Anda di halaman 1dari 25

Referat

Terapi Oksigen

Oleh:

Imam Sandi Pratama, S.Ked


NIM : 712022005

Pembimbing:
dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An (K)

DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Referat dengan judul

Terapi Oksigen

Dipersiapkan dan disusun oleh

Imam Sandi Pratama, S.Ked


NIM : 712022005

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah
Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang

Palembang, September 2023


Pembimbing

dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An (K)

ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini
dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Anestisiologi dan Terapi Insentif Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang pada Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada
penyusunan laporan kasus ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
laporan kasus ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1) dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An (K), selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan laporan kasus ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, September 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH................................iii


DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.1 Latar Belakang...................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1 Definisi...............................................................................................................6
2.2 Tujuan................................................................................................................6
2.3 Indikasi dan Kontraindikasi................................................................................7
2.4 Hipoksisa............................................................................................................9
2.5 Tehnik Pemberian Terapi Oksigen...................................................................11
2.6 Alat Terapi Oksigen.........................................................................................13
2.7 Efek Samping...................................................................................................19
BAB III SKENARIO KASUS.............................................................................21
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................22
BAB V KESIMPULAN......................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terapi oksigen merupakan terapi yang umum digunakan pada praktik
klinis, yang tentunya diharapkan dapat memberikan efek perbaikan kondisi
atau mendukung proses penyembuhan bagi penerimanya.1 Terapi oksigen
adalah pemberian oksigen (O2) yang berasal dari sentral atau tabung
oksigen. Pasien dengan penyakit akut dan dalam pengobatan perioperatif
termasuk kelompok pasien yang seringkali menerima terapi ini.2
Pada kondisi normal, manusia mampu menghirup udara atmosfir yang
mengandung sebanyak 21% oksigen (O2) dengan tekanan parsial sebesar
150 mmHg melalui sistem respirasi yang selanjutnya ketika sampai di
alveoli tekanan parsial-nya akan turun menjadi 103 mmHg akibat pengaruh
tekanan uap air yang terjadi pada jalan napas. Pada alveoli, oksigen (O2)
akan segera berdifusi ke dalam aliran paru melalui proses aktif akibat
perbedaan tekanan. Di dalam darah, sebagian besar (97%) oksigen (O2)
akan terikat dengan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil (3%) akan larut
dalam plasma yang selanjutnya akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh
untuk keperluan metabolisme.3
Pemberian oksigen pada pasien-pasien dengan hipoksemia dapat
memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru dan kapasitas latihan selain
itu, pemberian oksigen (O2) pada pasien-pasien dengan penyakit paru
membawa dampak meningkatnya jumlah perawatan pasien. Ada beberapa
keuntungan dari terapi oksigen (O2), di antaranya pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dengan pemberian konsentrasi
oksigen (O2) yang tepat dapat mengurangi sesak napas saat aktivitas, dapat
meningkatkan kemampuan beraktivitas dan dapat memperbaiki kualitas
hidup.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya
pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau
memerbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan
agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke
dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam
sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke
jaringan. Dalam penggunaannya sebagai modalitas terapi, oksigen (O2)
dikemas dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa dan tidak mudah terbakar. Oksigen (O2) sebagai
modalitas terapi dilengkapi dengan beberapa aksesoris sehingga pemberian
terapi oksigen (O2) dapat dilakukan dengan efektif, di antaranya pengatur
tekanan (regulator), sistem perpipaan oksigen (O2) sentral, meter aliran, alat
humidifikasi, alat terapi aerosol dan pipa, kanul, kateter atau alat pemberian
lainnya.4

2.2 Tujuan
Seperti halnya terapi secara umum, terdapat tujuan dari pemberian
oksigen/terapi oksigen ini. Dimana tujuannya adalah:5,6
1. Mengoreksi hipoksemia
Pada keadaan gagal nafas akut, tujuan dari pemberian oksigen disini
adalah upaya penyelamatan nyawa. Pada kasus lain, terapi oksigen
bertujuan untuk membayar “hulang" oksigen jaringan.
2. Mencegah hipoksemia
Pemberian oksigen juga bisa bertujuan untuk pencegahan, dimana untuk
menyediakan oksigen dalam darah, seperti contohnya pada tindakan
bronkoskopi, atau pada kondisi yang menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat (infeksi berat, kejang, dll).

