Anda di halaman 1dari 28

TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I

MAKALAH INTUBASI ET

DISUSUN OLEH :
Bayu Indra Saputra (201410201014)
Dedi Firmansyah (201410201017)
Dyah Setyo (201410201026)
Feby Kurnia (201410201027)
Hajjar Nur Putriana (201410201029)
Hasna Mufida Nuraini (201410201030)
Inas Nuha Nofitasari (201410201031)
Intan Dhanuri Setyowati (201410201032)
Intan Kusuma Hapsari (201410201033)
Intan Novi Suharni (201410201034)
Istiyani Renaningsih (201410201035)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Gawat
Darurat I ini tepat sesuai tenggang waktu yang diberikan.
Adapun makalah Keperawatan Gawat Darurat I ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah Keperawatan
Gawat Darurat I ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin
memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah
Keperawatan Gawat Darurat I ini. Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah
Keperawatan Gawat Darurat I ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Sleman, 29 Desember 2017

Tim Penyusun

2
LEMBAR PENGESAHAN

Kami yang bertandatangan dibawah ini,

Menyatakan bahwa makalah yang telah kami buat ini, adalah sah dan asli diskusi
kami yang telah kami buat sebaik-baiknya guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Gawat Darurat I tentang Intubasi ET. Dengan ini kami kelompok A3 PSIK 7A menyerahkan
makalah ini pada :
Hari/ Tanggal : Jum’at, 29 Desember 2017
Tempat : Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Pukul : 13.00 WIB

Sleman, 29 Desember 2017

Mengetahui dan Menyetujui,

Dosen Pengampu Mata Kuliah Ketua Kelompok

(Dwi Prihatiningsih,M.Ng) (Inas Nuha Nofitasari)

3
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 2
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Masalah 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Anatomi Saluran Nafas 4


B. Endotrakheal Tube 6
C. Laringoskop Rigid 7
D. Teknik Laringoskopi dan Intubasi 8

BAB III ANALISIS JURNAL

A. Sample Size 21
B. Intervensi yang dilakukan 21
C. Hasil Penelitian 21
D. Pembahasan 22
E. Simpulan 23
F. Saran 23

PENUTUP

A. Simpulan 24
B. Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal nafas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan sebagai
ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan homeostasis oksigen dan
karbondioksida. Fungsi jalan nafas terutama sebagai fungsi ventilasi dan fungsi
respirasi. Kasus gagal nafas akan terjadi kelainan fungsi obstruksi maupun fungsi
refriktif, akan tetapi dalam keilmuan keperawatan kritis yang menjadi penilaian utama
adalah defek pertukaran gas di dalam unit paru, antara lain kelainan difusi dan
kelainan ventilasi perfusi. Kedua kelainan ini umumnya menimbulkan penurunan
PaO2, peninggian PaCO2dan penurunan pH yang dapat menimbulkan komplikasi
pada organ lainnya (Tabrani, 2008).
Tanda-tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami
kegagalanpernafasan antara lain: Frekuensi pernafasan > 30 x/menit atau < 10
x/menit, nafas pendek/cepat dan dangkal/cuping hidung, menggunakan otot bantu
pernafasan, adanya wheezing, ronchi pada auskultasi. Batuk terdengar produktif tetapi
sekret sulit dikeluarkan, pengembangan dada tidak simetris, ekspirasi memanjang,
mudah capek, sesak nafas saat beraktifitas, takhikardi atau bradikardi, tekanan darah
dapat meningkat/menurun, pucat/dingin, sianosis pada kedua ekstermitas (Yilldirim,
2010).
Kasus dengan gagal nafas harus dilakukan pemasangan endotracheal tube
(ETT). Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan
nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami
penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret
agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas (Nicholson and O'Brien,
2007).
Kebanyakan ETT untuk dewasa memiliki sistem inflasi cuff yang terdiri dari
valve,pilot balloon, inflating tube dan cuff. Valve mencegah udara keluar setelah
pengisian cuff. Pilot balloon menyediakan udara untuk pengisian cuff dan berfungsi
sebagai panduan. Inflating tube berfungsi untuk menghubungkan valve dengan cuff
dan menyatukan dengan dinding pipa. Dengan menutupi trakea, cuff ETT
memberikan tekanan positif dan dapat mengurangi aspirasi. ETT tanpa cuff biasanya

