Anda di halaman 1dari 21

RESPONSI KASUS

RINITIS ALERGI

Oleh:
Ruthie Aviana 1802611137
Maria Krishnandita 1802611141
Jacintha James 1802611142

Pembimbing :
dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp. THT-KL (K), FICS

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FK UNUD-RSUP SANGLAH DENPASAR
DENPASAR
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah dan rahmat-Nya pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikan responsi
kasus dengan judul “Rinitis Alergi” tepat pada waktunya. Tinjauan pustaka ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penulisan paper ini penulis banyak mendapatkan bimbingan
maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbinga moril. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Eka Putra Setiawan, Sp. THT-KL selaku kepala Bagian/SMF THT FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
2. dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp. THT-KL (K), FICS selaku
pembimbing atas segala bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam
penyelesaian responsi kasus ini.
3. Rekan-rekan sejawat (Dokter Residen dan Dokter Muda) di Bagian/SMF
Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah.
4. Semua pihak yang telah membantu pembuatan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat di bidang ilmu
pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, 14 Juli 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2
2.1 Definisi .................................................................................................... 2
2.2 Klasifikasi ................................................................................................ 2
2.3 Anatomi .................................................................................................. 3
2.3.1 Hidung ........................................................................................... 3
2.3.2 Dasar Hidung ................................................................................. 3
2.3.3 Dinding Lateral Hidung ................................................................. 3
2.3.4 Septum Hidung .............................................................................. 4
2.4 Fisiologi ................................................................................................... 5
2.5 Etiologi .................................................................................................... 6
2.6 Patofisiologi ............................................................................................ 6
2.7 Manifestasi Klinis .................................................................................... 7
2.8 Diagnosis ................................................................................................. 8
2.9 Komplikasi ............................................................................................... 9
2.10 Terapi ..................................................................................................... 10
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................ 12
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 16
BAB V SIMPULAN ........................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang
dengan alergen spesifik tersebut.1 Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem
kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap alergen.2
Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir.
Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-
40%. Lebih dari 500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan 50%
penderitanya adalah remaja. Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara
usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang pada usia 20 tahun, namun di
Amerika Serikat rinitis alergi biasanya dimulai pada usia di bawah 20 tahun.3
Rinitis alergi dapat disebabkan oleh beberapa jenis alergen, yaitu inhalan,
ingestan, injektan, dan kontaktan.4 Gejala klasik yang sering dijumpai melalui
anamnesis pada pasien rinitis alegi adalah rinore, bersin, obstruksi hidung dengan
lakrimasi, dan gatal pada mukosa hidung, kongjungtiva, serta orofaring. Keluhan
lain yang dapat menyertai adalah adalah lendir yang dirasakan ditenggorokan atau
post nasal drip.5
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang.1 Melalui anamnesis, 50% diagnosis rinitis
alergi dapat ditegakkan.6 Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa skin test dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan yang pemeriksaan IgE spesifik.5
Terapi utama pada pasien dengan rinitis alergi adalah menghindari alergen
penyebabnya. Medikamentosa juga dapat diberikan kepada pasien rinitis alergi
untuk mengurangi gejala.6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang
dengan alergen spesifik tersebut.1 Rinitis alergi menyebabkan terjadinya
peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas
atau alergi tipe 1. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem kekebalan tubuh
bereaksi secara berlebihan terhadap alergen.2
Menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinorrhea, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen karena reaksi
hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE.4

2.2 Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi dibagi menjadi 2, yaitu
rinitis alergi musiman dan rinitis alergi perennial (sepanjang tahun).1
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya menurut ARIA
WHO (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma World Health Organization)
2007 dibagi menjadi 2, yaitu4:
 Intermiten (kadang-kadang): bila gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu
 Persisten (menetap): bila gejala > 4 hari/minggu dan > 4 minggu
Sedangkan berdasarkan derajat berat ringannya penyakit, klasifikasi rinitis
alergi menurut ARIA WHO 2007 dibagi menjadi 2, yaitu4:
 Ringan: tidak terdapat gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu
 Berat: terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut.

