Oleh :
Putri Umniyah, S.ked
NIM :712021084
Pembimbing :
dr. Susi Handayani, Sp. An
Oleh:
Putri Umniyah, S.Ked
NIM :712021084
Telah dilaksanakan pada bulan Mei 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu Anestesiologi
dan Terapi Intensif di RS Muhammadiyah Palembang
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Syok Anafilaktik dan Henti Jantung yang disebabkan oleh Infus Tiamin”
sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu
Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
S.AW. beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa tugas ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang. Dalam penyelesaian tugas ini, penulis banyak
mendapat bantuan, bimbingan dan saran, sehingga pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada:
1. dr. Susi Handayani, Sp. An selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyelesaikan laporan
kasus.
2. Pihak Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang telah membantu dalam usaha
memperoleh data yang saya butuhkan.
Akhir kata, semoga Allah S.W.T memberikan balasan femurla atas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga laporan kasus ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
JUDUL.....................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan.................................................................................1
1.3 Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1. Definisi Syok Anafilaktik........................................................................3
2.2. Epidemiologi Syok Anafilaktik...............................................................3
2.3. Etiologi dan Faktor Resiko Syok Anafilaktik.........................................4
2.4. Patofisiologi.............................................................................................5
2.5. Manifestasi Klinis Syok Anafilaktik.......................................................6
2.6. Diagnosis.................................................................................................7
2.7. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................9
2.8. Diagnosis Banding.................................................................................10
2.9. Tatalaksana Syok Anafilaktik................................................................11
BAB III LAPORAN KASUS.................................................................................1
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................31
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................35
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi laporan
kasus Manajemen syok anafilakti dengan pembimbing klinik
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan pemahaman
yang didapat mengenai Manajemen syok anafilakti terkait pada kegiatan
kepaniteraan.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu tentang
manajemen syok anafilaktik
1.3.2 Manfaat Praktis
Sebagai masukaan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (Pendidikan Kesehatan) kepada
pasien dan keluarganya tentang manajemen syok anafilaktik
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
serangga. Studi ini juga menjelaskan bahwa pasien yang pernah mengalami
anafilaksis masih belum memiliki persiapan apabila hal ini terjadi berulang.2
4
Tabel 1: Faktor Resiko Syok Anafilaktik.11
Faktor Resiko Syok Anafilaktik
Obat
NSAID
ACE inhibitor
β‐blockers
Alkohol
Latihan fisik
Stres psikogenik
Siklus hormonal
Penyakit penyerta
Asma
Infeksi
Penyakit kardiovaskular
Mastositosis
2.4. Patofisiologi
Pada reaksi anafilaktik terjadi pengeluaran mediator- mediator oleh sel
mast dan sel basofil yang bersifat sistemik. Terdapat 3 fase yaitu fase sensitisasi
yaitu individu setelah terpapar bahan alergen dan selanjutnya menghasilkan
antibodi IgE yang dikeluarkan oleh sel B. Kemudian dilanjutkan dengan fase
aktivasi yaitu antibodi IgE akan berikatan dengan reseptor IgE yang terletak pada
permukaan sel mast atau sel basofil. Ikatan antara antibodi IgE dan reseptor
tersebut memicu degranulasi seluler yang akan melepaskan mediator- mediator.4
Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan sel basofil yaitu
histamin, triptase, kimase, carbopeptida A dan mediator lipid melalui sintesis de
novo melepaskan mediator antara lain cysteinyl leucotriene C4, Prostaglandin D2
dan platelet activating factor (PAF). Mediator ini dilepaskan oleh sel mast dan sel
basofil dalam beberapa menit. Sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF-α,
interleukin-4 (IL-4), IL-6, dan IL-13 akan dilepaskan beberapa jam atau beberapa
5
hari setelah aktivasi sel mast. Fase efektor merupakan dampak klinis pada syok
organ sebagai akibat pelepasan mediator- mediator tersebut.4
Distribusi sel mast tersebar luas pada organ dan jaringan salah satunya di
jantung. Pada jantung sel mast berlokasi di fibrin myocardial, mengelilingi
pembuluh darah dan bagian intima pembuluh darah arteri. Aktivasi sel mast pada
jantung dengan mengeluarkan mediator-mediator oleh karena rangsangan pada sel
mast organ lainnya. Mediator yang akan dikeluarkan sel mast pada jantung yaitu
kimase yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah kimase yang dikeluarkan oleh
sel mast pada paru dan kulit. Selain itu, renin juga dilepaskan akan memicu
Sistem rennin-angiotensin (RAS). Angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin
II oleh angiotensin-converting enzyme (ACE). Kimase yang dilepaskan oleh sel
mast jantung dapat berperan sebagai ACE. Angiotensi II akan mengaktifkan
reseptor Angiotensi I pada saraf simpatis yang merangsang sistem adrenergik.