6
3. Mengobati keracunan karbon monoksida (CO)
Terapi oksigen dapat untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen (PO2)
dalam darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan hemoglobin.

2.3 Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi
Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan
bayi (usia di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O 2)
kurang dari 60 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O 2) kurang dari 90% saat
pasien beristirahat dan bernapas dengan udara ruangan. Pada neonatus,
terapi oksigen (O2) dianjurkan jika nilai tekanan parsial oksigen (O2) kurang
dari 50 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O 2) kurang dari 88%. Terapi
oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dengan kecurigaan klinik hipoksia
berdasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan fisik. Pasien-pasien
dengan infark miokard, edema paru, cidera paru akut, sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS), fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas
karbon monoksida (CO) semuanya memerlukan terapi oksigen (O2).4
Terapi oksigen (O2) juga diberikan selama periode perioperatif
karena anestesi umum seringkali menyebabkan terjadinya penurunan
tekanan parsial oksigen (O2) sekunder akibat peningkatan ketidaksesuaian
ventilasi dan perfusi paru dan penurunan kapasitas residu fungsional (FRC).
Terapi oksigen (O2) juga diberikan sebelum dilakukannya beberapa
prosedur, seperti pengisapan trakea atau bronkoskopi di mana seringkali
menyebabkan terjadinya desaturasi arteri. Terapi oksigen (O 2) juga
diberikan pada kondisi-kondisi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan
jaringan terhadap oksigen (O2), seperti pada luka bakar, trauma, infeksi
berat, penyakit keganasan, kejang demam dan lainnya.4

Terapi Oksigen (O2) Jangka Pendek


Terapi oksigen (O2) jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pesien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di
antaranya pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan

7
eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskuler dan emboli paru.
Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan dengan adekuat di
mana pemberian oksigen yang tidak adekuat akan dapat menimbulkan
terjadinya kecacatan tetap ataupun kematian. Pada kondisi ini, oksigen
diberikan dengan fraksi oksigen (Fi O2) berkisar antara 60-100% dalam
jangka waktu yang pendek sampai kondisi klinik membaik dan terapi yang
spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang dapat
mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping bila diperlukan,
oksigen harus diberikan secara terus menerus.6

Gambar 2.1. Indikasi Terapi Oksigen Akut Jangka Pendek

Terapi Oksigen (O2) Jangka Panjang


Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak
menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Terapi oksigen jangka
panjang pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
selama 4-8 minggu bisa menurunkan hematokrit, memperbaiki toleransi
latihan dan menurunkan tekanan vaskuler pulmoner. Pada pasien PPOK
dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan
angka harapan hidup sekitar 6-7 tahun. Selain itu, angka kematian bisa
diturunkan dan dapat tercapai manfaat survival yang lebih besar pada
pasien dengan hipoksemia kronis apabila terapi oksigen diberikan >12 jam
sehari dan berkesinambungan.6

8
Gambar 2.2. Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang

Kontraindikasi
Terapi oksigen (O2) tidak direkomendasi pada:6
a. Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan
utama dispneu tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60
mmHg dan tidak mempunyai hipoksia kronis.
b. Pasien yang tetap merokok karena kemungkinan prognosis yang
buruk dan dapat meningkatkan risiko kebakaran.
c. Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.

