Anda di halaman 1dari 18

Tinjauan Pustaka

RINITIS ALERGI PERSISTEN

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan
Leher Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama

Disusun Oleh:
Febrianta Syahputra, S.Ked
22174007

Pembimbing:
dr. Azwar Abdullah, Sp. THT-BKL

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA/
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
BANDA ACEH
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas
Tinjauan Pustaka pada bagian/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher dengan judul “Rinitis Alergi Persisten”. Shalawat
beriring salam Penulis sampaikan kepada Rasulullah nabi Muhammad SAW, atas
semangat perjuangan dan pengorbanan bagi ummatnya. Ucapan terima kasih
Penulis sampaikan kepada dr. Azwar Abdulllah, Sp. THT-BKL yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan Tinjauan Pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa Tinjauan Pustaka ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari pembimbing dan teman-teman akan Penulis
terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan
bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, Oktober 2023


Penulis,

Febrianta Syahputra, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG...................................... 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung................................................................... 2
BAB III RINITIS ALERGI PERSISTEN.................................................... 3
3.1 Definisi....................................................................................................... 3
3.2 Epidemiologi.............................................................................................. 4
3.3 Etiologi................................................................................................... 4
3.4 Patofisiologi............................................................................................ 5
3.5 Klasifikasi............................................................................................... 6
3.6 Diagnosis................................................................................................ 7
3.7 Tatalaksana............................................................................................. 10
BAB IV KESIMPULAN............................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 13

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Hidung..................................................................................2

Gambar 2 Patofisiologi Rinitis Alergi.................................................................7

Gambar 3 Alur Diagnosis Rinitis Alergi Menurut WHO.....................................10

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi (RA) merupakan suatu masalah kesehatan yang sering


ditemukan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi yang diperantarai oleh sistem
imun akibat paparan satu atau lebih alergen. Meskipun kondisi ini tidak
mengancam nyawa tetapi pada kebanyakan kasus rinitis alergi dapat
menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari yang pada akhirnya
menyebabkan beban pada masalah ekonomi dan kesehatan. 1

Penyebab terjadinya rinitis alergi bergantung pada seberapa sensitif pasien


dengan alergen. Ada individu yang mempunyai sensitivitas terhadap lebih dari
satu alergen dan rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. Berdasarkan
jenis alergennya, penyebab dari rinitis alergi terbagi menjadi dua, yaitu penyebab
spesifik dan penyebab non-spesifik. Penyebab spesifik sebagian besar merupakan
alergen inhalan, alergen yang paling sering ditemukan, biasanya terbagi ke dalam
2 jenis berdasarkan kemampuan bertahan hidupnya dalam lingkungan, yaitu
perennial dan seasonal. Alergen perennial adalah alergen yang timbul sepanjang
tahun dan sulit untuk dihindar contoh debu rumah, tungau debu rumah, serpihan
kulit binatang, jamur, dan kecoa. Sedangkan alergen seasonal adalah alergen yang
timbul selama musim tertentu saja contoh serbuk sari tanaman, pohon dan rumput
liar. Penyebab non spesifik contohnya iklim, hormonal, psikis, infeksi, dan iritasi.2

Menurut World Health Organization- Allergic Rhinitis and its impact on


Asthma (WHO-ARIA), berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibagi
menjadi 2, yakni rinitis alergi intermiten (gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu) dan rinitis alergi persisten (gejala lebih dari 4 hari/minggu
dan lebih dari 4 minggu). Berdasarkan tingkat keparahannya, rinitis alergi dibagi
menjadi 2, yakni rinitis alergi ringan dan rinitis alergi sedang-berat. Pasien
dikategorikan pada rhinitis alergi sedang berat bila mengganggu satu atau lebih
dari aktivitas tidur, aktivitas harian, berolahraga, belajar, bekerja, dan bersantai. 2

1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior. Bagian inferior kavum nasi berbatasan
dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior
berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan
dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita:
sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.3

Gambar 1. Anatomi Hidung

2
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach. Vena-vena pada hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena
di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.1

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka


fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:3

a. fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),


penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal
b. fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman)
dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
c. fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang
d. fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas
e. refleks nasal.