Hiperaktivitas adrenergik dapat merangsang timbulnya aritmia jantung, infark
miokard dan kematian akibat serangan jantung yang disebabkan oleh anafilaksis.4
Mediator lain yang dikeluarkan oleh sel mast pada jantung adalah
histamin. Histamin merupakan mediator utama pada syok anafilaktik. Histamin
disintesis oleh fosfat piridoxal (vitamin B-6) yang mengandung decarboxilase L-
histidin yang berasal dari asam amino histidin. Histamin memiliki 4 reseptor yang
tersebar pada organ target yaitu H1R, H2R, H3R dan H4R. masing-masing
reseptor memberikan efek yang berbeda-beda.4
6
berupa takikardi, hipotensi dan cardiac arrhythmias. Aritmia berupa gambaran
gangguan benign supraventricular rhythms. Takikardi supraventrikular adalah
salah satu jenis aritmia akibat gangguan pada bundle his dan menyebabkan
peningkatan nadi lebih dari 100x per menit. Takikardi supraventrikuler dengan
estimasi insiden 35 per 100.000 orang per tahun, dengan prevalensi 2,29 per 1000
orang.4
Efek yang dapat terjadi bila suatu alergen berikatan dengan reseptor H1
adalah dapat menyebabkan kontraksi pada otot polos seperti pada sistem
gastrointestinal sehingga timbul keluhan kram perut. Efek pada sistem respirasi
adalah peningkatan sekresi mucus sehingga keluhan yang muncul berupa sesak.
Pada sistem cardiovaskuler efek reseptor H1 bersama dengan H2 adalah
menimbulkan hipotensi dan takikardi oleh karena pelepasan katekolamin yang
menimbulkan terjadinya aritmia dan blok konduksi atrioventrikular. Histamin
dapat menyebabkan penurunan aliran darah arteri koroner dan menyebabkan
spasme yang berat pada arteri koroner. Selain itu, histamine dapat merangsang
pembentukan faktor-faktor jaringan pada sel otot polos vaskular dan sel endotil
yang terdapat pada jantung. Faktor jaringan akan mengaktifkan factor X dalam
pembentukan thrombin.4
Manifestasi sistem kardiovaskuler yang muncul pada pasien adalah
penurunan tekanan darah dan takikardi hingga pasien mengalami gangguan irama
jantung yaitu takikardi supraventrikular. Gangguan irama jantung memang
merupakan salah satu gambaran klinis yang dapat disebabkan oleh anafilaksis
berat.4
7
2.6. Diagnosis
Diagnosis anafilaktik ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang muncul
segera setelah terpajan alergen atau faktor pencetus lainnya. Syok anafilaktik
termasuk kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan yang cepat dan
tepat untuk mencegah kematian.4
Diagnosis anafilaktik berdasarkan kriteria Sampson yaitu pertama, onset
akut (dalam hitungan menit sampai beberapa jam) dengan melibatkan jaringan
kulit dan mukosa atau keduanya dan minimal salah satu didapatkan keluhan
sistem respirasi atau penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope atau inkontinensia.
Kedua, ditemukan gambaran klinis pada dua organ atau lebih segera pasca
paparan dan ketiga terjadi penurunan tekanan darah segera pasca paparan yaitu
tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari 30% dari tekanan
darah sebelumnya segera setelah pasien terpapar alergen tanpa ditemukan
penyebab syok lainnya. Gejala yang muncul saat anafilaktik bervariasi dengan
manifestasi sesuai target organ yaitu sistem kulit mukosa, sistem pernafasan,
sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal dan sistem lainnya.4
8
ini:
a. Gangguan pada sistem respirasi (sesak, wheeze-bronchospasm, stridor)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan end-organ
dysfunction (hipotonia, syncope, incontinence).
2.2. Dua atau lebih gejala berikut ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar alergen
yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit sampai beberapa jam):
a. Gangguan pada kulit dan jaringan mukosa
b. Gangguan pada sistem respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala lainnya yang berkaitan
d. Gangguan pada sistem pencernaan yang terjadi secara persisten
2.3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien
tersebut (beberapa menit sampai beberapa jam)
a. Bayi dan anak-anak: tekanan darah sistolik yang rendah (tergantung umur)
atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.
b. Orang dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90mmHg atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal
9
merupakan protease yang berasal dari sel mast. Pengukuran kadar triptase serum
yang berulang dapat mengkonfirmasi mastositosis dan dengan demikian diagnosis
anafilaksis. Secara optimal, pengukuran harus dilakukan dalam waktu 15 menit
sampai 3 jam dari onset gejala dan sekali lagi setelah 24 jam. Jika tingkat tryptase
lebih besar dari 11,4 ng/mL dalam serum akut dibandingkan dengan serum awal,
diagnosis anafilaksis dikonfirmasi.
5. Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit
pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ
yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test,
friction test, tes tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan
meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang disediakan kemudian dengan
jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan.
Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema
yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan
yang dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.1
Tes provokasi
6. Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala14
10
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.
Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran
napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. 7,8
4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai danya tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan
tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis. 7,8
5. Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,
diare, serangan sesak napas seperti asma.
6. Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang
berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,
aktivitas fisik, dan makanan dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
7. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung
yang hilang timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis,
debu, terutama du udara dingin dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA.
7,8
11
dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala
dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway maneuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula
ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi. Breating support, segera memberikan bantuan napas buatan bila
tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik memalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan
napas parsial, selain ditolong dengan obat- obatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen 5-10 liter/menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba
nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi
jantung luar.9 Epinefrin adalah obat pilihan untuk pengobatan segera anafilaksis
memberikan efek vasokonstriksi sehingga mengembalikan edema mukosa saluran
napas dan hipotensi. Selain itu, ia memiliki efek jantung inotropik dan
kronotropik, aktivitas bronkodilator dan efek stabilisasi pada sel mast dan
basofil.11
- Terapi syok anafilaktik :
Baringkan pasien dengan posisi syok (kaki lebih tinggi)
Adrenaline : Dewasa 0,3-0,5 mg SC (subcutaneous); anak 0,01 mg/kgBB (larutan
1:1000)
Fungsi adrenaline: meningkatkan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi vaskuler,
meningkatkan tekanan darah dan bronkodilatasi
Pasang infus RL
Kortikosteroid: dexamethasone 0,2 mg/ kgBB IV (intravena)
Bila terjadi bronkospasme dapat diberi aminophyline 5-6 mg/kgBB IV bolus
secara perlahan, dilanjutkan dengan infus 0,4-0,9 mg/kgBB/menit.1
- Terapi insufisiensi adrenal:
Infus D5% atau NS untuk mempertahankan tekanan darah
Dexamethasone 4 mg IV , dilanjutkan dengan 4 mg tiap 6 jam
Atasi faktor pencetus
12
Bila diagnosis telah pasti, dapat diberikan hydrocortisone 100 mg setiap 8 jam
atau infus kontinu 300 mg/24 jam
Ambil sampel darah, periksa elektrolit dan kortisol.1
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identifikasi
Nama : Tn
Umur : 44 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Diagnosis : Syok Anafilaktik
3.2. Anamnesis
3.2.1. Keluhan Utama
Nyeri tekan di dada dan perut
3.2.2. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Tn. A datang ke IGD dengan keluhan Nyeri tekan di dada dan perut
muncul akibat keracunan alkohol. Tidak ada riwayat alergi. Pada palpasi
abdomen terasa nyeri sedang akan tetapi tidak ada rigiditas abdomen. Tn A
telah minum alkohol sepanjang hari. Saat masuk Tn A diberikan 300 mg
tiamin hidroklorida intravena, sebelumnya Tn A pernah diberikan obat ini
tanpa timbul komplikasi, tidak ada obat lain yang di berikan. Selain
meminum alkohol yang banyak Tn A tidak mengkomsumsi apapun
sepanjang hari. Tak lama setelah pemberian tiamin Tn A. ditemukan tidak
responsif dengan pernapasan yang tidak normal. Lalu di lakukan resusitasi
jantung paru dengan kompresi dada dan ventilasi bag-mask dengan rasio
30:2 dan tim henti jantung termasuk ahli anestesi dipanggil. Analisis ritme
awal mengungkapkan aktivitas listrik tanpa nadi, dan epinefrin diberikan
sesuai dengan pedoman bantuan hidup lanjutan. Pasien diintubasi untuk
memungkinkan kompresi dan ventilasi yang tidak terputus. Setelah 15
menit, ritme sinus terbentuk kembali. Ini diikuti oleh periode singkat
fibrilasi atrium dengan blok cabang berkas kanan, yang diubah menjadi
irama sinus yang stabil dengan bolus intravena 300 mg amiodaron.
1
3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM (-)
Riwayat penyakit jantung (+) (penyakit jantung iskemik)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat alergi makanan (-)
Riwayat alergi obat (-)
2
3.4. Pemeriksaan Khusus
Kepala : normal
Mata : normal
Hidung : normal
Telinga : normal
Mulut : normal
Leher : normal
Thorax : nyeri tekan
Paru : normal
Jantung : fibrilasi atrium
Abdomen : nyeri tekan
Ekstremitas : normal
Status Lokalis
Regio Abdominalis
Look : Tampak normal
Feel : Terdapat nyeri tekan (+)
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Tn. A datang ke IGD dengan keluhan Nyeri tekan di dada dan perut
muncul akibat keracunan alkohol. Tidak ada riwayat alergi. Pada palpasi abdomen
terasa nyeri sedang akan tetapi tidak ada rigiditas abdomen. Tn A telah minum
alkohol sepanjang hari. Dalam hal ini Mengkonsumsi Alkohol yang berlebih
memiliki efek mempercepat denyut jantung, meningkatkan tekanan darah dan
melemahkan otot jantung. Saat kondisi ini terjadi, suplai oksigen pada jantung
akan berkurang dan menyebabkan nyeri dada. 12
Saat masuk Tn A diberikan 300 mg tiamin hidroklorida intravena,
sebelumnya Tn A pernah diberikan obat ini tanpa timbul komplikasi, tidak ada
obat lain yang di berikan. Tak lama setelah pemberian tiamin Tn A. ditemukan
tidak responsif dengan pernapasan yang tidak normal. Dimana pada kasus tingkat
keparahan IV syok anafilaktik dengan gejala henti nafas dan henti jantung. 11
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khusunya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, asam folat,dan vitamin
B1 (Thiamin), Kebutuhan thiamin juga meningkat dan pada pasien dengan
alkoholisme kronik.11 pemberian thiamin pada kasus ini bertujuan untuk mengatasi
pasien dengan alkoholisme
Lalu di lakukan resusitasi jantung paru dengan kompresi dada dan
ventilasi bag-mask dengan rasio 30:2 dan tim henti jantung termasuk ahli anestesi
dipanggil. dilakukan penilaian airway, breathing dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher
diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan
melakukan triple airway maneuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut. Breating support, segera memberikan bantuan napas
buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik memalui mulut ke mulut
atau mulut ke hidung. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial,
31
selain ditolong dengan obat- obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan
oksigen 5-10 liter/menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada
arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.9
Epinefrin diberikan sesuai dengan pedoman bantuan hidup lanjutan.
