Askep Gagal Napas Akut Sudah Direvisi
Askep Gagal Napas Akut Sudah Direvisi
Disusun Oleh :
1. Hafa Grevita
2. Inda Raihfi
3. Rindi Komalasari
Kata Pengantar
1
Segala Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
dengan judul “Makalah Keperawatan Gawat Darurat Pasien Dengan Gagal Napas
Akut” yang diajukan untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Keperawatan Gawat
Darurat . Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan demi
Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Dengan proses keperawatan, rasa tanggung jawab dang tanggung gugat bagi
perawat itu dapat dimiliki dan dapat digunakan dalam tindakan-tindakan yang
merugikan atau menghindari tindakan yang legal. Semua tatanan perawatan
kesehatan secara hukum perlu mencatat observasi keperawatan, perawatan yang
diberikan dan respon pasien.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi yang
berkaitan dengan Perawatan Kegawatdaruratan Gawat Darurat. Manfaat dari
3
penulisan makalah ini juga untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan
keperawatan Gawat Darurat.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
4
2.1 PENGERTIAN
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang
mendadak dan mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan
oksigen yang tidak adekuat (Morton, 2011).
Tumor
Pada bagian atas berbatasan dengan labium, palatum durum dan palatum
mole, sedangkan pada bagian belakangnya berbatasan dengan orofaring.
Peranannya sebagai pengunyah makanan dikarenakan terdapatnya gigi geligi,
berbagai kelenjar ludah yang mengandung enzim ptialin. Peranannya hanya
dalam waktu bersuara atau tersumbatnya rongga hidung (Rab, 2013).
2.2.3. Faring
5
2.2.4. Laring
Walaupun fungsi utamanya dalah sebagai alat suara, akan tetapi didalam
saluran pernapasan fungsinya adalah sebagai jalan udara, oleh karena celah suara
diantara pita suara berfungsi sebagai pelindung dari jalan udara. Bila dilihat
secara frontal maupun lateral, pada gambaran laring dapat dilihat adanya
epiglotis, tulang hiloid, tulang rawan tiroid, tulang aritenoid, dan tulang rawan
krikoid. Tulang rawan krikoid merupakan batas terbawah dari tulang rawan
laring, yaitu terletak 2-3 cm dibawah laring. Dibawah dari tulang krikoid
biasanya dilakukan tindakan trakeotomi yang bertujuan untuk memperkecil
(dead space) dan mempermudah melakukan pengisapan sekresi (Rab, 2013).
2.2.5. Trakea
Diameter trakea ini bervariasi pada saat inspirasi dan ekspirasi (Rab, 2013).
6
mediastinum. Karina ini penting di dalam bronkoskopi, yakni untuk menginterpretasikan
berbagai kelainan di dalam mediastinum (Rab, 2013).
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses
ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.
7
dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled
ventilator adalah perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang
konsisten.
1. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien. Ini diberikan
pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada
mode ini ventilator mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan
volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan
ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara
udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah
dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR (Controlled Respiration),
CMV (Controlled Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)
Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized Intermitten Mandatory
Ventilation.
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling dengan nafas pasien
itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi yang di set tanpa
menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting
dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya
disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan sinkron dengan picuan
pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum
normal sehingga masih memerlukan bantuan.
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang masih bisa
bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien
harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger
maka udara pernafasan tidak diberikan.
CPAP : Continous Positive Air Pressure.
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien yang
8
sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot
pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.
2.3.6 Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk mewaspadakan
perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah menandakan adanya pemutusan
dari pasien (ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan
adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll.
Alarm volume rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.
2.4 ETIOLOGI
Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit adalah sebagai berikut:
Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran napas, fibrosis,
destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan
kapiler paru secara kontinu menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2
(Sundari, 2013).
2.4.2 Pneumonia
2.4.3 TB Pulmonal
9
2.4.4 Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat ventilasi dan
perfusi tidak adekuat (American Association for Respiratory Care, www.aarc.org American
Lung Association, 2009).
