Anda di halaman 1dari 59

GENERAL ANESTESIA OTT

PADA KASUS PERITONITIS ET CAUSA


APPENDISITIS PERFORASI

Oleh :
Tri Cahaya Putra 014.06.0039

PEMBIMBING :
dr. I Dewa Gede Oka Darsana, Sp.An

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN SMF ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
RSU BANGLI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya lah laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini dibuat dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/SMF
Anestesia, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar, di RSU Bangli .
Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. I Dewa Gede Oka Darsana, Sp.An selaku pembimbing dalam
laporan kasus ini.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kata
sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca.

Badung, 7 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
COVER......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Pernafasan.......................................................................2
2.2 Peritonitis....................................................................................................7
2.3 Anestesia.....................................................................................................21
2.4 General Anestesia OTT...............................................................................23
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien...........................................................................................37
3.2 Anamnesis...................................................................................................37
3.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................39
3.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang.....................................................................43
3.5 Resume.......................................................................................................44
3.6 Penatalaksanaan..........................................................................................45
3.7 Analgetik post op........................................................................................46

BAB IV PEMBAHASAN
4.3 Penatalaksanaan..........................................................................................47

BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan.....................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................54
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan

meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami

pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat,

terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri. Kata anesthesia diperkenalkan oleh Oliver

Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,

karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Pada

prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa

tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental

dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada

pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,

induksi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. 1

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Pernapasan

Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus

memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu

dipasang.3

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernapasan

Respirasi atau pernapasan merupakan pertukaran Oksigen (O2) dan

karbondioksida (CO2) antara sel-sel tubuh serta lingkungan. Semua sel mengambil

2
3

Oksigen yang akan digunakan dalam bereaksi dengan senyawa-senyawa sederhana

dalam mitokondria sel untuk menghasilkan senyawa-senyawa kaya energi, air dan

karbondioksida. Jadi, pernapasan juga dapat di artikan sebagai proses untuk

menghasilkan energi. Pernapasan dibagi menjadi 2 macam, yaitu: 3

1. Pernapasan eksternal (luar) yaitu proses bernapas atau pengambilan Oksigen

dan pengeluaran Karbondioksida serta uap air antara organisme dan

lingkungannya.

2. Pernapasan internal (dalam) atau respirasi sel terjadi di dalam sel yaitu

sitoplasma dan mitokondria. Sistem pernapasan terdiri atas saluran atau organ

yang berhubungan dengan pernapasan. Oksigen dari udara diambil dan

dimasukan ke darah, kemudian di angkut ke jaringan. Karbondioksida (CO2)

di angkut oleh darah dari jaringan tubuh keparu-paru dan dinapaskan ke luar

udara.

2.1.1 Fungsi Sistem Pernapasan

Fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk memungkinkan ambilan oksigen

dari udara kedalam darah dan memungkinkan karbon dioksida terlepas dari dara ke

udara bebas. Meskipun fungsi utama system pernapasan adalah pertukaran oksigen

dan karbon dioksida, masih ada fungsi-fungsi tambahan lain yaitu: 5

1. Tempat menghasilkan suara.

2. Untuk meniup (balon, kopi/the panas, tangan, alat musik dan lain sebagainya)

3. Homeostatis (pH darah)

4. Otot-otot pernapasan membantu kompresi abdomen (miksi,defekasi,partus).

3
4

Pada manusia, pernapasan terjadi melalui alat-alat pernapasan yang terdapat

dalam tubuh atau melalui jalur udara pernapasan untuk menuju sel-sel tubuh. Struktur

organ atau bagian-bagian alat pernapasan pada manusia terdiri atas Rongga hidung,

Farings (Rongga tekak), Larings (kotak suara), Trakea (Batang tenggorok), Bronkus

dan Paru-paru. 3

2.1.2 Alat pernapasan manusia terdiri atas beberapa organ, yaitu:5

1. Rongga Hidung

Hidung adalah bangunan berongga yang terbagi oleh sebuah sekat di tengah

menjadi rongga hidung kiri dan kanan. Hidung meliputi bagian eksternal yang

menonjol dari wajah dan bagian internal berupa rongga hidung sebagai alat

penyalur udara.

Di bagian depan berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung) anterior

dan di belakang berhubungan dengan bagian atas farings (nasofaring). Masing-

masing rongga hidung dibagi menjadi bagian vestibulum, yaitu bagian lebih lebar

tepat di belakang nares anterior, dan bagian respirasi. Permukaan luar hidung

ditutupi oleh kulit yang memiliki ciri adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas ke

dalam vestibulum nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar keringat, dan folikel

rambut yang kaku dan besar. Rambut ini berfungsi menapis benda-benda kasar yang

terdapat dalam udara inspirasi. Terdadapat 3 fungsi rongga hidung yaitu

penyaringan (filtrasi), penghanatan, dan pelembaban, epitelium olfaktori dalam

penerimaan bau, serta berhubungan dengan pembentukan suara fenotik dimana

berfungsi sebagai ruang resonansi.5

4
5

Pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk seperti buah alpukat, terbagi

dua oleh sekat (septum mediana). Dari dinding lateral menonjol tiga lengkungan

tulang yang dilapisi oleh mukosa, yaitu: konka nasalis superior, medius, dan konka

nasalis inferior.

Sinus paranasal adalah rerongga berisi udara yang terdapat dalam tulang-

tulang tengkorak dan berhubungan dengan rongga hidung. Macam-macam sinus

yang ada adalah sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus etmoidalis, dan sinus

sfenoidalis.

2. Faring

Faring udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan

masuk ke dalam laring.Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang

menghubungkannya melalui nares posterior.Udara masuk ke bagian faring ini turun

melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.3

Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan

membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat

ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu

makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup

sewaktu makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga

hidung posterior.5

Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernafasan dan sistem

pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan. Diafragma

5
6

merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus intercostalis

interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya.3

3.Laring

Laring terletak di antara akar lidah dan trakhea.Laring terdiri dari 9 kartilago

melingkari bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol

pergerakannya.Kartilago yang kaku pada dinding laring membentuk suatu lubang

berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami kolaps. Pita suara terletak di

dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran suara yang merupakan

jalannya udara antara faring dan laring.Bagian laring sebelah atas luas, sementara

bagian bawah sempit dan berbentuk silinder.3

Fungsilaring,yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang

selanjutnya mengatur suara.Laring juga menerima udara dari faring diteruskan ke

dalam trakhea dan mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakhea.Ketika

terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan

demikian udara masuk dan keluar melalui laring namun akan menutup pada saat

menelan.3

Epiglotis yang berada di atas glottis selain berfungsi sebagai penutup

laringjuga sangat berperan pada waktu memasang intubasi, karena dapat dijadikan

patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang mengelilingi lubang.3