2.4 Hipoksia
Hipoksia adalah keadaan di mana terjadi defisiensi oksigen yang
mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob
pada sel. Pada saat istirahat rata rata laki-laki dewasa membutuhkan kira-
kira 225-250 ml oksigen per menit, dan meningkat sampai 10 kali saat
beraktivitas. Jaringan akan mengalami hipoksia apabila aliran oksigen tidak
adekuat dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, hal ini dapat
terjadi kira-kira 4-6 menit setelah ventilasi spontan berhenti. Berdasarkan
mekanismenya, penyebab hipoksia jaringan dibagi dalam tiga kategori,
yaitu:6
1) Hipoksemia arteri.

9
2) Berkuranngnya aliran oksigen karena adanya kegagalan tranport tanpa
adanya hipoksemia arteri.
3) Penggunaan oksigen yang berlebihan di jaringan.
Berdsasarkan jenisnya hipoksia dibagi menjadi 4 kelompok,yaitu:
1) Hipoksia Hipoksik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena
kurangnya oksigen yang masuk ke dalam paru-paru. Sehingga oksigen
dalam darah menurun kadarnya. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh
adanya sumbatan/obstruksi di saluran pernapasan.
2) Hipoksia Anemik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan oleh
karena hemoglobin dalam darah tidak dapat mengikat atau membawa
oksigen yang cukup untuk metabolisme seluler. Seperti keracunan
karbon monoksida (CO2).
3) Hipoksia Stagnan adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena
hemoglobin dalam darah tidak mampu membawa oksigen ke jaringan
yang disebabkan kegagalan sirkulasi seperti heart failure, atau
embolisme.
4) Hipoksia Histotoksik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan oleh
karena jaringan yang tidak mampu menyerap oksigen. Salah satu
contohnya pada keracunan sianida. Sianida dalam tubuh akan
mengaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara
radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian
ferricheme group dari oksigen yang dibawa darah.

Tabel 1. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut.6


Sistem Gejala dan Tanda-tanda
Respirasi Sesak nafas, sianosis
Kardiovaskular Curah jantung meningkat, palpitasi, takikardia,
aritmia, hipotensi, angina, vasodilatasi, syok
Sistem saraf pusat Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai,
bingung, eforia, delirium, gelisah, edema papil,
koma
Neuromuscular Lemah, tremor, hiperrefleks

10
Metabolik Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

Berbagai tanda dan gejala hipoksia yang bervariasi dan tidak spesifik,
maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan PaO 2 atau
saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan invasif yaitu analisis gas darah
arteri ataupun noninvasif yaitu pulse oximetry. Pada pemeriksaan analisis
gas darah, spesimen darah diambil dari pembuluh darah arteri dan akan
didapatkan nilai PaO2, PCO2, saturasi oksigen dan parameter lain. Pada
pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen. Pengukuran
saturasi oksigen melalui oksimetri ini tidak cukup untuk mendeteksi
hipoksemia karena hanya dapat memperkirakan PaO2 > 60 mmHg atau
PaO2 < 60 mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidak
bisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigen jangka panjang,
namun pemeriksaan menginvasi ini efektif digunakan untuk evaluasi
kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan
memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan oksigen di
rumah.6

2.5 Teknik Pemberian Terapi Oksigen


Teknik dan alat yang dapat digunakan dalam terapi oksigen sangat
beragam, dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Tehnik dan alat yang akan digunakan hendaknya memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2)
2. Tidak menyebabkan akumulasi CO2
3. Tahanan terhadap pemafasan minimal
4. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen
5. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien

Berdasarkan kriteria tersebut, alat-alat yang digunakan digolongkan


menjadi:5,7

11
I. Sistem fixed performance
Fraksi oksigen pada alat ini tidak tergantung pada kondisi pasien.
Berdasarkan aliran gasnya dibagi menjadi:
a. Aliran tinggi (misalnya: sungkup venturi)
b. Aliran rendah (misalnya: mesin anesthesia)
II. Sistem variable performance
Fraksi oksigen pada alat ini tergantung pada aliran oksigen, faktor alat, dan
kondisi pasien. Terdapat 3 jenis yaitu:
a. sistem no capacity (misalnya: nasal kanul, nasal kateter)
b. sistem small capacity (misalnya: nasal kanul atau nasal kateter aliran
tinggi, sungkup “semi~rigid”)
c. sistem large capacity (misalnya: pneumask, polymask)