2.4.5 Pneumotoraks
2.5 PATOFISIOLOGI
Kegagalan pernapasan tipe I dapat diakibatkan oleh fraksi oksigen terinspirasi yang
rendah. Konsentrasi O2 alveolar (PaO2) akan turun jika konsentrasi O2 terinspirasi (FIO2)
turun. Hal ini dapat disebabkan oleh inhalasi gas penyebab hipoksia yang tidak disengaja,
putusnya rangkaian pernapasan selama ventilasi mekanis, atau peningkatan dead space dan
rebreathing gas yang diekshalasi. Selain itu jika tekanan barometrik (Pb) turun (misalnya
di ketinggian), tekanan parsial O2 terinspirasi (PiO2) turun dan PaO2akan turun. Pada 3000
m, PiO2 adalah 13,3 kPa (100 mmHg) dan PaO2 adalah 6,7 kPa (50 mmHg) (Gunning,
2003).
10
menyebabkan gangguan difusi. Semakin besar kelarutan gas, semakin sedikit yang
mengalami defisit difusi (Gunning, 2003).
Shunt kanan ke kiri terjadi ketika darah vena pulmonal melewati ventilasi alveoli dan tidak
beroksigen. Darah shunt ini mempertahankan saturasi O2 vena
campuran (70-80% pada individu sehat). Kemudian dicampur dengan dan
mengurangi O2. Isi darah yang tidak shunted, menyebabkan jatuhnya PaO2(Gunning,
2003).
Kelainan pada sumsum tulang belakang seperti cedera pada sumsum tulang
belakang akan mempengaruhi persarafan diafragma dan otot interkostal toraks dan
menyebabkan hipoventilasi dan retensi sekresi. Kegagalan ventilasi yang parah akan
terjadi pada lesi serabut-serabut saraf diata saraf frenikus (C3, 4, 5), karena fungsi
diafragma hilang dan ventilasi bergantung pada otot pernapasan aksesori. Pasien-pasien ini
memerlukan ventilasi mekanis jangka panjang, meskipun beberapa fungsi serabut saraf
11
dapat kembali dan otot aksesori berkembang seiring berjalannya waktu. Spastisitas dan
atrofi otot yang disebabkan oleh penyakit motor neuron biasanya menyebabkan kematian
akibat gagal napas dan aspirasi dalam 5 tahun (Gunning, 2003).
Kelainan saraf motorik seperti polineuropati yang berasal dari sindrom Guillain-
Barré dapat menyebabkan kelemahan otot pernapasan dengan penurunan kapasitas vital
dan peningkatan laju pernapasan. Pasien mungkin mengalami disfungsi bulbar, dengan
risiko aspirasi. Hipoventilasi dan asidosis respiratorik terjadi secara tiba-tiba dan pasien
mungkin mengalami gangguan pernapasan karena kondisi mereka belum ditangani.
Kelemahan otot yang disebabkan oleh miopati kongenital (misalnya distrofi otot) pada
akhirnya dapat menyebabkan kegagalan ventilasi. Myasthenia gravis, gangguan
neuromuscular junction, menyebabkan kelemahan umum, dan kegagalan ventilasi dapat
terjadi pada krisis myasthenia. Eksaserbasi akut sering dikaitkan dengan infeksi, dan krisis
kolinergik dapat terjadi akibat overdosis pengobatan antikolinergik. Kondisi lain yang
mengakibatkan terganggunya transmisi pada neuromuscular junction juga dapat
menyebabkan kegagalan pernapasan. Toxin botulinum mengikat secara ireversibel ke
terminal presinaptik di neuromuscular junction dan mencegah pelepasan asetilkoli
(Gunning, 2003).
Penyakit parenkim paru-paru dan penyakit saluran napas obstruktif kronis (PPOK)
menyebabkan gagal napas tipe I. Hal ini dapat berlanjut menjadi kegagalan pernapasan
tipe II saat pasien memburuk, menyebabkan kegagalan pernapasan campuran.
Meningkatnya dead space akan mengurangi ventilasi alveolar per menit yang efektif.
