Anda di halaman 1dari 39

REFERAT LAKESLA

HUBUNGAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP PEMBENTUKAN


NEUROVASKULARISASI MELALUI JALUR SPCs (Stromal Progenitor Cells)
MOBILIZATION DAN PENINGKATAN HIF-I (Hipoxia Inducing Factor – I) PADA
DECOMPRESSION SICKNESS

Pembimbing :
LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq., M. Kes
NRP 11774/P

Penyusun :
Adisty Dwi Wulandari 2017.04.2.00185
Afdini Safitri Dwi Mayang Sari 2017.04.2.00186

DOKTER MUDA ANGKATAN 42


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
LEMBAGA KESEHATAN KELAUTAN TNI ANGKATAN LAUT
Drs. Med. R. Rijadi S., Phys.
PERIODE 18 MARET – 29 MARET 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “Hubungan Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Pembentukan


Neurovaskularisasi Melalui Jalur SPCs (Stromal Progenitor Cells) Mobilization Dan
Peningkatan HIF-I (Hipoxia Inducing Factor – I) pada Decompression Sickness” telah
diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan Dokter Muda angkatan 42 di bagian Lembaga Kesehatan
Kelautan TNI Angkatan Laut (LAKESLA TNI AL) Drs. Med. R. Rijadi S., Phys.

Mengesahkan

LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq., M. Kes


NRP 11774/P

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat dengan judul “Hubungan
Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Pembentukan Neurovaskularisasi Melalui Jalur
SPCs (Stromal Progenitor Cells) Mobilization Dan Peningkatan HIF-I (Hipoxia Inducing
Factor – I) pada Decompression Sickness”. Adapun tugas referat ini ditulis sebagai
salah satu persyaratan akademis dalam masa kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA
TNI AL Drs. Med. R. Rijadi S., Phys., dengan tujuan untuk menambah wawasan
mengenai manfaat terapi oksigen hiperbarik, serta memberi pengalaman dalam
penulisan dan penyajian suatu karya tulis.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada LETKOL LAUT (K) dr. Akhmad Rofiq.,
M. Kes selaku dokter pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
dalam penulisan referat ini, serta semua pihak yang telah membantu, sehingga
terselesaikannya referat ini.

Surabaya, 22 Maret 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA ................................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
2.1 Decompression Sickness ...................................................................... 3
2.1.1 Definisi ......................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi ................................................................................. 3
2.1.3 Klasifikasi ..................................................................................... 4
2.1.4 Patogenesis .................................................................................. 4
2.1.5 Manifestasi Klinis ......................................................................... 7
2.1.6 Faktor Resiko ................................................................................ 7
2.1.7 Pencegahan ................................................................................. 8
2.1.8 Penatalaksanaan ......................................................................... 9
2.2 TOHB (Terapi Oksigen Hiperbarik) ....................................................... 11
2.2.1 Definisi ......................................................................................... 11
2.2.2 Metode .......................................................................................... 12
2.2.3 Dasar Fisiologis ........................................................................... 13
2.2.4 Efek Terapetik pada TOHB ........................................................... 14
2.2.5 Indikasi TOHB .............................................................................. 16
2.2.6 Kontaindikasi TOHB ...................................................................... 21
2.2.7 Komplikasi TOHB ......................................................................... 24
2.3 Pembentukan Nerovaskularisasi Melalui Jalur SPCs Mobilization dari
Bone Marrrow dan Peningkatan HIF-1 .................................................. 25
2.2 Hubungan TOHB dengan Pembentukan Nerovaskularisasi Melalui
Jalur SPCs Mobilization dari Bone Marrrow dan Peningkatan HIF-1 ..... 28
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL ...................................................................... 31

iv
BAB IV KESIMPULAN............................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 33

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terapi oksigen hiperbarik atau hiperoksigenasi adalah sebuah metode
pemberian oksigen murni (O2) pada ruang bertekanan atmosfer tinggi untuk
mengobati kondisi medis. Terapi oksigen hiperbarik memiliki dua tipe; terapi
oksigen hiperbarik sistemik yaitu pasien bernafas dengan oksigen hiperbarik
didalam tekanan chamber dan O2 dikirim ke seluruh tubuh. Terapi oksigen
hiperbarik topikal yaitu O2 dikirim secara langsung disekitar area luka (Oregon,
2018).
Neovaskularisasi terjadi melalui dua mekanisme, angiogenesis dan
vaskulogenesis. Ini melibatkan pembentukan pembuluh darah de novo dari sel-
sel prekursor yang disebut angioblas (prekursor sel endotel), sedangkan
angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah dari pembuluh yang
sudah ada sebelumnya. Proses ini melibatkan renovasi pembuluh darah menjadi
pembuluh besar dan kecil yang khas untuk jaringan yang mengandung arteri,
kapiler, dan vena. Angiogenesis terjadi pada dewasa dan embrio selama
perkembangan (Zimna et al, 2015).
Faktor yang pertama dirangsang oleh faktor regional dan yang terakhir
dengan perekrutan dan diferensiasi stem/progenitor sel (SPCs) yang
bersirkulasi. HBO meningkatkan produksi faktor pertumbuhan spesifik seperti
faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Stres oksidatif di tempat-tempat
neovaskularisasi merangsang sintesis faktor pertumbuhan dengan menambah
sintesis dan stabilisasi faktor yang diinduksi hipoksia 1 (HIF-I), sebuah proses
yang lebih jauh ditingkatkan oleh HBO. HBO juga meningkatkan pembentukan
matriks ekstraseluler, suatu proses yang bergantung pada O2 yang terkait erat
dengan neovaskularisasi (Löndahl, 2012).
Beberapa penelitian telah meneliti hubungan hiperbarik oksigen dengan
proses neuovaskularisasi. Terapi hiperbarik oksigen (HBO) bertujuan

1
meningkatkan kolagen, produksi growth factor (GF), migrasi sel dan fungsi
pembentukan pembuluh darah (Stephen, 2011).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Decompression Sickness
2.1.1. Definisi
Decompression sickenss (DCS) atau penyakit dekompresi merupakan
suatu kondisi akut yang terjadi saat atau beberapa saat setelat reduksi akut pada
tekanan sekitar yang disebabkan oleh gelembung gas. Penyakit dekompresi ini
dapat disebabkan karena dekompresi akut dari permukaan datar ke ketinggian
atau permukaan tinggi, atau yang lebih sering yaitu karena dari menyelam atau
setelah dari chamber hiperbarik kembali ke tempat dengan tekanan yang normal
(Moon, 2016).
DCS pertama kali ditemukan pada abad ke-19 pada pekerja udara
terkompresi (caisson) sehingga pertama kali disebut dengan nama caisson
disease, the bends karena karakteristik cara berjalan pada penderita DCS yang
membungkuk ke depan. DCS kemudian ditemukan pada penyelam, pilot, dan
juga stronor. DCS merupakan bagian dari penyakit yang berhubungan dengan
gelembung gas, selain dari emboli gas arteri atau arterial gas embolism (AGE).
Kedua kondisi ini disebut dengan nama decompression illness (Moon, 2016).

2.1.2. Epidemiologi
Apabila prosedur dekompresi diikuti dengan benar, maka penyakit
dekompresi jarang terjadi. Tingkat kejadian (per penyelaman) pada penyelaman
operasional terbuka dalam durasi menit sampai beberapa jam bervariasi pada
populasi penyelaman: biasanya 0,015% untuk penyelam penelitian, 0,01-0,019%
untuk penyelam wisata, 0,030% untuk penyelam US Navy, dan 0,095% untuk
penyelam komersial. Jumlah penyelam wisata aktif di seluruh dunia tidak diketahui
tetapi diperkirakan ada jutaan (Vann et al, 2014).

