Anda di halaman 1dari 34

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT

DARURAT PASIEN DENGAN GAGAL NAPAS

Dosen Pengampu : Conny Tan, S.Kep.,Ns., M. Kep

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Mey Nuryani

Nurmardika Wati

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Maha Esa, bahwa penulis
telah menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Keluarga dengan
judul “Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pasien Dengan Gagal
Napas”. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga
kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dosen pembimbing Conny Tan, S.Kep.,Ns., M.Kep yang telah memberikan


tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan
menyelesaikan tugas ini.

2. Orang tua yang telah memberi dukungan dalam bentuk moril maupun materil.

3. Teman-teman yang telah membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai


kesulitan sehingga tugas ini selesai.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran


bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai.

Jayapura, 5 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan

untuk menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum

tindakan/perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang

berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan

tepat, maka sering dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan

pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang

menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan perawat yang

mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan

gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau

potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak

di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat

dikendalikan.

Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek

keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang

berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan

meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara

bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan

seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang

ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling

ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di


ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan

data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan

ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).

Tuberkulosis paru merupakan suatu penyakit kronis yang dapat

menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius. Proses destruksi dan

proses restorasi atau penyembuhan jaringan paru terjadi secara simultan, sehingga

terjadi perubahan struktural yang bersifat menetap serta bervariasi yang

menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru.

Pasien tuberkulosis paru perlu penanganan khusus karena bisa mengalami

gagal napas, maka dari itu penulis mengambil kasus ini sebagai seminar kelompok

dengan judul “Konsep Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pasien dengan

Tuberkulosis Paru – Gagal Napas”.

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Anatomi Sistem Pernapasan


1. Rongga Hidung
Rongga hidung terdiri atas :
a. Vestibulum yang dilapisi oleh sel submukosa proteksi.
b. Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai
penapis udara.
c. Struktur konka yang berfungsi sebagai produksi terhadap udara
luar karena strukturnya yang berlapis.
d. Sel silia yang berperan untuk melemparkan benda asing keluar
dalam usaha membersihkan jalan napas.

Rongga hidung dimulai dari vestibulum, yakni pada bagian anterior ke


bagian posterior yang berbatasan dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas
dua bagian, yakni secara longitudinal oleh septum hidung dan secara transversal
konka superior, medialis dan inferior (Rab, 2013).

2. Rongga Mulut
Pada bagian atas berbatasan dengan labium, palatum durum dan palatum
mole, sedangkan pada bagian belakangnya berbatasan dengan orofaring.
Peranannya sebagai pengunyah makanan dikarenakan terdapatnya gigi geligi,
berbagai kelenjar ludah yang mengandung enzim ptialin. Peranannya hanya dalam
waktu bersuara atau tersumbatnya rongga hidung (Rab, 2013).

3. Faring
Merupakan bagian belakang dari rongga hidung dan rongga mulut. Terdiri
dari (bagian yang berbatasan dengan rongga hidung), orofaring (bagian yang
berbatasan dengan rongga mulut), dan hipofaring (bagian yang berbatasan dengan
laring), diyakini bagian dimana pemisahan antara udara dan makanan terjadi (Rab,
2013).

4. Laring
Walaupun fungsi utamanya dalah sebagai alat suara, akan tetapi didalam
saluran pernapasan fungsinya adalah sebagai jalan udara, oleh karena celah suara
diantara pita suara berfungsi sebagai pelindung dari jalan udara. Bila dilihat secara
frontal maupun lateral, pada gambaran laring dapat dilihat adanya epiglotis, tulang
hiloid, tulang rawan tiroid, tulang aritenoid, dan tulang rawan krikoid. Tulang
rawan krikoid merupakan batas terbawah dari tulang rawan laring, yaitu terletak
2-3 cm dibawah laring. Dibawah dari tulang krikoid biasanya dilakukan tindakan
trakeotomi yang bertujuan untuk memperkecil (dead space)dan mempermudah
melakukan pengisapan sekresi (Rab, 2013).

5. Trakea
Trakea merupakan suatu cncin tulang rawan yang tidak lengkap (U-
shapped) dimana pada bagian belakangnya terdiri dari 16-20 cincin tulang rawan.
Panjang trakea kira-kira 10 cm, tebalnya 4-5 mm, diameternya lebih kurang 2,5
cm, dan luas permukaannya 5 cm2. Lapisan trakea terdiri dari mukosa, kelenjar
submukosa, dan dibawahnya terdapat jaringan otot yang treletak pada bagian
depan yang menghubungkan kedua bagian tulang rawan. Diameter trakea ini
bervariasi pada saat inspirasi dan ekspirasi (Rab, 2013). 2.

6. Bronkus
UtamaBronkus merupakan suatu struktur yang terdapat didalam
medisatinum. Bronkus juga merupkan percabangan dari trakea yang membentuk
bronkus utama kiri dan bronkus utama kanan. Panjangnya lebih kurang 5 cm,
diameternya 11-19 cm, dan luas penampangnya 3,2 cm2. Percabangan dari trakea
sebelum masuk ke mediastinum disebut dengan bifurkasi dan sudut tajam yang
dibentuk oleh percabangan ini disebut karina. Karina ini penting didalam
bronkoskopi, yakni untuk mengintrepretasikan berbagai kelainan didalam
mediastinum. Karina ini penting di dalam bronkoskopi, yakni untuk
menginterpretasikan berbagai kelainan di dalam mediastinum (Rab, 2013).

