Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

HUBUNGAN ANTARA TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK DENGAN


SITOKIN PROINFLAMASI

Pembimbing :

Mayor Laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes

Penyusun :
Novany Tiara Sandy 2019.04.2.0147
Noviati Prayangsari 2019.04.2.0148

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
LAKESLA DRS. R. MED. RIJADI S., PHYS
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul “Hubungan Antara Terapi Oksigen Hiperbarik


dengan Sitokin Proinflamasi” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter
Muda di bagian LAKESLA Drs. R. Med. Rijadi S., Phys.

Mengesahkan,
Dosen Pembimbing

Mayor Laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Hubungan Antara Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Sitokin
Proinflamasi” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas
wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA Drs. R.
Med. Rijadi S., Phys, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan
ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
A. Mayor Laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes
B. Para dokter di bagian LAKESLA Drs. R. Med. Rijadi S., Phys
Surabaya.
C. Para perawat dan pegawai di LAKESLA Drs. R. Med. Rijadi S., Phys
Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 24 Juli 2019

Penyusun

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................2
KATA PENGANTAR....................................................................................3
DAFTAR ISI..................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR......................................................................................6
DAFTAR TABEL...........................................................................................7
BAB 1...........................................................................................................8
BAB 2.........................................................................................................10
2.1. Terapi Oksigen Hiperbarik............................................................10
2.1.1 Definisi..............................................................................10
2.1.2 Sejarah.............................................................................10
2.1.3 Ruang Udara Bertekanan Tinggi......................................11
2.1.4 Prinsip Fisika dalam Terapi Hiperbarik............................12
2.1.5 Mekanisme Kerja..............................................................14
2.1.6 Manfaat.............................................................................15
2.1.7 Indikasi.............................................................................17
2.1.8 Kontraindikasi...................................................................18
2.1.9 Komplikasi........................................................................19
2.2. Sitokin............................................................................................19
2.2.1. Definisi..............................................................................19
2.2.2 Sifat Sitokin.......................................................................20
2.2.3 Fungsi Sitokin...................................................................21
2.2.4 Macam sitokin berdasarkan fungsinya.............................22
2.3. Sitokin ProInflamasi.......................................................................22
2.3.1 Definisi..............................................................................22
2.3.2 Macam sitokin proinflamasi..............................................22
2.4. Inflamasi........................................................................................25
2.4.1. Definisi..............................................................................25
2.4.2. Macam Inflamasi berdasarkan waktu terjadinya..............25
2.5. Radikal Bebas...............................................................................28
2.6.1. Definisi..............................................................................28
2.6.2. Contoh Radikal Bebas......................................................28
2.6. Reactive Oxygen Species (ROS)..................................................29
2.7. Hubungan Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Sitokin Proinflamasi
......................................................................................................29

4
BAB 3.........................................................................................................33
BAB 4.........................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................35
LAMPIRAN.................................................................................................37

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Ruang Udara Bertekanan TInggi / Chamber........................11


Gambar 2. 2 Proses transudasi dan eksudasi (Kumar , et al., 2009)........26
Gambar 2. 3 Mekanisme migrasi leukosit melewati pembuluh darah
(Kumar, et al., 2009)..............................................................................26
Gambar 2. 4 Perubahan pada daerah injuri saat inflamasi akut hingga
kronis (Kumar, et al., 2009)...................................................................27
Gambar 2. 5 Reactive Oxygen Species (ROS).........................................30

6
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Tipe – tipe hyperbaric chambers..............................................12


Tabel 2. 2 Macam Sitokin yang Dihasilkan oleh Berbagai Sel..................23
Tabel 2. 3 Sitokin dan Fungsinya...............................................................24
Tabel 2. 4 Efek TOHB terhadap Sitokin.....................................................32

7
BAB 1
PENDAHULUAN

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kini semakin


berkembang pesat, khususnya dalam bidang kedokteran. Sebuah metode
penyembuhan berbagai penyakit kini bisa menggunakan terapi oksigen
hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik merupakan cara pengobatan dimana
peserta terapi bernapas dengan menghirup oksigen murni 100% di dalam
Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) lebih dari 1 atmosfer absolut.
Terapi ini membantu meningkatkan kadar oksigen jaringan agar terjadi
penyembuhan luka, pembatasan edema, dan membunuh bakteri
anaerobik (LAKESLA, 2016).
Peranan oksigen pada penyembuhan luka telah lama dipelajari
dan diterima. Oksigen molekuler berperan sebagai nutrien untuk
replikasi fibroblas, mobilitas makrofag, pertumbuhan jaringan granulasi,
neovaskularisasi, dan fungsi-fungsi penting lainnya dalam penyembuhan
luka. Selain itu, terapi ini menunjukkan efek memperbaiki hipoksia
jaringan, meningkatkan perfusi, mengurangi edema, menurunkan
sitokin inflamasi, meningkatkan proliferasi fibroblas, produksi kolagen,
dan angiogenesis (Irawan, 2017).
Baik penyakit maupun luka, terjadi karena proses inflamasi atau
peradangan. Inflamasi merupakan respon penting dari sistem kekebalan
tubuh dalam melawan infeksi dan cedera jaringan. Respon inflamasi
sangat penting untuk pemeliharaan homeostasis jaringan normal.
Mekanisme molekuler peradangan adalah proses yang cukup rumit yang
diawali oleh pengenalan pola molekuler spesifik yang terkait dengan
infeksi atau cedera jaringan. Seluruh proses respon inflamasi dimediasi
oleh beberapa regulator utama yang terlibat dalam ekspresi selektif dari
molekul sitokin proinflamasi. (Chen et al., 2018). Yang termasuk dalam
sitokin proinflamasi adalah: interferon tipe I, TNF-a (tumor necrosis factor-
a), IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-6), chemokin. Sitokin-sitokin
tersebut diproduksi oleh sel terutama untuk merekrut leukosit ke lokasi
infeksi atau cedera (Soeroso, 2007; Chen et al., 2018).

8
Produksi sitokin inflamasi yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan, perubahan hemodinamik, kegagalan organ, dan
akhirnya kematian. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
mengatur jalur sitokin akan memungkinkan identifikasi yang lebih akurat
dari peradangan yang dimediasi agen dan pengobatan penyakit inflamasi
(Chen et al., 2018).
Pada terapi Oksigen Hiperbarik dengan kombinasi dosis 2,4 ATA
100% O2 selama 3x30 menit dengan interval 5 menit selama 7 hari dan
konsentrasi gel teripang (Stichopus hermanii) 3% dan kombinasi kedua
terapi menunjukkan penurunan ekspresi IL-1β yang merupakan sitokin
proinflamasi dan peningkatan ekspresi IL-10 yang merupakan anti
inflamasi secara signifikan pada tikus diabetes periodontitis
(Mulawarmanti and Parisihni, 2019).
Dengan demikian tugas referat ini disusun untuk mengetahui lebih
lanjut pengaruh hiperbarik dan hubungannya dengan sitokin proinflamasi
yang memiliki peranan terhadap proses inflamasi di dalam tubuh.