2
2.3 Anatomi
2.3.1 Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Septum nasi membagi tengah bagianhidung dalam menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior.7
Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Kearah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depandibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral
belakang berbatasan dengan orbita sinusmaksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides.7
2.3.2 Dasar Hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum. Atap hidungterdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan
tulang-tulang os nasale, os frontalelamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os
sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalahseptum nasi. Septum nasi
terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale,dan os vomer.
Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan
subkutis, dan kartilago alaris major.8
2.3.3 Dinding Lateral Hidung
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta
konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina
pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah
konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian
konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.
Diantara konkakonka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior.8,9

3
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.8
Sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan
konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus
sfenoid. Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara
atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal
sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel
etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal.8
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai
3,5 cm di belakang batas posterior nostril.8
2.3.4 Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kana dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.8
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.10
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena

4
di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.10
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.10
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.10

2.4 Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah10:
1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal;
2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu;
3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas;
5) refleks nasal.

5
2.5 Etiologi
Rinitis alergi dapat disebabkan oleh4:
1) Inhalan (melalui udara pernapasan) seperti debu rumah, tungau, jamur, dan
bulu hewan
2) Ingestan (melalui makanan) seperti susu, telur, kacang tanah, udang, ikan
laut
3) Injektan (melalui suntikan atau tusukan) seperti penisilin, sengatan lebah
4) Kontaktan (melalui kontak kulit atau mukosa) seperti bahan kosmetik,
perhiasan

2.6 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi. Rinitis alergi diawali dengan tahap sensitisasi dan kemudian diikuti dengan
tahap provokasi/reaksi alergi yang terdiri dari 2 mekanisme yaitu reaksi alergi
fase cepat dan fase lambat.1 Pada tahap sensitisasi, sel penyaji/antigen prensting
cells (APC) seperti sel dendrit pada permukaan mukosa memproses alergen dan
menampilkan beberapa peptida tersebut pada major histocompability complex
(MHC) kelas II. MHC kelas II dan kompleks antigen ini berperan sebagai ligan
dari reseptor sel T yang menghasilkan diferensiasi sel T CD4+ terhadap sel Th2
spesifik alergen. Aktivasi sel Th2 akan mensekresi beberapa sitokin yang
menginduksi perubahan sel limfosit B untuk menghasilkan IgE spesifik.6
Kemudian, IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mast dan sel basofil sehingga kedua sel ini akan aktif.
Proses inilah yang disebut dengan sensitisasi yang menghasilkan mediator yang
tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
reaksi alergi berkembang menjadi dua pola yang berbeda sesuai dengan urutan
waktu. Yang pertama adalah reaksi alergi fase cepat. Pada reaksi cepat, IgE akan
mengikat alergen spesifik sehingga terjadi degranulasi sel mast dan basofil (reaksi
hipersensitivitas tipe I).1 Reaksi ini akan menyebabkan sekresi mediator kimiawi
seperti histamin, prostaglandin, dan leukotriene. Histamin kemudian akan
merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa

6
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu, histamin juga menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore.1 Oleh Karen itu, gejala yang didapatkan pada
reaksi cepat ini adalah bersin dan rinore yang terjadi selama 30 menit dan hilang
kembali.6 Reaksi alergi tipe cepat dapat berlangsung dari kontak dengan alergen
hingga 1 jam.1 Berbeda dengan reaksi cepat, penyebab utama reaksi alergi fase
lambat adalah kemotaksis eosinofil yang disebabkan oleh mediator kimiawi yang
diproduksi pada reaksi fase cepat. Beberapa sel inflamasi, eosinofil, sel mast, dan
sel T bermigrasi ke mukosa hidung, merusak, dan memperbaiki jaringan hidung
normal. Proses inilah yang menyebabkan obstruksi hidung.6 Reaksi alergi fase
lambat dapat berlangsung selama 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada fase lambat, selain alergen spesifik, iritasi oleh factor non
spesifik seperti asap rokok, perubahan cuaca, kelembaban yang tinggi juga dapat
memperberat gejala.1

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala klasik yang sering dijumpai melalui anamnesis pada pasien rinitis
alegi adalah rinore, bersin, obstruksi hidung dengan lakrimasi, dan gatal pada
mukosa hidung, kongjungtiva, serta orofaring. Keluhan lain yang dapat menyertai
adalah adalah lendir yang dirasakan ditenggorokan atau post nasal drip. Lendir di
tenggorokan terjadi karena berlebihnya produksi mukus oleh mukosa hidung
sehingga terakumulasi di faring bagian posterior. Berlebihnya mukus dapat
menyebabkan batuk atau tertelannya mukus.5
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah rinoskopi anterior. Melalui
rinoskopi anterior, pasien rinitis alergi akan menunjukan mukosa yang berwarna
merah muda – abu pucat (livid), berlendir dengan dilapisi mukus tipis yang
berkilau, serta edema.5 Pada pasien dengan gejala yang persisten, maka dapat
ditemukan hipertrofi pada mukosa inferior. Sedangkan pada anak-anak, gejala
khas yang dapat ditemukan adalah allergic shiner, allergic salute, serta allergic
crease. Allergic shiner dapat terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Allergic salute merupakan keadaan menggosok hidung dengan punggung
tangan dikarenakan rasa gatal pada hidung. Kebiasaan menggosok hidung ini

