Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

SYOK ANAFILAKSIS

Pembimbing:
Dr. dr. Tasrif Hamdi, M.Ked(An), Sp.An, KMN

Oleh:
Diah Tria Chantika Harepa
Nova Mentari S 190131125
Viranty Sunardo

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat


Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Syok anafilaksis”.
Penulisan referat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan
dalam penyusunan referat ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan referat selanjutnya. Semoga
referat ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 22 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG............................................................1
1.2 TUJUAN.................................................................................2
1.3 MANFAAT.............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................3
2.1 DEFINISI................................................................................3
2.2 EPIDEMIOLOGI....................................................................4
2.3 ETIOLOGI..............................................................................6
2.4 FAKTOR RISIKO................................................................12
2.5 PATOFISIOLOGI.................................................................12
2.6 MANIFESTASI KLINIS......................................................13
2.7 DIAGNOSIS.........................................................................15
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................20
2.8.1 Primary Survey....................................................................20
2.8.2 Prinsip Trauma Muskuloskeletal pada Pediatri..................23
2.8.3 Potentially Life-Threatening Extremity Injuries..................26
2.8.4 Adjuncts to the Primary Survey...........................................30
2.8.5 Limb Threatening Injury......................................................31
2.8.6 Survey Sekunder...................................................................36
2.9 TERAPI DEFINITIF.............................................................39
2.10 KOMPLIKASI....................................................................41
2.11 PROGNOSIS.......................................................................42
BAB III KESIMPULAN..........................................................................43
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................44

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anafilaksis didefinisikan sebagai reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius
dengan onset cepat dan dapat menyebabkan kematian. Syok anafilaksis ditandai
dengan adanya penurunan tekanan darah dan kolaps sirkulasi, merupakan kondisi
gawat darurat yang seyogyanya mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat.1,2
Syok anafilaksis relatif jarang terjadi dengan perkiraan prevalensi 0.05-2%
dan berdasarkan data epidemiologi didapatkan 2 sampai 20% kasus mengalami
anafilaksis yang fatal. Berdasarkan systematic review yang dilakukan oleh
European Academy of Allergy and Clinical Immunology Food Allergy &
Anaphylaxis Group memperkirakan bahwa insidensi anafilaksis di Eropa sebesar
1,5 sampai 7,9 per 100.000 orang setiap tahunnya. Data tersebut menggambarkan
bahwa diperkirakan 1 dari 300 orang akan berpotensi mengakami anafilaksis
dalam hidupnya.3,4
Anafilaksis dapat disebabkan oleh berbagai pemicu, tetapi alergen yang
paling sering teridentifikasi ialah makanan, obat-obatan dan racun. Makanan
merupakan penyebab anafilaksis paling sering pada dewasa muda. Anak-anak usia
pra-sekolah memiliki tingkat tertinggi pada anafilaksis makanan, tetapi memiliki
angka kematian yang sangat rendah. Sementara itu, anafilaksis akibat obat paling
sering dialami oleh orang tua, ini mungkin karena kombinasi faktor komorbiditas
(misalnya penyakit, dan polifarmasi).5,6,7
Pada awalnya gejala anafilaksis cenderung ringan, akan tetapi pada akhirnya
bisa menyebabkan kematian akibat syok anafilaksis. Walaupun jarang terjadi,
syok anafilaksis dapat berlangsng sangat cepat, tidak terduga, dan dapat terjadi di
mana saja yang potensial berbahaya sampai menyebabkan kematian. Identifikasi
awal merupakan hal yang penting, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu diagnosis serta penatalaksanaan
cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaksis dapat mencegah keadaan yang
lebih berbahaya.6

1
1.2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan referat ini adalah:
1. Mengetahui tentang syok anafilaksis
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di
bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Senior Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan referat ini adalah untuk
meningkatkan pemahaman terhadap syok anafilaksis serta penanganan
kegawatdaruratan sesuai kompentensi pada tingkat pelayanan primer.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Syok Anafilaksis


Syok merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi akibat sirkulasi darah arteri
tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan
yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah,
dan pembuluh darah. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan
faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok
juga terjadi hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi dan
metabolisme sel sehingga seringkali menyebabkan kematian pada pasien.8,9
Anafilaksis adalah rekasi hipersensitivitas tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi
dalam beberapa menit saja. Menurut Gell dan Coombs anafilaksis adalah reaksi
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan oleh IgE yang
dapat mengancam jiwa. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid
yang memiliki gejala, terapi dan risiko kematian yang sama tetapi degranulasi sel
mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.2
Syok anafilaksis merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis dan
merupakan bagian dari syok distributifyang ditandai oleh adanya hipotensi yang
nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada
sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian pada beberapa
pasien. Syok anafilaksis merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan 4 anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat
dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan
gejala utamanya.10