4.Trakea

Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi Cervikal

6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar pada bagian

6
7

posterior, panjang sekitar 10-15 cm, didukung oleh 16-20 tulang rawan yang

berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi

bronkus kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis. Luas penampang

melintang lebih besar dari glotis, antara 150-300 mm 2. Beberapa tipe reseptor pada

trakea, sensitif terhadap stimulus mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor

regang yang berlokasi pada otot-otot dinding posterior, membantu mengatur rate

dan dalamnya pernafasan, tetapi jugamenimbulkan dilatasi pada bronkus melalui

penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor iritan yang berada

pada seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk dan mengandung

reflek bronkokontriksi.3

2.2. Peritonitis

2.2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ

perut (peritonieum).Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus

organ perut dan dinding perut sebelah dalam.Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau

difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau

aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai

dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering

dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis).Apabila tidak ditemukan

sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagorikan sebagai primary

peritonitis8.

7
8

2.2.2 Etiologi

a. Peritonitis bakteri diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder9.


1. Peritonitis primer adalah infeksi bakteri difus tanpa kehilangan
integritas saluran pencernaan. Ini jarang terjadi, tetapi terjadi pada
remaja wanita dan Streptococcus pneumoniae biasanya adalah
organisme penyebabnya.
2. Peritonitis sekunder adalah infeksi peritoneum akut akibat kehilangan
integritas saluran pencernaan atau nekrosis pankreas yang terinfeksi.
Aerob dan anaerob sering terlibat, paling banyak yang umum adalah
Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.

 Invasi bakteri - bakteri dapat menyerang rongga peritoneum melalui


empat jalur.
1. Invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya penetrasi luka
abdomen, infeksi pada laparotomi).
2. Translokasi dari viscera intra-abdominal yang rusak (misalnya
perforasi viskus (misalnya ulkus duodenum berlubang), gangren
viskus (misalnya apendisitis), trauma, iatrogenik (misalnya
kebocoran anastomosis)).
3. Melalui sirkulasi dan / atau translokasi usus: peritonitis primer
dapat terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (misalnya peritonitis
streptokokus β-hemolitik primer pada anak-anak dan pasien pasca
splenektomi, peritonitis bakterial spontan pada pasien dengan gagal
hati dan asites).
4. Melalui saluran genital wanita (mis. Ekstensi langsung dari
lingkungan luar, peritonitis pneumokokus primer, salpingitis akut,
perforasi uterus oleh alat kontrasepsi).

8
9

b. Peritonitis kimia (aseptik) menyumbang sekitar 20% dari semua kasus


peritonitis di Inggris, dan biasanya sekunder akibat perforasi ulkus
duodenum atau lambung. Peritonitis steril akan berlanjut ke peritonitis
bakteri dalam beberapa jam setelah transmigrasi mikroorganisme
(misalnya dari usus).
c. Peritonitis bilier adalah bentuk peritonitis steril yang relatif jarang dan
dapat dihasilkan dari sejumlah penyebab:
1. iatrogenik (misal, selip ligatur duktus kistik mengikuti
kolesistektomi)
2. kolesistitis akut
3. trauma
4. idiopatik.
d. Bentuk lain peritonitis steril: ada empat bentuk.
1. Jus pankreas - misalnya karena pankreatitis akut, trauma.
Pankreatitis dapat menjadi penyebab diagnostik (tetapi tidak perlu)
laparotomi pada pasien yang tidak menunjukkan peningkatan
konsentrasi amilase dalam serum.
2. Darah - misalnya kista ovarium yang pecah, bocornya aneurisma
aorta.
3. Urin - misalnya pecahnya kandung kemih intraperitoneal.
4. Meconium adalah campuran steril sel epitel, musin, garam, lemak
dan empedu yang terbentuk ketika janin mulai menelan cairan
ketuban. Peritonitis mekonium berkembang pada kehidupan
intrauterin atau dalam periode perinatal ketika meconium memasuki
rongga peritoneal melalui perforasi usus. Perforasi adalah bentuk
sekunder dari beberapa bentuk obstruksi usus neonatal di > 50%
kasus di Inggris.

9
10

e. Peritonitis tuberkulosis jarang terjadi, tetapi mungkin masih demikian


ditemui pada imigran atau pasien immunocompromised. Penyebaran ke
peritoneum terjadi:
1. langsung dari kelenjar getah bening mesenterika, regio ileocaecal
atau pyosalpinx tuberkulosis
2. melalui infeksi yang ditularkan melalui darah yang berasal dari TBC
paru.  
Presentasi mungkin akut (onsetnya menyerupai peritonitis bakteri) atau
kronis (awitan lebih berbahaya, dengan sakit perut, demam, kehilangan
berat badan, asites, keringat malam, massa perut). Secara makroskopik,
ada empat bentuk penyakit: asites, kista, plastik atau purulen. Pengobatan
didasarkan pada anti-TB kemoterapi, dalam hubungannya dengan
laparotomi (jika diindikasikan) untuk komplikasi intra-abdominal.
f. Peritonitis klamidia: dapat terjadi sindrom Fitz-Hugh-Curtis mengikuti
penyakit radang panggul dan ditandai dengan nyeri hipokondria kanan,
pireksia, dan pergeseran hati.
g. Obat-obatan dan benda asing: penggunaan isoniazid, practolol
(sekarang ditarik dari penggunaan di Inggris), dan kemoterapi
intraperitoneal telah dikaitkan dengan gejala klinis yang mirip dengan
akut peritonitis. Talek dan pati dapat merangsang pengembangan benda
asing granulomata jika dimasukkan ke dalam rongga peritoneal (misalnya
melalui sarung tangan bedah).
h. Penyebab lain termasuk toksisitas timbal, hiperlipidemia, porifiria
intermiten akut, infeksi amuba dan demam Mediterania familial.

2.2.3 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara

10
11

perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan

sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila

infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang

kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus10.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan

membran mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara

cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai

mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari

kegagalan banyak organ.Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi

dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga

ikut menumpuk.Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini

segera gagal begitu terjadi hypovolemia10.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah

kapiler organ-organ tersebutmeninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga

peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra

peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitonealmenyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan

adanya kenaikan suhu,masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya

cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan

11
12

tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan

menimbulkan penurunan perfusi10.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan

peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.

Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang

sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan

dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk

antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu

pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus10.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat

menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka

terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi

hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang

tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial,

pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga

terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan

akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga

abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis10.

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum

yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat

peritonitis generalisata.Perforasi lambung dan duodenum bagian depan

12
13

menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini

tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.Nyeri ini timbul mendadak

terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh

asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.Kemudian menyebar

keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum

ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya

nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa pengenceran zat

asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk

sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria10.

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan

lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur

karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang

diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin

banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat

aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi

mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran

arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan

nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi

dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general10.

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma

tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila

13
14

mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang

timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang

bersifat kimiasampai dengan kolon yang berisi feses.Rangsangan kimia

onsetnya paling cepat dan feses paling lambat.Bila perforasi terjadi dibagian

atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera

sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila

bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena

mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah

24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum10.

2.2.4 Klasifikasi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk10:


a. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang
langsung dari rongga peritoneum.Penyebab paling sering dari peritonitis
primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit
hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan
ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
b. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi
appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi
kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker
serta strangulasi usus halus.
c. Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman,
dan akibat tindakan operasi sebelumnya

14
15

2.2.5 Manifestasi Klinis

a. Keluhan

 Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus menerus selama

beberapa jam, dapat hanya di suatu tempat ataupun tersebat di

seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat penderita

bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.

 Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan

naik dan terjadi takikardi, hipotensi dan penderita tampak latergi

dan syok.

 Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ

viseral atau akibat iritasi peritoneum.

 Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen

yang dapat mendorong diafragma11.

b. Pemeriksaan Fisik
 Pasien tampak latergi dan kesakitan
 Dapat ditemukan demam
 Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas tekan
abdomen
 Defans muskular
 Hipertimpani pada perkusi abdomen
 Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma
 Bising usus menurun atau menghilang

15
16

 Rigiditas andomen atau sering disebut perut papan


 Pada colok dubur akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus
muskulus sfingter ani menurun dan ampula rekti berisi udara11.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium
 Hitung darah lengkap akan menunjukkan leukositosis.
 Urea dan elektrolit akan mengkonfirmasi dehidrasi dan gagal ginjal
akut; hasilnya digunakan untuk memandu penggantian cairan dan
elektrolit.
 Tes fungsi hati dan serum amilase - konsentrasi tinggi amilase
dalam serum mendiagnostik pankreatitis akut, tetapi konsentrasi yang
cukup tinggi dapat disebabkan oleh katastropi intraabdominal
(misalnya ulkus duodenum perforasi).
 Gas darah arteri sering mencerminkan asidosis metabolik didahului
oleh tekanan karbon dioksida arteri yang rendah yang disebabkan
oleh hiperventilasi9.

b. Radiologi
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu
adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas
line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra
peritoneal12.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak
jelas pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada
pemeriksaan USG.
Sedangkan gambaran radiologis peritonitis karena perforasi
dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada

16
17

dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu


atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:
1. Posisi tidur, didapatkan preperitoneal fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen (ground glass
apparance)
2. Posisi duduk atau berdiri, di dapatkan free air subdiafragma
berbentuk bulan sabit ( semilunar shadow)
3. LLD (left lateral decubitus) akan menunjukkan gambaran
pneumoperitoneum dan sebagai alternatif jka penderita tidak
mampu untuk duduk.
2.2.7 Komplikasi

 Syok septik - pasien memerlukan perawatan di ICU.


 Abses intraabdominal / sepsis abdomen persisten - adanya tanda-
tanda sepsis yang sedang berlangsung (misalnya pireksia,
meningkatnya jumlah sel darah putih), investigasi harus termasuk CT-
scan dengan kontras luminal(terutama jika anastomosis in situ).
Laparotomi ulangdiperlukan jika terdiagnosis dengan peritonitis
generalisata. Drainase perkutaneus dengan antibiotik tebakan terbaik
adalah pengobatan pilihan teridetifikasi jika kumpulan
terlokalisirteridentifikasi. Terapi antibiotik harus disesuaikan sebagai
tanggapan terhadap umpan balik dari kultur yang diambil diwaktu
drainase. Sepsis perut membawa kematian sekitar30–60%. Hasilnya
seringkali buruk setelah masuk ke ICU.
Faktor-faktor yang terkait dengan kematian meliputi:
• Usia
•Skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation)
• Syok septik
• Kesehatan penyakit kronis

17
18

• Jenis kelamin perempuan


• Sepsis yang berasal dari saluran cerna bagian atas
• Kegagalan untuk membersihkan sumber sepsis.
 Adhesi dapat menyebabkan obstruksi usus atau volvulus12.

2.2.8 Penatalaksanaan

a. Konservatif
Perawatan medis diindikasikan jika:
1. Infeksi telah terlokalisasi (misalnya massa apendiks)
2. Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (misalnya
pankreatitis akut)
3. Pasien tidak cocok untuk anestesi umum (mis. Lansia, pasien dengan
komorbiditas berat)
4. Fasilitas medis tidak dapat mendukung pengelolaan operasi yang
aman

Prinsip utama dari perawatan medis adalah hidrasi cairan(iv) dan


antibiotik spektrum luas. Perawatan suportif harustermasuk pemberian
makan enteral dini (lebih disukainutrisi total parenteral) untuk pasien
dengan sepsis perut kompleks di ICU.
Tatalaksana segera :
1. Oksigen aliran tinggi sangat penting untuk semua pasien yang
mengalami syok. Hipoksiadapat dipantau dengan oksimetri nadi atau
pengukurangas darah arteri.
2. Resusitasi cairan awalnya dengan kristaloid (iv), volumetergantung
pada tingkat syok dan dehidrasi. Penggantian elektrolit (terutama
kalium) mungkin diperlukan. Pasien harus dikateterisasi untuk

18
19

memantau pengeluaran urin tiap jam. Pemantauan tekanan vena


sentral danpenggunaan inotrop mungkin baik pada sepsis berat atau
pada pasiendengan komorbiditas.
3. Analgesia - analgesia opiat (iv) dan anti-emetic yang sesuai akan
diperlukan.
4. Antibiotik harus berspektrum luas, mencakup aerobik dananaerob,
dan diberikan secara intravena. Sefalosforin generasi ketigadan
metronidazole adalah strategi utama yang umum digunakan.
Untukpasien yang mendapatkan peritonitis di rumah sakit (misalnya
kelemahan anastomosis) atau yang membutuhkan perawatan intensif,
disarankan menggunakan terapi lini kedua yaitu meropenem atau
kombinasi piperasilin dan tazobactam. Terapi antijamur juga harus
dipertimbangkan untuk mencakup kemungkinan spesies Candida .
Penggunaan antibiotik secara dini dan tepat adalah kunci untuk
mengurangi mortalitas pada pasien dengan syok septik yang terkait
dengan peritonitis.
5. Nasogastric tube dan aspirasi meringankan muntah dandistensi
perut dan mengurangi risiko aspirasipneumonia9.

b. Definitif
1. Laparotomi biasanya dilakukan melalui insisi garis tengah bagian
atas atau bawah(tergantung pada lokasi patologi yang dicurigai).
Tujuannya adalah untuk:
 Menetapkan penyebab peritonitis
 Mengontrol asal sepsis dengan mengangkat organ yang
meradang atau iskemik (atau penutupan viskus yang berlubang)
 Melakukan lavage /toilet peritoneal yang efektif.

19
20

  Kontrol dari sumber utama sepsis sangat penting. Namun,ada


kecenderungan melakukan anastomosis primer pada pasien dengan
peritonitis (asalkan hemodinamik mereka stabil dan tidak memiliki
faktor risiko signifikan lainnya). Adasedikit bukti manfaat klinis
untuk irigasi peritoneum, mungkinkarena resistensi koloni mikroba
peritoneum terhadap lavage,atau kerusakan yang terjadi secara
bersamaan pada sel mesothelial. Daripadairigasi yang kuat dari
rongga peritoneum, menghilangkan debris, material faekal atau
purulen mungkin cukup. Penutupan mass abdomen dilakukan
menggunakan jahitan monofilamen yang interuptus atau kontinu.
Antibiotik dilanjutkan selama lima hari pasca operasi padakasus
peritonitis generalisata atau kompleks.
Laparotomi ulang memiliki peran penting dalam
perawatanpasien dengan peritonitis sekunder yang berat, setelah
laparotomi primer, memiliki fitur sepsis yang sedang berlangsung
atau memburuk. Operasi kembali dapat dilakukan 'sesuai
permintaan', atau dalam bentuk yang lebih agresif yaitu strategi
'terencana' secara berkala. Relaparotomi yang direncanakansering
melibatkan peninggalan dinding perut terbuka dengan selembarmesh
sintetis in situ untuk mencegah pengeluaran isi. Modifikasi
'manajemen terbuka primer', dan pendekatan semi-terbuka seperti
'perbaikan abdomen bertahap'. Namun, penelitian terbaru
menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup di rumah sakit
dan jangka panjang lebih tinggipada pasien yang dikelola dengan
relaparotomi sesuai permintaan dibandingkan padamereka yang
memiliki penyakit dengan tingkat keparahan sebanding yang diobati
dengan relaparotomi yang direncanakan9.
Menggabungkan data klinis dengan gambar CT-scan adalah
kunci untuk seleksi pasien yang tepat waktu dan yang

20
21

tepatmembutuhkan relaparotomi berdasarkan permintaan. Namun,


harus selalu diingat bahwa banyak pasien sepsis tidak memerlukan
relaparotomi tetapi mungkin hanya membutuhkan periode ventilasi
mekanik yang lama, antimikroba dan bantuan organ. Memperoleh
efektifitas kontrol sepsis pada operasi pertama sangat penting
karenasetiap operasi berikutnya akan bertemu dengan peningkatan
risiko morbiditas dan mortalitas.
2. Laparoskopi - risiko teoritis hiperkapnea ganasdan syok septik
sekunder untuk penyerapan karbon dioksidadan endotoksin melalui
peritoneum yang meradang belumterbukti. Sebaliknya, laparoskopi
telah terbukti efektif dalam pengelolaan apendisitis akut dan ulkus
duodenum berlubang. Bisadigunakan dalam kasus perforasi kolon,
tetapi tingkat konversi menjadilaparotomi lebih tinggi. Syok atau
ileus mayor adalah kontraindikasiuntuk laparoskopi9.
2.2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain
tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.
Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau
apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi
bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal12.

2.3 Anestesi

Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Pada prinsipnya dalam

penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus

21
22

dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien,

perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.

Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, induksi dan

pemeliharaan.Dengan anestesi akan diperoleh trias anestesia, yaitu:1,5

a. Hipnotik (tidur)

b. Analgesia (bebas dari nyeri)

c. Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)

2.3.1 Jenis Anestesi

1. Anestesia Umum : suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang

diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat

anestesia. Teknik anestesia umum terdiri dari:

a. Anestesia umum intravena : merupakan salah satu teknik anestesia umum

yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesia parenteral

langsung dalam pembuluh darah vena.

b. Anestesia umum inhalasi : merupakan salah satu teknik anestesia umum

yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesia

inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui

alat atau mesin anestesia langsung ke udara inspirasi. Berbagai teknik

anestesia umum inhalasi, yaitu:

 Inhalasi dengan Respirasi Spontan:

 Sungkup wajah

22
23

 Intubasi endotrakeal

 Laryngeal mask airway (LMA)

 Inhalasi dengan Respirasi kendali

 Intubasi endotrakeal

 Laryngeal mask airway

c. Anestesia imbang : merupakan teknik anestesia dengan mempergunakan

kombinasi obat-obatan baik obat anestesia intravena maupun obat

anestesia inhalasi atau kombinasi teknik anestesia umum dengan analgesia

regional untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan berimbang.

2. Anestesia Lokal : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat

anestesia lokal pada daerah atau disekitar lokasi pembedahan yang

menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.

3. Anestesia Regional : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan

obat anestesia lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu,

yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat

temporer.10,11

2.3.2 General Anestesi OTT

Intubasi orotrakeal ialah memasukkan pipa pernafasan yang terbuat dari portex

ke dalam trakea guna membantu pernafasan penderita atau waktu memberikan

anestesi secara inhalasi.1,5

23
24

OTT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea

dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan OTT

dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter

tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.3,4

Gambar 5. Pipa Orotrakea

 Pipa Orotrakea

Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan

biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang

pipa trakea dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan

dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah

usia 5 tahun hampir bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi

dan anak kecil digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan

cuff supaya tidak bocor. 1,5

Ukuran pipa trakea dapat dihitung menggunakan rumus 4+ N (usia) : 4.

Sering ukuran pipa trakea yang digunakan pada wanita dewasa diameter

internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal

7.5-9 mm dengan panjang 24cm.1,5

24
25

Gambar 6. Tabel Ukuran Pipa OTT

 Laringoskop

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop

ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita

dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar

dikenal dua macam laringoskop:1,5

1. Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)

2. Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

25
26

Gambar 7. Laringoskop

2.3.3 Indikasi Pemasangan OTT

Pemilihan pemasangan OTT dalam bidang anestesi berdasarkan indikasi

berikut, antara lain:1,5

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan tenggorokan

5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang

tenang dan tak ada ketegangan

6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol

7. Untuk mencegah kontaminasi trakea

26
27

8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal

dengan pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster

9. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord.1,5

2.3.4 Kontraindikasi Pemasangan OTT

Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian edema

jalan napas bagian atas yang buruk atau fraktur dari wajah dan leher dapat

menjadi kontraindikasi.1

2.3.5 Prosedur pemasangan OTT

Sebelum memulai induksi 27tropine27n, selayaknya disiapkan

peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi

keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk

persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:1,5

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan

jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade)

yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup

terang.

T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa

balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau

pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini

untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk

menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

27
28

T: Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong

atau tercabut.

I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)

yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa

trakea mudah dimasukkan.

C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan 28tropine28n

S : Suction Penyedot 28tropi, ludah danlain-lainnya.

Pemasangan pipa trakea dalam 28tropine28n inhalasi dengan

menggunakan obat pelimpuh otot non depolarisasi, selanjutnya dilakukan

nafas kendali. Adapun prosedur dalam tatalaksana tindakan sebagai

berikut:13

1. Pasien telah dipersiapkan sesuai pedoman dan pemberian premedikasi

(Midazolam 0.01-0.1 mg/KgBB, Ketorolac 0.5 mg/KgBB, Sulfas

Atropin 0.005 mg/KgBB, Ondancentron 4 mg dan Ranitidine 25 mg)

2. Posisikan pasien dengan baik dan nyaman

3. Pasang alat pantau yang diperlukan

4. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi

5. Siapkan mesin 28tropine28n dengan 28tropi sirkuitnya dan gas

28tropine28n yang dipergunakan

6. Induksi pasien dengan menggunakan fentanyl 1-2 mcg/KgBB dan

propofol 2-2.5 mg/KgBB atau hipnotik jenis lain

28
29

7. Berikan obat pelumpuh otot non depolarisasi seperti atracurium 0.5-

0.5 mg/KgBB lalu tunggu 3 menit

8. Berikan napas bantuan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%

menggunakan fasilitas mesin 29tropine29n sampai fasikulasi hilang

dan otot rahang relaksasi

9. Lalu pasang laringoskop sesuai ukuran dan pasang OTT sesuai ukuran

yang dibutuhkan

10. Fiksasi OTT dan hubungkan dengan sirkuit mesin anesthesia

11. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi N2O : O2 : Sevofluran =

2L : 2L + 2%

12. Kendalikan napas pasien secara manual atau mekanik dengan volume

dan frekuensi napas disesuaikan dengan kebutuhan pasien

13. Pantau tanda vital secara kontinyu dan ketat

14. Apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas atau obat

29tropine29n inhalasi dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit)

selama 2-5 menit.

15. Berikan 29tropine29ne dan 29tropine (jika diperlukan)

16. Ekstubasi pipa trakea dilakukan apabila pasien sudah bernapas spontan

dan adekuat serta jalan napas (mulut, hidung, dan pipa endotrakea)

sudah bersih, jika belum bersih lakukan suction.

29
30

Gambar 8. Teknik Pemasangan Laringoskop

Gambar 9. Teknik Pemasangan OTT

2.3.6 Ekstubasi

Mengeluarkan pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai

batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia

sianosis.1,5

30
31

Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakeal. Ekstubasi

dilakukan pada saat yang tepat bagi pasien untuk menghindari terjadinya

reintubasi dan komplikasi lain. Tindakan ekstubasi harus dikerjakan ketika

kesadaran pasien belum pulih atau setelah kesadaran pasien pulih. Tidak boleh

dilakukan dalam keadaan setengah sadar karena bisa menyakiti pasien. Adapun

kriteria dilakukan ekstubasi yaitu: 1,5

1. Kesadaran yang adekuat untuk mempertahankan reflex protektif jalan

napas dan reflex batuk untuk mempertahankan jalan napas.

2. Cadangan paru yang adekuat seperti: laju paru <30 kali/menit, FVC

>15 ml/ka, PaO2/FiO2 >200.

3. Pada pasien pasca pembedahan jalan nafas atas atau edema jalan nafas

atas. Edema jalan nafas telah minimal atau ditandai dengan adanya

kebocoran udara yang adekuat setelah cuff pipa endotrakeal

dikosongkan.

4. Pasien bedah plastik atau THT bila memungkinkan dibicarakan

terlebih dahulu dengan dokter bedah plastik atau THT sebelum

ekstubasi.

5. Pasien-pasien khusus seperti pasien PPOK, pasien dengan kesadaran

yang tidak baik membutuhkan diskusi dengan konsultan yang bertugas

untuk melakukan ekstubasi.1,5

2.3.7 Kesulitan tindakan pemasangan OTT

31
32

Dalam tindakan pemasangan OTT, ada beberapa hal yang dapat

mempengaruhi keberhasilan tindakan, yaitu:1

1. Leher yang pendek

2. Kesulitan membuka mulut

3. Uvula tidak terlihat (malapati 3 dan 4)

4. Abnormalitas pada daerah servikal

5. Kontraktur jaringan leher

2.3.8 Komplikasi Pemasangan OTT

Adapun komplikasi dari tindakan pemasangan OTT yang tidak

diinginkan seperti:13

1. Memar & oedem laring

2. Strech injury

3. Non specific granuloma larynx

4. Stenosis trakea

5. Trauma gigi geligi

6. Laserasi bibir, gusi dan laring

7. Aspirasi

8. Spasme bronkus

2.3.9 Kesulitan Intubasi

Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-

18%.Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,

terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu

32
33

kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi. Apabila anestetis

dapat memprediksi pasien yang kemungkinan sulit untuk diintubasi, hal ini

mungkin dapat mengurangi resiko anestesi yang lebih besar.Salah satu

klasifikasi yang luas digunakan adalah klasifikasi oleh Cormack-Lehane yang

menggambarkan laring bila dilihat dengan laringoskopi.

 Klasifikasi Cromack

Gambar 10. Klasifikasi Cromack dilihat dengan laringoskopi

i. Pita suara terlihat

ii. Pita suara terlihat sebagian

iii. Hanya terlihat epiglottis

iv. Epiglotis tidak terlihat

 LEMON Score

Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US

mencanangkan metode LEMON.Sistem penilaian ini meliputisebagian

besar karakteristik yang disebutkan sebelumnya dan diadaptasi untuk

digunakan pada ruang resusitasi.

L= Look externally

33
34

Lihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui penyebab

kesulitan laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya dilihat

adalah bentuk wajah abnormal (subjektif), gigi seri yang

lebar/menonjol, gigi palsu (sulit dinilai)

E= Evaluate the 3-3-2 rule

Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan intubasi.

Jarak antara gigi seri pasien sekurangnya 3 jari (3), jarak antara tulang

hyoid dan dagu sekurangnya 3 jari (3), dan jarak antara thyroid notch

dan dasar mulut sekurangnya 2 jari (2).

Gambar 11 jarak antar gigi seri dalam jari, 2 jarak hyoidmental dalam

jari, dan 3 jarak thyroid ke dasar mulut dalam jari.

M= Mallampati

34
35

Gambar. 2.10 Gambar Klasifikasi Mallampati


O= Obstruction

Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas

yang membuat sulitnya laringoskopi dan ventilasi.Selain keadaan

epiglotis, adanya abses peritonsiler dan trauma.

N = Neck mobility

Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi.Hal ini dapat

dinilai mudah dengan menyuruh pasien menundukkan kepala dan kemudian

menengadahkannya. Pasien dengan imobilisasi leher lebih sulit diintubasi

35
36

Cara penilaian LEMON dapat dilihat dalam tabel berikut, dengan nilai

maksimal 10 (1 point ditambahkan bila nilai Mallampati 3 atau lebih) dan minimal

adalah nol.

36
37

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Ny RK

Umur : 10 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Berat Badan : 50 kg

Alamat : Kintamani

Agama : Hindu

Diagnosis pre operasi : Peritonitis et causa Appendisitis akut perforasi

Jenis pembedahan : Laparatomi

Jenis anestesi : General Anestesi OTT

Tanggal masuk : 7 Oktober 2020

Tanggal operasi : 8 Oktober 2020

No.RekamMedis 123456

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke UGD RSU Bangli pada tanggal 7 Oktober 2020 dalam

keadaan sadar dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan nyeri perut kanan

bawah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-

tusuk dan hilang timbul, bertambah saat membungkuk, duduk, berjalan dan

37
38

berkurang saat berbaring. Nyeri perut dirasakan menjalar keseluruh bagian perut

yang lain. Selain itu pasien juga mengeluh demam sejak 3 hari yang lalu

bersamaan dengan munculnya nyeri perut, demam dirasakan tak kunjung turun,

berkeringat, tanpa disertai kejang dan tidak menggigil. Awalnya, sebelum nyeri

perut kanan bawah muncul, pasien mengeluh nyeri di bagian ulu hati disertai

dengan keluhan mual dan muntah sebanyak 3 kali yang berisikan makanan

sehingga membuat nafsu makannya menurun. Buang air besar, BAK, dan kentut

tidak ada keluhan. Keluhan perut melilit dan mencret sebelumnya disangkal.

Sebelum datang ke RSU Bangli, pasien berobat ke RS Swasta dan dirujuk

dengan diagnosa suspek peritonitis, pasien diberi obat tapi tidak kunjung

membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum pernah merasakan sakit seperti ini sebelumnya.

- RiwayatOperasi (-)

- RiwayatPenggunaanzatanestesi (-)

- RiwayatHipertensi (-)

- RiwayatAsma (-)

- RiwayatAlergiobatdanmakanan (-)

- Riwayat Diabetes mellitus (-)

- Riwayat TB paru (-)

- RiwayatSakitJantung (-)

38
39

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga menyangkal memiliki penyakit dan keluhan yang sama dengan pasien.

- RiwayatHipertensi : (-)

- RiwayatAsma (-)

- RiwayatAlergiobatdanmakanan (-)

- Riwayat Diabetes mellitus (-)

- Riwayat TB Paru (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Berat Badan : 50 kg
Tanda – tanda vital :
1. Tekanan Darah : 100/60 mmHg
2. Nadi : 100 x/menit
3. Respirasi : 20 x/menit
4. Suhu : 39,3oC
5. NRS : 6

B1 (Brain) : E4 V5 M6
Kepala : Normocephal
Mata :Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, kedua pupil
isokor.
B2 (Breath) :
Inspeksi : Bentuk simetris, gerak pernafasan statis dan
dinamis simetris, retraksi sela iga (-).

39
40

Palpasi : Fremitus vocal dan taktil simetris kanan dan kiri,


tidak teraba massa, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-.
B3 (Blood) :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba sela iga kelima
linea midklavikuka sinistra
Perkusi :Batas jantung kiri sela iga V linemidklavikula
sinistra, Batas jantung kanan sela iga V linea parasternal dextra,
Batas pinggang jantung sela iga II linea parastelnal
sinistra.
Auskultasi :Bunyi jantung I – II reguler, tidak ditemukangallop
maupun murmur.
B4 (Blader) : Urine Spontan
B5 (Bowel) :
Inspeksi : Perut simetris kanan dan kiri, kembung, tidak ada ditemukan
sikatrik dan massa.
Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit menurun.
Palpasi : Nyeri tekan (+) Mc Burney. Nyeri lepas (+), Turgor kulit
baik, hepar tidak teraba membesar.
Perkusi : Terdengar timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok
pada Mc Burney (+)
B6 (Bone) : Akral hangat, edema (-), fraktur (-), kelainan tulang
belakang (-)

40
41

b. Status Lokalis

Regio Abdomen

Inspeksi :Distensi (-), Darm countour (-)

Auskultasi : Peristaltik usus (+) 8x/menit menurun

Palpasi : Nyeri tekan (+) pada titik Mc Burney, Nyeri lepas (+), Defans

Muskular (-)

Perkusi :Terdengar timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok pada

Mc Burney (+)

Skor Alvarado

Migration of pain : 0

Anorexia : 1

Nause and vomiting : 1

Tenderness in RLQ : 2

Rebound pain : 0

Elevated temperature : 1

Leukositosis : 2

Shift to the left : 1

Total :8

41
42

Skor LEMON

Look External :

 Trauma Wajah : (-)

 Lebar jarak gigi seri dan bawah normal

 Lidah lebar : (-)

 Leher pendek : (-)

Evaluated 3-3-2 rule :

 Jarak gigi seri atas dan bawah 3 jari

 Jarak hyoid mental 3 jari

 Jarak hyoid thyroid 2 jari

Mallampati :

 Skor 1

Obstruction :

 Trauma : (-)

 Peritonsilar abses : (-)

Neck :

 Mobilitas leher bebas

42
43

3.4 Pemeriksaan Penunjang

c. Laboratorium (19 November 2019)

Darah Lengkap

WBC : 17,3

RBC : 4,85

HGB : 13,7

HCT : 40,6

PLT : 306

BT : 2’00”

CT : 8’30”

d. USG Abdomen

43
44

Kesan :

 Menyokong gambaran appendicitis akut

 Saat ini Hepar/GB/Lien/Ginjal kanan kiri/Buli tak tampak kelainan

3.5 Resume

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,

maka didapatkan:

Diagnosis pre operatif : Peritonitis e.c. Appendisitis perforasi

Diagnosis Anestesi : Status Fisik ASA II Emergency

Jenis operasi : Laparatomi

Jenis anestesi : General Anastesi OTT dengan napas kendali

3.6 Persiapan Praanastesi


a. Persiapan psikis :
- KIE sesuai Surat Izin Operasi (SIO)
- Berdoa
b. Persiapan fisik
- Puasa minimal 8 jam pre operasi untuk makanan padat, makanan lunak
minimal 6 jam, air putih minimal 2 jam pre operasi
- Mandi bersih
- Tidak menggunakan perhiasan berbahan logam
- Infus sudah terpasang di ruangan

44
45

3.6 Penatalaksanaan

Pada pasien dengan status fisik ASA IIEmergency dilakukan tindakan

anestesi dan diberikan terapi anestesi yaitu :

a. Pramedikasi :

Sedative : Midazolam 0,05-0,1 mg/kgBB 2,5 mg (IV)

Analgetik : Paracetamol 10-15 mg/kgBB 750 mg (IV)

Antiemetik : Ondancentron 0,05-0,1 mg/kgBB 4 mg

(IV)

b. Induksi :

Fentanyl 1-2 µg/kgBB  100 µg (IV)

Propofol 2-2,5mg/kgBB  100 mg (IV)

Atrakurium 0,5-0,6mg/KgBB  25 mg (IV)

c. Intubasi : Laringoskop blade no

2 Endotracheal Tube ukuran 6

d. Maintenence : N2O : O2 : Sevofluran : 3L : 2L : 2 vol%

e. Pemantauan Selama Anestesi

Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu

reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi

pernapasan dan jantung.

Kardiovaskular : Nadi dan tekanan darah setiap 5 menit.

Respirasi : Inspeksi pernapasan & saturasi

oksigen
45
46

Cairan : Monitoring input cairan

46
47

 Terapi Cairan

Berat Badan : 50 kg

 Maintenance (M): BB x kebutuhan cairan per jam

4 :10kg x 4/kgBB/jam = 40 cc/jam

2 :10kg x 2/kgBB/jam = 20 cc/jam

1 :30kg x 1/kgBB/jam = 30 cc/jam

 40cc/jam + 20cc/jam + 30cc/jam = 90cc/jam  30 tpm

 Kebutuhan cairan durante operasi

- Stress Operasi : BB x Jenis Operasi (besar)

= 50 kg x 6 cc/kg

= 300 cc

- Total kebutuhan cairan durante operasi :

Jam Pertama :50% PP + M + SO

= 0% + 90cc/jam + 300cc/jam

= 390 cc/jam  130 tpm

3.7. Analgetik Post Op

Fentanyl 25 mcg/jam menggunakan syringe pump

Paracetamol 3x 250 mg

Monitoring Post Op :

- Tanda-tanda vital

- Cairan masuk dan cairan keluar

47
48

BAB IV

PEMBAHASAN

1.1.Pembahasan

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik

akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

Pasien, NMRK, perempuan 10 tahun datang ke ruang operasi untuk

menjalani operasi laparotomi pada tanggal 20 November 2019 dengan diagnosis

pre operatif Peritonitis et causa appendisitis perforasi. Persiapan operasi

dilakukan pada tanggal 19 November 2019. Dari anamnesis terdapat keluhan

nyeri perut kanan bawah semenjak tiga hari yang lalu sebelum MRS, nyeri

dirasakan terus menerus seperti tertusuk, nyeri dirasa membaik apabila istiahat.

Dokter menganjurkan untuk dilakukan operasi laparotomi. Pemeriksaan fisik dari

tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg; nadi 100x/menit; respirasi

20x/menit; suhu 39,3OC, skor Alvarado 8. Dari pemeriksaan laboratorium yang

dilakukan tanggal 19 November 2019 dengan hasil: peningkatan leukosit dan

granulosit dan urin lengkap dalam batas normal. Dari hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk

dalam ASA II Emergency.

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa

untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah

pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat

48
49

anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama

anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi.

Pemilihan teknik anestesi umum dengan pemasangan OTT pada pasien ini

dengan rencana laparatomi. Alasan pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan

indikasi sebagai berikut:

 Posisi pasien saat operasi adalah terlentang

 Durasi operasinya lama dan factor resiko lebih rendah

 Tindakan operasi dilakukan yaitu laparatomi dengan manipulasi sedang dan

membutuhkan waktu yang relatif lumayan lama

 Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui bahwa keadaan pasien baik

 Lambung dalam keadaan kosong

 Tidak adanya manipulasi kepala

Operasi laparatomi dilakukan pada tanggal 20 November 2019. Pasien

masuk keruang OK pada pukul 10.00 WITA dilakukan pemasangan monitoring

tekanan darah, nadi, saturasi O2 dengan hasil TD 110/70 mmHg; Nadi

88x/menit,SpO2 99% dan pemeriksaan suhu aksila didapatkan 37,3 derajat

celcius.

Persiapan Pra Anestesi

Pemeriksaan Pra Anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain:

1. KIE pasien dan keluarga dan menjelaskan tentan pembiusan yan menyebabkan

pasien ketika diruang operasi nanti akan tertidur dan tidak sadarkan diri.

49
50

2. Puasa minimal 8 jam Pre Op untuk makanan padat, makanan lunak minimal 6 jam,

air putih minimal 2 jam Pre Op.

3. Mandi bersih dan tidak menggunakan perhiasan, make up dan aksesoris.

Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut:

Premedikasi

 Sedatif :

Midazolam injeksi 2,5 mg (IV)

Konsentrasi 5mg/5ml dalam 1 ampul 5ml, dosis 0,05-0,1 mg/kgBB

Midazolam sebagai obat golongan sedative yang merupakan obat anti cemas

dengan tujuan memberikan suasana nyaman, bebas dari rasa cemas dan takut,

mempunyai efek sedasi yang bekerja pada sistem limbik dan pada ARAS

(Acending Reticular Activating System). ARAS yang merupakan pusat kesadaran

dan “system limbik” yang merupakan pusat emosi, perilaku dan dorongan. Onset

1,5 sampai 2,5 menit. Durasi 2 sampai 6 jam.

