Anda di halaman 1dari 23

Referat

Terapi Oksigen

Oleh:
Dewi Fortuna Agustia, S.Ked
NIM : 712021088

Pembimbing:
dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An

DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023

i
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Referat dengan judul

Terapi Oksigen

Dipersiapkan dan disusun oleh

Dewi Fortuna Agustia, S.Ked


NIM : 712021088

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah
Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang

Palembang, Januari 2023


Pembimbing

dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat ini. Penulisan referat ini
dilakukan dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Anestisiologi dan Terapi Insentif Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang pada Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa kepaniteraan klinik sampai pada
penyusunan laporan kasus ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
laporan kasus ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1) dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An, selaku pembimbing yang telah


menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan laporan kasus ini;
2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
3) Rekan sejawat serta semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.

Palembang, Januari 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii

KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH .............................. iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2. Maksud dan Tujuan ............................................................................... 4

1.3. Manfaat ................................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5

2.1 Definisi .................................................................................................. 5

2.2 Indikasi Terapi Oksigen ......................................................................... 6

2.3 Tujuan ................................................................................................... 7

2.4 Hipoksisa ............................................................................................... 7

2.5 Tehnik Pemberian Terapi Oksigen ......................................................... 8

2.6 Alat Terapi Oksigen ............................................................................. 11

2.7 Efek Samping ...................................................................................... 12

BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................... 14

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................. 15

BAB IV KESIMPULAN .................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia adalah organisme hidup yang terdiri atas sel sebagai unit
kehidupan dasarnya. Setiap organ yang menyusun sistem tubuh manusia
terdiri atas sekelompok sel yang berbeda yang disatukan oleh struktur
pendukung interseluler dan setiap jenis sel secara khusus disesuaikan untuk
melakukan satu atau beberapa fungsi tertentu. Meski berbeda jenis dan
fungsinya, semua sel memiliki karakteristik atau sifat yang sama yaitu pada
setiap sel, oksigen (O2) akan bereaksi dengan karbohidrat, lemak, protein
serta vitamin dan mineral untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk
fungsi sel yang kemudian digunakan untuk melakukan aktivitas manusia
sehari-hari.1
Proses metabolisme pada manusia sebagian besar melibatkan gas
oksigen (O2) untuk dapat menghasilkan energi yang akan digunakan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari melalui berbagai proses reaksi kimia. Dari
berbagai proses reaksi kimia tersebut nantinya akan dihasilkan pula gas
karbon dioksida (CO2) sebagai produk sisa yang perlu dikeluarkan oleh sel.
Respirasi atau pernapasan dapat didefinisikan sebagai proses pertukaran
gas-gas (memeroleh oksigen atau O2 untuk digunakan oleh sel-sel tubuh
dan mengeluarkan karbon dioksida atau CO2 yang dihasilkan oleh sel-sel
tubuh) antara organisme hidup dan lingkungan sekitarnya.
Terdapat dua macam respirasi pada manusia yaitu pertama, respirasi
internal dan kedua, respirasi eksternal. Respirasi internal adalah pertukaran
gas-gas (oksigen atau O2 dan karbon dioksida atau CO2) antara darah dan
jaringan. Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu efisiensi kardio-
sirkulasi dalam menjalankan darah kaya oksigen (O2), distribusi kapiler,
difusi (perjalanan gas ke ruang interstisial dan menembus dinding sel) dan
metabolisme sel yang melibatkan enzim.
Respirasi eksternal adalah pertukaran gas-gas (oksigen atau O2 dan
karbon dioksida atau CO2) antara darah dan udara sekitar. Pertukaran ini

