Anda di halaman 1dari 27

Referat

MANAJEMEN JALAN NAPAS

Oleh :
Selvy Apriyani, S.Ked
712022036

Dosen Pembimbing :
dr. Mayang Indah Lestari, Sp.An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Referat dengan Judul

Manajemen Jalan Napas

Disusun oleh:

Selvy Apriyani, S.Ked


712022036

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Bagian Anestesiologi Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang,
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Agustus 2023


Pembimbing,

dr. Mayang Indah Lestari, Sp. An

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Manajemen Jalan Napas”, sebagai salah satu tugas individu di Bagian
Anestesiologi Dan Terapi Intensif di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan maupun
tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih terutama kepada:
1. dr. Mayang Indah Lestari, Sp. An, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan referat
ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan refrat ini.
Penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.

Palembang, A g u s t u s 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Jalan Napas ................................................................ 7
2.2. Manajemen Jalan Napas ........................................................... 8
BAB III SKENARIO KASUS
3.1 Skenario kasus ........................................................................ 26
3.2 Pembahasan ............................................................................ 26
BAB IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan… ........................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 30

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manajemen jalan napas adalah tindakan yang dikerjakan untuk
melapangkan atau membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol
servikal, yang bertujuan untuk membebaskan saluran napas untuk menjamin
pertukaran udara keparu secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen
dalam tubuh. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian, mempertahankan dan
melindungi jalan napas dengan memberikan oksigenisasi dan ventilasi yang efektif.
Oksigenisasi dan ventilasi merupakan tujuan essensial dari manajemen jalan
napas.1
Obstruksi jalan nafas dibedakan menjadi obstruksi total dan obstruksi
parsial. Obstruksi total adalah keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru
tersumbat total, sehingga tidak ada udara yang masuk ke paru-paru sedangkan
obstruksi parsial adalah sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam
keadaan ini udara masih dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang
lebih sedikit. Etiologi yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yaitu benda
asing, trauma, neoplasma, infeksi dan gangguan neurogenik pada laring.5,6
Tanda obstruksi jalan nafas yaitu serak (disfoni) sampai afoni, sesak napas
(dispnea), stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi, cekungan
yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan
interkostal sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen
yang adekuat, gelisah karena pasien haus udara (air hunger), warna muka pucat dan
terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.5
Penilaian awal jalan nafas dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi
yang ditujukan untuk menentukan apakah jalan nafas terbuka dan terlindung dan
apakah masih ada nafas dan adekuat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pengelolaan jalan nafas yaitu look, listen, dan feel. Keberhasilan pengelolaan jalan
nafas diantaranya intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan anestesi regional untuk
laring memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas. 2,7

5
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari referat ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami penatalaksanaan
manajemen jalan napas.
2. Diharapkan munculnya pola berpikir kritis bagi semua dokter muda setelah
dilakukan diskusi dengan dosen pembimbing klinik tentang manajemen
jalan napas.
3. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapatkan dalam kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) terutama penatalaksanaan manajemen jalan napas.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan referat ini dapat menambah bahan referensi
dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu anestesi terutama tentang
penatalaksanaan manajemen jalan napas.
b. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan
untuk penulisan referat selanjutnya.
1.3.2 Manfaat Praktis
a. Bagi dokter muda, diharapkan referat ini dapat membantu dalam
mengaplikasikan penatalaksanaan manajemen jalan napas.
b. Bagi tenaga kesehatan lainnya, diharapkan referat ini dapat menjadi
bahan masukan untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan terutama
dalam memberikan informasi atau edukasi kesehatan berupa upaya
pencegahan kepada pasien dan keluarga terutama untuk penatalaksanaan
manajemen jalan napas.
c. Bagi pasien dan keluarga pasien, diharapkan referat ini dapat
memberikan pemahaman mengenai pentingnya upaya pencegahan
primer sebelum terjadi dan upaya pencegahan sekunder untuk
menghindari komplikasi yang lebih berat apabila sudah terjadi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jalan Napas


Keberhasilan pengelolaan jalan nafas diantaranya intubasi, ventilasi,
krikotirotomi dan anestesi regional untuk laring memerlukan pengetahuan detail
dari anatomi jalan nafas.2

Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring. Faring berbentuk U dengan
struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago
krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga
hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior.
Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan
menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka
kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago: tiroid,
krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.2