7. Bronkus Lobaris
Bronkus lobaris merupakan percabangan dari bronkus utama. Bronkus
utama kanan mempunyai tiga percabangan , yakni superior, medialis, dan inferior,
sedangkan bronkus utama kiri bercabang menjadi bronkus lobaris superior dan
bronkus lobaris inferior. Diameter dari bronkus lobaris adalah 4,5-11,5 mm
dengan luas penampang 2,7cm2. Bronkus segmentalis merupakan percabangan
dari bronkus lobaris (Rab, 2013).

2.2 Fisiologi Pernapasan


Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen
bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan ini,
pernapasan dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama, yaitu
ventilasi paru (masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru),
difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah, transport oksigen dan
karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan pengaturan
ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan (Putri, 2013).
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh
ke alveoli dan pemerataan distribusi udara kedalam alveoli alveoli. Proses ini
terdiri dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat dikembang
kempiskan melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk memperbesar atau
memperkecil rongga dada, serta depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar
atau memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Ventilasi alveolar adalah
salah satu bagian yang penting oleh karena oksigen pada tingkat alveoli inilah
yang mengambil bagian dalam proses difusi. Besarnya ventilasi alveolar
berbanding lurus dengan banyaknya udara yang masuk atau keluar paru, laju
napas, udara dalam jalan napas serta keadaan metabolik. Setelah alveoli
diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya dalam proses pernapasan
adalah difusi Oksigen dari alveoli ke pembuluh darah paru dan difusi
karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membran tipis antara alveolus dan
kapiler (Putri, 2013).

Transport oksigen dan karbondioksida terjadi bila oksigen telah berdifusi


dari alveoli kedalam darah paru. Oksigen terutama ditranspor dalam bentuk
gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan dimana oksigen dilepaskan
untuk digunakan oleh sel. Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua
jalan, yaitu secara fisik larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% dan secara
kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira
97% oksigen ditranspor melalui cara ini. Sedangkan transpor CO2 dari jaringan ke
paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara, yaitu sekitar 10% CO2 secara
fisik larut dalam plasma, 20% berikatan dengan gugus amino pada Hb
(Karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan 70 % dalam bentuk
9bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini
(Putri, 2013).

CO2+ H2O <->H2CO3<-> H+ + HCO3- (Putri, 2013).

Oksigen diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan energi melalui proses


metabolisme di mitokondria, untuk, itu diperlukan sistem transportasi yang
meliputi paru dan kardiovaskular. Oksigen dibawa oleh darah dari paru ke
jaringan seluruh tubuh melalui 2 mekanisme yaitu, secara fisika larut dalam
plasma dan secara kimia terikat dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin lebih
(HbO2). Dalam keadaan normal oksigen yang terikat oleh lebih banyak
jumlahnya dibandingkan dengan yang yeng terlarut dalam plasma. Kebutuhan
jaringan akan oksigen dan pengambilannya oleh paru sangat tergantung pada
hubungan afinitri oksigen terhadap hemoglobin, hubungan tersebut dapat dilihat
pada kurva disossiasi oksihemoglobin (KDO) (Sugijanto, 2012).

KDO ialah suatu kurva yang menggambarkan hubungan antara saturasi


oksigen atau kejenuhan hemoglobin terhadap oksigen dengan tekanan parsial
oksigen pada ekuilibrium yaitu pada keadaan suhu 370 C, pH 7,40 dan PCO2 40
mmHg. Sedangkan saturasi oksigen adalah jumlah oksigen yang diikat
hemoglobin dalam darah yang menunjukan sebagai sebuah persentase dari
”Maximal Binding Capacity” (Sugijanto, 2012).

Suatu molekul hemoglobin dapat mengikat maksimal empat molekul


oksigen. 100 molekul hemoglobin dapat bersama-sama mengikat 400 (100 x 4)
molekul oksigen, jika keseratus molekul hemoglobin ini hanya mengikat 380
molekul oksigen, itu berarti bahwa molekul hemoglobin tersebut hanya mengikat
100400 x 100 = 95% dari jumlah maksimal molekul oksigen yang seharusnya
dapat diikat, sehingga nilai saturasi oksigennya adalah 95%. Saturasi oksigen
normal pada individu yang sehat menunjukkan nilai antara 97% sampai 99%
(Sugijanto, 2012).

Afinitas oksigen terhadap hemoglobin dipengaruhi oleh suhu, pH darah,


tekanan parsial karbondioksida dan 2.3 difosfagliserat, serta beberapa keadaan
klinis seperti keracunan karbonmonoksida, anemia, hipoksia dan berada di tempat
ketinggian (Sugijanto, 2012).

Tiga unsur dasar pengaturan ventilasi adalah : Sensor (sentral maupun


perifer) yang menerima informasi dan mengirimkannya melalui serabut saraf
afferent ke pusat kontrol di otak. Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan
mengirim impuls ke effektor . Effektor (otot - otot pernapasan) sehingga timbul
ventilasi (Putri, 2013).