7
kemudian dapat menyebabkan munculnya garis melintang pada sepertiga bawah
dorsum nasi yang disebut allergic crease.1

2.8 Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang.1 Melalui anamnesis, 50% diagnosis rinitis
alergi dapat ditegakkan. Gejala rinitis alergi yang khas ditemukan pada pasien
adalah serangan bersin berulang. Gejala bersin berulang juga dapat disertai
dengan rinore yang encer, hidung tersumbat, rasa gatal pada hidung dan mata,
serta lakrimasi Kecurigaan rinitis alergi meningkat apabila pada pasien ditemukan
2 atau lebih dari gejala-gejala tersebut dan menetap selama lebih dari 1 jam pada
hampir setiap hari.6 Selain itu, adanya riwayat penyakit atopi dalam keluarga juga
dapat membantu menegakkan diagnosis rinitis alergi.
Melalui pemeriksaan fisik, temuan yang dapat membantu penegakkan
diagnosis adalah terlihatnya mukosa yang berwarna merah muda – abu pucat,
berlendir dengan dilapisi mukus tipis yang berkilau, serta edema melalui
rinoskopi anterior. Selain itu, dapat juga ditemukan post nasal drip di daerah
posterior faring.5 Gejala spesifik lainnya yang dapat ditemukan pada pasien rinitis
alergi adalah allergic salute, allergic crease, ataupun allergic shiner.
Uji kulit merupakan uji yang penting untuk mengetahui alergen yang
menimbulkan reaksi alergi pada pasien. Metode uji kulit yang dapat dilakukan
adalah prick test (tes cukit kulit), intradermal test, ataupun patch test (tes tempel).
Uji cukit kulit merupakan uji kulit yang sering dilakukan. Reaksi positif yang
didapat pada uji cukit kulit tidak selalu memiliki korelasi langsung dengan reaksi
alergi pada kavum nasi. Namun, tes cukit kulit ini sangat penting untuk keperluan
diagnostik rinitis alergi.6
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan IgE
spesifik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan Radioallergosorbent test
(RAST), Multiple Alergen Simultaneous Test (MAST) atau Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay (ELISA). RAST merupakan metode pertama untuk
mendeteksi serum IgE spesifik. Namun, RAST sudah tidak banyak dilakukan
karena pemeriksaan ini membutuhkan isotope radioaktif dan peralatan yang

8
relative mahal. Selain itu, RAST juga tidak dapat mendeteksi antibody multiple
secara bersamaan. Dibandingkan RAST, MAST memiliki beberapa keuntungan
sehingga MAST lebih sering dilakukan. Pemeriksaan MAST tidak menggunakan
isotop radioaktif dan peralatan yang mahal serta dapat menggunakan alergen
multipel secara bersamaan.6 Sementara ELISA merupakan pemeriksaan in vitro
untuk IgE spesifik bagi alergen tertentu. Metode ini lebih aman dan peka, tetapi
pemeriksaan ini membutuhkan tenaga yang terlatih karena kerumitan
tatalangkahnya. Selain itu, ELISA membutuhkan waktu cukup lama serta biaya
yang relatif mahal untuk mendeteksi satu jenis alergen.11

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan rinitis alergi adalah
polip hidung, otitis media efusi yang sering residif pada anak-anak, serta
rinosinusitis. Terjadinya polip hidung sering dihubungkan dengan inflamasi
kronik. Menurut teori Bernstein, perubahan mukosa hidung dapat terjadi akibat
peradangan atau aliran udara yang berturbulensi terutama di daerah sempit pada
kompleks ostio-meatal. Dapat juga terjadi prolaps submukosa yang diikuti
reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru sehingga membentuk polip. Teori
lain juga berpendapat bahwa polip hidung dapat terbentuk akibat
ketidakseimbangan saraf vasomotor sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler dan gangguan regulasi vaskular. Oleh karena itu, sitokin-sitokin dari sel
mast akan lepas sehingga menyebabkan edema dan apabila proses itu berlangsung
lama akan menyebabkan terjadinya polip hidung.5 Otitis media efusi merupakan
keadaan telinga tengah yang terdapat efusi, baik berupa nanah (OMA), sekret
encer (OMS), atau sekret kental (OMM), dengan membrane timpani utuh dan
tidak disertai tanda inflamasi.12 Penyebab utama otitis media efusi adalah
gangguan fungsi tuba eustachius. Sedangkan, rinosinusitis dapat terjadi karena
obstruksi pada kompleks ostiomeatal sinus5 sehingga inflamasi juga terjadi di
mukosa sinus paranasalis.1