1
meliputi beberapa proses yaitu ventilasi (proses masuknya udara sekitar dan
pembagian udara tersebut kealveoli), distribusi dan pencampuran molekul-
molekul gas intrapulmoner), difusi (proses masuknya gas-gas menem-bus
selaput alveolo-kapiler) dan perfusi (pengambilan gas-gas oleh aliran darah
kapiler paru yang adekuat).
Pada kondisi normal, manusia mampu menghirup udara atmosfir yang
mengandung sebanyak 21% oksigen (O2) dengan tekanan parsial sebesar
150 mmHg melalui sistem respirasi yang selanjutnya ketika sampai di
alveoli tekanan parsial-nya akan turun menjadi 103 mmHg akibat pengaruh
tekanan uap air yang terjadi pada jalan napas. Pada alveoli, oksigen (O2)
akan segera berdifusi ke dalam aliran paru melalui proses aktif akibat
perbedaan tekanan. Di dalam darah, sebagian besar (97%) oksigen (O2)
akan terikat dengan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil (3%) akan larut
dalam plasma yang selanjutnya akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh
untuk keperluan metabolisme.3
Sejak penemuan penting mengenai molekul oksigen (O2) oleh Joseph
Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses
pernapasan oleh Lavoisier, oksigen (O2) menjadi suatu cara pengobatan
dalam perawatan pasien. Sebelum tahun 1920, suplementasi oksigen (O2)
dievaluasi oleh Baruch dkk dan akhirnya pada tahun 1920, ditetapkan suatu
konsep bahwa oksigen (O2) dapat digunakan sebagai terapi. Pemberian
oksigen pada pasien-pasien dengan hipoksemia dapat memperbaiki harapan
hidup, hemodinamik paru dan kapasitas latihan selain itu, pemberian
oksigen (O2) pada pasien-pasien dengan penyakit paru membawa dampak
meningkatnya jumlah perawatan pasien.4
Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen (O2), di antaranya pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dengan pemberian
konsentrasi oksigen (O2) yang tepat dapat mengurangi sesak napas saat
aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan beraktivitas dan dapat
memerbaiki kualitas hidup. Keuntungan lainnya dari pemberian oksigen
(O2) di antaranya dapat memperbaiki kor, pulmonal, meningkatkan fungsi

2
jantung, memerbaiki fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan,
mengurangi hipertensi pulmonal dan memerbaiki metabolisme otot.4
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Ayu et al, 2018
sekitar 17.537 kasus tersedak paling sering terjadi pada anak usia Toddler
(18- 36 bulan) Adapun penyebab tersedak pada kejadian ini adalah 59,5%
karena makanan 31,4% tersedak pada benda asing dan sebesar 9,1%
penyebab tersedak tidak diketahui. Di Amerika Serikat tahun 2018 di
dapatkan data 710 kasus tersedak terjadi pada anak usua di bawah 4 tahun
dengan persentase kejadian 11,6% terjadi pada anak usia 1 tahun hingga 2
tahun dan 29,4% terjadi pada anak usia 2 hingga 4 tahun.2 Di Indonesia data
yang diperoleh di RSUD dr. Harjono, Jawa Timur terdapat 157 kasus
tersedak pada tahun 2015 dan di tahun berikutnya sebanyak 112 kasus.
Berdasarkan data dari Yayasan Ambulan Gawat Darurat 118 (2015) anak
dengan usia <5 tahun mengalami kematian 90% disebabkan oleh sumbatan
benda asing pada saluran jalan nafas.3
Bahaya dari tersedak bila tidak tahu tanda-tanda dari tersedak dan
tidak dengan segera dilakukan penanganan dini dapat menyebabkan
kesulitan bernapas, kebiruan dan hilang kesadaran. Oleh karena itu,
mengetahui tanda- tanda tersedak seperti batuk tanpa suara, kebiruan,
ketidakmampuan untuk berbicara atau bernapas. Selain itu, bila ditemukan
tanda - tanda penyumbatan ringan dan korban dapat batuk, jangan
menghalangi proses batuk dan usaha bernapas spontan dari korban. Pada
dasarnya kasus tersedak ini dapat ditangani oleh siapa saja, Tindakan
terhadap pertolongan pertama pada korban tersedak merupakan langkah
selanjutnya yang harus segera dilakukan. Tindakan yang cepat dari orang
yang berada disekitar, sangat berpengaruh terhadap keselamatan korban.
Penanganan yang dilakukan biasanya berhasil dan tingkat
kelangsungan hidup dapat mencapai 95%. Penanganan dini untuk tersedak
terbagi menjadi 3 macam, yaitu meliputi back blow (tepukan di punggung),
abdominal thrust (hentakan pada perut) disebut juga dengan maneuver
Heimlich dan chest thrust (hentakan pada dada).4