5
digunakan pada anak-anak untuk meminimalisasi resiko trauma akibat tekanan dan
batuk setelah intubasi (Seegobin dan Hasselt, 2007)
Oleh sebab itu, pada pasien dengan gagal nafas harus segera dilakukan
tindakan pemasanfan ET untuk mambantu pernafasan pasien.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi endotrakeal tube ?
2. Apa indikasi bahwa pasien harus dilakukan pemasangan Endotrakeal Tube?
3. Bagimana tehnik pemasangan Endotrakeal Tube?
4. Bagaimana cara melakukan intubasi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definis dari Endotrakeal Tube.
2. Untuk mengetahui indikasi pemasangan Endotrakeal Tube pada pasien.
3. Untuk mengetahui bagaimana tehnik pemasangan Endotrakeal Tube.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara melakukan intubasi pada pasien.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Saluran Nafas


Anatomi saluran pernafasan terdiri atas saluran pernafasan bagian atas
(rongga hidung, sinus paranasal, dan faring), salauran pernaffasan bagian bawah
(laringg, ttrakea, bronkhus, dan alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan,
arteri puulmonal, arteriola pulmonar, kapiler pulmonar, venula pulmonnar, vena
pulmonar, dan atrium kri), paru (paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus), rongga
pleura, dan otot-otot pernafasan.

Gambar 1. Sistem Pernafasan

Nafas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha berafas menghantarkan


udara lewat saluran pernafasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam
volume, tekanan, kelembapan, suhu dan keberhasian yang cukup untuk menjamin
kondisi ambilan oksigen yang optimal, yang diangkat ke alveoli lewat aliran
darah. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip
katup dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membetuk aliran
udara, mengatuur volume dan tekanan udara yang lewat, dan menjalankan
berbagai aktivitas penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan kelembapan
udara).
1. Saluran Pernafasan Bagian Atas
a. Rongga Hidung
Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk
menuju rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal sempit yang
7
satu sama lainnya dipisahkan oleh septum. Dinding rongga hidung dilapisi
oleh mukosa respirasi serta sel epitel batang, bersilia, dan berlapis semu.
Mukosa menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara yang
masuk melalui hiduung. Vestibulum merupakan dari rongga hidung yang
berambut dan bberfungsi menyaring partikel-partikel asing agar tidak
masuk ke saluran nafasa bawah.
b. Sinus Paranasal
Sinus Paranasal berpern dalam menyekresi mukkus, dan menjaga
permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembap.
c. Faring
Faring adalah pipa berotot yang bermula dari dasar tengkorak dan
berakhir sampai persambungan dengan esofagus dan batas tulang rawan
krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan
laringofaring.

Gambar 2. Saluran Pernafasan Atas

2. Saluran Pernafasan Bawah


a. Laring
Laring teleetak di antara faring dan ttrakhea. Berdasarkan letak
vertebra servikalis, laring berada di ruas ke-4 atau ke-5 da berakhir di
vertebra serviakalis ruang ke-6. Laring disusun oleh 9 kartilago yangg

8
disatukan oleh ligamen dan otot rangka pada tulang hioid di bagian atas
dan trakea di bwahnya.
Kartilago yang terbesar adalah kartilago tiroid, dan di depannya
terapat benjolan subkutaneus (jakun). Kartilago tiroid dibangun oleh dua
lempeng besar yang bersatu di agian anterior meembentuk seperti huruf V
yang disebut laringeal.
Kartilago krikoid adalah kartilago berbentuk cincin yang terletak
dibawah kartilago tiroid. Kartilago antenoid adalahh sepasanng kartilago
yang menjulang di belkang krikoid, dan diatasna terdapat kartilago
kuneiform dan konikulata yang sangat kecil. Diatas kartilago tiroid
terdapat epiglotis, yang berupa katup dan berfungsi embantu menutup
laring saat menelan makanan.

Gambar 3. Anatomi Laring

B. Endotrakhea Tube (ET)


Endotracheal tube (ET) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi
langsung ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan
oksigenasi. Pabrik menentukan standar ETT (American National Standards for
Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). ETT kebanyakan terbuat dari
polyvinylchloride. Pada masa lalu, ETT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk
indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan
dari ETT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan

9
untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy
memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada
bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trakhea. Tahanan aliran udara
terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi oleh panjang
pipa dan lengkungannya. Ukuran ETT biasanya dipola dalam milimeter untuk
diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis (diameter external
dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi
antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma
jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
Kebanyakan ETT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang
terdiri dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan
balon (cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon
petunjuk memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating
tube dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon ETT
mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan
aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubation croup.
Tabel 1. Ukuran ET