7
Gambar 2.2 Anatomi Kartilago

2.2 Definisi Manajemen Jalan Napas


Manajemen jalan nafas didefinisikan sebagai membebaskan jalan napas
untuk menjamin pertukaran udara secara normal baik dengan manual maupun
menggunakan alat. Manajemen jalan napas merupakan keterampilan yang harus
dimiliki oleh para dokter dan petugas kesehatan lainnya utamanya yang bekerja di
ruang emergensi. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian, mempertahankan
dan melindungi jalan napas dengan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang
efektif.3,4

2.2.1 Etiologi
Etiologi yang dapat menyebabkan sumbatan saluran napas atas dibagi menjadi:5
1. Benda asing
2. Trauma
3. Neoplasma
4. Infeksi
5. Gangguan neurogenik pada laring

2.2.2 Gejala Klinis


Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah:5
1. Serak (disfoni) sampai afoni
2. Sesak napas (dispnea)
3. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-
otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
8
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

2.2.3 Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas


Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat sumbatan yaitu:
a. Obstruksi total
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total, sehingga tidak
ada udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan yang akut berupa
hipoksemia yang menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan secara cepat.
Sementara kegagalan pernafasan sendiri menyebabkan terjadinya kegagalan
fungsi kardiovaskuler dan menyebabkan pula terjadinya kegagalan SSP
dimana penderita kehilangan kesadaran secara cepat diikuti dengan
kelemahan motorik bahkan mungkin pula terdapat renjatan (seizure). Bila
tidak dikoreksi dalam waktu 5 – 10 menit dapat mengakibatkan asfiksia
(kombinasi antara hipoksemia dan hipercarbi), henti nafas dan henti jantung.5
b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini udara masih
dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Bila
tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak. Hal yang perlu
diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena Check Valve yaitu udara
dapat masuk, tetapi tdk keluar.5

Sumbatan saluran napas dibagi menjadi 4 derajat menurut kriteria Jackson.6


a. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal,
tanpa sianosis.
b. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai
retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai
gelisah.
c. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi
interkostal, epigastrium,
d. Retraksi meningkat, ketakuran, sianosis, menolak makan/minum

9
Obstruksi jalan nafas berdasarkan penyebab:
Keadaan yang harus diwaspadai adalah:
a. Trauma
Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau kasus
percobaan pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di tulang rawan sekitar,
misalnya aritenoid, pita suara dll.6
1) Trauma maksilofasial
Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme pengelolaan airway yang
agresif. Contoh mekanisme penyebab cedera ini adalah penumpang/pngemudi
kendaraan yang tidak menggunakan sabuk pengaman dan kemudian terlempar
mengenai kaca depan dan dashboard. Trauma pada daerah tengah wajah dapat
menyebabkan fraktur-dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan
orofaring.6
2) Trauma leher
Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan kerusakan pada
laring atau trakhea yang kemudian meyebabkan sumbatan airway atau
perdarahan hebat pada sistem trakheobronkial sehingga sebegra memerlukan
airway definitif. Cedera leher dapat menyebabkan sumbatan airway parsial
karena kerusakan laring dan trakea atau penekanan pada airway akibat
perdarahan ke dalam jaringan lunak di leher.6
3) Trauma laringeal
Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang terjadi, tetapi hal ini
daat menyebabkan sumbatan airway akut.6

b. Benda Asing
1) Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-tanda
sebagai berikut, yakni secara progresif terjadi stridor, dispneu, apneu, disfagia,
hemopsitis, pernafasan dengan otot-otot nafas tambahan, atau dapat pula terjadi
sianosis.5

10
2) Trakea
Benda asing di dalam trakea tidak dapat dikeluarkan, karena tersangkut di
dalam rima glotis dan akhirnya tersangkut dilaring dan menimbulkan gejala
obstruksi laring.5
3) Bronkus
Biasanya akan tersangkut pada bronkus kanan, oleh karena diameternya lebih
besar dan formasinya dilapisi oleh sekresi bronkhus.5

2.2.4 Penilaian Jalan Nafas


Penilaian awal jalan nafas dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi
yang ditujukan untuk menentukan apakah jalan nafas terbuka dan terlindung dan
apakah masih ada nafas dan adekuat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pengelolaan jalan nafas adalah:13
Look
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan
kesadaran, atau sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan
dan retraksi. Kaji adanya deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris
jalan nafas seperti darah, muntahan, dan gigi yang tanggal.
a. Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway
bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran memberi
kesan adanya hiperkarbia
b. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia
c. Nafas cuping hidung
d. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit
sekitar mulut
e. Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang merupakan
bukti adanya gangguan jalan nafas.
Listen
Listen yaitu dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
a. Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
b. Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing

11
c. Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
d. Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
e. Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal
napas.
Feel
Feel yaitu dengan merasakan hembusan napas .
a. Aliran udara dari mulut/ hidung
b. Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea untuk
menentukan apakah terjadi deviasi dari midline.
c. Palpasi apakah ada krepitasi.
d. Lihat dan keluarkan benda yang ada didalam mulut
e. Kenali apakah ada pembengkakan lidah atau vulva
f. Sumber perdarahan atau kelainan lain di orofaring
g. Penggunaan tongue blade akan sangat menolong
h. Kemampuan pasien untuk secara spontan mengeluarkan sekresi
menandakan bahwa mekanisme proteksi jalan nafas masih baik
i. Pada pasien tidak sadar hilangnya gag reflek seringkali berkaitan dengan
hilangnya refleks proteksi jalan nafas

2.2.5 Teknik Pengelolaan Jalan Nafas/Manajemen Airway


a. Posisi pasien
Tujuan dari manajemen jalan nafas adalah saluran nafas yang paten atau lapang.
Ini semua dibutuhkan oleh pasien dengan benda asing pada saluran nafas atas atau
pasien dengan penurunan kesadaran yang disertai dengan penurunan tonus otot
faringeal. Keberhasilan manajemen jalan nafas ditentukan oleh hal yang sangat
mendasar namun sering diabaikan. Menempatkan pasien pada posisi sniffing atau
lateral decubitus dapat memperbaiki sumbatan jalan nafas atas akibat jaringan lunak
yang menempel. Posisi sniffing tercapai dengan fleksi dari tulang leher kira-kira 15
derajat dan ekstensi maksimal dari sendi atlantooccipital. Ekstensi kepala harus
dihindari pada pasien dengan kecurigaan gangguan tulang leher. Posisi ini juga

12
dapat dicapai dengan manuver chin-lift dan jaw-thrust. Pada pasien gemuk dan
payudara yang besar sering tidak efektif dengan posisi supinasi. Posisi sniffing
yang normal pada orang gemuk serin tidak cukup untuk mengurangi sumbatan jalan
nafas. Menempatkan ramp atau gulungan dibawah kepala dan bahu dapat mencapai
posisi sniffing.4

Gambar 2.3 Posisi Sniffing

b. Manajemen Jalan Napas Tanpa Alat


Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini lidah
jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian faring. Letakkan pasien
pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan kalau pasien diatas
kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat faring dan epiglotis akan
menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan nafas
pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan,
yaitu:8

1. Kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuver)


Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong
mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu
dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglotis
terbuka, sniffing position, posisi hitup.

13
2. Mendorong rahang bawah (jaw thrust manuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong kedepan
pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada
rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka. Dalam melakukan
teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat untuk melakukan proteksi
Cervical-spine terutama pada pasien trauma/multipel trauma.

Gambar 2.4 Teknik Head Tilt-Chin Lift

Gambar 2.5 Teknik Jaw Thrust

14
Gambar 2.6 Proteksi Cervical-Spine

c. Manajemen Jalan Nafas Dengan Alat Sederhana


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang tidak sadar
atau dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding
posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang
disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas,
jalan nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung
untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior. Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau
spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih
intact.7

Gambar 2.7. Oropharyngeal Airway dan Nasopharyngeal Airway

15
1. Oropharyngeal Airway (OPA)7
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks
jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral
airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90
mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5). Hanya dapat digunakan pada
kondisi tidak sadar tanpa refleks tercekik, terbatas penggunannya pada kondisi
cardiac arrest. Jika terjadi refleks muntah (menyumbatnya jalan nafas) keluarkan
secepatnya. Ukuran dari angulus mandibula hingga insisipus depan. Masukkan
secara terbalik, putar hingga ujungnya melewati palatum durum. Jaga jangan
sampai menjepit lidah ataupun menggores bagian dalam mulut. OP airway
digunakan untuk membantu menjaga lidah tidak menutupi airway. Hal ini hanya
digunakan pada pasien fully obtunded sebab dapat menyebabkan laringospasme,
peregangan, dan muntah dengan reflex muntah. Sebaiknya insersi dilakukan
biasanya dengan menempatkan airway ke dalam mulut pasien upside down sampai
mencapai palatum mole yang kemudian dirotasikan. The phalange rests melawan
gigi. Pegukuran berdasarkan sudut dari mulut hingga sudut rahang. Insersi yang
baik menjaga lidah jatuh di faring posterior pasien tidak sadar dan tentunya
menutup airway.