3
1.2. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari referat ini adalah diharapkan bagi
semua dokter muda agar dapat memahami terapi oksigen.

1.3. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
1. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu anestesiologi
terutama mengenai terapi oksigen.
2. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan referat ini dapat dijadikan
landasan untuk penulisan referat selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dari referat ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior
(KKS) dan diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Oksigen atau O2 diisolasi pertama kali oleh Joseph Priestley. Pada
tahun 1794, Thomas Beddoes pertama kalinya menggunakan O2 sebagai
obat. Dalam penggunaan O2 sebagai obat, beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu indikasi, pengaturan dosis, cara pemberian, dan efek
sampingnya. Sejak ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat digunakan
sebagai terapi, efek hipoksia menjadi lebih dimengerti dan pemberian
oksigen pada pasien dengan penyakit paru embawa dampak meningkatnya
jumlah perawatan pasien.¹·⁵
Dalam keadaan normal, sistem respirasi manusia menghirup 21% O2 di
udara atmosfer dengan tekanan-parsial 150 mmHg. Tekanan parsial I50
mmHg ini sesampainya di alveoli akan berubah menjadi 103 mmHg. Ini
diakibatkan pengaruh tekanan uap air pada jalan nafas. Pada alveoli, O2
akan berdifusi ke dalam aliran darah paru. O2 akan terikat dengan
hemoglobin di dalam darah dan kemudian akan di edarkan ke seluruh tubuh
untuk keperluan metabolisme.¹
Pemberian O2 scbagai obat atau terapi oksigen meliputi upaya-upaya
meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan
daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.
Pemberian oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki
kor pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi
neuropsikiatrik, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki
metabolisme otot
Yang dimaksud dengan terapi oksigen adalah upaya-upaya
meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan
daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.¹
Dalam pemberiannya sebagai obat, O2 dikemas dalam tabung
bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa, tidak mudah terbakar namun menunjang proses kebakaran. Sebelum

5
O2 dalam tabungdigunakan dalam terapi oksigen, mutlak diperlukan
asesoris berupa regulator, sistem perpipaan oksigen sentral, meter aliran,
alat humidifikasi, alat terapi aerosol, dan pipa/kanul/kateter serta alat
pemberinya.

2.2 Indikasi Terapi Oksigen


Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dewasa, anak-anak dan
bayi (usia di atas satu bulan) ketika nilai tekanan parsial oksigen (O2)
kurang dari 60 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 90% saat
pasien beristirahat dan bernapas dengan udara ruangan. Pada neonatus,
terapi oksigen (O2) dianjurkan jika nilai tekanan parsial oksigen (O2)
kurang dari 50 mmHg atau nilai saturasi oksigen (O2) kurang dari 88%.
Terapi oksigen (O2) dianjurkan pada pasien dengan kecurigaan klinik
hipoksia berdasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan fisik. Pasien-
pasien dengan infark miokard, edema paru, cidera paru akut, sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS), fibrosis paru, keracunan sianida atau
inhalasi gas karbon monoksida (CO) semuanya memerlukan terapi oksigen
(O2).9
Terapi oksigen (O2) juga diberikan selama periode perioperatif karena
anestesi umum seringkali menyebabkan terjadinya penurunan tekanan
parsial oksigen (O2) sekunder akibat peningkatan ketidaksesuaian ventilasi
dan perfusi paru dan penurunan kapasitas residu fungsional (FRC). Terapi
oksigen (O2) juga diberikan sebelum dilakukannya beberapa prosedur,
seperti pengisapan trakea atau bronkoskopi di mana seringkali menyebabkan
terjadinya desaturasi arteri.9 Terapi oksigen (O2) juga diberikan pada
kondisi-kondisi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan jaringan
terhadap oksigen (O2), seperti pada luka bakar, trauma, infeksi berat,
penyakit keganasan, kejang demam dan lainnya.3
Dalam pemberian terapi oksigen (O2) harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen (O2), apakah dibutuhkan terapi
oksigen (O2) jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang
(long-term oxygen therapy). Oksigen (O2) yang diberikan harus diatur