Tidak seperti peacemaker jantung, pacemaker pernapasan tidak dijumpai


di paru tetapi terletak di medulla oblongata otak, yang terdiri dari beberapa
komponen dan subsentral yang berinteraksi sehingga menghasilkan napas yang
ritmik. Output dari sentral pernapasa ini ditransmisikan melalui nervus phrenicus
ke diafragma dan melalui saraf-saraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari
central ini dipengaruhi oleh sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi
mekanik (Putri, 2013).

2.3 Definisi Penyakit Tuberculosis


Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB ( Mycobacterium Tuberculosis) yang termasuk dalam family
Mycobacteriaceace dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Micobacteria
Tuberculosis masih keluarga besar genus Mycobacterium. Berdasarkan beberapa
kompleks tersebut, Mycobacteria tuberculosis merupakan jenis yang terpenting
dan paling sering dijumpai (Kemenkes, 2011)
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh basil mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit
saluran pernafasan bagian bawah (Wijaya, 2013, Hal. 137).

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai


organ tubuh lainnya, namun yang palig sering terkenan adalah organ paru (90%)
(Suarni. 2009)

Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan


Mycobacterium Tyberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh
organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan
saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut. (Sylvia
A. Price)

2.4 Klasifikasi Tuberculosis


Ada beberapa klasifikasi TB paru yaitu menurut Depkes (2007)yaitu:

1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


a. Tuberkulosis paruTuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, salurankencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
Tb Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnyaBTA
positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan fototoraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnyaBTA positif dan biakan kuman Tb
positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnyahasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelahpemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negative
Kriteria diagnostik Tbparu BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika nonOAT
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk
diberipengobatan.b.
3. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan
riwayatpengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudahpernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapikambuh
lagi.
c. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan ataulebih
dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
ataukembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selamapengobatan.
e. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
dalamkelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan
hasilpemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan(Depkes RI, 2006).

2.5 Etiologi Tuberculosis


Penyebab TB paru yaitu kuman Mycobacteria Tuberculosis yang
berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3 -0,6 mikron dan
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena
itu, disebut pula sebagi Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan beberapa jam ditempat gelam dan
lembab, sehingga dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur), tertidur
lama selama bertahun tahun (Kemenkes.2011)

Kuman tuberculosis juga bersifat dorman dan aerob. Mycobacterium


Tuberculosis mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit sedangkan dengan
alcohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri tersebut tahan selama 1-2 jam di
udara terutama di tampat lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak
tahan terhadap sinar atau aliran udara (Masriadi, 2012)

Apabila seseorang telah terinfeksi TB Paru namun belum sakit maka tidak
dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Masa inkubasinya yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit, diperkirakan selama 4 sampai
6 minggu (Depkes.2008). Kuman ditularkan oleh penderita TB Paru BTA positif
melalui batuk, bersin atau saat berbicara lewat percikan droplet yang keluar.
Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of TB Infection
(ARTI) yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB Par selama satu
tahun (Suarni. 2009)
2.6 Tanda dan Gejala
Seseorang ditetapkan sebagai penderita TB paru apabila ditemukan gejala
klinis utama (cardinal symptom) pada dirinya. Gejala utama pada penderita TB
paru adalah :

1. Batuk berdahak lebih dari tiga minggu


2. Batuk berdarah
3. Sesak napas
4. Berkeringat pada malam hari
5. Demam tinggi 40-41°C
6. Penurunan berat badan
7. Pada anak
- Berkurangnya BB 2 bulan bertuur-turut tanpa sebab yang jelas atau
gagal tumbuh
- Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu
- Batuk kronik ≥ 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze
- Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa

2.7 Patofisiologi TB Paru


Basil tuberculosis yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang
lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak menyebabkan penyakit,
setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah lobus atas atau di
bagian atas lobus bawah) basil tuberculosis ini membangkitkan reaksi peradangan.
Lekosit polimorfunuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri
tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama maka
lekosit diganti oleh magrofat.

Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-


gejala pneumonia akut. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional.
Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel spiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi
ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi
memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut
nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respon
berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut yang
akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelingi tuberkel.

Lesi primer paru –paru disebut focus ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks
ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang
kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi pada
daerah nekrosis adalah percairan dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan
menimbulkan kavitas. Materi tubercular yang dilepaskan dari dinding kavitas
akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali
pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau
usus. Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan
parut fibrosa.

Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup


oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan
perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran yang
ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat
tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan
dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar
melalui saluran limfe atau pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang
lolos dari kelenjar limfe akan memcapai aliran darah dalam jumlah yang lebih
kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain
(ekstrapulmaner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberculosis milier. Ini terjadi apabila focus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem
vascular dan tersebar ke dalam sistem vaskuler ke organ – organ tubuh.
2.8 Definisi Gagal Napas
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup
masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan otak,
membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik. Kegagalan
pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat membuang karbon dioksida
dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida dalam darah dapat membahayakan
organ tubuh (National Heart, lung, 2011).

Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang
tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan pH, pO2, dan pCO2, darah
arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai
hiperkapnia (Arifputera, 2014).

Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding
dada, otot pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula
oblongata. Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas,
disfungsi dari jantung, sirkulasi paru, sirkulasisistemik, transport oksigen
hemoglobin dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal
nafas. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernafasan terletak di bawah batang otak(pons dan medulla).

Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan
untukmemasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.

Gagal nafas akut adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal.

2.9 Etiologi Gagal Napas


Etiologi gagal napas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal napas
dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau
medulla oblongata.

Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit


adalah sebagai berikut:

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) dan Asma


Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran napas,
fibrosis, destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar yang
kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun, membuat
terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).
2. Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu reaksi
inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area permukaan
alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu
menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari,
2013).
3. TB Pulmonal
Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan terjadi
peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membran alveolokapiler,
sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu (Raina et al., 2013).
4. Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat ventilasi
dan perfusi tidak adekuat (American Association for Respiratory Care,
www.aarc.org American Lung Association, 2009).
5. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika tekanan
intrapleural melebihi tekanan atmosfi. Pada respirasi normal, ruang pleura
memiliki tekanan negatif. Saat dinding dada mengembang ke luar,
ketegangan permukaan antara pleura parietal dan viseral menyebabkan
paru-paru mengembang keluar. Penumpukan tekanan di dalam ruang
pleura pada akhirnya menyebabkan hipoksemia dan gagal napas akibat
kompresi paru-paru (BMJ Best Practice, 2017).
6. Efusi Pleura Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea yang dikarenakan
penurunan compliance dinding dada.sehingga pertukaran udara tidak
adekuat (Steven A. Sahn, 2012)

2.10 Patofisiologi Gagal Napas


Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas akut merupakan hal yang
sangat penting di dalam hal penatalaksanaannya. Secara umum terdapat empat
dasar mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem pernafasan yaitu :

1. Hipoventilasi
2. Ketidakseimbangan ventilasi atau perfusi
3. Pintasan darah kanan ke kiri
4. Gangguan difusi. Kelainan ektrapulmonelmenyebabkan hipoventilasi
sedangkan kelainan intrapulmoneldapat meliputi seluruh mekanisme
tersebut.

Sesuai dengan patofisiologinya gagal nafas akut dapat dibedakan ke dalam


2 bentuk yaitu: hiperkapnia atau kegagalan ventilasi dan hipoksemia atau
kegagalan oksigenasi.Gagal nafas pada umumnya disebabkan oleh kegagalan
ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2, disertai dengan penurunan pH yang
abnormal, penurunan PaO2, dengan nilai perbedaan tekanan O2 di alveoli-arteri
(A-a) DO2 meningkat atau normal.
Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ektrapulmoner dan ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan
intrapulmoner atau terjadi kedua-duanya secara bersamaan. Hiperkapnia yang
terjadi karena kelainan ektrapulmoner disebabkan karena terjadinya penurunan
aliran udara antara atmosfer dengan paru tanpa kelainan pertukaran gas di
parenkim paru. Dengan demikian akan didapatkan peningkatan PaCO2,
penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2 normal. Kegagalan ventilasi pada penderita
penyakit paru terjadi sebagai berikut : sebagian alveoli mengalami penurunan
ventilasi relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan
ventilasi relative terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan ventilasi rendah dapat
dikompesasi dengan daerah terventilai tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan
PaCO2. Tetapi apabila ketidakseimbangan ventilasi ini sudah semakin beratnya
maka mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi kegagalan ventilasi
yang ditandai oleh peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dengan peningkatan (A-
a) DO2yang bermakna.

Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau menurun,
PaO2adalah menurun dan peningkatan (A-a) DO2. Gagal nafas tipe ini terjadi
pada kelainan pulmoner dan ektrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia
terjadi akibat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan pintasan darah kanan-kiri,
sedangkan gangguan difusi dapat merupakan gangguan penyerta.

Indikator gagal nafas frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi


penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang
dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi
sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20
ml/kg).
2.11 Klasifikasi Gagal Napas
Klasifikasi Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi
menjadi 3 tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi atau hypoxaemia arteri
ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang rendah.
Tipe II yaitu kegagalan ventilasi atau hypercapnia ditandai dengan
peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal (PaCO2> 46 mm Hg), dan
diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2 dan PaO2, oleh karena itu
perbedaan PAO2-PaO2 masih tetap tidak berubah.
Tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi
ditandai dengan hipoksemia dan hiperkarbia penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2.

2.12 Hubungan TB Paru - Gagal Napas

Kegagalan pernapasan hipoksemia (tipe I) ditandai oleh tekanan oksigen


arterial (PaO2) lebih rendah dari 60 mmHg dengan tekanan karbon dioksida
normal atau rendah (PaCO2). Ini adalah bentuk kegagalan pernafasan yang paling
umum, dan dapat dikaitkan dengan hampir semua penyakit akut paru-paru, yang
umumnya melibatkan pengisian cairan atau kolaps unit alveolar. Kegagalan
pernafasan hiperkapnia (tipe II) ditandai dengan PaCO2 yang lebih tinggi dari 50
mmHg (Kaynar and Editor, 2017).