2.3 Epedemiologi
Syok anafilaksis relatif jarang terjadi dengan perkiraan prevalensi 0.05-2%
dan berdasarkan data epidemiologi didapatkan 2 sampai 20% kasus mengalami
anafilaksis yang fatal. Berdasarkan systematic review yang dilakukan oleh
European Academy of Allergy and Clinical Immunology Food Allergy &

3
4

Anaphylaxis Group memperkirakan bahwa insidensi anafilaksis di Eropa sebesar


1,5 sampai 7,9 per 100.000 orang setiap tahunnya. Data tersebut menggambarkan
bahwa diperkirakan 1 dari 300 orang akan berpotensi mengakami anafilaksis
dalam hidupnya.3,4
Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap gigitan
serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan
berbedabeda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan prevalensi
sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010, pencetus reaksi
hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang sebagian besar terjadi
melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak 27,8%. 11, 12
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantil,
remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan terhadap
anafilaksis. Penyakit konkomitan seperti asma berat yang tidak terkontrol,
mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi seperti beta
blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.12

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor pemicu timbulnya anafilaksis pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-
obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan
dewasa tua. Sebagian besar pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat
universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa negara di Eropa dan Asia, susu
sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering.13
Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu
tersering. Obat-obatan, seperti antivirus, antimikroba, anti jamur adalah penyebab
paling sering reaksi anafilaksis di dunia. Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh
agen kemoterapi, seperti carboplatin, doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen
lain yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah radiocontrast media, latex yang
biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter, kateter, torniket,
udara yang terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan,
5

cara, dan waktu paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan
oral lebih jarang menimbulkan reaksi.12,13,14
2.5 Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam Hipersensitivitas Tipe 1 (immediate type
reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan
dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan
IgE pada sel mast yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi.
Reaksi ini terjadi melalui 3 fase mekanisme:
Fase Sensitisasi
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya
oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk
lewat kulit, mukosa saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi
Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat
15,16
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Fase Aktivasi
Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama
kedalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin,
serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut
dengan istilah preformed mediators. Histamin dianggap sebagai mediator utama
dari syok anafilaksis. Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan
pengikatan histamin pada reseptor tersebut yaitu mengikat reseptor, H1
menyebabkan pruritus, rhinorrhea, takikardia dan bronkospasme. Disisi lain, baik
H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala dan hipotensi.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin D2 (PG2) yang
6

terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators.
PGD2 menyebabkan bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah. 15,16,17
Fase Efektor
Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmokologik pada
organ-organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga
dengan Leukotrien.

Gambar 1 Patofisiologi Reaksi Anafilaksis


Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor
pemukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
7

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang


menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari
granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membrane sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.
Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keadaan
syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2 Patofisiologi Syok Anafilaksis
2.6 Manifestasi Klinis
Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa
detik, menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis
anafilaksis yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator
yang dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas
yang berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari
anafilaksis sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai berat,
dimana syok anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis yang berat.18
Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi
respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Di samping itu terdapat pula
bentuk lainnya seperti rasa takut, kelemahan, keringat dingin, bersin, rinorhea,
asma, rasa tercekik, disfagia, mual dan muntah, nyeri abdomen, inkontinensia,
sampai dengan kehilangan kesadaran. Walaupun demikian, sebab kematian utama
dari anafilaksis adalah syok dan obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi saluran
pernafasan dapat berupa edema laring, bronkospasme dan edema bronkus.15,18
Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak enak yang
sukar dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan
palatum. Gejala ini merupakan permulaan dari gejala lainnya.18
Gejala pada organ pernapasan didahului dengan rasa gatal di hidung, bersin
dan hidung tersumbat, diikuti dengan batuk, sesak, mengi, rasa tercekik, suara
serak, dan stridor. Di samping itu, terjadi pula edema pada lidah, edema laring,
spasme laring dan spasme bronkus.18