Usia Diameter internal Panjang (cm)


(mm)
Bayi cukup bulan 3.5 12
Anak-anak 4+usia/4 14+usia/2
Dewasa
Wanita 7.0-7.5 24
Laki-laki 7.5-9.0 24

C. Laringoskop rigid
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk
fasilitas intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu
pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung
blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.
Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang

10
MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus.
Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien.
Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus
familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

D. Teknik laringoskopi dan intubasi

1. Indikasi Intubasi
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi
umum. Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua
pasien dengan anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk
proteksi, dan untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi
untuk pasien yang memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi
meliputi rongga perut atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau
LMA biasanya digunakan untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi,
pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia inguinal dan lain-lain.
Beberapa kondisi medis yang merupakan indukasi pemasangan endotrakheal
tube (ETT) antara lain :
a. Stroke, non penetrating head injury
b. Comateous patient (glasgow coma scale kurang dari nilai 8 )
c. Tindakan anestesi umum (general anesthesia), terutama pada
operasi khusus seperti laparotomi dan operasi daerah thoraks, head
and neck surgery, laminectomy dan sebagainya.
d. Pasen apnoe atau obstruksi jalan nafas oleh berbagai sebab,
termasuk benda asing didaerah laryngopharyng.
e. Manipulasi dignostik : misal bronchoscopy
f. Pencegahan aspirasi cairan lambung ke dalam paru-paru
g. Endoscopic operative procedure : laser therapy or stenting of the
bronchy
h. Intensive care medicine : respiratory support
i. Emergency medicine : cardiorespiratory resuscitation

2. Persiapan untuk laringoskopi rigid


Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi
pasien. ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji dengan

11
menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan
tekanan balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup
berfungsi.
Memotong ETT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk
mengurangi resiko dari intubasi bronkhial atau sumbatan akibat dari pipa
kinking. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan
kemungkinan terlepas. Jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam
ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan
posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan
bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap
walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena
lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti batre. Extra blade,
handle, ETT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus
disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus
dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi.
Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis
langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala
sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito
joint menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah
dari tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.

Gambar 4. ET

12
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas
dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien
yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan
pada pasien yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang
tidak memiliki jalan nafas yang sulit.

Gambar 5. Posisi intubasi

Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring. (Gueded, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan nafas.

13
3. Intubasi Endotrakheal
Memasukkan tube kedalam trakhea, untuk menjamin agar jalan nafas
tetap aman. Dengan terjaminnya jalan nafas yang aman, maka diharapkan
terjamin pula sirkulasi pengambilan oksigen dan pengeluaran carbon dioksida
secara fisiologis dari tubuh penderita yang akan turut menentukan kehidupan
penderita.

Diagram of an endotracheal tube that has been inserted into the trachea :

a. Endotrakheal tube ( blue)


b. Cuff inflation tube with pilot ballon
c. Trachea
d. Esophagus

Secara garis besar, trakhea yang terutama terdiri dari jaringan tulang rawan
hialin sekitar 16-20 buah yang melingkar serta jaringan otot polos, jaringan

14
ikat dan jaringan mukosa yang mengandung kelenjar-kelenjar, dengan
panjang sekitar 10-12 cm dan diameter 2-2,5, bercabang menjadi bronkhus
kiri dan kanan. Pada laki-laki diameternya lebih besar daripada wanita,
sedangkan pada anak-anak diameter lebih kecil, juga terletak jauh ke dalam
serta lebih mudah bergerak, dibandingkan dewasa yang posisisnya sudah
tetap pada tempatnya setinggi ruas cervical 6. Tempat percabangan
trakheamenjadi bronkhus kiri dan kanan disebut carina, dan secara antomis
bronkhus kiri yang dekat/pendek ke carina dengan sudut yang lebih landai,
dibandingkan bronkhus kiri yang lebih jauh dari carina dengan sudut lebih
tajam. Pada intubasi endotrakheal, ujung tube harus berada didaerah carina,
dan bila kita mendorong tube lebih dalam, maka tube akan masuk ke
bronkhus kanan.

