Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

TERAPI OKSIGEN

Oleh:

Hairunnisa Sibadu 165070100111017


Nadira Tyas Anggita 165070101111048
Riadati Yuni Hakim 165070107111038
Sang Angga Syah Maulana 165070100111074

Pembimbing:
dr. Hanif, M.Biomed, Sp.An

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2020

i
DAFTAR ISI

Halaman

Judul..........................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

DAFTAR TABEL.......................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................v

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................1


1.2 Rumusan Masalah....................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan...................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................3

2.1 Definisi....................................................................................3
2.2 Indikasi Terapi Oksigen..........................................................3
2.3 Kontraindikasi Terapi Oksigen................................................5
2.4 Teknik Pemberian Terapi Oksigen.........................................6
2.5 Alat Terapi Oksigen Aliran Rendah........................................7
2.5.1 Nasal Kanul....................................................................7
2.5.2 Sungkup Muka Tanpa Kantung Penampung................9
2.5.3 Sungkup Muka Dengan Kantung Penampung..............10
2.5.4 Oksigen Transtrakeal.....................................................12
2.6 Alat Terapi Oksigen Aliran Tinggi...........................................13
2.6.1 Sungkup Muka Venturi..................................................13
2.6.2 Oxygen Hood.................................................................14

ii
2.6.3 High Flow Nasal Canula................................................14
2.7 Pedoman Pemberian Terapi Oksigen....................................16
2.8 Komplikasi Terapi Oksigen.....................................................17

BAB 3 PENUTUP......................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................21

iii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Indikasi Terapi Oksigen Jangka Pendek...................................4

Tabel 2.2 Fraksi Oksigen Nasal Kanul Berdasarkan Kecepatan Alirannya


...................................................................................................................8

Tabel 2.3 Fraksi Oksigen (FiO2) Sungkup Muka Tanpa Kantung Penampung
Berdasarkan Kecepatan Alirannya............................................................9

Tabel 2.4 Fraksi Oksigen (FiO2) Sungkup Muka dengan Kantung Penampung
Berdasarkan Kecepatan Alirannya............................................................11

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Nasal Kanula..........................................................................8

Gambar 2.2 Sungkup Muka Tanpa Kantong Penampung.........................10

Gambar 2.3 Sungkup Muka Dengan Kantong Penampung......................11

Gambar 2.4 Oksigen Transtrakeal.............................................................12

Gambar 2.5 Sungkup Muka Venturi..........................................................13

Gambar 2.6 High Flow Nasal Cannula (HFNC).........................................15

v
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Proses metabolisme pada manusia sebagian besar melibatkan gas
oksigen (O2) untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk melakukan
berbagai aktivitas sehari-hari melalui berbagai proses reaksi kimia. Dari hasil
reaksi kimia itu pula akan dihasilkan gas karbon dioksida (CO 2) sebagai
produk sisa yang perlu dikeluarkan oleh sel. Respirasi atau pernafasan
merupakan proses pertukaran gas-gas oksigen atau O 2 untuk digunakan oleh
sel-sel tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida atau CO 2 yang dihasilkan
oleh sel-sel tubuh (Latief,2002).

Terdapat dua macam respirasi pada manusia yaitu pertama, respirasi


internal, dan yang kedua respirasi eksternal. Respirasi internal adalah
pertukaran oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2) antara darah dan
jaringan. Respirasi eksternal adalah pertukaran oksigen (O 2) dan karbon
dioksida (CO2) antara darah dan udara sekitar (Latief,2002).

Dalam keadaan normal, sistem respirasi manusia menghirup 21% O 2


di atmosfer dengan tekanan parsial 150 mmHg. Tekanan parsial 150 mmHg
ini sesampainya di alveolus akan berubah menjadi 103 mmHg. Hal ini
diakibatkan pengaruh tekanan uap air pada jalan nafas. Di alveolus oksigen
akan berdifusi di dalam darah dan berikatan dengan hemoglobin dan
kemudian akan diedarkan ke seluruh jaringan-jaringan tubuh untuk keperluan
metabolisme (Mangku,2010).

