada 4 kuadran. Pemeriksaan

16
diulang untuk mata yang sebelahnya (Riordan-Eva & Augsburger, 2018).
2. Perimeter (Goldmann)
Prinsip pemeriksaan perimeter: pandangan pasien fiksasi pada satu
titik, jarak antara penderita dengan layar atau alat pemeriksaan sesuai
standar, iluminasi dan kontras dari latar belakang harus seragam dan
standar, ukuran dan kecerahan target sesuai standar, dan protocol universal
dalam melakukan pemeriksaan (Riordan-Eva & Augsburger, 2018).
Alat berbentuk setengah bola dengan cahaya yang dapat berpindah
di dalamnya. Caranya pasien diminta untuk duduk di depan alat dengan
dagu dan dahi menempel pada penyangga dagu dan dahi. Salah satu mata
pasien ditutup. Mata yang tidak ditutup fokus pada sebuah objek yang
diletakkan ditengah alat. Luas lapang pandangan diperiksa dengan
menggunakan cahaya yang muncul, lokasinya acak dengan ukuran dan
intensitas yang beruba-ubah (Riordan-Eva & Augsburger, 2018).
3. Layar Tangent
Pasien duduk 1 meter dari layar hitam berpola dan salah satu mata
terfiksasi pada titik tengah layar. Pemeriksa akan menggeser objek pelahan
dari tepi ke tengah dan pasien diminta memberitahu pemeriksa jika objek
mulai terlihat. Diulangi sampai 360 derajat. Pemeriksaan ini utamanya
untuk memeriksa lapang pandangan sentral seluas 30o (Riordan-Eva &
Augsburger, 2018).
4. Computerized Automated Perimeter
Pemeriksaan ini adalah yang paling sensitif dan canggih,
menggunakan alat mangkuk yang mirip dengan perimeter goldmann,
menampilkan titik – titik cahaya uji dengan berbagai intensitas dan ukuran.
Alat terhubung dengan computer dimana komputer akan menguji ulang
banyak titik (angka dalam kurung) untuk menilai konsistensi respons
pasien. Gambaran hasil diagram “gray scale”, Semakin gelap daerah
tersebut,maka semakin buruk sensitivitas visual lokasi tersebut (Riordan-
Eva & Augsburger, 2018).

17
5. Amsler Grid

Pemeriksaan ini digunakan untuk memeriksa lapang pandangan


sentral seluas 20oX20o. Pemeriksaan dilakukan pada jarak baca normal
dengan mata kanan dan kiri secara bergantian. Pasien dapat memakai
kacamata baca apabila diperlukan. Pasien diminta untuk fiksasi pandangan
ke titik di tengah lalu diminta untuk melihat apakah ada garis yang tidak
lurus/bergelombang/bengkok, apakah ada bagian yang hilang/kabur
(Riordan-Eva & Augsburger, 2018).

2.8 Diagnosis Banding

Terdapat beberapa penyakit dengan manifestasi klinis berupa


gangguan lapang pandangan. Diagnosis penyakit dengan gangguan lapang
pandangan dapat dikelompokkan sebagai berikut.

1. Glaukoma

Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbanyak setelah


katarak baik di seluruh dunia maupun di Indonesia. Berbeda dengan
katarak, kebutaan yang diakibatkan glaucoma bersifat permanen atau tidak
dapat diperbaiki (irreversible). Sebanyak 60 juta orang di dunia menderita
glaucoma, sekitar 6 juta orang diantaranya buta karena glaucoma
(Kemenkes RI, 2015; Kamila, 2014; Riordan-Eva & Augsburger, 2018).

18
Glaukoma adalah neuropati optic kronik disertai cupping diskus
optic dan penyempitan lapang pandangan yang bersifat kronis dan
progresif. Meskipun kenaikan tekanan intraocular menjadi salah satu dari
faktor risiko primer, ada atau tidaknya faktor ini tidak merubah definisi
penyakit. Pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi perkembangan
galukoma adalah pemeriksaan tekanan intraokular, tajam penglihatan dan
perimetri. (Kamila, 2014, Riordan-Eva & Augsburger, 2018).