3
BAB III
RINITIS ALERGI PERSISTEN

3.1 Definisi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh


reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen
yang sama, serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi dapat terjadi pada semua
golongan umur, terutama anak dan dewasa, namun berkurang dengan
bertambahnya usia. Faktor turun-temurun memengaruhi terjadinya rinitis alergi
sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan ras tidak berpengaruh terhadap
kejadian rinitis alergi.4

Rinitis alergi disebabkan oleh alergen, baik alergen inhalan maupun


alergen ingestan. Pada anak-anak, sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Kejadian dapat diperberat oleh faktor non-
spesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan
kelembapan yang tinggi.4

3.2 Epidemiologi

Prevalensi yang pasti dari RA sulit diketahui dengan pasti disebabkan oleh
beberapa alasan, termasuk perbedaan bagaimana cara penegakan diagnosis.
Secara umum RA sering terjadi pada 10-30% orang dewasa dan hampir 40% pada
anak-anak. Di beberapa negara lebih dari 50% remaja dilaporkan menderita
keluhan rinitis. Di Amerika Serikat sebuah survei kesehatan yang dilakukan oleh
Center for Disease Control (CDC) pada tahun 2009 mendapatkan 8,2 juta anak-
anak (11%) dilaporkan menderita keluhan pernafasan terkait alergi dalam 12
bulan terakhir. Disebutkan pula bahwa di Amerika Serikat, RA merupakan
penyebab kedua terbanyak dari penyakit kronis yang mengenai hampir 60 juta
penduduk Amerika, dimana kira-kira terdapat 1 orang di antara 4 rumah tangga.

4
Dari yang menderita tersebut lebih dari setengahnya memiliki gejala RA lebih dari
10 tahun.1

3.3 Etiologi

Penyebab terjadinya rinitis alergi bergantung pada seberapa sensitif pasien


dengan alergen. Ada individu yang mempunyai sensitivitas terhadap lebih dari
satu alergen dan rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. Berdasarkan
jenis alergennya, penyebab dari rinitis alergi terbagi menjadi dua, yaitu penyebab
spesifik dan penyebab non-spesifik. Penyebab spesifik sebagian besar merupakan
alergen inhalan, alergen yang paling sering ditemuka, biasanya terbagi ke dalam 2
jenis berdasarkan kemampuan bertahan hidupnya dalam lingkungan, yaitu
perenial dan seasonal. Alergen perenial adalah alergen yang timbul sepanjang
tahun dan sulit untuk dihindar contoh debu rumah, tungau debu rumah, serpihan
kulit binatang, jamur, dan kecoa. Sedangkan alergen seasonal adalah alergen yang
timbul selama musim tertentu saja contoh serbuk sari tanaman, pohon dan rumput
liar. Penyebab non spesifik contohnya iklim, hormonal, psikis, infeksi, dan iritasi.4

3.4 Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan


tahap sensitisasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi dapat
dibagi menjadi dua yaitu reaksi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase lambat.
Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga satu jam
setelahnya sedangkan reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam setelah paparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.4

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit berperan sebagai sel penyaji atau Antigen Presenting Cell (APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida pendek dan bergabung
dengan molekul Human Leucocyte Antigen atau HLA kelas II membentuk
komplek peptida Major Hystocompatibility Complex atau MHC kelas II yang
kemudian dipresentasikan pada sel T-helper yaitu Th0.4

5
Kemudian APC akan melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. 8,9 Th2 akan
menghasilkan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
memproduksi imunoglobulin E atau IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi. Pada proses ini
dihasilkan sel mediator yang tersensitisasi.4