Mekanisme gagal napas pada pasien dengan tuberkulosis paru belum dapat
dijelaskan. Berbagai mekanisme postulat meliputi pelepasan mikobakteria ke
sirkulasi pulmonal yang mengakibatkan peradangan obliteratif endarteritis dan
kerusakan membran alveoli. Agregasi trombosit pada kapiler paru yang
menyebabkan perlukaan pada endotel dan aktivasi leukosit yang dihasilkan dalam
peningkatan permeabilitas vaskular adalah hipotesis yang lainnya (Hameed Raina
et al., 2013).

2.13 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium:
a. Analisa Gas Darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika
gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah harus
dilakukan untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal napass
akut dan kronik. Hal ini penting untuk menilai berat-ringannya gagal
napas dan mempermudahkan peberian terapi. Analisa gas darah
dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan penilian obyektif dalam
berat-ringan gagal napas. Indikator klinis yang paling sensitif u ntuk
peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernapasan.
Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan
respirasi akibat neuromuscular, misalnya pada sindroma guillain-barre,
dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan
kelemahan. Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
b. Pulse Oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan melalui
aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di dapatkan berupa
saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan
baik di lobus bawah telinga atua jari tangan maupun kaki. Hasil pada
keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak akurat. Hubungan antara
saturasi oksigen dantekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi
oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka
penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
c. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar
karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk
kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus serta
gangguan fungsi paru (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
1) Pemeriksaan apus darah untuk mendekteksi anemia yang
menunjukakkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya
polisitemia menunjukkan gagal napas kronik (Syarani, Dr. dr.
Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
2) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena
hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk
sebab-sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas elektrolit
seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat
gejala gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru),
2017).
3) Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat
membedakan infark miokard dengan gagal napas, kadar
kreatinin serum yang meningkat dengan kadar troponin 1 yang
yang normal menunjukkan terjadinya miositosis yang dapat
menyebabkan gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).
4) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH
serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid,
yang dapat menyebabkan gagal napas reversibel (Syarani, Dr.
dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
5) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah
pengukuran kadar albumin serum, prealbumim, transferin, total
iron-binding protein, keseimbangan nitrogen, indeks kreatinin
dan jumlah limfosit total (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Radiografi Dadai
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal
napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner
kardiogenik dan nonkardiogenik. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017)
b. Ekokardiografi
1) Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya
dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena
penyakit jantung.(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017)
2) Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang
abnormal atau regurgitasi mitral berat menunjukkan edema
pulmoner kardiogenik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru),
2017).
3) Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolik yang
normal pada pasien dengan edema pulmoner menunjukkan
sindromdistress pernapasan akut (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).
4) Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri
pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas
hiperkapnik kronik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017)
c. Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik.
1) Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced
vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan
di pusat control pernapasan (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).
2) Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan
napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang
tetap menunjukkan penyakit paru restriktif (Syarani, Dr. dr.
Fajrinur, M.Ked(Paru), 2017).
3) Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai
FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif
tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M.Ked(Paru), 2017).

2.14 Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan
kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya.
1. Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti pada tabel 2 berikut
ini.

a. Atasi Hipoksemia (Terapi Oksigen)


Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia
drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang
terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.
Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen
yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan
dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan
kematian. Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam
waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan
dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus
rendahdan sistemarus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem
arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan
oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24
%-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna
diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Alat
oksigen arus tinggi di antaranya ventury mask danreservoir nebulizer blenders.
Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe hipoksemia, bernapas dengan mask ini
mengurangi resiko retensi CO2dan memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi
ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya
cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan
oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2
dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.

b. Atasi Hiperkapnia: Perbaiki Ventilasi Jalan napas (Airway)


Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian
obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan
dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan
napas buatan seperti endotracheal tube(ETT) berdasarkan manfaat dan resiko jalan
napas buatandibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas buatanadalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi),
gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko
infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas
buatanadalah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian
oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel di atas
dan juga tabel berikut ini :
Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan
potensimanfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan
positif non invasif).

c. Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik


Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut
atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask
atauambu bag) dengan memompa kantungnya untukmemasukkan udara ke dalam
paru.
Hiperkapnia mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini
akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada
bagian dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara
tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris. Pasien dengan
pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face
mask merupakan alternatif yang efektif.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera
teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia
yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah
pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen
dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya meningkat
mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator
harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang
ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang
terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar
dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara umum
bantuan napas mekanik (ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive
Positive Pressure Ventilator(IPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan
ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non Invasive Positive Pressure
Ventilator(NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator tidak
perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat tindakan intubasi
dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang
bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat.

d. Terapi suportif lainnya


Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret,
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan
pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan
tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi.
Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada,
punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainage postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator.
Bronkodilator (beta-adrenergikagonis/simpatomimetik).Obat-obat ini lebih
efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan secara
parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping
secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi.
Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua
hingga empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan
dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian
(hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat
didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping.
Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek samping
meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada
pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan
iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh
diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari
kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta
adrenergik.
Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini
kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan dengan
inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya
lebih berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien
dengan bronkitis kronik. Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus selalu
dikombinasikan dengan beta adrenergikagonis. Ipratropium bromida tersedia
dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin.
Teofilin.Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan beta
adrenergikagonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase
pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi
reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi
takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia,
hipokalemia, perubahan status mental dan kejang.
Kortikosteroid.Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi
jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel
inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping
kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan
air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh otot non depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan
kesulitan weaning.

2. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab
gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan.

2.15 Komplikasi Gagal Napas


Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru,
kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau
gizi.Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah
perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum. Infeksi
nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan sepsis terkait kateter,
sering terjadi komplikasi gagal napas akut.Ini biasanya terjadi dengan penggunaan
alat mekanis. Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan pengaruhnya terhadap
kinerja pernapasan dan komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutrisi
enteral atau parenteral (Kaynar, 2016).

Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,


barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan mesin
dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak menimbulkan
komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri, hipotensi, barotrauma, komplikasi yang
ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi trakhea adalah hipoksemia cedera otak,
henti jantung, kejang, hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut
juga mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi, ileus
dan diare (Putri, 2013).

Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan curah


jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal.Komplikasi pada ginjal dapat
menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi pada
pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis
dan sinusitis paranasal (Putri, 2013).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Kajian Umum Pasien
Perawat dapat melakukan pengkajian umum pasien menggunakan
peralatan stetoskop, elektroda jantung, mesin elektrokardiogram dengan
printout, spigmoma nometer, dan calipers.
a. Kajian Umum Subjektif dan Objektif
Tujuan kajian umum di keperawatan diterapkan untuk semua pasien
yang masuk ke UGD. Secara umum, pengkajian pasien dibagi menjadi
dua data, yaitu data objektif dan data subjektif.
1) Kajian Subjektif
Data subjektif merupakan data yang berasal dari keluhan keluarga
dan pasien.
2) Kajian Objektif
Data objektif merupakan data yang dapat diukur dan dilihat.
Berikut yang termasuk kajian pemeriksaan objektif.
a) Suhu Tubuh
Hasil suhu tubuh dipengaruhi oleh kegiatan dan kondisi
penyakit pasien. Hasil suhu tubuh bisa dipengaruhi oleh faktor
lingkungan serta terjadinya infeksi dan luka.
b) Denyut Nadi
Pemeriksaan denyut nadi perifer dapat diukur secara palpasi.
Pengukuran denyut nadi jantung apical dapat dilakukan dengan
cara auskultasi.
c) Pernapasan
Umumnya, pasien yang megalami gangguan pernapasan
ditandai dengan terjadinya peningkatan retraksi dinding
dada,pernapasan cuping hidung, tarikan trakeal, keterlibatan
otot dada, dan ketidakmampuan berbicara satu kalimat penuh
dalam satu tarikan napas.
d) Kecukupan Oksigen
Perawat dapat melakukan pemantauan oksigen pasien
menggunakan pemasangan oksimetri.
e) Tekanan Darah
Tekanan darah abnormal menandakan pemeriksaan lebih
lanjut.
f) Tekanan Nadi
Memeriksa tekanan nadi salah satu cara untuk mengetahui
status volume sirkulasi darah. Mengetahui volume darah dapat
dilakukan dengan cara menghitung pulse pressure (PP).
g) Pengukuran BB dan TB
Pemeriksaan berat badan dan tinggi badan sebagai data
pendukung pasien. Pengukuran BB dan TB pada bayi dan
anak- anak penting dilakukan, karena pemberian obat
didasarkan dengan BB dan TB-nya.

b. Kajian Umum Primer dan Sekunder


Kajian umum berdasarkan penanganannya atau tindakannya dibagi
menjadi dua, yaitu kajian umum primer dan sekunder. Berikut masing-
masing kajian yang sering digunakan dalam dunia keperawatan.
1) Kajian Primer
Kajian primer digunakan untuk menangani pasien gawat darurat.
Kajian primer diprioritaskan menangani pasien paling parah dan
membutuhkan tindakan segera. Menurut Kartikawati (2014) table
komponen pengkajian primer dapat dilihat sebagai berikut.

Komponen Pemeriksaan
Airway (Jalan  Periksa apakah jalan napas paten atau
napas) tidak
 Periksa vokalisasi
 Ada tidaknya aliran udara
 Periksa suara napas abnormal atau
normal : stridor, snoring, gurgling
Breathing  Periksa apakah ada naikturunnya
(Pernapasan) dinding dada, suara napas dan
hembusan napas pasien
 Memeriksa warna kulit pasien
 Mengidentifikasi pola pernapasan
abnormal pada pasien
 Periksa apakah pasien menggunakan
otot bantu pernapasan, deviasi trakea,
gerakan dinding dada yang simetris
 Memeriksa pola napas pasien : adanya
tachipneal bradipnea, kemampuan
berbicara pasien atau adanya
pernapasan cuping hidung
Circulation  Pemeriksaan denyut nadi. Periksa
(Sirkulasi) kualitas dan karakter denyutnya
 Periksa irama jantung menggunakan
EKG atau dengan cara manual.
Apakah normal atau terjadi
abnormalitas jantung
 Pemeriksaan kapiler, suhu tubuh dan
warna kulit, apakah terjadi diaforesis

2) Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder umumnya bertujuan untuk mengidentifikasi
penyakit yang dikeluhkan oleh pasien. Menurut Kartikawati (2014)
table komponen pengkajian sekunder dapat dilihat sebagai berikut.

Komponen Pertimbangan
Observasi  Perawat mempertimbangkan hasil observasi
Umum berdasarkan penampilan pasien, posturdan
posisi tubuh
 Pemeriksaan terhadap pasien, apakah pasien
memang menggunakan tindakan perlindungan
diri
 Observasi keluhan umum yang dirasakan
pasien
 Pemeriksaan kesadaran pasien
 Observasi perilaku pasien, apakah pasien
merasa ketakutan, gelisah atau tenang
 Periksa komunikasi verbal pasien, apakah
berbicara jelas atau bergumam bingung
 Amati apakah pasien bau etanol, urine, bau
obat kimiawi atau bau keton
 Periksa apakah ada tanda luka, baik luka baru
atau pun luka lama
Kepala dan  Periksa apakah terjadi pendarahan, luka atau
Wajah terjadi bentuk asimetri pada pasien
 Periksa bagain mata, apakah pupil mata
bereaksi terhadap cahaya dan perhatikan
ukuran dan bentuk pupil kanan kiri
 Periksa status viral pasien
 Lakukan palpasi kulit kepala untukpasien
yang mengalami luka
 Jika terjadi palpasi, adanya benjolan pada
tulang wajah, periksa apakah bentuknya
simetris atau sebaliknya
 Pemeriksaan, apakah pasien mengalami
pembengkaka, penderahan di bagian hidung
 Periksa luka pendarahan pada telinga
 Pemeriksaan status warna mukosa, hidrasi,
atau pendarahan gigi yang hilang atau patah/
edema laring pada langit-langit mulut
 Pemeriksaan ekspresi wajah yang asimetris
dan cara berbicara pasien
Leher  Periksa apakah terjadi pembekakan, luka atau
pendarahan
 Pemeriksaan apakah terjadi emfisema
subkutan atau deviasi trakea
 Pemeriksaan palpasi adanya luka atau keluhan
nyeri pada tulang servikal
Dada  Pemeriksaan apakah terjadi benjolan,
pendarahan dan luka
 Periksa naik-turunnya dinding dada. Apakah
simetris atau tidak simetris
 Pemeriksaan apakah terjadi penggunaan otot
bantu pernapasan
 Lakukan pemeriksaan palpasi benjolan,
emfisema, nyari pada struktur dinding dada
 Pemeriksaan auskultasi suara napas kanan dan
kiri, apakah ada perbedaan atau sama
 Lakukan auskultasi suara jantung, apakah
normal atau abnormal
Abdomen  Periksa apakah terjadi luka seperti abdomen,
benda asing yang manancap, memar dan
jahitan operasi
 Auskultasi bising usus dan gangguan aortic
abdominal
 Palpasi dan membandingkan denyut di kedua
sisi abdomen
 Pemeriksaan palpasi, apakah ada masa
rigditas, pulsasi dan abdomen
 Lakukan pemeriksaan perkusi untuk
mengindikasikan adanya cairan dan udara
 Pemeriksaan palpasi hepar untuk menentukan
ukuran dan adannya benjolan
 Tekan simfisis pubis dan iliaka pelvis, periksa
apakahada ketidakstabilan atau nyeri
Ekstremitas  Pemeriksaan palpasi. Apakah ada benjolan,
pendarahan, memar dan edema
 Pemeriksaan apakah ada bekas luka, nyeri dan
patah tulang
 Pemeriksaan palpasi dan bandingkan denyut
nadi di kedua tangan
 Lakukan pencatatan capillary refill time
(CRT), perbedaan warna, pergerakan, suhu
tubuh dan sensasi
Punggung  Pemeriksaan palpasi, apakah ada benjilan,
nyeri, luka, atau memar
 Lakukan pemeriksaan rectal rauche (RT)
untuk mengidentifikasi darah, pembengkakan
prostat, hilangnya refleks sphincter internal
 Jika pasien dicurigai terluka padapunggung.
Lakukan pemeriksaan dengan cara log roll

Pengkajian berdasarkan usia memiliki parameter kajian berbeda.


Parameter kajian tersebut meliputi riwayat, tanda vital, kardivaskular, pernapasan,
dan neurologis. Parameter kajian juga dapat memperhatikan elemen lain seperti
gastrointestinal, genitourinary, musculoskeletal, integumen, endokrin, termasuk
saluran pernapasan (hidung, kepala,matam hidung dan tenggorokan). Berikut
pertimbangan pengkajian berdasarkan usia.