Pasien diintubasi untuk memungkinkan kompresi dan ventilasi yang tidak
terputus. Setelah 15 menit, ritme sinus terbentuk kembali. Obat pilihan pertama
untuk mengobati syok anafilaktik adalah adrenalin. Obat ini berpengaruh untuk
meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan
bronkus dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja pada reseptor
adrenergic di seluruh tubuh sehingga mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri
dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah
naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.13 Fungsi adrenaline
meningkatkan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi vaskuler, meningkatkan
tekanan darah dan bronkodilatasi.1 Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea,
krikotirotomi, atau trakeotomi.9
Setelah 15 menit, ritme sinus terbentuk kembali. Ini diikuti oleh periode
singkat fibrilasi atrium dengan blok cabang berkas kanan, yang diubah menjadi
irama sinus yang stabil dengan bolus intravena 300 mg amiodaron. Gangguan
irama yang terjadi dapat disebabkan oleh Karena efek dari mediator yang
dilepaskan saat terjadinya syok anafilaktik yaitu dapat disebabkan pengeluaran
histamin, eicosanoid dan PAF.2 pemberian amiodaron digunakan pada keadaan
aritmia mulai dari atrial fibrilasi paroksismal sampai takiaritmia.4
Pemeriksaan Laboratorium Troponin T normal, Triptase serum diagnosis
anafilaktik (sampel di peroleh setelah 24 jam), Pemeriksaan serum triptase
digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis ,Pengukuran kadar triptase
serum yang berulang dapat mengkonfirmasi mastositosis dan dengan demikian
diagnosis anafilaksis. Secara optimal, pengukuran harus dilakukan dalam waktu
15 menit sampai 3 jam dari onset gejala dan sekali lagi setelah 24 jam. Jika
tingkat tryptase lebih besar dari 11,4 ng/mL dalam serum akut dibandingkan
32
dengan serum awal, diagnosis anafilaksis dikonfirmasi. Pemeriksaan serum
triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis yang baru
terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease yang
berasal dari sel mast.14
33
BAB V
KESIMPULAN
.
1. Pada kasus ini Syok Anafilaksis terjadi akibat pemberian thiamin bertujuan
untuk mengatasi pasien dengan alkoholisme.
2. Pada kasus Pemeriksaan serum triptase digunakan untuk mengidentifikasi reaksi
anafilaksis
3. Penilaian airway, breathing dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru
untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar Epinefrin adalah obat pilihan
untuk pengobatan segera anafilaksis memberikan efek vasokonstriksi sehingga
mengembalikan edema mukosa saluran napas dan hipotensi. pemberian cairan
dan oksigen terbukti menurunkan angka mortalitias.2
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Leksana, E. 2015. Dehidrasi dan Syok. Cermin Dunia Kedokteran, 42(5), 391-
394.
2. Irawan, A. E. (2020). Management of Anaphylaxis. Jurnal Penelitian Perawat
Profesional, 2(4), 409-416
3. Reber, L. L., Hernandez, J. D., & Galli, S. J. (2017). The pathophysiology of
anaphylaxis. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 140(2), 335-348.
4. Pemayun, T. P. D., & Suryana, K. (2019). Seorang penderita syok anafilaktik
dengan manifestasi takikardi supraventrikular. Jurnal Penyakit Dalam Udayana,
3(2), 41-45.
5. Turner, P., Jerschow, E., Umasunthar, T., Lin, R., Campbell, D., & Boyle, R.
(2017). Fatal Anaphylaxis : Mortality Rate and Risk Factors. The Journal of
Allergy and Clinical Immunology, 5(5), 1169–1178.
https://doi.org/10.1016/j.jaip.2017 .06.031
6. Nguyen, K., & Kohli, A. (2020). Latex Allergy. Finlandia: StatPearls Publishing.
7. Stephen FK, 2016 Anaphylaxis, Medscape. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com
8. Rengganis I, Sundaru H, 2009, Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Interna Publishing, Jakarta
9. McLendon, K., & Sternard, B. (2020). Anaphylaxis. Finlandia: StatPearls
Publishing
10. Ring, J., Beyer, K., Biedermann, T., & Bircher, A. (2014). Guideline for Acute
Therapy and Management of Anaphylaxis. Allegro J Int, 23(3), 96–112.
https://doi.org/10.1007/s40629- 014-0009-1
11. Alvarez-Perea, A., Tanno, L. K., & Baeza, M. L. (2017). How to manage
anaphylaxis in primary care. Clinical and translational allergy, 7(1), 1-10.
12. Michael J. Muray. 2015. Nutrition. STOELTING’S : Pharmacology &
Physiology in Anesthetic Practice. Edisi 5. Hal 716-731. USA : Wolters Kluwer
Health.
13. Johnson RF, Peebles RS, 2016, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition
and Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498
14. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.
35
15. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of
Anaphylaxis. 2011;4:13-37.
36