Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

FARINGITIS BAKTERIAL AKUT

Oleh :

Carolin 21710117
Nini Primadhani Paras Shinta Dewi 21710100

Pembimbing :
dr. Lenny Buana W. Sp. THT-KL

SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH NGANJUK
2021
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

TONSILITIS AKUT

Oleh:

Carolin 21710117
Nini Primadhani Paras Shinta Dewi 21710100

Telah disetujui dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Dan dinyatakan lulus oleh :

Pembimbing,

dr. Lenny Buana Wuriningtyas, Sp.THT-KL

SMF

SMF Ilmu Kesehatan THT


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan referat ini dengan judul “Faringitis Bakterial Akut”.

Referat ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian utama SMF
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala Leher RSUD Nganjuk . Penulis
menyadari bahwa referat ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang
tidak terbatas.

Terselesaikannya referat ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai
pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan
penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS., Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis menuntut ilmu di Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
2. dr. Lenny Buana Wuriningtyas, Sp.THT-KL selaku Staff bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin serta sebagai pembimbing Referat di RSU dr.Wahidin Sudirohusodo yang telah
memberikan banyak ilmunya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini
dengan maksimal.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
masukan yang berharga bagi penulis. Semoga nantinya referat ini bisa memberikan sumbangan
pikiran yang berguna bagi fakultas dan masyarakat.

Nganjuk , 29 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................

BAB II TINJAUN PUSTAKA................................................................

2.1 Anatomi........................................................................................
2.2 Definisi........................................................................................
2.3 Epidemiologi...............................................................................
2.4 Etiologi........................................................................................
2.5 Patogenesis..................................................................................
2.6 Klasifikasi...................................................................................
2.7 Manifestasi klinis........................................................................
2.8 Diagnosis....................................................................................
2.9 Penatalaksaan..............................................................................
2.10 Komplikasi................................................................................
2.11 Prognosis...................................................................................

BAB III RINGKASAN..................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis merupakan peradangan yang terjadi pada


tonsil yang disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tonsil
menjadi bengkak, merah, melunak, dan memiliki bintik-
bintik putih di permukaannya. Tonsilitis merupakan salah
satu infeksi saluran pernapasan bagian atas (ISPA) yang
sering terjadi pada balita. Hal ini dikarenakan sistem
imunologis pada tonsil manusia paling aktif pada usia antara
4 sampai dengan 10 tahun. Tonsilitis dapat menyebabkan
balita mengalami kesulitan menelan, serta apneu obstruksi
saat tidur dengan hipoksia ringan sampai berat.1

Faringitis merupakan suatu peradangan pada dinding


faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma, toksin, dan lain lain.1 Faringitis merupakan salah satu
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang sering
menyebabkan pasien datang berobat. Lebih dari 225 patogen,
termasuk 200 virus, merupakan penyebab dari infeksi saluran
pernapasan akut. Mikroorganisme yang sering menyebabkan
faringitis adalah virus (40-60%) dan bakteri (5-40%). Virus
penyebab faringitis diantaranya adalah rhinovirus (±20%),
coronavirus (±5%), influenza virus, parainfluenza virus,
adenovirus, Herpes simplex virus type 1 & 2, coxsackie virus
A, cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain itu
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) juga dapat
menyebabkan terjadinya faringitis. Faringitis yang
disebabkan bakteri biasanya oleh Streptococcus pyogenes,
Streptococcus beta haemoliticus grup A, Chlamydia sp, dan
Neisseria gonorrhoeae.2 Menurut epidemiologi secara global,
lebih dari 30 juta kasus faringitis terdiagnosis setiap

1
tahunnya. Baik laki-laki dan perempuan memiliki peluang
yang sama untuk terkena faringitis tergantung dengan
umurnya. Infeksi oleh Streptococcus lebih sering terjadi pada
usia 5-18 tahun, 11% dari seluruh anak usia sekolah bisa
terkena faringitis.3

