Anda di halaman 1dari 76

MAKALAH

TINDAKAN KEPERAWATAN PADA KEPERAWATAN KRITIS

DOSEN PEMBIMBING :

PURBIANTO, M.Kep.,Sp.KMB

TINGKAT 3 REGULER 1
KELOMPOK 6

MYA SILVIA BELLA 1814401031


HIDAYAT ROHMAN 1814401032
ELISA SAPUTRI 1814401033
MUHAMAD ANGGER ALIF R.A 1814401034
AMANAH HIDAYATI 1814401035

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG

D III KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia yang diberikan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Tindakan
Keperawatan Pada Keperawatan Kritis “dengan tepat waktu. Makalah ini disusun
dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Keperawatan
Kritis.

Makalah ini kami susun dengan sebaik mungkin sebagaimana sesuai


materi yang terdapat dalam mata kuliah Keperawatan Kritis. Materi tersebut
diambil dari berbagai sumber referensi buku dari beberapa para ahli.

Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua yang membacanya dan dapat membantu kita dalam memahami
pembelajaran mengenai mata kuliah Keperawatan Kritis. Kritik dan saran yang
membangun selalu kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya
lebih baik.

Bandar lampung,Agustus 2020

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….......................... .ii

DAFTAR ISI............……………………………………………………………………......................... .iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1

1.1. Latar Belakang.....................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3

2.1.Terapi Oksigen....................................................................................................3.

2.2. Bedside Monitor...................................................................................................12

2.3. Elektrokardiogram...............................………………………………………………................16

2.4 Obat - Obat di Ruang ICU.....…………………………………………………………………..18

2.5 Penatalaksanaan Syok……………………………………………………………………….……40

2.6 Terapi Cairan dari Parentral Nutrisi ……………………………………………………… 47

2.7 Bantuan Hidup Lanjut..... ……………………………………………………………………….47

2.8 Melaukan Pemantauan CVP Melalui Manometer…………………….......……….62

2.9 Pemberian Obat Dan Cairan Melalui Syring Pump atau Infus Pump………..64

BAB III PENUTUP………………………………………………………………..11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..12
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di bidang keperawatan


yang secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah yang
mengancam kehidupan. Secara keilmuan perawatan kritis fokus pada
penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Untuk pasien yang kritis,
pernyataan penting yang harus dipahami perawat ialah “waktu adalah vital”.
Sedangkan Istilah kritis memiliki arti yang luas penilaian dan evaluasi secara
cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka mencari
penyelesaian/jalan keluar.
American Association of Critical-Care Nurses (AACN) mendefinisikan
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang
dihadapkan secara rinci dengan manusia (pasien) dan bertanggung jawab
atas masalah yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat
profesional yang resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien
dengan sakit kritis dan keluarga pasien mendapatkan kepedulian optimal
(AACN, 2006). American Association of Critical Care Nurses (AACN, 2012)
juga menjelaskan secara spesifik bahwa asuhan keperawatan kritis
mencakup diagnosis dan penatalaksanaan respon manusia terhadap
penyakit aktual atau potensial yang mengancam kehidupan. Lingkup praktik
asuhan keperawatan kritis didefinisikan dengan interaksi perawat kritis,
pasien dengan penyakit kritis, dan lingkungan yang memberikan sumber-
sumber adekuat untuk pemberian perawatan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Terapi Oksigen?
2. Bagaimana Kerja Bedside Monitor?
3. Bagaimana Kerja Elektro Kardio Gram?

1
4. Apa saja Obat-Obat di Ruang ICU?

5. Bagaimana Penatalaksanaan Syok?


6. Bagaimana Terapi Cairan dan Parenteral Nutrisi?
7. Apa itu Bantuan Hidup Lanjut?
8. Bagaimana Melakukan Pemantauan CVP Melalui Manometer?
9. Bagaimana Pemberian Obat dan Cairan Melalui Syring Pump/ Infus
Pump?
BAB II
TINDAKAN KEPERAWATAN KRITIS

2.1 Terapi Oksigen


2.1.1 Pengertian
Terapi oksigen adalah upaya-upaya meningkatkan masukan oksigen
ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik
dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan. Dalam pemberiannya
sebagai obat, O2 dikemas dalam tabung bertekanan tinggi dalam
bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak mudah
terbakar namun menunjang proses kebakaran. Sebelum O2 dalam
tabung digunakan dalam terapi oksigen, mutlak diperlukan asesoris
berupa regulator, sistem perpipaan oksigen sentral, meter aliran, alat
humidifikasi, alat terapi aerosol, dan pipa/kanul/kateter serta alat
pemberinya.

2.1.2 Indikasi

Secara fisiologis, tubuh mengonsumsi oksigen sebanyak 115-165


ml/menit/meter persegi dari luas permukaan tubuh, sedangkan
penyediaan oksigen sebanyak 550-650 ml/menit/meter persegi
permukaan rubuh. Sehingga masih tersedianya cadangan oksigen
sebanyak 435-485 ml di dalam darah, namun akan segera habis di
gunakan untuk metabolisme dalam waktu 3-4 menit apa bila pasien
tidak bernapas atau tidak diberikan oksigen.

Penyediaan dan konsumsi oksigen di upayakan oleh tubuh agar tetap


seimbang melalui sistem respirasi dan sistem sirkulasi. Jika terjadi
gangguan keseimbangan seperti penurunan penyediaan oksigen atau
peningkatan konsumsi oksigen akan terjadi “hutang” oksigen.
Indikasi klinis secara umum untuk pemberian terapi oksigen adalah
jika terjadi ketidak cukupan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat :

a. Gagal napas akibat sumbatan jalan napas, depresi pusat napas,


penyakit saraf otot, trauma thorax atau penyakit pada paru
seperti misalnya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).

b. Kegagalan transportusi oksegen akibat syok (kardiogenik,


hipovolemik dan septik), infark otot jantung, anemia atau
keracunan karbon monoksida (CO).

c. Kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat keracunan


sianida.

d. Peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada


luka bakar, trauma ganda, infeksi berat, penyakit keganasan,
kejang demam, dan sebagainya.

e. Pasca anestesia terutama anestesia umum dengan gas gelak


atau N2O.

2.1.3 Tujuan
Seperti halnya terapi secara umum, terdapat tujuan dari pemberian
oksigen/terapi oksigen ini. Dimana tujuannya adalah:
1. Mengoreksi hipoksemia Pada keadaan gagal nafas akut, tujuan
dari pemberian oksigen disini adalah upaya penyelamatan
nyawa. Pada kasus lain, terapi oksigen bertujuan untuk
membayar “hulang" oksigen jaringan.
2. Mencegah hipoksemia Pemberian oksigen juga bisa bertujuan
untuk pencegahan, dimana untuk menyediakan oksigen dalam
darah, seperti contohnya pada tindakan bronkoskopi, atau
pada kondisi yang menyebabkan konsumsi oksigen meningkat
(infeksi berat, kejang, dll).
3. Mengobati keracunan karbon monooksid (CO) Terapi oksigen
dapat untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen (PO2) dalam
darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan hemoglobin.
4. Fasilitas Absorpsi dan rongga-rongga dalam tubuh. Saat
menggunakan obat anesthesia inhalasi pasca anesthesia, terapi
oksigen dapal digunakan untuk mempercepat proses eliminasi
obat tersebut.

2.1.4 Tekhnik dan Alat

Tekhnik dan alat yang dapat digunakan dalam terapi oksigen sangat
beragam, dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri. Tehnik dan alat yang akan digunakan hendaknya
memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara


inspirasi (FiO2)

2. Tidak menyebabkan akumulasi CO2

3. Tahanan terhadap pemafasan minimal

4. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen

5. Diterima dan nyaman digunakan oleh pasien

Berdasarkan kriteria tersebut, alat-alat yang digunakan digolongkan


menjadi:
1. Sistem fixed performance Fraksi oksigen pada alat ini tidak
tergantung pada kondisi pasien. Berdasarkan aliran gasnya
dibagi menjadi:

a. Aliran tinggi (misalnya: sungkup venturi)

b. Aliran rendah (misalnya: mesin anesthesia)

2. Sistem variable performance Fraksi oksigen pada alat ini


tergantung pada aliran oksigen, faktor alat, dan kondisi pasien.
Terdapat 3 jenis yaitu:

a. sistem no capacity (misalnya: nasal kanul, nasal kateter)

b. sistem small capacity (misalnya: nasal kanul atau nasal


kateter aliran tinggi, sungkup “semi~rigid”)

c. sistem large capacity (misalnya: pneumask, polymask)

Berdasarkan ada atau tidaknya hirupan kembali udara ekspirasi


pasien selama terapi oksigen, sistem pemberian gas dalam terapi
oksigen dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Sistem nonrebreathing Pada sistem nonrebreathing, kontak


antara udara inspirasi dan ekspirasi sangat minimal. Udara
ekspirasi langsung keluar ke atmosfer melalui katup searah
yang dipasang pada hubungan antara pengalir gas dengan
mulut atau hidung pasien. Untuk itu harus diberikan aliran gas
yang cukup agar volume semenit dan laju aliran puncak yang
dibutuhkan terpenuhi atau memasang kantong penampung
udara inspirasi yang memungkinkan penambahan sejumlah gas
bila diperlukan. Katup searah yang dipasang tersebut
memberikan kesempatan masuknya udara atmosfir ke dalam
alat ini sehingga menambah julmah aliran gas untuk memenuhi
kebutuhan gas, terutama pada sistem aliran gas tinggi.

2. Sistem rcbreathing Pada sistem ini, udara ekspirasi yang


ditampung pada kantong penampung yang terletak pada pipa
jalur ekspirasi, dihirup kembali setelah CO2 nya diserap oleh
penyerap CO2 selanjutnya dialirkan kembali ke pipa jalur
inspirasi. Berdasarkan kecepatan aliran, cara pemberian
oksigen dibagi menjadi :

a. Sistem aliran oksigen tinggi Pada sistem ini, alat yang


digunakan yaitu sungkup venti atau venturi yang
mempunyai kemampuan menarik udara kamar pada
perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga
mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan
FiO2 yang tetap. Keuntungan alat ini adalah FiO2 yang
diberikan stabil dan mampu mengendalikan suhu dan
humidifikasi udara inspirasi, sedangkan kelemahannya
adalah alat ini mahal, mengganti seluruh alat apabila ingin
mengubah FiO2 dan tidak enak bagi pasien.

b. Sistem aliran oksigen rendah Sebagian dari volume tidal


berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan FiO2 21%-
90%, teragantung dari aliran gas oksigen dan tambahan
asesoris seperti kantong penampung. Alat yang umum
gunakan dalam sistem ini adalah: nasal kanul, nasal
kateter, dan sungkup muka tanpa atau dengan kantong
penampung. Alat ini digunakan pada pasien dengan
kondisi stabil, volume tidalnya berkisar antara 300-700 ml
(dewasa) dan pola nafasnya teratur. Beberapa alat yang
umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen adalah :

1) Nasal Kanul Termasuk dalam sistem “non rebreathing”,


“no capacity”, dan aliran rendah. Merupakan alat
sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya.
Tergantung dari aliran oksigen/menit, mampu
Kecepatan aliran FiO2
1 liter/menit 24%
2 liter/menit 28%
3 liter/menit 32%
4 liter/menit 36%
5 liter/menit 40%
6 liter/menit 44%

2) Kateter nasal Alat ini mirip nasal kanul, sed\erhana, murah


dan mudah dalam pemakaiannya. Tersedia dalam berbagai
ukuran sesuai usia dan jenis kelarnin pasien. Untuk anak-
anak digunakan nomor 8-10 F, untuk lakilaki nomor 12-l4
F, dan untuk perempuan digunakan nomor 10-12 F. Fraksi
oksigen yang dihasilkan sama seperti nasal kanul.

3) Sungkup muku tanpa kantong penampung Alat ini


sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya.
Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia. Sering
kali ditolak pasien oleh karena menimbulkan perasaan
tidak enak. Menghasilkan FiO2 sebagai berikut :
Kecepatan aliran FiO2
5-6 liter/menit 40%
6-7 liter/menit 50%
7-8 liter/menit 60%

4) Sungkup muka dengan kantong penampung Termasuk


kelompok aliran rendah, “large capacity" dan “non
rebreathing". Alat ini sama dengan alat di atas, hanya
ditambah kantong penampung oksigen pada muaranya
untuk mcningkatkan konsentrasi oksigen udara inspirasi
atau FiO2. Alat ini digunakan apabila memerlukan FiO2
antara 60-90%. Menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
Kecepatan aliran FiO2
6 liter/menit 60%
7 liter/menit 70%
8 liter/menit 80%
9 liter/menit 9%
10 liter/menit 99%

5) Sungkup muka venturi Alat ini relatif mahal dibandingkan


dengan beberapa alat yang telah disebutkan diatas.
Kelebihan alat ini adalah mampu mernberikan FiO2 sesuai
dengan yang di kehendaki, tidak tergantung dari aliran
gas oksigen yang diberikan. Tersedia dalam ukuran FiO2
24%, 35%‘ dan 40%.

6) OEM Mix-O Mask Alat ini hampir sama dengun sungkup


venturi. Perbedaannya pada alat ini ditambah dengan
pipa korugated sepanjang 20-30 cm dan bisa ditambah
adaptor humidifikasi.

7) Sungkup muka tekanan positif Alat ini terdiri dari sungkup


muka, ukuran tekanan 0-4 cm HO, tali pengikat kepala,
katup searah, kantong dari karet elastic, pipa karet
diameter agak besar dan meter aliran untuk oksigen
dalam sistem perpipaan atau regulator untuk oksigen
dalam silinder. Alat ini digunakan untuk memberikan
nafas buatan pada pasien depresi nafas.
8) Kollar trakeostomi Alat ini digunakan pada pasien yang
dilakukan trakeostomi. Alat ini mampu memberikan
humidifikasi tinggi dan FiO2 nya dikendalikan dengan
mengatur aliran oksigen permenitnya.

Pedoman

1. Tentukan status oksigen pasien dengan pemeriksaan klinis dan


pemeriksaan analisis gas darah

2. Pilih sistem yang akan digunakan (aliran tinggi/rendah)

3. Tentukan konsentrasi oksigen yang dikehendaki: tinggi (> 60%),


sedang (35-60%), atau rendah (<35% )

4. panatau kebarhasilan terapi oksigen dengan pemeriksaan fisik


pada system respirasi dan kardiovaskuler

5. pemeriksa analisis gas darah secara periodic ( selang waktu


30m)
6.apabila dianggap perlu, ubah cara pemberiaannya.

2.1.5 Efek Samping

Pemberian terapi oksigen ini dapat menimbulkan efek samping di


sistem pernafasan, susunan saraf pusat, dan juga mata (terutama
pada bayi prematur).

Pada sistem respirasi:

a. Depresi nafas Keadaan ini terjadi pada pasien yang menderita


PPOM dengan hipoksia dan hiperkarbia kronik. Oleh karena
pada penderita PPOM kendali pusat nafas bukan oleh kondisi
hiperkarbi seperti pada keadaan normal, tetapi oleh kondisi
hipoksia, sehingga apabila kadar oksigen dalam darah
meningkat malah akan menimbulkan depresi nafas. Pada
pasien PPOM, terapi oksigen di anjurkan dilakukan dengan
sistem aliran rendah dan pemberiannya secara intermiten.

b. Keracunan oksigen Keracunan oksigen ini terjadi apabila


pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi (>6O%) dalam
jangka waktu lama. Akan timbul perubahan pada paru dalam
bentuk: kongesti paru, penebalan membrane alveoli, edema,
konsolidasi dan atelektasi. Pada keadaan hipoksia berat,
pemberian terapi oksigen dengan FiO2 sampai 100% dalam
waktu 6-12 jam untuk life saving seperti misalnya pada saat
resusitasi masih di anjurkan. Namun setelah keadaan kritis
teratasi, FiO2 harus segera di turunkan.

c. Nyeri substemal Nyeri substernal dapat terjadi akibat iritasi


pada trakea yang menimbulkan trakeitis. Hal ini terjadi pada
pemberian oksigen konsentrasi tinggi dan keluhannya akan
lebih hebat lagi apabila oksigen yang diberikan itu kering (tanpa
humidifikasi).

Pada susunan saraf pusat :

Pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat


menimbulkan keluhan parestesia dan nyeri pada sendi. Pada mata :
Pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur, hiperoksia
menyebabkan kerusakan pada retina akibat proliferasi pumbuluh
darah disertai perdarahan dan fibrosis (retrolental firbroplasia).
2.1.6 Resiko Jangka Panjang
Terdapat tiga klasifikasi risiko penggunaan jangka panjang terapi
oksigen yaitu: fisik, fungsional, dan sitotoksik.
a. Risiko fisik Penggunaan jangka panjang dari terapi oksigen secara
fisik dapat mengakibatkan luka lecet pada hidung dan wajah yang
timbul dari pemakaian nasal kateter dan sungkup. Kulit kering dan
pengelupasan kulit dapat muncul dengan penggunaan gas yang
kering tanpa proses humidifikasi.
b. Risiko fungsional Terapi oksigen dapat menyebabkan hipoventilasi
pada pasien dengan COPD. Dalarn prakteknya, terapi oksigen
aliran rendah, memiliki risiko yang kecil untuk menyebabkan
hipoventilasi tersebut.
c. Risiko kerusakan sitotoksik Pemberian oksigen dapat
menyebabkan kerusakan struktural pada paruparu. Perubahan
proliferasi dan perubahan fibrosis akibat toksisitas oksigen
terbukti setelah dilakukannya otopsi pada pasien COPD yang
diterapi dengan oksigen jangka panjangv Namun perubahan ini
tidak menimbulkan pengaruh yang signifikan pada pexjalanan
klinis atau kelangsungan hidup pasien yang diterapi dengan
oksigen. Sebagian besar kerusakan yang texjadi diakibatkan oleh
hasil hyperoksia dari pemberian FiO2 tinggi pada kondisi akut.
2.2 Bedside Monitor
2.2.1 Pengertian
Bedside Monitor adalah suatu alat yang digunakan untuk memonitor
vital sign pasien, berupa detak jantung, nadi, tekanan darah,
temperatur bentuk pulsa jantung secara terus menerus.
2.2.2 Parameter
Parameter adalah bagian-bagian fisiologis dari pasien yang diperiksa
melalui pasien monitor. Jika kita ketahui ada sebuah pasien monitor
dengan 5 parameter, maka yang dimaksud dari lima parameter
tersebut adalah banyaknya jenis pemeriksaan yang bisa dilakukan
oleh pasien monitor tersebut.
Didalam istilah pasien monitor kita mengetahui beberapa parameter
yang diperiksa, parameter itu antara lain adalah :
a. EKG adalah pemeriksaan aktivitas kelistrikan jantung, dalam
pemeriksaan ECG ini juga termasuk pemeriksaan "Heart Rate" atau
detak jantung pasien dalam satu menit.
b. Respirasi adalah pemeriksaan irama nafas pasien dalam satu menit
c. Saturasi darah / SpO2, adalah kadar oksigen yang ada dalam darah.
d. Tensi / NIBP (Non Invasive Blood Pressure) / Pemeriksaan tekanan
darah.
e. Temperature, suhu tubuh pasien yang diperiksa.
2.2.3 Jenis-jenis
a. Pasien Monitor Vital Sign
monitor ini bersifat pemeriksaan stándar, yaitu pemeriksaan ECG,
Respirasi, Tekanan darah atau NIBP, dan Kadar oksigen dalam
darah / saturasi darah / SpO2.
b. Pasien Monitor 5 Parameter
Pasien monitor ini bisa melakukan pemeriksaan seperti ECG,
Respirasi, Tekanan darah atau NIBP, kadar oksigen dalam darah /
saturasi darah / SpO2, dan Temperatur.
c. Pasien Monitor 7 Parameter
Pasien monitor ini biasanya dipakai diruangan operasi, karena ada
satu parameter tambahan yang biasa dipakai pada saat operasi,
yaitu "ECG, Respirasi, Tekanan darah atau NIBP (Non Invasive
Blood Pressure) , kadar oksigen dalam darah / Saturasi darah /
SpO2, temperatur, dan sebagai tambahan adalah IBP (Invasive
Blood Pressure) pengukuran tekanan darah melalui pembuluh
darah langsung, EtCo2 (End Tidal Co2) yaitu pengukuran kadar
karbondioksida dari sistem pernafasan pasien.
2.2.4 Prinsip Kerja
POWER SUPPLY BOARD :
-Penyearah dan filter input tegangan AC
-Penstabil dan menghasilkan tegangan DC untuk semua rangkaian
-Baterai charger
-Menghasilkan perintah power fail ke main board
-Memilih ON/OFF DC power supply dari front panel
-Mematikan DC power supply, jika terjadi kerusakan pada power
LCD DISPLAY :
Menghasilkan gambar bagi tampilan sinyal-sinyal hasil pengukuran
yang telah diolah dan didapatkan dari main prosessor board.
BACKLIGTH :
Tampilan bagi belakang layar dua tegangan anoda (200 v dan 6 KV),
heater current kontrol grid voltage, arus katoda.
MAIN PROSESSOR BOARD :
Fungsinya untuk, afirmware programed microcomputer, system
timing, interface, pada rangkaian lainnya seperti display monitor,
spiker front-end dan keyboard, alarm, recorder serta interface pada
keluaran dan mini recorder.
KEYPAD :
Fungsinya keypad board adalah untuk mengetik dan mengisi data-
data pasien yang sedang diperiksa dan memberikan perintah-
perintah untuk melakukan program yang akan dilakukan .
MAIN CONECTOR BOARD :
Terdiri dari 3 fungsi blok: ECG/Defib syn, Unity, Auxilary port,
Expansion and docking port.
Auxilary parameter board dibagi dalam 3 daerah operasi utama:
Input channel (2 pressure dan 2 temperatur)
Control dan A/D konversion dari front panel dan semua input channel
(pressure, temperatur, ECG, peripheral pulse dan respiration)

Hal yang perlu diperhatikan :


- Kebersihan probe
- Grounding
- Aksesoris
- Lakukan pemeliharaan sesuai jadwal
2.2.5 Cara Kerja
a. Lepaskan penutup debu
b. Siapkan aksesoris dan pasang sesuai kebutuhan
c. Hubungkan alat ke terminal pembumian
d. Hubungkan alat ke catu daya
e. Hidupkan alat dengan menekan/mamutas tombol ON/OFF
f. Set rentang nilai (range) untuk temperatur, pulse dan alarm
g. Perhatikan protap pelayanan
h. Beritahukan kepada pasien mengenai tindakan yang akan
dilakukan
i. Hubungkan patient cable, stap dan chest electrode ke pasien dan
pastikan sudah terhubung dengan baik
j. Lakukan monitoring
k. Lakukan pemantauan display terhadap heart rate, ECG wave form,
pulse, temperatur, saturasi oksigen (SpO2), NiBP, tekanan
hemodinamik
l. Setelah pengoperasian selesai matikan alat dengan menekan
tombol ON/OFF
m. Lepaskan hubungan alat dari catu daya
n. Lepaskan hubungan alat dari terminal pembumian
o. Lepaskan patient cable, strap, chest electrode dan bersihkan
p. Pastikan bahwa Bedside Monitor dalam kondisi baik dan siap
difungsikan lagi
q. Pasang penutup debu
r. Simpan alat dan aksesoris ke tempat semula

2.3 Elektro Kardio Gram

2.3.1 Pengertian

Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu sinyal yang dihasilkan oleh


aktifitas listrik otot jantung. EKG ini merupakan rekaman informasi
kondisi jantung yang diambil dengan memasang electroda pada
badan. Rekaman EKG ini digunakan oleh dokter ahli untuk
menentukan kodisi jantung dari pasien. Sinyal EKG direkam
menggunakan perangkat elektrokardiograf.

2.3.2 Fungsi

Hal-hal yang dapat diketahui dari pemeriksaan EKG adalah :

-Denyut dan irama jantung

-Posisi jantung di dalam rongga dada.

-Penebalan otot jantung (hipertrofi).

-Kerusakan bagian jantung.

-Gangguan aliran darah di dalam jantung.

-Pola aktifitas listrik jantung yang dapat menyebabkan gangguan


irama jantung.

2.3.3 Teknik monitoring EKG


Saat ini 4 macam teknik monitoring EKG yang sering digunakan yaitu :

Teknik monitoring standar ekstremitas (metoda Einthoven) atau


standard limb leads Dalam menggunakan teknik ini, dilakukan 3
tempat monitoring EKG yakni :

Lead I dibentuk dengan membuat lengan kiri (LA-left arm) elektroda


positif dan lengan kanan (RA- right arm) elektroda negatif. Sudut
orientasi 0º

Lead II dibentuk dengan membuat kaki kiri (LL-left leg) elektroda


positif dan lengan kanan (RA- right arm) elektroda negatif. Sudut
orientasi 60º

Lead III dibentuk dengan membuat kaki kiri (LL-left leg) elektroda
positif dan lengan kiri (LA- left arm) elektroda negatif. Sudut orientasi
120º

Teknik monitoring tambahan atau augmented limb leads Dalam


menggunakan teknik ini, dilakukan 3 tempat monitoring EKG yakni :

aVL dibentuk dengan membuat lengan kiri (LA-left arm) elektroda


positif dan anggota tubuh lainnya (ekstremitas) elektroda negatif.
Sudut orientasi -30º

aVR dibentuk dengan membuat lengan kanan (RA- right arm)


elektroda positif dan anggota tubuh lainnya (ekstremitas) elektroda
negatif. Sudut orientasi -150º

aVF dibentuk dengan membuat kaki kiri (LL-left leg) elektroda positif
dan anggota tubuh lainnya (ekstremitas) elektroda negatif. Sudut
orientasi +90º monitoring EKG prekordial/ dada atau standard chest
leads monitoring EKG

2.3.4 Karakteristik dan parameter – parameter dalam EKG

Sinyal EKG terdiri dari gelombang P, kompleks QRS, dan gelombang T


(diperlihatkan pada gambar di bawah ini digunakan untuk
mendeteksi kelainan jantung atau aritmia (arrythmia). Urutan
terjadinya sinyal EKG yang dapat menimbulkan gelombang P,
kompleks QRS, dan gelombang T adalah sebagai berikut :

Setiap siklus kontraksi dan relaksasi jantung dimulai dengan


depolarisasi spontan pada nodus. Peristiwa ini tidak tampak pada
rekaman EKG

Gelombang P merekam peristiwa depolarisasi dan kontraksi atrium


(atria contract). Bagian pertama gelombang P menggambarkan
aktivitas atrium kanan; bagian kedua mencerminkan aktivitas atrium
kiri.

Setelah mendapatkan sinyal EKG, denyut jantung (HR- heart rate)


dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini :

Dengan Interval_RR = Jarak antara gelombang R dengan gelombang R


lainnya yang berdekatan terukur dalam satuan waktu (sekon) HR =
Besar denyut jantung yang dalam satuan beat per minute (BPM)

2.4 Obat-Obat di Ruang ICU


2.4.1 ASPIRIN (ASAM SALISILAT)
Golongan obat : Analgesik
Menurut Amar Syarif (1995) dalam buku Farmakologi dan Terapi Edisi
4 dijelaskan bahwa:
a. Pengertian
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai aspirin adalah
analgetik antipiretik dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan.
Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai
efek obat sejenis.
b. Farmakokinetik
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat
dalam bentuk utuh dilambung, tetapi sebagian besar di usus halus
bagian atas.kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah
pemberian.kecepatan absorpsi nya tergantung dari kecepatan
disintegrasi, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan
lambung.
Setelah di absorpsi akan segera menyebar keseluruh jaringan tubuh
dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan synovial,
cairan spinal. Obat ini mudah menembus sawar darah otak dan sawar
uri. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, di hidrolisis menjadi asam
salisilat terutama dalam hati sehingga kira-kira hanya 30 menit
terdapat dalam plasma.
c. Farmakodinamik
Merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik,
antipiretik, dan anti inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan
efektif sebagai antipiretik.
1) Efek Terhadap Darah
Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa
perdarahan.hal ini bukan karena hipoprotrombinaemia,tetapi karena
asetilasi siklo-oksigenase trombosit sehingga pembentukan TXA2
terhambat.
2) Efek Terhadap Keseimbangan Asam-Basa
Dalam dosis terapi tinggi salisilat menyebabkan peningkatan
konsumsi oksigen dan produksi CO2 terutama di otot skelet karena
perangsangan fosforilasi oksidatif.karbondioksida yang diahasilkan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan pernapasan sehingga
karbondioksida dalam darah tidak meningkat.
3) Efek samping
Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak diperut, mual, dan
perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindari bila dosis perhari
tidak lebih dari 325mg, penggunaan bersama antacid dapat
mengurangi efek tersebut. Obat ini dapat mengganggu hemostasis
pada tindakan operasi dan apabila diberikan bersama heparin dapat
meningkatkan resiko perdarahan.
4) Sediaan
Aspirin merupakan sediaan yang paling banyak digunakan. Aspirin
tersedia dalam bentuk tablet 100 mg untuk anak dan tablet 500 mg
untuk dewasa.
5) Indikasi
Bermanfaat untuk mengobati nyeri yang tidak spesifik misalnya nyeri
kepal, neuralgia, mialgia. Aspirin juga digunakan untuk mencegah
thrombus koroner dann thrombus vena-dalam berdasarkan efek
penghambatan agregasi thrombosis. Pada infark miokard akut
nampaknya aspirin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya miokard
infark yang fatal. Pada penderita TIA penggunaan aspirin jangka
panjang juga bermanfaat untuk mengurangi kekambuhan TIA, stroke
karena penyumbatan dan kematian akibat gangguan pembuluh
darah.

2.4.2 DOBUTAMIN (DOBUTAMINE HYDROCHLORIDE)


Golongan obat : Inotropik
Dalam buku Drug Information Handbook International, Lexi-Comp's,
(2005) djelaskan bahwa:
a. Pengertian
Dobutamine adalah simpatomimetic sintetik yang secara struktur
berhubungan dengan dopamine dan tergolong selective. Dobutamine
hidroklorida merupakan sebuk kristal berwarna putih, agak larut
dalam air dan alkohol. Dobutamine mempunyai pKa 9,4. Dobutamine
hidroklorida dalam perdagangan tersedia dalam bentuk larutan steril
dalam aqua pro injection. Dalam perdagangan larutan Dobutamine
hidroklorida merupakan larutan jernih tidak berwarna hingga larutan
berwarna sedikit kekuning-kuningan.
b. Nama Dagang
• Dobuject
• Dobutamin Giulini
• Dobutamine Hameln
• Dobutamine HCl Abbott
• Dobutamine Lucas Djaja
• Inotrop
• Cardiject

c. Farmakokinetik
Onset of action (waktu onset) : IV : 1-10 menit
Peak effect (efek puncak): 10-20 menit
Metabolisme : di jaringan dan hepar menjadi bentuk metabolit yang
tidak aktif
T½ eliminasi (half-life elimination) : 2 menit
Ekskresi : urin (sebagai metabolit)
d. Farmakodinamik
Stimulasi reseptor beta1-adrenergic, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas dan denyut jantung, dengan sedikit efek pada beta2
atau alpha-reseptor.
e. Efek Samping
Sakit kepala, sesak nafas, takikardia, hipertensi, kontraksi ventrikel,
premature, angina pectoris, mual, muntah, nyeri dan non angina.
f. Indikasi
Penatalaksanaan jangka pendek gagal jantung akibat depresi
kontraktilitas karena penyakit jantung organic atau prosedur
pembedahan.
g. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Infus intravena 2,5 sampai 10 mcg/kg/menit, disesuaikan dengan
responnya.
h. Kontraindikasi
Kontraindikasi pada obat dobutamin adalah Hipersensivitas terhadap
bisulfit (mengandung bisulfit) stenoris subaortik hipertrofi idiopatik.
i. Peran Perawat
Monitoring tekana n darah, ECG, heart rate, CVP, RAP, MAP, output
urin; jika kateter arteri pulmonary dipasang, monitor CI, PCPW, and
SVR; juga monitor serum kalium.

2.4.3 DOPAMIN (DOPAMINE HYDROCHLORIDE)


Golongan obat : Inotropik
Dalam buku Drug Information Handbook International, Lexi-Comp's,
(2005) dijelaskan bahwa:
a. Nama IUPAC
• 4-(2-aminoetil)benzena-1,2-diol
• Nama lain :
• 2-(3,4-dihidroksifenil)etilamina; 3,4-dihidroksifenetilamina; 3-
hidroksitiramina; DA; Intropin; Revivan; Oksitiramina
b. Nama Dagang
• Dopac
• Dopamin Giulini
• Dopamin HCl
• Dopamin Hydrochloride Injection
• Dopamine
• Indop
• Cetadop
c. Pengertian
Dopamin adalah suatu katekolamin endogen, merupakan prekursor
adrenalin.
d. Farmakokinetik
Anak-anak: dopamin menunjukkan kinetika non linear pada anak-
anak; dengan merubah jumlah obat mungkin tidak akan
mempengaruhi waktu steady state. Onset kerja : dewasa : 5 menit.
Durasi: dewasa: < 10 menit. Metabolisme: ginjal, hati, plasma; 75%
menjadi bentuk metabolit inaktif oleh monoamine oksidase dan 25
% menjadi norepinefrin. T½ eliminasi: 2 menit. Ekskresi: urin (sebagai
metabolit). Klien pada neonatus: bervariasi dan tergantung pada
umur; kliren akan menjadi panjang jika terdapat gangguan hepatik
atau ginjal.
e. Farmakodinamik
Menstimulasi reseptor adrenergik dan dopaminergik; dosis yang
lebih rendah terutama menstimulsi dopaminergik dan menghasilkan
vasodilatasi renal dan mesenterik; dosis yang lebih tinggi
menstimulasi dopaminergic dan beta1-adrenergik dan menyebabkan
stimulasi jantung dan vasodilatasi renal; dosis besar menstimulasi
reseptor alfa-adrenergik.
f. Efek Samping
Sering: denyut ektopik, takikardia, sakit karena angina, palpitasi,
hipotensi, vasokonstriksi, sakit kepala, mual, muntah, dispnea.
Jarang: bradikardia, aritmia ventrikular (dosis tinggi), gangrene,
hipertensi, ansietas, piloereksi, peningkatan serum glukosa, nekrosis
jaringan (karena ekstravasasi dopamin), peningkatan tekanan
intraokular, dilatasi pupil, azotemia, polyuria.
g. Indikasi
Syok kardiogenik pada infark miokard atau bedah jantung.
h. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
a) Infus I.V : (pemberiannya memerlukan pompa infus) :
b) Bayi : 1-20 mcg/kg/menit, infus kontinyu , titrasi sampai
respon yang diharapkan.
c) Anak-anak : 1-20 mcg/kg/menit, maksimum 50
mcg/kg/menit, titrasi sampai respon yang diharapkan.
d) Dewasa : 1-5 mcg/kg/menit sampai 20 mcg/kg/menit, titrasi
sampai respon yang diharapkan. Infus boleh ditingkatkan 4
mcg/kg/menit pada interval 10-30 menit sampai respon optimal
tercapai.
e) Jika dosis > 20-30 mcg/kg/menit diperlukan, dapat
menggunakan presor kerja langsung (seperti epinefrin dan
norepinefrin).
Dosis berlebih menimbulkan efek adrenergik yang berlebihan. Selama
infus dopamin dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri
dada, nyeri kepala, hipertensi, dan tekanan diastolik. Dosis dopamin
juga harus disesuaikan pada pasien yang mendapat antidepresi
trisiklik.
i. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sulfit (sediaan yang mengandung natrium
bisulfit), takiaritmia, phaeochromocytoma, fibrilasi ventrikular.
j. Peran Perawat
Monitoring penggunaan obat: tekanan darah, ECG, heart rate, CVP,
RAP, MAP, output urin, jika dipasang kateter artery pulmonary
monitor CI, PCWP, SVR dan PVR.
2.4.4 EPINEPRIN
Golongan Obat : Vasopressor
Menurut Amar Syarif (1995) dalam buku Farmakologi dan Terapi Edisi
4 dijelaskan bahwa:
a. Farmakokinetik
1. Absorpsi
Pada pemberian oral, epineprin tidak mencapai dosis terapi
karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang
banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan
SK, absorpsi yang lambat terjadi karena vasokontriksi lokal,
dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan.Absorpsi
yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada
pemberian lokal secara inhalasi, efeknya terbatas terutama
saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi terutama bila
digunakan dosis besar.
2. Biotransformasi dan Ekskresi
Epineprin stabil dalam darah. Degradasi Epi terutama terjadi
dalam hati yang banyak mengandung kedua enzim COMT dan
MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian
besar Epi mengalami biotransformasi, mula-mula oleh COMT
dan MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan/atau
konjugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan
bentuk konjugasi glukuronat dan sulfat. Metabolik ini bersama
Epi yang tidak dapat diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang
normal, jumlah Epi yang utuh dalam dalam urin hanya sedikit.
Pada penderita feokromositoma, urin mengandung Epi dan NE
utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
b. Farmakodinamik
Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.
1. Kardiovaskuler
a) Pembuluh Darah
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi.
Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi
akibat aktivitas reseptor oleh Epi. Pembuluh darah otot rangka
mengalami dilatasi oleh Epi dosis rendah, akibat aktivitas
reseptor 2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada Epi
dibandingkan dengan reseptor . Epi dosis tinggi bereaksi
dengan kedua jenis reseptor. Pada manusia, pemberian Epi
dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan tekanan darah
tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi
minumbulkan peningkatan aliran darah otak. Tekanan darah
arteri maupun vena paru meningkat oleh Epi. Meskipun terjadi
konstriksi pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal
dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena-vena besar. Dosis
Epi yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena udem
paru.
b) Arteri Koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner, disatu pihak Epi
cenderung menurunkan aliran darah koroner karena kompresi
akibat peningkatan kontraksi otot jantung, dan karena
vasokontriksi pembuluh darah koroner akibat efek reseptor .
c) Jantung
Epi mengaktivasi reseptor 1 diotot jantung, sel pacu jantung
dan jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan
kronotropik positif Epi pada jantung. Akibatnya, curah jantung
bertambah tetapi, kerja janung dan pemakaian oksigen sangan
bertambah, sehingga efisiensi jantung (kerja dibandingkan
dengan pemakaian oksigen) berkurang.
d) Tekanan Darah
Pemberian Epi IV dengan cepat (pada hewan) menimbulkan
kenaikan tekanan darah yang cepat dan berbanding langsung
dengan besarnya dosis. Pemberian Epi pada manusia secara SK
atau IV dengan lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik
yang sedang dan penurunan tekanan sistolik.
2. Otot Polos
a. Saluran Cerna
Melalui reseptor dan , Epi menimbulkan relaksasi otot polos
saluran cerna pada umumnya: tonus dan motilitas usus dan
lambung berkurang.
b. Uterus
Otot polos uterus manusia mempunyai reseptor 1 dan 2,
selama kehamilan bulan terakhir dan diwaktu partus Epi
menghambat tonus dan kontraksi uterus melalui reseptor 2,
tetapi 2 –agonis yang lebih selektif seperti ritodrin atau
terbutalin ternyata efektif untuk menunda kehamilan
prematur.
c. Kandung Kemih
Epi menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor 2
dan kontraksi otot trigon dan sfingter melalui 1, sehingga dapat
menimbulkan kesulitan urinasi serta retensi urin kandung
kemih.
d. Pernapasan
Epi pada asma, menghambat penglepasan mediator inflamasi
dari sel-sel mast melalui reseptor 2, serta mengurangi sekresi
bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor 1.

3. Susunan Saraf Pusat


Pada banyak orang Epi dapat menimbulkan kegelisahan, rasa
kuatir, nyeri kepala dan tremor; sebagian karena efeknya pada
sistem kardiovaskuler.
4. Proses Metabolik
Epi menstimulasi glikogenolisis disel hati dan otot rangka
melalui reseptor 2; glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat
dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati memiliki glukosa-6-fosfat
sehingga hati melepas glukosa sedangkan, otot rangka melepas
asam laktat.

c. Efek Samping

Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti perasaan takut,


khawatir, gelisah, tegang, nyteri kepala berdenyut, tremor, rasa
lemah, pusing, pucat, sukar bernapasdan palpitasi. Pada penderita
psikoneurotik, Epi memperberat gejala-gejalanya. Epi dapat
menimbulkan aritmia ventrikel. Fibrilasi ventrikel bila terjadi,
biasanya bersifat fatal; ini terutama terjadi bila Epi diberikan sewaktu
anestesia dengan hodrokarbon berhalogen, atau pada penderita
jantung organik. Pada penderita syok, Epi dapat memperberat
penyebab dari syok. Pada penderita angina pektoris, Epi mudah
menimbulkan serangan karena obat ini meningkatkan kerja jantung
sehingga memerberat kekurangan oksigen.

d. Kontraindikasi

Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat -bloker


nonslektif, karena kerjanya yang tidak terimbang pada reseptor
pembuluh darah menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan
otak.
e. Indikasi
Indikasi: pada asystole, fibrilasi ventrikel, PEA (Pulseless Electrical
Activity) dan EMD (Electro Mechanical Dissociation).
f. Posologi dan Sediaan
1. Suntikan Epineprin
Adalah larutan steril 1:1000 Epi HCl dalam air untuk
penyuntikan SK; ini digunakan untuk mengatasi syok
hipersensitivitas akut lainya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2-
0,5 mg ( 0,2-0,5 ml larutan 1:1000). Untuk penyuntikan IV, yang
jarang dilakukan larutan ini harus diencerkan lagi dan harus
disuntikan dengan sangat perlahan-lahan. Dosisnya jarang
samapi 0,25mg, kecuali pada henti jantung dosisi 0,5 mg dapat
diberikan tiap 5menit. Penyuntikan intrakardial kadang-kadang
dilakukan dalam darurat (0,3-0,5 mg).
2. Inhalasi Epineprin
Adalah larutan tidak steril 1% Epi HCl atau 2% Epi bitartrat
dalam airuntuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan
untuk menghilangkan bronkokonstriksi.
3. Epineprin Tetes Mata
Adalah larutan 0,1-2 % Epi HCl, 0,5-2% Epi borat dan 2% Epi
bitartrat.

2.4.5 HEPARIN
Golongan Obat : Antitrombolitik
Menurut Amar Syarif (1995) dalam buku Farmakologi dan Terapi Edisi
4 dijelaskan bahwa:
a. Farmakokinetik
Heparin tidak diabsorpsi secara oral, karena itu diberkansecara IV
atau SK. Pemberian secara SK memberikan masa kerja yang lebih
lama tetapi efeknya tidak dapat diramalkan. Suntikan IM dapat
menyebabkan terjadinya hematom yang besar pada tempat suntikan
dan absorpsinya tidak teratur serta tidak tidak dapat diramalkan. Efek
antikoagulan segera timbul pada pemberian suntikan bolus IV dengan
dosis terapi, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah suntkan SK.
Heparin cepat dibmetabolisme terutama di hati. Masa paruhnya
tergantung dari dosis yang digunakan, suntikan IV 100, 400 atau 800
unit/kgBB memperlihatkan masa paruh masing-masing kira-kira 1, 2
½ dan 5 jam. Masa paruh mungkin memendek pada pasien emboli
paru dan memanjang pada pasien serosis hepatis atau penyakit ginjal
berat. Metabolit inaktif diekskresi melalui urin. Heparin diekskresi
dalam bentuk utuh melalui urin hanya bila digunakan dosis besar IV.
Penderita emboli paru memerlukan dosis heparin yang lebih tinggi
karena bersihan yang lebih cepat. Terdapat variasi individual dalam
efek antikoagulan yang ditimbulkan maupun dalam kecepatan
bersihan obat. Heparin tidak melalui plasenta dan tidak terdapat
dalam air susu ibu.
b. Farmakodinamik
1. Mekanisme Kerja
Heparin meningkat antitrombin III membentuk kompleks yang
berafinitas lebih besar dari antitrombin III sendiri, terhadap
beberapa faktor pembekuan darah aktif, terutama trombin dan
faktor Xa. Oleh karena itu heparin mempercepat inaktivasi faktor
pembekuan darah. Sediaan heparin dengan berat molekul rendah
(6000) beraktivitas anti-Xa kuat dan sifat antitrombin sedang;
sedangkan sediaan heparin dengan berat molekul yang tinggi
( berakivitas antitrombin kuat dan aktivitas anti-Xa yang sedang.
Dosis kecil heparin dengan AT-III menginaktivasi faktor Xa dan
mencegah pembekuan dengan mencegah perubahan
prototrombin menjadi trombin. Heparin dengan jumlah yang lebih
besar bersama AT-III menghambat pembekuan dengan
menginaktivasi trombin dan faktor-faktor pembekuan
sebelumnya, sehingga mencegah perubahan fibrinogen menjadi
fibrin. Heparin juga menginaktivasi faktor XIIIa dan mencegah
terbentuknya bekuan fibrin yang stabil.
Terhadap lemak darah, heparin bersifat lipotropik yaitu
memperlancar transfer lemak darah kedalam depot lemak. Aksi
penjernihan ini terjadi karena heparin membebaskan enzim-enzim
yang menghidrolisis lemak (lipase lipoprotein) ke dalam sirkulasi
serta menstabilkan aktivitasnya. Efek lipotropik dapat dihambat
oleh protamin.
2. Pengaruh Heparin Terhadap Hasil Pemeriksaan Darah
Bila ditambahkan pada darah, heparin tidak mengubah hasil
pemeriksaan rutin darah, tetapi heparin mengubah bentuk
eritrosit dan leukosit. Sampel darah yang diambil melalui kanula
IV, yang sebelumnya secara intermiten dilalui larutan garam
berheparin, mengandung kadar asam lemak bebas yang
meningkat. Hal ini akan menghambat ikatan protein plasma dari
obat-obat lipofilik misalanya propanolol, kuinidin, fenitoin dan
digoksin sehingga mempengaruhi kadar obat tersebut.

c. Efek Samping
Bahaya utama pemberian heparin secara IV atau SK ialah perdarahan,
tetapi pemberian secara IV atau SK jarang menimbulkan efek
samping. Terjadinya perdarahan dapat dikurangi dengan:
1. Mengawasi atau mengatur dosis obat
2. Menghindari penggunaan bersamaan dengan obat yang
mengandung aspirin
3. Seleksi pasien
4. Meperhatikan kontraindikasi pemberian heparin.
Ekimosis dan hematom pada tempat suntikan dapat terjadi baik
setelah pemberian heparin SK maupun IM.
d. Indikasi
Heparin merupakan satu-satunya antikoagulan yang diberikan secara
parenteral dan merupakan obat terpilih bila diperukan efek yang
cepat, misalnya untuk emboli paru-paru dan thrombosis vena dalam,
oklusi arteri akut atau infark miokard akut. Obat ini juga digunakan
untuk profilaksis tromboemboli vena selama operasi dan untuk
mempertahankan sirkulasi ekstrakorporal selama operasi jantung
terbuka. Heparin juga aman untuk wanita hamil.
e. Kontraindikasi
1. Heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang
mengalami perdarahan misalnya: pasien hemofilia,
permeabilitas kapiler yang meningkat, endokarditis bakterial
subkut, perdarahan intrakranial, lesi ulseratif, anestesia
lumbal atau regional, hipertensi berat, syok.
2. Heparin tidak boleh diberikan selama atau setelah operasi
mata, otak atau medula spinal, dan pasien yang mengalami
pungsi lumbal atau anestesi lokal.
3. Heparin juga dikontraindikasikan pada pasien yang
mendapat dosis besar etanol, peminum alkohol dan pasien
hipersensitif terhadap heparin.
f. Posologi
Heparin tersedia dalam larutan untuk pemakaian parenteral dengan
kekuatan 1000-40000 unit/ml (-USP unit) dan sebagai respiratory
atau depot heparin dengan kekuatan 20000-40000 unit/ml.
Pemberian IV intermitten: pada orang dewasa biasanya dimulai
dengan 5000 unit dan selanjutnya 5000-10000 unit untuk tiap 4-6
jam, tergantung dari berat badan dan respon pasien. Untuk DIC ada
yang menganjurkan dimulai dengan 50 unit/kg pada dewasa dan 25
unit/kg pada anak tiap 8jam atau diberikan secara infus. Pada anak,
dimulai dengan 50 unit/ kgBB dan selanjutnya 100 unit/ kgBB tiap
4jam.
Pada infus IV untuk orang dewasa heparin 20000-40000 unit
dilarutkan dalam 1 liter larutan glukosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan dalam 24 jam. Untuk mempercepat timbulnya efek,
dianjurkan menambahkan 5000 unit langsung ke dalam pipa infus
sebelumnya. Kecepatan infus didasarkan pada nilai APTT. Heparin
dapat juga diberikan secara Sk dala. Pada orang dewasa untuk tujuan
profilaksis tromboemboli pada tindakan operasi diberikan 5000 unit 2
jam sebelum operasi dan selanjutnya tiap 12 jam sampai pasien
keluar dari RS. Dosis penuh biasanya 10000-12000 unit tiap 8jam dan
atau 14000-20000 unit tiap 12 jam. Pemakaian heparin IM idak
dianjurkan lagi karena sering terjadi perdarahan dan hematom yang
disertai rasa sakit pada tepat suntikan.
2.4.6 METHYLDOPA
Golongan : Antihipertensi
Menurut Amar Syarif (1995) dalam buku Farmakologi dan Terapi Edisi
4 dijelaskan bahwa:
a. Farmakokinetik
Methil Dopa dan Prazosin diabsorbsi melalui saluran cerna, tetapi
sebagian besarPrazosin akan hilang selama metabolism hati pertama.
Waktu paruh kedua obat ini singkat sehingga sering diberikan 2x
sehari. Prozosin adalah sangat mudah berikatan dengan protein, dan
jika diberikan kepada obat lain yang juga sangat mudah berikatan
dengan protein, klien harus diperiksa terhadap timbulnya reaksi yang
merugikan.
b. Farmakodinamik
Methil Dopa merangsang pusat reseptor adrenergic-alfa,
menyebabkan penurunan keluaran simpatis. Ini menyebabkan
berkurangnya tahanan vaskuler perifer sehingga tekanan darah
menurun. Obat ini menembus sawar plasenta, dan sebagian kecil
memasuki air susu pada ibu yang menyusui. Penghambat adrenargik-
alfa selektif mendilatasi arteriola dan venula dan menurunkan
tahanan perifer serta tekanan darah. Mula kerja dari Methil Dopa
dan Prazosin terjadi antara 30 menit sampai 2 jam. Masa kerja Methil
Dopa 2x lebih lama daripada Prazosin. Methyl Dopa dapat diberikan
secara intravena dan masa kerjanya serupa dengan Prazosin oral.
c. Efek Samping
Rasa kantuk, mulut kering, pusing, dan denyut jantung lambat
(brakikardia).
d. Indikasi
Methil dopa digunakan untuk hipertensi sedang sampai berat.
e. Kontraindikasi
Methil Dopa tidak diberikan pada klien dengan penyakit hati dan
penyakit ginjal

2.4.7 PHENOBARBITAL / LUMINAL


Golongan obat : Relaksan
a. Indikasi :relaksasi otot rangka
b. Efek samping
• Kardiovaskuler: takikardia, hipertensi.
• Pulmoner: hipoventilasi, apne, bronkospasme.
• GI: salvias
• Alergik: kemerahan, anafilaktoid
• Musculoskeletal: blok yang tidak adekuat, blok yang perpanjang.
c. Dosis
• Intubasi : IV 0,04-0,1 mg/kg
• Pemeliharaan : IV 0,01-0,05 mg/kg (10%-50% dari dosis . intubasi)
• Infuse : 1-5 µg/kg/menit.
• Prapengobatan/priming : IV 10% dari dosis intubasi diberikan 3-5
meit sebelum dosis relaksasan depolarisasi/nendepolarisasi

d. Kemasan
Suntikan 1 mg/ml, 2 mg/ml
e. Farmakologi
Steroid biskuartener sintetik ini merupakan obat penyekat
neuromuskuler nondepolarisasi beraksi panjang. Obat ini bertindak
dengan berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada lempeng
akhiran motorik. Pankuronium berkaitan dengan peningkatan nadi
dapat timbul sebagai akibat aksi vagolitik pada jantung. Peningkatan
tekanan arteri rerata dan curah jantung dapat terjadi melalui aktivasi
susunan saraf simpatik dan inhibisi dari ambilan balik katekolamin.
Dengan infuse yang kontinu (16 jam), pemulihan dapat diperpanjang
karena akumulasi dari metabolit aktif. Jarang terjadi pelepasan
histamine.
f. Farmakokinetik
• Awitan aksi: 1-3 menit
• Efek puncak: 3-5 menit
• Lama aksi: 40-65 menit

g. Peringatan
1. Pantau espon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil
resiko kelebihan dosis.
2. Efek reverse dengan antikolinesterase seperti neostigmin,
edrofonium, atau piridostigmin bromide bersama dengan atropine
atau glikopirolat.
3. Dosis prapengobatan dapat menimbulkan suatu tingkat blockad
neuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup untuk
menyebabkan hipoventilasi.
Kelumpuhan yang diperpanjang (beberapa hari hingga beberapa
bulan) dapat terjadi setelah dihentikannya infuse jangka-panjang
pada psien perawatan intensif khususnya pada mereka dengan
gagal ginjal, ketidak seimbangan elektrolit (hipokalemia,
hipokalsemia, hipermagnesemia) atau pemakaian bersama
kortikosteroid dan/atau aminoglikosida. Hal ini disebabkan oleh
perkembangan miopati akut dan blockade neuromuskuler
persisten sebagai akibat sekunder dari penumpukan metabolit
aktif, terutama pankuronium 3-desa-seti.

2.4.8 LIDOKAIN
Golongan obat : Anastesik
Menurut Amar Syarif (1995) dalam buku Farmakologi dan Terapi Edisi
4 dijelaskan bahwa :
a. Pengertian
Lidokain adalah anestetik lokal yang digunakan secara luas dengan
pemberian topikal dan suntikan. Anestesia terjadi lebih cepat, lebih
kuat, lebih tahan lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan
oleh anestesik prokain.
Lidokain merupakan larutan aminoetilamid. Larutan lidokain 0,5%
digunakan untuk anestesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2%
digunkan untuk anestesia blok dan topikal. Anestesia ini lebih efektif
digunakan tanpa vasokontriktor, tetapi kecepatan absorpsi dan
toksistasnya bertambah dan masa kerjanya pendek. Lidokain
merupakan obat yang menjadi ganti apabila ada orang yang
hipersensitif terhadap prokain dan epinefrin dan menyebabkan
sedasi. Sediaan berupa larutan 0,5-5%.
b. Farmakokinetik
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati
sawar darah otak.Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60%
dalam darah ibu. Di dalam hati liidokain mengalami dealkilasi oleh
enzim oksidase fungsi ganda (mixed-function oxidase) membentuk
monoetiolglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian dapat
dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua
metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisisn xilidid ternyata masih
memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia, 75% dari xilidid akan
diekskresi bersama urin dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6
dimetil-anilin.
c. Efek Samping
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap
SSP, misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental,
koma, dan seizures. Mungkin sekali metabolit lidokain yaitu
monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut berperan dalam timbulnya
efek samping ini. Kelebihan dosis lidokain dapat menyebabkan
kematian akibat fibrilasi ventrikel atau henti jantung.
d. Indikasi
Lidokain sering digunakan dengan cara suntikan untuk anestesia
infiltrasi, blokade saraf, anestesia epidural ataupun anestesia kaudal,
dan secara setempat untuk anestesia selaput lendir. Pada anestesia
infiltrasi biasanya digunakan larutan 0,25-0,5% dengan atau tanpa
adrenalin. Tanpa adrenalin dosis total tidak boleh melebihi 200
mg/24 jam, dengan adrenalin tidak boleh melebihi 500 mg/24 jam.
Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan 1-2 %
dengan adrenalin; untuk anestesia infiltrasi dengan mula kerja 5
menit dan masa kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosisi 0,5-1,0 ml.
Untuk blokade saraf digunakan 1-2 ml.
Lidokain dapat pula digunakan untuk anestesia permukaan. Untuk
anestesia rongga mulut, kerongkongan, dan saluran cerna bagian
atas digunakan larutan 1-4% dengan dosis 1-4%, dengan dosis
maksimal sehari dibagi beberapa dosis. Pruritus didaerah anogenital
atau rasa sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan
supositoria atau bentuk salep atau krem 5 %. Untuk anestesia
sebelum dilakukan kateterisasi uretra digunakan lidokain gel 2% dan
sebelum dilakukan bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal
biasanya digunakan semprotan dengan kadar 2-4 %.

2.4.9 TEOFILIN
Golongan obat : Antiasma
Menurut Joyce L. Kee dan Evelyn R. Hayes dalam buku Farmakologi
Pendekatan Proses Keperawatan dijelaskan bahwa:
a. Pengertian
Golongan bronkodilator kedua yang dipakai untuk asma adalah
derivate metilsantin (xantin) yang mencakup teofilin, aminofilin dan
kafein. Teofilin merelaksasikan otot polos bronkus, bronkiolus dan
pembuluh darah pulmoner dengan cara menghambat enzim
fosfodiesterase, menyebabkan peningkatan siklik AMP yang
menyebabkan bronkodilatasi.
b. Farmakokinetik
Teofilin biasanya diabsorpsi dengan baik setelah diberikan secara
oral, tetapi absorpsi dapat bervariasi sesuai dengan bentuk dosis.
Teofilin juga diabsorpsi dengan baik dalam bentuk cairan yang
diminum dan tablet polos yang tidak disalut gula. Bentuk dosis yang
dilepas perlahan-lahan akan diabsorpsi dengan lambat. Makanan dan
antasida dapat menurunkan tingkat absorpsi, tetapi bukan
jumlahnya, cairan dalam jumlah besar dan makanan protein tinggi
dapat meningkatkan absorpsi. Tingkat absorpsi juga dapat
dipengaruhi oleh ukuran dosis, dosis besar diabsorpsi lebih lambat.
Teofilin dapat diberikan secara intravena dalam cairan IV.
c. Farmakodinamik
Teofilin meningkatkan kadar siklik AMP, menyebabkan terjadi
bronkodilatasi. Waktu rata-rata yang diperlukan sampai terjadi onset
kerja untuk untuk oral adalah 30 menit, untuk kapsul yang
pelepasannya dihambat adalah 1 sampai 2 jam. Lama kerja untuk
bentuk yang pelepasannya dihambat adalah 8 sampai 24 jam dan
untuk bentuk teofilin ral dan intravena kira-kira 6 jam.
d. Efek Samping
Efek samping teofilin meliputi mual dan muntah, nyeri lambung
karena peningkatan sekresi asam lambung, perdarahan usus,
disritmia jantung, palpitasi (berdebar), hipotensi berat, hiperrefleks,
dan kejang. Keracunan teofilin kemungkinan besar akan terjadi
apabila kadarnya dalam serum melampaui 20u/mL. Teofilin dapat
menyebabkan hiperglikemia, menurunkan waktu pembekuan darah,
dan meningkatkan jumlah sel darah putih (lekositosis).
e. Dosis
Dosis oral teofilin 900 mg/hari dibagi dalam beberapa dosis. Teofilin
ada yang berbentuk lepas-berkala diminum 2 kali sehari (tidak boleh
dibagi!).
f. Indikasi
Untuk mengatasi bronkospasme. Turunan xantin (teofilin) juga
dipakai untuk mengobati emfisema pulmoner, gagal jantung
kongestif, asma bronkial atau kardial, status asmatikus, pola napas
Cheyne-stroke dan bronkitis.

2.5. Penatalaksanaan Syok Berdasarkan Jenisnya

2.5.1 Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson RW


(1989, hal 993-1002) adalah Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik
setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:

1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat


lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

a. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga


tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur
agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas,
yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut.

b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas


buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui
mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik
yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas
dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri


besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi
jantung luar.

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan


bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan
protokol resusitasi jantung paru. Thijs L G. (1996 ; 1 – 4)

3. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk


penderita dewasa atau mk/kg untuk penderita anak-anak,
intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15menit
sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.

4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian


adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan
aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan
0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.

5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg


atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi
penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik
atau syok yang membandel.

6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur


intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan
ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi
syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap
merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan
kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau
kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma.

Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat


kehilangan cairan 20– 40% dari volume plasma. Sedangkan bila
diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang
sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi,
perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau
dextran juga bisa melepaskan histamin.
a. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita
syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat
meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus
semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia
dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan
kaki lebih tinggi dari jantung.

b. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat


dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama
kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus
dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

2.5.2 Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

1. Mempertahankan Suhu Tubuh

Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada


penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan
panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan
sangat berbahaya.

2. Pemberian Cairan

a. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar,


mual-mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya
aspirasi cairan ke dalam paru.
b. Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi
atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala
(otak).

c. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan


tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan
bila penderita menjadi mual atau muntah.

d. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan


pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk
mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan
intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

e. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus


seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin
diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang,
darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air
harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan
berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik.
Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang,
sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah
yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah
diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi
dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah
lengkap.

f. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah


pemberian cairan yang berlebihan.
g. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah
pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung.
Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk
menghilangkan nyeri.

h. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan


ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan
organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan
pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, “Swan
Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah.

2.5.3 Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian


vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah
vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan
untuk mendorong keluar darah.

1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki


(posisi Trendelenburg).

2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen,


sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan
distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.
Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang
darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator
mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik
dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot
respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang
dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%
atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat
250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap
tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk
menilai respon terhadap terapi.

4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih,


berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang
indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien)

2.6. Terapi Cairan Dan Parenteral Nutri

2.6.1 Terapi cairan

Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan


keberhasilan penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah
resusitasi, langkah D (“drug and fluid treatment”) dalam bantuan
hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan secara
simultan dengan langkah-langkah lainnya. Tindakan ini seringkali
merupakan langkah “life saving” pada pasien yang menderita
kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah
mencret dan syok.

2.6.2 Parenteral nutria

Nutrisi parenteral/ Parenteral Nutrition (PN) adalah suatu bentuk


pemberian nutrisi yang diberikan langsung melalui pembuluh darah
tanpa melalui saluran pencernaan (Yuliana, 2009). Metode
pemberian nutrisi parenteral bisa melalui vena perifer dan vena
central, namun risiko terjadinya phlebitis lebih tinggi pada
pemberian melalui vena perifer sehingga metode ini tidak banyak
digunakan. Nutrisi parenteral diberikan bila asupan nutrisi enteral
tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien dan tidak dapat diberikan
dengan baik. Nutrisi parenteral diberikan pada pasien dengan
kondisi reseksi usus massif, reseksi kolon, fistula dan pasien sudah
dirawat selama 3-7 hari (Ziegler, 2009). Pemberian nutrisi melalui
PN harus berdasarkan standar yang ada agar tidak terjadi
komplikasi diantaranya menentukan tempat insersi yang tepat
(tidak boleh digunakan untuk plebotomi dan memasukkan obat),
persiapan formula PN secara steril 24 jam sebelum diberikan ke
pasien dan disimpan di kulkas serta aman dari pencahayaan agar
menurunkan degradasi biokimia dan kontaminasi bakteri. Namun
sebelum diberikan ke pasien suhu formula harus disesuaikan
dengan suhu ruangan (Ziegler, 2009). Komponen dalam pemberian
nutrisi secara parenteral sebaiknya tidak menggunakan lemak
dalam minggu pertama selama perawatan di ICU, namun
penggunaan asam lemak omega-3 masih boleh diberikan. Zat gizi
yang direkomendasikan adalah penambahan pemberian glutamin
(Martindale, et al., 2009; Ziegler, 2009). Penelitian lain juga
mendukung penambahan pemberian glutamin dilakukan oleh
Jonqueiraet al. (2012) yaitu untuk meningkatkan toleransi pasien
terhadap nutrisi yang diberikan maka selain pemberian enteral
ditambahkan pula infus dengan volume minimal yaitu 15 ml/ jam
dengan diet semi elemental, normokalori, hipolipid, dan
hiperprotein dengan penambahan glutamine.

2.7. Bantuan Hidup Lanjut (BHL)

2.7.1 Definisi
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan
secara simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan
memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga
perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan
dipertahankan. BHL memiliki tiga tahapan, yaitu terapi obat dan
cairan, electrokardiografi, dan terapi fibrilasi :

1. Terapi Obat dan Cairan

Dalam kasus henti jantung, terapi obat dan cairan merupakan terapi
yang paling penting setelah teknik kompresi dada dan defibrilasi.
Walaupun terapi obat dan cairan itu penting, pemberiannya jangan
sampai mengganggu tindakan kompresi dada dan ventilasi. Dalam
melakukan terapi obat dan cairan tentunya harus dipikirkan juga jalur
masuknya obat dan cairan. Jalur yang sering digunakan dalam
resusitasi adalah jalur intravena dan intraosseous.3 Di bawah ini akan
dijelaskan mengenai terapi obat dan cairan yang meliputi jalur
masuknya obat dan cairan dan jenis obat serta cairan yang digunakan
dalam bantuan hidup lanjut.

a) Jalur Obat-obatan dan Cairan

 Jalur Intravena Perifer

Pemberian obat-obatan dan cairan melalui jalur intravena


perifer sangat penting untuk dilakukan. Tindakan ini harus
dilakukan tanpa mengganggu kompresi, airway management,
atau terapi defibrilasi. Apabila sudah terdapat jalur vena
sentral, maka pemberian obat-obatan dan cairan lebih baik
melalui jalur vena sentral. Jika belum terpasang jalur vena
sentral, pemasangan jalur vena perifer harus dilakukan
sesegera mungkin. Lokasi pemasangan jalur vena perifer yang
dianjurkan adalah vena antecubital, jugular eksternal, atau
femoralis.2,4 Jika pemasangan jalur vena perifer sulit untuk
dilakukan, penyuntikan adrenalin pertama secara intravena
dapat dilakukan. Penyuntikan dilakukan menggunakan jarum
kecil di vena perifer.2 Pemberian obat melalui vena perifer
kemudian harus dilanjutkan dengan pemberian 20 ml bolus
cairan dan atau elevasi ekstremitas yang terpasang kateter
selama 10-20 detik agar kerja obat dapat lebih dipercepat.

 Jalur Intraosseous

Apabila kanulasi intravena sulit dilakukan, maka pemberian


obat-obatan dan cairan melalui jalur intraosseous dapat
dilakukan, terutama pada anak-anak. Jalur intraosseous ini
merupakan jalur administrasi obat sementara selama resusitasi
terjadi. Setelah keadaan darurat teratasi, maka jalur
intraosseous ini harus segera diganti dengan jalur intravena,
baik itu vena perifer atau vena sentral.

Angka kesuksesan pemasangan jalur intraosseous pada orang


dewasa terbilang cukup rendah, namun masih dapat dilakukan
pada tibia dan pada distal radius dan ulna. Jarum spinal yang
rigid dan berukuran 16-18 gauge dengan stylet atau jarum
khusus spinal dapat digunakan pada distal femur dan anterior
proksimal tibia. Jika melakukan pemasangan jalur intraosseous
di tibia, maka jarum ditusukkan 2-3 cm dibawah tuberositas
tibia dengan sudut 90° menuju bagian tengah tulang atau
sedikit inferior untuk menjauhi epifisis. Pemasangan dikatakan
berhasil jika jarum dapat berdiri tegak tanpa penyangga dan
sumsum tulang dapat diaspirasi melalui jarum yang terpasang.

 Jalur Endotrakeal

Dalam beberapa kasus resusitasi jantung-paru, terkadang


pemasangan kateter pada vena perifer atau intraosseous
secara cepat sulit untuk dilakukan sehingga jalur endotrakeal ini
dapat dijadikan alternatif. Jalur endotrakeal dapat dilakukan
selama terdapat pipa endotrakeal dan pasien tidak sedang
menggunakan laryngeal mask airway (LMA). Hanya beberapa
obat yang dapat diberikan melalui jalur intrapulmonum. Obat-
obatan itu meliputi lidokain, epinephrine, atropine, naloxone,
dan vasopressin (kecuali natrium bikarbonat). Jalur
intrapulmonum ini tidak direkomendasikan untuk rutin
dilakukan pada keadaan darurat. Jalur yang direkomendasikan
dalam resusitasi jantung-paru adalah jalur intravena dan
intraosseous.

 Jalur Intrapulmonum

Jalur ini memiliki kecepatan yang kurang efektif dibanding jalur


intravena atau intraosseous serta jumlah obat yang masuk
secara sistemik melalui jalur ini tidak konsisten. Sehingga dosis
yang diberikan 3-10 kali lebih banyak dibanding dengan dosis
yang dianjurkan untuk jalur intravena. Obat-obatan tersebut
kemudian dilarutkan dalam 10 ml normal salin.

Dosis atropine yang diberikan menurut rekomendasi AHA 2010


ada 0.1 mg IV untuk mencegah terjadinya bradikardia
paradoksal. Namun pada AHA 2015, dikatakan bahwa tidak ada
cukup bukti yang mendukung penggunaan atropine secara rutin
untuk mencegah terjadinya bradikardia pada intubasi pediatrik
darurat.

Penelitian terbaru menyatakan bahwa menggunakan atropine


dengan dosis kurang dari 0.1 mg tidak meningkatkan
kemungkinan terjadinya bradikardia atau aritmia.

 Jalur Intra Jantung

Pemberian obat intra jantung sudah tidak dianjurkan selama


RJP karena manfaat yang sedikit namun memiliki resiko tinggi
terjadinya komplikasi. Jalur intra jantung ini dapat
menyebabkan pneumotoraks, cedera arteri koronaria, dan
gangguan kompresi jantung yang lama. Selain itu, jika
penyuntikan obat tidak sengaja mengenai otot jantung dapat
menyebabkan disritmia intraktabel. Pemasangan jalur intra
jantung menggunakan jarum panjang dan tipis, melalui
intracostal space ke-5 di parasternal ke dalam ruang jantung.

 Jalur Intra Muskulus

Pemberian obat melalui jalur intra muskulus tidak dianjurkan


pada tindakan resusitasi atau kedaruratan karena absorpsi obat
dalam otot dan lama kerja obat tidak dapat ditentukan dan
dikontrol dengan baik. Jalur intra muskulus juga tidak dapat
digunakan untuk pemberian terapi cairan.

 Jalur Vena Sentral

Jalur vena sentral sebaiknya dilakukan segera setelah


kembalinya sirkulasi spontan sehingga tekanan vena sentral
dapat dikontrol. Nilai normal dari tekanan vena sentral adalah
3-10 mmHg. Pembuluh vena yang biasanya digunakan untuk
pemasangan kateter vena sentral adalah vena kava superior
melalui vena jugularis interna kanan.

Cara pemasangan kateter vena sentral melalui vena jugularis


interna kanan dimulai dengan melakukan prosedur asepsis
pada daerah yang akan dipasang kateter vena sentral sambil
mempersiapkan alat yang dibutuhkan untuk memasang kateter
vena sentral. Setelah itu, putar kepala pasien kearah kiri,
palpasi arteri karotis dengan sebelah tangan dan memasukkan
jarum kateter tepat pada lateral arteri karotis, dalam bidang
paramedian, 45° kaudal, menembus kulit pada puncak segitiga
yang dibentuk oleh dua bagian otot sternokleidomastoideous.
Emboli udara harus dicegah pada semua kanulasi vena sentral
dengan upaya sebagai berikut: kepala pasien sedikit lebih
rendah. Jika pasien sadar hendaknya diminta menahan nafas,
sedangkan untuk pasien tidak sadar hendaknya mendapat
ventilasi tekanan positif dan pada saat diskoneksi yang tidak
dapat dihindarkan, bagian terbuka hendaknya ditutup dengan
jari atau keran.

b) Obat-obat
Obat-obatan yang digunakan dalam BHL ini seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya memiliki banyak jenis. Namun, obat-
obatan yang penting untuk diberikan dalam BHL, yaitu adrenalin,
amiodaron, atropine, lidokain, kalsium, magnesium, dan natrium
bikarbonat.
 Adrenalin
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera
diberikan pada pasien yang mengalami henti jantung selama
kurang dari dua menit dan disaksikan.
Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada
reseptor alfa dan beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi
perifer melalui reseptor alfa adrenergik.
Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol
dan PEA (Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel tanpa nadi yang gagal dengan terapi
defibrilasi. Adrenalin pada kasus asistol atau PEA diberikan
sejak siklus pertama dan diulang setiap 2 siklus berakhir.
Sedangkan pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel
tanpa nadi, adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama
gagal (setelah defibrilasi kedua dan diulang kembali setiap 2
siklus berakhir).
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara
intravena atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10
ml. Dosis yang digunakan pada anak-anak yaitu 10 mcg/kgBB.
Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea melalui pipa
endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml
akuades steril). Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit
pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama.1
Setelah ROSC, untuk mencapai tekanan darah adekuat,
adrenalin dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus kateter
sentral sesegera mungkin.

 Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada
kanal natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor
alfa dan beta adrenergik. Amiodaron sendiri memiliki
farmakokinetik dan farmakologik yang kompleks. Penelitian
menunjukkan bahwa pemberian amiodaron setelah pemberian
adrenalin dapat meningkatkan ROSC dibandingkan dengan
tidak diberikan amiodaron. Amiodaron diberikan kepada pasien
dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi.
Obat ini diberikan diantara fibrilasi ketiga dan keempat pada
pasien yang tidak merespon dengan pemberian vasopressor
dan terapi defibrillator.
Dosis pemberian amiodaron adalah sebagai berikut: 300 mg
bolus untuk pemberian pertama kali dan kemudian dapat
ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian amiodaron dapat
dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan dosis
pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam. Pemberian
amiodaron ini juga dapat dipertimbangkan sebagai
profilaksis kambuhnya fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel. Amiodaron memiliki efek hipotensi dan bradikardi,
sehingga pemberiannya perlu diperhatikan.

 Atropine
Sulfas atropine meningkatkan konduksi atrioventricular dan
automatisitas nodus sinus dengan efek vagolitik. Atropine
diindikasikan pada kasus bradikardia yang disertai dengan
hipotensi, ventricular ektopi, atau gejala yang berhubungan
dengan iskemia miokardium. Atropine juga dapat diberikan
sebagai terapi pada second-degree heart block, third-degree
heart block, dan irama idioventricular lambat. Atropin sering
digunakan pada kasus henti jantung dengan elektrokardiografi
(EKG) asistol atau PEA.
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk
dewasa adalah 0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis
yang diberikan 3 mg. Untuk anak-anak dapat diberikan dengan
dosis 0.02 mg/kgBB dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis
maksimal 1 mg (anak-anak), 3 mg (remaja) yang dapat diulang
setiap 3-5 menit. Dosis pemberian atropine pada kasus irama
tanpa denyut untuk orang dewasa adalah 1 mg IV setiap 3-5
menit dengan total dosis 3 mg. Perlu diperhatikan juga bahwa
pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus takikardia
setelah resusitasi.

 Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan
otot normal. Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan
hiperkalemia, hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium
channel blocker. Kalsium sangat diperlukan pada kasus henti
jantung karena disosiasi elektromekanis setelah gagal
memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian adrenalin.
Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung disebabkan oleh
karena obat-obatan yang menekan otot jantung. Sumber lain
mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak
dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak
meningkatkan angka survival rate di rumah sakit sehingga
pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak
direkomendasikan. Efek samping dari pemberian kalsium ini
adalah kemungkinan meningkatkan cedera miokardiak dan otak
dengan kematian sel-sel miokardiak dan otak serta dapat
mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa
adalah 5-10 ml dari 10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat
juga menggunakan sediaan kalsium glukonas dengan dosis 10
ml dari 10% kalsium glukonas.

 Lidokain
Lidokain termasuk dalam golongan natrium channel blocker
yang biasanya digunakan sebagai alternatif anti-aritmia.
Pemberian lidokain tidak dapat meningkatkan ROSC secara
konstan dan tidak berhubungan dengan perbaikan klinis pasien
untuk dapat dipulangkan dari rumah sakit. Dibandingkan
amiodaron, efektivitas lidokain sedikit lebih rendah dalam
pencapaian ROSC pada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau
ventrikel takikardi yang tidak respon terhadap RJP, defibrilasi,
dan vasopressor.
Dosis pemberian lidokain dibagi menjadi sebagai berikut: dosis
awal diberikan 1 mg/kgBB bolus yang dapat ditambah 0.5
mg/kgBB selama resusitasi. Pemberian infus lidokain untuk
ROSC tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
lidokain adalah bicara tidak jelas (slurred speech), penurunan
kesadaran, kejang, hipotensi, bradikardi, dan asistol.
 Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai
kofaktor dalam regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati
membrane sel. Magnesium tidak dapat mengembalikan
sirkulasi spontan pada pasien dengan henti jantung dan juga
tidak memberikan perbaikan klinis atau neurologis sehingga
pemberian magnesium tidak direkomendasikan. Magnesium
diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia, henti
jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de
pointes.
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat
diulang 1 kali kemudian diberikan intravena sebanyak 20
mmol/4 jam. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah
dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas pada
penggunaan kalsium yang berlebihan.

 Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat merupakan larutan alkalin yang bercampur
dengan ion hydrogen membentuk asam karbonat lemah. Pada
kasus henti jantung, resusitasi jantung-paru yang efisien dan
ventilasi yang adekuat dapat mengurangi penggunaan natrium
bikarbonat. Sebagian besar penelitian menyatakan tidak ada
keuntungan dari pemberian natrium bikarbonat pada pasien
henti jantung sehingga pemberian natrium bikarbonat secara
rutin pada pasien dengan henti jantung tidak
direkomendasikan.
Dosis awal pemberian natrium bikarbonat adalah 1 mmol/kg
yang diberikan selama 2-3 menit. Pemberian obat ini dilakukan
bersamaan dengan pemeriksaan analisis gas darah untuk
memantau koreksi asidosis metabolik, sehingga pemberian
bikarbonat selanjutnya bisa digunakan rumus seperti berikut:

Dosis bikarbonat = defisit basa x 0.25 berat badan

Pemberian natrium bikarbonat dipertimbangkan diberikan


pada pasien dengan hyperkalemia, terapi asidosis metabolik
yang sudah terdokumentasi, terapi pada overdosis trisiklik anti
depresan, dan protracted arrest (lebih dari 15 menit). Efek
samping pemberian natrium bikarbonat adalah alkalosis
metabolik, hypokalemia, hypernatremia, hyperosmolar.
Pemberian natrium bikarbonat kontraindikasi pada kasus
asidosis intraseluler karena dapat semakin memperparah
asidosis jika karbon dioksida yang dihasilkan natrium
bikarbonat masuk kedalam sel. Natrium bikarbonat dan
adrenalin atau kalsium tidak boleh dicampurkan bersamaan
karena dapat saling menginaktivasi, mengendap, dan
menyumbat jalur intravena.

c) Cairan

Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan hidup


paska resusitasi memiliki tujuan sebagai berikut:

 Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah


kehilangan cairan, penggunaan kombinasi larutan yang
mengandung elektrolit, koloid, dan sel darah merah. Infus
garam isotonik atau koloid yang cepat dan masif dapat
menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus perdarahan luar
atau dalam yang berat.

 Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti


jantung dengan cairan kira-kira 10% volume darah taksiran (10
ml/kgBB) guna mengganti volume darah relatif akibat
vasodilatasi, penimbunan di vena, dan kebocoran kapiler.
 Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian
obat dan sekaligus memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan
glukosa.

 Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh


komposisi darah optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas,
dan tekanan osmotik koloid normal, albumin serum (3-5 gr/dl);
hematokrit (30-40%), dan glukosa serum (100-300 mg/dl).

Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada


masa paska henti jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri,
aliran urin, dan tekanan vena sentral untuk menuntun
penggantian volume. Jenis cairan yang dipilih, yaitu kristaloid
(Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang dapat diberikan
secara tunggal atau kombinasi.

2. Electrocardiography

Alat pantau elektrokardiografi (EKG) adalah alat pantau standar yang


wajib disediakan di masing-masing unit gawat darurat karena
diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui
pemeriksaan EKG. Gambaran EKG sangat menentukan langkah-
langkah terapi pemulihan yang akan dilakukan. Ada tiga pola EKG
pada henti jantung, yaitu asistol ventrikel, Pulseless Electrical Activity
(PEA), dan fibrilasi ventrikel.

a) Asistol Ventrikel

Asistol ventrikel merupakan ketiadaan denyut jantung dengan


gambaran EKG yang isoelektris. Paling sering disebabkan oleh
hipoksia, asfiksia, dan blok jantung.
b) Pulseless Electrical Activity

PEA merupakan gambaran EKG yang sering ditemukan pada anak-


anak dan biasanya dikaitkan dengan prognosis yang buruk. PEA
adalah suatu keadaan dimana tidak terabanya denyut nadi ketika
irama jantung masih terdeteksi oleh EKG. Terdapat jenis-jenis PEA,
yaitu disosiasi elektromekanik (EMD), disosiasi
pseudoelektromekanik, irama idioventrikular, irama ventricular
escape, irama bradiasistolik, dan irama idioventrikular
postresusitasi. EMD merupakan gambaran EKG yang paling sering
muncul.

EMD merupakan salah satu jenis dari PEA dimana terdapat


gambaran ketiadaan denyut dengan EKG agonal (aneh atau
abnormal) atau kadang relatif normal tetapi tidak terdapat pola
QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak efektif sehingga denyut
nadi tidak teraba. Disosiasi pseudoelektromekanik merupakan
keadaan dimana denyut nadi tidak teraba namun masih
ditemukan denyut jantung pada gambaran EKG dengan ETCO2
yang tinggi. Disosiasi pseudoelektromekanik memiliki prognosis
yang lebih baik dibandingkan dengan EMD. Irama ventricular
escape adalah adanya denyut ventrikel setelah hilangnya nodus
atrial sehingga gambaran EKG akan menunjukkan adanya
gelombang QRS disertai dengan tidak adanya gelombang p. Irama
bradiasistolik merupakan irama jantung yang terdapat irama
ventricular kurang dari 60 kali per menit pada dewasa atau tidak
adanya denyut jantung. Sedangkan irama idioventrikular
postresusitasi dikarakterisasi dengan adanya aktivitas gelombang
yang teratur yang terlihat segera setelah dilakukan cardioversion
pada kasus dimana sebelumnya tidak ada denyut yang teraba.
c) Fibrilasi Ventrikel

Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan gerak getar ventrikel


jantung secara kontinu dan tidak teratur sehingga tidak bisa
memompakan darah ke seluruh tubuh. Gambaran EKG akan
tampak osilasi yang khas kompleks QRS. Irama jantung ini paling
sering menyebabkan kematian jantung mendadak.

Penyebab dari fibrilasi ventrikel dibedakan menjadi dua, primer


dan sekunder. Mekanisme dari penyebab tersebut masih belum
diketahui dengan pasti. Penyebab primer yang paling sering
adalah iskemik otot jantung, reaksi obat, tersengat listrik, dan
kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan penyebab
sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia,
tenggelam, dan akibat perdarahan.

d) Takikardi Ventrikel

Takikardi ventrikel merupakan takikardi yang bersumber dari


ventrikel. Potensi menjadi aritmia yang fatal sangat tinggi akibat
menurunnya curah jantung dan gagal sirkulasi. Definisi dari
takikardi ventrikel adalah ventrikular ekstrasistol yang timbul
berurutan dengan kecepatan >100 kali/menit, takikardi ventrikel
juga memiliki kompleks QRS yang lebar.

3. Terapi Fibrilasi
Terapi fibrilasi merupakan usaha untuk segera mengakhiri disaritmia
takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal
dengan menggunakan syok balik listrik. Syok balik listrik
menghasilkan depolarisasi serentak semua serat otot jantung dan
setelah itu jantung akan berkontraksi spontan, asalkan otot jantung
mendapatkan oksigen yang cukup dan tidak menderita asidosis.
Terapi fibrilasi diindikasikan untuk pasien dengan fibrilasi ventrikel
atau takikardi ventrikel. Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang
sering muncul pada kasus henti jantung. Penanganan yang paling
efektif untuk henti jantung dengan irama tersebut adalah dengan
defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi akan mengkonsumsi oksigen lebih
banyak sehingga akan memperburuk iskemia miokardium. Defibrilasi
harus dilakukan sesegera mungkin, karena semakin lama fibrilasi
dibiarkan, maka semakin sulit untuk dilakukan defibrilasi dan banyak
kerusakan sel jantung yang ireversibel sehingga semakin kecil
kemungkinan resusitasi akan berhasil.

Defibrillator menyalurkan energi listrik dalam dua bentuk, yaitu


monofasik dan bifasik. Gelombang monofasik menyalurkan energi
hanya searah dari satu elektroda ke elektroda lainnya. Gelombang
bifasik membalikkan arah energi dengan mengubah polarisasi
elektroda dari bagian dimana energi tersebut disalurkan sehingga
gelombang monofasik membutuhkan energi yang lebih besar
dibandingkan gelombang bifasik. Gelombang bifasik biasanya
digunakan pada implantable cardioverter defibrillator (ICD) yang
kemudian dapat diadaptasi menjadi eksternal defibrillator.

Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang dibutuhkan


untuk defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang lebih sedikit
dibanding dewasa parasternal kanan. Jika penderita memiliki
payudara besar, pedal kiri dapat diletakkan di bawah payudara
dengan menghindari jaringan payudara terkena kejutan.
2.8. Melakukan pemantauan CVP melalui manometer
2.8.1 Persiapan Pasien
1. Memberikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang: - tujuan
pemasangan - daerah pemasangan - prosedur yang akan dilakukan
- inform consent
2. Mengatur posisi pasien sesuai dengan daerah pemasangan kateter
2.8.2 Persiapan alat – alat
1. Infus set dan standard infus
2. selang penghubung ( manometer line )
3. treeway stopcock
4. Skala pengukur ( manometer )
5. Pipa U Cara merangkai Menghubungkan set infus dengan cairan
NaCL 0,9 % Mengeluarkan udara dari selang infus
Menghubungkan skala pengukur dengan treeway stopcock dengan
selang infus Menghubungkan treeway stopcock dengan selang
infus Menhubungkan manometer line dengan treeway stopcock
Mengeluarkan udara dari manometer line Mengisi cairan ke skala
pengukur sampai 25 cm H2O Menhubungkan manometer line
dengan kateter yang sudah terpasang Cara pengukuran
Memberikan penjelasan kepada pasien Mengatur posisi pasien
Laveling adl mensejajarkan letak jantung(atrium kanan) dengan
skala pengukur atau tranduser.
2.8.3 Prosedur Tindakan
1. Caranya adalah Letak jantung ditentukan dengan cara membuat
garis pertemuan antara sela iga ke empat dengan garis
pertengahan aksila
2. Menentukan nilai CVP dengan memperhatikan undulasi pada
manometer dan nilai dibaca pada akhir ekspirasi
3. Membereskan alat-alat Memberi tahu pasien bahwa tindakan
telah selesai Koreksi cairanTerapi cairan ResusitasiPengantian
Defisit kristaloid kaloid rumatankebutuhan normal harian
kristaloid memasok kebutuhan harian Kristaloid dan keloid.

Kristaloid adalah cairan yang berisi eletrolit cth :RL,NaCL dll Kaloid
adalah molekul2 besar yg tidak dapat dengan mudah melewati atau
keluar dari pembuluh darah dan biasa juga dilengkapi dengan
eletrolit cth: albumin 20 %,haemaccel,dextran L, haes dll Kebutuhan
cairanPada orang dewasa - 30-40 ml/kgBB/hari - 1500 ml +20ml/kg
BB untuk kenaikan BB diatas 20 kg Pada anak - 100 ml/kgBB untuk 10
kg pertama - 50 ml /kg BB untuk 10 kg ke dua - 20 ml/kg BB
diatasnya.

Pendekatan pada resusitasi cairan Dalam resusitasi cairan perlu


diperhatikan :
a) definisikan masalah - kaji berat ringannya masalah - kaji jenis
kehilangan cairan
b) mulailah pemberian terapi cairan secara tepat lanjutan- hitung
berapa cairan yang diberikan/diganti - pilih jenis cairan yang
dibutuhkan koloid atau kristaloid atau gabungan - resusitasi cairan
dengan urutan intravaskuler interstisiil intrasel - pertama beri
volume - kemudian beri produk2 darah - yang terakhir adalah
pemberian nutrisi lanjutan
c) terapi cairan yang mendasari
d) kaji ulang pasien sesering mungkin

2.9. Pemberian Obat Dan Cairan Melalui Syring Pump Atau Infus
2.9.1 Syringe Pump
1. Definisi
Syringe Pump merupakan alat yang digunakan untuk memberikan
cairan obat atau cairan makanan ke dalam tubuh pasien dalam
jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu secara teratur.
Secara khusus alat ini memfokuskan pada jumlah cairan yang
diamasukan kedalam tubuh pasien, dengan satuan mililiter per jam.
2. Tujuan
Agar pasien mendapat asupan cairan atau obat sesuai dengan
kebutuhan dosis yang di beri tepat (akurat) baik waktu dan
volumenya.
3. Prosedur Pemberian Obat Melalui Syringe Pump
a) Persiapan:
1) membuat kertas perhitungan obat yang meliputi : nama
pasien, berat badan, nama obat dan pengencernya,dosis
yang di berikan, dan tanda tangan pembuat perhitungan
obat.
2) mempersiapkan alat – alat :
 syringe pump
 spuit 20/ 50cc
 manometer line /extention tube
 threeway stopcock
 obat yang akan di berikan
3) cara kerja
 cuci tangan sebelum dan sesudah prosedur
 member penjelasan kepada pasien
 isi spuit 50 cc atau 20 cc dengan cairan pelarut untuk
pengenceran obat sesuai dengan order dokter atau isi
spuit dengan parentral nutrisi sesuai order dokter
 mengambil obat yang dibutuhkan dengan spuit dan
mencampurkan dengan cairan pelarut
 mengeluarkan udara dari dalam spuit
 menghubungkan spuit dengan manometer kemudian
mengeluarkan udara dari manometer tersebut
 memasangan spuit pada syringe pump, skala spuit
menghadap ke atas
 mengatur modus syringe pump sesuai dengan ukuran
spuit
 menghidupkan syringe pump
 mengatur jumlah cairan yang diberikan dalam 1 menit
atau 1 jam sesuai kebutuhan
 menghubungkan manometer dengan threeway yang
terpasang pada pasien
 membuka threeway kea rah pasien, kemudian START
 memasang lebel pada spuit dan menempelkertas
perhitungan obat
 memberitahukan kepada pasien bahwa prosedur telah
selesai
 dokumentasi

2.9.2 Infus Pump


1. PENGOPERASIAN DASAR
a) Tekan tombol ON/OFF, untuk menyalakan Pump.
b) Pasang Syringe / Infus set.
c) Konfirmasi tipe Syringe / Infus set dengan menekan tombol OK.
(tipe Syringe / Infus set tertera harus sama dengan Syringe /
Infus set yang akan digunakan). Pada Infusomat Space bila tidak
menggunakan DRIP SENSOR, setelah konfirmasi Infus set,
masukan VTBI (Volume To Be Infused) terlebih dahulu dengan
Navigasi Key dan konfirmasi dengan tombol OK.
d) Pada menu utama pilih Rate dengan menekan kiri dan
kecepatan pemberian obat diatur dengan Navigasi Key.
e) Untuk mulai menjalankan terapi, tekan Start/Stop .
f) Jalannya terapi ditandai dengan LED Hijau yang menyala dan
gambar anak panah yang bergerak.
g) Untuk mematikan pump, tekan ON/OFF selama 3 detik.

2. PENGHITUNGAN VOL/TIME OTOMATIS

Pilih VTBI pada main menu dengan navigasi key atas/bawah


kemudian buka menu dengan arah kiri.

a) Masukan besarnya Volume To Be Infused (VTBI), dengan


Navigasi Key lalu tekan OK.

b) Pilih Time dengan Navigasi Key kemudian buka menu dengan


arah kiri

c) Masukan lamanya Waktu pemberian obat (Time), dengan


Navigasi Key lalu tekan OK

d) Otomatis Rate (Kecepatan Dosis) akan didapat.

e) Untuk mulai menjalankan terapi, tekan ON/OFF selama 3 detik

3. MENGGANTI KECEPATAN PADA SAAT PUMP BERJALAN

Tekan arah kiri, lalu atur kecepatan pemberian obat dengan


Navigasi Key lalu tekan arah kiri.

4. BOLUS
a) Manual Bolus : Tekan tombol Bolus Kemudian tekan dan tahan
tombol OK, Selama tombol OK ditekan, alat akan memberikan
Bolus. Max. Bolus ± 10% dari ukuran syringe atau selama 10
detik. Volume bolus yang masuk ke pasien akan ditampilkan
pada display.

b) Bolus dengan Target Volume: Tekan tombol Bolus. Kemudian


tekan tombol Navigasi Key Arah kiri dan atur banyaknya volume
yang akan dibolus dengan Navigasi Key. Lalu tekan tombol
Bolus untuk memulai Bolus. Bila volume Bolus sudah tercapai
maka pump otomatis akan kembali kekecepatan awal. Bolus
dapat dihentikan setiap saat dengan menekan tombol OK.

c) PERHATIAN: Jangan sampai Over Dosis, pada kecepatan Bolus


1200 ml/h, 10 ml obat akan masuk ke pasien hanya dalam
waktu 30 detik!

5. ALARM

a) Pre alarm / Reminding

LED Kuning akan berkedip diikuti dengan suara alarm.


Pemberian terapi tetap, alat tidak berhenti. Tekan OK untuk
mematikan suara alarm.

b) Operating alarm

LED Merah akan berkedip diikuti dengan suara alarm. Alat akan
berhenti. Untuk mematikan suara alarm, tekan OK. Kenali
masalah yang terjadi dengan membaca tampilan yang ada
pada display. Perbaiki masalah dan tekan Start/Stop untuk
melanjutkan terapi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Di ruang ICU memang memiliki tindakan – tindakan khusus untuk menunjang


kesembuhan pasien kritis, dan setidaknyamengurangi kecacatan. Semua tindakan yang
dilakukan di ruang ICU oleh Dokter, Perawat dan lainnya sangat penting. Beberapa
tindakan penting yang harus tersedia dan di lakukan pada pasien di ruang ICU tersebut
seperti terapi oksigen, bedside monitor, Elektrokardiogram, Obat-obat, penatalaksanaan
syok, terapi cairan dan parentral nutrisi, bantuan hidup lanjut, melakukan CVP melalui
manometer, pemberian obat dan cairan melalui sying pump/ infus pump.

3.2 Saran

Sebagai perawat kita harus bisa memahami tentang Keperawatan Kritis, terutama
tindakan keperawatan pada keperawatan kritis.
Daftar Pustaka

Davison, G. C., Neale, J. M., Kring A. M. (2014). Psikologi abnormal (9th ed.). Depok:
Kharisma Putra Utama.

Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan. (5thed.). Erlanga: Jakarta.


Litfiah (2009). Psikologi abnormal. Semarang: Widya Karya.
Santrock, J. W. (2012). Perkembangan masa hidup. Indonesia: PT Gelora Aksara Pratama

Sunberk, N. D., Winebarge, A. A., Taplin, J. R. (2007). Psikologi klinis (4th ed.). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

https://www.google.com/amp/s/m.klikdokter.com/amp/3633698/7-terapi-psikologis-
yang-dapat-meningkatkan-kesehatan-mental-anda

Nugroho,wahyudi.2000.Perawatan Usia Lanjut.jakarta;EGC

YIDKR.1985.Perawatan Kesehatan Masyarakat Suatu Proses Dan Praktek Untuk


Peningkatan Kesehatan Masyarakat

http://riskialfi89.blogspot.com/2016/03/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1

http://www.google.com/url

http://fmipa.umri.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/unida-syok-kardiogenik-dan-
penanganan

http://jurnal.unimus.ac.id

Anda mungkin juga menyukai