Anda di halaman 1dari 19

KEGAWATDARURATAN MEDIK

MODUL 7 (ORAL SURGERY)

“ SYOK ANAFILAKSIS ”

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi

Kepaniteraan Klinik pada Modul 7

Oleh

Helni Rahma Yulia

1110070110014

Pembimbing : drg. Andreas Pascawinata., MDSc., Sp.BM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

PADANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan Makalah Kegawatdaruratan Medik (KDM) “Syok Amafilaksis” ini

sebagai salah satu syarat dalam melengkapi Kepaniteraan Klinik pada Modul 7.

Perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tulus ikhlas serta penghargaan

yang sebesar-besarnya kepada bapak drg. Andreas Pascawinata., MDSC., Sp.BM selaku

pembimbing yang telah membantu dalam menyusun Makalah Kegawatdaruratan Medik ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Makalah Kegawatdaruratan Medik ini dapat

bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang

memerlukan.

Padang, Januari 2018

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman

Cover ............................................................................................................... i
Kata Pengantar .............................................................................................. ii
Daftar Isi ........................................................................................................ iii

BAB1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 1
BAB2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2
2.1. Defenisi................................................................................................... 2
2.2. Faktor Predisposisi dan Etiologi ............................................................. 3
2.3. Patofisiologis .......................................................................................... 3
2.4. Manifestasi Klinis ................................................................................... 4
2.5. Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 6
2.6. Diagnosis ............................................................................................... 7
2.7. Diagnosis Banding.................................................................................. 7
2.9. Penatalaksanaan ..................................................................................... 10
2.10. Prognosis ................................................................................................ 12
BAB 3 KESIMPIULAN ................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk

diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah pula menimbulkan reaksi obat yang tidak

dikehendaki yang disebut sebagai efek samping. Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan

persoalan baru disamping penyakit dasarnya ,tetapi kadang membawa maut juga. Reaksi

anafilaktik merupakan salah satu contoh efek samping yang potensial berbahaya

Anafilaktik merupakan keadaan akut yang berpotensi mengancam jiwa dan paling sering

disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Gambaran klinis

anafilaktik sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat

masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung,

dan kematian mendadak.

Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3 Tiap

satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dilaporkan 2

kasus tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan 2 kali

lipat pada tahun 2006. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk membahas Syok Anafilaktik dalam

bentuk referat ini.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penegakan diagnosis dan

penanganan Syok Anafilaktik sehingga dapat mengurangi morbiditas maupun mortalitas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung dan

pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang

memadai; syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian sel maupun

jaringan.

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang

berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)

justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau

anaphylaxis).

Anafilaktik merupakan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Jika seseorang sensitive terhadap

suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi

hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafilaktik yang dapat berujung pada syok

anafilaktik. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera

setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu

manifestasi klinis dari anafilaktik yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya

hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps

pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.


Menurut WHO pada tahun 2003 dalam Titi Ajeng 2014, anafilaksis adalah reaksi

hipersensitivitas generalista atau sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis

sendiri dibagi menjadi tiga, alergi, non alergi, dan idiopatik.Anafilaksis alergi terjadi bila

diperantarai suatu mekanisme imunologi, diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-IgE.

Sedangkan anafilaksis non alergi atau pseudo alergi(atau anafilaktoid) diperantarai penyebab non

imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya.

2.2 Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian

anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan

antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat.

Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis

dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan

prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa

anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan

insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa

muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

2.3 Faktor Predisposisi dan Etiologi

Etiologi terjadinya reaksi anafilaktik yaitu:

a. Obat-obatan (antibiotik golongan B-lactam, insulin, streptokinase)

b. Makanan (kacang-kacangan, telur, ikan laut)


c. Protein (antitoksin tetanus, transfusi darah)

d. Bisa binatang

e. Lateks

Selain itu, latihan maupun terpapar udara dingin (pada pasien dengan Cryoglobulinemia)

dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaktik. Riwayat keluarga atopi tidak meningkatkan

risiko kejadian anafilaktik, namun dapat meningkatkan risiko kematian ketika reaksi anafilaktik

terjadi.

Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin,

obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1, asam folat, agen

kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibody monoclonal,

selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.


Alergen Penyebab Anafilaksis

Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting


Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Am
photericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine,
Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan
HCT
Bisa Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
serangga
Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

2.4 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaktik dalam hipersensitivitas tipe I

(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaktik melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan

aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai

diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi

merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai

timbulnya gejala.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi

anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang

berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan

reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh

Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia

akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadisel

Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian

terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi

pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen

yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu

pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan

vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang

akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah

degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon

yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan

aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan

kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) Berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik

eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena

maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik

sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian

terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksi jaringan yang

berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis pada umumnya muncul dalam 15 menit sejak terjadinya paparan. Gejala

dapat melibatkan kulit, saluran nafas atas maupun bawah, sistem kardiovaskular, dan GI tract.

Satu atau lebih area mungkin terkena, dan gejalanya tidak harus diawali gejala ringan (urtikaria)

terlebih dahulu sampai berat (obstruksi saluran nafas, atau syok).

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau

lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan

saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada

fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan

kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma

merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,

takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel

yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi
hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat

penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,

memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil

pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau

meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.

Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent

test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang

mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu

denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang

tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas

darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap,

elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

2.7 Diagnosis

American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria

diagnosis anafilaktik. Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit

hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya

bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah,

uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan

dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar

alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu

keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,

pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak

nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah

atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala

gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada allergen yang

diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak anak,

tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.

Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan

darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut :

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala

- Pasien terlihat baik atau tidak baik

- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih lambat dari

onset

- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan lebih

cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih cepat onsetnya dari

trigger ingesti oral.

- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”


2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems

Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak (faring/laring

edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa tenggorokan tertutup.

- Suara Hoarse

- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas

- Wheezing

- Pasien menjadi lelah

- Kebingungan karena hipoksia

- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign

- Respiratory arrest

Circulation problem

- Tanda syok, pucat, berkeringat.

- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)

- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.

- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran

- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah walaupun

individu dengan normal arteri kononer.

- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa

Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi anafilaksis.

- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.

- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya

- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.

- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah muda,

atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.

- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam

sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.

2.8 Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak

spesifik dari anafilaktik mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya

yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaktik mempengaruhi seluruh system

organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan

basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap

reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaktik dan syok

anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,

Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.

2.9 Penatalaksanaan

Tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan

menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaktik. Segera

baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan

tekanan darah. Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari

tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.

o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada

sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah

tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver

yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan

jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,

krikotirotomi, atau trakeotomi.

o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda

bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang

disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.

Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan,

juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.

o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.

femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Selain penanganan diatas ada juga penanganan umum yang harus di lakukan yaitu :

 Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis

 Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat atau sengatan

hewan longgarkan 1-2 menit tiap 10 menit.

 Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala (posisi

shock) dengan alas keras.

 Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi


 Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia

persiapkandari mulut kemulut

 Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl

fisiologis, 0,5-1liter dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan Tensi dan

produksi urine Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas

tubuh /24 jam Bila< 100mmHg beri Vasopressor (Dopamin) Tensi tak terukur 20

cc/kg ,Apabila sistole < 100 mmHg 500 cc/1/2 jam dan apabila sistole > 100 mmHg

500 cc/ 1 Jam

 Bila perlu pasang CVP

Medikamentosa

a. Adrenalin 1:1000, 0,3 –0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom

.Dapat diulang 2-3 x dengan selang waktu 15-30 menit, Pemberian IV pada stadium

terminal / pemberian dengan dosis1 ml gagal , 1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam

faali diberikan 1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB).

b. Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg

dosis tunggal, PO dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam bila tetap sesak +

hipotensi segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV) maximal 200mg IV.

c. Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10 ml

garam faali atau D5, IV selama 20 menit dilanjutkan 0,2 –1,2 mg/kg/jam.

Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg selama 4-6 jam, pemberian selama

72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin 300mg setelah 3-5 menit.


2.10 Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan, reaksi

anafilaktik jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaktik tersebut dapat kambuh

kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi

setelah terjadinya serangan anafilaktik untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih

luas lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan

menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit

kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit,

obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari

mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
BAB III

KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang

ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang

jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan

alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau

racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat

alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis

dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang

berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok

anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala

prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada

satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang

dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat

dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita

dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung

paru; pemberian adrenalin dan obat- obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan

hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan

penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam

penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani

secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang

menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Titi Ajeng, Referat Syok Anafilaktik, Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiah Yokyakarta,
2014

Nurfiani Toti Dan R Wili Agung, Syok Anafilaktik, Fakultas Kedokteran Universitas Sultan
Agung Semarang, 2014

Krizdiana Usqi, Syok Anafilaktik, Fakultas Kedokteran Unifersitas Islam Malang, 2015

Herdiyanto Yonny, Syok Dan Penanganannya, Fakultas Kedokteran Unifersitas Negeri


Surabaya, 2014

Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas. Direktorat Jenderal
Keparmasian Dan Alat Kesehatan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Anafilaksis

Anda mungkin juga menyukai