Terapi yang tepat sebagai penatalakanaan faringitis


akan didapat dengan mengetahui etiologi dari penyakit
tersebut, apakah dikarenakan virus atau bakteri. Untuk
menegakkan diagnosis faringitis viral atau bakterial dapat
dilakukan dengan anamnesis yang cermat disertai
pemeriksaan fisik yang tepat. Pemeriksaan penunjang dengan
kultur bakteri dapat dilakukan, namun membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya. Tujuan dari
penulisan referat ini adalah agar para praktisi medis,
khususnya penulis dan rekan sejawat mempunyai
pengetahuan yang cukup dalam menghadapi kasus faringitis,
serta dapat membedakan etiologi dari faringitis viral maupun
bakterial berdasarkan manifestasi klinis pada penyakit
tersebut sehingga dapat memberikan terapi yang adekuat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya terlihat
seperti corong dengan ukuran bagian atasnya lebih besar dan bagian
bawah lebih sempit. Faring merupakan ruang utama traktus respiratorius
dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar
tengkorak dan terus menyambung sampai ke esophagus hingga setinggi
vertebra servikalis ke-6. Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa ±14 cm dan bagian ini merupakan dinding faring terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.4

Unsur-unsur faring.1

Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lender (mucous blanket) dan


otot.
A. 1 Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya
bersilia, epitelnya torak berlapis mengandung sel goblet. Di bagian
bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk
saluran cerna maka epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di
sepanjang faring dapat ditemukan banyak jaringan limfoid yang terletak
dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu, faring dapat juga disebut bagian
pertahanan tubuh terdepan.
B. 2 Palut Lendir (Mucous Blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernafasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak
di atas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut

2
3

lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh
udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim lisosom yang
penting untuk proteksi.

C. 3 Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot yang sirkuler terdiri dari m. konstriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar,
berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot
bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu
sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe
faring” (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen
faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh nervus vagus.
Otot-otot yang longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring.
Letak otot-otot ini di sebelah dalam. M. stilofaring berfungsi untuk
melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m. palatofaring
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot ini
penting pada waktu menelan. M. stilofaring dipersarafi oleh n. IX, dan m.
palatofaring dipersarafi oleh n. X. Pada palatum mole terdapat lima pasang
otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fascia dari mukosa yaitu m.
levator veli palatini, m. tensor veli palatini, m. palatoglosus, m.
palatofaring dan m. azigos uvula.
M. levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius. M. tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan
kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan
membuka tuba Eustachius. M. palatoglosus membentuk arkus anterior
laring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. M. palatofaring
membentuk arkus posterior faring. M. azigos uvula merupakan otot yang
kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke belakang atas.
Kesemua otot-otot ini dipersarafi oleh n. X. (Gambar 1).
4

Gambar 1. Otot-otot Faring dan Esofagus 1


2.2 Definisi Faringitis
Faringitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan
dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-
40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.1 Faringitis adalah infeksi atau
iritasi pada faring atau tonsil.6
2.3 Epidemiologi Faringitis 3

Menurut epidemiologi secara global, lebih dari 30 juta kasus


faringitis terdiagnosis setiap tahunnya. Baik laki-laki dan perempuan
memiliki peluang yang sama untuk terkena faringitis tergantung dengan
umurnya. 90% faringitis pada dewasa dan 60-70% faringitis pada anak-
anak disebabkan oleh virus.7 Infeksi oleh Streptococcus lebih sering terjadi
pada usia 5-18 tahun, 11% dari seluruh anak usia sekolah bisa terkena
faringitis.3 Berdasarkan musim, faringitis lebih sering terjadi pada musim
dingin dan awal musim semi. Faringitis merupakan self-limiting disease
dan menyebar melalui kontak dengan penderita.7
2.4 Etiologi Faringitis 1
Mikroorganisme yang sering menyebabkan faringitis adalah virus
(40-60%) dan bakteri (5-40%). Virus penyebab faringitis diantaranya
adalah rhinovirus (±20%), coronavirus (±5%), influenza virus,
parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1 & 2,
5