Oksigen atau O2 diisolasi pertama kali oleh Joseph Pristley pada tahun
1775. Pada tahun 1794, Thomas Beddoes adalah orang pertama kali

vi
menggunakan oksigen (O2) sebagai obat. Dalam penggunaan O 2 sebagai
obat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu, indikasi, dosis, cara
pemberian, dan efek samping (Uyainah,2006). Sejak ditetapkan konsep
bahwa oksigen dapat digunakan sebagai terapi, pemberian oksigen pada
pasien hipoksia dapat memperbaiki harapan hidup, dan hemodinamik paru.
Selain itu, pemberian oksigen pada pasien dengan penyakit paru membawa
dampat mengingkatnya jumlah perawatan pasien (Sudoyo,2009).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari terapi oksigen?
2. Apa indikasi dari terapi oksigen?
3. Bagaimana pemberian terapi oksigen dengan benar?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian dari terapi oksigen
2. Mengetahui indikasi dari terapi oksigen
3. Mengetahui bagaimana pemberian terapi oksigen dengan benar

1.4 Manfaat Penulisan


Sebagai penambah wawasan dokter muda mengenai topik terapi
oksigen

vii
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai salah satu


intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
manifestasi dari hipoksia (Mangku & Senapathi, 2017)

Dalam penggunaannya sebagai modalitas terapi, oksigen dikemas


dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak
berbau dan tidak berasa. Oksigen sebagai modalitas terapi dilengkapi
dengan beberapa aksesoris sehingga pemberian terapi oksigen dapat
dilakukan dengan efektif, di antaranya pengatur tekanan, sistem perpipaan
oksigen sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi aerosol dan pipa,
kanul, kateter atau alat pemberian lainnya (Mangku & Senapathi, 2017)

2.2 Indikasi Terapi Oksigen

Dalam pemberian terapi oksigen harus sesuai dengan indikasi. Perlu


dipertimbangkan apakah pasien benar-benar butuh terapi oksigen. Oksigen
yang diberikan diatur dalam jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi serta menghindari toksisitas.

Terapi oksigen diberikan pada pasien dewasa, anak-anak dan bayi


ketika nilai tekanan parsial oksigen kurang dari 60 mmHg atau nilai saturasi
oksigen kurang dari 90% saat pasien beristirahat dan bernapas dengan
udara ruangan. Pada neonatus, terapi oksigen dianjurkan jika nilai tekanan

viii
parsial oksigen kurang dari 50 mmHg atau nilai saturasi oksigen kurang dari
88%. Terapi oksigen dianjurkan pada pasien dengan kecurigaan klinik
hipoksia berdasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan fisik (Butterworth
et al, 2013)

a. Terapi Oksigen Jangka Pendek


Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi oksigen yang
diberikan pada pasien dengan hipoksemia akut, diantaranya asma bronkial,
PPOK eksaserbasi akut, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada kondisi
ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu singkat
sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Berdasarkan
rekomendasi dari American College of Chest Physicians, the National Heart,
Lung and Blood Institute pemberian terapi oksigen jangka pendek ditunjukkan
pada table 2.1 (Sudoyo et al, 2010)

Table 2.1 Indikasi terapi Oksigen Jangka Pendek


Indikasi yang sudah direkomendasi
Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)
Cardiac arrest dan respiratory arrest
Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)
Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik
Respiratory distress

b. Terapi Oksigen Jangka Panjang


Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling
banyak menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Pada pasien
PPOK dan kor pulmonal terapi oksigen jangka panjang dapat
meningkatkan harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan
dilakukan terapi oksigen maka direkomendasikan untuk pasien
hipoksemia (PaO2 <55 mmHg atau saturasi oksigen <80%) oksigen

ix
diberikan terus-menerus selama 24 jam. Pasien dengan PaO2 56-59
mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau polisetemia
juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang. Pada awal
pemberian oksigen harus dengan konsentrasi rendah dan dapat
ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisis gas
darah (Fishman et al, 2008). Pasien yang menerima terapi oksigen
jangka panjang perlu dievaluasi apakah hipoksemia menetap atau
untuk menilai perbaikan setelah diberikan terapi oksigen.

2.3 Kontraindikasi Terapi Oksigen

1. Pasien keracunan paraquat, pemberian terapi oksigen pada


pasien ini bisa memperburuk kondisi pasien karena akivitas
redoksnya.
2. Pasien yang meneruskan merokok karena kemungkinan
prognosis yang buruk dapat meningkatkan resiko kebakaran
3. Pasien dengan kondisi gangguan paru obstruktif, atau insufisiensi
pernafasan kronis yang mengakibatkan hiperkarbia, pemberian
oksigen secara berlebihan dapat mengurangi dorongan
pernapasan. Pengurangan ini dapat menyebabkan hipercarbia
lebih lanjut, perubahan status mental, atau bahkan complete
respiratory collaps. Oleh karena itu, terapi titrasi pada pasien
hipoksemik dengan penyakit pernapasan obstruktif harus
dipertimbangkan (Austin et al, 2010)

2.4 Teknik Pemberian Terapi Oksigen

x
Pemberian terapi oksigen dapat dilakukan melalui berbagai macam
teknik dan alat, setiap alat memiliki perbedaan kecepatan aliran dan
persentase oksigen yang dihantarkan. Pemilihan alat disesuaikan dengan
kebutuhan oksigen dari pasien, hal ini dapat diketahui dengan melakukan
pengukuran tekanan oksigen dan/atau saturasi oksigen. Pengukuran dapat
dilakukan dengan metode invasive maupun metode non-invasif, dan/atau ada
tidaknya indikator klinis (American Association of Respiratory Care, 2002).

Adapun teknik dan alat yang akan digunakan sebaiknya memenuhi kriteria
berikut:
1. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi
(FiO2)
2. Tidak menyebabkan akumulasi CO2
3. Tahanan terhadap pernafasan minimal
4. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen
5. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien

Pemberian terapi oksigen dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:


1. Sistem aliran oksigen rendah (Low Flow System)
Pada sistem aliran oksigen rendah, sebagian volume tidal berasal dari
udara ruangan.Rentang fraksi oksigen (FiO 2) pada alat ini berkisar diantara
21%-90% tergantung dari aliran gas oksigen dan tambahan asesoris seperti
kantong penampung (Mangku & Senapthi, 2010). Kelemahan dari low flow
system ialah nilai fraksi oksigen (FiO2) menjadi kurang adekuat karna nilai
fraksi oksigen final (FiO2) adalah campuran dari O 2 100% yang dihirup lewat
alat dan sejumlah volume udara ruangan yang bervariasi. Biasanya system
aliran oksigen rendah diggunakan pada pasien yang relative stabil. Contoh
alat pada system aliran oksigen rendah ialah nasal kanul, sungkup muka

xi
tanpa kantung penampung (simple mask), sungkup muka dengan kantung
penampung (rebreathing mask), oksigen transtrakeal.

2. Sistem Aliran Oksigen Tinggi (High Flow System)


Sistem aliran oksigen tinggi mempunyai kemampuan untuk menarik udara
ruangan pada perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu
memberikan aliran total gas yang tinggi dengan fraksi oksigen (FiO 2) yang
tetap (Mangku & Senapthi, 2010). Atau dengan kata lain pasien bernafas
dengan gas yang disuplai oleh alat. Contoh alatnya ialah venture mask.
Kelebihan dari alat ini ialah fraksi oksigen (FiO 2) yang diberikan stabil dan
mampu mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi, namun alat ini
memiliki kelemahan yaitu harganya yang relatif mahal dan penggunaannya
yang tidak nyaman bagi pasien.

2.5 Alat Terapi Oksigen Aliran Rendah

2.5.1 Nasal Kanul


Nasal kanul dapat memberikan 24-40% oksigen dengan kecepatan
aliran hingga 6L/menit pada orang dewasa. Oksigen yang diberikan via nasal
kanul dengan kecepatan ≤ 4L/menit tidak perlu dilembabkan (American
Association of Respiratory Care, 2002). Nasal kanul merupakan alat yang
ideal untuk terapi oksigen jangka panjang. Kecepatan aliran oksigen yang
direkomendasikan pada penggunaan alat ini ialah sekitar 2-4L/menit karena
dengan kecepatan >5L/menit dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada
pasien (Mangku & Senapthi, 2010).
Nasal kanul memiliki beberapa kelebihan diantaranya ialah: 1) mudah
diggunakan, 2) murah, 3) lebih nyaman untuk pasien karena pasien masih
dapat berbicara, makan, dan minum, 4) lebih mudah ditolerensi dibandingkan