Penyakit yang terkait dengan peningkatan dead space (misalnya emfisema, pulmonary
embolus) dapat menyebabkan hiperkapnia, namun biasanya terjadi peningkatan
kompensasi pada ventilasi permenit (Gunning, 2003).
12
2.6 KLASIFIKASI
Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah, ditandai dengan
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi pada
kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme
terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat:
b.Pulse Oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan melalui aliran
darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di dapatkan berupa saturasi oksigen yang
kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atua jari
tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak akurat.
Hubungan antara saturasi oksigen dantekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi
oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan
14
oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru),
2017).
c. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar karbondioksida
darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk kofirmasi intubasi trakeal,
mendeteksi malfungsi apparatus serta gangguan fungsi paru (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).
b. Ekokardiografi
15
i. Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan
pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung.
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017)
ii. Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal
atau regurgitasi mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
iii. Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolik yang normal
pada pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindromdistress
pernapasan akut (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat
untuk pasien dengan gagal napas
iv. hiperkapnik kronik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
2.9 PENATALAKSANAAN
Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus diberikan untuk
meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai penyakit paru obstruktif, fraksi
inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada pasien yang sakit parah, walaupun
pengobatan medis telah maksimal, NIV(Noninvasive ventilation) dapat digunakan untuk
memperbaiki oksigenasi, mengurangi laju pernapasan dan mengurangi dyspnoea. Selain
itu, NIV dapat digunakan sebagai alternatif intubasi trakea jika pasien menjadi hiperkapnia
(rekomendasi rekomendasi C) (Forte et al., 2006).
16
Tahap I
i. Pemberian oksigen. Untuk mengatasi hipoksemia, cara pemberian oksigen
bergantung FiO2, yang dibutuhkan. Masker rebreathing dapat digunakan jika
hipoksemia desertai kadar PaCO2 rendah.
Berikut nilai FiO2 tiap cara pemberian:
a. Nasal kanul: FiO2 25-50% dengan oksigen 1-6 L/menit
b. Simple mask : FiO2 30-50% dengan oksigen 6-8 L/menit
c. Masker non rebreathing: FiO2 60-90% dengan oksigen 15
L/menit ii. Nebulisasi dengan bronkodilator. Terapi utama untuk PPOK
dan asma.
iii. Humidifikasi
iv. Pemberian antibiotik
Tahap II
ii. Pemberian bronkodilator parenteral
iii. Pemberian kortikosteroid
Tahap III
iv. Stimulasi pernapasan
v. Mini trakeostomi dan intubasi trakeal dengan indikasi: diperlukan ventilasi
mekanik namun disertai retensi sputum dan dibutuhkan suction trakeobronkial;
melindungi dari aspirasi; mengatasi obstruksi saluran napas atas.
Tahap IV
vi. Pemasangan ventilasi mekanik.
vii. Indikasi ventilasi mekanik: operasi mayor; gagal napas; koma; pengendalian
TIK; post-operatif; penurunan laju metabolik; keadaan umum kritis (Arifputera,
2014).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
17
3.1 PENGKAJIAN DAN ANALISA DATA
3.1.1) Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan ototak sesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curahjantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan saluran urine
f. Kapiler refill
g. Sianosis.
3.1.2) Pengkajian Sekunder
1. Pemeriksaan fisik head to toe.
2. Pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran
3. Eliminasi
Kaji haluaran urin, diare/konstipasi.
4. Makanan/cairan
Penambahan BB yang signifikan, pembengkakan ekstrimitas oedema pada bagian tubuh.
5. Nyeri/kenyamanan
Nyeri pada satu sisi, ekspresi meringis.
6. Neurosensori
Kelemahan :perubahan kesadaran.
18
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi
secret.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan di permukaan alveoli,
alveolar hipoventilasi.
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan PPOM, distensi dinding dada,
kelelahan, kerja pernafasan.
4. Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan menurunnya curah jantung, hipoksia
jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli.