6
dalam jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.4,5

2.3 Tujuan
Seperti halnya terapi secara umum, terdapat tujuan dari pemberian
oksigen/terapi oksigen ini. Dimana tujuannya adalah: ¹·⁴
1. Mengoreksi hipoksemia
Pada keadaan gagal nafas akut, tujuan dari pemberian oksigen
disini adalah upaya penyelamatan nyawa. Pada kasus lain, terapi
oksigen bertujuan untuk membayar “hulang" oksigen jaringan.
2. Mencegah hipoksemia
Pemberian oksigen juga bisa bertujuan untuk pencegahan, dimana
untuk menyediakan oksigen dalam darah, seperti contohnya pada
tindakan bronkoskopi, atau pada kondisi yang menyebabkan konsumsi
oksigen meningkat (infeksi berat, kejang, dll).
3. Mengobati keracunan karbon monooksid (CO)
Terapi oksigen dapat untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen
(PO2) dalam darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan
hemoglobin.

2.4 Hipoksisa
Hipoksia adalah keadaan di mana terjadi defisiensi oksigen yang
mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob
pada sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan umum dari cedera dan
kematian sel namun tergantung pada beratnya keadaan hipoksia. Pada
keadaan hipoksia sel dapat mengalami adaptasi, cedera, atau kematian.
Penyebab hipoksia berdasarkan mekanismenya dibagi dalam kategori,
yaitu:
1) Hipoksemia arteri.
2) Berkuranngnya aliran oksigen karena adanya kegagalan tranport tanpa
adanya hipoksemia arteri.
3) Penggunaan oksigen yang berlebihan di jaringan.

7
Berdsasarkan jenisnya hipoksia dibagi menjadi 4 kelompok,yaitu:
1) Hipoksia Hipoksik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan
karena kurangnya oksigen yang masuk ke dalam paru-paru.
Sehingga oksigen dalam darah menurun kadarnya. Kegagalan ini
dapat disebabkan oleh adanya sumbatan/obstruksi di saluran
pernapasan.
2) Hipoksia Anemik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan oleh
karena hemoglobin dalam darah tidak dapat mengikat atau
membawa oksigen yang cukup untuk metabolisme seluler. Seperti
keracunan karbon monoksida (CO2).
3) Hipoksia Stagnan adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena
hemoglobin dalam darah tidak mampu membawa oksigen ke
jaringan yang disebabkan kegagalan sirkulasi seperti heart failure,
atau embolisme.
4) Hipoksia Histotoksik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan
oleh karena jaringan yang tidak mampu menyerap oksigen. Salah
satu contohnya pada keracunan sianida. Sianida dalam tubuh akan
mengaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara
radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian
ferricheme group dari oksigen yang dibawa darah.
Hipoksia memiliki beberapa gejala sebagai berikut:
1) Frekuensi nadi dan pernapasan naik.
2) Lemas.
3) Gangguan pada cara berpikir dan berkonsentrasi.
4) Sianosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir berubah menjadi biru.
5) Pingsan.
6) Gelisah