Proses kerusakan papil saraf optic (cupping) akibat tekanan


intraokular yang tinggi atau adanya gangguan vaskular akan bertambah
berat seiring dengan berjalannya waktu. Pada akhirnya, kerusakan jaringan
terus berlangsung dan menimbulkan penyempitan lapang pandangan dari
ringan hingga berat. (Kamila, 2014)

Menurut American of Ophtalmology, klasifikasi glaucoma dibagi


menjadi :

1. Glaukoma Sudut Terbuka (Open Angle Glaucoma)


a. Glaukoma Primer Sudut Terbuka (Primary Open Angle
Glaucoma/POAG)
POAG terjadi ketika tidak terdapat penyakit mata lain atau
penyakit sistemik yang menyebabkan peningkatan hambatan
terhadap aliran akuos atau kerusakan terhadap saraf optik, biasanya
disertai dengan peningkatan TIO. Glaukoma primer sudut terbuka
merupakan jenis glaukoma terbanyak dan umumnya mengenai
umur 40 tahun ke atas. Proses patoologis dikaitkan dengan proses
degenerative pada trabecular meshwork termasuk deposisi material
ekstraseelular pada trabecular meshwork. Akibatnya aliran aquos
humor menurun dan terjadi peningkatan TIO (Riordan-Eva &
Augsburger, 2018; Bowling, 2016).
b. Glaukoma dengan Tensi Normal
Kondisi ini adalah bilateral dan progresif, dengan TIO
dalam batas normal yaitu dibawah 21 mmHg. Patogenesis meliputi
sensitivitas abnormal terhadap TIO karena kelainan vaskular atau

19
mekanik pada nervus optikus (Riordan-Eva & Augsburger, 2018;
Bowling, 2016).
c. Glaukoma Sekunder Sudut Terbuka
Bila terjadi peningkatan tekana bola mata sebagai akibat
menifestasi penyakit lain maka glaukoma ini disebut sebagai
glaukoma sekunder. Contoh glaukoma jenis ini adalah:
 Sindroma Pseudoeksfoliasi (Exfoliation Syndrome)
 Galukoma Pigmenter (Pigmentary Glaucoma)
 Glaukoma akibat kelainan lensa
 Glaukoma akibat tumor intraokuli
 Glaukoma akibat inflamasi intraokuli (Riordan-Eva &
Augsburger, 2018; Bowling, 2016).
2. Glaukoma Sudut Tertutup
Glaukoma sudut tertutup didefenisikan sebagai aposisi iris perifer
terhadap trabekular meshwork dan menghasilkan penurunan aliran akuos
humor melalui sudut bilik mata. Mekanisme terjadinya glaukoma sudut
tertutup dibagi dalam 2 kategori yaitu : mekanisme yang mendorong iris
ke depan dari belakang dan mekanisme yang menarik iris ke depan dan
kontak dengan trabecular meshwork. Blok pupil yang terjadi akibat iris
yang condong kearah depan sering menyebabkan glaukoma sudut tertutup.
Aliran akuos humor dari posterior ke anterior akan terhalang. Dengan
diproduksinya akuos humor terus-menerus sementara tekanan bola mata
terus naik, maka akan sekaligus menyebabkan terjadinya pendorongan iris
menekan jaringan trabekulum sehingga sudut bilik mata menjadi sempit
(Riordan-Eva & Augsburger, 2018; Bowling, 2016).
Beberapa macam glaucoma sudut tertutup :
a. Glaukoma Primer Sudut Tertutup dengan Blok Pupil Relatif
b. Glaukoma Sudut Tertutup Akut
c. Glaukoma Sudut Tertutup Subakut (Intermiten)
d. Glaukoma Sudut Tertutup Kronik
e. Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup dengan Blok Pupil
f. Glaukoma Sudut Tertutup tanpa Blok Pupil

20
g. Sindrom Plateau (Riordan-Eva & Augsburger, 2018; Bowling,
2016).
3. Glaukoma pada Anak
Beberapa macam glaucoma pada anak :
a. True congenital glaucoma: peningkatan TIO terjadi intrauterin.
b. Infantile glaucoma: manifestasi muncul sebelum usia 3 tahun.
c. Juvenile glaucoma: peningkatan TIO terjadi pada usia 3-16 tahun
(Bowling, 2016).

Beberapa gangguan lapang pandangan yang cukup spesifik pada


glaucoma dan penggambarannnya :
- a nasal step defect obeying the horizontal meridian
- a temporal wedge defect
- the classic arcuate defect, which is a comma-shaped extension of the
blind spot
- a paracentral defect 10–20° from the blind spot
- an arcuate defect with peripheral breakthrough
- generalised constriction (tunnel vision)
- temporal-sparing severe visual field loss
- total loss of field (Bowling, 2016, Ding et al., 2016).