Gambar 2.8 Pemasangan OPA

Gambar 2.9 Ukuran OPA

16
Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien. Jagalah agar
kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga patensi jalan
napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam mulut dan faring bila ada sekret, darah
atau muntahan.

2. Nasopharyngeal Airway (NPA)


Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung ke
lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang
diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan
digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan
melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus
dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien
dengan anestesi ringan.4

Gambar 2.10 Pemasangan Nasofaringeal Airway

d. Jalan Nafas Dengan Alat Lanjutan7


Face Mask Design dan Teknik
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen dari sistem
breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat. Lingkaran dari
face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Face mask yang transparan
dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Ventilasi yang efektif
memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang rapat/tidak bocor. Teknik
pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempis

17
walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face
mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada
dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

a. b.
Gambar 2.11. a. Face mask dewasa, b. Teknik memegang face
mask dengan satu tangan

Gambar 2.12 Difficult airway dapat diatasi dengan teknik


memegang dengan dua tangan

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust yang
adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag.
Laryngeal Mask Airway (LMA)
LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan
kesulitan jalan nafas. LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask
atau TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring
(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan,
hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas)
yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Walaupun
LMA tidak sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat
membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat

18
diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%).3

Gambar 2.13 Pemasangan LMA

Intubasi dengan Endotrakeal Tube (ETT)


ETT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang
lentur, spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada
operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis
baja menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim (contoh pasien bangun dan
menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti.23

Gambar 2.14 Endotracheal Tube

19
Combitube
Pipa kombinasi esophagus-tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,
masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Meskipun pipa
kombinasi masih rerdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit
dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh
dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan
pasien dengan jalan nafas yang sulit.4

Gambar 2.15 Pemasangan Combitude

e. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Pengisapan Benda Cair (suctioning)


Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan
dengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin).9

Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi


Metode bedah untuk manajemen jalan napas mengandalkan membuat
sayatan bedah dibuat di bawah glotis untuk mencapai akses langsung ke saluran
pernapasan bagian bawah, melewati saluran pernapasan bagian atas. Manajemen
jalan napas bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana
Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.
Manajemen jalan napas bedah juga digunakan ketika seseorang akan membutuhkan
ventilator mekanik untuk jangka waktu lama. Metode bedah untuk manajemen jalan
napas termasuk cricothyrotomy dan trakeostomi. Cricothyrotomy adalah sayatan
dilakukan melalui kulit dan membran krikotiroid untuk membangun jalan napas
paten selama situasi yang mengancam jiwa tertentu, seperti obstruksi jalan napas
oleh benda asing, angioedema, atau trauma wajah besar. Cricothyrotomy hampir
selalu dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan

20
intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi. Cricothyrotomy lebih
mudah dan lebih cepat untuk dilakukan daripada tracheostomy, tidak memerlukan
manipulasi tulang belakang leher dan berhubungan dengan komplikasi yang lebih
sedikit.2
Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari kulit leher ke trakea.
Sebuah tracheostomy di mana seseorang akan perlu berada di ventilator mekanik
untuk jangka waktu lama. Keuntungan dari tracheostomy termasuk risiko kurang
dari infeksi dan kerusakan trakea seperti trakea stenosis.

21
BAB III
SKENARIO KASUS

Skenario Kasus Manajemen Jalan Nafas


Seorang laki-laki berusia 40 tahun dibawa ke UGD karena mengalami luka
bakar. Rumah pasien mengalami kebakaran yang dicurigai akibat ledakan dari
tabung gas. Sekilas terlihat alis dan bulu mata pasien terbakar dan jelaga pada
lubang hidung pasien. Pasien juga terlihat sesak. Anda bertugas sebagai dokter jaga
UGD. Bagaimana tatalaksana jalan napas yang akan anda lakukan? (Tuliskan
referensi jawaban anda)