2.5 Tehnik Pemberian Terapi Oksigen


Tehnik dan alat yang dapat digunakan dalam terapi oksigen sangat
beragam, dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan

8
tersendiri. Tehnik dan alat yang akan digunakan hendaknya memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1) Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2)
2) Tidak menyebabkan akumulasi CO2
3) Tahanan terhadap pemafasan minimal
4) Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen
5) Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien

Berdasarkan kriteria tersebut, alat-alat yang digunakan digolongkan


menjadi:¹·²
1. Sistem Fixed Performance
Fraksi oksigen pada alat ini tidak tergantung pada kondisi pasien.
Berdasarkan aliran gasnya dibagi menjadi:
a. Aliran tinggi (misalnya: sungkup venturi)
b. Aliran rendah (misalnya: mesin anesthesia)
2. Sistem Variable Performance
Fraksi oksigen pada alat ini tergantung pada aliran oksigen, faktor
alat, dan kondisi pasien. Terdapat 3 jenis yaitu:
a. Sistem no capacity (misalnya: nasal kanul, nasal kateter)
b. Sistem small capacity (misalnya: nasal kanul atau nasal kateter aliran
tinggi, sungkup “semi rigid”)
c. Sistem large capacity (misalnya: pneumask, polymask)

Berdasarkan ada atau tidaknya hirupan kembali udara ekspirasi pasien


selama terapi oksigen, sistem pemberian gas dalam terapi oksigen dapat
diklasifikasikan menjadi:⁶·⁷·⁸
1. Sistem Non-Rebreathing
Pada sistem nonrebreathing, kontak antara udara inspirasi dan
ekspirasi sangat minimal. Udara ekspirasi langsung keluar ke atmosfer
melalui katup searah yang dipasang pada hubungan antara pengalir gas
dengan mulut atau hidung pasien. Untuk itu harus diberikan aliran gas
yang cukup agar volume semenit dan laju aliran puncak yang

9
dibutuhkan terpenuhi atau memasang kantong penampung udara
inspirasi yang memungkinkan penambahan sejumlah gas bila
diperlukan. Katup searah yang dipasang tersebut memberikan
kesempatan masuknya udara atmosfir ke dalam alat ini sehingga
menambah julmah aliran gas untuk memenuhi kebutuhan gas, terutama
pada sistem aliran gas tinggi.
2. Sistem Rebreathing
Pada sistem ini, udara ekspirasi yang ditampung pada kantong
penampung yang terletak pada pipa jalur ekspirasi, dihirup kembali
setelah CO2 nya diserap oleh penyerap CO2 selanjutnya dialirkan
kembali ke pipa jalur inspirasi.

Berdasarkan kecepatan aliran, cara pemberian oksigen dibagi menjadi:


1. Sistem aliran oksigen tinggi
Pada sistem ini, alat yang digunakan yaitu sungkup venti atau
venturi yang mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada
perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu
memberikan aliran total gas yang tinggi dengan FiO2 yang tetap.
Keuntungan alat ini adalah FiO2 yang diberikan stabil dan mampu
mengendalikan suhu dan humidifikasi udara inspirasi, sedangkan
kelemahannya adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat apabila
ingin mengubah FiO2 dan tidak enak bagi pasien.
2. Sistem aliran oksigen rendah
Sebagian dari volume tidal berasal dari udara kamar. Alat ini
memberikan FiO2 21%-90%, teragantung dari aliran gas oksigen dan
tambahan asesoris seperti kantong penampung. Alat yang umum
gunakan dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal kateter, dan
sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung. Alat ini
digunakan pada pasien dengan kondisi stabil, volume tidalnya berkisar
antara 300-700 ml (dewasa) dan pola nafasnya teratur.

