Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT KLIEN GAGAL NAFAS

AKUT DENGAN PEMASANGAN VENTILATOR

Disusun Oleh :
1. Hafa Grevita
2. Inda Raihfi
3. Rindi Komalasari

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


Jl. Raya Rawa Buntu No.10, BSD City Serpong - Kota Tangerang Selatan,
Banten 15318
2019

Kata Pengantar
1
Segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini

dengan judul “Makalah Keperawatan Gawat Darurat Pasien Dengan Gagal Napas

Akut” yang diajukan untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Keperawatan Gawat

Darurat . Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, kritik

dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga

Allah SWT senantiasa meridhai usaha kita.

Tangerang Selatan, 18 Oktober 2019

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses keperawatan sebagai alat bagi perawat untuk melaksanakan asuhan


keperawatan yang dilakukan pada pasien memiliki arti penting bagi kedua belah
pihak yaitu perawat dan klien. Sebagai seorang perawat proses keperawatan
dapat digunakan sebagai pedoman dalam pemecahan masalah klien. Dapat
menunjukan profesionalistas yang tinggi . serta dapat memberikan memberikan
kebebasan kepada klien untuk mendapatkan pelayanan yang cukup untuk
kebutuhannya, sehingga dapat dirasakan manfaatnya baik dari perawat maupun
klien, manfaar tersebut antara lain untuk dapat meningkatkan kemandirian pada
perawat dalam melaksanakan tugasnya karena dalam proses keperawatan
terdapat metode ilmiah keperawatan yang berupa langkah-langkah proses
keperawatan, akan dapat meningkatkan kepercayaan diri perawat dalam
melaksanakan tugas, karena klien akan merasakan kepuasan setelah dilakukan
asuhan keperawatan dengan intelektua; dan teknikal dalam tindakan keperawatan
karena melalui proses keperawatan dituntut mampu memecahkan masalah yang
baru sesuai dengan masalah yang dialami klien. Sehingga akan timbul kepuasan
kerja.

Dengan proses keperawatan, rasa tanggung jawab dang tanggung gugat bagi
perawat itu dapat dimiliki dan dapat digunakan dalam tindakan-tindakan yang
merugikan atau menghindari tindakan yang legal. Semua tatanan perawatan
kesehatan secara hukum perlu mencatat observasi keperawatan, perawatan yang
diberikan dan respon pasien.

Berfungsi sebagai alat komunikasi dan sumber untuk membantu dalam


menentukan keefektifan perawatan untuk membantu menyusun prioritas
keperawatan berkesinambungan.

1.2 Tujuan Pembuatan Makalah


1. Untuk memenuhi tugas Keperawatan Gawat Darurat.
2. Untuk memberitahu informasi Perawatan Kegawatdaruratan.

1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi yang
berkaitan dengan Perawatan Kegawatdaruratan Gawat Darurat. Manfaat dari

3
penulisan makalah ini juga untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan
keperawatan Gawat Darurat.

BAB 2
TINJAUAN TEORI

4
2.1 PENGERTIAN
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang
mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan
oksigen yang tidak adekuat (Morton, 2011).
Tumor

2.2 ANATAMI FISIOLOGI

2.2.1. Rongga Hidung

Rongga hidung terdiri atas :

a. Vestibulum yang dilapisi oleh sel submukosa proteksi.


b. Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai
penapis udara.
c. Struktur konka yang berfungsi sebagai produksi terhadap udara
luar karena strukturnya yang berlapis.
d. Sel silia yang berperan untuk melemparkan benda asing keluar
dalam usaha membersihkan jalan napas.
Rongga hidung dimulai dari vestibulum, yakni pada bagian anterior ke
bagian posterior yang berbatasan dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas
dua bagian, yakni secara longitudinal oleh septum hidung dan secara transversal
konka superior, medialis dan inferior (Rab, 2013).