Pembahasan:
Pada kasus ini didapatkan seorang laki-laki 40 tahun mengalami luka bakar
akibat ledakan tabung gas. Sekilas terlihat alis dan bulu mata pasien terbakar dan
jelaga pada lubang hidung pasien. Pasien juga terlihat sesak. Pada kasus ini pasien
mengalami trauma inhalasi. Trauma inhalasi terjadi ketika gas panas, zat beracun,
dan partikel asap reaktif sampai di trakeobronkial. Zat-zat ini menyebabkan mengi,
bronkospasme dan edema jalan napas. Adanya sputum berkarbon, jelaga perioral,
luka bakar pada wajah dan leher, stridor, dyspnea atau mengi adalah indikasi untuk
evaluasi saluran pernapasan lengkap.10
Komplikasi paru dapat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gejala klinis.
Komplikasi dini terjadi 0-24 jam setelah luka bakar dapat mengakibatkan
keracunan karbon monoksida (CO) dan trauma inhalasi yang dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas dan edema paru. Delayed komplikasi, terjadi 2 sampai 5 hari
setelah cedera dapat mengakibatkan adult respiratory disstress syndrome. Late
komplikasi terjadi berhari-hari hingga berminggu-minggu setelah cedera dapat
mengakibatkan pneumonia, atelektasis dan emboli. Dua komplikasi yang paling
umum dari luka bakar adalah pneumonia dan gagal nafas. Klasifikasi trauma
inhalasi dibagi menjadi 3 berdasarkan area yang terkena yaitu:10,11

22
1. Trauma inhalasi di atas laring
Trauma inhalasi di atas laring menyebabkan obstruksi jalan napas karena
inhalasi gas thermal. Luka bakar dengan trauma inhalasi menyebabkan
mediator inflamasi meningkat yang menimbulkan edema jaringan yang
berujung obstruksi dan hilangnya fungsi protektif mukosa.
2. Trauma inhalasi di bawah laring
Trauma inhalasi di bawah laring akibat inhalasi produk-produk pembakaran
menyebabkan kerusakan paru. Api dapat menyebabkan proses oksidasi dan
reduksi senyawa mengandung karbon, sulfur, fosfor dan nitrogen. Hasil
proses tersebut termasuk karbon monoksida dan dioksida, sianida, ester,
ammoniak, hidrogen klorida, hydrogen bromide, serta aldehid dan oksidasi
dari sulfur, fosfor, dan nitrogen. Apabila senyawa-senyawa kimia ini kontak
dengan mukosa pernapasan dan parenkim paru akan menimbulkan reaksi
mediator inflamasi, menyebabkan edema dan kerusakan mukosa
trakeobronkial. Saluran pernapasan bawah akan bereaksi dengan senyawa
tersebut menyebabkan obstruksi pernapasan distal, parenkim paru akan
mengalami kerusakan karena rusaknya membran alveolar kapiler,
bertumpuknya eksudat inflamasi dan hilangnya surfaktan di parenkim.
3. Intoksikasi sistemik
Karbon monoksida (CO) dan sianida merupakan penyebab tersering
intoksikasi sistemik pada trauma inhalasi. CO adalah gas tidak berwarna
dan tidak berbau, berdifusi dengan cepat ke peredaran darah. Afinitas
pengikatan CO dengan hemoglobin (Hb) 240 kali lebih besar dibandingkan
oksigen yang menghasilkan karboksihemoglobin (COHb), menyebabkan
kapasitas darah untuk membawa oksigen menjadi berkurang
mengakibatkan hipoksia jaringan. Sianida hasil pembakaran dari plastik
atau lem pada mebel diserap sangat cepat oleh tubuh. Apabila sianida terisap
paru, dengan cepat mengikat sitokrom dan menghambat metabolisme
anaerob, menyebabkan hilangnya kesadaran, neurotoksisitas, dan kejang.
Trauma inhalasi dengan intoksikasi sistemik yaitu pemberian oksigen aliran
tinggi, jika kesadaran menurun dilakukan left lateral coma position, cervical
spine protection dan intubasi endotrakeal.