Jika mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar oleh alergen yang sama
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi sel
mastosit dan basofil. Mediator kimia yang sudah terbentuk atau disebut juga
preformed mediator seperti histamin akan terlepas. Selain itu juga dikeluarkan
newly formed mediator seperti prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4,
bradikinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin seperti IL 3, IL4, IL5,
IL6, Granulocyte Macrofage Colony Stimulating Factor (GM-CSF). Reaksi ini
disebut reaksi alergi fase cepat.4

Histamin kemudian akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf


vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin;
hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet serta peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi rinore; vasodilatasi sinusoid sehingga menimbulkan
hidung tersumbat; menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada reaksi alergi
fase cepat, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak setelah 6- 8 jam. Reaksi ini disebut reaksi alergi
fase lambat.4

Reaksi alergi fase lambat ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah
sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, GMCSF dan ICAM 1
pada sekret hidung. Gejala hiperaktif dan hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic

6
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), Eosinophilic Peroxidase (EPO).4

Gambar 2. Patofisiologi Rhinitis Alergi

3.5 Klasifikasi

Klasifikasi rinitis alergi yang digunakan saat ini berdasarkan pedoman dari
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:1,5

a. Intermiten (kadang – kadang), yaitu apabila gejala yang dialami kurang


dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu berturut-turut.
b. Persisten atau menetap, yaitu apabila gejala yang dialami lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4 minggu berturut-turut.

pasien rinitis alergi persisten mempunyai gejala yang lebih parah, tingkat
kesadaran diri yang lebih tinggi, diagnosis rhinitis alergi sebelumnya, penggunaan
obat yang berbeda, dan memiliki pola sensitisasi alergen yang jelas berbeda,

7
Sedangkan berdasarkan derajat penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

a. Ringan, yaitu apabila pasien tidak mengalami gangguan pada tidur, dan
mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal (termasuk bekerja
atau sekolah, berolahraga serta bersantai) dan tidak ada keluhan yang
menganggu.
b. Sedang – berat, yaitu apabila pasien mengalami gangguan tidur atau pada
aktivitas sehari-hari, dan adanya keluhan yang menganggu.

3.6 Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis menjadi sangat penting dalam penegakkan diagnosis suatu


penyakit, karena sekitar 50% diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamesis
saja. Dari hasil anamnesis dapat ditemukan gejala-gejala rinitis alergi yang khas
seperti adanya serangan bersin yang berulang-ulang, dimana bersin merupakan
gejala pada tahap Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan kadangkadang pada
tahap Reaksi Fase Lambat (RAFL) akibat dilepaskannya histamin. Gejala lainnya
yang dapat ditemukan juga ialah rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung gatal, mata gatal dan lakrimasi. Namun biasanya gejala yang timbul pada
pasien tidak lengkap, dan keluhan yang paling sering diutarakan oleh pasien
adalah hidung tersumbat.5

Rinitis alergi merupakan penyakit kronis dan berlangsung terus menerus,


dan untuk memudahkan dalam melakukan anamnesis, maka dapat dibuatkan
daftar pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada pasien dan keluarga pasien.
Ketika diagnosis RA ditegakkan, pertanyaan apakah penderita RA juga menderita
asma diperlukan, demikian halnya mengenai gejala atopi lainnya seperti alergi
makanan dan eksema.1

Timbulnya asma dan rinitis alergi pada seseorang sangat berkaitan dengan
riwayat atopi pada orang tua dan riwayat atopi pada diri sendiri. Apabila salah
satu atau kedua orang tua memiliki riwayat atopi, maka sekitar 30-50%

8
keturunannya berpeluang untuk memiliki atopi pada saat masa bayi dan anak-
anak.6

Pemeriksaan Fisik

Pada anak biasanya ditemukan tanda allergic shiner, allergic salute, dan
allergic crease. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata karena
statisnya pembuluh darah vena sekunder oleh obstruksi hidung. Allergic salute
adalah perilaku menggosok-gosok hidung karena gatal dengan menggunakan
punggung tangan. Sedangkan allergic crease adalah garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah yang ditimbul akibat perilaku menggosok-gosok
hidung. Selain itu pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa
edema, basah, berwarna pucat disertai sekret encer yang banyak, dan bila
gejalanya persisten, maka tampak mukosa inferior yang hipertrofi.6