Berdasarkan ada atau tidaknya hirupan kembali udara ekspirasi pasien


selama terapi oksigen, sistem pemberian gas dalam terapi oksigen dapat
diklasifikasikan menjadi:8,9,10
1. Sistem nonrebreathing
Pada sistem nonrebreathing, kontak antara udara inspirasi dan
ekspirasi sangat minimal. Udara ekspirasi langsung keluar ke atmosfer
melalui katup searah yang dipasang pada hubungan antara pengalir gas
dengan mulut atau hidung pasien. Untuk itu harus diberikan aliran gas
yang cukup agar volume semenit dan laju aliran puncak yang dibutuhkan
terpenuhi atau memasang kantong penampung udara inspirasi yang
memungkinkan penambahan sejumlah gas bila diperlukan. Katup searah
yang dipasang tersebut memberikan kesempatan masuknya udara atmosfir
ke dalam alat ini sehingga menambah julmah aliran gas untuk memenuhi
kebutuhan gas, terutama pada sistem aliran gas tinggi.
2. Sistem rebreathing
Pada sistem ini, udara ekspirasi yang ditampung pada kantong
penampung yang terletak pada pipa jalur ekspirasi, dihirup kembali setelah
CO2 nya diserap oleh penyerap CO2 selanjutnya dialirkan kembali ke pipa
jalur inspirasi.

12
Berdasarkan kecepatan aliran, cara pemberian oksigen dibagi menjadi:
1. Sistem aliran oksigen tinggi
Pada sistem ini, alat yang digunakan yaitu sungkup venti atau
venturi yang mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada
perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu memberikan
aliran total gas yang tinggi dengan FiO2 yang tetap. Keuntungan alat ini
adalah FiO2 yang diberikan stabil dan mampu mengendalikan suhu dan
humidifikasi udara inspirasi, sedangkan kelemahannya adalah alat ini
mahal, mengganti seluruh alat apabila ingin mengubah FiO2 dan tidak
enak bagi pasien.
2. Sistem aliran oksigen rendah
Sebagian dari volume tidak berasal dari udara kamar. Alat ini
memberikan FiO2 21%-90%, teragantung dari aliran gas oksigen dan
tambahan asesoris seperti kantong penampung. Alat yang umum gunakan
dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter, dan sungkup muka
tanpa atau dengan kantong penampung. Alat ini digunakan pada pasien
dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar antara 300-700 ml
(dewasa) dan pola nafasnya teratur.

2.6 Alat Terapi Oksigen


Beberapa alat yang umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen
adalah:
1. Nasal Kanul
Termasuk dalam sistem “non rebreathing”, “no capacity”, dan
aliran rendah. Merupakan alat sederhana, murah dan mudah dalam
pemakaiannya. Tergantung dari aliran oksigen/menit, mampu
memberikan FiO2 sebagai berikut:

13
Nasal kanul terdiri dari sepasang tube dengan panjang + 2 cm yang
dipasangkan pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan secara
langsung menuju oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif
bila tidak terdapat sungkup muka, terutama bagi pasien yang
membutuhkan konsentrasi oksigen rendah oleh karena tergolong
sebagai alat yang sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya.6
Adapun keuntungan dari nasal kanul yaitu pemberian oksigen yang
stabil serta pemasangannya mudah dan nyaman oleh karena pasien
masih dapat makan, minum, bergerak dan berbicara. Walaupun nasal
kanul nyaman digunakan tetapi pemasangan nasal kanul dapat
menyebabkan terjadinya iritasi pada mukosa hidung, mudah lepas, tidak
dapat memberikan konsentrasi oksigen >44% dan tidak dapat
digunakan pada pasien dengan obstruksi nasal.6