2.2.2. Rongga Mulut

Pada bagian atas berbatasan dengan labium, palatum durum dan palatum
mole, sedangkan pada bagian belakangnya berbatasan dengan orofaring.
Peranannya sebagai pengunyah makanan dikarenakan terdapatnya gigi geligi,
berbagai kelenjar ludah yang mengandung enzim ptialin. Peranannya hanya
dalam waktu bersuara atau tersumbatnya rongga hidung (Rab, 2013).

2.2.3. Faring

Merupakan bagian belakang dari rongga hidung dan rongga mulut.


Terdiri dari (bagian yang berbatasan dengan rongga hidung), orofaring (bagian
yang berbatasan dengan rongga mulut), dan hipofaring (bagian yang berbatasan
dengan laring), diyakini bagian dimana pemisahan antara udara dan makanan
terjadi (Rab, 2013).

5
2.2.4. Laring

Walaupun fungsi utamanya dalah sebagai alat suara, akan tetapi didalam
saluran pernapasan fungsinya adalah sebagai jalan udara, oleh karena celah suara
diantara pita suara berfungsi sebagai pelindung dari jalan udara. Bila dilihat
secara frontal maupun lateral, pada gambaran laring dapat dilihat adanya
epiglotis, tulang hiloid, tulang rawan tiroid, tulang aritenoid, dan tulang rawan
krikoid. Tulang rawan krikoid merupakan batas terbawah dari tulang rawan
laring, yaitu terletak 2-3 cm dibawah laring. Dibawah dari tulang krikoid
biasanya dilakukan tindakan trakeotomi yang bertujuan untuk memperkecil
(dead space) dan mempermudah melakukan pengisapan sekresi (Rab, 2013).

2.2.5. Trakea

Trakea merupakan suatu cncin tulang rawan yang tidak lengkap


(Ushapped) dimana pada bagian belakangnya terdiri dari 16-20 cincin tulang
rawan. Panjang trakea kira-kira 10 cm, tebalnya 4-5 mm, diameternya lebih
kurang 2,5 cm, dan luas permukaannya 5 cm2. Lapisan trakea terdiri dari mukosa,
kelenjar submukosa, dan dibawahnya terdapat jaringan otot yang treletak pada
bagian depan yang menghubungkan kedua bagian tulang rawan.

Diameter trakea ini bervariasi pada saat inspirasi dan ekspirasi (Rab, 2013).

2.2.6. Bronkus Utama

Bronkus merupakan suatu struktur yang terdapat didalam medisatinum.


Bronkus juga merupkan percabangan dari trakea yang membentuk bronkus
utama kiri dan bronkus utama kanan. Panjangnya lebih kurang 5 cm, diameternya
11-19 cm, dan luas penampangnya 3,2 cm2. Percabangan dari trakea sebelum
masuk ke mediastinum disebut dengan bifurkasi dan sudut tajam yang dibentuk
oleh percabangan ini disebut karina. Karina ini penting didalam bronkoskopi,
yakni untuk mengintrepretasikan berbagai kelainan didalam

6
mediastinum. Karina ini penting di dalam bronkoskopi, yakni untuk menginterpretasikan
berbagai kelainan di dalam mediastinum (Rab, 2013).

2.2.7. Bronkus Lobaris

Bronkus lobaris merupakan percabangan dari bronkus utama. Bronkus utama


kanan mempunyai tiga percabangan , yakni superior, medialis, dan inferior, sedangkan
bronkus utama kiri bercabang menjadi bronkus lobaris superior dan bronkus lobaris
inferior. Diameter dari bronkus lobaris adalah 4,511,5 mm dengan luas penampang 2,7cm 2.
Bronkus segmentalis merupakan percabangan dari bronkus lobaris (Rab, 2013).

2.3 KONSEP VENTILATOR


2.3.1 Pengertian

Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses
ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.

2.3.2 Indikasi Pemasangan Ventilator


- Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)
- Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.
- Post Trepanasi dengan black out.
Respiratory Arrest.
2.3.3 Kriteria Pemasangan Ventilator
Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.
Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
PaCO2 lebih dari 60 mmHg
AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

2.3.4 Macam-macam Ventilator.


Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:

1.Volume Cycled Ventilator.


Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin berhenti bekerja

7
dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled
ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang
konsisten.

2. Pressure Cycled Ventilator


Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan. Mesin berhenti
bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik
tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini
bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah.
Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak
dianjurkan.

3. Time Cycled Ventilator


Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu ekspirasi atau
waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan
inspirasi (jumlah napas permenit)

Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2

2.3.5 Mode-Mode Ventilator.

1. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini diberikan
pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada
mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan
volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan
ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara
udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah
dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration),
CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)
Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized Intermitten Mandatory
Ventilation.

Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan nafas pasien
itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa
menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting
dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya
disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan
pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum
normal sehingga masih memerlukan bantuan.

Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport

Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang masih bisa
bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien
harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger
maka udara pernafasan tidak diberikan.
CPAP : Continous Positive Air Pressure.
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien yang
8
sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot
pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
2.3.6 Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk mewaspadakan
perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah menandakan adanya pemutusan
dari pasien (ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan
adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll.
Alarm volume rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.

2.3.7 Pelembaban dan suhu.


Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan mekanisme pertahanan
tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus digantikan dengan suatu
alat yang disebut humidifier. Semua udara yang dialirkan dari ventilator melalui air dalam
humidifier dihangatkan dan dijenuhkan. Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan suhu
tubuh. Pada kasus hipotermi berat, pengaturan suhu udara dapat ditingkatkan. Suhu yang
terlalu itnggi dapat menyebabkan luka bakar pada trachea dan bila suhu terlalu rendah bisa
mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan sekresi menjadi kental sehingga sulit dilakukan
penghisapan.

2.4 ETIOLOGI
Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit adalah sebagai berikut:

2.4.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) dan Asma

Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran napas, fibrosis,
destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan
kapiler paru secara kontinu menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2
(Sundari, 2013).

2.4.2 Pneumonia

Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu reaksi


inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area permukaan alveolar yang
kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun, membuat terganggunya
difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).

2.4.3 TB Pulmonal

Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan terjadi


peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membran alveolokapiler,
sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu (Raina et al., 2013).

9
2.4.4 Tumor paru

Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat ventilasi dan
perfusi tidak adekuat (American Association for Respiratory Care, www.aarc.org American
Lung Association, 2009).

2.4.5 Pneumotoraks

Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika tekanan


intrapleural melebihi tekanan atmosfi. Pada respirasi normal, ruang pleura memiliki
tekanan negatif. Saat dinding dada mengembang ke luar, ketegangan permukaan antara
pleura parietal dan viseral menyebabkan paru-paru mengembang keluar. Penumpukan
tekanan di dalam ruang pleura pada akhirnya menyebabkan hipoksemia dan gagal napas
akibat kompresi paru-paru (BMJ Best Practice, 2017).

2.4.6 Efusi Pleura

Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea yang dikarenakan penurunan


compliance dinding dada.sehingga pertukaran udara tidak adekuat (Steven A. Sahn, 2012)

2.5 PATOFISIOLOGI

2.5.1 Kegagalan pernapasan tipe I

Kegagalan pernapasan tipe I dapat diakibatkan oleh fraksi oksigen terinspirasi yang
rendah. Konsentrasi O2 alveolar (PaO2) akan turun jika konsentrasi O2 terinspirasi (FIO2)
turun. Hal ini dapat disebabkan oleh inhalasi gas penyebab hipoksia yang tidak disengaja,
putusnya rangkaian pernapasan selama ventilasi mekanis, atau peningkatan dead space dan
rebreathing gas yang diekshalasi. Selain itu jika tekanan barometrik (Pb) turun (misalnya
di ketinggian), tekanan parsial O2 terinspirasi (PiO2) turun dan PaO2akan turun. Pada 3000
m, PiO2 adalah 13,3 kPa (100 mmHg) dan PaO2 adalah 6,7 kPa (50 mmHg) (Gunning,
2003).

Hipoventilasi alveolar dapat menyebabkan hipoksia pada pasien dengan paru-paru


normal hanya pada kondisi hipoventilasi berat. Akan tetapi, untuk setiap kenaikan unit
PaCO2, PaO2 akan turun dengan jumlah konstan. Selain akibat hipoventilasi, gangguan
difusi juga dapat menyebabkan gagal nafa tipe I. Pertukaran gas yang efisien tergantung
pada interface antara alveoli dan aliran darah. Penyakit yang mempengaruhi interface ini

10
menyebabkan gangguan difusi. Semakin besar kelarutan gas, semakin sedikit yang
mengalami defisit difusi (Gunning, 2003).

Hubungan ventilasi dengan perfusi paru yang baik menghasilkan pertukaran O2


optimal antara alveoli dan darah. Hipoksemia dapat terjadi bila terjadi ketidak seimbangan
ventilasi alveolar dan perfusi paru (V / Q mismatch). V / Q mismatch adalah penyebab
hipoksia yang paling umum pada pasien yang sakit kritis, dan mungkin disebabkan oleh
atelektasis, emboli paru, intubasi endobronkial, posisi pasien, bronkospasm, tersumbatnya
saluran udara, pneumonia, ARDS. Jika terdapat atelektasis, tekanan ekspirasi akhir yang
positif (PEEP) akan meningkatkan PaO2(Gunning, 2003).

Shunt kanan ke kiri terjadi ketika darah vena pulmonal melewati ventilasi alveoli dan tidak
beroksigen. Darah shunt ini mempertahankan saturasi O2 vena
campuran (70-80% pada individu sehat). Kemudian dicampur dengan dan
mengurangi O2. Isi darah yang tidak shunted, menyebabkan jatuhnya PaO2(Gunning,
2003).

2.5.2 Kegagalan pernapasan tipe II

Kegagalan pernapasan tipe II dapat disebabkan oleh kelainan pada penggerak


pernapasan sentral. Berkurangnya pergerakan napas dari sentral akan mengurangi ventilasi
per menit. Hal ini sering merupakan akibat dari efek obat penenang dan dapat diperparah
oleh interaksi obat yang sinergis, metabolisme obat yang berubah (gagal hati / ginjal),
overdosis obat yang disengaja atau iatrogenik.Penyebab lainnya meliputi cedera kepala,
peningkatan tekanan intrakranial dan infeksi sistem saraf pusat. Hiperkalemia berat atau
hipoksemia juga dapat menekan pusat pernapasan, yang menyebabkan kemunduran klinis.
Faktor-faktor yang menekan pusat pernapasan juga cenderung menekan fungsi serebral
secara keseluruhan, yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran, ketidakmampuan
untuk melindungi saluran pernapasan dan risiko penyumbatan pernapasan dan aspirasi
paru (Gunning, 2003).

Kelainan pada sumsum tulang belakang seperti cedera pada sumsum tulang
belakang akan mempengaruhi persarafan diafragma dan otot interkostal toraks dan
menyebabkan hipoventilasi dan retensi sekresi. Kegagalan ventilasi yang parah akan
terjadi pada lesi serabut-serabut saraf diata saraf frenikus (C3, 4, 5), karena fungsi
diafragma hilang dan ventilasi bergantung pada otot pernapasan aksesori. Pasien-pasien ini
memerlukan ventilasi mekanis jangka panjang, meskipun beberapa fungsi serabut saraf
11
dapat kembali dan otot aksesori berkembang seiring berjalannya waktu. Spastisitas dan
atrofi otot yang disebabkan oleh penyakit motor neuron biasanya menyebabkan kematian
akibat gagal napas dan aspirasi dalam 5 tahun (Gunning, 2003).