coxsackie virus A, cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain


itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis. Faringitis
yang disebabkan bakteri biasanya oleh Streptococcus pyogenes,
Streptococcus β haemoliticus grup A, Chlamydia sp, dan Neisseria
gonorrhoeae.2
Berdasaarkan penelitian, faringitis sebagian besar diakibatkan oleh
viral, dengan 90% pada dewasa, dan 60-70% pada anak. 3 Infeksi oleh
Streptococcus β haemoliticus grup A merupakan penyebab utama faringitis
pada anak berusia 5-15 tahun, namun jarang ditemukan pada anak berusia
<3 tahun.1
2.5 Patogenesis
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus
dapat secara langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon
inflamasi lokal. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel
terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal
terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada
awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan
hiperemis, pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan
yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau
jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada
dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang
dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi
lokal dan pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein
dari Group A streptococcus memiliki struktur yang sama dengan
sarkolema pada myocard dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan
kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan akut
6

glomerulonefritis karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya


kompleks antigen-antibodi.
2.6 Klasifikasi Faringitis
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, faringitis dibagi menjadi
faringitis akut dan faringitis kronik. Masing-masing memiliki etiologi
tersendiri dalam patogenesisnya.1
1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
b. Faringitis Bakterial
c. Faringitis Fungal
d. Faringitis Gonorea
2. Faringitis Kronik
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
b. Faringitis Kronik Atrofi

Pada referat ini akan dibahas mengenai faringitis akut, khususnya


faringitis viral dan faringitis bakterial.

Faringitis Bakterial
Faringitis bakterial merupakan peradangan pada faring yang
disebabkan oleh bakteri. Penyebab dari faringitis bakterial yang paling
sering adalah infeksi oleh Group A beta-haemolytic streptococci
(GABHS). Infeksi oleh GABHS terjadi 15-30% kasus pada faringitis anak
dan 5-10% pada dewasa.10 Bakteri non-GBHS penyebab faringitis
diantaranya adalah Group C dan G streptocooci, Aracnobacterium
haemolyticum, Corynebacterium diphtheria, Mycoplasma pneumoniae, C.
pneumonia, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia sp, dan Yersinia sp.
2.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada faringitis oleh bakteri pada umumnya


terdapat keluhan nyeri tenggorokan, demam hingga mencapai suhu 40 oC,
nyeri menelan, sakit kepala, nyeri abdomen yang disertai mual dan
muntah. Demam pada pasien berlangsung 1-4 hari, pada kasus yang berat,
7

pasien dapat mengalami demam hingga 2 minggu. 11 Pada faringitis bakteri


khususnya infeksi oleh GABHS tidak terdapat gejala batuk.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik akan ditemukan hiperemis


pada tonsil, faring, dan jaringan sekitarnya. Terdapat uvula hiperemis atau
disebut “Beefy Red”, disertai eksudat pada tonsil yang membengkak. Bisa
juga ditemukan petechiae pada palatum, lidah yang merah disertai bitnik-
bintik putih (Strawberry Tongue), halitosis, dan scarlatiniform rash.
Scarlatiniform rash adalah bercak-bercak eritema, berbentuk papular,
kadang pucat. Biasanya muncul pada 2 hari pertama, pertama muncul di
bagian leher lalu menjalar ke punggung dan ekstremitas. Setelah 3-4 hari
akan terjadi resolusi, lalu muncul deskuamasi pada area tersebut. Terdapat
pembesaran kelenjar getah bening servikal anterior pada infeksi oleh
GABHS.

Gambar 12. Streptococcal Faringitis12

Untuk menentukan kemungkinan adanya infeksi bakterial oleh


GABHS, digunakan kriteria Centor yang merupakan manifestasi klinis
dari faringitis akut bakterial. Kriteria ini telah dimodifikasi dengan
menambahkan kriteria umur dan telah divalidasi pada 600 orang dewasa
dan anak-anak.12

Pada faringitis bakteri yang disebabkan oleh streptococcus grup C


dan G, akan menimbulkan gejala mirip dengan infeksi oleh GABHS.
8

Namun pada anak-anak kasus tersebut jarang ditemukan. Diagnosis dapat


ditegakkan dengan kultur bakteri.

Infeksi oleh Neisseria gonorrhoeae berhubungan dengan kontak


oral-genital dan sering bersifat asimptomatik. N. gonorrhoeae dapat
diidentifikasi dengan agar Thayer-Martin.

Mycoplasma pneumonia merupakan bakteri atipikal yang angka


kejadiannya semakin meningkat sebagai penyebab dari faringitis bakterial.
Manifestasi klinis yang ditemukan berhubungan dengan adanya gangguan
pulmonal.

Infeksi oleh Corynebacterium diphteriae sering terjadi pada


penyakit ini. Setelah periode inkubasi, yaitu setelah 5 hari, pasien akan
mengalami nyeri tenggorokan, sakit menelan, demam, sesak napas, mual,
dan sakit kepala. Tanda-tanda klinis yang muncul diantaranya terdapat
demam, takikardia, hoarseness, stridor, disertai retraksi sternal. 14 Terdapat
pseudomembran pada faring yang bisa menyebabkan obstruksi jalan
napas, adanya limfadenopati servikal disertai edema pada soft tissue yang
memberikan gambaran “Bull Neck Appearance”.15

Gambar 14. Pseudomembrane Difteria15

2.8 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis faringitis bakterial atau viral dapat
dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
untuk mengetahui dengan pasti etiologi dari faringitis. Menegakkan diagnosis
9

dengan mengetahui etiologi penyakit tersebut akan mengarahkan praktisi


medis untuk memberikan terapi yang tepat pada pasien.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui gejala
dan tanda klinis pada pasien, sehingga dapat mengarahkan kita untuk
mengetahui etiologi faringitis tersebut, apakah karena virus, bakteri, atau
etiologi lain. Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan bila ada kecurigaan
terhadap faringitis bakterial terutama GABHS. Faringitis viral hanya
dibutuhkan perawatan suportif dan tidak memerlukan pemeriksaan
penunjang.12 Bila ditemukan kemungkinan terinfeksi GABHS, menurut
Guidelines from Infectious Disease Society of America (IDSA), American
Academy of Pediatrics, dan American Heart Association, perlu dilakukan tes
GABHS yaitu dengan swab tenggorok untuk membuktikan mikroorganisme
tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis dan terapi yang tepat diantaranya adalah:13
1. Pemeriksaan darah lengkap
Dapat ditemukan peningkatan leukosit.
2. Kultur bakteri dengan swab tenggorok
Merupakan standar diagnosis faringitis bakteri oleh GABHS. Kultur
tenggorok 90-95% sensitive, dengan 5-10% false negative, oleh karena itu
perlu dilakukan kultur kembali pada pasien yang sebelumnya negative.
Sampel diambil dengan swab faring dan regio peritonsil, dibiakkan pada
plat agar darah domba. Hasil membutuhkan waktu 24-72 jam.
3. GABHS Rapid Antigen Detection Test (RADTs)
Kekurangan dari kultur specimen swab tenggorok adalah keterlambatan
waktu dalam menentukan hasil, oleh karena itu dikembangkan
pemeriksaan RADTs, walaupun lebih mahal, namun hasil dapat diperoleh
lebih cepat. Pemeriksaan ini menggunakan enzim atau ekstraksi asam dari
swab tenggorok. Sensitifitas 80-90% spesifisitas 95%.
4. Enzyme linked immunoabdorbent assay (ELISA)
Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas antara 76-97% dan spesifisitas
>95%.
10

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan faringitis karena virus, pasien dianjurkan untuk istirahat,


minum yang cukup, dan berkumur dengan air hangat. Analgetika diberikan
jika perlu, seperti paracetamol atau ibuprofen, untuk mengurangi rasa tidak
nyaman di tenggorokan. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada
infeksi herpes simplex dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian per hari pada dewasa, dan pada anak diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian per hari.