Gambar 2.3. Nasal kanul

b. Kateter nasal
Alat ini mirip nasal kanul, sederhana, murah dan mudah dalam
pemakaiannya. Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai usia dan

14
jenis kelarnin pasien. Untuk anak-anak digunakan nomor 8-10 F,
untuk lakilaki nomor 12-l4 F, dan untuk perempuan digunakan
nomor 10-12 F. Fraksi oksigen yang dihasilkan sama seperti nasal
kanul.6

Gambar 2.4. Kateter nasal

c. Sungkup muka tanpa kantong penampung


Sungkup muka tanpa kantong penampung merupakan alat terapi
oksigen yang terbuat dari bahan plastik dimana penggunaannya
dilakukan dengan cara diikatkan pada wajah pasien dengan ikat
kepala elastis yang berfungsi untuk menutupi hidung dan mulut.
Tubuh sungkup berfungsi sebagai penampung untuk oksigen (O2)
dan karbon dioksida (CO2) hasil ekspirasi.6
Alat ini sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya.
Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia. Sering kali
ditolak pasien oleh karena menimbulkan perasaan tidak enak.
Menghasilkan FiO2 sebagai berikut:11
Kecepatan Aliran (L/menit) FiO2 nya
5-6 40%
6-7 50%
7-8 60%

Pada penggunaan alat ini, direkomendasikan agar aliran


oksigen dapat tetap dipertahankan sekitar 5 L/menit atau lebih yang

15
bertujuan untuk mencegah karbon dioksida (CO2) yang telah
dikeluarkan dan tertahan pada sungkup untuk terhirup kembali.6
Adapun keuntungan dari penggunaan sungkup muka tanpa
kantong penampung adalah alat ini mampu memberikan fraksi
oksigen (FiO2) yang lebih tinggi daripada nasal kanul ataupun nasal
kateter dan sistem humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan
sungkup berlubang besar sedangkan kerugian dari alat ini yaitu tidak
dapat memberikan fraksi oksigen (FiO2) kurang dari 40%, dapat
menyebabkan penumpukan karbon dioksida (CO2) jika aliran
oksigen rendah dan oleh karena penggunaannya menutupi mulut,
pasien seringkali kesulitan untuk makan dan minum serta suara
pasien akan teredam.6

Gambar 2.5. Sungkup Muka Tanpa Kantong Penampung

d. Sungkup muka dengan kantong penampung


Termasuk kelompok aliran rendah, “large capacity" dan “non
rebreathing". Alat ini sama dengan alat di atas, hanya ditambah
kantong penampung oksigen pada muaranya untuk mcningkatkan
konsentrasi oksigen udara inspirasi atau FiO2. Alat ini digunakan
apabila memerlukan FiO2 antara 60-90%. Menghasilkan FiO2
sebagai berikut:11

16
Terdapat dua jenis sungkup muka dengan kantong penampung
yang seringkali digunakan dalam pemberian terapi oksigen (O 2),
yaitu sungkup muka partial rebreathing dan sungkup muka
nonrebreathing. Perbedaan di antara kedua jenis sungkup muka
tersebut terkait dengan adanya katup pada tubuh sungkup dan di
antara sungkup dan kantong penampung. Sungkup muka partial
rebreathing tidak memiliki katup satu arah di antara sungkup
dengan kantong penampung sehingga udara ekspirasi dapat
terhirup kembali saat fase inspirasi sedangkan pada sungkup muka
nonrebreathing, terdapat katup satu arah antara sungkup dan
kantong penampung sehingga pasien hanya dapat menghirup udara
yang terdapat pada kantong penampung dan menghembuskannya
melalui katup terpisah yang terletak pada sisi tubuh sungkup.
Kedua jenis sungkup muka ini sangat dianjurkan penggunaanya
pada pasien-pasien yang membutuhkan terapi oksigen oleh karena
infark miokard dan keracunan karbon monoksida (CO). 6