Kelainan saraf motorik seperti polineuropati yang berasal dari sindrom Guillain-
Barré dapat menyebabkan kelemahan otot pernapasan dengan penurunan kapasitas vital
dan peningkatan laju pernapasan. Pasien mungkin mengalami disfungsi bulbar, dengan
risiko aspirasi. Hipoventilasi dan asidosis respiratorik terjadi secara tiba-tiba dan pasien
mungkin mengalami gangguan pernapasan karena kondisi mereka belum ditangani.
Kelemahan otot yang disebabkan oleh miopati kongenital (misalnya distrofi otot) pada
akhirnya dapat menyebabkan kegagalan ventilasi. Myasthenia gravis, gangguan
neuromuscular junction, menyebabkan kelemahan umum, dan kegagalan ventilasi dapat
terjadi pada krisis myasthenia. Eksaserbasi akut sering dikaitkan dengan infeksi, dan krisis
kolinergik dapat terjadi akibat overdosis pengobatan antikolinergik. Kondisi lain yang
mengakibatkan terganggunya transmisi pada neuromuscular junction juga dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan. Toxin botulinum mengikat secara ireversibel ke
terminal presinaptik di neuromuscular junction dan mencegah pelepasan asetilkoli
(Gunning, 2003).

Kelainan dinding dada (misalnya kyphoscoliosis) mengganggu mekanisme


ventilasi, yang menyebabkan pasien mengalami risiko gagal napas. Pasien dengan tulang
rusuk rretak atau patah akan mengalami hipoventilasi jika tidak diberi analgesia yang
memadai. Ini bersamaan dengan berkurangnya kemampuan batuk karena rasa sakit, akan
menyebabkan retensi dahak atau sekret dan menjadi faktor predisposisi pada pneumonia.
Hal ini diperburuk jika dinding dada tidak stabil karena segmen flail atau kontusi paru
yang mendasarinya. Pneumotoraks, haemotoraks dan efusi pleura dengan ukuran yang
cukup dapat menyebabkan kegagalan ventilasi dan oksigenasi (Gunning, 2003).

Penyakit parenkim paru-paru dan penyakit saluran napas obstruktif kronis (PPOK)
menyebabkan gagal napas tipe I. Hal ini dapat berlanjut menjadi kegagalan pernapasan
tipe II saat pasien memburuk, menyebabkan kegagalan pernapasan campuran.
Meningkatnya dead space akan mengurangi ventilasi alveolar per menit yang efektif.
Penyakit yang terkait dengan peningkatan dead space (misalnya emfisema, pulmonary
embolus) dapat menyebabkan hiperkapnia, namun biasanya terjadi peningkatan
kompensasi pada ventilasi permenit (Gunning, 2003).

12
2.6 KLASIFIKASI

Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah, ditandai dengan
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi pada
kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme
terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat:

i. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke bagian


paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering. Contohnya
adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli
paru, dysplasia bronkupulmonal.
ii. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane alveolar atau
pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler. Contohnya
adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
iii. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang tidak
pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malformasi arterio-vena paru,
malformasi adenomatoid kongenital (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru),
2017).
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada
umumnya disebabkan olehkegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2
(peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai dengan penurunan PH yang abnormal dan
penurunan PaO2 atau hipoksemia.(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017)

Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan


ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan ekstrapulmonal dapat
disebabkan karena : 1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan pada
respon ventilasi.(Syarani, Dr. dr. Fajrinur,M.Ked(Paru), 2017)

2.7 MANIFESTASI KLINIS


2.7.1 Gagal napas hipoksemia
Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai normal atau rendah.
Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan, antara
lain:

a. Dispneu (takipneu, hipeventilasi)


b. Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat
c. Sinosis di distal dan sentral (mukosa,bibir)
13
d. Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi
e. Hipotensi , bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga gagal jantung
dapat terjadi pada hipoksia berat. (Arifputera, 2014)

2.7.2 Gagal napas hiperkapnia


Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan pO2 alveolus dari
arteri turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gangguan di dinding dada, otot
pernapasan, atau batang otak. Contoh pada PPOK berat, asma berat, fibrosis paru stadium
akhir, ARDS berat, atau sindroma guillain barre. Gejala hiperkapnia antara lain penurunan
kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu, bradipneu), tremor, bicara kacau, sakit kepala, dan
papil edema (Arifputera, 2014).