9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terapi Oksigen Hiperbarik


2.1.1 Definisi
Terapi oksigen hiperbarik didefinisikan sebagai intervensi di mana
pasien menghirup 100% oksigen lewat masker dengan tekanan lebih dari
1 ATA (2-4 ATA) pada periode waktu tertentu (Setianingsih and
Suryokusumo, 2017). Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada ruang
udara bertekanan tinggi (RUBT) atau disebut dengan chamber (LAKESLA,
2016).

2.1.2 Sejarah
Terapi hiperbarik pertama kali dilakukan oleh Henshaw, seorang
dokter Inggris pada tahun 1662 dan masih menggunakan kompresi udara.
Kemudian Ilmuwan Inggris bernama John Priestly mengemukakan
oksigen pertama kalinya pada tahun 1775, yang pada akhirnya memiliki
efek mendalam pada hiperbarik. Sayangnya, pada tahun 1789 Lavoisier
dan Seguin sempat ragu untuk menggunakan Terapi Oksigen Hiperbarik
(TOHB) karena oksigen yang terkonsentrasi tersebut memiliki efek toksik.
Hal ini diperjelas oleh penelitian Paul Bert pada tahun 1878, bahwa efek
toksik oksigen pada sistem saraf pusat akan menyebabkan kejang.
Meskipun gagasan bahwa kelebihan oksigen beracun berlaku, Arntzenius
melakukan review mendalam pada tahun 1887 dan mencatat hingga 300
referensi dalam literatur untuk mencari indikasi dari terapi hiperbarik.
Ruang hiperbarik pertama dibangun di Amerika Utara pada tahun
1860 di Oshawa, ON, Kanada. Kemudian pada tahun 1861 New York,
Amerika Serikat juga mengikuti untuk membangun ruang hiperbarik
pertamanya. Kemudian pada tahun 1921 dibangunlah ruang hiperbarik
yang paling terkenal di Cunningham di Kansas, Amerika Serikat, yang
beroperasi di dunia hanya pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia
membangun ruang terbesar di dunia di Cleveland, OH berdiameter 64
kaki, memiliki 5 lantai dengan 12 kamar tidur setiap lantainya.

10
Pada tahun 1937, Behnke dan Shaw berhasil menggunakan TOHB
untuk pengobatan penyakit dekompresi. Sejak saat itu, TOHB telah
digunakan dalam pengobatan berbagai kondisi medis seperti keracunan
karbonmonoksida, infeksi, dan trauma, dan penelitian untuk membuktikan
efektivitas dalam beberapa hal seperti penyembuhan luka pada penderita
diabetes (Edwards, 2010).

2.1.3 Ruang Udara Bertekanan Tinggi


Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) merupakan tabung yang
terbuat dari plat baja dan aluminium yang dibuat sedemikian rupa
sehingga mampu diisi udara dengan tekanan 1 ATA sampai beberapa
ATA, tergantung jenis dan penggunaannya. (Lihat Gambar 1).

Gambar 2. 1 Ruang Udara Bertekanan TInggi / Chamber


Jenis – jenis RUBT antara lain (LAKESLA, 2016) :
1. Large multi compartment chamber
a. Digunakan untuk pengobatan
b. Mampu diisi tekanan lebih dari 5 ATA
c. Mampu menampung beberapa orang
2. Large multi compartment for treatment
a. Digunakan untuk pengobatan
b. Mampu diisi tekanan 2 – 4 ATA
c. Mampu menampung beberapa orang

11
3. Portable high pressure multi-man chamber
a. Dapat dipindahkan
b. Digunakan untuk pengobatan penyelaman
c. Mampu menampung lebih dari 1 orang
4. Portable high or low pressure one-man chamber
a. Digunakan untuk pengobatan / transportasi
b. Mampu menampung 1 orang

Tabel 2. 1 Tipe – tipe hyperbaric chambers

1. Monoplace
2. Multiplace or “walk-in” chambers
3. Mobile or portable
– Monoplace: transportable by air, sea, or land
– Multiplace: chamber can be driven from place to place
4. Chambers for testing and training divers
5. Small hyperbaric chambers
– For neonates
– For animal experiments

2.1.4 Prinsip Fisika dalam Terapi Hiperbarik


Prinsip-prinsip TOHB didasarkan pada bagaimana kelarutan
masing-masin gas, terutama oksigen yang berespon terhadap tekanan
dan volume. Prinsip perilaku gas dalam jaringan dan cairan dijelaskan
oleh Henry, Fick's, dan Boyle. Hukum Henry menggambarkan bagaimana
tekanan gas mempengaruhi konsentrasi dalam jaringan atau cairan.
Hukum Henry menyatakan bahwa konsentrasi gas terlarut sama dengan
tekanan dikali kelarutan koefisien gas.

Terdapat 3 gas utama dalam TOHB, yaitu: oksigen, karbondioksida


Henry’s Law :
dan nitrogen. Koefisien kelarutan gas-gas ini saat suhu tubuh normal
Konsentrasi gas terlarut = Tekanan x koefisian
adalah sebagai berikut: Oksigen 0,024; Karbondioksida 0,57; Nitrogen
gas
0,0126.

12
Hal ini menjelaskan bahwa karbondioksida 24 kali lebih larut
daripada oksigen dan 48 kali lebih larut daripada nitrogen dan oksigen
kelarutannya dua kali dari nitrogen. Distribusi gas ke jaringan bergantung,
tidak hanya pada konsentrasi gas dalam larutan, tetapi juga dengan difusi
ke jaringan itu sendiri, yang keduanya dapat dipengaruhi oleh tekanan.
Hukum Henry menentukan konsentrasi gas dalam jaringan atau cairan,
sedangkan Hukum Fick menggambarkan tingkat difusi gas melalui
jaringan atau cairan. Hukum Fick menyatakan bahwa aliran gas (volume
gas per satuan waktu [Vgas]) melalui jaringan atau membran sama
dengan luas permukaan (A) dibagi dengan ketebalan (T) dikalikan dengan
difusi konstanta (D) kali perbedaan tekanan parsial (P1-P2) gas di seluruh
jaringan atau membran. Tekanan parsial gas dihitung dengan mengalikan
tekanan campuran gas kali persentase campuran gas tersebut. Karena
luas permukaan dan ketebalan jaringan atau membran biasanya tak
terukur, persamaan sering dikurangi menjadi aliran gas sama dengan
konstanta difusi kali perubahan dalam tekanan parsial.

Konstanta difusi sebanding dengan kelarutan gas (Sol) dibagi


Hukum Fick: Hukum Fick:
dengan akar kuadrat dari berat molekul (MW) gas.
A Vgas=¿D (P1-P2)
Vgas= D (P1-P2)
T

Karbondioksida sedikit lebih berat daripada oksigen dalam berat


molekul, tapi seperti yang disebutkan
D= di atas, Koefisien kelarutan
karbondioksida 24 kali lebih besar. Sol
Ini berarti bahwa karbondioksida akan
MW
menyebar melalui jaringan 22 kali√ lebih cepat daripada oksigen dengan
jarak dan di bawah tekanan yang sama. Jika ada peningkatan dalam
perbedaan tekanan parsial antara 2 area jaringan, tidak hanya tingkat
difusi, tapi jarak gas berdifusi ke jaringan akan meningkat. Perbedaan

13
tekanan parsial gas dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan fraksi
gas terinspirasi atau tekanan atmosfer. Dengan cara ini, inspirasi udara
yang kaya oksigen pada kondisi hiperbarik akan meningkatkan gradien
tekanan oksigen dan memungkinkan untuk menyebar jauh ke jaringan
terutama pada mereka yang ketebalan sekunder terhadap peradangannya
meningkat atau mereka yang memiliki penurunan aliran darah. Metode
lain untuk meningkatkan konsentrasi relatif oksigen adalah melalui
vasokonstriksi jaringan yang teroksigenasi dengan baik sehingga tubuh
dapat mengalihkan oksigen ke jaringan yang kurang teroksigenasi
dengan baik.
Hukum Boyle berhubungan dengan bagaimana volume gas
berespon di bawah tekanan. Hukum Boyle menyatakan bahwa dengan
meningkatnya tekanan (P) volume (V) gas berkurang secara proporsional.

Ini berarti volume Hukum


gas akan menjadi setengahnya bila tekanan
Boyle:
adalah dua kali lipat dan sebaliknya bahwa volume gas menjadi dua kali
P1 V 1=P2 V 2
lipat bila tekanan dibagi dua. Hal ini penting dimana ketika gas
terperangkap dalam berbagai rongga selama kompresi dan dekompresi
dapat menyebabkan barotrauma (Edwards, 2010).

2.1.5 Mekanisme Kerja


TOHB memiliki dua mekanisme aksi utama, hiperoksigenasi, dan
penurunan ukuran gelembung. Hiperoksigenasi adalah aplikasi dari
hukum Henry dan hasil dari peningkatan oksigen terlarut dalam plasma
sebagai akibat dari peningkatan tekanan parsial oksigen arteri. Tekanan 3
ATA hasil dalam 6 ml O 2 dilarutkan tiap 100 ml plasma, sehingga
mendistribusikan O2 sebanyak hemoglobin yang terikat dengan O 2.
Hiperoksigenasi sangat berharga dalam manajemen crush injury,
compartment syndrome, dan anemia akut (Bhutani and Vishwanath, 2012)

14
Penurunan ukuran gelembung adalah aplikasi dari hukum Boyle
hukum dimana volume gelembung menurun secara langsung sebanding
dengan peningkatan tekanan dan merupakan mekanisme utama dalam
manajemen penyakit dekompresi dan emboli arterial gas (Bhutani and
Vishwanath, 2012).

2.1.6 Manfaat
a. TOHB meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan
Pada kondisi atmosfer normal, hampir 100% oksigen diangkut
dengan mengikat hemoglobin, dan hanya sejumlah kecil dilarutkan
dalam plasma. Distribusi oksigen terjadi ketika molekul oksigen
meninggalkan sistem sirkulasi dan menyebar ke gradien konsentrasi
yang lebih rendah yaitu ke dalam sel. Gradien konsentrasi ditentukan
oleh tekanan parsial oksigen dalam kapiler dan jaringan sekitarnya.
Jaringan dengan perfusi yang buruk membuat gradien menjadi curam
yang menyebabkan pengiriman oksigen lebih besar, selain itu mereka
juga memiliki permintaan oksigen kumulatif yang lebih besar. Pasien
yang menderita penyakit mikrovaskular seperti diabetes memiliki lebih
sedikit kapiler untuk memberikan oksigenasi ke jaringan. TOHB
memerangi keadaan hipoksia dengan meningkatkan jumlah oksigen
terlarut dalam plasma serta meningkatkan tekanan parsial oksigen
dalam cairan jaringan fluid. Hal ini meningkatkan jumlah oksigen yang
tersedia untuk jaringan, sehingga memenuhi permintaan oksigen dari
jaringan hipoksia. Penelitian klinis menunjukkan bahwa distribusi
oksigen ke jaringan hipoksia menjadi 16 kali lipat lebih tinggi dengan
TOHB (Johnston et al., 2016).
b. TOHB meningkatkan angiogenesis, penyembuhan luka, dan
respon imun melalui sinyal sel
Angiogenesis adalah proses perluasan atau pembentukan
pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang ada untuk memenuhi
darah dan oksigen seiring karena meningkatnya permintaan dalam
jaringan. Terdapat dua proses utama dalam angiogenesis, yaitu:
migrasi sel endotel, yang membuat percabangan pada lumen

15
pembuluh darah dimana pembuluh darah baru terbentuk sebagai
perluasan dari jaringan yang ada. Pada penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa TOHB meningkatkan perekrutan sel progenitor
yang menjadi sel-sel untuk membuat pembuluh darah baru (Johnston
et al., 2016)
Penyembuhan luka merupakan suatu proses normal yang
terjadi akibat cedera yang terdiri dari empat tahap: hemostasis,
peradangan, proliferasi dan remodelling jaringan. Ketersediaan
oksigen sangat penting dalam penyembuhan luka terutama untuk
memfasilitasi fosforilasi oksidatif untuk fungsi seluler normal. Namun,
selama fase awal dari penyembuhan luka, luka bersifat hipoksia. Hal
Ini menstimulasi sinyal untuk melakukan proses angiogenesis dan
menstimulasi faktor penyembuhan luka seperti hypoxia-inducible
factors (HIF), platelet-derived growth factor (PDGF), transforming
growth factor beta (TGF-ß), vascular endothelial growth factor (VEGF),
tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan pre-pro-endothelin1 (PPET-
1), tetapi sebaliknya jika luka kronis hipoksia akan menyebabkan
gangguan penyembuhan. Perbedaan dalam efek hipoksia ditentukan
oleh ekspresi HIF, dengan TOHB ekspresi HIF menjadi menurun
sehingga meningkatkan penyembuhan luka awal. Namun, dalam
kondisi hiperoksigen ekspresi HIF menjadi meningkat yang
menyebabkan peningkatan ekspresi VEGF. Selain sitokin tersebut,
SDF-1 telah terbukti menjadi penentu utama penyembuhan luka dan
diaktifkan oleh TOHB. Kurangnya ekspresi SDF-1 menjelaskan
mengapa luka kronis hipoksia seperti diabetes tidak sembuh.
TOHB telah terbukti mengurangi peradangan dengan
menghambat pembentukan prostaglandin, IFN-γ, IL-1, dan IL-6. Efek
anti-inflamasi pada TOHB ini dapat meningkatkan fungsi sistem
kekebalan tubuh umum dengan menurunkan agen imunosupresif
seperti IL-1, IL10. Respon sistem kekebalan tubuh lebih lanjut
ditambah dengan TOHB akan memproduksi spesies oksigen reaktif
(ROS) oleh leukosit. Selain menekan sitokin, meningkatkan aktivitas

16
anti-inflamasi dan respon imun, TOHB memiliki efek pada produksi
antioksidan (Johnston et al., 2016).
c. TOHB dan jalur respon antioksidan
Cedera, infeksi dan penyakit kronis akan mengaktivasi jalur
respon stres. Dalam menanggapi stres, sel akan menghasilkan
antioksidan. Sistem utama yang mengatur produksi antioksidan
adalah Nrf2-Keap1 / cytoplasmic oxididative stress system. Keap1
adalah protein pengawal sitoplasma yang berikatan dengan Nrf2 – a
transcription. Setelah TOHB, Nrf2 akan meningkat dan mengaktivasi
jalur antioksidan, sehingga terjadilah sitoproteksi sel-sel endotel. Nrf2
akan memuncak pada 4 jam setelah paparan TOHB dan
diekspresikan dalam level kontrol pada 24 jam setelah paparan.
TOHB, meskipun terbukti meningkatkan Nrf2 dalam beberapa jam
setelah paparan sebenarnya menyebabkan penurunan jangka
panjang dalam ekspresi Nrf2 ketika TOHB dilanjutkan dengan pola
pemaparan yang relevan secara klinis. Respon bifasik ini diperkirakan
mengindikasikan peningkatan jangka pendek protein antioksidan
sitoprotektif yang dirangsang oleh TOHB, tetapi akhirnya berkontribusi
terhadap penurunan jangka panjang dalam produksi antioksidan
akibat efek sitoprotektif dari TOHB lanjutan (Johnston et al., 2016).

2.1.7 Indikasi
Berdasarkan tingkat kegawatdaruratan, indikasi TOHB dibagi
menjadi (Yan, Liang dan Cheng, 2015) :
a. Indikasi darurat
1. Keracunan gas akut (gas karbon monoksida,maupun gas
berbahaya / beracun lainnya)
2. Gas gangren, tetanus, atau infeksi bakteri anaerob lainnya
3. Decompression sickness
4. Sindroma emboli udara
5. Edema cerebri
6. Edema pulmonum ( kecuali cardiac pulmonary edema)
7. Crush syndrome

17
8. Pemulihan suplai darah pada ekstremitas setalah transplantasi
kulit
9. Keracunan obat dan bahan kimia
10. Acute ischemic anoxic encephalopathy

b. Indikasi non darurat


1. Sudden deafness
2. Ischemic cerebrovascular disease (arteriosklerosis cerebri,
transient ischemic attack, thrombosis cerebri, infark cerebri)
3. Craniocerebral injury (concussion, cerebral contusion of
intracranial hematoma removal surgery, brain stem injury)
4. Perdarahan cerebri yang sedang dalam masa oenyembuhan
5. Proses penyembuhan fraktur yang jelek
6. Central serous retinal infllammation
7. Vegetative state
8. Peripheral nerve injury
9. Intracranial benign tumor surgery
10. Periodontal disease, viral encephalitis, osteomyelitis, facial
paralysis
11. Aseptic osteronecrosis, cerebral palsy, fetal development delays
12. Diabetes and diabetic foot, coronary atherosclerotic heart disease
(angina and myocardial infarction)
13. Rapidity arrythmia (atrial fibrillation, premature beat, tachycardia),
myocarditis, vertigo
14. Peripheral vascular disease, vasculitis, deep vein thrombosis

2.1.8 Kontraindikasi
Kontraindikasi dari terapi oksigen hiperbarik terdiri dari (Choudhury,
2018).
a. Kontraindikasi absolut : Pneumothorax yang belum dirawat
b. Kontraindikasi relatif :
1. Infeksi saluran nafas bagian atas
2. Emfisema yang disertai retensi CO2

18
3. Asymptomatic pulmonary lesions which are seen on chest X- ray
4. Sinusitis kronis
5. Riwayat operasi dada
6. Riwayat operasi telinga
7. Riwayat pneumothorax spontan
8. Riwayat neuritis optik
9. Uncontrolled hyperthermia
10. Kehamilan
11. Claustrophobia
12. Penyakit kejang
13. Spherositosis kongenital
14. Infeksi virus
15. Kerusakan paru asimptomatik yang ditemukan pada x-ray photo

2.1.9 Komplikasi
Pengobatan dapat membawa risiko dan manfaat. Salah satu
komplikasi yang sering disebabkan oleh Terapi Oksigen Hiperbarik adalah
barotrauma (yaitu, cedera akibat tekanan sebagai hasil dari
ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan dengan lingkungan
sekitarnya). Berikut adalah komplikasinya (Latham, 2018):
1. Barotrauma (telinga, sinus, gigi, paru)
2. Tuli tiba-tiba, tinnitus, nystagmus, vertigo, atau keduanya
3. Keracunan oksigen : kejang, batuk kering, nyeri dada, menurunnya
kapasitas paru

2.2. Sitokin
2.2.1. Definisi
Sitokin adalah golongan protein / glikoprotein / polipeptida yang
larut dan diproduksi oleh sel limfosit dan sel-sel lain seperti makrofag,
eosinofil, sel mast dan sel endotel. Sitokin disebut lymphokine bila
dihasilkan oleh limfosit, dan disebut monokine apabila dibentuk oleh
monosit. Sitokin berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur
hampir semua proses biologis penting seperti halnya aktivasi,

19
pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, proses inflamasi sel, imunitas,
serta pertahanan jaringan ataupun morfogenesis. Semuanya terjadi
akibat rangsangan dari luar. Sitokin merupakan protein nonstruktural
yang berukuran sangat kecil, dengan berat molekul yang mulai dari 8
hingga 40.000 d. Sitokin dikelompokkan berdasarkan aktivitas biologisnya.
Sebagian besar, sitokin terlibat dalam respon host terhadap penyakit atau
infeksi, dan juga mekanisme homeostatis. Sitokin akan dihasilkan ketika
dirangsang oleh peristiwa-peristiwa berbahaya, sehingga disebut dengan
dengan "cell stressor." Infeksi dan inflamasi akan mengaktifkan mitogen-
activated protein kinases (MAPKs), sebagai faktor transkripsi fosforilasi
untuk ekspresi gen sitokin. (Dinarello, 2000; Soeroso, 2007).

2.2.2 Sifat Sitokin


Sitokin diproduksi oleh sel sebagai respon terhadap rangsangan.
Sitokin yang dibentuk segera dilepas dan tidak disimpan di dalam sel.
Sitokin yang sama dapat diproduksi oleh berbagai sel. Satu sitokin dapat
bekerja terhadap beberapa jenis sel dan dapat menimbulkan efek melalui
berbagai mekanisme. Berbagai sitokin dapat memiliki banyak fungsi yang
sama. Sitokin dapat / sering mempengaruhi sintesis atau efek sitokin lain,
efeknya akan tampak saat berkaitan dengan reseptor yang spesifik pada
permukaan sel sasaran atau sel target.
Pada dasarnya sitokin berfungsi sebagai autokrin, namun pada
kenyataannya juga dapat berfungsi sebagai parakrin ataupun endokrin.
Dalam melaksanakan tugasnya, sitokin dapat juga bekerja sebagai
inhibitor atau antagonis sitokin lain, bahkan dapat pula menghambat
kerja sitokin yang bersangkutan. Diketahui pula bahwa sitokin ikut
berperan dalam sistem imunitas alamiah maupun imunitas dapatan /
spesifik.
Banyak ilmuwan yang mengelompokkan klasifikasi sitokin
sesuai dengan kebutuhan masing-masing, antara lain berdasar pada
sumber sel yang memproduksinya, efeknya pada sel, atau berdasar pada
jenis ikatan dengan reseptornya. Abbas dkk pada tahun 1994
mengelompokkan sitokin berdasar pada fungsinya yaitu sitokin yang

20
berperan dalam imunitas bawaan (cytokines that mediated nature
immunity). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: interferon tipe I,
TNF-α (tumor necrosis factor-α), IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-
6), chemokin. Keduanya yaitu sitokin pengatur aktivasi, pertumbuhan
dan diferensiasi sel limfosit, antara lain: IL-2 (interleukin-2), IL-4
(interleukin-4 ),TGF-ß (transforming growth factor -ß). Yang ketiga
adalah sitokin pengatur mediator imun dalam proses inflamasi, antara
lain: interferon-γ , limfotoxin, IL-10 (interleukin-10), IL-2 (interleukin-
2), migration inhibition factors, TNF-  (tumor necrosis factor- ) sitokin
merangsang haematopoetik, contoh: C - kit ligand, IL-3 (interleukin-3),
granulocyte-macrophage (Soeroso, 2007).

2.2.3 Fungsi Sitokin


Sitokin tidak tersedia sebagai molekul yang siap digunakan,
melainkan sintesa sitokin diawali oleh transkripsi gen baru yang sesaat,
sebagai hasil aktivasi seluler. Sitokin seringkali bekerja secara pleitropic
yaitu sitokin mempunyai pengaruh/bekerja pada berbagai sel target dan
resundants: yang berarti beberapa/berbagai sitokin melaksanakan fungsi
yang sama terhadap satu jenis sel. Suatu jenis sitokin sering

mempengaruhi kerja, dan sintesis sitokin lain. Kemampuan ini menuju

pada kaskade dimana sitokin kedua dn ketiga dapat memfasilitasi

pengaruh biologik dari sitokin pertama.

Sitokin dapat bekerja secara lokal (autocrine action atau pada sel

lain di dekatnya (paracrine action), dan bahkan dapat bekerja secara


sistemik (endocrine action). Sitokin mengawali kerjanya dengan
mengikatkan diri secara kuat pada reseptor, pada membrane yang
spesifik dari sel target. Ekspresi reseptor sitokin diatur oleh sinyal
eksternal spesifik misalnya: stimulasi limfosit T ataupun B oleh antigen,
menyebabkan peningkatan ekspresi reseptor sitokin. Respons seluler

terhadap sitokin terdiri atas perubahan dalam ekspresi gen dalam sel
target, sitokin berfungsi sebagai regulatorn dalam pembelahan sel.

21
Abbas pada tahun 1994 menyatakan bahwa fungsi sitokin dapat
disebutkan dalam beberapa kategori, yaitu: sebagai mediator imunitas
bawaan, mengatur aktivasi, pertumbuhan dan diferensiasi sel limfosit,
mengatur immune mediated inflammation, merangsang leukosit yang
belum matang/ immature dalam pertumbuhan dan diferensiasi.

Theze pada tahun 1999 menyatakan bahwa fungsi dasar sitokin


yang diproduksi akibat adanya respons terhadap rangsangan yang
bersifa imunologik, berperan utama dalam kelanjutan hidup sel, proliferasi
sel, diferensiasi seldan kematian sel.

2.2.4 Macam sitokin berdasarkan fungsinya


Sekelompok sitokin diproduksi secara khusus sebagai respons
terhadap rangsangan inflamasi. Terdapat dua macam sitokin, yaitu sitokin
proinflamasi dan anti-inflamasi. Fungsi sitokin proinflamasi ini adalah
untuk berkomunikasi dengan jaringan di sekitarnya saat adanya infeksi
atau cedera sehingga terjadilah proses inflamasi. Stimulus inflamasi juga
berperan sebagai faktor
memicu sintesis sitokin anti-inflamasi dan inhibitor sitokin diferensiasi.
spesifik yang
berfungsi untuk memodifikasi respon inflamasi host (Srinivasan, Harris
dan Kilpatrick, 2016).

2.3. Sitokin ProInflamasi


2.3.1 Definisi
Sitokin proinflamasi kebanyakan diproduksi karena teraktivasinya
makrofag dan terlibat dalam pengaturan reaksi inflamasi (Zhang and
Jianxiong, 2009).

2.3.2 Macam sitokin proinflamasi


Macam sitokin proinflamasi seperti TNF, TNF-α dan IL-1, IL-1β,
IFN−γ . IL-1β dirilis terutama oleh monosit dan makrofag dan sel-sel non
imun, seperti sel endotel, sel fibroblas (Tabel 2.2) selama cedera sel,
infeksi, invasi, dan peradangan (Al-Waili dan Butler, 2006; Zhang dan
Jianxiong, 2009).
. Masing- masing sitokin memiliki fungsi seperti pada Tabel 2.3 (Al-
Waili dan Butler, 2006). TNF dan IL-1 adalah molekul penginduksi adhesi

22
endotel, dengan meningkatkan leukosit ke permukaan endotel sebelum
emigrasi ke dalam jaringan. Sedangkan IFN−γ , akan meningkatkan
kegiatan TNF dan menginduksi nitrat oksida (NO). Selain itu terdapat
phospholipase A2 tipe II (PL), cyclooxygenase (COX)-2 yang merupakan
kode gen enzim yang meningkatkan sintesis platelet-activating factor dan
leukotrien, prostanoid dan NO. Kelas gen lain yang proinflamasi yaitu
kemokin, yang merupakan peptida kecil berukuran 8.000 d yang
memfasilitasi jalannya leukosit dari sirkulasi ke dalam jaringan sehingga
jumlahnya meningkat. Terdapat kemokin prototipikal yaitu IL-8. IL-8 juga
mengaktifkan neutrofil untuk mendegranulasi dan menyebabkan
kerusakan jaringan (Dinarello, 2000).

Tabel 2. 2 Macam Sitokin yang Dihasilkan oleh Berbagai Sel

TNF-α, juga dikenal sebagai cachectin, adalah sitokin inflamasi


yang memeiliki peran penting dalam beberapa konsep nyeri. TNF

23
Tabel 2. 3 Sitokin dan Fungsinya

bertindak pada beberapa jalur signaling yang berbeda melalui dua sel
reseptor permukaan, seperti TNFR1 dan TNFR2 yang mengatur jalur
apoptosis, kemudian NFkB yang mengaktivasi inflamasi, dan
mengaktifkan stress-activated protein kinases (SAPKs). Reseptor TNF-α
terdapata pada neuron dan glia. TNF-α telah terbukti memainkan peran
penting dalam inflamasi dan hyperalgesia neuropatik (Zhang and
Jianxiong, 2009).

2.4. Inflamasi
2.4.1. Definisi
Inflamasi adalah suatu respon protektif yang melibatkan sel host,
pembuluh darah dan protein serta mediator-mediator yang ditujukan untuk

24
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang dihasilkan akibat jejas sel, dan menginisiasi proses
perbaikan. Menurut waktunya, inflamasi dibagi menjadi dua yaitu,
inflamasi akut dan kronis (Kumar, et al., 2013).

2.4.2. Macam Inflamasi berdasarkan waktu terjadinya

1. Inflamasi Akut
Inflamasi akut merupakan radang dengan onset relatif singkat, dari
beberapa menit hingga beberapa hari yang ditandai dengan eksudasi
cairan dan protein plasma serta didominasi oleh akumulasi dari leukosit
neutrofil yang berperan untuk membersihkan setiap mikroba yang
menginvasi dan menginisiasi proses fagositosis dan menguraikan jaringan
nekrotik. Inflamasi akut terdiri dari dua komponen penting (Kumar, et al.,
2013):
1. Perubahan vaskular: peningkatan diameter pembuluh darah
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan
perubahan struktural dinding pembuluh darah yang memungkinkan
protein plasma keluar dari sirkulasi (peningkatan permeabilitas
vaskular). Selain itu sel-sel endotel yang teraktivasi akan
meningkatkan adhesi dan migrasi leukosit melalui dinding
pembuluh darah.

25
2.

Gambar 2. 3 Proses transudasi dan eksudasi (Kumar , et al.,


2009)
Cellular events: emigrasi leukosit dari sirkulasi yang kemudian
berakumulasi di fokus jejas (rekrutmen seluler) yang diikuti oleh
aktivasi leukosit yang memungkinkan fagositosis, pembunuhan,
dan degradasi agen penyerang.

Gambar 2. 2 Mekanisme migrasi leukosit melewati pembuluh darah (Kumar,


et al., 2009)

Pada gambaran mikroskopis inflamasi akut akan menunjukkan


banyak neutrofil dan kongesti pembuluh darah. Sedangkan pada
gambaran makroskopis akan terlihat tanda-tanda seperti calor, rubor,
tumor, dolor, functio laesa yang hanya terlokalisasi pada daerah
kerusakan .

26
2. Inflamasi Kronis

Gambar 2. 4 Perubahan pada daerah injuri saat inflamasi akut


hingga kronis (Kumar, et al., 2009)
Inflamasi kronis disebut juga infalamasi memanjang, merupakan
radang yang berlangsung lama (berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan, bahkan bertahun-tahun). Inflamasi kronis bisa terjadi karena
perkembangan dari inflamasi akut yang tidak dapat diatasi karena agen
penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan dari proses
penyembuhan normal. Inflamasi kronis ditandai dengan (Kumar, et al.,
2013):
- Infiltrasi sel mononuklear (makrofag, limfosit, sel plasma)
- Kerusakan jaringan, yang diinduksi oleh produk dari sel radang
- Perbaikan, termasuk proliferasi pembuluh darah baru
(angiogenesis) dan fibrosis
Pada inflamasi kronis, sel yang paling mendominasi adalah
makrofag yang berasal dari sel monosit dalam sirkulasi yang telah
beremigrasi keluar dari aliran darah. Selain makrofag, sel lain uang
berperan dalam inflamasi kronis adalah: limfosit, sel plasma, eosinofil, dan
sel mast (Kumar, et al., 2013)

2.5. Radikal Bebas


2.6.1. Definisi
Radikal bebas didefinisikan sebagai molekul yang membawa satu
atau lebih elektron tak berpasangan dan mampu eksis secara

27
independen. Radikal bebas memiliki jumlah elektron ganjil sehingga
berumur pendek, sangat reaktif, dan tidak stabil. Radikal bebas dapat
bereaksi dengan cepat dengan molekul lain dengan menangkap elektron
untuk menjadi stabil. Radikal bebas akan menjadi seimbang dengan
mengambil elektron pada molekul terdekat. Sementara itu molekul yang
diserang akan menjadi radikal bebas yang disebabkan kehilangan
elektron dan memulai reaksi berantai sehingga menyebabkan kerusakan
pada sel (Suryadinata, 2018).
Radikal bebas pada tubuh manusia tidak hanya diperoleh dari
endogen (hasil produk metabolisme sel secara normal), namun juga dapat
diperoleh dari sumber eksogen (polusi udara, asap kendaraan, asap
rokok, dan lain sebagainya). Pada sumber endogen, metabolisme sel
normal merupakan sumber utama untuk menghasilkan Radical Oxygen
Species (ROS) dan memainkan peran penting dalam aktivasi jalur sinyal
pada sel yang mempengaruhi metabolisme intra dan ekstraseluler
(Suryadinata, 2018).

