Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan
Leher Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama
Disusun Oleh:
Febrianta Syahputra, S.Ked
22174007
Pembimbing:
dr. Azwar Abdullah, Sp. THT-BKL
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas
Tinjauan Pustaka pada bagian/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher dengan judul “Rinitis Alergi Persisten”. Shalawat
beriring salam Penulis sampaikan kepada Rasulullah nabi Muhammad SAW, atas
semangat perjuangan dan pengorbanan bagi ummatnya. Ucapan terima kasih
Penulis sampaikan kepada dr. Azwar Abdulllah, Sp. THT-BKL yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan Tinjauan Pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa Tinjauan Pustaka ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari pembimbing dan teman-teman akan Penulis
terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan
bekal di masa mendatang.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG...................................... 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung................................................................... 2
BAB III RINITIS ALERGI PERSISTEN.................................................... 3
3.1 Definisi....................................................................................................... 3
3.2 Epidemiologi.............................................................................................. 4
3.3 Etiologi................................................................................................... 4
3.4 Patofisiologi............................................................................................ 5
3.5 Klasifikasi............................................................................................... 6
3.6 Diagnosis................................................................................................ 7
3.7 Tatalaksana............................................................................................. 10
BAB IV KESIMPULAN............................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 13
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior. Bagian inferior kavum nasi berbatasan
dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior
berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan
dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita:
sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.3
2
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang
arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang
arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach. Vena-vena pada hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena
di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.1
3
BAB III
RINITIS ALERGI PERSISTEN
3.1 Definisi
3.2 Epidemiologi
Prevalensi yang pasti dari RA sulit diketahui dengan pasti disebabkan oleh
beberapa alasan, termasuk perbedaan bagaimana cara penegakan diagnosis.
Secara umum RA sering terjadi pada 10-30% orang dewasa dan hampir 40% pada
anak-anak. Di beberapa negara lebih dari 50% remaja dilaporkan menderita
keluhan rinitis. Di Amerika Serikat sebuah survei kesehatan yang dilakukan oleh
Center for Disease Control (CDC) pada tahun 2009 mendapatkan 8,2 juta anak-
anak (11%) dilaporkan menderita keluhan pernafasan terkait alergi dalam 12
bulan terakhir. Disebutkan pula bahwa di Amerika Serikat, RA merupakan
penyebab kedua terbanyak dari penyakit kronis yang mengenai hampir 60 juta
penduduk Amerika, dimana kira-kira terdapat 1 orang di antara 4 rumah tangga.
4
Dari yang menderita tersebut lebih dari setengahnya memiliki gejala RA lebih dari
10 tahun.1
3.3 Etiologi
3.4 Patofisiologi
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit berperan sebagai sel penyaji atau Antigen Presenting Cell (APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida pendek dan bergabung
dengan molekul Human Leucocyte Antigen atau HLA kelas II membentuk
komplek peptida Major Hystocompatibility Complex atau MHC kelas II yang
kemudian dipresentasikan pada sel T-helper yaitu Th0.4
5
Kemudian APC akan melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. 8,9 Th2 akan
menghasilkan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
memproduksi imunoglobulin E atau IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi. Pada proses ini
dihasilkan sel mediator yang tersensitisasi.4
Jika mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar oleh alergen yang sama
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi sel
mastosit dan basofil. Mediator kimia yang sudah terbentuk atau disebut juga
preformed mediator seperti histamin akan terlepas. Selain itu juga dikeluarkan
newly formed mediator seperti prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4,
bradikinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin seperti IL 3, IL4, IL5,
IL6, Granulocyte Macrofage Colony Stimulating Factor (GM-CSF). Reaksi ini
disebut reaksi alergi fase cepat.4
Reaksi alergi fase lambat ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah
sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, GMCSF dan ICAM 1
pada sekret hidung. Gejala hiperaktif dan hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
6
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), Eosinophilic Peroxidase (EPO).4
3.5 Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi yang digunakan saat ini berdasarkan pedoman dari
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:1,5
pasien rinitis alergi persisten mempunyai gejala yang lebih parah, tingkat
kesadaran diri yang lebih tinggi, diagnosis rhinitis alergi sebelumnya, penggunaan
obat yang berbeda, dan memiliki pola sensitisasi alergen yang jelas berbeda,
7
Sedangkan berdasarkan derajat penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
a. Ringan, yaitu apabila pasien tidak mengalami gangguan pada tidur, dan
mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal (termasuk bekerja
atau sekolah, berolahraga serta bersantai) dan tidak ada keluhan yang
menganggu.
b. Sedang – berat, yaitu apabila pasien mengalami gangguan tidur atau pada
aktivitas sehari-hari, dan adanya keluhan yang menganggu.