Pemeriksaan Penunjang

a. In Vitro

Penghitungan eosinofil pada darah tepi dan pemeriksaan IgE total (prist-
paper radio immunosorbent test) dapat normal atau meningkat sehingga
pemeriksaan ini kurang spesifik. Pemeriksaan yang lebih bermakna ialah
pemeriksaan IgE spesifik dengan ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan
pelengkap, yaitu jika ditemukan sel eosinofil dalam jumlah banyak yang
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan, sedangkan jika ditemukan sel basofil
(> 5 sel/lap) berarti alergi makanan dan jika ditemukan sel polymorphonuclear
neutrophilic leukocyte (PMN) berarti adanya infeksi bakteri.5

b. In Vivo

Pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
maupun berseri Skin End-point Titration (SET) dapat digunakan untuk
menentukan alergen penyebabnya. Pada alergen inhalan SET dapat dilakukan
dengan cara menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain, SET dapat

9
digunakan untuk menentukan derajat alergi. Sedangkan pada alergen ingestan
dapat digunakan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).5

Gambar 3. Alur Diagnosis Rinitis Alergi Menurut WHO

3.1.7 Tatalaksana

Terapi rinitis alergi meliputi usaha menghindari paparan alergen, terapi


medikamentosa, dan imunoterapi alergen, namun hingga saat ini belum ada satu
pun yang terbukti dapat menyembuhkan rinitis alergi dengan sempuma seperti
halnya penyakit infeksi. Manajemen yang tepat untuk kasus rinitis alergi, di
samping mampu menurunkan gejala, diharapkan juga mampu meningkatkan
kualitas hidup pasien yang telah terganggu oleh penyakit, karena semakin tinggi
tingkat keparahan dan frekuensi gejala rinitis alergi, semakin besar juga
dampaknya terhadap penurunan kualitas hidup.7

Non Farmakologi

Pasien harus diedukasi mengenai rinitis alergi seperti perjalanan penyakit


dan tujuan penatalaksaan. Penatalaksaan medis bertujuan untuk mengurangi
gejala. Pasien juga harus diberikan informasi mengenai keuntungan dan efek

10
samping yang mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan dapat
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Pasien juga
harus diberitahu tentang faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala yang
dialami sehingga pasien dapat menghindari kontak dengan faktor penyebab atau
alergen penyebabnya.5

Farmakologi

Imunoterapi alergen mungkin cocok pada pasien rinitis alergi persisten


yang memiliki gejala parah atau jangka panjang yang sebagian besar disebabkan
oleh alergen yang mendominasi. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(ARIA) merekomendasikan imunoterapi alergen pada pasien rinitis yang dipilih
secara hati-hati (terutama bila terdapat komplikasi asma) dan sensitivitas spesifik,
dan pada pasien yang farmakoterapinya menghasilkan kontrol gejala yang tidak
lengkap atau efek samping yang tidak diinginkan.7

tatalaksana farmakologi obat diberikan selama 2‐4 minggu, kemudian


dievaluasi ulang ada atau tidak adanya respon. Bila terdapat perbaikan, obat
diteruskan lagi selama 1 bulan. Obat yang direkomendasikan yaitu Antihistamin
oral generasi kedua atau terbaru dan kortikosteroid intranasal.2