21
2. Neurologis
a. Papil edema dan Idiopathic Intracranial Hypertension (IIH)
Papil edema adalah pembengkakan pada nervus optikus yang
disebabkan adanya peningkatan tekanan cairan serebrospinal (CSF,
cerebrospinal fluid). IIH adalah peningkatan tekanan intrakranial pada
keadaan tidak ditemukannya abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium
maupun radiologi (idiopatik). Gangguan lapang pandangan yang umum
ditemukan pada IIH berhubungan dengan iskemia pada nervus optikus

22
berupa: blind spot enlargment. Komplikasi yang paling tidak diinginkan
dari penyakit IIH adalah kebutaan (Bowling, 2016; Wall et al., 2016).
b. Optic Neuritis dan Multiple Sclerosis
Penyebab tersering optic neuritis adalah penyakit demyelinasi
termasuk multiple sclerosis. Optic neuritis biasanya terjadi unilateral.
Gejala dan tanda dapat berupa penglihatan kabur mendadak, defek lapang
pandangan, reduksi penglihatan warna, menurunnya refleks cahaya,
adanya relative afferent pupillary defect, nyeri periokuler dapat
dieksaserbasi oleh gerakan bola mata diskus optic yang edema. Defek
lapang pandangan berupa scotoma central, scotoma caecocentral, nerve
bundle fiber, dan altitudinal (Riordan-Eva & Augsburger, 2018; Bowling,
2016).

(Kanski, 2016)
c. Toxic Optic Neuropathy
- Etambutol

23
Optik neuropati karena etambutol tergantung pada dosis, berat
badan, dan fungsi ginjal. Obat ini secara umum digunakan dalam
terapi bakteri tuberkulosis. Penghentian obat tidak langsung
mengembalikan penglihatan, kembalinya penglihatan
membutuhkan beberapa bulan. Konsumsi suplemen zink dan
tembaga peroral dapat mempercepat kembalinya penglihatan
(Riordan-Eva & Augsburger, 2018; Mendel et al., 2016).
- Vigabatrin
Vigabatrin adalah obat anti-epilepsi yang digunakan pada kasus
infantile spasms dan kompleks parsial seizure (Riikonen et al.,
2014).
d. Ischemic Optic Neuropathy
Gangguan lapang pandangan pada Non arteritic anterior ischemic
optic neuropahty (NA-AION) diantaranya adalah altitudinal field defect
(umumnya muncul pada inferior hemifield), sentral skotoma, srcuate
skotoma, dan quadrantic defects.
Pada pasien dengan posterior ischemic optic neuropahty (PION),
gangguan lapang pandangan yang paling umum terdapat pada lapang
pandangan sentral. Pada kasus seperti ini, steroid memiliki efek yang
menguntukan untuk perbaikan lapang pandangan baik pada arteritic
maupun non arteritic PION. Pemeriksaan lapang pandangan baik sentral
maupun perifer pada ischemic optic neuropahty sangat penting untuk
dilakukan (Riordan-Eva & Augsburger, 2018; Bowling, 2016).
3. Lain-lain
a. Retinitis pigmentosa

Retinitis Pigmentosa (RP) adalah degenerasi retina progresif


herediter yang paling umum dan merupakan penyebab utama kebutaan
ireversibel di negara maju di antara orang-orang dibawah usia 70 tahun.
Hal ini ditandai dengan degenerasi progresif fotoreseptor retina. Keluhan
yang ditimbulkan yaitu kesulitan dengan penglihatan dalam cahaya redup
atau kegelapan dan hilangnya penglihatan tepi. Keadaan akhir pada pasien

24
RP yaitu defek lapang pandangan perifer (tunnel vision) hingga kebutaan.
(Octavia & Himayani, 2017)

b. Blepharoptosis dan Dermatochalsis

Blepharoptosis atau ptosis adalah posisi abnormal satu atau kedua


palpebra superior. Ptosis umumnya terjadi karena disfungsi muskulus
levator palpebra. Keterbatasan lapang pandangan pada kasus ini
merupakan disabilitas sekunder karena palpebra gagal membuka dengan
baik. Dermatochalasis adalah kondisi ketika kulit tertarik ke bawah pada
palpebra superior maupun inferior, sehingga pasien terlihat memiliki
kantung mata (Fuller et al., 2017).