23
Tatalaksana pada trauma inhalasi yaitu:11
1. Memastikan jalur nafas terbuka
2. Pemberian O2 dengan high flow
3. Monitor saluran nafas secara rutin
4. Waspada kemungkinan adanya intoksikasi sistemik (CO)
Intubasi atau trakeostomi mungkin diperlukan jika terdapat gangguan jalan
napas atas yang signifikan. Pasien dengan trauma thermal dan jelaga ditambah luka
bakar wajah dan leher yang luas biasanya membutuhkan intubasi. Pasien dengan
luka bakar oral tetapi tidak ada jelaga harus tetap diintubasi lebih awal karena
pasien mungkin mengalami edema dan sekret yang signifikan sehingga
menyulitkan untuk diintubasi nantinya. Jika intubasi terjadi, pastikan untuk
mengamankan tabung endotrakeal karena mungkin sangat sulit untuk
menggantinya jika terlepas.10
Tatalaksana luka bakar menggunakan resusitasi cairan menurut Baxter, yaitu
4 mL (RL) x berat badan (kg) x % luas luka bakar/24 jam. Pemberian cairan 1⁄2
volume diberikan 8 jam pertama dan 1⁄2 volume diberikan 16 jam berikutnya. Hari
berikutnya diberikan koloid 500-2000 mL + glukosa 5% untuk mempertahankan
cairan. Target urine output dewasa 0,5 – 1 mL/ kgBB/jam, urine output anak-anak:
1 – 2 mL/kgBB/jam. Pasien dengan trauma inhalasi/suspek harus dirujuk ke unit
luka bakar untuk tatalaksana lanjutan setelah stabilisasi awal dan penanganan
kegawatdaruratan. Sehingga, pasien harus diobservasi ketat dengan penilaian
keadaan klinis pasien berulang.11

24
BAB IV
KESIMPULAN

Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah tindakan untuk


membebaskan saluran napas untuk menjamin keluar masuknya udara keparu secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigen dalam tubuh. Obstruksi jalan napas
disebabkan oleh trauma atau benda asing. Obstruksi jalan nafas terbagi menjadi 2
yaitu obstruksi total dan parsial. Pengelolaan jalan nafas dengan teknik manual
yaitu head- tilt chin lift untuk pasien non trauma servikal dan jaw thrust untuk
pasien yang mengalami trauma servikal; pengelolaan jalan nafas dengan bantuan
alat sederhana yaitu Oropharyngeal airway (OPA) dan Nasopharyngeal Airway;
pengelolaan jalan nafas dengan alat lanjutan yaitu bag valve mask, Laryngeal Mask
Airway (LMA), combitube, intubasi dengan ETT.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sajinadiyasa, G, K. 2016. Emergency in Internal Medicine: Innovation for


Future; Manajemen Jalan Napas. Denpasar; FK UNUD.
2. Butterworth JF, Mackey DC & Wasnick JD. 2018. Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology 6th Edition. McGraw-Hill Education eBooks.
3. Buku Panduan Instruktur Skills Learning Sistem Emergensi dan
Traumatologi Pengelolaan Jalan Nafas. 2016. Makassar. FK UNHAS
4. Russo, CJ, Kassutto, Z. 2013. Basic Airway Management in Reichman EF,
editor. Emergency Medicine Procedures 2nd ed. New York: Mc Graw Hill
education Medicine.
5. Loftyani, S. 2019. Obstruksi Saluran Nafas Atas.
https://www.scribd.com/document/396865011/Sumbatan-JN
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi
2nd ed. Jakarta: FKUI.
7. Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Nafas. In Swidarmoko B, Dwi, S,
editor Pulmonologi intervensi dan Gawat Darurat Nafas. Jakarta:
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI.
8. Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Emergency
Airway Management in the Trauma Patient. NSW Institute of Trauma and
Injury Management. Diunduh dari http://www.itim.nsw.gov.au
9. Wilson WC, Grande CM, Heyt DB. 2007. Trauma Emergency
Resuscitation Perioprative Anesthesia Surgical Management Volume 1.
New York: Informa Health Care.
10. James, Duke. Secrets Anesthesia. Edisi ke-5. 2016. Piladhelphia: Molby
Elsevier.
11. Haryono, Hidayat. 2021. Tinjauan Penanganan Luka Bakar Akut Karena
Api disertai Kecurigaan Trauma Inhalasi pada Geriatri: Laporan Kasus.
CDK-293/ vol. 48 no. 3 th. 2021.
12. MicroTextbook of Airway Management D. John Doyle MD PhD FRCPC
Revision 2.0 April 2006 1/28. http://airwaymicrotext.homestead.com

26
13. Romadhoni, L. 2021 Dissemination Of First Aid (Airway Management) For
Drowning Victims In Gunung Merah Swimming Pool, Bandar Jaya,
Terbanggi Besar District, Central Lampung Regency. Jurnal Medika
Hutama. Vol 02 No 03.

27

Anda mungkin juga menyukai