xii
masker oksigen, 5) nonclaustraphobia. Walaupun mudah digunakan dan
memiliki banyak kelebihan, nasal kanul juga memiliki beberapa kekurangan
yaitu: 1) sulit untuk menentukan FiO 2, 2) dapat menyebabkan iritasi pada
mukosa hidung, 3) kemungkinan terjadinya perdarahan hidung, 4) sering
terjadi obstruksi atau kinking, 5) FiO 2 terbatas, dimana dengan peningkatan
kecepatan aliran fraksi oksigen yang dihantarkan tidak dapat melebihi 44%,
6) tidak dapat digunakan pada pasien dengan sumbatan nasal (T. Htun & M.
Thein, 2016).

Tabel 2.2 Fraksi Oksigen Nasal Kanul Berdasarkan Kecepatan Alirannya


Kecepatan Aliran Fraksi O2 (FiO2)
1 L/menit 24%
2 L/menit 28%
3 L/menit 32%
4 L/menit 36%
5 L/menit 40%
6 L/menit 44%

Gambar 2.1 Nasal kanula

2.5.2 Sungkup Muka Tanpa Kantung Penampung

xiii
Merupakan alat terapi oksigen yang terbuat dari bahan plastik dan
penggunaannya dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien untuk
menutupi hidung dan mulut. Alat ini dapat memberikan fraksi oksigen (FiO 2)
sebesar 40-60% dengan kecepatan aliran berkisar diantara 5-10 L/menit
(Mangku & Senapthi, 2010). Apabila kecepatan aliran oksigen kurang dari 6
L/menit akan terjadi penumpukan CO2 akibat dead space mekanik. Fraksi
oksigen yang diberikan oleh alat ini lebih tinggi dibandingkan dengan nasal
kanul, dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup
dengan lubang besar. Simple mask biasanya diggunakan pada pasien
dengan kebutuhan fraksi oksigen (FiO 2) lebih tinggi daripada nasal kanul
dalam jangka waktu yang singkat (American Association of Respiratory Care,
2002).
Alat ini merupakan alat yang sederhana, murah, dan mudah. Namun
beberapa kekurangan juga didapatkan pada alat ini, diantaranya: 1) variasi
fraksi oksigen (FiO2) luas, 2) sulit untuk mengukur FiO 2, 3) sangat berpotensi
terjadi rebreathing CO2 dan dapat menyebabkan terjadinya aspirasi, 4)
membatasi aktivitas berbicara, makan, dan minum pasien, 5) penggunaan
jangka panjang dapat mengiritasi permukaan kulit yang tertekan oleh
sungkup. Pasien sering kali menolak untuk dipasangkan sungkup karena
menimbulkan perasaan tidak enak (Mangku & Senapthi, 2010).

Tabel 2.3 Fraksi Oksigen (FiO2) Sungkup Muka Tanpa Kantung Penampung
Berdasarkan Kecepatan Alirannya
Kecepatan aliran Fraksi Oksigen (FiO2)
5-6 L/menit 40%
6-7 L/menit 50%
7-8 L/menit 60%

xiv
Gambar 2.2 Sungkup Muka tanpa Kantong Penampung

2.5.3 Sungkup Muka dengan Kantung Penampung


Alat ini terdapat 2 jenis, yaitu partial rebreathing dan non rebreathing.
Perbedaan terletak pada katup di tubuh sungkup yang terlteak di antara
sungkup dan kantong penampung. Sungkup partial rebreathing tidak memiliki
katup satu arah, sehingga udara eskpirasi dapat terhirup kembali saat
inspirasi. Pada alat partial rebreathing ini, oksigen akan mengalir ke kantong
penampung secara terus-menerus, dan saat ekspirasi 1/3 awal gas ekspirasi
masuk ke kantong penampung. Saat pasien melakukan inspirasi pasien akan
menghirup oksigen dan menghirup kembali 1/3 zat ekspirasinya. Pada
sungkup muka non rebreathing, terdapat katup satu arah antara sungkup dan
kantong penampung sehingga pasien hanya dapat menghirup udara yg ada
di sungkup penampung dan akan dihebuskan pada katup terpisah di sisi lain
sungkup. Sungkup muka dengan kantung penampung dapat menghantarkan
oksigen sebanyak 10-15 L/menit dengan fraksi oksigen (FiO 2) sebesar 80-
85% pada sungkup partial rebreathing dan dapat mencapai 99% pada
sungkup muka non rebreathing.