2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


2.8.1 Laboratorium
a. Analisa Gas Darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala klinis
gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis, membedakan gagal napass akut dan kronik. Hal ini penting untuk menilai berat-
ringannya gagal napas dan mempermudahkan peberian terapi. Analisa gas darah dilakukan
untuk patokan terapi oksigen dan penilian obyektif dalam berat-ringan gagal napas.
Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah
peningkatan laju pernapasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai
gangguan respirasi akibat neuromuscular, misalnya pada sindroma guillain-barre, dimana
kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan. Interpretasi hasil analisa
gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan
oksigenasi jaringan (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).

b.Pulse Oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan melalui aliran
darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di dapatkan berupa saturasi oksigen yang
kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atua jari
tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak akurat.
Hubungan antara saturasi oksigen dantekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi
oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan

14
oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru),
2017).

c. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar karbondioksida
darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk kofirmasi intubasi trakeal,
mendeteksi malfungsi apparatus serta gangguan fungsi paru (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).

i. Pemeriksaan apus darah untuk mendekteksi anemia yang menunjukakkan


terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas
kronik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
ii. Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil pemeriksaan
yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya gagal napas.
Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat
gejala gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
iii. Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat membedakan infark
miokard dengan gagal napas, kadar kreatinin serum yang meningkat dengan
kadar troponin 1 yang yang normal menunjukkan terjadinya miositosis yang
dapat menyebabkan gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
iv. Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu
diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal
napas reversibel (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
v. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah pengukuran kadar
albumin serum, prealbumim, transferin, total ironbinding protein, keseimbangan
nitrogen, indeks kreatinindan jumlah limfosit total (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).
2.8.2 Pemeriksaan Radiologi
a. Radiografi Dada
i. Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas tetapi
kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner kardiogenik dan
nonkardiogenik. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017)

b. Ekokardiografi

15
i. Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan
pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung.
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017)
ii. Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal
atau regurgitasi mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
iii. Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolik yang normal
pada pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindromdistress
pernapasan akut (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat
untuk pasien dengan gagal napas
iv. hiperkapnik kronik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).

c. Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik


i. Nilai forced expiratory volume in one second (FEV 1) dan forced vital
capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat
control pernapasan (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
ii. Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas,
penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap
menunjukkan penyakit paru restriktif (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).
iii. Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai FEV1 lebih
dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif tidak terjadi bila
nilai FVC lebih dari 1 L (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).

2.9 PENATALAKSANAAN
Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus diberikan untuk
meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai penyakit paru obstruktif, fraksi
inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada pasien yang sakit parah, walaupun
pengobatan medis telah maksimal, NIV(Noninvasive ventilation) dapat digunakan untuk
memperbaiki oksigenasi, mengurangi laju pernapasan dan mengurangi dyspnoea. Selain
itu, NIV dapat digunakan sebagai alternatif intubasi trakea jika pasien menjadi hiperkapnia
(rekomendasi rekomendasi C) (Forte et al., 2006).

16
Tahap I
i. Pemberian oksigen. Untuk mengatasi hipoksemia, cara pemberian oksigen
bergantung FiO2, yang dibutuhkan. Masker rebreathing dapat digunakan jika
hipoksemia desertai kadar PaCO2 rendah.
Berikut nilai FiO2 tiap cara pemberian:
a. Nasal kanul: FiO2 25-50% dengan oksigen 1-6 L/menit
b. Simple mask : FiO2 30-50% dengan oksigen 6-8 L/menit
c. Masker non rebreathing: FiO2 60-90% dengan oksigen 15
L/menit ii. Nebulisasi dengan bronkodilator. Terapi utama untuk PPOK
dan asma.

iii. Humidifikasi
iv. Pemberian antibiotik
Tahap II
ii. Pemberian bronkodilator parenteral
iii. Pemberian kortikosteroid
Tahap III
iv. Stimulasi pernapasan
v. Mini trakeostomi dan intubasi trakeal dengan indikasi: diperlukan ventilasi
mekanik namun disertai retensi sputum dan dibutuhkan suction trakeobronkial;
melindungi dari aspirasi; mengatasi obstruksi saluran napas atas.
Tahap IV
vi. Pemasangan ventilasi mekanik.
vii. Indikasi ventilasi mekanik: operasi mayor; gagal napas; koma; pengendalian
TIK; post-operatif; penurunan laju metabolik; keadaan umum kritis (Arifputera,
2014).