10
2.6 Alat Terapi Oksigen
Beberapa alat yang umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen
adalah:¹·²·⁴
1. Nasal Kanul
Termasuk dalam sistem “non rebreathing”, “no capacity”, dan aliran
rendah. Merupakan alat sederhana, murah dan mudah dalam
pemakaiannya.
2. Kateter Nasal
Alat ini mirip nasal kanul, sederhana, murah dan mudah dalam
pemakaiannya. Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai usia dan jenis
kelamin pasien. Untuk anak-anak digunakan nomor 8-10 F, untuk laki-
laki nomor 12-l4 F, dan untuk perempuan digunakan nomor 10-12 F.
Fraksi oksigen yang dihasilkan sama seperti nasal kanul.
3. Sungkup Muka tanpa Kantong Penampung
Alat ini sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Tersedia
dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia. Sering kali ditolak pasien oleh
karena menimbulkan perasaan tidak enak.
4. Sungkup Muka dengan Kantong Penampung
Termasuk kelompok aliran rendah, “large capacity" dan “non
rebreathing". Alat ini sama dengan alat di atas, hanya ditambah kantong
penampung oksigen pada muaranya untuk mcningkatkan konsentrasi
oksigen udara inspirasi atau FiO2. Alat ini digunakan apabila
memerlukan FiO2 antara 60-90%.
5. Sungkup Muka Venturi
Alat ini relatif mahal dibandingkan dengan beberapa alat yang telah
disebutkan diatas. Kelebihan alat ini adalah mampu mernberikan FiO2
sesuai dengan yang di kehendaki, tidak tergantung dari aliran gas oksigen
yang diberikan. Tersedia dalam ukuran FiO2 24%, 35%„ dan 40%.
6. OEM Mix-O Mask
Alat ini hampir sama dengun sungkup venturi. Perbedaannya pada alat
ini ditambah dengan pipa korugated sepanjang 20-30 cm dan bisa
ditambah adaptor humidifikasi.

11
7. Sungkup muka tekanan positif
Alat ini terdiri dari sungkup muka, ukuran tekanan 0-4 cm HO, tali
pengikat kepala, katup searah, kantong dari karet elastic, pipa karet
diameter agak besar dan meter aliran untuk oksigen dalam sistem
perpipaan atau regulator untuk oksigen dalam silinder. Alat ini digunakan
untuk memberikan nafas buatan pada pasien depresi nafas.
8. Kollar trakeostomi
Alat ini digunakan pada pasien yang dilakukan trakeostomi. Alat ini
mampu memberikan humidifikasi tinggi dan FiO2 nya dikendalikan
dengan mengatur aliran oksigen permenitnya.

2.7 Efek Samping


Pemberian terapi oksigen ini dapat menimbulkan efek samping di
sistem pernafasan, susunan saraf pusat, dan juga mata (terutama pada bayi
prematur).¹ Pada sistem respirasi:
a. Depresi nafas
Keadaan ini terjadi pada pasien yang menderita PPOK dengan
hipoksia dan hiperkarbia kronik. Oleh karena pada penderita PPOK
kendali pusat nafas bukan oleh kondisi hiperkarbi seperti pada keadaan
normal, tetapi oleh kondisi hipoksia, sehingga apabila kadar oksigen
dalam darah meningkat malah akan menimbulkan depresi nafas. Pada
pasien PPOK, terapi oksigen di anjurkan dilakukan dengan sistem
aliran rendah dan pemberiannya secara intermiten.
b. Keracunan oksigen
Keracunan oksigen ini terjadi apabila pemberian oksigen dengan
konsentrasi tinggi (>6O%) dalam jangka waktu lama. Akan timbul
perubahan pada paru dalam bentuk: kongesti paru, penebalan
membrane alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasi. Pada keadaan
hipoksia berat, pemberian terapi oksigen dengan FiO2 sampai 100%
dalam waktu 6-12 jam untuk life saving seperti misalnya pada saat
resusitasi masih di anjurkan. Namun setelah keadaan kritis teratasi,
FiO2 harus segera diturunkan.