9
2.10 Terapi
Terapi utama pada pasien dengan rinitis alergi adalah menghindari alergen
penyebabnya. Berdasarkan studi Min, alergen berupa tungau debu rumah
terkadang sulit dihindari. Studi sebelumnya berpendapat bahwa mencuci dengan
air panas 60oC dapat menghilangkan tungau debu rumah dibandingkan dengan air
bersuhu 30oC.6
Medikamentosa juga dapat diberikan kepada pasien rinitis alergi untuk
mengurangi gejala. Medikamentosa yang dapat diberikan adalah antihistamin,
dekongestan, serta kortikosteroid. Antihistamin yang digunakan adalah antagonis
histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada resptor H-1 sel target.
Antihistamin dibagi ke dalam dua golongan, yaitu golongan generasi 1 dan
generasi 2. Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus
sawar darah otak dan menimbulkan efek pada sistem saraf pusat, seperti sedasi,
gangguan memori, dan disfungsi psikomotor. Sedangkan, antihistamin generasi 2
bersifat lipofobik sehingga lebih sulit dan sedikit menembus sawar darah otak dan
lebih sedikit menimbulkan efek samping pada sistem saraf pusat. Contoh
antihistamin generasi 1 adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, dan
siproheptadin, sedangkan contoh antihistamin generasi 2 adalah loratadin,
setirisin, fexofenadine, desloratadin, serta levosetirisin. Antihistamin oral ini
merupakan terapi yang efektif untuk gejala rinore, bersin, gatal pada hidung dan
mata, tetapi kurang efektif untuk gejala obstruksi hidung.6 Pemberian antihistamin
ini dapat dikombinasi ataupun tanpa kombinasi dengan dekongestan. Dekongestan
yang diberikan merupakan preparat golongan agonis adrenergic alfa. Contoh
dekongestan yang dapat diberikan adalah golongan ephedrine dan
pseudoephedrine.
Kortikosteroid topikal juga dapat diberikan kepada pasien rinitis alergi.
Pasien dengan gejala obstruksi hidung dan keluhan pada mata efektif diberikan
terapi kortikosteroid topikal. Kortikosteroid dapat menghambat reaksi cepat
maupun lambat dengan cara menghambat sekresi sitokin inflamasi (IL-4, IL-5,
dan IL-13). Penggunaan kortikosteroid topikal dapat mengurangi jumlah eosinofil
dan basofil dalam 1 minggu6 sehingga menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan alergen.1 Kortikosteroid topikal yang sering

10
digunakan adalah beklometason, budesonide, flunisolid, flutikason, mometason
furoat, dan triamsinolon.
Selain dengan medikamentosa, tindakan operatif juga perlu dipikirkan
untuk pasien rinitis alergi dengan hipertrofi berat konka inferior yang tidak
berhasilkan dikecilkan dengan kauterisasi menggunakan AgNO3 25% atau
triklorasetat. Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah konkotomi parsial
atau konkoplasti.
Pada pasien rinitis alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dan tidak berhasil dengan pengobatan lain, maka dapat
diberikan imunoterapi. Imunoterapi merupakan pilihan terapi yang memodifikasi
mekanisme alergi dasar dengan cara menginduksi desensitisasi dan memproduksi
keadaan anergi terhadap alergen penyebab.6 Tujuan imunoterapi adalah
pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE1. Imunoterapi efektif
untuk pasien dewasa dan anak-anak dengan rinitis alergi tungau debu rumah dan
serbuk sari. Metode imunoterapi dapat dilakukan melalui injeksi subkutan, oral,
sublingual, atau melalui hidung. Negara-negara di Eropa sering menggunakan
imunoterapi sublingual (SLIT) karena bersifat noninvasif, efek samping rendah,
serta kenyamanan administrasi sendiri.6

11
12

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : SIGN
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Pekerjaan : Swasta
Suku Bangsa : Bali
Agama : Hindu
Alamat : Jl. Ken Arok gg. Belibis 9 DPS
Tgl Pemeriksaan : 10 Juli 2018

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Sering bersin-bersin dan pilek sejak lama.

Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Wangaya tanggal 10 Juli 2018
pukul 10.15 WITA dengan keluhan sering bersin-bersin dan pilek. Keluhan ini
sudah dirasakan sejak lama ± 1 tahun. Pasien lebih sering bersin-bersin di pagi
hari. Saat mulai bersin, pasien dapat bersin-bersin hingga 6-7 kali. Setelah itu,
keluhan diikuti keluarnya sekret hidung encer seperti air. Keluhan lain yang
dialami oleh pasien adalah rasa gatal pada hidung. Keluhan hidung mampet jarang
dirasakan oleh pasien.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit jantung ”atrial fibrilasi”. Riwayat
diabetes mellitus dan darah tinggi disangkal oleh pasien. Pasien memiliki alergi
terhadap terasi.

12
13

Riwayat Penyakit Keluarga


Pada keluarga pasien, anak pertama pasien mempunyai keluhan yang serupa
seperti pasien, yaitu bersin berulang dan pilek. Keluarga pasien juga memiliki
riwayat alergi terhadap terasi.

Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta. Riwayat merokok dan minum
minuman beralkohol disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak suka minum
minuman dingin.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda-tanda Vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 36,7 °C
Tinggi Badan : 175 cm
Berat badan : 76 kg
Status Gizi : Gizi baik

Status General :
Kepala : Normocephali
Muka : Simetris
Mata : Anemis (-/-), ikterus (-/-), reflek pupil (+/+) isokor
THT : Sesuai status lokalis
Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Pembesaran kelenjar parotis (-/-)
Kelenjar tiroid (-)
Thorak : Cor : S1S2 tidak reguler, murmur (–)
Pulmo : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

13
14

Abdomen : Distensi (-), BU (+) N, hepar/lien tidak teraba


Ekstremitas : dalam batas normal

Status lokalis THT :


1. Telinga
Telinga Kanan Kiri
Daun Telinga Normal Normal
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Aurikuler Tidak ada Tidak ada
Liang Telinga Lapang Lapang
Sekret Tidak ada Tidak ada
Membran Timpani Intak Intak
Tumor Tidak ada Tidak ada
Mastoid Normal Normal

Tes Pendengaran
Kanan Kiri
Weber Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Rinne Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi
Schwabach Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

2. Hidung
Hidung Kanan Kiri
Hidung luar Normal Normal
Kavum Nasi Sempit Sempit
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Sekret Serous Serous
Mukosa Livid Livid
Tumor Tidak ada Tidak ada
Konka Hipertrofi Hipertrofi

3. Tenggorokan
Mukosa faring Hiperemi
Tonsil T2/T2, hiperemi (-/-), Detritus (-/-),
kripta (-/-)
Dinding belakang faring Hiperemi (-)Granulasi (-) Post nasal
drip (-)

14
15

Dispneu Tidak ada


Sianosis Tidak ada
Suara Normal
Stridor Tidak ada

3.4 Resume
Pasien laki-laki SIGN usia 54 tahun datang dengan keluhan sering bersin-
bersin dan pilek sejak lama. Keluhan lebih sering dirasakan di pagi hari dan
disertai dengan keluarnya sekret encer dari hidung seperti air dan rasa gatal pada
hidung. Anak pertama pasien juga memiliki gejala yang sama dengan pasien. Saat
pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum pasien baik. Pada pemeriksaan
status lokalis THT, didapatkan telinga dan tengorokan dalam kesan tenang.
Sedangkan pada pemeriksaan hidung terdapat sekret serous, mukosa livid, kavum
nasi sempit dan hipertrofi konka.

