Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN SYOK ANAFILATIK

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat


Oleh :
Kelompok 4 (Tingkat IV/VII)

Kade Asmela Twomarhensa (16C11811)


Putu Pade Ratnawati (16C11848)
Ida Ayu Kade Purnama Putri (16C11850)
Ni Putu Sinta Angreni (16c11856)
Gusti Ayu Kervina Sari (15C11503)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN (ITEKES) BALI
TAHUN AJARAN 2018/2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi


Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugrahanya penulis
dapat menyusun laporan pendahuluan dan asuhan keperwatan teoritis yang
berjudul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Dengan Syok
Anafilatik”. Asuhan keperawatan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tepat pada
waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ns. Yustina Ni Putu Yusniawati, S. Kep, M. Kep Sebagai Koordinator


Mata Ajar Keperawatan Gawat darurat di Institut Teknologi Dan
Kesehatan Bali.
2. Ns. Ni Nyoman Nuartini, S.Kep., M.Kes Sebagai Dosen Pengampu
Mata Ajar Keperawatan Gawat darurat di Institut Teknologi Dan
Kesehatan Bali serta pembimbing dalam pembuatan makalah ini.
3. Serta berbagai pihak lain yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu.

Mengingat banyak kekurangan yang penulis miliki, tentunya makalah ini


memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis akan sangat berterima kasih jika
ada pendapat, saran, ataupun kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini,
sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 06 September 2019

Penulis,

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...........................................................................................
1.2. Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3. Tujuan......................................................................................................2
1.4. Manfaat ...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Konsep Dasar Teori..................................................................4
2.1.1. Definisi Syok.................................................................................4
2.1.2. Derajat Syok..................................................................................5
2.1.3. Epidemologi...................................................................................6
2.1.4. Etiologi..........................................................................................6
2.1.5. Patofisiologi...................................................................................6
2.1.6. Manifestasi Klinis..........................................................................9
2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik..............................................................10
2.1.8. Komplikasi...................................................................................12
2.1.9. Penatalaksanaan...........................................................................12
2.1.10. Pencgahan..................................................................................16
2.2. Tinjauan Teori Asuhan keperawata.......................................................20
3.2.1. Pengkajian...................................................................................20
3.2.2. Diagnosa Keperawatan................................................................23
3.2.3. Intervensi.....................................................................................23
3.2.4. Implementasi...............................................................................27
3.2.5. Evaluasi.......................................................................................27
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan............................................................................................28
3.2. Saran......................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Syok sulit untuk didefinisikan, hal ini berhubungan dengan sindrom klinik
yang dinamis yang ditandai dengan perubahan sirkulasi volume darah yang
menyebabkan ketidaksadaran dan memyebabkan kematian. Syok tidak terjadi
dalam waktu lebih lama dengan tanda klinis penurunan tekanan darah, dingin,
kulit pucat, penurunan cardiac output, ini semua tergantung dari penyebab
shock itu sendiri (Fitria, 2010). Anafilaktik syok merupakan keadaan akut,
reaksi hipersensitivitas I yang berpotensi mengancam jiwa dan terjadi dengan
sangat cepat. Organ tubuh yang menjadi target pada reaksi anafilaktik adalah
kulit, sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem kardiovaskular, dan
sistem persarafan pusat. Pasien yang memiliki faktor risiko ini adalah usia
muda, usia tua, ibu hamil, penderita asma dan jantung (Silalahi, 2018).
Insidens syok anafilaktik 40 – 60% adalah akibat gigitan serangga, 20-
40% akibat zat kontras radiografi, dan 10 – 20% akibat pemberian obat
penicillin. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10
juta masyarakat pertahun. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah
akibat pemberian antibiotik seperti penicillin dan bahan zat radiologis.
Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi
anafilaksis (Permenkes, 2014).
Syok anafilaktik dapat terjadi dimana saja, di tempat praktek, di meja
operasi, bahkan di rumah pasien sendiri sehingga memerlukan tindakan cepat
sebab penderita berada pada keadaan gawat. Obat-obat emergensi dan alat
bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini
diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi
kematian atau cacat organ tubuh menetap. Oleh karena itu pemberian
pemberian asuhan keperawatan yang cepat dan tepat pada pasien dengan syok
analfilatik dapat mencegah kematian dan kecatatan. Berdasarkan uraian di