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

17
3.1 PENGKAJIAN DAN ANALISA DATA
3.1.1) Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan ototak sesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curahjantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan saluran urine
f. Kapiler refill
g. Sianosis.
3.1.2) Pengkajian Sekunder
1. Pemeriksaan fisik head to toe.
2. Pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran
3. Eliminasi
Kaji haluaran urin, diare/konstipasi.
4. Makanan/cairan
Penambahan BB yang signifikan, pembengkakan ekstrimitas oedema pada bagian tubuh.
5. Nyeri/kenyamanan
Nyeri pada satu sisi, ekspresi meringis.
6. Neurosensori
Kelemahan :perubahan kesadaran.

3.2 NURSING DIAGNOSIS

18
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi
secret.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan di permukaan alveoli,
alveolar hipoventilasi.
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan PPOM, distensi dinding dada,
kelelahan, kerja pernafasan.
4. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan menurunnya curah jantung, hipoksia
jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli.
5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat
6. Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi
7. Defisit perawatan diri berhubungan penurunan kesadaran.
3.3 INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi secret
NOC :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
d. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
NIC :
Airway suction
a. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal suctioning
b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
c. Informasikan kepada klien dan keluarga tentang suctioning
d. Berikan O2 dgn menggunakan nasal untuk memfasilitasikan soctionnasotrakeal
e. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan tindakan
f. Monitor status oksigen pasien
Airway management
a. Buka jalan nafas
R/ jalan nafas yang paten dapat memberikan kebutuhan oksigen disemua jaringan
tubuh secara adekuat
b. Posiskan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

19
R/ posisi semi fowler membantu pasien memaksimalkan ventilasi
c. Indentifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
R/ membantu organ pernafasan memenuhi kebutuhan oksigen sehingga oksigen yang
diperlukan tubuh tercukupi
d. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
e. Berikan bronchodilator bila perlu
R/ bronkodilator dapat memvasodilatasi saluran pernafasan
f. Monitor respirasidan status O2
R/ penurunan status oksigen mengidikasikan pasien mengalami kekurangan oksigen
yg dapat menyebakan terjadinya hipoksia

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan di permukaan


alveoli, alveolar hipoventilasi
NOC:
a. Dapat memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan normal
b. Tidak terdapat cyanosis pada pasien
c. Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea
NIC :
Air way management
a. Buka jalan nafas
R/ jalan nafas yang paten dapat memberikan kebutuhan oksigen disemua jaringan
tubuh secara adekuat
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
R// posisi semi fowler membantu pasien memaksimalkan ventilasi
c. Pasang mayo bila perlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasi suara nafas, catat adanya suatu tambahan
R/ memastikan suara nafas vesikuler
f. Monitor konsentrasidan status O2
R/ penuruna n saturasi oksigen dapat menunjukan perubahan status kesehatan
mengakibatkan
terjadinya hipoksia

20
Respiratory monitoring :
a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
b. Catat pengerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostatis
c. Monitor suara nafas, sprt dengkur
R/ pernafasan bising, mengi, ronki menunjukan tertahanya secret/obstruksi jalan nafas

d. Catat lokasi trakea


e. Monitor kelelahan otot diafragma ( gerakan paradoksis )
Tentukan kebutuhan suction dengan mengaukultasi crekles dan ronchi pada jalan nafas utama
Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya

3. Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan PPOM, distensi dinding dada,


kelelahan, kerja pernafasan.
NOC :
a. Pertukaran gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah
b. Tidak menggunakan pernafasan mulut
NIC :
Airway management
a. Buka jalan nafas
R/ jalan nafas yang paten dapat memberikan kebutuhan oksigen disemua jaringan
tubuh secara adekuat
b. Posiskan pasien untuk memaksimalka nventilasi
R/membantu pasien memaksimalkan ventilasi
c. Pasang mayo bilaperlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasi suaranafas, catat adanya suara tambahan
f. Monitor konsentrasidan status O2
Terapioksigen
a. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
R/ membuka jalan nafas dan membersihkan secret

21
b. Pertahankan jalan nafas yang paten
R/ jalan nafas yang paten dapat memberikan kebutuhan oksigen disemua jaringan
tubuh secara adekuat
c. Atur peralatan oksigenasi
d. Monitor aliran oksigenasi
e. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign management
a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
R/perubahan tanda-tanda vital mengindikasikan adanya perubahan pada beberapa
organ yang berhubungan status kesehatan klien
b. Catat adanya fluktasi tekanan darah
c. Monitor VS saat berbaring, duduk, atau berdiri
d. Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan
e. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
f. Monitor suhu,warna dan kelembaban kulit
R/ mempertahankan integritas kulit dan mukosa agar tetap lembab
g. Monitor adanya tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik
R/ untuk memudahkan dalam mengetahui perubahan kondisi sirkulasi perifer klien
h. Indentifikasi penyebab dari perubahan vital sign
3.4 IMPLEMENTASI
1. Implementasi tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana yang telah
ditentukandengan prinsip : ABC (airway, breathing, circulation).
2. Mempertahankan ventilasi yang adekuat.
3. Menjaga bersihan jalan nafas
4. Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka/ cemas
3.5 EVALUASI
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan sehingga :
1. Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
2. Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan.
3. Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang &
intervensi dirubah).

22
DAFTAR PUSTAKA

Rahmatika, A. (2009) ‘Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang Dirawat
Inap di RSUD Aceh Tamiang Tahun 2007-2008’, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.

Raina, A. H. et al. (2013) ‘Pulmonary tuberculosis presenting with acute respiratory distress
syndrome (ARDS): A case report and review of literature’,
23
Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis, 62(4), pp. 655–659. doi:
10.1016/j.ejcdt.2013.09.008.

Silitonga, M. Ti. J. D. (2011) ‘Perbandingan kadar interferon gamma cairan pleura pada efusi
pleura exudativa tuberkulosa dengan non tuberkulosa tesis’.

Stefan, M. S. et al. (2013) ‘Epidemiology and outcomes of Acute Respiratory


Failure in United States, 2001-2009: A National Survey’. Journal of Hospital
Medicine.

Steven A. Sahn, M. (2012) ‘Malignant pleural effusions’, Pakistan Journal of Chest


Medicine, 18(1), pp. 13–22.

Stratton, Samuel J, MD, M. (2016) ‘Acute Respiratory Failure’, BMJ, pp. 1–42.

Sugijanto, D. kurniawan (2012) ‘Perbandingan keadaan saturasi oksigen pada inhalasi


halotan dan isofluran’, FK universitas sebelas maret surakarta, pp. 1–40.

Surjanto, E. et al. (2009) ‘The Relationship Between Underlying Disease of Respiratory


Failure with The Treatment's Outcome on Hospitalized Patients in Dr. Moewardi
Hospital Surakarta 2009’, pp. 1–10.

Surjanto, E., Sutanto, Y. S. and Aphridasari, J. (2014) ‘Penyebab Efusi Pleura pada Pasien
Rawat Inap di Rumah Sakit’, 34(2).

Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), S. P. (K) (2017) ‘Gagal Napas’, in Buku Ajar
Respirasi. Medan: USU Press, pp. 551–573.

Tandi, M., Tubagus, V. N. and Simanjuntak, M. L. (2016) ‘Gambaran CT-scan tumor paru di
Bagian / SMF Radiologi FK Unsrat RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou Manado’,
4(September 2015).

24

Anda mungkin juga menyukai