Gambar 2.6. Sungkup muka partial rebreathing dan non rebreathing

17
e. Oksigen transtrakeal
Oksigen (O2) transtrakeal dapat mengalirkan oksigen (O2)
secara langsung melalui kateter didalam trakea. Oksigen (O 2)
transtrakeal dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk
menggunakan terapi oksigen (O2) secara kontinyu selama 24 jam
dan seringkali berhasil untuk mengatasi hipoksemia refrakter.
Oksigen (O2) transtrakeal dapat menghemat penggunaan oksigen
(O2) sekitar 30- 60-%. Keuntungan dari pemberian oksigen (O2)
transtrakeal yaitu tidak ada iritasi muka ataupun hidung dengan
rata-rata oksigen (O2) yang dapat diterima pasien mencapai 80-
96%.6
Kerugian dari penggunaan alat ini yaitu biayanya yang
tergolong tinggi dan risiko terjadinya infeksi lokal. Selain itu, ada
pula berbagai komplikasi lainnya yang seringkali terjadi pada
pemberian oksigen (O2) transtrakeal antara lain emfisema subkutan,
bronkospasme, batuk paroksismal dan infeksi stoma. Adapun
gambar dari oksigen (O2) transtrakeal ditunjukkan pada gambar
2.20. 6
f. Sungkup muka venturi
Alat ini relatif mahal dibandingkan dengan beberapa alat yang
telah disebutkan diatas. Kelebihan alat ini adalah mampu
mernberikan FiO2 sesuai dengan yang di kehendaki, tidak
tergantung dari aliran gas oksigen yang diberikan. Tersedia dalam
ukuran FiO2 24%, 35%‘ dan 40%.8 Sungkup venturi merupakan alat
terapi oksigen (O2) dengan prinsip jet mixing yang dapat
memberikan fraksi oksigen (FiO2) sesuai dengan yang
dikehendaki.6
Alat ini sangat bermanfaat untuk dapat mengirimkan secara
akurat konsentrasi oksigen (O2) rendah sekitar 24-35% dengan arus
tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis

18
(PPOK) dan gagal napas tipe II dimana dapat mengurangi rIsiko
terjadinya retensi karbon dioksida (CO2) sekaligus juga
memperbaiki hipoksemia. Alat ini juga lebih nyaman untuk
digunakan dan oleh karena adanya pendorongan oleh arus tinggi,
maka masalah rebreathing akan dapat teratasi.6

Gambar 2.7. Sungkup Venturi

2.7 Efek Samping


Pemberian terapi oksigen ini dapat menimbulkan efek samping di
sistem pernafasan, susunan saraf pusat, dan juga mata (terutama pada bayi
prematur).11
a. Depresi nafas
Keadaan ini terjadi pada pasien yang menderita PPOK dengan hipoksia
dan hiperkarbia kronik. Oleh karena pada penderita PPOK kendali pusat
nafas bukan oleh kondisi hiperkarbi seperti pada keadaan normal, tetapi
oleh kondisi hipoksia, sehingga apabila kadar oksigen dalam darah
meningkat malah akan menimbulkan depresi nafas. Pada pasien PPOK,
terapi oksigen di anjurkan dilakukan dengan sistem aliran rendah dan
pemberiannya secara intermiten.
b. Keracunan oksigen
Keracunan oksigen ini terjadi apabila pemberian oksigen dengan
konsentrasi tinggi (>6O%) dalam jangka waktu lama. Akan timbul