1
atas penulis menyusun makalah dengan judul “Laporan Pendahuluan Dan
Asuhan Keperawatan Dengan Syok Anafilatik”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat
penulis temukan adalah :
1. Bagaimana konsep dasar teori syok anafilatik ?
2. Bagaimana tinjauan teori asuhan keperawatatan dengan syok anafilatik ?

1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penyusunan
asuahan keperawatan teoritis, sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan syok anafilatik.
1.3.2. Tujuan Khusus.
1. Untuk mengetahui konsep dasar teori syok anafilatik.
2. Untuk mengetahui tinjauan teori asuhan keperawatan dengan teori
syok anafilatik.

1.4. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penyusunan asuhan
keperawatan teoritis, sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis.
1. Secara teoritis makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan para pembaca tentang masalah dengan syok
anafilatik.
2. Sebagai acuan dan pengembangan materi untuk penyusunan
asuhan keperawatan berikutnya khususnya mengenai asuhan
keperawatan dengan syok anafilatik.

2
1.4.2. Manfaat Praktis.
1. Masyarakat
Hasil makalah ini akan bermanfaat bagi masyarakat yaitu sebagai
sumber informasi untuk manambah pengetahuan mengenai syok
anafilatik.
2. Institusi Rumah Sakit
Menjadi bahan masukan untuk memberikan pelayanan asuhan
keperawatan dengan syok anafilatik.
3. Institusi Stikes Bali
Sebagai bahan masukan berupa literatur dan pengembangan materi
dalam pembelajaran tentang asuhan keperawatan mengenai syok
khususnya syok anafilatik .

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Konsep Dasar Teori Syok Anfilatik


2.1.1. Definisi Syok Anafilatik
Syok merupakan sindrom gangguan pathofisiologi berat yang
berhubungan dengan metabolism selluler yang abnormal, kegagalan
sirkulasi Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai keadaan terdapatya
pengurangan yang sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan
pengangkutan oksigen serta unsur- unsur gizi lainnya secara efektif ke
berbagai jaringan sehingga timbul cidera seluler yang mulamula
reversible dan kemudian bila keadaan syok berlangsung lama menjadi
irreversible (Isselbacher, dkk, 1999, hal 218 dalam Fitria, 2010).
Anafilaksis merupakan sindroma klinik (kompleks gejala) yang timbul
secara mendadak sebagai akibat perubahan permeabilitas vaskuler dan
hiperaktivitas bronkial karena kerja dari mediator – mediator endogen yang
dihasilkan oleh sel – sel mast dan basofil akibat stimuli antigen. Jadi
anafilaksis merupakan reaksi antigen – antibodi ( reaksi hipersensitivitas ).
Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi diseut sebagai reaksi
anafilatik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi
anafilaktoid. Tetapi karena baik gejala maupun pengobatannya tidak
dibedakan, maka kedua reaksi tersebut disebit sebagai anafilaksis (Sutjhajo,
2015). Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi
imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang
dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit.
Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut
sebagai syok anafilaktik (Permenkes, 2014).
Syok Anafilatik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis
yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah.
Istilah syok anafilatik menunjukan derajat kegawatan, tetapi terlalu sempit
untuk menggambarkan anafilaksis seacara keseluruhan, karena anafilaksis
yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi diamana gejala utamanya yaitu

4
obstruksi saluran nafas. Gejala ini sering terjadi dan bahka menjadi penyebab
kematian karena anafilaksis dua pertiga disebabkan oleh obstruksi saluran
nafas (pada usia muda) dan sisanya kolaps kardiovaskuler (usia tua) (Sutjhajo,
2015).

2.1.2. Derajat Syok


Berat dan ringannya syok menurut Tambunan Karmel, dkk, (1990, hal 2
dalam Fitria, 2010).
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan prgan non-vital seperti
kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relative dapat
hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan
jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu,
produksi urin normal atau anya sedikit menurun, asidosis metabolic
tidak ada atau ringan.
2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus,
ginjal, dan lainnya). Organ- organ ini tidak dapat mentoleransi
hipoperfusi lebih lama seperti lemak, kulit, dan otot. Oligouria bias
terjadi dan asidosis metabolic. Akan tetapi kesadaran relative masih
baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi
syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital.
Pada syok lanjut terjadi vasokonstriksi di semua pembuluh darah
lain. Terjadi oligouria dan asidosis berat, ganguan kesadaran dan
tanda- tanda hipoksia jantung (EKG Abnormal, curah jantung
menurun).

5
2.1.3. Epidemologi Syok Anafilatik
Insidens syok anafilaktik 40 – 60% adalah akibat gigitan serangga,
20-40% akibat zat kontras radiografi, dan 10 – 20% akibat pemberian
obat penicillin. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian
dari 10 juta masyarakat pertahun. Sebagian besar kasus yang serius
anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin dan
bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari
500 kematian akibat reaksi anafilaksis (Permenkes, 2014).

2.1.4. Etiologi
Mekanisme terjadinya anafilaksis baik melalui mekanisme IgE
maupun melalui non IgE. Tentu saja selain obat ada juga penyebab
anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, senatan tawon,
faktor fisik seperti udara yang panas, air yang dingin dan bahkan
sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui (Sutjhajo, 2015).
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan,
biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obatobatan yang bisa
menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1,
asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah,
latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis
(Permenkes, 2014).

2.1.5. Patofisiologi
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate
type reaction) oleh Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah

6
tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis diperantarai melalui
interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan
terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2
fase:
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast
dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau
saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit
B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi
mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP
intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis
sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan
ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP
intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-
obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis
cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat
degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini
menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator
sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan
sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler
dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan

7
cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan
karena dapat merangsang terlepasnya mediator.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain
masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi
akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera
yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di
sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi
yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik
pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi
dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik
eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal
ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah
jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan
syok yang membahayakan penderita.

8
2.1.6. Manifestasi Klinis
Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda
gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok
anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan respirasi dan
gangguan sirkulasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan
atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik
sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin
berat keadaan penderita. Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin,
hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan
sesak napas. Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling
sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak
mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini
mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang
lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena
itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai
untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari
gangguan gastrointestinal berupa perut kram, mual, muntah sampai
diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya
gejala gangguan nafas dan sirkulasi. Gejala kardiovaskular ditandai
dengan takikardi, palpitasi, hipotensi sampai syok, pucat, dingin,
aritmia, hingga sinkop. Pada EKG dapat dijumpai beberapa kelainan
seperti geombang T datar, terbalik atau tanda-tanda infark miokard
(Permenkes, 2014).
Menurut American Academy of Allergy, Asthma and Immunology
telah membuat suatu kriteria untuk membatu menegakkan diagnosis.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau
keduaduanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu
dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,

9
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan
darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia). Kriteria kedua, dua atau
lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit; respiratory
compromise; penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan; dan
gejala gastrointestinal yang persisten. Kriteria ketiga yaitu terjadi
penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui
beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan
anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa,
tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah
sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa
pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta
mendeteksi komplikasi lanjut. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu
(Permenkes, 2014):
1. Hitung eosinofil
Eosinofil adalah sel darah putih khusus yang dirancang untuk
membunuh cacing dan parasit. Mereka juga dapat menyebabkan
peradangan jaringan pada alergi. Kadar tinggi kadang-kadang
terlihat pada sampel darah dari orang dengan rinitis alergi (demam),
asma dan eksim, serta kondisi lain yang kurang umum. Namun,
jumlah eosinofil yang tinggi tidak membuktikan bahwa gejalanya
disebabkan oleh alergi, dan jumlah eosinofil yang normal tidak
mengesampingkan alergi. Oleh karena itu mengukur jumlah
eosinofil memiliki peran terbatas dalam pengujian alergi.

10
2. Pengujian serum IgE total
Total antibodi IgE dapat meningkat pada orang dengan alergi, dan
dapat diukur dari sampel darah. Kadar IgE total yang tinggi juga
ditemukan pada orang dengan infeksi parasit, eksim, dan beberapa
kondisi medis yang langka. Level IgE total yang tinggi tidak
membuktikan bahwa gejala disebabkan oleh alergi, dan level IgE
total normal tidak mengesampingkan alergi. Oleh karena itu,
pengukuran kadar IgE total tidak direkomendasikan secara rutin
dalam pengujian alergi. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi.
3. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test),
uji tempel (patch test) dan uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling
sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih
ideal (Permenkes, 2014). Uji cukit biasanya dilakukan pada lengan
bawah atau belakang, kulit dibersihkan terlebih dahulu dengan
alkohol. Menggunakan lancet steril, tusukan kecil dibuat melalui
setetes ekstrak alergen. Ini memungkinkan sejumlah kecil alergen
masuk ke kulit. Jika Anda alergi terhadap alergen yang diuji,
benjolan kecil gatal (wheal) yang dikelilingi oleh suar merah akan
muncul dalam 15-20 menit. Gatal dan bengkak lokal biasanya
mereda dalam satu hingga dua jam. Pengujian kulit intradermal dapat
digunakan untuk menguji alergi terhadap obat antibiotik atau racun
serangga yang menyengat, ketika sensitivitas yang lebih besar
diperlukan. Uji tempel berguna untuk menguji dermatitis kontak
alergi, yang dapat dipicu oleh logam, pengawet kosmetik atau
berbagai tanaman. Ini melibatkan menerapkan tambalan dengan zat

11
uji di ruang kecil atau cakram ke belakang seseorang, yang dijamin
dengan pita hypoallergenic. Kaset dibiarkan di tempat selama 48 jam
dan tetap kering sepanjang waktu. Situs uji kemudian dibaca pada
interval waktu yang berbeda. Ruam seperti eksim dapat
menunjukkan sensitivitas terhadap alergen tertentu.

2.1.8. Komplikasi
Menurut Permenkes (2014) komplikasi yang dapat muncul akibat
syok anafilatik antara lain: kerusakan otak, koma dan kematian.

2.1.9. Penatalaksanaan
Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok secara umum
menurut Alexander R H, Proctor H J. Shock., (1993 ; 75 – 94) dalam
Fitria (2010)
1. Posisi Tubuh
a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara
umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang,
penderita jangan digerakkan sampai persiapan transportasi
selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih
parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti
pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
c. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka,
atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi
tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari
rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh
muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah
meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk
menghindari terjadinya asfiksia.

12
d. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang
datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi
kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya
penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar.
2. Pertahankan Respirasi
a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi
atau muntah.
b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu
jalan nafas (Gudel/oropharingeal airway).
c. Berikan oksigen 6 liter/menit
d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan
pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT.
3. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau
nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).

Penatalaksanaan pada syok anafilatik (Permenkes, 2014):

1. Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat


(diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return
sehingga tekanan darah ikut meningkat.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap
bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang
tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh
ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem
laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas

13
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan
napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih
aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar
(a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung
luar.
3. Pemberian Oksigen 3–5 ltr/menit harus dilakukan, pada keadaan
yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan.
4. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan
pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya.
Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis
dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan
stabil.
5. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 untuk dewasa atau 0.01
mk/kg untuk penderita anak-anak diberikan secara intramuskuler
yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya
diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika
respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi
secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam
spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan.
Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik
karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat
vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
Fungsi adrenalin meningkatkan kontraktilitas miokard,
vasokonstriksi vaskuler, meningkatkan tekanan darah dan
bronkodilatasi.

14
6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila
bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg
aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena.
Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap
perlu.
7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah
adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik
guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau
prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid
dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrokortison 100
– 250 mg IV.
8. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung
(cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera
harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya.
Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok
anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang
dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan
cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk
memudahkan tindakan secepatnya.
9. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

15
10. Rencana Tindak Lanjut Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan
mencatatnya di rekam medis serta memberitahukan kepada pasien
dan keluarga.
11. Konseling dan Edukasi Keluarga perlu diberitahukan mengenai
penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah
dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal, dll)
harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita
yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau
penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan
mencoba menyuntikkan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada

16
riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan
preparat lain yang lebih aman.

2.1.10 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk terjadinya syok anafilatik,
sebagai berikut (Salsabilla, 2018):
1. Terapi terhadap penyakit yang mendasari seperti asma, penyakit
kardiovaskuler, mastocytosis dan penyakit lainnya yang dapat
memeperberat reaksi anafilaksis.
2. Menghindari pemicu dan imunomodulasi
Pasien yang alergi terhadap makanan tertentu harus
menghindari makanan yang dapat memicu reaksi. WAO belum
merekomendasikan penggunaan oral immunotherapy food
allergen atau imunomodulator lainnya. Sedangkan, pasien dengan
riwayat reaksi anafilaksis terhadap gigitan serangga dapat
menggunakan imunoterapi subkutan untuk 3-5 tahun.
Perlindungan yang diberikan yaitu sebesar 80-90%. Pasien
dengan riwayat pemakaian obat-obatan tertentu kemudian
menjadi alergi tidak boleh diberikan obat tersebut sehingga dapat
mencegah timbulnya reaksi anafilaksis. Pasien dengan anafilaksis
idiopatik yang sering muncul yaitu > 6 kali dalam 1 tahun atau >2
kali dalam 2 bulan dipertimbangkan untuk diberikan terapi
profilaksis yaitu glukokortikoid sistemik dan H1 antihistamin atau
injeksi omalizumab untuk 2-3 bulan.

17
WOC SYOK ANAFILAKTIK

Obat alergen
(makanan, serangga)

Terpapar pada sel


plasma

Pembentukan Ig E spesifik
terhadap alergi

Terjadi degranulasi pengeluaran


histamin serotonin, bradikalin

Pelebaran pembuluh
darah (vasodilatasi)

Maldistribusi volume
sirkulasi

Aliran darah balik


(venous return)

Tekanan darah
menurun

Syok Anafilaktik

18
Airway dan Breathing Circulation Disability Exspore

Peningkatan hestamin Suplai darah ke ogan Peningkatan


Vasodilatasi vital (otak) menurun pengeluaran
peningkatan histamine dan
permaebilitas Arus balik vena dan radikinin
Reaksi
kapiler volume darah menurun Hipoksia
Asidosis
Respon dinding Maldistribusi hipersensitivitas
bronkus Bronkus pasma volume darah respiratori
Eritema, urtikaria,
Hipersekresi RR meningkat, retraksi otot Penurunan curah Penurunan angioedema
mukosa dada, sesak, nafas cuping jantung kesadaran
hidung
MK:
Penumpukan MK: Gangguan
Tekanan darah
mukus MK: Risiko Cedera Integritas Kulit
menurun
Pola Nafas Tidak
Efektif
Mucus susah Tekanan perfusi
dikeluarkan menurun
MK:
MK: Hipotensi, bradikardi, Ketidakefektifan Perfusi
Dispneu, stidor,
Ketidakefektifan keringat dingin, pucat, Jaringan Perifer
gargling
Bersihan Jalan dan sianosis
Nafas

19
2.2. Tinjauan Teori Asuhan Keperawatan
2.2.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang
mana dilakukan pengumpulan data, pengelompokan data, serta analisa
data yang menghasilkan suatu masalah keperawatan yang dikumpulkan
melalui wawancara, pengumpulan riwayat kesehatan, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, dan review catatan
sebelumnya. Adapun tahap – tahap dalam melakukan pengkajian antara
lain (Fitria, 2010):
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Adanya rasa tercekik di daerah leher, suara serak sebab edema
pada laring. Hidung terasa gatal, bersin hingga tersumbat. Serta
adanya batuk, dan bunyi mengi. Ditemukan edema pada lidah.
b. Breathing
Pada pasien syok anafilaktik ditemukan adanya batuk dan sesak
napas akibat spasme pada bronkus, bunyi stridor pada auskultasi
paru.
c. Circulation
Terjadi hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG :
gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
Gelisah, pusing.
d. Disability
Pada pasien syok anafilaktik, akan mengalamai penurunan
kesadaran. Diakibatkan transport oksigen ke otak yang tidak
mencukupi (menurunnya curah jantung – hipotensi) yang
akhirnya darah akan sulit mencapai jaringan otak. Pasien dengan
syok anafilaktik biasanya terjadi gelisah dan kejang.
e. Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstremitas.

20
2. Pengkajian sekunder
a. Identitas Pasien
Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, alamat
terdekat, no.telepon, no.register, tanggal MRS, penanggung).
b. Keluhan Utama
Klien dengan syok anafilaktik memiliki gejala yang berbeda,
gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi. Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung
tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan
sesak napas. Pada kulit gejala yang muncul yaitu berupa gatal,
kulit kemerahan Gejala lain yang muncul yaitu pada
gastrointestinal berupa perut kram, mual, muntah sampai diare
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien dengan reaksi anafilaksis ditemukan gejala awal
dengan rasa gatal dan panas. Biasanya selalu disertai dengan
gejala sistemik misal dispnea, mual, kulit sianosis, kejang.
Anamnesa yang tepat dapat memperkecil gejala sistemik sebelum
berlanjut pada fase yang lebih parah/gejala sistemik berat.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah klien mempunyai riwayat alergi terhadap sesuatu.
Pernahkah klien mengalami hal yang sama saat setelah kontak
dengan alergen misal, obat-abatan, makanan, atau kontak dengan
hewan tertentu.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah salah satu dari anggota keluarga pernah mengalami
alergi. Punyakah keluarga riwayat penyakit alergi lain misal,
asma.

21
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status respirasi: hidung gatal, bersin, dan tersumbat laring terasa
tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, ada edema pada lidah
b. Status jantung : Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi
sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang T datar,
terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.
c. Gastrointestinal:
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang kadang
disertai darah, peristaltik usus meninggi.
d. Kulit : suhu teraba dingin, urtika, angiodema di bibir, muka,
atau ekstermitas.
e. Status mental :gelisah, cemas, gitasi, tampak ketakutan,
orientasi menurun, sopor sampai koma.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi,
trombositopenia, eosinophilia naik/ normal / turun
b. Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat.
c. Radiologi
1) X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena
mukus, plug.
2) EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
d. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari
alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores
(scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai
karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian
penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan
lebih ideal. (Permenkes, 2014)

22
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon
manusia terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan, atau
kerentanan terhadap respon tersebut dari seorang individu, keluarga,
kelompok atau komunitas. Diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul dengan syok anafilatik menurut NANDA (2015&2018):
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi
jalan napas
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas.
3. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan aliran arteri atau vena.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
5. Risiko cedera berhubungan dengan hipoksia jaringan

2.2.3. Intervensi Keperawatan


1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas
a. Tujuan:
Klien akan memperlihatkan kemampuan meningkatkan dan
mempertahankan kefektifan jalan nafas
b. Kriteria hasil:
1) Tidak merasa tercekik
2) Suara nafas bersih (tidak ada suara nafas abnormal)
3) Frekuensi pernafasan dalam rentang normal 16-20 x/menit
c. Intervensi:
1) Kaji frekuensi dan kedalaman bernapas
R/ Takipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tidak
simetris, sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan
dada. Mengetahui kemampuan ekspirasi dan ispirasi pasien.
2) Identifikasi semua sumber alergi
R/ Mengetahui jenis alergi pasien.

23
3) Auskultasi bunyi nafas, perhatikan area penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan adanya bunyi nafas tambahan
R/ Adanya bunyi nafas tambahan mengidentifikasi adanya
gangguan pada pernafasan
4) Buka jalan nafas dengan teknik chinlift atau jaw thrust
R/ Membatu membuka jalan nafas
5) Kolaborasi dalam tindakan suction, OPA/NSA dan istubasi.
R/ Mengeluarkan fakror penyebab obstruksi

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas


a. Tujuan :
Pola nafas efektif
b. Kriteria hasil :
1) Tidak ada sianosis dan dispnea
2) Menunjukan jalan napas yang paten
3) Tidak ada penggunaan otot bantu napas
4) RR dalam rentang normal 16-20 x/menit
c. Intervensi
1) Observasi keadaan umum dan ukur vital sign pasien.
R/ Ananlisa data kaardiovaskular, pernafasan dan suhu dapat
menentukan intervensi selanjutnya
2) Pantau kecepatan irama, kedalaman pernafasan dalam usaha
respirasi
R/ Memantau pola pernafasan harus dilakukan terutama pada
klien dengan gangguan pernafasan
3) Perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan
otot-otot bantu nafas, serta retraksi otot dada.
R/ Melakukan pemeriksaan fisik pada paru dapat mengetahui
kelainan yang terjadi pada pasien

24
4) Auskultasi bunyi nafas, perhatikan area penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan adanya bunyi nafas tambahan
R/ Adanya bunyi nafas tambahan mengidentifikasi adanya
gangguan pada pernafasan
5) Pengaturan posisi (good lung down)
R/ Memaksimalkan ventilasi
6) Kolaborasi dengan dokter pemberian oksigen.
R/Meningkatkan hantaran oksigen dan mencegah hipertensi
pulmonal

3. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


penurunan aliran arteri atau vena.
a. Tujuan:
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer teratasi
b. Kriteria hasil:
1) TTV dalam batas normal
2) Warna kulit normal (tidak ada sianosis)
3) CRT < 3 detik
4) Tidak ada peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba.
c. Intervensi:
1) Monitor tanda-tanda vital
R/ Ananlisa data kaardiovaskular, pernafasan dan suhu dapat
menentukan intervensi selanjutnya
2) Observasi warna dan suhu kulit / membran mukosa
R/ kulit pucat atau sianosis, kuku, membran bibir/ lidah, atau
dingin, kulit burik menunjukkan vasokontriksi perifer (syok)
atau gangguan aliran darah sistemik
3) Pengaturan posisi (tinggikan kaki)
R/ turunkan pembengkakan jaringan dan pengosongan cepat
vena superfisial dan tibial, mencegah distensi berlebihan dan
sehingga meningkatkan aliran balik vena

25
4) Terapi intravena (IV)
R/ Meningkatkan aliran darah mikrovaskuler dan
meningkatkan curah jantung

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi


a. Tujuan:
Kerusakan integritas kulit dapat diatasi
b. Kriteria hasil:
1) Tidak adanya luka atau lesi pada kulit
2) Mampu mempertahankan integritas kulit yang baik (sensasi,
elastisitas, temperature, hidrasi, dan pigmentasi)
c. Intervensi:
1) Kaji adanya kemerahan dan utrikaria pada kulit
R/ Mengetahui tanda dan gejala dari reaksi alergi
2) Berikan perawatan kulit (oleskan salep)
R/ salep mungkin diinginkan untuk menghilangkan kering,
mengurangi rasa gatal.

5. Risiko cedera berhubungan dengan hipoksia jaringan


a. Tujuan :
Cidera tidak terjadi
b. Kriteria hasil :
1. Klien terbebas dari cidera
2. Mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
c. Intervensi :
1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan
kondisi fisik dan fungsi kognitif pasien.
R/ Mengklasifikasikan kebutuan keamanan yang diperlukan.
2. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
R/ lingkungan yang aman dapat meminimalisir terjadinya
cedera pada pasien

26
3. Memasang side rail tempat tidur
R/ Pemasangan side rail mencegah risiko jatu pada pasien.
4. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
R/ Pendampingan keluarga diperlukan untuk menjaga
keamana papsien

2.2.4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan.
Implementasi keperawatan adalah serangkaia kegiatan yang dilakukan
oleh perawatat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan
yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus
melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan keperawatan yang
sesuai dengan kebutuhan klien. Semua tindakan keperawatan dicatat
dalam format yang telah ditetapkan oleh institusi (Aziz, 2017).

2.2.5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil
akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini
dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana
keperawatan guna menilai ke efektifan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data
berupa keluhan pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisi data
dan perencanaa (Aziz, 2017)

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis
dan merupakan bagian dari syok distributive yang ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pasa sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan
kematian pada beberapa pasien. Pemberian asuhan keperawatan pada dengan
syok anafilatik harus cepat dan tepat. Dimulai dari pengkajian yang meliputi:
pengkajian primer (airway, brithing, sirkulasi, disability, dan exposure) dan
pengkajian sekunder (riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang). Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan di
dapatkan diagnosa ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas, pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan
upaya napas, ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan aliran arteri atau vena, kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan perubahan sirkulasi dan risiko cedera berhubungan dengan hipoksia
jaringan. Perencanaan tindakan yang diberikan sesuai dengan teori dan
disesuaikan dengan kondisi dari pasien tersebut. Dalam melaksnakan
tindakan keperawatan perawat mengacu kepada rencana tindakan yang telah
disusun dan tahap akhir dalam asuhan keperawatan adalah evaluasi.

3.2 Saran
Dari kesimpulan di atas, adapun saran yang penulis dapat sampaikan yakni
sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat memahami ataupun mengetahui bagaimana factor
penyebab syok anafilatik
2. Mahasiswa memahami bagaimana tindakan atau penanganan yang tepat
diberikan pada syok anafilatik.

28
3. Sebagai tenaga kesehatan bisa mengaplikasikan tidakan asuhan
keperawatan yang baik dan tepat untuk sy.ok anafilatik
4. Sebagai tenaga kesehatan kita mampu berpikir kritis dan rasional agar
asuhan keperawatan yang diberikan dapat memberikan efek yang positif
pada pasien dan dapat mencapai kesembuhan yang maksimal.

29
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, AH. 2017. Bab II Tinjaun Pustaka Dokumentasi Keperawatan. Diakses


tanggal 6 September 2019, dari
http://repository.ump.ac.id/3810/3/Ahmad%20H%20Aziz%20BAB
%20II.pdf
Fitria, C. N. (2010). SYOK DAN PENANGANANNYA. Gaster: Jurnal
Kesehatan, 7(2), 593-604.
Nanda, N.N. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan NANDA NIC-
NOC. (Nurarif, A.H. & Kusuma, H, Ed). Yogyakarta: Medication.
Permenkes, 2014. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Diakses tanggal 6 September 2019, dari
https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Permenkes_5_2014.p
df
Salsabilla, N. A. (2019). Analisis pencegahan dan penanganan anafilaksis di
masyarakat. INA-Rxiv. June, 25.
Silalahi, M.L. 2018. Tingkat pengetahuan dan perilaku dokter gigi terhadap
anafilaktik syok akibat anestesi lokal dan natural rubber latex serta
penatalaksanaannya di ruangan praktik dokter gigi di kota medan.
Diakses tanggal 6 September 2019, dari
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5129

30

Anda mungkin juga menyukai