5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat
6. Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi
7. Defisit perawatan diri berhubungan penurunan kesadaran.
3.3 INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan
produksi secret
NOC :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
d. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
NIC :
Airway suction
a. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal suctioning
b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
c. Informasikan kepada klien dan keluarga tentang suctioning
d. Berikan O2 dgn menggunakan nasal untuk memfasilitasikan soctionnasotrakeal
e. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan tindakan
f. Monitor status oksigen pasien
Airway management
a. Buka jalan nafas
R/ jalan nafas yang paten dapat memberikan kebutuhan oksigen disemua jaringan
tubuh secara adekuat
b. Posiskan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
19
R/ posisi semi fowler membantu pasien memaksimalkan ventilasi
c. Indentifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
R/ membantu organ pernafasan memenuhi kebutuhan oksigen sehingga oksigen yang
diperlukan tubuh tercukupi
d. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
e. Berikan bronchodilator bila perlu
R/ bronkodilator dapat memvasodilatasi saluran pernafasan
f. Monitor respirasidan status O2
R/ penurunan status oksigen mengidikasikan pasien mengalami kekurangan oksigen
yg dapat menyebakan terjadinya hipoksia
20
Respiratory monitoring :
a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
b. Catat pengerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostatis
c. Monitor suara nafas, sprt dengkur
R/ pernafasan bising, mengi, ronki menunjukan tertahanya secret/obstruksi jalan nafas
21
b. Pertahankan jalan nafas yang paten
R/ jalan nafas yang paten dapat memberikan kebutuhan oksigen disemua jaringan
tubuh secara adekuat
c. Atur peralatan oksigenasi
d. Monitor aliran oksigenasi
e. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign management
a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
R/perubahan tanda-tanda vital mengindikasikan adanya perubahan pada beberapa
organ yang berhubungan status kesehatan klien
b. Catat adanya fluktasi tekanan darah
c. Monitor VS saat berbaring, duduk, atau berdiri
d. Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan
e. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
f. Monitor suhu,warna dan kelembaban kulit
R/ mempertahankan integritas kulit dan mukosa agar tetap lembab
g. Monitor adanya tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik
R/ untuk memudahkan dalam mengetahui perubahan kondisi sirkulasi perifer klien
h. Indentifikasi penyebab dari perubahan vital sign
3.4 IMPLEMENTASI
1. Implementasi tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana yang telah
ditentukandengan prinsip : ABC (airway, breathing, circulation).
2. Mempertahankan ventilasi yang adekuat.
3. Menjaga bersihan jalan nafas
4. Mengatasi perubahan proses keluarga dan antisipasi berduka/ cemas
3.5 EVALUASI
Setelah tindakan keperawatan dilaksanakan evaluasi proses dan hasil mengacu pada kriteria
evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing diagnosa keperawatan sehingga :
1. Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervensi di hentikan)
2. Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi dilanjutkan.
3. Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang &
intervensi dirubah).
22
DAFTAR PUSTAKA
Rahmatika, A. (2009) ‘Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang Dirawat
Inap di RSUD Aceh Tamiang Tahun 2007-2008’, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Raina, A. H. et al. (2013) ‘Pulmonary tuberculosis presenting with acute respiratory distress
syndrome (ARDS): A case report and review of literature’,
23
Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis, 62(4), pp. 655–659. doi:
10.1016/j.ejcdt.2013.09.008.
Silitonga, M. Ti. J. D. (2011) ‘Perbandingan kadar interferon gamma cairan pleura pada efusi
pleura exudativa tuberkulosa dengan non tuberkulosa tesis’.
Stratton, Samuel J, MD, M. (2016) ‘Acute Respiratory Failure’, BMJ, pp. 1–42.
Surjanto, E., Sutanto, Y. S. and Aphridasari, J. (2014) ‘Penyebab Efusi Pleura pada Pasien
Rawat Inap di Rumah Sakit’, 34(2).
Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), S. P. (K) (2017) ‘Gagal Napas’, in Buku Ajar
Respirasi. Medan: USU Press, pp. 551–573.
Tandi, M., Tubagus, V. N. and Simanjuntak, M. L. (2016) ‘Gambaran CT-scan tumor paru di
Bagian / SMF Radiologi FK Unsrat RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou Manado’,
4(September 2015).
24