19
perubahan pada paru dalam bentuk: kongesti paru, penebalan membrane
alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasi. Pada keadaan hipoksia berat,
pemberian terapi oksigen dengan FiO2 sampai 100% dalam waktu 6-12
jam untuk life saving seperti misalnya pada saat resusitasi masih di
anjurkan. Namun setelah keadaan kritis teratasi, FiO2 harus segera
diturunkan.
c. Nyeri substemal
Nyeri substernal dapat terjadi akibat iritasi pada trakea yang
menimbulkan trakeitis. Hal ini terjadi pada pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dan keluhannya akan lebih hebat lagi apabila oksigen
yang diberikan itu kering (tanpa humidifikasi).
d. Pada susunan saraf pusat
Pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat menimbulkan
keluhan parestesia dan nyeri pada sendi.
e. Pada mata
Pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur, hiperoksia
menyebabkan kerusakan pada retina akibat proliferasi pumbuluh darah
disertai perdarahan dan fibrosis (retrolental firbroplasia).

20
BAB III
SKENARIO KASUS

Seorang laki-laki berusia 78 tahun dibawa ke UGD karena sesak napas.


Anda bertugas sebagai dokter jaga UGD. Pasien masih bisa diajak berbicara dan
menjawab pertanyaan dengan baik namun sesekali batuk. Laju napas sekitar 28-32
kali/menit dan SpO2 86% dengan udara bebas. Pasien diketahui perokok berat dan
beberapa kali dirawat di rumah sakit karena keluhan serupa. Bagaimana terapi
oksigen yang akan anda lakukan?

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Semua pasien akut yang datang dengan keluhan sesak nafas harus
diperiksa melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda
suatu penyakit akut seperti pneumonia, emboli paru, atau suatu eksaserbasi dari
kondisi kronis seperti PPOK, asma, atau suatu diagnosis yang spesifik seperti
gagal jantung atau efusi pleura masif walaupun sebagian besar penyebab sesak
belum terdiagnosis sampai dilakukan pemeriksaan penunjang seperti rontgen
maupun EKG. Penilaian terhadap frekuensi napas dan denyut nadi harus
dilakukan dengan seksama karena takipneu dan takikardi lebih umum ditemukan
daripada tanda-tanda sianosis pada pasien dengan hipoksemia.
Pada kasus didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat sebagai perokok
berat. Merokok merupakan salah satu penyebab utama dari PPOK. Kerja silia
akan terganggu serta fungsi sel-sel makrofag akan menyebabkan inflamasi pada
saluran napas, peningkatan produksi lendir (mucus), destruksi septum alveolar
serta fibrosis peribronkial. Sumbatan mucus dan penyempitan jalan napas
menyebabkan udara napas terperangkap sehingga pasien mengeluh sesak napas.
Pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut, pemberian terapi
oksigen harus dititrasi untuk memperbaiki hipoksemia pasien dengan target
saturasi 88-92%, setelah terapi oksigen dilakukan maka analisa gas darah harus
dilakukan secara berkala untuk memastikan oksigenasi optimal tanpa disertai
retensi karbondioksida atau perburukan asidosis.
Pada kasus, didapatkan saturasi oksigen pasien adalah 86%. Pasien yang
tidak memiliki risiko gagal napas hiperkapnia dan mengalami sesak napas akut
dengan saturasi O2 dibawah 85% maka terapi oksigen harus dimulai dengan
reservoir mask 15 L/menit. Meski pada kasus saturasi oksigen masih di atas 85%,
pemberian terapi oksigen pada kasus dapat dimulai dengan reservoir mask
15L/menit karena target saturasi O2 adalah 88-92%. Lalu konsentrasi oksigen
dapat diturunkan dan disesuaikan untuk mempertahankan target saturasi 94-98%
bila keadaan pasien sudah stabil (bisa menggunakan nasal kanul 1-6L/menit atau
face mask 5-10 L/menit).