Farmakologi diperlukan karena penderita RA tidak bisa secara total


menghindari paparan alergen terutama alergen inhalan dan harus memenuhi
kriteria: aman dan efikasi tinggi, mudah pemberiannya, absorbsi cepat, cara kerja
cepat, tidak ada efek samping dan mempunyai aktivitas ‘anti-alergenik tinggi’.
Farmakologi yang dapat diberikan meliputi: antihistamin, kortikosteroid
intranasal, dekongestan, stabilisator sel mast, antikolinergik intranasal, anti
leukotrien dan anti IgE antibodi. Pemilihan obat yang diberikan harus bijaksana
dan selektif dengan memperhatikan keluhan yang dirasakan oleh penderita. Obat
yang dipilih disesuaikan dengan keluhan penderita baik berupa obat tunggal
maupun kombinasi.1

Pada simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa digunakan untuk


dekongestan hidung baik secara tunggal maupun kombinasi dengan antihistamin

11
topikal. Kortikosteroid digunakan jika gejala obstruksi hidung pada fase lambat
tidak dapat diatasi dengan obat lain, contoh kortikosteroid topikal adalah
budesonide, beklometason, flunisolide, flutikason, mometason furoat dan
triamsinolon. Kortikostreoid topikal bekerja untuk mengurangi julah sel mastosit
pada mukosa hidung, mencegah keluarnya protein sitotoksik dari eosinofil, serta
mengurangi aktifitas limfosit dan mencegah bocornya plasma.5

Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO initiative ARIA 2001: 1

12
BAB IV
KESIMPULAN

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan karena


disebabkan oleh reaksi inflamasi yang diperantarai oleh sistem imun akibat
paparan satu atau lebih alergen. dimana secara klasifikasi rinitis alergi yang
digunakan saat ini berdasarkan pedoman dari WHO ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma), yaitu ada Intermiten dan Persisten atau menetap. rinitis
alergi persisten memiliki gejala yang dialami lebih dari 4 hari/minggu dan lebih
dari 4 minggu berturut-turut. pasien rinitis alergi persisten mempunyai gejala yang
lebih parah, tingkat kesadaran diri yang lebih tinggi, diagnosis rinitis alergi
sebelumnya, penggunaan obat yang berbeda, dan memiliki pola sensitisasi alergen
yang jelas berbeda.

Terapi rinitis alergi persisten bisa dengan Imunoterapi alergen mungkin cocok
pada pasien rinitis alergi persisten yang memiliki gejala parah atau jangka panjang
yang sebagian besar disebabkan oleh alergen yang mendominasi. Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA) merekomendasikan imunoterapi alergen pada
pasien rinitis yang dipilih secara hati-hati (terutama bila terdapat komplikasi
asma) dan sensitivitas spesifik, dan pada pasien yang farmakoterapinya
menghasilkan kontrol gejala yang tidak lengkap atau efek samping yang tidak
diinginkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. I DG Arta Eka Putra, I Putu Yupindra Pradiptha. Ent Update. Fakultas


Kedokteran Universitas Abulyatama. Volume 01. No 1. Maret 2017.
2. Indah Kurnia Putri Waruwu, Isabela Irene Pangestu, Syalwa Meutia, dkk.
Rhinitis Alergi: Etiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana.
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. Volume 12 Nomor 4.1 Mei
2023.
3. Dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp. THT-BKL. Anatomi Hidung dan Sinus
Paranasal. Universitas Sumatra Utara. 2011.
4. Rizqun Nisa. Kejadian Rinitis Alergi dengan Komplikasi Otitis Media
Akut pada Anak Usia 5 Tahun.
5. Adolfina Febrianti. Hubungan Antara Rinitis Alergi Dengan Kualitas
Tidur Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Angkatan 2019. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
2021.
6. Dolly Irfandy, Muhammad Farhan Ramadhan, Sabrina Ermayanti.
Gambaran Riwayat Asma pada Pasien Rinitis Alergi di RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia. Vol 3 No 1. 2022.
7. Teti Madiadipoera, Rina Desdwi Utami, dkk. Strategi Penatalaksanaan
Rinitis Alergi untuk Mengoptimalkan Kualitas Hidup Pasien. Departemen
Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung. Vol 34 Issue 2. Agustus 2021.

14

Anda mungkin juga menyukai