American Society of Ophtalmic Plastic and Reconstructive


Surgeons (ASOPRS) mengeluarkan suatu guidline untuk mengevaluasi
pasien dengan blepharoptosis dan dermatochalasis. Pada guidline tersebut
adanya penurunan lapang pandangan superior sebanyak 12⁰ atau 30%
menjadi salah satu klinis penting dalam mendiagnosis penyakit tersebut.
Defek lapang pandangan pada kasus ini akan mengalami perbaikan setelah
tindakan operasi (Fuller et al., 2017).

c. Age-Related Macular Degeneration (ARMD)

Age-Related Macular Degeneration merupakan suatu kelainan


degenerative pada lansia yang menjadi salah satu penyebab utama
kebutaan pada lansia. Patogenesisnya belum diketahui. Progresivitas
dimulai dari stadium awal yaitu akumulasi drusen hingga geographic
atrophy, terjadi angiogenesis karena ketidakseimbangan sitokin
proangiogenik dan antiangiogenik. Drusen adalah deposit berwarna kuning
dengan ukuran dan bentuk yang bermacam-macam pada retina (Riordan-
Eva & Augsburger, 2018).

25
DAFTAR PUSTAKA

Bowling, B. 2016. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 8th


ed. China: Elsevier.
Ding, X., Chang, R. T., Guo, X., Liu, X., Johnson, C. A., Holden, B. A. & He, M.
2016. Visual field defect classification in the Zhongshan Ophthalmic
Center–Brien Holden Vision Institute High Myopia Registry Study. British
Journal of Ophthalmology.
Fuller, M.L., Briceno, C.A., Nelson, C.C. & Bradley, E.A. 2017. Tangent Screen
Perimetry in the Evaluation of Visual Field Defects Associated with Ptosis
and Dermatochalasis. Plos One.
Islam, M.R., Islam J.S., Zatzman G.M., Rahman M.S., Mughal M.A.H. 2016. The
Greening of Pharmaceutical Engineering, Theories and Solutions, Volume
2. Beverly: Scrivener Publishing.
Kanski. 2016. Clinical Ophtalmology. 8th edition . Elsevier
Karmila, M. 2014. Kualitas Hidup Penderita Glaukoma di RSUP H. Adam Malik
dan RSUD Pirngadi Medan Tahun 2012. Medan : Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Kemenkes RI. 2015. Situasi dan Analisis Glaukoma. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
Kierszenbaum, A.L. & Tres, L.L. 2019. Histology and Cell Biology: An
Introduction to Pathology, 5th Edition. New York: Elsevier.
Mendel, T., Fleischman, D., Allingham, R.R., Tseng, H. & Chesnutt, D.A. 2016.
Spectrum and Clinical Course of Visual Field Abnormalities in Ethambutol
Toxicity. Neuro-Ophthalmology.
Octavia, S.A. & Himayani, R. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Retinitis
Pigmentosa : Studi Kasus. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Riikonen, R., Rener-Primec, Z., Carmant, L., Dorofeeva, M., Hollody, K., Szabo,
I., Kranjnc, B.S., Wohlrab, G. & Sorri, I. 2014. Does vigabatrin treatment
for infantile spasms cause visual field defects? An international multicentre
study. Developmental Medicine & Child Neurology.
Riordan-Eva, P. & Augsburger, J.J. 2018. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology, 19th Edition. New York: Mc Graw Hill, Lange.
Rowe, F. 2016. Visual Fields via the Visual Pathway. Boca Raton: CRC Press.
Remington, Lee Ann. 2012. Clinical Anatomy and Physiology of the Visual
System, 3rd Edition. St. Louis: Butterworth-Heinemanm

26
Sherwood, Lauralee. 2015. Human Physiology: From Cells to Systems, 9th
Edition. Chicago: Cengage Learning.
Singh, Vishram. 2014. Textbook of Anatomy Head, Neck, and Brain, Volume 32nd
Edition. New Delhi: Elsevier.
Wall, M., Johnson, C.A., Cello, K.E., Zamba, K.D. & McDermott, M.P. 2016.
Visual Field Outcomes for the Idiopathic Intracranial Hypertension
Treatment Trial (IIHTT). Investigative Ophthalmology & Visual Science.

27

Anda mungkin juga menyukai