 Antiemetik :

Ondancentron injeksi 4 mg (IV)

Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB

Ondansentron, sebagai anti emetic, suatu antagonis selektif 5-HT3,

menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral dan perifer.

Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang rangsang muntah di

chemoreceptor trigger zone. Mekanisme perifer dengan menurunkan kepekaan

50
51

saraf vagus terminalis di visceral yang menghantar impuls eferen dari saluran

cerna ke pusat muntah.Onset 30 menit, dengan durasi 3 jam.

 Analgesik :

Paracetamol drip 750mg (IV)

Konsentrasi 1000 mg/100 ml.Parasetamol merupakan penghambat biosintesis

prostaglandin (PG) yang lemah. Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui

penghambatan siklooksigenase. Parasetamol menghambat siklooksigenase

sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat

menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol menghambat

siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan

Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan

panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.

Induksi

 Fentanyl injeksi 100 mcg (IV)

Konsentrasi 0,05 mg/ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 12mcg/kgBB

Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama

bekerja sentral pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan

meningkatnya ambang batas nyeri, mengurangi persepsi nyeri

menghambat serabut saraf nyeri ascending, menyebabkan depresi nafas

dan sedasi.Pada dosis lazim kesadaran pasien menurun dan khasiat

51
52

analgetiknya yang kuat.Onset 1 – 2 menit dengan durasi 30 – 60 menit.

Dosis 1 – 2 mcg/kgBB IV

 Propofol injeksi 100mg (IV)

Konsentrasi 10 mg/ml dalam 1 ampul berisi 20 ml, dosis pemberian 2-

2,5mg/kg/BB.

Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik melalui

interaksinya dengan reseptor GABA dengan cara meningkatkan GABA.

Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB), pemulihan kesadaran

berlangsung cepat, pasien akan bangun 4-5 menit tanpa disertai efek

samping. Khasiat farmakologinya adalah hipnotik murni, tidak

mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Walaupun terjadi

penurunan tonus otot rangka, hal ini disebabkan oleh efek sentralnya

Induksi anestesia 2,0-2,5 mg/kgBB. Pada bayi dan lansia dosis

disesuaikan.Pasien tua memerlukan dosis induksi lebih rendah 25% - 50%

dari dosis lazim.

a. Pemasangan OTT

Pemasangan OTT pada pasien dilakukan berdasarkan indikasi yang telah

disebutkan diatas. Untuk melakukan OTT membutuhkan kedalaman anestesi

yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting

untuk keberhasilan selama di intubasi dan padapasien ini diberikan propofol

dengan dosis 100 mg untuk mencapai kedalaman anestesi yang lebih besar.

52
53

Dan membutuhkan pemberian Atracurium besylate 25 mg IV sebagai pelemas

otot untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube. Onset pemberian

atracurium besylate yakni 2-3 menit dengan durasi 20-45 menit.

b. Maintenance

Pada pasien ini diberikan maintanance N2O :O2 : sevofluran = 3L : 2L :

2vol% tujuannya yaitu untuk pemakaian salah satu kombinasi obat seperti

tersebut diatas secara inhalasi dalam kasus ini yaitu melalui sungkup laring

dengan pola nafas spontan dengan komponen trias anestesia yang dipenuhinya

adalah hipnotik analgesia dan relaksasi otot ringan.

Analgesia Post Op

Terapi analgetik post operasi pada pasien ini diberikan fentanyl 25

mcg/jam dengan syringe pump + paracetamol flash 3x 250 mg. Pemberian

analgetik post operasi diberikan atas dasar manipulasi operasi yang sedang

dan menimbulkan nyeri yang sedang hingga berat.

53
54

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Anestesi umum (General anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU)

adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan

bersifat reversible berdasarkan trias anesthesia yang ingin diperoleh yaitu

hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.Prosedur anastesi umum dan monitoring

pasien tidak hanya dilakukan pada saat operasi tetapi juga mencakap persiapan

pra anastesia (kunjungan dan premedikasi) dan pasca anastesia.Pemilihan teknik

intubasi pada anastesi umum didarkan pada jenis operasi yang akan dilakukan,

usia, jenis kelamin, status fisik pasien, keterampilan pelaksana anastesi,

ketersediaan alat, serta permintaan pasien.

Pasien perempuan usia 10 tahun dengan berat badan 50 kg datang dengan

keluhan nyeri perut kanan bawah dan berdasarkan hasil pemeriksaan dan

penunjang didiagnosis dengan Peritonitis et causa appendicitis perforasi. Pasien

direncanakan tindakan laparotomi.

Pemilihan tindakan anestesi pada pasien ini adalah General Anestesi

Orotrakeal Tube (GA OTT) dengan jenis napas kendali dan hasil pemeriksaan

didapatkan status fisik ASA II Emergency.

54
55

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S, A., Suryadi K, A., Dachlan M, R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi


Edisi Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: Jakarta.
2. De Jong, W., Sjamsuhidajat, R.,(editor). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
Revisi. EGC: Jakarta.
3. Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC: Jakarta.
4. Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G.,
Mathews, J.B., Podlock, R.E., 2010. The Appendix dalam Schwartz's Principles
of Surgery9th Ed. USA:The McGraw Hill Companies. p: 2043-74.
5. Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda, Gde, Agung. 2017. Buku Ajar IlmuAnestesi
dan Renimasi. Penerbit PT. Macan Jaya Cemerlang: Jakarta.
6. Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl.
Accessed on 6 April 2018.
7. Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-
343100#0. Accessed on 6 April 2018.
8. Japanesa, A., Zahari, A. & Rusjdi, S. R., 2016. Pola Kasus dan Penatalaksanaan
Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 1(5), pp. 209-214.

9. Gearhart SL, Silen W. Acute Appendisitis and Peritonitis. Dalam: Fauci A,


Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al, editor
(penyunting). 2008. Harrison’s Principal of Internal medicine. Edisi ke-17
Volume II. USA: McGraw-Hill; hlm. 1916-7.
10. Skipworth, R. & Fearon, K., 2007. Acute Abdomen. Emergency Surgery, 26(3),
pp. 98-101.
11. PDUI, 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer.
4 ed. Jakarta: IDI.

55
56

12. Doherty, G.M., Current Diagnosis & Treatment. 2010, USA : McGraw Hill
Company.

56

Anda mungkin juga menyukai