3.5 Diagnosis Kerja


Rinitis Alergi

3.6 Penatalaksanaan
Medikamentosa:
 Methylprednisolone 2x4mg
 Levocetirizine 1x5 mg
KIE:
- Menghindari kontak dengan alergen penyebab
- Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani
- Konsumsi obat-obatan sesuai petunjuk
- Kontrol kembali apabila obat sudah habis

3.7 Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

15
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan jika diperlukan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
anamnesis, pasien SIGN, pria berusia 54 tahun, mengeluhkan sering bersin dan
pilek sejak lama yang terjadi lebih sering pada pagi hari. Gejala tersebut sudah
sesuai dengan gejala rinitis alergi, yaitu keluhan utama berupa serangan bersin
berulang dan dapat disertai dengan rinore encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal dan kadang lakrimasi.
Berdasarkan teori, pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan
lampu kepala dan spekulum hidung akan ditemukan mukosa berwarna merah
muda – abu pucat (livid), berlendir dengan dilapisi mukus tipis yang berkilau,
serta edema. Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien, ditemukan tanda-tanda vital
dan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis THT
didapatkan telinga dan tengorokan dalam kesan tenang dan pada pemeriksaan
hidung didapatkan sekret serous, mukosa livid, kavum nasi sempit, dan hipertrofi
konka.
Terapi yang tepat untuk mengatasi rinitis alergi adalah menghindari
alergen penyebab, medikamentosa berupa antihistamin, dekongestan, atau
kortikosteroid, serta tindakan operatif dan imunoterapi bila perlu. Pada kasus ini,
terapi medikamentosa yang diberikan kepada pasien adalah kortikosteroid berupa
methylprednisolone 2x4mg dan antihistamin levocetirizine 1x5mg. KIE penting
yang disampaikan kepada pasien yaitu menghindari kontak dengan alergen
penyebab, selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani, mengonsumsi obat-
obatan sesuai petunjuk, dan kontrol kembali apabila obat sudah habis.

16
BAB V
SIMPULAN

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang
dengan alergen spesifik tersebut. Telah diuraikan laporan kasus seorang pria, 54
tahun dengan diagnosis rinitis alergi, di mana diagnosis pada kasus ini ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis diketahui bahwa
pasien mengeluhkan bersin-bersin dan pilek sejak lama yang lebih sering
dirasakan pada pagi hari. Pada anamnesis, didapatkan informasi yang sesuai
dengan definisi dan gejala pada rinitis alergi.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tanda-tanda vital dan status generalis
dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis THT didapatkan telinga dan
tengorokan dalam kesan tenang dan pada pemeriksaan hidung didapatkan sekret
serous, mukosa livid, kavum nasi sempit dan hipertrofi konka. Prinsip terapi
rinitis alergi adalah medikamentosa simptomatik, operatif terutama bila terdapat
kelainan anatomi dan juga imunoterapi. Pada kasus untuk terapi pada pasien ini
terapi yang diberikan adalah medikamentosa simptomatik kortikosteroid berupa
Methylprednisolone 2x4mg dan antihistamin Levocetirizine 1x5mg.
Saran untuk pasien yaitu menghindari kontak dengan alergen penyebab,
selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani, konsumsi obat-obatan sesuai
petunjuk dan kontrol kembali.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, dan Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi, E.A,


dkk. (eds) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hiung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2014. h.106-112.
2. Cantani A. Pediatric Allergy, Asthma and Immunology. Verlag New York:
Springer; 2008. 1619 p.
3. Pinto JM, Jeswani S. Rhinitis in the geriatric population. Allergi, asthma &
clinical immunology. 2010;6,1-12
4. World Health Organization. Pocket Guide: Management of Allergic Rhinitis and
It’s Impact on Asthma. 2007.
5. Lakhani N, North M, Ellis AN. Clinical Manifestations of Allergic Rinitis.
Journal of Allergy & Therapy. 2012; S5:007.
6. Min, Yang-Gi. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rinitis.
Allergy Asthma Immunology Research. 2010; 2(2):65-76.
7. Will Corbridge, Rogan H. Essential ENT Practice: A Clinical Text. 1998. 19-20 p.
127-135
8. Howard L, M Pais. Sinus Surgery : Endoscopic and Microscopic Approaches.
New York : Thieme, 2005. p 16-19
9. Ballenger. Hidung dan Sinus Paranasal. In: Penyakit Telinga,
Hidung,Tenggorokan, Kepala, dan Leher; jilid I. Tangerang: Bina Rupa 57
Aksara; 2009. p. 4–243.
10. Soetjipto D, Wardani R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK UI; 2007. p. 118- 122.
11. Habsari JT, Aryati, dan Pawarti DR. Perbandingan Nilai Diagnostik IgE Spesifik
Tungau Debu Rumah, Metode ELISA dan Imunoblot pada Rinitis Alergi.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2016;
22(2):119-126.
12. Djaafar ZA, Helmi, dan Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam Soepardi,
E.A, dkk. (eds) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hiung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2014. h.67

Anda mungkin juga menyukai