8
9

Gejala kardiovaskular ditandai dengan takikardi, palpitasi, hipotensi sampai


syok, pucat, dingin, aritmia, hingga sinkop. Pada EKG dapat dijumpai beberapa
kelainan seperti geombang T datar, terbalik atau tanda-tanda infark miokard.18
Gejala gastrointestinal berupa disfagia, mual-muntah, rasa kram diperut, diare
yang kadang-kadang disertai darah, dan peningkatan peristaltic usus.18
Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria, angioedema pada bibir, muka
atau ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh adanya rasa gatal dan
lakrimasi pada mata. Sedangkan gejala pada sistem saraf pusat dapat berupa
gelisah dan kejang.18
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dicari apakah pasien mendapatkan
zat penyebab anafilaksis seperti injeksi, minum obat, disengat hewan, atau setelah
makan sesuatu. Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan criteria klinis dibawah
ini.19,20
1. Onset yang akut (dari beberapa menit sampai beberapa jam) disertai dengan
gejala-gejala yang terjadi pada kulit, jaringan mukosa, atau keduanya
(urtikaria, pruritus, edema pada bibir-lidah-uvula). Dan minimal satu dari
gejala yang berikut ini:
a. Gangguan pada sistem respirasi (sesak, wheezing, bronkospasme, stridor)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan end-organ
dysfunction (hipotonia, syncope, incontinence).
2. Dua atau lebih gejala berikut ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit sampai beberapa
jam):
a. Gangguan pada kulit dan jaringan mukosa
b. Gangguan pada sistem respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala lainnya yang berkaitan
d. Gangguan pada sistem pencernaan yang terjadi secara persisten
10

3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien
tersebut (beberapa menit sampai beberapa jam) :
a. Bayi dan anak-anak: tekanan darah sistolik yang rendah (tergantung umur)
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
b. Orang dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil
darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE pesifik
dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.16,19,21
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab
yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit
paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit dan gula darah, tes fungsi
hati, tes fungsi ginjal, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain. 16,19,21
11

BAB III

KESIMPULAN
12

DAFTAR PUSTAKA

1. Cardona V, Ansotegui I, Ebisawa M, et al, on behalf of the World Allergy


Organisation Anaphylaxis Committee. Anaphylaxis Guidance 2020. World
Allergy Organization Journal 2020; doi:10.1016/j.waojou.2020.100472.
2. Karnen GB, Iris R. Imunologi dasar. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.
Jakarta:Interna;2006; h.190-193.
3. Triggiani M, Patella V, Staiano R, Granata F, Marone G. Allergy and the
cardiovascular system. Clinical and Experimental Immunology. 2008;153:7-11.
4. Panesar SS, Javad S, de Silva D, et al; EAACI Food Allergy and Anaphylaxis
Group. The epidemiology of anaphylaxis in Europe: a systematic review. Allergy.
2013;68(11):1353–61.
5. Turner PJ, Gowland MH, Sharma V, et al. Increase in anaphylaxis-related
hospitalizations but no increase in fatalities: an analysis of United Kingdom
national anaphylaxis data, 1992–2012. J Allergy Clin Immunol. 2015;
135(4):956–63.e1.
6. Baseggio Conrado A, Ierodiakonou D, Gowland MH, Boyle RJ, Turner PJ.
Food anaphylaxis in the United Kingdom: analysis of national data, 1998– 2018.
BMJ. 2021 Feb 17;372:n251.
7. Tejedor-Alonso MA, Farias-Aquino E, Pérez-Fernández E, Grifol-Clar E,
Moro-Moro M, Rosado-Ingelmo A. Relationship Between Anaphylaxis and Use
of Beta-Blockers and Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors: A Systematic
Review and Meta-Analysis of Observational Studies. J Allergy Clin Immunol
Pract. 2019;7(3):879–897.e5.
8. Wiryana M, Syok dan Penanganannya, Seminar Sehari Traumatologi,
IKAYANA FK UNUD, Denpasar, 2002.
9. Wijaya IP, Syok Hipovolemik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna
Publishing, Jakarta, 2009.
10. Rengganis I, Sundaru H, Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Interna Publishing, Jakarta, 2009.
13

11. Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian
Obat dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis
pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam
2010;vol.11:135-139.
12. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013
Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204.
13. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of
Anaphylaxis. 2011;4:13-37.
14. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–10
15. Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology,
Recognition and Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498 5.
16. Ewan, PW, 1998, Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ, Vol 316, Page 1442-
1445
17. Wiryana M, 2002, Syok dan Penanganannya, Seminar Sehari Traumatologi,
IKAYANA FK UNUD, Denpasar
18. Rengganis I, Sundaru H, 2009, Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Interna Publishing, Jakarta
19. Suryana K, 2003, Diktat Kuliah, Clinical Allergy Immunology, Divisi Allergi
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar
20. Dey Pharma, 2010, Criteria for Diagnosing Anaphylaxis, Available from
URL: http://www.epipen.com/professionals/anaphylaxis/diagnosing
21. Stephen FK, 2011, Anaphylaxis Workup, Medscape, Available from URL:
http://emedicine.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai