Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

R DENGAN
BRONKOPNEUMONIA DI RUANG ANTHORIUM 3
RS PERKEBUNAN JEMBER

Iva Agustin N, S. Kep


NIM: 2101032013

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan Anak Pada An.R Dengan Bronkopneumonia Telah Dilaksanakan


Pada Tanggal 19 – 23 April 2022 Di Ruang Anthorium 3 RS Perkebunan Jember Klinik
Oleh

Nama : Iva Agustin Nuraini, S. Kep.


Nim : 2101032013

Jember, 19 April 2022


Mahasiswa Ners

(Iva Agustin Nuraini, S,Kep.)


NIM. 2101032013

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

( Ns. Sri Wahyuni, S.Kep., S.E ) (Ns. Zuhrotul Eka Yulis, S.Kep.,M.Kes)
NIP. 2509197501239 NIP. 19850717 1 1 503619

Mengetahui,
Kepala Ruangan PJMK Keperawatan Anak
FIKES UNMUH Jember

( Ery Yuliani, S.Kep ) (Ns. Zuhrotul Eka Yulis, S.Kep.,M.Kes)


NIP.2006 1977 00983 NIP. 19850717 1 1 503619
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area yang terlokalisasi di dalam
bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Smeltzer &
Bare, 2002). Menurut Wong (2004), Broncopneumonia adalah inflamasi pada
parenkin paru yang terjadi pada ujung akhir bronciolus yang tersumbat oleh eksudat
mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada di
dekatnya.
Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti jamur, bakteri, virus, dan benda asing (Ngastiyah, 2005).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
bronkopneumonia adalah peradangan pada paru yang disebabkan oleh agen
infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai daerah
bronkus dan sekitar alveoli.

Gambar 8. Gambar saluran pernafasan


B. Anatomi Fisiologi
Pernapasan adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh
untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme
tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru. Fungsi sistem pernapasan adalah untuk
mengambil Oksigen dari atmosfer kedalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor
karbon dioksida yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer (Sloane,
2003). Saluran pernapasan dibagi menjadi 2, yakni saluran pernapasan atas dan
saluran pernapasan bawah.
1. Saluran pernafasan bagian atas
a. Rongga hidung (cavun nasal)
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago).
Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago
dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu
lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum).
Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai
penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan
(mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel
tersebut mengeluarkan lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang
masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita dapat mencium aroma karena di
dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada cribriform
plate, didalamnya terdapat ujung dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius).
Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur
kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring
udara, indra pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung
dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan lendir, dan enzim lisozim.
Vibrissa adalah rambut pada vestibulum nasi yang bertugas sebagai penyaring
debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran
(partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada lapisan
lendir dan selanjutnya dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih
terdapart bakteri (partikel sangat kecil), maka enzim lisozim yang
menghancurkannya. Dari rongga hidung, udara selanjutnya akan mengalir ke
faring (Somantri, 2007).
Rongga hidung memiliki beberapa sinus, yang dikenal dengan sinus
paranasalis. Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang
kepala. Sinus paranasalis terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus
sphenoidalis, dan sinus maxilaris. Fungsi sinus yaitu membantu
menghangatkan dan humidifikasi, meringankan berat tulang tengkorak, dan
mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.
Gambar 1. Anatomi hidung

b. Faring (tekak)
Faring merupakan pipa berotot yang berbentuk cerobong (± 13 cm) yang
letaknya mulai dari dasar tengkorak sampai persambungan dengan esophagus
pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat
digestion (menelan) seperti pada saat bernafas. Berdasarkan letaknya, faring
dibedakan menjadi tiga yaitu:
1) dibelakang hidung (nasofaring) berfungsi untuk menjaga tubuh dari invasi
organisme yang masuk ke hidung dan tenggorokan. Nasofaring terdapat
pada superior di area terdapat epitel bersilia (pseudo stratified) dan tonsil
(adenoid), serta merupakan muara tube eustachius. Adenoid atau faringeal
tonsil berada di langit-langit nasofaring. Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil,
adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut penting sebagai
mata rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh dari invasi organisme
yang masuk ke hidung dan tenggorokan.
2) belakang mulut (orofaring) yang berfungsi untuk menampung udara dari
nasofaring dan makanan dari mulut. Pada orofaring terdapat tonsili palatina
(posterior) dan tonsili lingualis (dasar lidah).
3) belakang faring (laringofaring) yang berfungsi pada saat menelan dan
respirasi. Laringofaring merupakan bagian terbawah faring yang
berhubungan dengan esofagus dan pita suara (vocal cord) yang berada
dalam trakhea. Laringofaring terletak di bagian depan pada laring,
sedangkan trakhea terdapat di belakang.

Gambar 2. Faring
c. Laring (tenggorokan)
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitelium-
lined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah). Laring
terletak di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari
esofagus berada di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk
pembentukan suara, sebagai proteksi jalan nafas bawah dari benda asing, dan
untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk (Pearce, 2006). Laring terdiri atas :
1) Epiglotis: katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
2) Glotis: lubang antara pita suara dan laring.
3) Kartilago tiroid: kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang
membentuk jakun (Adam’s apple).
4) Kartilago krikoid: cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah
kartilago tiroid).
5) Kartilago aritenoid: Dua cartilago kecil berbentuk piramid yang terletak
pada basis cartilago cricoidea. Kartilago aritenoid digunakan pada
pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid.
6) Pita suara: subuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot yang
menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.
Gambar 3. Anatomi laring

2. Saluran pernafasan bagian bawah


Saluran pernapasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas saluran
udara konduktif dan saluran respiratorius terminal. Saluran udara konduktif adalah
trakhea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran udara terminal adalah alveoli.
a. Trachea / batang tenggorok
Trakhea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang
vetebrae torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang
trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan memiliki
panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C. Pada cincin tersebut
epitel bersilia tegak (pseudostratified ciliated columnar epithelium) yang
mengandung banyak sel goblet yang mensekresikan lendir (mucus).
b. Bronchus dan bronkiolus
Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih besar, dan cenderung lebih
vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing
lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada cabang bronkhus
sebelah kiri. Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi dan membentuk
seperti ranting masuk ke paru-paru. Bronkhus disusun oleh jaringan kartilago
sedangkan bronkhiolus, yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago.
Tidak hanya kartilago menyebabkan bronkhiolos mampu menagkap udara,
namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi
dengan porus/lubang kecil yang terletak antar alveoli (kohn pores) yang
berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli. Saluran pernafasan mulai trakhea
sampai bronkhus terminalis tidak mengalami pertukaran gas dan merupakan
area yang dinamakan Anatomical Dead Space. Banyaknya udara yang berada
dalam area tersebut adalah sebesar 150 ml. Awal dari proses pertukaran gas
terjadi di bronkhiolus respiratorius (Pearce, 2006).

Gambar 4. Bronkhus dan bronkhiolus


c. Alveolus
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-
paru. Parenkim tersebut mengandung jutaan unit alveolus. Alveoli merupakan
kantong udara yang berukuran sangat kecil dan merupakan akhir dari
bronkhiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2.
Seluruh unit dari alveoli (zona respirasi) terdiri dari bronkhiolus respiratorius,
duktus alveolus, dan alveolar sacs (kantong alveolus). Fungsi utama dari unit
alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler pulmonar dan alveoli.
Diperkirakan terdapat 24 juta alveoli pada bayi yang baru lahir. Seiring dengan
pertambahan usia, jumlah alveoli pun bertambah dan akan mencapai jumlah
yang sama dengan orang dewasa pada usia 8 tahun, yakni 300 juta alveoli.
Setiap unit alveoli menyuplai 9-11 prepulmonari dan pulmonari kapiler.
.
Gambar 5. alveoli
d. Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya
berada diatas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-
paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua
lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru
terbagi lagi menjadi beberapa sub-bagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil
yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri
dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum. Jantung, aorta, vena cava,
pembuluh paru-paru, esofagus, bagian dari trakhea dan bronkhus, serta kelenjar
timus terdapat pada mediastinum.

Gambar 6. Paru-paru
Tulang dada (sternum) berfungsi melindungi paru-paru, jantung, dan
pembuluh darah besar. Bagian luar rongga dada terdiri atas 12 pasang tulang iga
(costae). Bagian atas dada pada daerah leher terdapat dua otot tambahan inspirasi
yaitu otot scaleneus dan sternocleidomastoid. Otot scaleneus menaikkan tulang
iga ke-1 dan ke-2 selama inspirasi untuk memperluas rongga dada atas dan
menstabilkan dinding dada, sedangkan otot sternocleidomastoid mengangkat
sternum. Otot parasternal, trapezius, dan pectoralis juga merupakan otot tambahan
inspirasi dan berguna untuk meningkatkan kerja nafas. Di antara tulang iga
terdapat otot interkostal. Otot interkostal eksternus menggerakan tulang iga ke
atas dan ke depan sehingga akan meningkatkan diameter anteroposterior dinding
dada. Diafragma terletak di bawah rongga dada. Diafragma berbentuk seperti
kubah pada keadaan relaksasi. Pengaturan saraf diafragma (Nervus Phrenicus)
terdapat pada susunan saraf spinal pada tingkat C3 akan menyebabkan gangguan
ventilasi.
Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru-paru. Pleura ada
dua macam yaitu pleura parietal yang bersinggungan dengan rongga dada (lapisan
luar paru-paru) dan pleura visceral yang menutupi setiap paru-paru (lapisan dalam
paru-paru). Di antara kedua pleura terdapat cairan pleura seperti selaput tipis yang
memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan satu sama lain selama
respirasi dan mencegah pelekatan dada dengan paru-paru. Tekanan dalam rongga
pleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paru-
paru. Masuknya udara maupun cairan kedalam rongga pleura akan menyebabkan
paru-paru tertekan dan kolaps (Sloane, 2003).

Gambar 7. Otot-otot pernafasan


Sirkulasi Pulmonal, paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu
arteri bronkhialis dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronkhial menyediakan darah
teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan paru-paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis dan
berjalan sepanjang dinding posterior bronkhus. Vena bronkhialis akan
mengalirkan darah menuju vena pulmonalis. Arteri pulmonalis berasal dari
ventrikel kanan yang mengalirkan darah vena ke paru-paru di mana darah tersebut
mengambil bagian dalam pertukaran gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus
mengitari dan menutupi alveolus merupakan kontak yang diperlukan untuk
pertukaran gas antara alveolus dan darah (Pearce, 2006).
C. Etiologi Bronkopneumonia
Secara umum individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh
adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme
pathogen (Smeltzer & Bare,2002). Menurut Ngastiyah (2005),
Bronkopneurmonia dapat disebabkan oleh bakteri (pneumococus, Streptococus),
virus (pneumony hypostatik, syndroma loffller), jamur dan benda asing.
Menurut Sandra (2001), Bronchopneumonia disebabkan oleh:
a. Bakteri : Streptococcus, Staphylococus,H. Influenza, Klebsiella.
b. Virus : Legionella pneumonia
c. Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
d. Aspirasi makanan, sekresi orofariengal atau isi lambung kedalam paru
Penyebab bronkopneumonia yang sering dijumpai berdasarkan usia yaitu
sebagai berikut (Bradley et.al., 2011) :
a. Faktor Infeksi
1) Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
2) Pada bayi :
a) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
b) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
c) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetella pertusis.
3) Pada anak-anak :
a) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
b) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
c) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
4) Pada anak besar – dewasa muda :
a) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
b) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
D. Manifestasi Klinis
a. Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
1) Nyeri pleuritik
2) Nafas dangkal dan mendengkur
3) Takipnea
b. Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
1) Mengecil, kemudian menjadi hilang
2) Krekels, ronki,
c. Gerakan dada tidak simetris
d. Menggigil dan demam 38,8 ° C sampai 41,1°C, delirium
e. Diafoesis
f. Anoreksia
g. Malaise
h. Batuk kental, produktif Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi
kemerahan atau berkarat
i. Gelisah
j. Sianosis Area sirkumoral, dasar kuku kebiruan
Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktusrespiratoris
bagian atas, selama beberapa hari suhu tubuh naik sangat mendadak sampai 39-
40 derajat celcius dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak
sangat gelisah, dispenia pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung serta sianosis sekitar hidung dan mulut, kadang juga disertai muntah dan
diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit tapi setelah
beberapa hari batuk mula-mula kering kemudian menjadi produktif.
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik
tetapi dengan adanya nafas dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung dan
sianosis sekitar hidung dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil
pemeriksaan fisik tergantung luas daerah auskultasi yang terkena, pada perkusi
sering tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar
ronchi basah nyaring halus dan sedang. Pada pemeriksaan foto thorak terdapat
bercak pada lobus atau beberapa lobus.(Ngastiyah, 2005).
E. Patofisiologi
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan
oleh virus penyebab bronkopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan
sehingga terjadi peradangan bronkus dan alveolus.Inflamasi bronkus ditandai
adanya penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi
positif dan mual. Inflamasi atau peradangan pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya terjadi bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli. Setelah itu mikroorganisme yang terdapat
di alveoli akan membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin;
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi.Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti;
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Umumnya bakteri masuk kedalam paru-paru melalui saluran nafas atas.
Bakteri yang masuk ke paru-paru kemudian menimbulkan reaksi peradangan dan
menghasilkan cairan edema. Mula-mula terjadi edema karena reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.
Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi yaitu terjadi serbukan sel
polimorfonuklear, fibrin, eritrosit, cairan udema dan ditemukannya kuman di
alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah.
Selanjutnya terjadi deposisi fibrin ke permukaan pleura, terdapatnya fibrin
dan leukosit polimorfonuklear di alveoli dan terjadinya proses fagositosis yang
cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Akhirnya jumlah sel
makrofag di alveoli meningkat, sel akan berdegenerasi dan fibrin menipis,
kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi.
Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap
normal. Antiobiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan
penyakit hingga stadium khas yang diuraikan di atas tidak terlihat lagi. Beberapa
bakteri tertentu lebih sering menimbulkan gejala tertentu bila dibandingkan
dengan bakteri lain. Demikian pula bakteri tertentu lebih sering ditemukan pada
kelompok umur tertentu. Misalnya Streptococus Pnemoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata diseluruh lapangan
paru, namun pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu
lobus (pneumonia lobaris).
Pneumatokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh streptokokus
aureus pada neonatus atau bayi kecil karena streptokokus aureus menghasilkan
berbagai toksin dan enzim seperti hemolizin, leukosidin, stafilokinase, dan
koagulase. Toksin dan enxim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan
kavitasi, koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan
aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin hingga terjadi eksudat
fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman
stafilokokus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit
yang serius. Pneumatokel dapat menetap sampai ber bulan-bulan tetapi biasanya
tidak memerlukan terapi lebih lanjut.
Mikrobakterium Pneumoniae menimbulkan peradangan dengan gambaran
baragam pada paru dan lebih sering mengenai anak usia sekolah atau remaja.
Mikrobakterium pneumoniae cenderung berkembang biak pada permukaan sel
mukosa saluran nafas. Akibat terbentuknya H2O2 pada metabolismenya maka
yang terjadi adalah deskuamasi dan ulserasi lapisan mukosa, udema dinding
bronkus dan timbulnya sekret yang memenuhi saluran nafas dan alveoli.
Kerusakan ini timbul dalam waktu relatif singkat antara 24 – 28 jam dan dapat
terjadi pada bagian paru yang cukup luas (Noenoeng, 2000)
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan
bronkopneumoni (Sandra, 2001) adalah:
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah
peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu
membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal
atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan)
dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang
predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED.
2) Pemeriksaan sputum untuk mengetahui atau membedakan pneumoni viral
dan bakterial
3) Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam
basa. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
b. Pemeriksaan radiologi
Rontgen thoraks menunujukan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai
pada infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infilrate multiple seringkali
dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus. Gambaran radiologis
mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan corakan
bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang
paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.

Gambar 9. Rontgen thorax bronkopneumotorak


G. Komplikasi
Menurut Wong (2006), komplikasi dari bronchopneumonia adalah sebagai berikut:
a. Atelektasis
Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
b. Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya pus dalam rongga
pleura yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang
d. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
e. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
H. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Menurut Ngastiyah (2005) pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji
resistensi, akan tetapi, karena hal itu perlu waktu, dan pasien perlu therapi
secepatnya maka biasanya diberikan :
1) Penisilin 50.000 u/kg BB/hari ditambah dengan kloramfenikol 50 – 70
mg/kg BB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas
seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4 – 5
hari.
2) Pemberian oksigen dan cairan intravena biasanya diperlukan campuran
glukosa 5% dan NACL 0,9% dalam perbandingan 3 : 1 ditambah larutan
KCL 10 meq/500 ml / botol infus. Karena sebagian besar pasien jatuh ke
dalam asrdosis metabolik akibat kurang makan dan hipoksia, maka dapat
diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri.
b. Penatalaksanan Keperawatan
1) Menjaga kelancaran pernapasan
Pasien dengan bronkopneumonia terjadi penumpukan sekret pada
salluran pernafasan sehingga perawat dapat membantu untuk
mengeluarkan sekret dan untuk memenuhi kebutuhan oksigen perlu
dibantu dengan memberikan oksigen 2liter/menit agar tidak terjadi
dispnea dan sianosis.
2) Pada anak yang agak besar dapat dilakukan :
a) Berikan posisi semi fowler
b) Ajarkan batuk efektif
c) Lakukan isap lendir sesering mungkin jika lendir tidak bisa
dikeluarkan
d) Mengontrol suhu tubuh
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari
2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012).
a. Penatalaksaan Umum
1. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60.
2. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
3. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
b. Penatalaksanaan Khusus
1. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti
awal.
2. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
3. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis
(di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan
menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

I. Konsep Asuhan keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Identitas pasien, meliputi nama, usia, jenis kelamin, alamat, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, No. RM, dan lain sebagainya.
b. Keluhan utama dan Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama pada pasien Bronkopneumoni yaitu sesak nafas, dan batuk
disertai dahak.
c. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya penderita bronchopneumonia sebelumnya belum pernah menderita
kasus yang sama tetapi mempunyai riwayat penyakit yang dapat memicu
terjadinya bronchopneumonia yaitu riwayat terpapar asap rokok, terpapar
polusi udara dalam jangka panjang.
d. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya penyakit bronchopneumonia dalam keluarga bukan merupakan
faktor keturunan tetapi kebiasaan atau pola hidup yang tidak sehat seperti
merokok.
e. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari pasien (Muttaqin,
2009).
1) B1 (Breathing) Pernapasan
a) Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu napas seperti otot bantu nafas
sternokleidomastoideus. Pada saat pengkajian biasanya didapatkan
pasien batuk-batuk, batuk disertai dahak.
b) Palpasi
Pada palpasi didapatkan ekspansi meningkat dan taktil fremitus
biasanya menurun.
c) Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menurun.
d) Auskultasi
Sering didapatakan adanya bunyi nafas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat beratnya obstruksi pada bronkiolus.
2) B2 (Blood) Kardiovaskuler
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi
takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami
pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.
Kepala dan wajah jarang terlihat adanya sianosis.
3) B3 (Brain) Persyarafan
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit
yang serius.
4) B4 (Bladder) Perkemihan
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan, namun perawat perlu memonitori adanya oliguria yang
merupakan salah satu tanda awal dari syok.
5) B5 (Bowel) Pencernaan
Pasien biasanya mual dan nyeri lambung yang menyebabkan tidak nafsu
makan, kadang disertai penurunan berat badan.
6) B6 (Bone) Muskuloskeletal
Karena penggunaan otot bantu nafas yang lama, pasien akan terlihat
kelelahan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan
pemenuhan ADL (Activity Daily Living).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi
sekresi mukus pada bronkus (jalan nafas).
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ganguan ventilasi dan
difusi
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
d. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh akibat
proses infeksi, toksimea.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
g. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan proses
infeksi pada saluran pencernaan.
3. Rencana keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan/asuhan 1. Auskultasi bunyi nafas 1. Mengetahui adanya sekret
bersihan jalan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan dalam saluran pernafasan
napas berhubungan napas kembali bersih dengan kriteria 2. Ukur tanda –tanda vital pasien
dengan hasil: 2. Untuk mengetahui kondisi
bronkokontriksi, a. Pasien terbebas dari batuk 3. Berikan terapi nebulaizer umum pasien
peningkatan b. Bunyi nafas vesikuler 3. melebarkan bronkus
produksi sputum, c. Frekuensi pernafasan dalam batas 4. Lakukan suction jika perlu 4. Membantu mengeluarkan
batuk tidak efektif, normal (30-60x/menit) dahak
kelelahan/ d. Tidak ada sianosis
berkurangnya
tenaga dan infeksi
bronkopulmonal
2 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Atur posisi pasien untuk 1. Memaksimalkan ventilasi dan
pola napas 3 x 24jam pola napas kembali efektif memaksimalkan ventilasi ekspansi paru
berhubungan dengan kriteria hasil: 2. Pantau TTV pasien 2. memantau status pernafasan
dengan ganguan a. RR normal (30-60x/menit) 3. Auskultasi suara nafas, catat area
3. Perubahan dapat menandakan
ventilasi dan difusi b. Pergerakan dada normal penurunan atau ketiadaan awitan komplikasi pulmonal atau
c. Penggunaan otot-otot bantu ventilasi dan adanya suara nafas menandakan lokasi/ luasnya
pernapasan berkurang tambahan keterlibatan otak
4. Monitor respirasi dan oksigenasi 4. Menentukan kecukupan
pernapasan, keseimbangan asam
basa dan kebutuhan akan terapi
5. Kolaborasi pemberian oksigen 5. Memaksimalkan oksigen pada
yang sudah terhumidifikasi darah arteri dan membantu
dalam pencegahan hipoksia
3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Pantau adaya dispnea dan 1. Memonitor kondisi fisiologis
pertukaran gas selama .3 x24 jam diharapkan pertukaran hipoksia. pasien
berhubungan gas tidak mengalami gangguan dengan 2. Berikan terapi aerosol sebelum 2. Aerosol dapat mengencerkan
dengan kriteria hasil: waktu makan, untuk membantu dahak
ketidaksamaan a. Frekuensi nafas normal (40-60x / mengencerkan sekresi sehingga
ventilasi perfusi menit) ventilasi paru mengalami
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
b. Keluarga mengatakan pasien tidak perbaikan.
sesak nafas 3. Pantau pemberian oksigen 3. Pemberian oksigen yang adekuat
c. Menunjukkan perbaikan dalam laju 4. Kolaborasi pemberian obat- dapat mengatasi sesak pasien
aliran ekspirasi obatan bronkodialtor dan 4. Melebarkan bronkus agar pasien
kortikosteroid dengan tepat dan tidak mengalami sesak napas
waspada kemungkinan efek
sampingnya.
4 Intoleran aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji aktivitas pasien 1. Untuk mengetahui kemampuan
berhubungan selama 3x24 jam diharapkan pasien fisik pasien
dengan kembali toleran terhadap aktivitas dengan 2. Ukur TTV pasien 2. Mengetahui kondisi fisik pasien
ketidakseimbangan kriteria hasil: secara umum
antara suplai Pasien dapat bergerak aktif tanpa disertai 3. Anjurkan keluarga untuk 3. Untuk menghemat energi pasien
dengan kebutuhan peningkatan tekanan darah, nadi dan membatasi aktivitas pasien dan mencegah kelemahan pada
oksigen frekuensi pernafasan pasien
4. Kolaborasi pemberian oksigen. 4. Mencegah hipoksia