Pada faringitis bakteri, idealnya pengobatan ditunda sampai hasil


kultur tersedia. Namun bila sudah diduga penyebab adalah GABHS
berdasarkan kriteria Centor, maka pengobatan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan. Diberikan antibiotic Penicilin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis
tunggal atau amoxicillin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali per hari selama 10
hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg
per hari.

Gambar 15. Regimen Antibiotik pada Streptococcal Faringitis16


11

2.10 Komplikasi
Faringitis viral memiliki risiko komplikasi yang rendah dibandingkan
dengan faringitis bakterial. Infeksi mononucleosis bisa menyebabkan
komplikasi abses leher dalam misalnya abses peritonsil. Infeksi oleh virus
herpes simplex bisa menyebabkan komplikasi tonsilitis atau epiglotitis. Virus
influenza bisa menyebabkan secondary bacterial pneumonia. Pada bayi, orang
tua, dan pasien dengan PPOK yang terinfeksi RSV bisa menyebabkan
pneumonia dan gagal napas.

Faringitis bakterial akibat infeksi GABHS memiliki beberapa


komplikasi seperti komplikasi lokal, acute rheumatic fever, rheumatic heart
disease, dan poststreptococcal glomerulonephritis. Komplikasi lokal yang
dapat terjadi diantaranya adalah abses retrofaring, abses peritonsil, sinusitis,
otitis media, mastoiditis, dan limfadenitis servikal.8

Komplikasi acute rheumatic fever (ARF) terjadi 2-4 minggu setelah


episode faringitis bakterial. Diduga akibat adanya reaksi silang antara antibodi
antistreptococcal dan antigen sarkolema otot dan ginjal sehingga
menimbulkan kerusakan pada otot jantung dan katup, jaringan ikat, sendi, dan
SSP. Kriteria mayor pada ARF diantaranya adalah karditis, poliarthritis,
chorea, eritema marginatum, dan nodul subkutan. Kriteria minor antara lain
demam, poliatralgia, leukositosis, peningkatan erythrocyte sedimentation rate,
dan P-R int erval yang memanjang. Diagnosis ditegakkan bila terdapat 2
kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor dengan bukti
positif adanya infeksi GABHS. Rheumatic heart disease (RHD) merupakan
komplikasi lanjut dari ARF. Katup mitral merupakan bagian yang terinfeksi
pada penyakit ini. Pada poststreptococcal glomerulonephritis terjadi 1-3
minggu setelah infeksi faringitis. Terdapat gejala hematuria, edema, dan
hipertensi pada pasien.6

2.11 Prognosis
12

Faringitis adalah self-limiting disease. Gejala biasanya menghilang


setelah 1-2 minggu tanpa pengobatan. Pada pasien dengan infeksi
mononucleosis, demam menghilang setelah 10 hari.8
BAB III

RINGKASAN

Faringitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi peradangan dinding


faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi,
trauma, toksin dan lain-lain.1 Faringitis adalah infeksi atau iritasi pada faring atau
tonsil.6 Menurut epidemiologi secara global, lebih dari 30 juta kasus faringitis
terdiagnosis setiap tahunnya. Baik laki-laki dan perempuan memiliki peluang
yang sama untuk terkena faringitis tergantung dengan umurnya. Mikroorganisme
yang sering menyebabkan faringitis adalah virus (40-60%) dan bakteri (5-40%).
Manifestasi klinis dari masing masing virus penyebab faringitis dapat
bervariasi tergantung jenis virusnya. Pada umumnya terdapat gejala demam,
malaise, perununan nafsu makan, suara serak, batuk, disertai nyeri pada
tenggorokan. Berdasarkan pemeriksaan fisik pada faringitis akibat virus biasanya
ditemukan adanya edema dan eritema pada pasien.
Manifestasi klinis pada faringitis oleh bakteri pada umumnya terdapat
keluhan nyeri tenggorokan, demam hingga mencapai suhu 40oC, nyeri menelan,
sakit kepala, nyeri abdomen yang disertai mual dan muntah. Demam pada pasien
berlangsung 1-4 hari, pada kasus yang berat, pasien dapat mengalami demam
hingga 2 minggu.11 Pada infeksi oleh GABHS tidak terdapat gejala batuk.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik akan ditemukan hiperemis pada tonsil, faring,
uvula hiperemis atau disebut “Beefy Red”, disertai eksudat pada tonsil yang
membengkak. Bisa juga ditemukan petechiae pada palatum, lidah yang merah
disertai bitnik-bintik putih (Strawberry Tongue), halitosis, dan scarlatiniform rash.
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening servikal anterior pada infeksi oleh
GABHS.