12
c. Nyeri substemal
Nyeri substernal dapat terjadi akibat iritasi pada trakea yang
menimbulkan trakeitis. Hal ini terjadi pada pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dan keluhannya akan lebih hebat lagi apabila oksigen
yang diberikan itu kering (tanpa humidifikasi).

13
BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 78 tahun dibawa ke UGD karena sesak napas. Anda
bertugas sebagai dokter jaga UGD. Pasien masih bisa diajak bicara dan menjawab
pertanyaan dengan baik namun sesekali batuk. Laju napas sekitar 28-32 kali/menit
dan SpO2 86% dengan udara bebas. Pasien diketahui perokok berat dan beberapa
kali dirawat di rumah sakit karena keluhan serupa. Bagaimana terapi oksigen yang
akan anda lakukan ?

14
BAB IV
PEMBAHASAN

Semua pasien akut dengan keluhan sesak harus dinilai secara klinis melalui
anamnesa dan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda suatu penyakit akut
seperti pneumonia, emboli paru, atau suatu eksaserbasi dari kondisi kronis seperti
PPOK, asma, atau suatu diagnosis yang spesifik seperti gagal jantung atau efusi
pleura masif walaupun sebagian besar penyebab sesak belum terdiagnosis sampai
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti rontgen maupun EKG. Penilaian
terhadap frekuensi napas dan denyut nadi harus dilakukan dengan seksama karena
takipneu dan takikardi lebih umum ditemukan daripada tanda-tanda sianosis pada
pasien dengan hipoksemia.
Pada kasus dapat diidentifikasi bahwa pasien memiliki riwayat sebagai
perokok berat dimana merokok merupakan salah satu penyebab utama PPOK.
Kerja silia akan terganggu serta fungsi sel-sel makrofag dan menyebabkan
inflamasi pada jalan napas, peningkatan produksi lendir (mucus), destruksi
septum alveolar serta fibrosis peribronkial. Sumbatan mucus dan penyempitan
jalan napas menyebabkan udara napas terperangkap sehingga pasien mengeluh
sesak napas pada kasus.13
Pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut, pemberian terapi
oksigen harus dititrasi untuk memperbaiki hipoksemia pasien dengan target
saturasi 88-92%, setelah terapi oksigen dilakukan maka analisa gas darah harus
dilakukan secara berkala untuk memastikan oksigenasi optimal tanpa disertai
retensi karbondioksida atau perburukan asidosis.
Menurut BTS guideline untuk tenaga kesehatan dan gawat darurat target
saturasi yang direkomendasikan untuk pasien akut dan tidak ada risiko gagal
napas hiperkapnia adalah 94-98%, sedangkan untuk pasien dengan PPOK dan
dicurigai PPOK dari klinis atau faktor risiko untuk mengalami gagal napas
hiperkapnia maka target saturasi O2 adalah 88-92% sampai ada hasil analisa gas
darah.
Pada kasus, saturasi oksigen pasien adalah 86%. Pasien yang tidak memiliki
risiko gagal napas hiperkapnia dan mengalami sesak napas akut dengan saturasi

15
O2 dibawah 85% maka terapi oksigen harus dimulai dengan reservoir mask 15
L/menit. Meski pada kasus saturasi oksigen masih di atas 85%, pemberian terapi
oksigen pada kasus dapat dimulai dengan reservoir mask 15L/menit karena target
saturasi O2 adalah 88-92%. Lalu konsentrasi oksigen kemudian dapat diturunkan
dan disesuaikan untuk mempertahankan target saturasi 94-98% bila pasien sudah
distabilkan (bisa menggunakan nasal kanul 1-6L/menit atau face mask 5-10
L/menit).
Penggunaan nasal kanul tidak direkomendasikan pada pasien dengan PPOK
eksaserbasi akut karena FiO2 harus dikontrol dengan ketat, tetapi setelah kondisi
pasien stabil maka pemberian terapi oksigen dengan kanul nasal dan aliran
oksigen yang dititrasi sampai mencapai rentang target saturasi menjadi pilihan
yang paling mudah dan nyaman bagi pasien untuk pemberian oksigen terkontrol.
Terapi oksigen dihentikan bila pasien secara klinis stabil dalam oksigen
konsentrasi rendah dan saturasi oksigen tetap dalam rentang yang diharapkan pada
dua observasi yang berurutan. Saturasi oksigen pasien harus dicek kembali setelah
5 menit tanpa terapi oksigen, jika masih tetap dalam rentang yang diharapkan
maka lakukan pengecekan ulang dalam 1 jam. Jika setelah 1 jam saturasi O2 dan
klinis pasien tetap baik maka terapi oksigen bisa dihentikan, tetapi saturasi dan
klinis pasien harus tetap di monitor secara berkala sesuai dengan penyakit yang
mendasari.