5 Hipertermi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Ukur tanda-tanda vital: suhu,


berhubungan selama 1 x24 jam, suhu menjadi normal, nadi, tekanan darah dan 1. Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan
dengan proses dengan kriteria hasil pernapasan proses penyakit infeksius akut.
infeksi 1. Suhu tubuh dalam rentang normal Pola demam dapat membantu
(36,5-37,5 OC) dalam diagnosis, dan dapat
2. Nadi dalam rentang normal (60- 2. Catatlah asupan dan keluaran memicu timbulnya kejang
120x/menit) cairan. 2. Mengetahui keseimbangan
3. RR dalam rentang normal 30-60 cairan baik intake maupun
x/menit) 3. Anjurkan kaluarga utuk output.
4. Kulit tidak teraba hangat/panas memberikan minum yang banyak 3. Mempercepat proses penguapan
pada pasien. melalui urine dan keringat, selain
itu dimaksudkan untuk
mengganti cairan tubuh yang
4. Anjurkan keluarga untuk hilang.
memberikan kompres hangat 4. Memberikan efek vasodilatasi
pada daerah axila dan lipatan pembululuh darah.
paha. 5. Untuk memudahkan dalam
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
5. Anjurkan keluarga untuk tidak proses penguapan.
memakai selimut dari pakaian 6. Pemberian terapi cairan
yang tebal. intravena untuk mengganti
6. Berikan terapi cairan intravena cairan yang hilang dan obat-
dan obat-obatan sesuai dengan obatan sebagai preparat yang di
hasil kolaborasi. formulasikan untuk penurunan
panas
6 Ansietas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi persepsi pasien
berhubungan selama 3x24 jam ansietas berkurang dan terhadap ancaman yang ada 1. membantu pengenalan ansietas/
dengan perubahan teratasi dengan kriteria hasil: oleh situasi. takut dan membantu dalam
status kesehatan 1. Pasien tampak rileks 2. Berikan lingkungan tenang. melakukan intervensi.
2. Pasien tidak menangis dan rewel 2. memindahkan pasien dari stress
luar meningkatkan relaksasi dan
3. Dorong keluarga untuk membantu menurunkan ansietas.
menyatakan perhatian. 3. dukungan dapat membantu
pasien merasa diperhatikan
sehingga tidak merasa sendiri
dalam menghadapi masalah.
PATHWAY

Jamur
1. Histoplasmamosis
capsultatum Virus
Bakteri 2. Aspergilosis 1. Influenza Aspirasi
1. Pneumokokus 3. Aktino mikosis 2. Respiratory syncytial Makanan, benda asing, minuman
2. Hemofilus influenza Cemas
3. Streptokokus 3. Virus Adeno

Defisit
Hospitalisasi pengetahuan
BRONKOPNEUMONIA

Stadium Stadium Stadium Proses Edema antar Perfusi O2 Suply O2 Bakteri, virus, Bayi/anak tidak Proses Bakteriemia
Kongesti (4-12 Hepatisasi Hepatisasi Peradangan di kapiler dan ke ginjal ke sistem jamur masuk bisa bernafas pengobatan
jam pertama merah (48 jam kelabu (3-8 Paru alveoli menurun cerna melalu ke adekuat lama
berikutnya) hari) menurun dalam sal.cerna Pelepasan
pirogen
Konsentrasi Asidosis Penurunan Risiko
Peradangan Menyusui endogen dan
Ateletaksis di Alveolus terisi O2 dalam respiratori LFG Peningkatan Flora
awal di daerah keterlambatan sitokin
lobus paru fibrin dan darah turun HCl normal usus tidak efektif
yang terinfeksi perkembangan
leukosit, Lambung mati
kapiler tidak Hipoksia B5 B6
Risiko
Gangguan lagi kongestif Peningkatan jar.otak dan perfusi Reaksi
Pelepasan
difusi O2 nadi timbul renal tidak Mual Asupan Peningkatan inflamasi
mediator
edema efektif makanan peristaltik
inflamasi Akumulasi
adekuat dan cairan
secret di B4 menurun
Ekspansi Risiko
bronkus Risiko Diare MK:Hipertermi
Peningkatan dada tidak penurunan
Ischemia defisit
aliran darah dan adekuat curah nutrisi B4 B2
permeabilitas jantung B5
kapiler Hipersekresi Kulit
jalan nafas B2
Risiko Perfusi kering
Pola
cerebral tidak
Perpindahan nafas
efektif
eksudat plasma tidak
efektif Bersihan jalan B3 Risiko
ke intertisiel,
nafas tidak kerusakan
B1 efektif integritas
Supply O2
Edema antar sistemik kulit
kapiler dan B1
menurun B6
alveolus

Intoleransi
Perubahan Peningkatan rate Kelemahan fisik
Gangguan aktifitas
membrane metabolisme
pertukaran B6
alveolus-kapiler gas
B1

Anda mungkin juga menyukai