13
14

DAFTAR PUSTAKA

1. Prasetya, Gita Zeny, et al. 2018. Pengaruh Suplementasi Seng Terhadap Kejadian
Tonsilitis Pada Balita. Journal of Nutrition College. Volume 7. Nomor 4. Halaman
186-194.
2.
3. Nandi S, Kumar R, et al. Group A Streptococcal Sore Throat in a Periurban
Population of Northern India: a One Year Prospective Study. Bulletin of the World
Health Organization. 2001;79.
4. Goswaml KK, Ahmed SA. A Chronic Pharyngitis: A Rare Case Report. Sch J Med
Case Rep. 2014; 2(5):345.
5. Adam GL. Diseases of the nasopharynx and oropharynx. In: Boies fundamentals of
otolaryngology. A text book of ear, nose and throat diseases 6th Ed. WB Saunders Co
2009: p,332-69.
6. Bailey BJ, Johnson JT, American Academy of Otolaryngology – Head and Neck
Surgery. Lippincott Williams & Wilkins, Fourth Edition, Volume one, United States
of America, 2006. p601-13.
7. Acerra JR. Ed: Dyne PL. Pharyngitis. Medscape. Updated on november 2021.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/764304-overview. november 22th
2021.
8. Chamberlain NR. Infections of the Upper Respiratory Tract. Updated on nomber 21 st
2014. Available at:
http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Website/lectures/lecture/uriphyn.htm.
Accesed on november 21th 2021.
9. Aung K. Ed: Bronze MS. Viral Pharyngitis Clinical Presentation. Medscape. Updated
on november 21th 2021. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/225362-
clinical. Accessed on november 21th 2021.
10. Parija SC. Ed: Cunha BA. Parainfluenza Virus Clinical Presentation. Medscape.
Updated on June 4th 2014. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/224708-clinical. Accessed on november 21th
2021.
11.  Bisno AL, Gerber MA, Gwaltney JM Jr, Kaplan EL, Schwartz RH, for the Infectious
Diseases Society of America. Practice guidelines for the diagnosis and management
of group A streptococcal pharyngitis. Clin Infect Dis. 2002;35:(2):113–125.
15

12. Berhman, Richard E. Sistem Pernapasan: Infeksi Saluran Nafas Bagian Atas. Nelson
Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. ECG. Jakarta.
13. McIsaac WJ, Goel V, To T, Low DE. The validity of a sore throat score in family
practice. CMAJ. 2000;163(7):811–815.
14. Crawford G, Brancato F, Holmes K. Streptococcal Pharyngitis: Diagnosis by Gram
Stain. Annals of Internal Medicine. 1979;90:293-7.
15. Bush LM, Perez MT. Diphteria. The Merck Manual. Updated on november 22th 2021.
Available at: http://www.merckmanuals.com/professional/infectious_diseases/gram-
positive_bacilli/diphtheria.html. Accessed on november 22th 2021.
16. Zakikhany K, Efstratiou A. Diphtheria in Europe: current problems and new
challenges. Future Microbiol. 2012 May;7(5):595-607.
17. Elias B. Chahine, PharmD, management of syreptococcal
Pharyngitis.https://www.uspharmacist.com/article/management-of-streptococcal-
pharyngitis. Accessed on november 22th 2021.

Anda mungkin juga menyukai