3
2.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi DCS yang paling umum ada dua, yaitu tipe I dan tipe II. Gejala
DCS tipe I meliputi nyeri sendi (gejala muskuloskeletal dan gejala pain-only) dan
gejala yang melibatkan kulit (gejala cutaneus) atau pembengkakakan dan nyeri
di lymph node. Gejala DCS tipe II meliputi gejala neurologis, gejala telinga
bagian dalam, dan gejala cardiopulmonary (chokes) (Moon, 2016).
Istilah DCS tipe III digunakan untuk meggambarkan pasien yang
menderita AGE setelah menghirup gas inert yang banyak saat awal penyelaman
dan pada penderita yang memiliki karakteristik manifestasi AGE dan DCS
neurologi (Moon, 2016).

2.1.4. Patogenesis
DCS dimulai dengan pembentukan dan peningkatan ukuran dari
gelembung gas di ekstravaskular maupun intravaskular ketika jumlah dari
tekanan gas terlarut (oksigen, karbon dioksida, nitrogen, helium) dan uap air
melebihi tekanan absolut lokal. Pada penyelaman, compressed-air tunnel dan
kerja caisson, kondisi supersturasi dapat terjadi karena peningkatan tekanan
parsial gas inert di jaringan yang terjadi ketika gas tersebut (biasanya nitrogen,
terkadang helium) terhirup pada tekanan tinggi. Supersaturasi terjadi ketika
dekompresi jika tingkat reduksi tekanan sekitar melebihi tingkat pembuangan gas
inert dari jaringan. (Vann et al, 2014).
Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai suatu batas
tertentu masih bisa ditoleransi, dalam arti masih memberi kesempatan gas untuk
berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah, kemudian ke alveoli paru
dan diekshalasi keluar tubuh. Setelah melewati batas kritis tertentu
(supersaturation critique), kondisi supersaturasi akan menyebabkan gas lepas
lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk tidak larut, yaitu berupa
gelembung gas. Gelembung-gelmbung gas ada yang terbentuk dalam darah
(intravaskular), jaringan (ekstravaskular) dan dalam sel (intraseluler) (Hariyanto
et al, 2018).

4
Setelah suatu penyelaman mungkin dapat dideteksi dengan doppler
detector adanya gelembung-gelembung gas dalam darah, walaupun tidak ada
gejala penyakit dekompresi (silent bubbles). Dengan adanya fenomena seperti
diatas, maka pengertian batas kritis supersaturasi gas yang berbahaya untuk
menimbulkan gejala penyakit dekompresi sebetulnya tidak lagi terletak pada
kapan mulai timbul gelembung gas nitrogen (teori Haldane), melainkan pada
kapan gelembung gas nitrogen tersebut membesar volume dan jumlahnya. Ada
korelasi antara jumlah gelembung gas yang terbentuk dengan kemungkinan
timbulnya atau berat ringannya penyakit dekompresi (Hariyanto et al, 2018).
Gelembung-gelembung gas ini dapat memiliki efek-efek mekanis,
embolik maupun efek biokimia dengan manifestasi yang beragam mulai dari
manifestasi yang ringan sampai dengan berat atau fatal. (Vann et al, 2014).
Gelembung gas ekstravaskular menimbulkan distorsi jaringan dan kemungkinan
kerusakan sel-sel disekitarnya. Ini bisa mengakibatkan gejala-gejala neurologis
maupun gejala nyeri periartikuler. Terbentuknya gelembung gas ekstravaskular
secara teoritis karena aliran darah vena di jaringan tersebut yang relatif lambat
sehingga menghambat kecepatan eliminasi gas dari jaringan (Hariyanto et al,
2018).
Gelembung-gelembung gas intravaskular akan menimbulkan dua akibat, yaitu;
1. Akibat langsung atau akibat mekanis sumbatan menimbulkan iskemia atau
kerusakan jaringan sampai infark jaringan
2. Akibat tidak langsung atau akibat sekunder dari adanya gelembung gas
dalam darah (dikenal dengan secondary blood bubble interface reactions)
bertanggung jawab atas terjadinya fenomena hipoksia seluler pada penyakit
dekompresi
Ada dua macam gelembung gas intravaskular, yaitu;
1. Gelembung yang stationer
2. Gelembung yang ikut sirkulasi

5
Gelembung gas intravaskular yang stationer selain menimbulkan efek
sumbatan juga menimbulkan gangguan lewat proses biokimia dan dapat
menimbulkan gejala nyeri periartikuler maupun gejala neurologis perifer.
Gelembung gas intravaskular yang ikut sirkulasi bila tidak banyak jumlahnya,
akan difiltrasi lewat paru (silent bubbles). Bila jumlahnya banyak akan
menimbulkan;
1. Sumbatan-sumbatan pada sirkulasi pulmoner
2. Masuk ke dalam sistem arterial lewat shunts di paru
3. Sumbatan pada sirkulasi pulmoner dapat berakibat;
a. Gangguan pernafasan (chokes)
b. Gangguan fungsi jantung kanan
c. Gangguan sistem sirkulasi vena akibat efek retrogard
Gelembung gas yang masuk ke sistem arterial akan menimbulkan gangguan
perfusi mikrovaskuler organ-organ, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya iskemia
lokal, kerusakan jaringan dan infark. Kelainan ini bisa menyebabkan gejala neurologis,
kardiovaskular dan nyeri. Gelembung gas intravaskuler menimbulkan agregasi
trombosit pada permukaan antara gelembung gas dan plasma, yang diikuti serangkaian
proses reaksi biokimia yang komplek berupa pelepasan zat-zat seperti katekolamin,
SMAF (Smooth Muscle Activating Factor), ACTH dan faktor-faktor humoral lain. Faktor
stress akibat dekompresi diperkirakan juga berperan dalam reaksi yang menimbulkan
berbagai perubahan yang terjadi pada penyakit dekompresi (Hariyanto et al, 2018).
Perubaaan-perubahan yang diakibatkan oleh rangkaian proses biokimia
yang terjadi pada penyakit dekompresi adalah;
1.Terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dengan akibat;
a. Hemokonsentrasi dan hypovolemia
b. Oedema paru
2.Stasis pada kapiler-kapiler karena adanya hemokonsentrasi
3.Hiperkoagubilitas dalam darah
4.Gangguan difusi gas-gas dalam alveoli

6
2.1.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dapat disebabkan karena efek langsung dari gelembung
gas ekstravaskular (autochthonus) seperti distorsi mekanis jaringan yang dapat
menyebabkan nyeri, atau obstruksi vaskular yang menyebabkan tanda dan
gejala yang mirip dengan stroke (Vann et al, 2014).
Efek sekunder dapat menyebabkan gejala tertunda yang onsetnya muncul
24 jam setelah berada di permukaan. Kerusakan endotel yang disebabkan
karena gelembung gas intravaskular dapat menyebabkan kebocoran kapiler,
ekstravasasi plasma dan hemokonsentrasi. Hipotensi juga dapat terjadi pada
beberapa kasus yang berat (Vann et al, 2014).
Efek-efek lain meliputi aktivasi dan deposisi platelet, adesi leukosit-endotel,
dan akibat dari oklusi vaskular yang biasanya terjadi pada stroke tromboembolik
seperti iskemia-reperfusi injury dan apoptosis (Vann et al, 2014).

2.1.6. Faktor Resiko


1. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko terjadinya DCS. Penyelam yang memiliki
kelebihan 20% dari berat badan ideal, sebaiknya dilarang untuk melakukan
penyelaman sampai mereka mengurangi berat badannya sampai mencapai
berat badan idealnya.
2. Jenis Kelamin
Wanita memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami DCS yang berhubungan
dengan ketinggian terutama pada saat mereka mengalami menstruasi.
3. Sensitivitas terhadap Aktivasi Komplemen
Individu yang lebih sensitif terhadap aktivasi komplemen melalui jalur
alternatif lebih beresiko terkena DCS.
4. Kadar Kolesterol dan Hemokonsentrasi
Kadar kolesterol serum yang tinggi dan hemokonsentrasi yang tinggi
merupakan predisposisi pembentukan gelembung-gelembung gas.
5. Foramen Ovale

7
Adanya foramen ovale merupakan faktor resiko terjadinya DCS karena
foramen ovale dapat menyebabkan emboli vena masuk ke sirkulasi sistemik.
Fetus pada penyelam yang sedang hamil dapat terancam terkena DCS.
Filter pulmonal pada bayi yang belum berfungsi, dan gelembung gas yang
dibentuk oleh jaringan fetus atau jaringan plasenta akan melewati foramen
ovale menuju ke sirkulasi arterial fetus, dimana gelembung-gelembung ini
dapat menyebabkan emboli pada otak, spinal cord, dan organ-organ yang
lain.
6. Berdiam terlalu lama pada kondisi bertekanan dan diikuti oleh dekompresi
cepat
7. Latihan berat atau stress saat berada di kedalaman
8. Terbang setelah menyelam dan kenaikan yang cepat ke dataran tinggi.

2.1.7. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dekompresi bisa dilakukan dengan
memahami tabel dan teknik dekompresi secara benar. Ada kemungkinan 1-3%
untuk mengalami penyakit dekompresi walaupun tabel telah diikuti dengan
seksama. Pencegahan lain adalah dengan menghindari faktor-faktor predisposisi,
yaitu:
1. Latihan berat selama atau sesudah menyelam
2. Menggigil selama atau sesudah menyelam
3. Kurang tidur
4. Konsumsi alkohol
5. Kegemukan
6. Usia lebih dari 40 tahun
7. Dehidrasi
8. Udara yang dihirup banyak mengandung CO2
9. Riwayat pernah DCS
10. Riwayat cedera yang baru terjadi

8
Penyelam yang pernah mengalami penyakit dekompresi tidak boleh
menyelam lagi selama 3-4 minggu, jangka waktu ini dapat diperpanjang, atau
sama sekali tidak diijinkan lagi menyelam setelah kasus-kasus penyakit
dekompresi yang berat.
Kecepatan naik ke permukaan juga harus diperhatikan. Kecepatan naik yang
diijinkan biasanya tidak lebih dari 20 meter/menit. Dalam beberapa hal, kecepatan
naik 8-10 meter/menit lebih aman (Hariyanto et al, 2018).

2.1.8. Penatalakasanaan
Tatalaksana awal pada penyelam yang terkena DCS sebaiknya sama
dengan tatalaksana pada pasien lain dengan cedera besar. Memperhatikan
airway, breathing, dan circulation merupakan hal yang terpenting. Hipoksemia
dapat terjadi karena aspirasi air atau vomitus, pneumothorax, atau
cardiorespiratory DCS (Moon, 2016).
Pertolongan pertama dan terbaik untuk penyakit dekompresi adalah oksigen
100% yang diberikan selama beberapa jam walaupun gejala dan manifestasinya
sudah membaik. Oksigen murni dapat menghilangkan gas inert dari paru dan
menetapkan gradien gas inert terbesar dari jaringan ke gas alveoli. Gradien ini
menyebabkan cepatnya pembersihan gas inert dari jaringan ke paru melalui
perfusi dan dari gelembung gas ke jaringan melalui difusi, sehingga terjadilah
hilangnya gelembung gas (Vann et al, 2014).
Keuntungan lain dari oksigen murni adalah perbaikan hipoksia jaringan yang
disebabkan oleh iskemia yang diinduksi gelembung gas, cedera mekanis, atau
kerusakan biokimia. Pada penelitian observasional, pasien dengan penyakit
dekompresi yang mendapatkan oksigen ketika pertolongan pertama mengalami
perbaikan gejala setelah beberapa kali rekompresi daripada pasien yang
tidak mendapatkan terapi oksigen (Vann et al, 2014).

9
Biasanya, rekompresi dilakukan di dalam mutiple chamber dimana penyelam
didampingi oleh satu atau lebih petugas. Rekompresi sementara menghirup
oksigen 100% mengurangi volume gelembung gas dan meningkatkan gradien
tekanan parsial gas inert antara jaringan dan gas di alveoli. Efek ini menyebabkan
perbaikan gelembung gas dengan cepat, meredakan tekanan mekanis pada
jaringan sekitar, dan mendukung redistribusi gelembung gas yang terdapat
sirkulasi mikro. Oksigen hiperbaric juga mengoksigenasi jaringan yang terganggu
dan memperbaiki respons inflamasi yang berkontribusi pada cedera jaringan
(Vann et al, 2014).

Gambar 2. 1 Penatalaksanaan Decompression Illness (Tetzlaff et al, 2015)

10
2.2 Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB)
2.2.1 Definisi
Terapi oksigen hiperbarik atau hiperoksigenasi adalah sebuah metode
pemberian oksigen murni (O2) pada ruang bertekanan atmosfer tinggi untuk
mengobati kondisi medis. Terapi oksigen hiperbarik memiliki dua tipe utama ;
terapi oksigen hiperbarik sistemik, dimana pasien bernafas dengan oksigen
hiperbarik didalam tekanan chamber dan O2 dikirim ke seluruh tubuh (sistemik).
HBO sistemik lebih umum dikenal sebgai TOHB dapat mengirim O2 murni 100%
dengan berbagi jenis. Terapi oksigen hiperbarik topikal, dimana O2 dikirim secara
langsung disekitar area luka. Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada suatu
ruang hiperbarik (hyperbaric chamber) yang dibedakan menjadi dua; yaitu
monoplace dan multiplace. Monoplace chamber hanya menampung 1 pasien
dengan tekanan terbatas jenis ini memiliki ruang yang sempit dengan terapi yang
dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Multiplace chamber berisi 2-10
pasien memiliki ruang yang lebih besar dan tekanan yang dihasilkan lebih
besar. Ruang multiplace chamber bertekanan dengan udara terkompresi
menyalurkan O2 murni dengan masker, tampon kepala atau tabung endotrakeal.
(Oregon, 2018).

Gambar 2.1 Monoplace Chamber

11
Gambar 2.2 Multiplace Chamber
Tujuan dari terapi oksigen agar oksigen berkonsentrasi tinggi larut dalam
darah dan jaringan (Narayanasamy et al, 2014).

2.2.2 Metode TOHB


A. Sistemik
Dalam oksigen hiperbarik sistemik atau chamber besar pasien masuk
dalam ruang udara bertekanan tertutup dan menghirup oksigen pada tekanan
lebih dari 1 atmosfer. Dengan demikian teknik ini bergantung pada sirkulasi
sistemik untuk mengirimkan darah dengan oksigen tinggi menuju lokasi target,
seperti luka. Selain itu hiperbarik sistemik dapat digunakan untuk mengobati
penyakit sistemik seperti ; emboli gas atau udara, keracunan karbon monoksida,
gangren gas, clostridial, dll. Perawatan dapat dilakukan baik dalam monoplace
atau multiplace.
Terapi oksigen hipebarik atau oksigen hiperbarik sistemik harus mematuhi
pedoman berikut yang konsisten dengan kriteria “Undersea and Hyperbaric
Medical Society” (Oregon, 2018) :
1. Pasien harus menghirup oksigen 100% secara intermiten atau terus
menerus sementara tekanan ruangan meningkat diatas 1 atmospher
absolut.

12
2. Tekanan oksigen hiperbarik sistemik harus minimal 1,4 ATA atau 20,5 Psi.
3. Terapi disediakan di rumah sakit atau klinik.

B. Topikal
Oksigen topikal pada luka dengan tekanan atmosfer normal (normobarik)
tidak dianggap sebagai terapi oksigen hiperbarik namun disebut sebagai sistem
oksigenasi jaringan dosis rendah. Oksigen topikal mengkonsentrasi udara
ruangan menjadi 99,9% oksigen yang dikirim melalui kanula yang ditempatkan
dibawah pembalut luka (Medicine Policy, 2018). Memilik tekanan 1,03 ATA O2
murni diberikan selama 90 menit/hari selam 4 hari berturut-turut per minggu
diikuti 3 hari tanpa terapi dalam 1 siklus. Untuk mencapai hasil yang maksimal 1
siklusnya diulangi 8-10 kali.

2.2.3. Dasar fisiologis TOHB


Dasar dari fisiologis oksigen hiperbarik terletak pada hukum gas ideal,
yaitu (Gill dan Bell 2004):
a. Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan, dan volume
gas berbanding terbalik.
P1 V1 = P2 V2
b. Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan suatu campuran gas sama
dengan jumlah tekanan parsial masing-masing gas.
P = P1 + P2 + P3 +...
c. Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas terlarut dalam cairan
berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut pada suhu tetap.
d. Hukum Charles menyatakan bahwa pada volume tetap, suhu suatu gas
berbanding lurus dengan tekanannya.
𝑃𝑉
=K
𝑇

13
2.1.4 Efek terapetik pada terapi oksigen hiperbarik
Efek terapi dari oksigen hiperbarik dapat dikaitkan dengan mekaniknya atau
efek hiperoksigenasi seperti pada tabel berikut (Ustad et al, 2012) :
1. Mengurangi ukuran gelembung
Efek mekanik langsung, Peningkatan tekanan yang disebabkan oleh HBOT
meningkatkan tekanan parsial gas dalam jaringan dan menyebabkan volume
ruang yang diisi gas, termasuk gelembung, menyusut (Angela, et al. 2017)
2. Stimulasi imun
Mengembalikan fungsi sel darah putih, meningkatkan kemampuan
fagositosis dan neutrofil dimediasi pembunuhan bakteri.
3. Neorovaskularisasi
Augmentasi aktivitas fibroblastik dengan mendorong pertumbuhan kapiler.
4. Mengurangi edema dan pembengkakan jaringan
Hiperoksigenasi
5. Bakterisida
HBO meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi
protein dan lipid membrane, yang kemudian akan menyebabkan kerusakan
DNA sehingga mencegah multiplikasi, menghambat fungsi metabolism
bakteri serta memfasilitasi system perioksidase yang digunakan leukosit
untuk membunuh bakteri. HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan
bakteri microaerophilic (Gill dan Bell, 2004). Untuk organisme anaerob :
Clostridiwelchii, dan juga menghambat pertumbuhan dari bakteri aerobik
pada tekanan lebih dari 1,3 ATA (Ustad et al, 2012)
6. Peningkatan Oksigen Peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam jaringan:
a. Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat pada
hemoglobin, dimana 97% tersaturasi pada tekanan atmosfer, Namun
beberapa oksigen dibawa oleh plasma. Pada bagian ini akan meningkat
pada terapi hiperbarik sesuai dengan hukum Henry dan Dalton, dengan
meningkatkan persen oksigen yang dihirup atau meningkatkan tekanan
saat oksigen dihirup sehingga lebih banyak oksigen akan larut dalam
plasma darah. Ketika menghirup udara normobaric, tekanan oksigen

14
arteri adalah 100 mmHg dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg.
Menghirup oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan
tekanan oksigen arteri 2000 mmHg dan tekanan oksigen jaringan
menjadi 500 mmHg, dan hal ini memungkinkan pegiriman 60 ml oksigen
per liter darah ( dibandingkan dengan 3ml/l pada tekanan atmosfer),
yang cukup untuk mendukung jarigan tanpa kontribusi dari hemoglobin.
Karena oksigen terlarut banyak di dalam plasma maka dapat
menjangkau daerah-daerah yang terhambat dimana sel-sel darah merah
tidak bisa lewat, dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan
bahkan meskipun terdapat gangguan hemoglobin yang berperan dalam
pegangkutan oksigen, seperti pada keracunan gas karbon monoksida
dan anemia berat (Angela, et al. 2017). Pasien yang menderita penyakit
mikrovaskuler seperti diabetes memiliki lebih sedikit kapiler untuk
memberikan oksigenasi ke jaringan. TOHB memerangi keadaan hipoksia
ini dengan meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam plasma serta
tekanan parsial oksigen dalam cairan jaringan. Hal ini meningkatkan
jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan seiring dengan permintaan
oksigen yang meningkat dari jaringan dengan perfusi yang buruk
(Johnston et al, 2016).
b. Peningkatan gradient difusi oksigen ke dalam jaringan: Tekanan parsial
oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradient yang
besar untuk proses difusi oksigen dari darah ke jaringan. Keadaan
tersebut sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati
mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu,
HBO juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek
patologis primer karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi
dalam jaringa iskemik (Thom, 2011).
7. Efek pada reperfusion injuri: HBO menstimulasi pertahanan melawan
radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Pada eperfusion
injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi

15
pengeluaran unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi
arteriol local. HBO mencegah proses tersebut (Angela et al, 2017).

2.2.5 Indikasi HBO


Saat ini, UHMS (Undersea and Hyperbaric Medical Society) mengakui 14
indikasi yang disetujui untuk HBOT (Angela et al, 2017) :
1. Emboli gas atau udara
Embolisme gas arteri, yang pertama kali dijelaskan oleh Brauer, terjadi
ketika gelembung udara masuk atau terbentuk dalam sirkulasi. Ada banyak
penyebab, termasuk ventilasi mekanis; penempatan garis sentral dan
hemodialisis. Namun, penyebab paling umum pada pasien yang dirujuk untuk
terapi HBO adalah cedera menyelam yang parah dan barotrauma paru, yang
mungkin memerlukan terapi tekanan yang sangat agresif.
Gelembung menyebabkan deformasi jaringan dan oklusi pembuluh darah,
mengganggu perfusi dan oksigenasi jaringan. Efek biokimiawi pada darah-gas
juga menyebabkan kerusakan endotel, perubahan hemostasis dan aktivasi
leukosit.
Efek klinis tergantung pada lokasi embolus, dengan gejala mulai dari nyeri
otot dan sendi hingga penyakit jantung dan SSP yang jauh lebih serius, yang
dapat menyebabkan aritmia, iskemia, kebingungan, defisit neurologis fokal, dan
kehilangan kesadaran. Faktor risiko penting dalam pengembangan embolus gas
arteri adalah adanya foramen ovale yang dapat memungkinkan gelembung
nitrogen pada vena selama dekompresi untuk berpindah ke sirkulasi arteri dan
menjadi emboli gas arteri yang lebih berbahaya. Demikian pula, gelembung pada
vena kecil yang terbentuk selama penyelaman naik (ascent) dapat masuk ke
kapiler paru, tetapi kapasitas filtrasi ini kewalahan dalam kasus emboli yang lebih
besar, dan gelembung dapat masuk ke sirkulasi arteri.
HBO mengurangi ukuran gelembung sesuai dengan hukum Boyle — pada
3 ATA, volume gelembung berkurang sekitar dua pertiga. Dexter menyimpulkan
bahwa HBO layak dipertimbangkan untuk embolus yang cukup besar untuk
dilihat pada CT-Scan. Hyperoxia meningkatkan gradien difusi dengan gas yang

16
diembolikan, memindahkan gas ke dalam larutan yang dapat dimetabolisme (Gill
dan Bell 2004).
2. Keracunan Karbon Monoksida
Pada saat inhalasi, karbon moniksida memiliki efek anestesi, dan afinitas karbon
monoksida (CO) yang tinggi pada hemoglobin menghasilkan oksigenasi arteri
yang kurang, menyebabkan gejala hipoksia akut yang tercantum pada (Tabel
2.1) (Gill dan Bell 2004).

Tabel 2.1 Manifestasi klinis dari keracunan karbon monoksida (Gill dan Bell
2004).
Pusing Kebingungan / Ataxia Iskemia myocardial
gelisah
Sakit kepala Penglihatan kabur Takikardi Myonekrosis
Mual Kram otot Takipneu Kejang
Muntah Nyeri perut Koma Disritmia

Pengobatan standar untuk keracunan CO adalah oksigen, untuk


menangani hipoksia, dimana CO yang lebih banyak berikatan dengan
hemoglobin, dan mendorong disosiasi carboxyhaemoglobin. Peningkatan pada
tekanan tinggi akan menekan/memperpendek waktu paruh dari
carboxyhaemoglobin dari 4-6 jam menjadi kurang dari 30 menit. Terapi HBO
dapat mendorong disosiasi CO pada sitokrom-c oksidase, mengurangi
peroksidasi lipid di otak, dan menghambat adhesi leukosit. Terapi yang
direkomendasikan oleh UHMS (pada 2,4-3,0 ATA hingga 120 menit) diulang
dalam 6-8 jam jika ada disfungsi neurologis persisten (Gill dan Bell 2004).
3. Clostridial myositis dan myonecrosis (gas gangrene)
Myonecrosis Clostridial adalah infeksi anaerob akut yang disebabkan oleh
tunas spora clostridial dalam keadaan hipoksia. Pasien mengalami nyeri akut,
toksemia dan edema yang akut. Myonecrosis Clostridial memiliki toxin hemolitik
dan liquefaktif, terutama toksin-alpha, menyebabkan kerusakan jaringan yang
luas, jaundice, anemia, gagal ginjal dan kardiotoksisitas, dan bekerja dengan

17
sangat cepat sehingga sering kali tidak ada respons imun yang muncul. Paling
umum terjadi pada luka yang terkontaminasi, tetapi juga dapat terjadi setelah
operasi. Pengobatannya adalah debridemen dan terapi antibiotik, dan terapi
tambahan HBO yang dikenal memiliki efek antibakteri dan anti-toksin (terutama
menghambat produksi alfa-toksin). UHMS merekomendasikan bahwa perawatan
dilakukan selama 90 menit dan harus diberikan pada 3,0 ATA dalam 24 jam
pertama, diikuti dengan perawatan dua kali sehari selama 4-5 hari, sampai
perbaikan klinis terlihat (Gill dan Bell 2004).
4. Crush injury, compartement syndrome, dan trauma iskemia akut lainnya
Crush injury juga telah berhasil diobati dengan HBO dengan tujuan: -
tekanan O2 pada arteri meningkat, meningkatkan oksigenasi, menyebabkan
vasokonstriksi yang dapat mengurangi edema pasca-trauma dan kemungkinan
sindrom kompartemen (Vijay Gupta, et al. 2005). UHMS merekomendasikan
perawatan dalam 4-6 jam yang diberikan pada 2.0-2.5 ATA setidaknya satu kali
sehari selama beberapa hari, meskipun pedoman bervariasi tergantung pada
jenis injury (Gill dan Bell 2004).
5. Dekompression sickness
Penyakit dekompresi (DCS) terjadi terutama di penyelam scuba, ketika
gas inert (terutama nitrogen) keluar pada saat penyelaman ascent dan
mengakibatkan terjadi dekompresi yang akan membentuk gelembung di kapiler
dan jaringan. HBO adalah satu-satunya pengobatan untuk DCS, dan UHMS
merekomendasikan pengobatan cepat pada 2,8 ATA, diulang hingga sepuluh
kali jika gejala tetap ada (Gill dan Bell 2004).
6. Insufisiensi arterial
7. Anemia berat
Pada 2.5–3.0 ATA oksigen yang terinspirasi akan terlarut dalam plasma
untuk mencukupi kebutuhan metabolisme. Oleh karena itu HBO dapat
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup, hingga mendapatkan transfusi
RBC. Indikasi ini bagaimanapun, hanya bertahan dalam beberapa jam terapi
berkelanjutan atau untuk kasus-kasus di mana pengobatan intermiten cukup
untuk meningkatkan suplay O2 (Vijay Gupta, et al. 2005) UHMS

18
merekomendasikan perawatan hingga 3 ATA selama 2-4 jam, tiga atau empat
kali sehari, sampai gejala hipoksia telah sembuh dan sel darah merah telah
diregenerasi (Gill dan Bell 2004).
8. Abses intrakranial
HBO menghambat mikroorganisme yang didominasi anaerob, mengurangi
edema serebral, dan memodifikasi respons imun. UHMS merekomendasikan
HBO untuk abses yang lokasinya dalam atau dominan, atau pada pasien dengan
gangguan kekebalan tubuh, risiko pembedahan yang gagal, atau resistensi
terhadap pengobatan konvensional. Terapi dilakukan satu atau dua kali sehari,
pada 2,0-2,5 ATA selama 60-90 menit, dan keberhasilan ditentukan oleh
gambaran klinis dan radiologis (Gill dan Bell 2004).
9. Infeksi jaringan lunak nekrotik
UHMS merekomendasikan perawatan dua kali sehari selama 90-120
menit pada 2,0-2,5 ATA, dikurangi menjadi satu kali sehari ketika kondisi pasien
stabil (Gill dan Bell 2004).
10. Osteomyelitis
Infeksi tulang kronis dan tidak responsif ini disebabkan oleh bakteri yang
mungkin tidak aktif selama bertahun-tahun. Dikombinasikan dengan antibiotik,
debridemen, dan penghilangan material asing, HBO direkomendasikan dalam
osteomielitis. HBO memaksimalkan oksigenasi berbasis plasma dan
memberikan hiperoksia yang diperlukan untuk sintesis kolagen dan
angiogenesis, meningkatkan vaskularisasi dan oksigenasi. Pembunuhan bakteri
yang dimediasi leukosit meningkat dan mengoptimalkan transportasi
aminoglikosida yang bergantung pada oksigen di seluruh dinding sel bakteri.
HBO secara langsung dan tidak langsung membunuh anaerob, mengurangi
edema, peradangan dan tekanan kompartemen. Pengobatan tergantung pada
keparahan penyakit, tetapi rekomendasi UHMS umumnya selama 90-120 menit
setiap hari pada 2,0-2,5 ATA (Gill dan Bell 2004).
11. Nekrosis jaringan dan tulang karena radiasi
Terapi radiasi merusak proliferasi sel, menyebabkan endarteritis obliteratif
progresif, yang menghasilkan jaringan hiposeluler, hipovaskular, dan hipoksia.

19
Dilihat secara klinis sebagai edema, ulserasi, nekrosis tulang dan penyembuhan
luka yang buruk. Dosis radiasi tinggi dapat menyebabkan radionekrosis spontan.
HBO meningkatkan kepadatan vaskular dan oksigenasi dalam jaringan yang
rusak karena radiasi. Dapat meningkatkan gradien oksigen jaringan dan
angiogenesis dan meningkatkan aktivitas bakterisida leukosit. Peningkatan
oksigen meningkat dari tingkat normal, memungkinkan proliferasi fibroblast,
pembentukan kolagen, dan angiogenesis pada tepi luka, yang selanjutnya
meningkatkan oksigenasi dan epitelisasi ulang. Rekomendasi UHMS untuk HBO
pada cedera radiasi biasanya 90-120 menit pada 2,0-2,5 ATA selama sekitar 40
hari (Gill dan Bell 2004).
12. Compromised surgical grafts and flaps (Cangkok kulit dan penutup (yang
mengalami reaksi penolakan/rejection))
Sejumlah penelitian pada hewan telah membuktikan kelangsungan hidup
pada cangkok kulit dengan HBO. HBO secara signifikan mengurangi leukosit
endotel dan mencegah vasokonstriksi progresif dari cedera reperfusi.
Mekanisme lain termasuk stimulasi fibroblast dan sintesis kolagen. Secara klinis,
perbaikan signifikan dengan HBO dalam pada cangkok kulit telah dilaporkan
sejak 1967. HBO juga memaksimalkan viabilitas jaringan yang terganggu. UHMS
merekomendasikan perawatan dua kali sehari pada 2,0–2,5 ATA selama 90-120
menit, dikurangi menjadi sekali sehari ketika telah stabil (Gill dan Bell 2004).
13. Luka pada kulit akibat suhu (air panas, tersetrum, luka bakar)
Luka bakar yang parah memiliki area pusat koagulasi yang cepat rusak,
karena kekurangan oksigen dan pasokan nutrisi dari jaringan di sekitarnya.
Terapi luka bakar terdiri dari antibiotik, debridemen, dan nutrisi parenteral,
dengan tujuan mengurangi edema, menjaga batas jaringan dan meningkatkan
pertahanan inang. Ada bukti bahwa HBO mengurangi hemokonsentrasi,
koagulabilitas dan kerusakan vaskular pada luka bakar termal. Seperti dibahas
sebelumnya, vasokonstriksi hiperoksik menurunkan edema, dan meningkatkan
pembentukan kolagen dan angiogenesis. Pembunuhan bakteri fagosit juga
ditingkatkan, dan kepatuhan endotel sel putih terhambat, mencegah kerusakan
kapiler. HBO mempertahankan level ATP dan integritas mikrovaskuler, dan

20
mengurangi infeksi. HBO mengurangi waktu penyembuhan, rawat inap, dan
mengurangi kebutuhan untuk okulasi. UHMS merekomendasikan tiga sesi dalam
24 jam setelah luka, dan perawatan 90 menit dua kali sehari sesudahnya, pada
2,0-2,4 ATA (Gill dan Bell 2004).
14. Penurunan pendengaran

2.2.6 Kontraindikasi HBO


Kontraindikasi absolut (LAKESLA, 2018) (Riyadi, 2016)
1. Pneumothorax
Kontraindikasi absolut adalah pneumothorax yang belum
dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat
dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax tersebut
2. Keganasan
Selama beberapa tahun orang beranggapan bahwa keganasan
yang belum diobati atau keganasan metastasik dapat menjadi lebih
buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk pengobatan
dan termasuk kontraindikasi absolut kecuali pada keadaan-keadaan
luar biasa. Namun penelitian - penelitian yang dikerjakan akhir - akhir
ini menunjukan bahwa sel - sel ganas tidak tumbuh lebih cepat dalam
suasana oksigen hiperbarik, biasanya secara bersama - sama juga
menerima terapi radiasi atau kemoterapi.
3. Kehamilan
Kehamilan juga dianggap kontraindikasi karena tekanan
parsial oksigen yang tinggi nerhubungan dengan penutupan patent
ductus arteriosus sehingga pada bati prematur secara teori dapat terjadi
fibroplasia retrolental. Namun penelitian yang kemudian dikerjakan
menunjukan bahwa komplikasi ini tidak terjadi.

21
Kontraindikasi relative
1. ISPA
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi. Dapat
ditolong dengan penggunaan dekongestan atau melakukan miringotomi
bilateral
2. Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA dapat diberikan dekongestan atau
dilakukan miringotomi bilateral.
3. Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi
oksigen. Bilamana perlu penderita dapat diberikan anti-konvulsan
sebelumnya.
4. Emfisema dengan retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih dari normal
akan menyebabkan penderita secara spontan berhenti bernafas
akibat rangsangan hipoksik. Pada penderita dengan penyakit paru
yang disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik dapat dikerjakan
bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.
5. Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen. Kemungkinan
ini dapat diperkecil dengan pemberian obat antipiretik juga dapat
dengan pemberian anti konvulsan.
6. Riwayat penumothorax spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan dalam
RUBT tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di dalam RUBT
kamar ganda dapat dilakukan pertolongan-pertolongan yang memadai.
Sebab itu bagi penderita yang mempunyai riwayat pneumothorax
spontan harus dilakukan persiapan untuk mengatasi hal tersebut.
7. Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang timbul
saat dekompresi. Setiap operasi dada harus diteliti kasus demi kasus

22
untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil. Tetapi jelas
dekompresi harus dilakukan secara lambat.
8. Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau
topangan plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi, mungkin
suatu kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik sebab
perubahan tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi
dengan spesialis THT perlu dilakukan.
9. Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara radiologis
Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat.
Menurut pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit tidak
menimbulkan masalah
10. Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus akan
lebih hebat bila binatang tersebut diberi oksigen hiperbarik. Dengan
alasan ini dianjurkan agar penderita yang terkena salesma (common
cold) menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik sampai gejala
akut menghilang apabila tidak memerlukan pengobaran sehera dengan
oksigen hiperbarik
11. Spherosis kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan pemberian
oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan hemolisis yang berat.
Bila memang pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan ini tidak
boleh jadi penghalang sehingga harus dipersiapkan langkah-langkah yang
perlu untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.
12. Riwayat neuritis optic
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik
terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen hiperbarik.
Namun kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi jika ada penderita
dengan riwayat neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan
penglihatan yang berhubungan dengan retina, bagaimanapun kecilnya

23
pemberian oksigen hiperbarik harus segera dihentikan dan perlu
konsultasi dengan ahli mata.

2.2.7 Komplikasi TOHB


Ketika digunakan dalam protocol standar tekanan yang tidak melebihi 3
ATA (300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit, terapi oksigen
hiperbarik aman. Efek samping yang paling umum adalah (Gill dan Bell, 2004) :
1. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan di kedua
sisi membrane timpani akibat tuba eustachius tertutup. Barotrauma telinga
tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik ekualisasi, otitis media dapat
dicegah dengan pseudoephedrine. Barotrauma telinga dalam sangat jarang,
tapi jika membrane timpani rupture dapat menyebabkan gangguan
pendengaran permanen, tinnitus dan vertigo.
2. Barotrauma paru
Pneumothoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi ini.
Komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan tekanan,
tapi jarang terjadi.
3. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi berlubang akibat penekanan saraf.
4. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima menit udara
biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30 menit oksigen. Hal ini
memungkinkan antioksidan untuk menetralisir radikal oksigen yang terbentuk
selama terapi.
5. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar OKSIGEN
6. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi berhubungan dengan penutupan paten
ductus asteriosus sehingga pada bayi premature secara teori dapat terjadi
fibroplasia retrolental

24
7. Katarak
Komplikasi ini jarang terjadi
8. Transient miopia reversible
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terpai HBO berkepanjangan
yang menyebabkan perubahan bentuk / deformitas dari lensa.

2.3 Pembentukan Neorovaskular Melalui Jalur SPCs Mobilization dari Bone


Marrow dan Peningkatan HIF-I

Bagan 2.1 Efek Seluler THBO

Terapi hiperbarik memberikan tekanan oksigen arteri melebihi 2000 mmHg, dan
level 200 hingga 400 mmHg pada jaringan. Efek awal dari penekanan tubuh manusia
melalui peningkatan tekanan hidrostatik, meningkatkan tekanan gas parsial dan
menyebabkan pengurangan volume ruang yang diisi gas sesuai dengan hukum Boyle.
Pengurangan volume gas memiliki relevansi langsung dengan pengobatan patologis
kondisi di mana ada gelembung gas pada tubuh, seperti emboli gas arteri dan penyakit
dekompresi. Mayoritas pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik tidak dirawat
karena cedera akibat gelembung; karenanya, terapi mekanisme terkait dengan,
meningkatkan tekanan parsial oksigen (Thom, 2011).

25
Pada terapi hiperbarik bernafas lebih dari 1 ATA, oksigen akan meningkatkan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS).
Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) berfungsi
sebagai pensinyalan molekul dalam kaskade transduksi, atau jalur untuk berbagai
faktor pertumbuhan (growth factor), sitokin, dan hormon (Thom, 2011).
ROS merupakan dasar molekuler untuk sejumlah mekanisme terapi. ROS
adalah istilah pengumpulan untuk radikal bebas yang berasal dari oksigen juga spesies
non-radikal yang mengandung oksigen, seperti hidrogen peroksida dan asam hipoklorit.
ROS dihasilkan sebagai bagian dari normal metabolisme oleh mitokondria, retikulum
endoplasma, peroksisom, berbagai enzim oksidase, dan metabolisme fosfolipid. ROS
bertindak bersamaan dengan beberapa sistem redoks melibatkan glutathione,
thioredoxin, dan piridin nukleotida dan memainkan peran sentral dalam koordinasi
pensinyalan sel dan juga antioksidan. stres oksidatif tidak identik dengan toksisitas
oksigen (Thom, 2011).
RNS termasuk nitric oxide dan agen yang dihasilkan oleh reaksi antara nitrat
oksida, atau produk oksidasi, dan ROS. Enzim yang bergantung pada peroksida,
seperti myeloperoxidase, dapat mengkatalisasi reaksi antara nitrit, produk oksidasi
utama nitrat oksida, dan hidrogen peroksida atau hipoklorida asam untuk menghasilkan
oksidan, seperti nitril klorida dan nitrogen dioksida yang mampu mereaksi nitrasi dan S-
nitrosilasi. Ada tiga bentuk nitrit oksida sintase. Aktivitas enzim dibatasi oleh ferric-
ferrous konversi di sisi aktif. Hiperoksia menambah reaktif produksi spesies nitrogen
(Thom, 2011).
Neovaskularisasi terjadi oleh dua proses. Pengaruh stimuli angiogenik regional
pembuluh darah baru pertumbuhan oleh sel endotel lokal (disebut angiogenesis), dan
merangsang perekrutan dan diferensiasi stem/progenitor cells (SPCs) untuk
membentuk pembuluh de novo dalam suatu proses disebut vaskulogenesis. Oksigen
hiperbarik memiliki efek pada kedua proses ini (Thom, 2011).
Diperlukan aktivasi nitrat oksida sintase di sumsum tulang sehingga
mengaktivasi stem/progenitor cells (SPCs) untuk mobilisasi sel, dan ini didorong oleh
diabetes, radiasi, kemoterapi, dan beberapa lainnya faktor-faktor lain yang mengurangi
stem/progenitor cells (SPCs) mobilisasi sel, meskipun mekanisme untuk efek ini tidak

26
jelas. Dengan menstimulasi sintesis nitrat oksida di sumsum tulang, oksigen hiperbarik
memobilisasi sel stem/progenitor cells (SPCs) pada manusia normal, pasien yang
sebelumnya terpapar radiasi, dan penderita diabetes (Thom, 2011).
Penyebaran dari pengaruhnya terhadap stem/progenitor cells (SPCs) mobilisasi
sel, diperantarai oksigen hiperbarik stres oksidatif di neovaskularisasi akan merangsang
produksi stem/progenitor cells (SPCs) growth factor. Keduanya diikuti augmentasi,
sintesis dan stabilisasi pada hipoksia induksi faktor (HIF). Aktivasi HIF di degradasi oleh
ubiquitinprotea dengan berbagai jalur yang terjadi ketika sel penuh dengan oksigen.
Radikal bebas diperlukan untuk ekspresi HIF (Thom, 2011).
Hiperbarik oksigen meningkatkan kadar HIF-1 dan HIF-2 di stem/progenitor cells
(SPCs) vaskulogenik karena peningkatan ROS. Salah satu konsekuensinya stres yang
dimediasi ROS adalah produksi tambahan dari thioredoxin antioksidan dan salah satu
enzim pengaturnya, thioredoxin reductase. Thioredoxin dapat bertindak sebagai faktor
transkripsi dan dalam stem/progenitor cells (SPCs) tampaknya merupakan spesies
utama yang bertanggung jawab mengaktifkan ekspresi dan aktivitas HIF. HIF-1 dan
HIF-2 kemudian merangsang transkripsi banyak gen yang terlibat dengan
neovaskularisasi (Thom, 2011).
Pluripoten mesenchymal stem cell secara in vitro dirangsang oleh oksigen
hiperbarik untuk mensintesis faktor pertumbuhan plasenta (synthesize placental growth
factor) tergantung ROS dan akan secara signifikan meningkatkan perpindahan sel dan
fungsi pembentukan pembuluh. Mikrovaskular sel endotel terpapar hiperbarik oksigen
dalam studi ex vivo mengatur-berbagai jalur kerusakan-kontrol protein yang mengarah
ke peningkatan resistensi stres oksidatif, proliferasi sel, dan pembentukan pembuluh.
Vascular endothelial growth factor and angiopoietin, serta derivat faktor stroma,
mempengaruhi stem/progenitor cells (SPCs) yang mengalami luka dan stem/progenitor
cells (SPCs) menjadi endotel cells. Sintesis vascular endothelial growth factor(VEGF)
meningkat pada luka oleh oksigen hiperbarik, dan merupakan faktor pertumbuhan untuk
neovaskularisasi. Hiperbarik oksigen juga merangsang sintesis basic fibroblast growth
factor dan menjadi growth factor beta-1 oleh fibroblas di kulit manusia, angiopoietin-2
oleh sel endotel vena umbilikalis manusia, dan basic fibroblast growth factor dan
hepatocite growth factor anggota tubuh yang mengalami iskemik, dan itu mengatur

27
reseptor platelet-derived growth factor pada luka. Pembentukan matriks ekstraseluler
terkait erat dengan neovaskularisasi, dan itu tergantung prosesoksigenasi (Thom,
2011).
Pengaruhnya hiperbarik oksigen pada ekspresi isoform HIF bervariasi dengan
jaringan berbeda dan dengan kronologinya (misalnya, deteksi lebih awal atau terlambat
setelah adanya luka dan iskemik). Pada penyembuhan luka yang dipercepat dengan
hiperbarik oksigen terdapat kadar HIF-1 yang lebih rendah disekitar luka, disertai
dengan berkurangnya peradangan dan lebih sedikit sel apoptosis. Sebaliknya, lebih
tinggi kadar HIF-1 telah dikaitkan dengan peningkatan vascular endothelial growth
factor pada luka sebagai respons dari hyperoxia. Sehubungan dengan diabetes, ada
interaksi yang kompleks antara ROS dan RNS. Kerusakan pada fungsi endothelial nitric
oxidase terkait dengan hiperglikemia, resistensi insulin, gangguan sintesis enzim,
gangguan asosiasi caveolin, dan peningkatan protein kinase C activity. Produksi dari O2
diperbesar pada diabetes, dan ini akan mengurangi bioavailabilitas oksida nitrat karena
kedua radikal bereaksi cepat untuk menghasilkan alternatif RNS. Gangguan
keseimbangan antara O2 dan dinitrogen oksida dicerminkan oleh peningkatan kadar
nitrotyrosine dalam plasma penderita diabetes tipe II (Thom, 2011).
Respons stres oksidatif meningkat pada kondisi neovaskularisasi. Sel di dalam
luka menunjukkan peningkatan sintesis kolagen, produksi growth factor, peningkatan
migrasi sel, dan fungsi pembentukan pembuluh. Penyebaran radikal bebas berdasarkan
mekanisme dasar untuk augmentasi neovaskularisasi oleh oksigen hiperbarik adalah
melalui stem/progenitor cells (SPCs). Hyperoxia merangsang sumsum tulang untuk
mobilisasi stem/progenitor cells (SPCs) dan juga meningkatkan fungsinya begitu
sampai perifer (Thom, 2011).

2.4 Hubungan HBO dengan Pembentukan Neorovaskular Melalui Jalur SPCs


Mobilization dari Bone Marrow dan Peningkatan HIF-I
Neourovaskularisasi adalah suatu pembentukan vaskular baru melalui 2
mekanisme, yaitu angiogenesis dan vaskogenesis. Angiogenesis adalah proses
penting yang terjadi selama pembentukan pembuluh darah baru. Pertama tanda

28
pembuluh darah terjadi pada fase awal embrionik perkembangan ketika sel
progenitor endotel (EPC) mesoderm yang diturunkan berkembang biak dan
membentuk jaringan primitif pembuluh darah selama vaskulogenesis (D'Alessio,
2015).
Salah satu mekanisme dimana HBO meningkatkan penyembuhan luka
adalah induksi neovaskularisasi. Dua metode neovaskularisasi, angiogenesis, dan
vasculogenesis, dan telah terbukti dipengaruhi oleh HBO. Selama angiogenesis,
rangsangan dari sel-sel di lingkungan meningkatkan pertumbuhan pembuluh
darah baru dari sel endotel. Pembuluh darah yang baru terbentuk ini kemudian
dapat merangsang perekrutan dan diferensiasi sel punca / progenitor (SPC), yang
mampu membentuk pembuluh darah de novo (vasculogenesis). Terapi radiasi
menghambat mobilisasi SPC, kemungkinan memperburuk kondisi luka akibat
radiasi. HBOT memobilisasi SPC pada manusia sehat dan diabetes, serta pasien
yang sebelumnya terpapar terapi radiasi. Model-model hewan telah menunjukkan
bahwa mobilisasi ini dimediasi redoks dan juga terkait dengan perubahan SPC
pada luka untuk meningkatkan penyembuhan. Mekanisme utama lain yang
dengannya HBOT menstimulasi vaskularisasi adalah melalui faktor transkripsi HIF.
Meskipun HIF-1 memiliki karakteristik paling baik, HIF-2 dan HIF-3 memiliki peran
yang mirip dengan HIF-1 dan telah terbukti diregulasi mengikuti HBO dan untuk
memobilisasi SPC dan berpotensi berkontribusi pada vaskularisasi. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, OxS yang diinduksi HBO menstabilkan HIF-1 dalam
bentuk aktifnya. Vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah stimulator
neovaskularisasi yang paling kuat dan merupakan target transkripsi utama HIF1.
Peningkatan ekspresi VEGF yang dimediasi HIF-1 terjadi pada luka setelah HBOT
(Angela at al, 2017).
Angiogenesis yang diinduksi hipoksia perlu mendorong aktivitas HIF-1
sebagai strategi dasar angiogenesis terapeutik menghasilkan HIF-1 yang
mengatur proangiogenik tipe sel spesifik faktor dan sitokin baik secara langsung
maupun tidak langsung (Zimna et al, 2015).
Transfer gen yang diinduksi hipoksia menyebabkan peningkatan
angiogenesis menghasilkan pembentukan yang stabil dan matang pada pembuluh

29
dibandingkan dengan pengobatan VEGF, dalam pembentukan pembuluh baru
yang bocor (Zimna et al, 2015).
Sumsum tulang (BM) adalah jaringan tempat batang / sel progenitor (SPCs).
BM telah dianggap sebagai reservoir sel induk / progenitor hematopoietik
(HSPCs), yang memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi semua myeloid dan
garis keturunan sel limfoid in vitro dan dapat menyusun kembali seluruh sistem
hematopoietik setelah transplantasi in vivo. Bone Marrow non-hematopoietik SPC
juga telah diidentifikasi. BMSPC ini mampu untuk berdiferensiasi menjadi tipe sel
lain termasuk endotel sel progenitor (EPCs), berkontribusi pada neovaskularisasi
dan mesenkim stem sel (MSCs), yang mampu menjadi berbagai sel ektodermal,
endodermal, dan mesodermal asal in vitro dan in vivo (Zimna et al, 2015).
BMSPC dapat dipaksa keluar dari BM untuk diedarkan darah tepi, setelah
stimulasi disebut "mobilisasi". Mobilisasi BM untuk pengumpulan prosedur BMSPC
sekaligus mengumpulkan SPCs. Di sisi lain, jumlah SPCs yang tersedia
digunakan sebagai regenerasi jaringan dan pemulihan hematopoietik (Lee, 2014).

30
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

31
BAB IV
KESIMPULAN

Terapi oksigen hiperbarik atau hiperoksigenasi adalah sebuah metode


pemberian oksigen murni (O2) pada ruang bertekanan atmosfer tinggi untuk mengobati
kondisi medis. Salah satu efek terapinya adalah neovaskuarisasi yang menyebabkan
augmentasi aktivitas fibroblastik dengan mendorong pertumbuhan kapiler.
Neovaskularisasi terjadi melalui dua mekanisme, angiogenesis dan
vaskulogenesis. Faktor yang pertama dirangsang oleh faktor regional dan yang terakhir
dengan perekrutan dan diferensiasi stem/progenitor sel (SPC) yang dialirkan darah.
HBO meningkatkan produksi faktor pertumbuhan (growth factor) spesifik seperti faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF). Stres oksidatif di tempat neovaskularisasi
merangsang sintesis faktor pertumbuhan (growth factor) dengan diinduksi hipoksia 1
(HIF-I).
Terapi oksigen hiperbarik membantu meningkatkan sintesis kolagen, produksi sel
pertumbuhan (growth factor), migrasi sel dan fungsi pembentukan pembuluh yang
sangat berperan pada proses neovaskularisasi untuk proses penyembuhan yang lebih
cepat dan optimal.

32
DAFTAR PUSTAKA

Angela M, Poff. Kernagis, Dawn. and D’Agustino, Dominic P. 2017. Hyperbaric


Environment: Oxygen and Cellular Damage versus Protection. American
Physiological Society. Compr Physiol 7:213-234.
D'Alessio, Alessio. Moccia, Francesco. Et All. 2015. Angiogenesis and Vasculogenesis
in Health and Disease. BioMed Reasearch Internasional.
Gill, A. L., & Bell, C. N. A. 2004. Hyperbaric oxygen: Its uses, mechanisms of action and
outcomes. QJM – Monthly Journal of teh Association of Physicians, 97(7), 385-
395. https://doi.org/10.1093/qjmed/hch074
Gupta, Vijay. Vijay Shelly, Ggupta, Rajesh. and Koul, Suresh. 2005. Hyperbaric Oxygen
Therapy. JK-Practitioner. 12(1):44-47.
Hariyanto et al, 2018, Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik, LAKESLA,
Surabaya
Johnston, Benjamin R, Austin Y, Bielinsky Brea, dan Paul Y Liu. 2016. “The Mechanism
of Hyperbaric Oxygen Therapy.” Rhode Island Medical Journal, 2: 26-29
LAKESLA. 2018. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman da hiperbarik
Lee, Hakmo. Che, Jeong-Hwan. Oh, Ju Eun. Et All. 2014. Bone marrow stem/progenitor
cell mobilization in C57BL/6J and BALB/c mice. Lab Animal Research 2014: 30(1),
14-20.
Löndahl, Magnus. 2012. Hyperbaric oxygen therapy as treatment of diabetic foot ulcers.
Diabetes Metab Res Rev 2012; 28(Suppl 1): 78–84.
Moon RE, 2016. Hyperbaric Oxygen Treatment for Decompression Sickness.
Narayanasamy, Nivetha. 2012. Hyperbaric Oxygen Chamber.
https://www.researchgate.net/publication/232613777. Nanyang Technological
University.
Oregon. and Utah. 2018. Hyperbaric Oxygen Pressurization (HBOT). Medical Policy
Manual No. 14.
Riyadi, 2016, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik, Lakesla

33
Tetzlaff K, Shank ES, Muth CM. “Evaluation and Management of Decompression
Ilness-an Intensivist’s Persective”. Intensive Care Med (2015) 29:2128-2136 doi
10.1007/s00134-003-1999-1
Thom, Stephen R. 2011. Hyperbaric Oxygen: Its Mechanisms and Efficacy. American
Society of Plastic Surgeons 127 (Suppl.): 131S, 2011.
Ustad, Farheen. Ali, Fareedi Mukram. Ustad, Tanveer. Aher, Vinit Aher. M, Prasant.
Suryavanshi, C Harshal. 2012. USES OF HYPERBARIC OXYGEN THERAPY: A
REVIEW. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences.Volume1.Page-893
Vann RD, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE, 2014. Decompression illness. Lancet 377:
153–164.
Zimna, Agniezka. and Kurpisz, Maciej. 2015. Hypoxia-Inducible Factor-I in Physiological
and Pathophysiological Angiogenesis: Applications and Therapies. BioMed
Reasearch Internasional.

34

Anda mungkin juga menyukai