Keadaan ini tidak boleh terjadi, bila tube berada alam bronkhus kanan, dan
keadaan ini tidak dikoreksi, maka bronkhus kiri tidak akan mendapat suplai
oksigen yang adekuat. Bila dibiarkan dalam waktu lama, maka akan terjadi
hipoksemia dengan tanda awal sianosis di daerah acral ekstrimitas dan
penurunan saturasi oksigen pada monitor secara drastis. Ini terjadi karena
makin lama bilik kiri jantung yang menerima darah dari vena pulmonalis
kadar oksigennya makin berkurang karena hanya mengangkut oksigen dari
paru kanan, sedangkan dari paru kiri, hanya sedikit atau tidak ada sama sekali
oksigen yang di angkutnya.

Untuk menghindari hal ini, pada saat sudah selesei melakukan intubasi
endotrakheal, harus dilakukan pemeriksaan Vesicular Breathing Sound
(VBS), paru kiri terlebih dahulu baru paru kanan. Bila VBS kiri sudah sama
dengan kanan, berarti tube sudah tepat berada didaerah carina an aman bagi
penderita, karena suplai oksigen seimbang masuk paru kiri dan kanan secara
adekuat.

4. Teknik Intubasi
Ada beberapa teknik intubasi yang dapat dilakukan seperti :
a. Oral intubation, dilakukan intubasi melalui mulut
b. Nasal intubation, intubasi melalui rongga hidung

15
c. Fascilitation intubation, intubasi dilakukan dengan menggunkan fasilitas
obat-obatan seperti obat anestesis dan obat pelemas otot. Teknik ini adalah
yang paling dianjurkan, mengingat bahwa secara medis, teknik intubasi
adalah teknik yang invasif dan merupakan medis yang sangat tidak
menyenangkan dan tidak nyaman bagi penderita.
d. Awake/crash intubasi atau rapid sequence intubation, intubasi dilakukan
pada penderita yang sadar tanpa menggunakan fasilitas obat-obatan seperti
diatas, biasanya dilakukan pada situasi gawat darurat.
e. Blind intubation, dilakukan melalui nasal, tnapa dapat melihat daerah pita
suara, biasanya pada penderita yang tidak dapat membuka rongga mulut.
Pada teknik ini diperlukan kerja sama dengan pederita agar mengikuti
instruksi kita selama pemasangan tube endotrakheal. Secara umum teknik
ini merupakan yang tersulit dari semua teknik intubasi endotrakheal.
f. Fibre optic intubation, intubasi dengan bantuan alat fibre optic seperti yang
digunakan pada teknik endoscopy. Dilakukan pada penderita yang tidak
dapat membuka rongga mulut dan sulit dilakukan dengan teknik blin
intubation.
g. Needle crycothyrotomy, biasanya dilakukan pada keadaan gawat darurat
yang tidak mungkin dapt dilakukan intubasi, misalnya pada spasme pita
suara
h. Tracheaotomy, tindakan ini dilakukan pada penderita yang tidak dapat
dilakukan intubasi dan memerlukan support respirasi untuk jangka waktu
yang lama.

5. Peralatan yang diperlukan


a. Laryngoscope, terdiri dari dua bagian, yaitu handle (pegangan) dan
blade/forcep (lidah laryngoscope). Blade terdiri dari dua tipe, yaitu tipe
Macintosh, yang melengkung (curve) dan tipe Magill yang lurus.
Perbedaan ke duanya adalah pada penggunaannya, pada tipe Macintosh,
sewaktu laryngoscopy yang diangkat adalah pangkal epiglotis sehingga
kita bisa melihat pita suara, sedangkan pada tipe Magill, yang diangkat
adalah langsung epiglotisnya, sehingga pita suara lebih langsung terlihat.
Pada anak-anak, lebih menguntungkan dengan memakai forceps Magill,
selain langsung terlihat pita suara, juga forceps ini mempunyai alur untuk

16
tube endotrakheal, sehingga lebih memudahkan dan lebih cepat melakukan
intubasi. Harus diingat bahwa anak-anak sangat rentang terhadap
penurunan kadar oksigen, dan makin lama proses intubasi dilakukan,
makin tinggi resiko terjadinya hipoksia, hal ini tentu akan lebih berbahaya
bila terjadi pda anak-anak.

b. Tube endotrakheal
Tube ini merupakan tube yang fleksibel, dengan berbagai ukuran, dari
yang terkecil untuk bayi dan anak-anak sampai ukuran dewasa, dan pada
umumnya setiap tube sudah mempunyai “inflating balon”, untuk menutupi
diameter trakhea. Terdapat dua tipe tube endotrakheal, yaitu yang
”kinking” dan tube yang “ non kinking” atau tube spiral, karena didalam
tube nya terdapat spiral-spiral yang fleksibel. Untuk intubasi yang reguler
dan atau emergency, lebih sering digunakan tube yang kinking, yaitu bila
tube ini dilengkungkan, maka dipasang tube yang non kinking, karena tube
ini tidak akan tersumbat biarpun tube ini dilengkungkan sampai lebih dari
90 derajat. Secara umum tube tipe non kinking lebih aman dibandingkan
dengan tube kinking, maka pada pemasangannya kedalam trakhea harus
dibantu dengan “ magill tang” dan atau stylet.
c. Stylet (mandrayn), untuk membanu agar tube endotrakheal tidak terlalu
lentur, mempermudah masuknya tube ke dalam trakhea.
d. Oral tube (mayo), terutama digunakan pada oral intubation, untuk
mencegah tube endotrakheal tergigit

17
e. Dispossibel syringe, untuk memompa inflating balon pada tube
endotrakheal.
f. Magill tang, alat penjepit tube endotrakheal yang lengkungannya sesuai
dengan anatomi rongga mulut, pharyng dan laryng. Alat ini akan sangat
membantu memasukkan tube kedalam trakhea.
g. Plester untuk fiksasi tube setelah intubasi
h. Stetoskop, untuk memeriksa versicular breathing sound (VBS) kedua paru-
paru.
6. Cara intubasi

a. Intubasi Orotrakheal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka
lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk
menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke
dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade
lain, handle diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula
pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade
dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan
kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi).
Balon ETT harus berada dalam trakhea bagian atas tapi diluar laring.
Langingoskop ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi.
Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak
adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan
tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan pilot balon
bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang
adekuat.
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakheal. Jika ada
keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi
ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau
diikat untuk mengamankan posisi.

18
Gambar 6. Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan blade yang
melengkung

Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada
sternal notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan
ada diatas level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat
menyebabkan suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko
ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi
dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.

b. Intubasi Endotrakheal

19
Sebelum dilakukan intubasi terlebih dahulu dilakukan oksigenasi
dengan menggunakan orotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama 30
detik.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop di masukkan dari sudut kanan
dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop di dorong ke dalam
rongga mulut. Gagang di angkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis
diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V. Tracheal tube diambil degan tangan kanan dan ujungnya
dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat melewatipita suara.
Bila perlu, sebelum memasukan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke
posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
menganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan
tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa
dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa dikfiksasi
dengan plester.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu


ventilasu, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas

20
kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal yang terlalu dalam akan
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas
kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing sekret lebih banyak dan tahannya
jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa
ditarik sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan, bila terjadi intubasi ke
daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilai (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal
tetrsebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.
Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara
yang sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan
keberhasilan, seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung,
menambahkan stylet, memilih pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat
hidung atau meminta bantuan dari ahli anestesi lain. Jika pasien juga sulit
untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif menagemen saluran nafas lain
(misalnya), LMA, Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi,
trakeostomi harus segera dilakukan.

21
c. Intubasi Nasotrakheal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk
lewat hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan
laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang
hidung yang pasiennya bernafas lebih gampang. Tetes hidung
phenylephirine (0,5-0,25%) menyebabkan pembuluh vasokontriksi dan
menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara
tetes dan blok saraf dan digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang tarut dalam air,
dimasukkan ke dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada
disisi lateral jauh dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat dasar rongga
hidung ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke arah kepala pipa secara
berangsur-angsur dimasukkan hingga unungnya terlihat di orofaring.
Umumnya ujung distal dari NTT dapat digunakan dengan forcep Magil.
Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan
balon. Memasukkan NTT melalui hidung berbahaya pada pasien dengan
trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intakranial.

7. Kesulitan intubasi
Kesulitan yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer
Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara
mental symphisis dengan lower arveolar margin yang melebar memerlukan
depresi rahang bahwa yang lebih lebar selama intubasi
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth)
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple athritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, sponsdilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achonedroplasia karena fleksi
kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
h. Fraktur sevical.

22
i. Rahang bawah kecil.
j. Osteoathritis temporo mandibula joint.
k. Trismus.
l. Ada masa di pharing dan laring.

Kesulitan memasukan pipa trakhea berhubungan dengan variasi anatomi


yang dijumpai. Klarifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal
dan lidah dijulurkan maksimal, menurut malampati dibagi menjadi 4 kelas.
Sedangkan menurut Comacks dan Lehane kesulitan intubasi juga dibaagi
menjadi 4 gradasi.

Penting untuk dicacat luas lapangan pandang dari laring yang telah kita
dapatkan. Informasi ini penting, apa bila dikemudian hari dilakukakan kembali
tindakan manajemen jalan nafas. Gambaran standar yang digunakan adalah
klasifikasi menurut Cormacks dan Lehane (1984):

1. Grade 1 : seluruh laring dapat terlihat


2. Grade 2 : bagian postarior dari laring saja yang dapat terlihat
3. Grade 3 : hanya epiglotis saja yang dapat terlihat
4. Grade 4 : tidak ada bagian laring yang dapat terlihat

8. Komplikasi intubasi Endotrakheal


Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anatomi, 1989)
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi
laringeal cuff
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah dan mukosa
mulut, cedera tenggorokan, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensim takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

Komplikasi pemasukan pipa endotracheal

a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial


dan malposisi laringeal cuff

23
b. Trauma jalan nafas berupa insflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi
kulit hidung
c. Malfungsi tube beruba obstruksi.

BAB III

ANALISIS JURNAL

A. Sampel Size
Pasien berusia lanjut (17 tahun) yang diintubasi dengan tabung endotrakea dan
telah menjalani MV di ICU. Untuk memastikan bahwa pasien sadar, mereka harus
diberi skor antara -1 dan +1 di Richmond Agitation and Sedation Score. Metode
Penilaian Kebingungan untuk ICU (CAM-ICU) digunakan untuk memastikan bahwa
pasien tidak mengigau. Akhirnya, pasien harus bisa berbicara dan mengerti bahasa
Denmark. Pasien dikecualikan jika mengalami trauma kepala, demensia, penyakit
jiwa atau tidak dapat menceritakan tentang pengalaman mereka.
Penelitian dilakukan di dua ICU multidisiplin di sebuah rumah sakit
universitas di Denmark dengan total 18 tempat tidur untuk pasien medis dan bedah
dewasa. Rasio perawat-pasien adalah 1: 1.

B. Intervensi yang dilakukan


Dua ICU yang berpartisipasi dan pasien yang disertakan tidak menerima obat
penenang 24 jam setelah intubasi sampai dikeluarkannya dari ICU. Hanya opioid
yang diberikan untuk mengurangi ketidaknyamanan dari tabung endotrakeal.

C. Hasil penelitian
Ketika pasien melalui intubasi endotrakeal, manajemen rasa sakit tampaknya
sangat penting dan alat pengamatan yang andal dan manajemen nyeri yang memadai

24
sangat penting (Linde et al., 2013; Stites, 2013). Berbeda dengan kelompok pasien
lainnya (Sahlsten et al., 2008), partisipasi pasien adalah konsep yang relatif baru di
ICU karena sebelumnya pasien diberi obat penenang dan tidak dapat berpartisipasi.
Dengan tidak adanya sedasi, tampaknya relevan untuk mencoba meningkatkan
keterlibatan pasien di ICU. Studi ini menunjukkan bagaimana partisipasi pasien dapat
memenuhi kebutuhan eksistensial dan memberikan rasa nyaman. Kami menemukan
bahwa pengelolaan bersama dalam rutinitas keperawatan seperti penyedotan sangat
penting bagi persepsi kontrol pasien dan tampaknya relevan untuk memasukkan
pasien saat mereka sadar. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi
dalam perencanaan kegiatan sehari-hari juga dapat meningkatkan persepsi mereka
tentang waktu pengendalian.
D. Pembahasan
Uraian tentang pengalaman fisik memiliki tabung endotrakeal, kesadaran dan
persepsi waktu merupakan karakteristik dalam riwayat pasien. Temuan menunjukkan
bahwa protokol no-sedation dapat menyebabkan masalah bagi pasien baik secara fisik
dan eksistensial, namun walaupun demikian, pasien tampak positif terhadap
kesadaran. Studi ini menunjukkan bahwa praktik keperawatan klinis mungkin harus
dikembangkan lebih lanjut untuk mengakomodasi kebutuhan pasien, mis. komunikasi
dan partisipasi serta mengoptimalkan intervensi keperawatan terhadap manajemen
nyeri.
Partisipasi pasien adalah konsep yang relatif baru di ICU karena pasien
sebelumnya telah dibius dan tidak dapat berpartisipasi. Dibius ringan maupun tidak
dilakukannya pembiusan, nampaknya relevan untuk mencoba meningkat keterlibatan
pasien di ICU. Studi ini menunjukkan bagaimana partisipasi pasien bisa memenuhi
eksistensial membutuhkan dan memberikan rasa nyaman. Dalam rutinitas
keperawatan seperti suctioning penting bagi perawat untuk mengontrol persepsi
pasien dan tampaknya relevan untuk mengatur kapan pasien sadar. Memberikan
pasien kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan kegiatan sehari-hari juga
dapat meningkatkan persepsi mereka tentang bagaimana untuk dapat mengendalikan
waktu.
Dalam penelitian oleh Karlsson et al. (2012a), 8 dari 12 pasien menyatakan
bahwa mereka lebih memilih untuk sadar daripada dibius. Hal ini mengejutkan,
karena penelitian lain menemukan bahwa sedasi ringan dibandingkan dengan sedasi
berat dapat meningkatkan persepsi pasien tentang ICU tetap tidak menyenangkan