22
Penggunaan nasal kanul tidak direkomendasikan pada pasien dengan
PPOK eksaserbasi akut karena FiO2 harus dikontrol dengan ketat, tetapi setelah
kondisi pasien stabil maka pemberian terapi oksigen dengan kanul nasal dan aliran
oksigen yang dititrasi sampai mencapai rentang target saturasi menjadi pilihan
yang paling mudah dan nyaman bagi pasien untuk pemberian oksigen terkontrol.
Terapi oksigen dihentikan bila pasien secara klinis stabil dalam oksigen
konsentrasi rendah dan saturasi oksigen tetap dalam rentang yang diharapkan pada
dua observasi yang berurutan. Saturasi oksigen pasien harus dicek kembali setelah
5 menit tanpa terapi oksigen, jika masih tetap dalam rentang yang diharapkan
maka lakukan pengecekan ulang dalam 1 jam. Jika setelah 1 jam saturasi O2 dan
klinis pasien tetap baik maka terapi oksigen bisa dihentikan, tetapi saturasi dan
klinis pasien harus tetap di monitor secara berkala sesuai dengan penyakit yang
mendasari.

23
BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus dapat diduga pasien mengalami PPOK sehingga terapi oksigen
pada pasien dapat dimulai dengan reservoir mask 15 L/menit. Meski pada kasus
saturasi oksigen masih di atas 85%, pemberian terapi oksigen pada kasus dapat
dimulai dengan reservoir mask 15L/menit karena target saturasi O2 adalah 88-
92%. Lalu konsentrasi oksigen kemudian dapat diturunkan dan disesuaikan untuk
mempertahankan target saturasi 94-98% bila pasien sudah distabilkan (bisa
menggunakan nasal kanul 1-6L/menit atau face mask 5-10 L/menit) dan terapi
oksigen bisa dihentikan bila saturasi oksigen tetap stabil pada dua observasi yang
dilakukan tanpa terapi oksigen setelah 5 menit. Selanjutnya lakukan pengecekan
ulang dalam 1 jam. Jika saturasi O2 dan klinis pasien tetap baik maka terapi
oksigen bisa dihentikan, dengan tetap memonitor saturasi secara berkala sesuai
dengan penyakit yang mendasari.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Cousins, J. L., Wark, P. A. B., & McDonald, V. M. (2016). Acute oxygen


therapy: A review of prescribing and delivery practices. In International
Journal of COPD. https://doi.org/10.2147/COPD.S103607
2. Siemieniuk, R. A. C., Chu, D. K., Kim, L. H. Y., Güell-Rous, M. R.,
Alhazzani, W., Soccal, P. M., Karanicolas, P. J., Farhoumand, P. D.,
Siemieniuk, J. L. K., Satia, I., Irusen, E. M., Refaat, M. M., Stephen Mikita, J.,
Smith, M., Cohen, D. N., Vandvik, P. O., Agoritsas, T., Lytvyn, L., & Guyatt,
G. H. (2018). Oxygen therapy for acutely ill medical patients: A clinical
practice guideline. BMJ (Online). https://doi.org/10.1136/bmj.k4169
3. Mangku G, Senapathi TGE. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi
II. Jakarta. Indeks. 2017.
4. Hartawan, G. 2017. Terapi Oksigen (O 2). Bagian/SMF Anestesiologi dan
Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
https://simdos.unud.ac.id/
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Edisi XI. Philadel-
phia. W. B. Saunders Company. 2016.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. InternaPublishing. 2016.
7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan, MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
II. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
8. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Edisi I. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
9. O‘Driscoll B.R., Howard L.S., Davison A.G. Guideline for Emergency
Oxygen Use in Adult Patients. BMJ1. Vol. 63. 2018. Hal: 49-55.
10. Browne B., Crocker C. Guideline for Administration of Oxygen in Adults
2012. Nottingham University Hospitals. 2013. Hal: 15-20.
11. Subaghiarta, I. 2016. Terapi Oksigen.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ed5784fba89f81d668b
0dfd02d9ca631.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai