Pembimbing :
Penyusun :
Novany Tiara Sandy 2019.04.2.0147
Noviati Prayangsari 2019.04.2.0148
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
LAKESLA DRS. R. MED. RIJADI S., PHYS
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Mengesahkan,
Dosen Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Hubungan Antara Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Sitokin
Proinflamasi” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas
wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA Drs. R.
Med. Rijadi S., Phys, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan
ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
A. Mayor Laut (K/W) Dr. Titut Harnanik, dr., M.Kes
B. Para dokter di bagian LAKESLA Drs. R. Med. Rijadi S., Phys
Surabaya.
C. Para perawat dan pegawai di LAKESLA Drs. R. Med. Rijadi S., Phys
Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................2
KATA PENGANTAR....................................................................................3
DAFTAR ISI..................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR......................................................................................6
DAFTAR TABEL...........................................................................................7
BAB 1...........................................................................................................8
BAB 2.........................................................................................................10
2.1. Terapi Oksigen Hiperbarik............................................................10
2.1.1 Definisi..............................................................................10
2.1.2 Sejarah.............................................................................10
2.1.3 Ruang Udara Bertekanan Tinggi......................................11
2.1.4 Prinsip Fisika dalam Terapi Hiperbarik............................12
2.1.5 Mekanisme Kerja..............................................................14
2.1.6 Manfaat.............................................................................15
2.1.7 Indikasi.............................................................................17
2.1.8 Kontraindikasi...................................................................18
2.1.9 Komplikasi........................................................................19
2.2. Sitokin............................................................................................19
2.2.1. Definisi..............................................................................19
2.2.2 Sifat Sitokin.......................................................................20
2.2.3 Fungsi Sitokin...................................................................21
2.2.4 Macam sitokin berdasarkan fungsinya.............................22
2.3. Sitokin ProInflamasi.......................................................................22
2.3.1 Definisi..............................................................................22
2.3.2 Macam sitokin proinflamasi..............................................22
2.4. Inflamasi........................................................................................25
2.4.1. Definisi..............................................................................25
2.4.2. Macam Inflamasi berdasarkan waktu terjadinya..............25
2.5. Radikal Bebas...............................................................................28
2.6.1. Definisi..............................................................................28
2.6.2. Contoh Radikal Bebas......................................................28
2.6. Reactive Oxygen Species (ROS)..................................................29
2.7. Hubungan Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Sitokin Proinflamasi
......................................................................................................29
4
BAB 3.........................................................................................................33
BAB 4.........................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................35
LAMPIRAN.................................................................................................37
5
DAFTAR GAMBAR
6
DAFTAR TABEL
7
BAB 1
PENDAHULUAN
8
Produksi sitokin inflamasi yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan, perubahan hemodinamik, kegagalan organ, dan
akhirnya kematian. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
mengatur jalur sitokin akan memungkinkan identifikasi yang lebih akurat
dari peradangan yang dimediasi agen dan pengobatan penyakit inflamasi
(Chen et al., 2018).
Pada terapi Oksigen Hiperbarik dengan kombinasi dosis 2,4 ATA
100% O2 selama 3x30 menit dengan interval 5 menit selama 7 hari dan
konsentrasi gel teripang (Stichopus hermanii) 3% dan kombinasi kedua
terapi menunjukkan penurunan ekspresi IL-1β yang merupakan sitokin
proinflamasi dan peningkatan ekspresi IL-10 yang merupakan anti
inflamasi secara signifikan pada tikus diabetes periodontitis
(Mulawarmanti and Parisihni, 2019).
Dengan demikian tugas referat ini disusun untuk mengetahui lebih
lanjut pengaruh hiperbarik dan hubungannya dengan sitokin proinflamasi
yang memiliki peranan terhadap proses inflamasi di dalam tubuh.
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Sejarah
Terapi hiperbarik pertama kali dilakukan oleh Henshaw, seorang
dokter Inggris pada tahun 1662 dan masih menggunakan kompresi udara.
Kemudian Ilmuwan Inggris bernama John Priestly mengemukakan
oksigen pertama kalinya pada tahun 1775, yang pada akhirnya memiliki
efek mendalam pada hiperbarik. Sayangnya, pada tahun 1789 Lavoisier
dan Seguin sempat ragu untuk menggunakan Terapi Oksigen Hiperbarik
(TOHB) karena oksigen yang terkonsentrasi tersebut memiliki efek toksik.
Hal ini diperjelas oleh penelitian Paul Bert pada tahun 1878, bahwa efek
toksik oksigen pada sistem saraf pusat akan menyebabkan kejang.
Meskipun gagasan bahwa kelebihan oksigen beracun berlaku, Arntzenius
melakukan review mendalam pada tahun 1887 dan mencatat hingga 300
referensi dalam literatur untuk mencari indikasi dari terapi hiperbarik.
Ruang hiperbarik pertama dibangun di Amerika Utara pada tahun
1860 di Oshawa, ON, Kanada. Kemudian pada tahun 1861 New York,
Amerika Serikat juga mengikuti untuk membangun ruang hiperbarik
pertamanya. Kemudian pada tahun 1921 dibangunlah ruang hiperbarik
yang paling terkenal di Cunningham di Kansas, Amerika Serikat, yang
beroperasi di dunia hanya pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia
membangun ruang terbesar di dunia di Cleveland, OH berdiameter 64
kaki, memiliki 5 lantai dengan 12 kamar tidur setiap lantainya.
10
Pada tahun 1937, Behnke dan Shaw berhasil menggunakan TOHB
untuk pengobatan penyakit dekompresi. Sejak saat itu, TOHB telah
digunakan dalam pengobatan berbagai kondisi medis seperti keracunan
karbonmonoksida, infeksi, dan trauma, dan penelitian untuk membuktikan
efektivitas dalam beberapa hal seperti penyembuhan luka pada penderita
diabetes (Edwards, 2010).
11
3. Portable high pressure multi-man chamber
a. Dapat dipindahkan
b. Digunakan untuk pengobatan penyelaman
c. Mampu menampung lebih dari 1 orang
4. Portable high or low pressure one-man chamber
a. Digunakan untuk pengobatan / transportasi
b. Mampu menampung 1 orang
1. Monoplace
2. Multiplace or “walk-in” chambers
3. Mobile or portable
– Monoplace: transportable by air, sea, or land
– Multiplace: chamber can be driven from place to place
4. Chambers for testing and training divers
5. Small hyperbaric chambers
– For neonates
– For animal experiments
12
Hal ini menjelaskan bahwa karbondioksida 24 kali lebih larut
daripada oksigen dan 48 kali lebih larut daripada nitrogen dan oksigen
kelarutannya dua kali dari nitrogen. Distribusi gas ke jaringan bergantung,
tidak hanya pada konsentrasi gas dalam larutan, tetapi juga dengan difusi
ke jaringan itu sendiri, yang keduanya dapat dipengaruhi oleh tekanan.
Hukum Henry menentukan konsentrasi gas dalam jaringan atau cairan,
sedangkan Hukum Fick menggambarkan tingkat difusi gas melalui
jaringan atau cairan. Hukum Fick menyatakan bahwa aliran gas (volume
gas per satuan waktu [Vgas]) melalui jaringan atau membran sama
dengan luas permukaan (A) dibagi dengan ketebalan (T) dikalikan dengan
difusi konstanta (D) kali perbedaan tekanan parsial (P1-P2) gas di seluruh
jaringan atau membran. Tekanan parsial gas dihitung dengan mengalikan
tekanan campuran gas kali persentase campuran gas tersebut. Karena
luas permukaan dan ketebalan jaringan atau membran biasanya tak
terukur, persamaan sering dikurangi menjadi aliran gas sama dengan
konstanta difusi kali perubahan dalam tekanan parsial.
13
tekanan parsial gas dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan fraksi
gas terinspirasi atau tekanan atmosfer. Dengan cara ini, inspirasi udara
yang kaya oksigen pada kondisi hiperbarik akan meningkatkan gradien
tekanan oksigen dan memungkinkan untuk menyebar jauh ke jaringan
terutama pada mereka yang ketebalan sekunder terhadap peradangannya
meningkat atau mereka yang memiliki penurunan aliran darah. Metode
lain untuk meningkatkan konsentrasi relatif oksigen adalah melalui
vasokonstriksi jaringan yang teroksigenasi dengan baik sehingga tubuh
dapat mengalihkan oksigen ke jaringan yang kurang teroksigenasi
dengan baik.
Hukum Boyle berhubungan dengan bagaimana volume gas
berespon di bawah tekanan. Hukum Boyle menyatakan bahwa dengan
meningkatnya tekanan (P) volume (V) gas berkurang secara proporsional.
14
Penurunan ukuran gelembung adalah aplikasi dari hukum Boyle
hukum dimana volume gelembung menurun secara langsung sebanding
dengan peningkatan tekanan dan merupakan mekanisme utama dalam
manajemen penyakit dekompresi dan emboli arterial gas (Bhutani and
Vishwanath, 2012).
2.1.6 Manfaat
a. TOHB meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan
Pada kondisi atmosfer normal, hampir 100% oksigen diangkut
dengan mengikat hemoglobin, dan hanya sejumlah kecil dilarutkan
dalam plasma. Distribusi oksigen terjadi ketika molekul oksigen
meninggalkan sistem sirkulasi dan menyebar ke gradien konsentrasi
yang lebih rendah yaitu ke dalam sel. Gradien konsentrasi ditentukan
oleh tekanan parsial oksigen dalam kapiler dan jaringan sekitarnya.
Jaringan dengan perfusi yang buruk membuat gradien menjadi curam
yang menyebabkan pengiriman oksigen lebih besar, selain itu mereka
juga memiliki permintaan oksigen kumulatif yang lebih besar. Pasien
yang menderita penyakit mikrovaskular seperti diabetes memiliki lebih
sedikit kapiler untuk memberikan oksigenasi ke jaringan. TOHB
memerangi keadaan hipoksia dengan meningkatkan jumlah oksigen
terlarut dalam plasma serta meningkatkan tekanan parsial oksigen
dalam cairan jaringan fluid. Hal ini meningkatkan jumlah oksigen yang
tersedia untuk jaringan, sehingga memenuhi permintaan oksigen dari
jaringan hipoksia. Penelitian klinis menunjukkan bahwa distribusi
oksigen ke jaringan hipoksia menjadi 16 kali lipat lebih tinggi dengan
TOHB (Johnston et al., 2016).
b. TOHB meningkatkan angiogenesis, penyembuhan luka, dan
respon imun melalui sinyal sel
Angiogenesis adalah proses perluasan atau pembentukan
pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang ada untuk memenuhi
darah dan oksigen seiring karena meningkatnya permintaan dalam
jaringan. Terdapat dua proses utama dalam angiogenesis, yaitu:
migrasi sel endotel, yang membuat percabangan pada lumen
15
pembuluh darah dimana pembuluh darah baru terbentuk sebagai
perluasan dari jaringan yang ada. Pada penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa TOHB meningkatkan perekrutan sel progenitor
yang menjadi sel-sel untuk membuat pembuluh darah baru (Johnston
et al., 2016)
Penyembuhan luka merupakan suatu proses normal yang
terjadi akibat cedera yang terdiri dari empat tahap: hemostasis,
peradangan, proliferasi dan remodelling jaringan. Ketersediaan
oksigen sangat penting dalam penyembuhan luka terutama untuk
memfasilitasi fosforilasi oksidatif untuk fungsi seluler normal. Namun,
selama fase awal dari penyembuhan luka, luka bersifat hipoksia. Hal
Ini menstimulasi sinyal untuk melakukan proses angiogenesis dan
menstimulasi faktor penyembuhan luka seperti hypoxia-inducible
factors (HIF), platelet-derived growth factor (PDGF), transforming
growth factor beta (TGF-ß), vascular endothelial growth factor (VEGF),
tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan pre-pro-endothelin1 (PPET-
1), tetapi sebaliknya jika luka kronis hipoksia akan menyebabkan
gangguan penyembuhan. Perbedaan dalam efek hipoksia ditentukan
oleh ekspresi HIF, dengan TOHB ekspresi HIF menjadi menurun
sehingga meningkatkan penyembuhan luka awal. Namun, dalam
kondisi hiperoksigen ekspresi HIF menjadi meningkat yang
menyebabkan peningkatan ekspresi VEGF. Selain sitokin tersebut,
SDF-1 telah terbukti menjadi penentu utama penyembuhan luka dan
diaktifkan oleh TOHB. Kurangnya ekspresi SDF-1 menjelaskan
mengapa luka kronis hipoksia seperti diabetes tidak sembuh.
TOHB telah terbukti mengurangi peradangan dengan
menghambat pembentukan prostaglandin, IFN-γ, IL-1, dan IL-6. Efek
anti-inflamasi pada TOHB ini dapat meningkatkan fungsi sistem
kekebalan tubuh umum dengan menurunkan agen imunosupresif
seperti IL-1, IL10. Respon sistem kekebalan tubuh lebih lanjut
ditambah dengan TOHB akan memproduksi spesies oksigen reaktif
(ROS) oleh leukosit. Selain menekan sitokin, meningkatkan aktivitas
16
anti-inflamasi dan respon imun, TOHB memiliki efek pada produksi
antioksidan (Johnston et al., 2016).
c. TOHB dan jalur respon antioksidan
Cedera, infeksi dan penyakit kronis akan mengaktivasi jalur
respon stres. Dalam menanggapi stres, sel akan menghasilkan
antioksidan. Sistem utama yang mengatur produksi antioksidan
adalah Nrf2-Keap1 / cytoplasmic oxididative stress system. Keap1
adalah protein pengawal sitoplasma yang berikatan dengan Nrf2 – a
transcription. Setelah TOHB, Nrf2 akan meningkat dan mengaktivasi
jalur antioksidan, sehingga terjadilah sitoproteksi sel-sel endotel. Nrf2
akan memuncak pada 4 jam setelah paparan TOHB dan
diekspresikan dalam level kontrol pada 24 jam setelah paparan.
TOHB, meskipun terbukti meningkatkan Nrf2 dalam beberapa jam
setelah paparan sebenarnya menyebabkan penurunan jangka
panjang dalam ekspresi Nrf2 ketika TOHB dilanjutkan dengan pola
pemaparan yang relevan secara klinis. Respon bifasik ini diperkirakan
mengindikasikan peningkatan jangka pendek protein antioksidan
sitoprotektif yang dirangsang oleh TOHB, tetapi akhirnya berkontribusi
terhadap penurunan jangka panjang dalam produksi antioksidan
akibat efek sitoprotektif dari TOHB lanjutan (Johnston et al., 2016).
2.1.7 Indikasi
Berdasarkan tingkat kegawatdaruratan, indikasi TOHB dibagi
menjadi (Yan, Liang dan Cheng, 2015) :
a. Indikasi darurat
1. Keracunan gas akut (gas karbon monoksida,maupun gas
berbahaya / beracun lainnya)
2. Gas gangren, tetanus, atau infeksi bakteri anaerob lainnya
3. Decompression sickness
4. Sindroma emboli udara
5. Edema cerebri
6. Edema pulmonum ( kecuali cardiac pulmonary edema)
7. Crush syndrome
17
8. Pemulihan suplai darah pada ekstremitas setalah transplantasi
kulit
9. Keracunan obat dan bahan kimia
10. Acute ischemic anoxic encephalopathy
2.1.8 Kontraindikasi
Kontraindikasi dari terapi oksigen hiperbarik terdiri dari (Choudhury,
2018).
a. Kontraindikasi absolut : Pneumothorax yang belum dirawat
b. Kontraindikasi relatif :
1. Infeksi saluran nafas bagian atas
2. Emfisema yang disertai retensi CO2
18
3. Asymptomatic pulmonary lesions which are seen on chest X- ray
4. Sinusitis kronis
5. Riwayat operasi dada
6. Riwayat operasi telinga
7. Riwayat pneumothorax spontan
8. Riwayat neuritis optik
9. Uncontrolled hyperthermia
10. Kehamilan
11. Claustrophobia
12. Penyakit kejang
13. Spherositosis kongenital
14. Infeksi virus
15. Kerusakan paru asimptomatik yang ditemukan pada x-ray photo
2.1.9 Komplikasi
Pengobatan dapat membawa risiko dan manfaat. Salah satu
komplikasi yang sering disebabkan oleh Terapi Oksigen Hiperbarik adalah
barotrauma (yaitu, cedera akibat tekanan sebagai hasil dari
ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan dengan lingkungan
sekitarnya). Berikut adalah komplikasinya (Latham, 2018):
1. Barotrauma (telinga, sinus, gigi, paru)
2. Tuli tiba-tiba, tinnitus, nystagmus, vertigo, atau keduanya
3. Keracunan oksigen : kejang, batuk kering, nyeri dada, menurunnya
kapasitas paru
2.2. Sitokin
2.2.1. Definisi
Sitokin adalah golongan protein / glikoprotein / polipeptida yang
larut dan diproduksi oleh sel limfosit dan sel-sel lain seperti makrofag,
eosinofil, sel mast dan sel endotel. Sitokin disebut lymphokine bila
dihasilkan oleh limfosit, dan disebut monokine apabila dibentuk oleh
monosit. Sitokin berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur
hampir semua proses biologis penting seperti halnya aktivasi,
19
pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, proses inflamasi sel, imunitas,
serta pertahanan jaringan ataupun morfogenesis. Semuanya terjadi
akibat rangsangan dari luar. Sitokin merupakan protein nonstruktural
yang berukuran sangat kecil, dengan berat molekul yang mulai dari 8
hingga 40.000 d. Sitokin dikelompokkan berdasarkan aktivitas biologisnya.
Sebagian besar, sitokin terlibat dalam respon host terhadap penyakit atau
infeksi, dan juga mekanisme homeostatis. Sitokin akan dihasilkan ketika
dirangsang oleh peristiwa-peristiwa berbahaya, sehingga disebut dengan
dengan "cell stressor." Infeksi dan inflamasi akan mengaktifkan mitogen-
activated protein kinases (MAPKs), sebagai faktor transkripsi fosforilasi
untuk ekspresi gen sitokin. (Dinarello, 2000; Soeroso, 2007).
20
berperan dalam imunitas bawaan (cytokines that mediated nature
immunity). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: interferon tipe I,
TNF-α (tumor necrosis factor-α), IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-
6), chemokin. Keduanya yaitu sitokin pengatur aktivasi, pertumbuhan
dan diferensiasi sel limfosit, antara lain: IL-2 (interleukin-2), IL-4
(interleukin-4 ),TGF-ß (transforming growth factor -ß). Yang ketiga
adalah sitokin pengatur mediator imun dalam proses inflamasi, antara
lain: interferon-γ , limfotoxin, IL-10 (interleukin-10), IL-2 (interleukin-
2), migration inhibition factors, TNF- (tumor necrosis factor- ) sitokin
merangsang haematopoetik, contoh: C - kit ligand, IL-3 (interleukin-3),
granulocyte-macrophage (Soeroso, 2007).
Sitokin dapat bekerja secara lokal (autocrine action atau pada sel
terhadap sitokin terdiri atas perubahan dalam ekspresi gen dalam sel
target, sitokin berfungsi sebagai regulatorn dalam pembelahan sel.
21
Abbas pada tahun 1994 menyatakan bahwa fungsi sitokin dapat
disebutkan dalam beberapa kategori, yaitu: sebagai mediator imunitas
bawaan, mengatur aktivasi, pertumbuhan dan diferensiasi sel limfosit,
mengatur immune mediated inflammation, merangsang leukosit yang
belum matang/ immature dalam pertumbuhan dan diferensiasi.
22
endotel, dengan meningkatkan leukosit ke permukaan endotel sebelum
emigrasi ke dalam jaringan. Sedangkan IFN−γ , akan meningkatkan
kegiatan TNF dan menginduksi nitrat oksida (NO). Selain itu terdapat
phospholipase A2 tipe II (PL), cyclooxygenase (COX)-2 yang merupakan
kode gen enzim yang meningkatkan sintesis platelet-activating factor dan
leukotrien, prostanoid dan NO. Kelas gen lain yang proinflamasi yaitu
kemokin, yang merupakan peptida kecil berukuran 8.000 d yang
memfasilitasi jalannya leukosit dari sirkulasi ke dalam jaringan sehingga
jumlahnya meningkat. Terdapat kemokin prototipikal yaitu IL-8. IL-8 juga
mengaktifkan neutrofil untuk mendegranulasi dan menyebabkan
kerusakan jaringan (Dinarello, 2000).
23
Tabel 2. 3 Sitokin dan Fungsinya
bertindak pada beberapa jalur signaling yang berbeda melalui dua sel
reseptor permukaan, seperti TNFR1 dan TNFR2 yang mengatur jalur
apoptosis, kemudian NFkB yang mengaktivasi inflamasi, dan
mengaktifkan stress-activated protein kinases (SAPKs). Reseptor TNF-α
terdapata pada neuron dan glia. TNF-α telah terbukti memainkan peran
penting dalam inflamasi dan hyperalgesia neuropatik (Zhang and
Jianxiong, 2009).
2.4. Inflamasi
2.4.1. Definisi
Inflamasi adalah suatu respon protektif yang melibatkan sel host,
pembuluh darah dan protein serta mediator-mediator yang ditujukan untuk
24
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan
nekrotik yang dihasilkan akibat jejas sel, dan menginisiasi proses
perbaikan. Menurut waktunya, inflamasi dibagi menjadi dua yaitu,
inflamasi akut dan kronis (Kumar, et al., 2013).
1. Inflamasi Akut
Inflamasi akut merupakan radang dengan onset relatif singkat, dari
beberapa menit hingga beberapa hari yang ditandai dengan eksudasi
cairan dan protein plasma serta didominasi oleh akumulasi dari leukosit
neutrofil yang berperan untuk membersihkan setiap mikroba yang
menginvasi dan menginisiasi proses fagositosis dan menguraikan jaringan
nekrotik. Inflamasi akut terdiri dari dua komponen penting (Kumar, et al.,
2013):
1. Perubahan vaskular: peningkatan diameter pembuluh darah
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan
perubahan struktural dinding pembuluh darah yang memungkinkan
protein plasma keluar dari sirkulasi (peningkatan permeabilitas
vaskular). Selain itu sel-sel endotel yang teraktivasi akan
meningkatkan adhesi dan migrasi leukosit melalui dinding
pembuluh darah.
25
2.
26
2. Inflamasi Kronis
27
independen. Radikal bebas memiliki jumlah elektron ganjil sehingga
berumur pendek, sangat reaktif, dan tidak stabil. Radikal bebas dapat
bereaksi dengan cepat dengan molekul lain dengan menangkap elektron
untuk menjadi stabil. Radikal bebas akan menjadi seimbang dengan
mengambil elektron pada molekul terdekat. Sementara itu molekul yang
diserang akan menjadi radikal bebas yang disebabkan kehilangan
elektron dan memulai reaksi berantai sehingga menyebabkan kerusakan
pada sel (Suryadinata, 2018).
Radikal bebas pada tubuh manusia tidak hanya diperoleh dari
endogen (hasil produk metabolisme sel secara normal), namun juga dapat
diperoleh dari sumber eksogen (polusi udara, asap kendaraan, asap
rokok, dan lain sebagainya). Pada sumber endogen, metabolisme sel
normal merupakan sumber utama untuk menghasilkan Radical Oxygen
Species (ROS) dan memainkan peran penting dalam aktivasi jalur sinyal
pada sel yang mempengaruhi metabolisme intra dan ekstraseluler
(Suryadinata, 2018).
28
inflamasi kronis, termasuk aterosklerosis. Pada tingkat fisiologis, ROS
intraseluler juga berfungsi sebagai semacam molekul pensinyalan untuk
berpartisipasi dalam proses peradangan serta kelangsungan hidup sel.
Sebagian besar ROS diproduksi dalam sel melalui mitokondria.
Selama reaksi metabolisme endogen, ROS akan dihasilkan oleh sel
aerobik (berupa anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen
peroksida) sebagai produk dari biologis oksigen molekuler. Dalam situasi
hipoksia, mitokondria juga dapat menghasilkan nitrit oksida (NO) yang
menghasilkan Radical Nitrogen Species (RNS) (Suryadinata, 2018).
29
peroxynitrite (ONOO-) yang merupakan reaktif nitrogen spesies utama
(Yazlovitska et al., 2014).
30
Jenis SOD, pertama yaitu Cu, Zn SOD adalah protein dimerik
dengan dua subunit yang identik diikat secara non kovalen. Cu, Zn SOD
berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap radikal
bebas. Terletak dalam sitoplasma dan organel dengan ukuran 32.000
kDA. Kedua, Mn SOD Bekerja sebagai antioksidan utama dalam
menghambat kerja superoxide dismutase di dalam mitokondria. Mn SOD
berukuran 40.000 kDA yang terdiri dari 4 subunit dengan atom mangan.
Tipe ini disintesis terbanyak di cairan ekstraseluler oleh beberapa sel saja,
contohnya sel endotel dan fibroblast. Ketiga, Fe SOD merupakan enzim
yang banyak ditemukan pada prokariot, tumbuhan dan bakteri. Terdiri dari
tiga ion besi yang berikatan dengan tiga histidin, satu aspartat, dan satu
molekul air.
Cara kerjanya dengan mengkatalisis dismutasi pada superoxide
menjadi hydrogen peroxide dan oksigen. Selanjutnya hydrogen peroxide
diubah menjadi molekul air oleh enzim katalase dan glutation peroksidase.
Keberadaan SOD dapat ditemukan di otak, hati, sel darah merah, ginjal,
tiroid, testis, otot jantung, mukosa lambung, 2 kelenjar ptuitari, pankreas
dan paru (Birben et al., 2012).
Terapi oksigen hiperbarik memiliki efek antiinflamasi karena terapi
ini mempengaruhi pelepasan berbagai mediator sitokin antiinflamasi atau
menurunkan sitokin proinflamasi. Terapi oksigen meningkatkan jumlah
oksigen dalam darah yang dapat dibawa (Jain, 2017).
TOHB mempengaruhi pelepasan sejumlah sitokin dan faktor
pertumbuhan yang penting untuk penyembuhan luka. Studi menunjukkan
berbagai efek HBO2 pada produksi sitokin (Tabel 2.4). Pada pasien
dengan penyakit Crohn, HBO2 mengurangi IL-1, IL-6, dan TNFα. HBO2
secara efektif mengurangi kelebihan produksi TNFα plasma yang
menginduksi heatstroke (Al-Waili dan Butler, 2006).
Pada penelitian terhadap makrofag juga menunjukkan bahwa saat
diinkubasi dalam RUBT 97,9% O2, 2,1% CO2, pada 2,4 ATA. Ditemukan
bahwa paparan TOHB selama 90 menit menghambat IL-1β sebesar 23%
31
dan TNFα 27%. Selain itu, juga menghambat sekresi IFN−γ (Al-Waili dan
Butler, 2006).
Maka dengan terapi oksigen hiperbarik bersama dengan peran
SOD dalam tubuh dapat menurunkan ROS dan stres oksidatif, sehingga
hubungannya dapat mengurangi sitokin proinflamasi dan mencegah
terjadinya inflamasi.
32
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
HBO
Trauma, invasi, infeksi
PO2 ↑
Stres Oksidatif ↑
ROS
menstimulasi SOD
ROS ↑ NFkß
O2 - teraktivasi
SOD ↑
H 2 O2
Stres Oksidatif ↓
Sitokin proinflamasi
IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IL-
18, TNF, TNF-α,
ROS ↓
Inflamasi
33
BAB 4
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Diabetic Periodontitis The Effect of Sticopus Hermanii-Hyperbaric
Oxygen Therapy to Inflammatory Response of Diabetic Periodontitis’.
Nakad, R. and Schumacher, B. (2016) ‘DNA Damage Respone and
Immune Defense Journal’, Frontiers Journal.
Pallavi, S. (2012) ‘Reactive Oxygen Specie, Oxidative Damage, and
Antioxidative Defense Mechanism in Plants Under Stressful
Conditions’.
Setianingsih, H. and Suryokusumo, M. G. (2017) ‘Hyperbaric Oxygen
Effect Towards Liver Function In Rats Infected By Plasmodium
berghei’, 10(10), pp. 85–91.
Soeroso, A. (2007) ‘Cytokines’, 5(3). Available at: cytokines.
Srinivasan, L., Harris, M. C. and Kilpatrick, L. E. (2016) ‘Cytokines and
Inflammatory Response in the Fetus and Neonate’, in Fetal and
Neonatal Physiology. Fifth Edit. Elsevier Inc., p. 1241–1254.e4.
Suryadinata, R. V. (2018) ‘Pengaruh Radikal Bebas Terhadap Proses
Inflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)’, Amerta
Nutrition, 2(4), pp. 317–324.
Winarsi, H., Wijayanti, S. P. M. and Purwanto, A. (2012) ‘Aktivitas Enzim
Superoksida Dismutase, Katalase, dan Glutation Peroksidase Wanita
Penderita Sindrom Metabolik’, Majalah Kedokteran Bandung, 44(1),
pp. 7–12.
Yan, L., Liang, T. and Cheng, O. (2015) ‘Hyperbaric oxygen therapy in
China’, Medical Gas Research, 5(1), pp. 1–6.
Yazlovitska, E. et al. (2014) ‘Reactive Oxygen Species’, United States of
America Journal Bioquivalence & Bioavailability Scientific Research.
Zhang, J.-M. and Jianxiong, A. (2009) ‘Cytokines, Inflammation and Pain’,
Int Anesthesiol Clin., 69(2), pp. 482–489.
36
LAMPIRAN
37
38
39