xv
Beberapa kelebihan yang dimiliki alat ini ialah: 1) fraksi oksigen (FiO 2)
lebih tinggi, 2) perbaikan humidifikasi, 3) mudah untuk dipasang, dan 4) aliran
oksigen tinggi. Namun biasanya pasien akan merasakan tidak nyaman
apabila dipakai untuk waktu yang lama, dan pemakaian sungkup muka
dengan kantong penampung dapat berpotensi menyebabkan CO2
rebreathing (Mangku & Senapthi, 2010).

Tabel 2.4 Fraksi Oksigen (FiO2) Sungkup Muka dengan Kantung Penampung
Berdasarkan Kecepatan Alirannya

Kecepatan aliran Fraksi Oksigen (FiO2)


6 L/menit 60%
7 L/menit 70%
8 L/menit 80%
9 L/menit 90%
10 L/menit 99%

Gambar 2.3 Sungkup Muka dengan Kantong Penampung

xvi
2.5.4 Oksigen Transtrakeal
Alat ini dapat mengalirkan oksigen secara langsung melalui kateter ke
dalam trakea. Oksigen transtrakeal dapat meningkatkan kepatuhan pasien
untuk menggunakan terapi oksigen secara berkelanjutan selama 24 jam dan
sering berhasil untuk mengatasi hipoksemia refrakter. Penggunaan alat ini
dapat menghemat penggunaan oksigen sebesar 30-60%. Kelebihan dari
pemberian oksigen transtrakeal ialah alat ini tidak menyebabkan iritasi pada
hidung maupun kulit wajah dan fraksi oksigen (FiO 2) yang cukup tinggi sekitar
80-96%. Namun kekurangan dari oksigen transtrakeal ialah biayanya yang
relative mahal dan beresiko terjadi infeksi lokal. Pemasangan oksigen
transtrakeal dapat menyebabkan terjadinya beberapa kompilkasi diantaranya
emfisema subkutan, bronkospasme, batuk paroksisimal, dan infeksi stoma
(Mangku & Senapthi, 2010)

Gambar 2.4 Oksigen Transtrakeal

2.6 Alat Terapi Aliran Oksigen Tinggi

xvii
2.6.1 Sungkup Muka Venturi
Sungkup venturi merupakan alat terapi oksigen dengan prinsip mixing
jet yang dapat memberikan fraksi oksigen (FiO 2) sesuai dengan kadar yang
diinginkan. Oksigen yang dapat diberikan dapat diatur berkisar 24%, 28%,
35%, dan 40% dengan kecepatan aliran 4-8 L/menit, dan 45-50% dengan
kecepatan aliran 10-12 L/menit. Pada alat ini sudah dilengkapi dengan
pendorongan oleh arus tinggi, sehingga masalah rebreathing dapat teratasi
(T. Htun & M. Thein, 2016). Sungkup venture amat berguna bagi pasien
dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang sudah diketahui dosis
fraksi oksigennya (FiO2), karena biasanya pada pasien PPOK dibutuhkan
konsentrasi oksigen yang rendah untuk mengurangi resiko terjadinya retensi
karbon dioksida (CO2) dan memperbaiki hipoksemia (Mangku & Senapthi,
2010).

Gambar 2.5 Sungkup Muka Venturi


Keuntungan dari masker venturi yaitu dapat mengetahui FiO2 yang
dikirim oleh alat tersebut. Terdapat dua jenis masker venturi : fixed FiO2
model yang memiliki lampiran inspirasi spesifik dengan kode warna dan
labelled jets yang menghasilkan FiO2 sesuai dengan aliran yang diberikan.
 Warna hijau : (60%) FiO2
 Warna merah : (40%) FiO2

xviii
 Warna kuning : (35%) FiO2
 Warna oranye : (31%) FiO2
 Warna putih : (28%) FiO2
 Warna biru : (24%) FiO2
Jenis kedua adalah variable FiO2 model memiliki penyesuaian
bertingkat dari port entrainment udara yang dapat diatur untuk
memungkinkan variasi dalam FiO2 yang dikirimkan. Model ini tidak
menggunakan kode warna (Batool and Garg, 2017).