1) Riwayat
Parameter kajian untuk anak-anak dilihat dari riwayatnya, maka perawat
perlu mempertimbangkan kesehatan ibu pada saat kehamilan (antenatal
care).
Pada kajian umum lansia, parameter kajian yang diperhatikan perawat
adalah riwayat kesehatan selama proses penuaan.
2) Tanda Vital
Parameter kajian untuk tanda-tanda vital khusus anak-anak. Perawat
memeriksa denyut nadi si anak. Apakah ada heart rate dan pernapasan
yang lambat atau cepat.
Pemeriksaan pada lansia, dapat dilihat dari tanda vital yang dipengaruhi
oleh macam-macam pengobatan pasien.
3) Kardiovaskular
Pemeriksaan untuk kardivaskular pada anak-anak memperhatikan masalah
penyakit jantung kongenital.
Pemeriksaan kardiovaskular pada usia lanjut dilakukan apabila pasien
mengalami penurunan curah jantung dan terjadi perkembangan penyakit
jantung coroner.
4) Pernapasan
Kajian umum pernapasan pada anak-anak parameternya menggunakan alat
bantu pernapasan hidung. Pada lansia, gangguan saluran pernapasan
karena terjadi peningkatan diameter anteroposterior.
5) Neurologis
Ketika melakukan pemeriksaan neurologis pada anak-anak, hal yang
diperhatikan oleh perawat adalah tingkat perkembangan anak. Pada pasien
lansia, hal yang diperhatikan perawat adalah apakah terjadi degenerasi
fungsi saraf atau transmisi saraf.
6) Gastrointestinal
Parameter kajian pada anak yang mengalami nyeri memerlukan
perlindungan pada abdomen. Sementara itu, lansia yang mengalami
gangguan gastrointestinal ditandai dengan gangguan pencernaan, motilitas
usus, dan permukaan gastrointestinal menurun.
7) Genitourinari
Genitourinari pada anak-anak, ditandai dengan kemampuan anak
mengendalikan buang air kecil. Pada pasien lanjut usia, parameter kajian
terjadinya penurunan fungsi ginjal di usia 40 tahun ke atas.
8) Muskoloskeletal
Parameter kajian muskoloskeletal pada bayi ditandai dengan kelenturan
tulang bayi. Pada pasien lansia, gangguan muskoloskeletal ditandai dengan
oenurunan massa otot.
9) Integumen
Pada pasien anak-anak, yang perlu diperhatikan perawat dalam kajian ini
adalah mempertimbangkan adanya alergi popok. Pada lansia, gangguan
integument ditandai dengan berkurangnya pergerakan yang menyebabkan
dermatitis statis dan penyakit lambung.
10) Endokrin
Pada anak-anak, parameter kajian yang umum terjadi pertumbuhan
hormone yang bersifat abnormal. Sedangkan pada pasien lansia,
mengalami gangguan tiroid.
11) Hematologi
Anak-anak dalam kajian hematologi bisa saja mengalami anemia, penyakit
darah, dan leukemia. Sedangkan pada lansia mengalami kadar hematocrit,
berkurangnya hemoglobin dan absorbs vitamin B12.
12) Imun
Parameter kajian imun pada anak-anak cenderung bersifat pasif setelah
dilahirkan. Sementara itu, pada lansia memiliki respons imun terhadap
antibodi yang terus menurun, mengikuti usia yang bertambah.

2. Riwayat Kesehatan
Perawat melakukan pencatatan riwayat kesehatan pasien sehingga
memungkinkan perawat untuk membuat patokan dasar pengkajian tentang status
pasien.

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sistem pernapasan merupakan pengumpulan data yang
reliable dan berpedoman pada informasi secara menyeluruh. Teknik dasar
pemeriksaan fisik meliputi empat hal. Keempat hal tersebut meliputi inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi.
a. Inspeksi
Pemeriksaan ini meliputi pengkajian kondisi pasien, apakah pasien
dalam kondisi sadar atau tidak. Pemeriksaan ini termasuk pemeriksaan
penampilan pasien, misalnya melihat apakah pasien bisa berbicara atau
tidak, mengalami pendarahan atau yang lainnya.
b. Auskultasi
Perawat mendengarkan intensitas volume bunyi napas, apakah napas
pasien normal atau sebaliknya.
c. Palpasi
Pemeriksaan palpasi untuk mengetahui apakah ada kekakuan, nyeri,
ukuran organ, dan adanya massa.
d. Perkusi
Pemeriksaan perkusi dapat menghasilkan suara yang dapat didengar,
vibrasi taktil, dan menggema.
DAFTAR PUSTAKA

Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6

Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro BA and


Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood Gases.Mosby, Baltimore,
Pp. 13-24.

Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care


Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp.
269-89

Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Kurniadi, Ricky. 2017. Gambaran Pasien Gagal Napas Dengan Kelainan Paru
Pada Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malim Medan Bukan
Januari Sampai Agustus Tahun 2017. Skripsi. Fakultas Kedokteran.
Universitas Sumatera Utara

Mangku G. 2002. Respirasi. In Universitas Kedokteran Fakultas Kedokteran


Laboratorium Anestesiologi dan Reanimasi. Diktat Kumpulan Kuliah
Buku I. Denpasar. Pp 42-49.

Murat K, Michael R P. 2012. Respiratory Failure. Available from :http://


emedicine.medscape.com/article/167981-overview.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/a3094ca3eede2196
d8bdb1a6fffc6b2c.pdf. Accessed 8 Maret 2020

http://spesialis1.pikr.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/Respiratory-
failure-in-pulmonary-tuberculosis-Dr.Daniel.pdf Accessed 8 Maret 2020

Anda mungkin juga menyukai