3.6 Diagnosis
Anamnesis
Timbulnya asma dan rinitis alergi pada seseorang sangat berkaitan dengan
riwayat atopi pada orang tua dan riwayat atopi pada diri sendiri. Apabila salah
satu atau kedua orang tua memiliki riwayat atopi, maka sekitar 30-50%
8
keturunannya berpeluang untuk memiliki atopi pada saat masa bayi dan anak-
anak.6
Pemeriksaan Fisik
Pada anak biasanya ditemukan tanda allergic shiner, allergic salute, dan
allergic crease. Allergic shiner adalah bayangan gelap di bawah mata karena
statisnya pembuluh darah vena sekunder oleh obstruksi hidung. Allergic salute
adalah perilaku menggosok-gosok hidung karena gatal dengan menggunakan
punggung tangan. Sedangkan allergic crease adalah garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah yang ditimbul akibat perilaku menggosok-gosok
hidung. Selain itu pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan mukosa
edema, basah, berwarna pucat disertai sekret encer yang banyak, dan bila
gejalanya persisten, maka tampak mukosa inferior yang hipertrofi.6
Pemeriksaan Penunjang
a. In Vitro
Penghitungan eosinofil pada darah tepi dan pemeriksaan IgE total (prist-
paper radio immunosorbent test) dapat normal atau meningkat sehingga
pemeriksaan ini kurang spesifik. Pemeriksaan yang lebih bermakna ialah
pemeriksaan IgE spesifik dengan ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan
pelengkap, yaitu jika ditemukan sel eosinofil dalam jumlah banyak yang
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan, sedangkan jika ditemukan sel basofil
(> 5 sel/lap) berarti alergi makanan dan jika ditemukan sel polymorphonuclear
neutrophilic leukocyte (PMN) berarti adanya infeksi bakteri.5
b. In Vivo
Pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
maupun berseri Skin End-point Titration (SET) dapat digunakan untuk
menentukan alergen penyebabnya. Pada alergen inhalan SET dapat dilakukan
dengan cara menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain, SET dapat
9
digunakan untuk menentukan derajat alergi. Sedangkan pada alergen ingestan
dapat digunakan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).5
3.1.7 Tatalaksana
Non Farmakologi
10
samping yang mungkin terjadi untuk mencegah ekspektasi yang salah dan dapat
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Pasien juga
harus diberitahu tentang faktor-faktor yang dapat memperburuk gejala yang
dialami sehingga pasien dapat menghindari kontak dengan faktor penyebab atau
alergen penyebabnya.5
Farmakologi
11
topikal. Kortikosteroid digunakan jika gejala obstruksi hidung pada fase lambat
tidak dapat diatasi dengan obat lain, contoh kortikosteroid topikal adalah
budesonide, beklometason, flunisolide, flutikason, mometason furoat dan
triamsinolon. Kortikostreoid topikal bekerja untuk mengurangi julah sel mastosit
pada mukosa hidung, mencegah keluarnya protein sitotoksik dari eosinofil, serta
mengurangi aktifitas limfosit dan mencegah bocornya plasma.5
12
BAB IV
KESIMPULAN
Terapi rinitis alergi persisten bisa dengan Imunoterapi alergen mungkin cocok
pada pasien rinitis alergi persisten yang memiliki gejala parah atau jangka panjang
yang sebagian besar disebabkan oleh alergen yang mendominasi. Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA) merekomendasikan imunoterapi alergen pada
pasien rinitis yang dipilih secara hati-hati (terutama bila terdapat komplikasi
asma) dan sensitivitas spesifik, dan pada pasien yang farmakoterapinya
menghasilkan kontrol gejala yang tidak lengkap atau efek samping yang tidak
diinginkan.
13
DAFTAR PUSTAKA
14