2.6.2 Oxygen Hood


Oxygen Hood adalah alat terapi oksigen arus tinggi, yang digunakan
untuk mengantarkan oksigen pada bayi. Alat ini merupakan hood plastik yang
mengelilingi kepala bayi dengan bagian terbuka pada leher. Alat ini berguna
pada bayi yang membutuhkan lebih dari 40% oksigen. Oksigen yang dikirim
dengan metode ini harus dihangatkan dan dilembabkan. Total aliran harus
lebih dari 10 L / mnt untuk mencegah akumulasi CO2. Konsentrasi oksigen
yang diinginkan dapat dicapai dengan menggabungkan aliran oksigen dan
udara. Kemungkinan komplikasi yang ditimbulakan akibat penggunaan
oxygen hood meliputi hipoksemia, hiperoksemia, hipertermia, hipotermia,
iritasi dan nyeri pada leher (Batool and Garg, 2017).

2.6.3 High Flow Nasal Oxygen Therapy (High Flow Nasal Cannula)
High Flow Nasal Cannula (HFNC) adalah prosedur non-invasif baru
yang menawarkan alternatif lain untuk terapi dan support oksigen Alat ini
memberikan laju aliran gas maksimum antara 40 dan 60 liter/menit. Sistem
pemanas dan pelembab memungkinkan pengantaran gas pada suhu 33-43°
C dan kelembaban 95% (Ashraf-Kashani and Kumar, 2017). Komponen
dasar HFNC pada umumnya sama, yaitu terdiri dari:

xix
1. Sumber oksigen dan udara bertekanan yang diatur oleh flowmeter dan
blender
2. Tandon air steril yang terpasang pada heater humidifier
3. Insulated and/or heated circuit yang mempertahankan suhu dan
kelembaban
4. Interface kanula non oklusif

Gambar 2.6 High Flow Nasal Cannula (HFNC)

Mekanisme pengurangan kerja pernapasan dan peningkatan efisiensi


ventilasi oleh HFNC antara lain:
1. Pengurangan pengeluaran energi: Humidifikasi yang memadai dapat
mengurangi penguapan dari mukosa jalan napas begitu pula dengan
kerja metabolisme untuk pengkondisian gas
2. Peningkatan lung compliance dan fungsi mukosiliar dengan memasok
gas yang cukup hangat dan lembab. Selain itu, bronkokonstriksi akibat
pendinginan jalan napas juga berkurang

xx
3. Washout ruang mati nasofaring yang mengarah ke peningkatan
ventilasi alveolar: Saluran nasal dan orofaring akan selalu dibilas dan
diisi ulang, sehingga menyebabkan pembuangan exhaled gas mejadi
lebih baik, pengurangan rebreathing dan peningkatan pembersihan
karbon dioksida (Rauf and Sachdev, 2019)

2.7 Pedoman Pemberian Terapi Oksigen


Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam memulai terapi oksigen,
antara lain:
1. Pastikan pulse oxymetri tersedia untuk memantau respons
terhadap terapi oksigen
2. Dokumentasikan pengamatan dasar termasuk saturasi, laju
pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi
3. Perhatikan upaya pernapasan, warna, dan tingkat kesadaran
4. Periksa apakah terdapat resep oksigen dengan target saturasi
tertentu
5. Jika tidak ada terdapat risiko retensi karbon dioksida (target 94-
98%) mulailah terapi oksigen menggunakan masker reservoir 10-
15L / menit. Jika ada risiko retensi karbon dioksida (target 88-92%)
maka mulailah terapi oksigen menggunakan masker venturi 28%
6. Pastikan alat delivery terhubung ke suplai oksigen melalui tabung
dan dihidupkan ke laju aliran yang sesuai (jika silinder, periksa
level pengisian silinder dan perhatikan durasinya)
7. Jelaskan prosedur kepada pasien dan dapatkan persetujuan jika
memungkinkan.
8. Tempatkan masker oksigen di wajah pasien, sesuaikan nose clip
dan strap elastis.