25
(Samuelson et al., 2007). Refleksi dari penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran
memberi rasa kontrol dan memungkinkan pasien untuk berpartisipasi dalam
kehidupan mereka. Preferensi pasien tentang praktik sedasi belum dipelajari secara
menyeluruh, dan lebih banyak bukti diperlukan untuk mengetahui apakah pasien lebih
memilih untuk tetap sadar atau dibius selama MV. Dapat dikatakan bahwa itu
tergantung pada latar belakang pasien masing-masing, strategi penanganan dan
pengobatan. Pendekatan baru untuk sedasi, yang diketahui dari perawatan analgesik,
yang disebut penenang terkontrol pasien telah disarankan (Chlan et al., 2010). Dalam
pendekatan ini, meski menimbulkan beberapa tantangan, memungkinkan pasien untuk
berpartisipasi dan mungkin mendapatkan kontrol atas situasi tersebut.

E. Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa praktik keperawatan klinis mungkin harus
dikembangkan lebih lanjut untuk mengakomodasi kebutuhan pasien, mis. komunikasi
dan partisipasi serta mengoptimalkan intervensi keperawatan terhadap manajemen
haus, nyeri dan tungkai. Selanjutnya, Pengaturan ICU mungkin perlu direvisi,
memberikan ruang bagi masukan sensoris dan sensoris yang berarti di lingkungan
yang berteknologi tinggi.
Menjadi sadar selama intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis dapat
memerlukan pengalaman fisik seperti rasa sakit, ketidaknyamanan, haus, kesulitan
dalam berkomunikasi, mengubah kesadaran dan persepsi waktu. Meskipun ada
pengalaman yang tidak menyenangkan, pasien bersikap positif terhadap kesadaran,
tapi partisipasi pasien dan komunikasi yang lebih baik strategi tampaknya penting

F. Saran
Beberapa intervensi keperawatan dan juga pengaturan ICU mungkin
memerlukan revisi untuk mengakomodasi pengalaman dan kebutuhan orang-orang
yang sadar, pasien dengan ventilasi mekanis.

26
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan
Intubasi Endotrakheal tube (ET) adalah tindakan untuk memasukkan pipa
endostracheal kedalam trachea. Tujuannya adalah untuk mengalirkan gas anestesi
langsung ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi.
Kasus dengan gagal nafas harus dilakukan pemasangan endotracheal tube
(ETT). Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan
nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami
penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret
agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas

B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan tentang pemasangan
intubasi ET bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat sehingga dalam
melakukan asuhan keperawatan lebih komperhensif.

27
DAFTAR PUSTAKA

Pearce Evelyn C. 2009. Anatomi Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta. PT Gramedia.

https://www.slideshare.net/iirirmasuryani/178664185-intubasipdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/32286/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=A7E603F2DE78572426DC22B66C6A44F3?
sequence=4

Desai, Arjun M. 2010. Anesthesiology. Stanford University School of Medicine.


Diakses dari : http://emedicine.medcape.com Accessed on April 12 th 2014

Adam L George, boises L, dkk. Boies Buku ajar penyakit HTT edisi 6 . Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta 1997.

Protap pemasangan ETT (Endotrakheal Tube) avaible


from:http://www.scribd.com/doc/58779525/17/pengertian-intubasi/ diunduh
pada tanggal 28 desember 2017

Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akinat Intubasi
Endotrakeal.

28

Anda mungkin juga menyukai