2.6.2. Contoh Radikal Bebas


Contoh radikal bebas (Suryadinata, 2018) :
- Superoksida (O2⦁),
- Radikal oksigen (O2⦁⦁),
- Hidroksil (OH⦁),
- Alkoxyradical (RO⦁),
- radikal Peroxyl (ROO⦁),
- Nitrat oxide (nitrogen monoksida) (NO⦁), dan
- Nitrogen dioxide (NO2⦁).
Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah turunan radikal seperti single
oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2)

2.6. Reactive Oxygen Species (ROS)


ROS, seperti superoksida (O2−), hidrogen peroksida (H2O2),
hidroksil (OH−) dan hipoklorit (OCl−), adalah produk penting dari stres
oksidatif dan bertentangan dengan patofisiologi dari banyak penyakit

28
inflamasi kronis, termasuk aterosklerosis. Pada tingkat fisiologis, ROS
intraseluler juga berfungsi sebagai semacam molekul pensinyalan untuk
berpartisipasi dalam proses peradangan serta kelangsungan hidup sel.
Sebagian besar ROS diproduksi dalam sel melalui mitokondria.
Selama reaksi metabolisme endogen, ROS akan dihasilkan oleh sel
aerobik (berupa anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen
peroksida) sebagai produk dari biologis oksigen molekuler. Dalam situasi
hipoksia, mitokondria juga dapat menghasilkan nitrit oksida (NO) yang
menghasilkan Radical Nitrogen Species (RNS) (Suryadinata, 2018).

2.7. Hubungan Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Sitokin


Proinflamasi
Terapi oksigen hiperbarik didefinisikan sebagai intervensi di mana
pasien menghirup 100% oksigen lewat masker dengan tekanan lebih dari
1 ATA (2-4 ATA) pada periode waktu tertentu (Setianingsih and
Suryokusumo, 2017).
Adanya trauma, invasi maupun infeksi dapat meningkatkan
senyawa oksigen reaktif (SOR) yang dihasilkan oleh neutrofil dan
makrofag yang menyebabkan stres oksidatif dan mengaktivasi sinyal
inflamasi, sehingga endotel yang teraktivasi menarik sel proinflamasi
(Winarsi, et al., 2012).
Ada beberapa ROS penting dalam fisiologi normal dan patologis
yaitu: anion Superoksida (O2-), hydrogen peroksida (H2O2), hydroxyl
radical (HO.) dan hypoclorus acid (HOCl). Ketiga spesies ini berasal dari
anion superoksida yang paling sering terbentuk selama reduksi oksigen
dalam transport elektron mitokondria atau dalam reaksi yang dikatalisis
oleh NADPH oksidase. Dua molekul superoksida dikonversi menjadi
hydrogen peroksida baik secara spontan maupun dengan enzim
superoksida dismutase. Dengan adanya reaksi katalisis ion logam seperti
Fe2+ atau Cu+, H2O2 dapat dikonversi menjadi radikal hidroksil. H2O2
juga dapat dikonversi menjadi HOCl oleh myeloperoksidase (MPO) dan
peroksidasi lain dengan adanya ion klorida. Superoksida dapat bereaksi
dengan nitric oxide (NO.) oleh enzim nitric oxide syntase menjadi bentuk

29
peroxynitrite (ONOO-) yang merupakan reaktif nitrogen spesies utama
(Yazlovitska et al., 2014).

Gambar 2. 1 Reactive Oxygen Species (ROS)

Superoksida dismutase merupakan pertahanan utama terhadap


toksisitas oksigen. SOD berperan melawan radikal bebas dengan
kemampuannya yang mampu mengkatalisis superoksida menjadi H2O2,
sehingga berdampak mengurangi radikal bebas superoksida dan stres
oksidatif berkurang (Pallavi, 2012)
SOD juga akan menurunkan produksi sitokin yang menyebabkan
inflamasi (Nakad dan Schumacher, 2016). Superoxide Dismutase (SOD)
adalah metalloenzymes yang mengandung atom tembaga, seng atau besi
yang dibentuk dalam sitosol dan yang mengandung mangan dibentuk
didalam matrik mitokondria. Ketiga bentuk SOD, yaitu, CuZn-SOD, Mn-
SOD, dan EC-SOD, secara luas diekspresikan dalam paru-paru manusia.
Mn-SOD terlokalisasi dalam matriks mitokondria. EC-SOD terutama
terlokalisasi dalam matriks ekstraseluler, terutama di daerah yang
mengandung jumlah tinggi serat kolagen tipe I dan sekitar pembuluh paru
dan sistemik. Ini juga telah terdeteksi di epitel bronkial, epitel alveolar, dan
makrofag alveolar (Birben et al., 2012).

30
Jenis SOD, pertama yaitu Cu, Zn SOD adalah protein dimerik
dengan dua subunit yang identik diikat secara non kovalen. Cu, Zn SOD
berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap radikal
bebas. Terletak dalam sitoplasma dan organel dengan ukuran 32.000
kDA. Kedua, Mn SOD Bekerja sebagai antioksidan utama dalam
menghambat kerja superoxide dismutase di dalam mitokondria. Mn SOD
berukuran 40.000 kDA yang terdiri dari 4 subunit dengan atom mangan.
Tipe ini disintesis terbanyak di cairan ekstraseluler oleh beberapa sel saja,
contohnya sel endotel dan fibroblast. Ketiga, Fe SOD merupakan enzim
yang banyak ditemukan pada prokariot, tumbuhan dan bakteri. Terdiri dari
tiga ion besi yang berikatan dengan tiga histidin, satu aspartat, dan satu
molekul air.
Cara kerjanya dengan mengkatalisis dismutasi pada superoxide
menjadi hydrogen peroxide dan oksigen. Selanjutnya hydrogen peroxide
diubah menjadi molekul air oleh enzim katalase dan glutation peroksidase.
Keberadaan SOD dapat ditemukan di otak, hati, sel darah merah, ginjal,
tiroid, testis, otot jantung, mukosa lambung, 2 kelenjar ptuitari, pankreas
dan paru (Birben et al., 2012).
Terapi oksigen hiperbarik memiliki efek antiinflamasi karena terapi
ini mempengaruhi pelepasan berbagai mediator sitokin antiinflamasi atau
menurunkan sitokin proinflamasi. Terapi oksigen meningkatkan jumlah
oksigen dalam darah yang dapat dibawa (Jain, 2017).
TOHB mempengaruhi pelepasan sejumlah sitokin dan faktor
pertumbuhan yang penting untuk penyembuhan luka. Studi menunjukkan
berbagai efek HBO2 pada produksi sitokin (Tabel 2.4). Pada pasien
dengan penyakit Crohn, HBO2 mengurangi IL-1, IL-6, dan TNFα. HBO2
secara efektif mengurangi kelebihan produksi TNFα plasma yang
menginduksi heatstroke (Al-Waili dan Butler, 2006).
Pada penelitian terhadap makrofag juga menunjukkan bahwa saat
diinkubasi dalam RUBT 97,9% O2, 2,1% CO2, pada 2,4 ATA. Ditemukan
bahwa paparan TOHB selama 90 menit menghambat IL-1β sebesar 23%

31
dan TNFα 27%. Selain itu, juga menghambat sekresi IFN−γ (Al-Waili dan
Butler, 2006).
Maka dengan terapi oksigen hiperbarik bersama dengan peran
SOD dalam tubuh dapat menurunkan ROS dan stres oksidatif, sehingga
hubungannya dapat mengurangi sitokin proinflamasi dan mencegah
terjadinya inflamasi.

Tabel 2. 4 Efek TOHB terhadap Sitokin

32
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL

HBO
Trauma, invasi, infeksi

PO2 ↑

Stres Oksidatif ↑
ROS
menstimulasi SOD

ROS ↑ NFkß
O2 - teraktivasi
SOD ↑

H 2 O2

Stres Oksidatif ↓
Sitokin proinflamasi
IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IL-
18, TNF, TNF-α,
ROS ↓

Inflamasi

33
BAB 4
KESIMPULAN

Adanya trauma, invasi maupun infeksi dapat meningkatkan


senyawa oksigen reaktif (SOR) yang dihasilkan oleh neutrofil dan
makrofag yang menyebabkan stres oksidatif dan mengaktivasi sinyal
inflamasi, sehingga endotel yang teraktivasi menarik sel proinflamasi
(Winarsi, et al., 2012).
Superoksida dismutase merupakan pertahanan utama terhadap
toksisitas oksigen. SOD berperan melawan radikal bebas dengan
kemampuannya yang mampu mengkatalisis superoksida menjadi H2O2,
sehingga berdampak mengurangi radikal bebas superoksida dan stres
oksidatif berkurang (Pallavi, 2012).
Terapi oksigen hiperbarik memiliki efek antiinflamasi karena terapi
ini mempengaruhi pelepasan berbagai mediator sitokin antiinflamasi atau
menurunkan sitokin proinflamasi. Terapi oksigen meningkatkan jumlah
oksigen dalam darah yang dapat dibawa (Jain, 2017).
Maka dengan terapi oksigen hiperbarik bersama dengan peran
SOD dalam tubuh dapat menurunkan ROS dan stres oksidatif, sehingga
hubungannya dapat mengurangi sitokin proinflamasi dan mencegah
terjadinya inflamasi.
.

34
DAFTAR PUSTAKA

Al-Waili, N. S. and Butler, G. J. (2006) ‘Effects of hyperbaric oxygen on


inflammatory response to wound and trauma: possible mechanism of
action.’, TheScientificWorldJournal, 6, pp. 425–441.
Bhutani, S. and Vishwanath, G. (2012) ‘Hyperbaric oxygen and wound
care’, Indian Journal of Plastic Surgery, 45(2), pp. 316–324.
Birben, E. et al. (2012) ‘Oxidative Stress and Antioxidant Defense- review
article’.
Chen, L. et al. (2018) ‘Inflammatory responses and inflammation-
associated diseases in organs’, 9(6), pp. 7204–7218.
Choudhury, R. (2018) ‘Hypoxia and Hyperbaric Oxygen Therapy: a
Review’, International Journal of General Medicine, 11, pp. 431–442.
Dinarello, C. A. (2000) ‘Proinflammatory cytokines’, Chest. The American
College of Chest Physicians, 118(2), pp. 503–508..
Edwards, M. L. (2010) ‘Hyperbaric oxygen therapy . Part 1 : history and
principles’, Journal of Veterinary Emergency and Critical Care, 20(3),
pp. 284–297.
Irawan, H. (2017) ‘Hyperbaric Oxygen Therapy as Adjuvant Therapy of
Diabetic Foot Terapi Oksigen Hiperbarik sebagai Terapi Adjuvan
Kaki Diabetik’, (March).
Jain, K. (2017) Textbook of Hyperbaric Medicine. 6th edn. Springer
Internatonal Publishing.
Johnston, B. R. et al. (2016) ‘The Mechanism of Hyperbaric Oxygen
Therapy in the Treatment of Chronic Wounds and Diabetic Foot
Ulcers.’, Rhode Island medical journal (2013), 99(2), pp. 26–9.
Kumar, V., Abbas, A. K. and Aster, J. C. (2013) Robbins Basic Pathology
Ninth Edition, Elsevier Saunders.
LAKESLA (2016) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik.
Latham, E. (2018) What are the complications of hyperbaric oxygen
therapy (HBOT)?
Mulawarmanti, D. and Parisihni, K. (2019) ‘The Effect of Sticopus
Hermanii-Hyperbaric Oxygen Therapy to Inflammatory Response of

35
Diabetic Periodontitis The Effect of Sticopus Hermanii-Hyperbaric
Oxygen Therapy to Inflammatory Response of Diabetic Periodontitis’.
Nakad, R. and Schumacher, B. (2016) ‘DNA Damage Respone and
Immune Defense Journal’, Frontiers Journal.
Pallavi, S. (2012) ‘Reactive Oxygen Specie, Oxidative Damage, and
Antioxidative Defense Mechanism in Plants Under Stressful
Conditions’.
Setianingsih, H. and Suryokusumo, M. G. (2017) ‘Hyperbaric Oxygen
Effect Towards Liver Function In Rats Infected By Plasmodium
berghei’, 10(10), pp. 85–91.
Soeroso, A. (2007) ‘Cytokines’, 5(3). Available at: cytokines.
Srinivasan, L., Harris, M. C. and Kilpatrick, L. E. (2016) ‘Cytokines and
Inflammatory Response in the Fetus and Neonate’, in Fetal and
Neonatal Physiology. Fifth Edit. Elsevier Inc., p. 1241–1254.e4.
Suryadinata, R. V. (2018) ‘Pengaruh Radikal Bebas Terhadap Proses
Inflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)’, Amerta
Nutrition, 2(4), pp. 317–324.
Winarsi, H., Wijayanti, S. P. M. and Purwanto, A. (2012) ‘Aktivitas Enzim
Superoksida Dismutase, Katalase, dan Glutation Peroksidase Wanita
Penderita Sindrom Metabolik’, Majalah Kedokteran Bandung, 44(1),
pp. 7–12.
Yan, L., Liang, T. and Cheng, O. (2015) ‘Hyperbaric oxygen therapy in
China’, Medical Gas Research, 5(1), pp. 1–6.
Yazlovitska, E. et al. (2014) ‘Reactive Oxygen Species’, United States of
America Journal Bioquivalence & Bioavailability Scientific Research.
Zhang, J.-M. and Jianxiong, A. (2009) ‘Cytokines, Inflammation and Pain’,
Int Anesthesiol Clin., 69(2), pp. 482–489.

36
LAMPIRAN

37
38
39

Anda mungkin juga menyukai