16
BAB IV
KESIMPULAN

Pada kasus dapat diduga pasien mengalami PPOK sehingga terapi oksigen
pada pasien dapat dimulai dengan reservoir mask 15 L/menit. Meski pada kasus
saturasi oksigen masih di atas 85%, pemberian terapi oksigen pada kasus dapat
dimulai dengan reservoir mask 15L/menit karena target saturasi O2 adalah 88-
92%. Lalu konsentrasi oksigen kemudian dapat diturunkan dan disesuaikan untuk
mempertahankan target saturasi 94-98% bila pasien sudah distabilkan (bisa
menggunakan nasal kanul 1-6L/menit atau face mask 5-10 L/menit) dan terapi
oksigen bisa dihentikan bila saturasi oksigen tetap stabil pada dua observasi yang
dilakukan tanpa terapi oksigen setelah 5 menit. Selanjutnya lakukan pengecekan
ulang dalam 1 jam. Jika saturasi O2 dan klinis pasien tetap baik maka terapi
oksigen bisa dihentikan, dengan tetap memonitor saturasi secara berkala sesuai
dengan penyakit yang mendasari.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. Edisi XI. Philadel-
phia. W. B. Saunders Company. 2016.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan, MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
II. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.

3. Mangku G, Senapathi TGE. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi
II. Jakarta. Indeks. 2017.

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. InternaPublishing. 2016.

5. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI.
Fishman‟s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi IV. New York. McGraw
Hill Companies. 2018.

6. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Edisi I. Jakarta.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.

7. O„Driscoll B.R., Howard L.S., Davison A.G. Guideline for Emergency


Oxygen Use in Adult Patients. BMJ1. Vol. 63. 2018. Hal: 49-55.

8. Browne B., Crocker C. Guideline for Administration of Oxygen in Adults


2012. Nottingham University Hospitals. 2013. Hal: 15-20.

9. Martin D.S., Grocott M.P.W. Oxygen Therapy in Critical Illness. Dalam:


wwwmedscape.com/viewarticle/778505.

10. Jindal S.K. Oxygen Therapy: Important Considerations. Indian J Chest Dis
Allied Sci. 2018. Hal: 97-107.

18
11. College of Respiratory Therapists of Ontario. Oxygen Therapy Clinical Best
Practice Guideline. Toronto, Ontario. 2013. Hal: 5-44.

12. Uyainah A. Terapi Oksigen. Dalam: Sudoyo A.W., Setiyohadi B., et. al. Buku
Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam.Edisike-4.Ji1idlI1. 2016. Hal: 161-165.

13. Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. 2020. Buku Ajar Patofisiologi
(Professional Guide to Pathophysiology). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. P : 84-85; 562-563

14. Kane B, Decalmer S, O‟Driscoll BR. 2013. Emergency oxygen therapy: From
guideline to implementation. Breathe. 9(4):247–54

15. Howard L, Earis J, Mak V. 2016. British Thoracic Society Guideline for
oxygen use in adults in healthcare and emergency settings Concise Guideline.
p:1–35.

19

Anda mungkin juga menyukai