xxi
9. Pantau respon terhadap terapi oksigen - periksa kembali saturasi
oksigen, tanda-tanda vital, warna, dan tingkat kesadaran
10. Titrasi oksigen sesuai dengan saturasi oksigen untuk
mempertahankan saturasi dalam kisaran target yang ditentukan.
Biarkan lima menit pada setiap dosis sebelum penyesuaian lebih
lanjut. Penghentian pemberian oksigen secara tiba-tiba pada
pasien dengan hiperkapnia menyebabkan rebound hipoksemia
11. Dokumentasikan semua penyesuaian untuk oksigen yang
diinspirasikan (FiO2), dengan saturasi yang tercatat (Olive S, 2016)

2.8 Komplikasi Terapi Oksigen

Oksigen diduga mempengaruhi jaringan paru-paru. Pemberian oksigen


pada konsentrasi lebih dari 60% selama lebih dari 24 jam dapat
mengakibatkan penurunan lung compliance. Perubahan pada jaringan paru-
paru yang disebabkan oleh konsentrasi oksigen yang tinggi disebut sebagai
toksisitas oksigen. Selain itu, konsentrasi oksigen yang tinggi dapat
mengurangi produksi surfaktan dan mengakibatkan atelektasis yang
mengarah pada pengurangan pertukaran gas sehingga diperlukan monitoring
yang baik untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Oksigen juga dapat
dengan mudah menyebabkan membran mukosa di saluran pernapasan
bagian atas menjadi kering. Oleh karena itu, sistem humidifikasi dapat
ditambahkan ke terapi oksigen untuk menghangatkan dan melembabkan gas
yang masuk ke melewati saluran napas (McGloin S, 2008).

Pada penggunaan high-flow oxygen therapy tidak ditemukan adanya efek


samping yang bermakna. Sistem humidifikasi aktif memungkinkan
administrasi gas yang sepenuhnya terkendali, sehingga meminimalkan efek

xxii
samping pada tingkat nasofaring. Pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), penggunaan konsentrasi oksigen yang tinggi dapat
menyebabkan asidosis respiratorik karena penuruan frekuensi pernapasan
dan perubahan ventilasi-perfusi (Masclans, Pérez-Terán and Roca, 2015).

. Pada pasien dengan fungsi paru normal, rangsangan untuk inspirasi


terjadi ketika pasien memiliki sedikit kenaikan dalam tekanan karbondioksida
pada arterinya (PaCO2). Peningkatan ini menstimulasi pusat pernafasan di
otak dan menimbulkan impuls untuk menarik nafas. Pada beberapa pasien
dengan peningkatan PaCO2 yang kronik, seperti pada pasien PPOK, stimulus
untuk bernafas disebabkan adanya penurunan dari tekanan oksigen pada
arteri (PaO2). Hal ini dikenal dengan hypoxic drive. Oleh karena itu pemberian
oksigen pada pasien PPOK wajib atas indikasi. Ketika oksigen diberikan
pada pasien dengan retensi karbondioksida, perhatikan tanda hipoventilasi,
penurunan kesadaran, dan apnea.
Pemberian suplementasi oksigen juga harus dilakukan secara hati-hati
pada pasien keracunan herbisida dan pasien dengan pengobatan bleomycin.
Agen ini meningkatkan kemungkinan terjadinya toksisitas oksigen (Perry, et
al., 2014).

xxiii
BAB 3

PENUTUP

Proses metabolisme pada manusia sebagian besar melibatkan gas


oksigen (O2) untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk melakukan
berbagai aktivitas sehari-hari melalui berbagai proses reaksi kimia. Dari hasil
reaksi kimia itu pula akan dihasilkan gas karbon dioksida (CO 2) sebagai
produk sisa yang perlu dikeluarkan oleh sel. Oksigen atau O 2 diisolasi
pertama kali oleh Joseph Pristley pada tahun 1775. Pada tahun 1794,
Thomas Beddoes adalah orang pertama kali menggunakan oksigen (O2)
sebagai obat.

Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai salah satu


intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
manifestasi dari hipoksia. Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi
oksigen yang diberikan pada pasien dengan hipoksemia akut, diantaranya
asma bronkial, PPOK eksaserbasi akut, gangguan kardiovaskular, emboli
paru. Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Pada pasien PPOK dan kor
pulmonal terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan harapan hidup.
Pemberian terapi oksigen dibagi menjadi 2 jenis, yaitu sistem aliran oksigen
rendah (Low Flow System) seperti nasal kanul, sungkup wajah tanpa
penampung, sungkup wajah dengan penampung, dan oksigen transtrakeal,
dan sistem aliran oksigen tinggi (High Flow System) seperti masker venturi,
oxygen hood, dan High Flow Nasal Cannula (HFNC).

xxiv
Oksigen diduga mempengaruhi jaringan paru-paru. Pemberian
oksigen pada konsentrasi lebih dari 60% selama lebih dari 24 jam dapat
mengakibatkan penurunan lung compliance. Perubahan pada jaringan paru-
paru yang disebabkan oleh konsentrasi oksigen yang tinggi disebut sebagai
toksisitas oksigen. Selain itu, konsentrasi oksigen yang tinggi dapat
mengurangi produksi surfaktan dan mengakibatkan atelektasis. Oksigen juga
dapat dengan mudah menyebabkan membran mukosa di saluran
pernapasan bagian atas menjadi kering. Pemberian suplementasi oksigen
juga harus dilakukan secara hati-hati pada pasien keracunan herbisida dan
pasien dengan pengobatan bleomycin. Agen ini meningkatkan kemungkinan
terjadinya toksisitas oksigen

xxv
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Respiratory Care, 2002. AARC GUIDELINE:


OXYGEN THERAPY FOR ADULTS IN THE ACUTE CARE FACILITY.
Respiratory Care, 47(6), pp. 717-720.

Ashraf-Kashani, N. and Kumar, R., 2017. High-flow nasal oxygen


therapy. BJA Education, 17(2), pp.63-67.

Austin, M.A., Wills, K.E., Blizzard, L., Walters, E.H. and Wood-Baker, R.,
2010. Effect of high flow oxygen on mortality in chronic obstructive
pulmonary disease patients in prehospital setting: randomised
controlled trial. Bmj, 341, p.c5462.

Batool, S. and Garg, R., 2017. Appropriate Use of Oxygen Delivery


Devices. The Open Anesthesiology Journal, 11(1), pp.35-38.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2013. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Edisi V. New York. McGraw-Hill Companies.

Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI. 2008.
Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York.
McGraw-Hill Companies.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan, MR. 2002.Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Edisi II.Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

xxvi
Masclans, J., Pérez-Terán, P. and Roca, O., 2015. The role of high-flow
oxygen therapy in acute respiratory failure. Medicina Intensiva
(English Edition), 39(8), pp.505-515.

Mangku G., Senapathi T.G.A. 2010. Tunjangan Homeostasis Perioperatif


Dalam: Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: lndeks
Indonesia. Hal: 233-243.

Mangku G, Senapathi TGE. 2017. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Edisi II. Jakarta. Indeks.

McGloin S, 2008. Administration of oxygen therapy. Nursing Standard. 22


(21), pp.46-48.

Olive S, 2016. Practical Procedures: Oxygen Therapy. Nursing Times; 112:


(1/2), pp.12-14.

Perry, A., Potter, P. & Ostendrof, W., 2014. Clinical skills and nursing
techniques (8th ed.). 8th ed. St. Louis: Elsevier-Mosby.

Rauf A . and Sachdev A., 2019. High-flow Nasal Cannula in Children: A


Concise Review and Update, in Todi, S., Dixit, S., Zirpe, K. and
Mehta, Y., n.d (ed.), Critical Care Update 2019.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. Interna Publishing.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2010. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

xxvii
T. Htun, A. & M. Thein, W., 2016. Oxygen Therapy. International Journal of
Novel Research in Healthcare and Nursing , 3(2), pp. 8-14.

Uyainah A. Terapi Oksigen. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B. 2006. Buku


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi 4. Hal: 161-165.

xxviii

Anda mungkin juga menyukai