Anda di halaman 1dari 29

CASE REPORT

KEGAWATDARUTAN MEDIK DAN KEBENCANAAN

“PENATALAKSANAAN SYOK ANAFILAKTIK DENGAN MANIFESTASI


TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR”

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Melengkapi Kepaniteraan Klinik


Pada Modul 10

Oleh:

Futri Marisya
21100707360804052

Pembimbing :
drg. Suci Auliya

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report ”Penatalaksanaan
Syok Anafilaktik Dengan Manifestasi Takikardi Supraventrikular” untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan kepanitraan klinik modul 10 dapat
diselesaikan.

Dalam penulisan Laporan Kasus penulis menyadari, bahwa semua proses


yang telahdilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Suci Auliya selaku dosen
pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak lainnya.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu.

Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna


sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena
itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya


kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang
memerlukan.

Padang, 01 April 2023

Futri Marisya

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Oleh

FUTRI MARISYA

21100707360804052

Telah didiskusikan Case Report Modul 10 Kegawadaruratan Medis

“Penatalaksanaan Syok Anafilaktik Dengan Manifestasi Takikardi

Supraventrikular” guna melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Modul

10.

Padang, 01 April 2023

Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing

(drg. Suci Auliya)

iii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4
2.1 Definisi ........................................................................................................... 4
2.2 Epidemiologi ............................................................................................... 4
2.3 Etiologi ........................................................................................................... 5
2.4 Patofisiologi .................................................................................................... 7
2.5 Manifestasi Klinis Anafilaksis ....................................................................... 8
2.5.1 Aritmia Supraventrikular ........................................................................ 9
2.6 Tanda dan Gejala .......................................................................................... 11
2.7 Diagnosis ...................................................................................................... 12
2.8 Klasifikasi ..................................................................................................... 14
2.9 Diagnosis Banding........................................................................................ 15
2.10 Penatalksanaan ............................................................................................. 16
BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 23

iv
v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari dua kata, ana yang berarti jauh

dan phylaxis yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah

menghilangkan perlindungan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier

dan Richet pada tahun 1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemone laut

untuk kedua kalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mendadak mati

(Stephen, 2011).

Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat

menyebabkan kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh

allergen atau pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi

Hipersensivitas Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan Coombs (Stephen, 2011).

Data yang menjelaskan jumlah insiden dan prevalensi dari syok dan reaksi

anafilaksis saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika

Serikat menunjukkan 10 dari 1000 orang mengalami reaksi anafilaksis tiap

tahunnya. Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di USA

mengalami reaksi anafilaksis, dengan resiko megalami kematian sebesar 1%

(Johnson, 2011).

Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan

serangga dan lateks. Gambaran klinis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi

awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang

1
akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak

(Suryana, 2003). Pada awalnya gejala anafilaksis cenderung ringan, akan tetapi

pada akhirnya bisa menyebabkan kematian akibat syok anafilaktik. Syok

anafilaktik, merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang ditandai

oleh adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Walaupun jarang

terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsng sangat cepat, tidak terduga, dan dapat

terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai menyebabkan kematian.

Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu diagnosis serta

penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik dapat mencegah

keadaan yang lebih berbahaya.

Pada syok anafilaktik jantung sebagai sumber dan target pelepasan mediator-

mediator kimia selama reaksi alergi terjadi. Sel mast pada jantung terutama

banyak ditemukan pada arteri koroner dan dekat dengan pembuluh darah kecil

intramural. Sel mast pada jantung diaktivasi oleh rangsangan alergen, faktor

komplemen, obat-obat anestesi umum dan obat relaksasi otot. Mediator-mediator

yang dikeluarkan oleh sel mast jantung mempengaruhi fungsi ventrikuler, irama

jantung dan tekanan pada arteri coroner (Tringgiani, 2008).

Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan manifestasi kardiovaskular

yang dapat terjadi pada anafilaktik. Salah satu aritmia yang dapat terjadi adalah

Takikardi Supraventrikular yaitu takikardi akibat gangguan pada sistem konduksi

dan terjadi diatas bundle HIS yang menyebabkan peningkatan denyut jantung

melebihi 100x per menit. Gejala dan tanda timbul berupa singkop, nyeri dada,

2
sesak, lemas ataupun palpitasi. Takikardi supraventrikular dapat terjadi akibat

pelepasan histamin oleh sel mast jantung yang merangsang aritmia dan memblok

konduksi atrioventrikular (Trianggiani, 2008).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penatalaksanaan syok anafilaktik dengan manifestasi takikardi

supraventricular?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui dan memahami penatalaksanaan syok anafilaktik dengan manifestasi

takikardi supraventricular

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis

dan merupakan bagian dari syok distributif yang ditandai oleh adanya hipotensi

yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai

kolaps pada sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya sinkop dan kematian

pada beberapa pasien. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu

sempit untuk menggambarkan 4 anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis

yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas

merupakan gejala utamanya (Rengganis, 2009).

Reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau lebih (sistem

kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler,

sistem gastrointestinal. Reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius, mengancam

nyawa dan merupakan reaksi alergi dengan onset cepat.4 Anafilaksis merupakan

reaksi hipersensitifitas sistemik, akut yang dimediasi oleh IgE akibat pelepasan

mediator sel mast, basofil (Ketut, 2010).

2.2 Epidemiologi

Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap

gigitan serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan

berbeda - beda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan prevalensi

4
sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010, pencetus reaksi

hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang sebagian besar terjadi

melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak 27,8%. Berdasarkan World

Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile, remaja, wanita hamil dan

lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan terhadap anafilaksis. Penyakit

concomitant seperti asma berat yang tidak terkontrol, mastositosis, penyakit

kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi seperti beta blocker terbukti

meningkatkan risiko anafilaksis fatal (Estele et al, 2013).

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber

menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama

perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai

risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda,

sedangkan, pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi karena sistem imun

pada individu ini belum sepenuhnya mengalami perkembangan yang optimal

(Johnson, 2011).

2.3 Etiologi

Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa

muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-

obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan

dewasa tua. Sebagian besar pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat

universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa negara di Eropa dan Asia, susu

5
sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering. Di beberapa

negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu tersering. Obat-obatan,

seperti antivirus, antimikroba, anti jamur adalah penyebab paling sering reaksi

anafilaksis di dunia. Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi,

seperti carboplatin, doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat

menyebabkan reaksi ini adalah radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di

sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter, kateter, torniket, udara yang terlalu

dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan, cara, dan waktu

paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang

menimbulkan reaksi (Estele et al, 2011).

Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah

sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen.

Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,

obat-obatan, sengatan seranga dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-

kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur dan susu adalah makanan yang

biasanya menyebakan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa

menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khusunya penisilin, obat anestesi

intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-

lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga

bisa menyebabkan anafilaksis (Stephen, 2011).

6
2.4 Patofisiologi

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi

cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini

dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Fase

sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel

imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini

akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi

IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast,

basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan alergen yang sama,

alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan memicu

degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi.

Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast

dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan

perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti

oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun,

menyebabkan granul-granul yang penuh berisikan mediator bergerak

kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung

mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Adanya degranulasi sel mast

menimbulkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase,

sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast

lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ organ tubuh yang

dikenal dengan fase efektor (Estele, 2013).

7
2.5 Manifestasi Klinis Anafilaksis

Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa

detik, menit, sampai beberapa jam setelah terpapar alergen. Manifestasi klinis

anafilaksis yang sangat bervariasi terjadi sebagai akibat berbagai macam mediator

yang dilepaskan dari sel mastosit jaringan dan basofil yang memiliki sensitivitas yang

berbeda pada setiap organ yang dipengaruhinya. Manifestasi klinis dari anafilaksis

sangat bervariasi yaitu dari yang bersifat ringan, sedang, sampai berat, dimana syok

anafilaktik merupakan contoh manifestasi klinis yang berat.

Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi

respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Di samping itu terdapat pula bentuk

lainnya seperti rasa takut, kelemahan, keringat dingin, bersin, rinorhea, asma, rasa

tercekik, disfagia, mual dan muntah, nyeri abdomen, inkontinensia, sampai dengan

kehilangan kesadaran. Walaupun demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis

adalah syok dan obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi saluran pernafasan dapat

berupa edema laring, bronkospasme dan edema bronkus (Anonym, 2011).

Gejala prodromal pada umumnya adalah lesu, lemah, rasa tidak enak yang sukar

dilukiskan, rasa tidak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum. Gejala

ini merupakan permulaan dari gejala lainnya. Gejala pada organ pernapasan didahului

dengan rasa gatal di hidung, bersin dan hidung tersumbat, diikuti dengan batuk,

sesak, mengi, rasa tercekik, suara serak, dan stridor. Di samping itu, terjadi pula

edema pada lidah, edema laring, spasme laring dan spasme bronkus. Gejala

kardiovaskular ditandai dengan takikardi, palpitasi, hipotensi sampai syok, pucat,

8
dingin, aritmia, hingga sinkop. Pada EKG dapat dijumpai beberapa kelainan seperti

geombang T datar, terbalik atau tanda-tanda infark miokard. Gejala gastrointestinal

berupa disfagia, mual-muntah, rasa kram diperut, diare yang kadang-kadang disertai

darah, dan peningkatan peristaltic usus. Gejala pada kulit berupa gatal-gatal, urtikaria,

angioedema pada bibir, muka atau ekstrimitas. Penderita juga biasanya mengeluh

adanya rasa gatal dan lakrimasi pada mata. Sedangkan gejala pada sistem saraf pusat

dapat berupa gelisah dan kejang (Rengganis, 2009).

Gangguan pada irama jantung memang jarang ditemukan dan jika ditemukan

sering fatal sehingga menimbulkan kematian. Gangguan irama yang terjadi dapat

disebabkan oleh Karena efek dari mediator yang dilepaskan saat terjadinya syok

anafilaktik yaitu dapat disebabkan pengeluaran histamin, eicosanoid dan PAF

(Tringgiani, 2008 ; Brown, 2009).

Aritmia didefinisikan sebagai hilangnya ritme jantung terutama ketidakteraturan

pada detak jantung yang disebabkan ketidaknormalan laju, keteraturan, atau urutan

aktivasi jantung.

2.5.1 Aritmia Supraventrikular

Takikardia supraventrikular yang umum yang memerlukan terapi obat

adalah fibrilasi atrium atau flutter atrium, takikardia supraventricular

proksimal, dan takikardia atrium otomatis.

9
a. Fibralasi atrium atau Flutter Atrium

Fibralasi atrium dengan karakteristik kecepatan yang ekstrim 400-600

denyut/menit dan terjadi ketidakteraturan aktivitas atrium. Pada fibralasi

atrium juga terjadi kehilangan kontraksi atrium, implus supraventrikular

masuk ke sistem konduksi atrioventrikular pada berbagai tingkatan, yang

menyebabkan aktivasi ventrikular tak teratur dan ketidakteraturan denyut

(120-180 denyut/menit). Flutter atrium dikarakterisasi oleh aktivasi atrium

yang cepat (270-330 denyut atrium/ menit) namun teratur. Aritmia tidak

sesering fibrlasi atrium, tetapi memiliki faktor penyebab, konsekuensi, dan

terapi obat yang sama.

Mekanisme utama fibralasi atrium atau flutter atrium adalah reentry,

umunya berhubungan dengan penyakit jantung organik yang meenyebabkan

distensi atrium. Gangguan lain SITA yang berhubungan adalah embolus

pulmonari akut dan penyakit paru-paru kronik hasilnya merupakan hipertensi

pulmonar dan cor pulmonale serta tingginya tonus adrenergik, seperti

tirotoksikosis. reaksi putus obat dengan alkohol.

b. Takikardia Supraventrikular Paroksimal yang disebabkan Reentry.

Takikardia Supraventrikular Paroksimal muncul karena mekanisme

reentrant termasuk permissions reaksi putus obat dengan alkohol. (b)

Takikardia Supraventrikular Paroksimal yang disebabkan Reentry Takikardia

Supraventrikular Paroksimal muncul karena mekanisme reentrant termasuk

aritmia yang disebabkan oleh reentry nodus AV, reentry AV yang melibatkan

jalur AV anomali, reentry nodus sinoatrium, dan reentry intra-atrium. PU

10
c. Takikardia Atrium Otomatik

Takikardia atrium otomatik seperti takikardia atrium multifokal

tampaknya berasal dari fokus supraventrikular yang memiliki sifat otomatik

meningkat. Beberapa penyakit pulmonar menjadi penyebab gangguan pada 60

sampai 80% penderita.

Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis


(Elseviere.com, 2009)

2.6 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari anafilaksis dapat berupa:

1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus)


Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor erection
Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata
berair
Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di
bibir, lidah, dan uvula.

11
Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.

2. Respirasi (70%)

Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek


Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk
kering.dry staccato cough
Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing,
sianosis, gagal nafas.
3. Gastrointestinal (45%)

Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.

4. Sistem kardiovaskuler (45%)

5. Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang), palpitasi, hipotensi,

merasa ingin jatuh, henti jantung.

2.7 Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat

pajanan sebelum reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang

muncul dalam menit atau jam setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala

yang progresif dalam beberapa jam. Adapun kriteria klinis untuk menegakkan

diagnosis anafilaksis dapat dilihat pada tabel berikut.

12
Tabel 1. Kriteria klinik diagnosis anafilaksis
1. Terjadinya gejala penyakit segera (beberapa menit sampai jam), yang
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (urtikaria yang merata,
pruvitus, atau kemerahan, edema bibir-lidah-uvula), paling sedikit satu dari
gejala berikut:
a. Gangguan pernafasan (sesak, mengi, bronkospasme, stridor, penurunan
arus puncak ekspirasi (APE), hipoksemia.
b. Penurunan tekanan darah atau berhubungan dengan disfungsi organ
(hipotonia atau kolaps, pingsan, inkontinens).
2. Dua atau lebih dari petanda berikut ini yang terjadi segera setelah terpapar
serupa alergen pada penderita (beberapa menit sampai jam):
a. Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria yang merata, pruvitus-
kemerahan, edema pada bibir-lidah-uvula).
b. Gangguan pernafasan (sesak, sengi, bronkospasme, stridor, penuruna
APE, hipoksemia).
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan (hypotonia-
kolaps, pingsan, inkontinens)
d. Gejala gastrointenstinal yang menetap (kram perut, sakit, muntah).
3. Penurunan tekanan darah segera setelah terpapar alergen (beberapa menit
sampai jam)
a. Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (tgt umur), atau penurunan
lebih dari 30% tekanan darah sistolik.
b. Dewasa: tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
lebih dari 30% nilai basal pasi
* Tekanan darah sistolik rendah untuk anak didifinisikan bila <70 mmHg antara 1
bulan sampai 1 tahun, kurang dari (70 mmHg [2x umur]) untuk 1 sampai 10
tahun, dan kurang dari 90 mmHg dari 11 sampai 17 tahun.

13
2.8 Klasifikasi

Dalam tabel dibawah ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis

berdasarkan keparahan dari gajala klinis

Symptoms
Grade Dermal Abdominal Respiratory Cardiovascular
I Pruritus
Flush
Urticaria
Angioedema
II Pruritus Nausea Rhinorrhoea Tachycardia (>20
Flush Cramping Hoarseness bpm)
Urticaria Dyspnea Blood pressure
Angioedema change (>20 mmHg
(not systolic)
mandatory) Arrhythmia
III Pruritus Vomiting Laryngeal Shock
Flush Defecation oedema
Urticaria Diarrhea Bronchospasm
Angioedema Cyanosis
(not
mandatory)
IV Pruritus Vomiting Respiratory Cardiac arrest
Flush Defecation arrest
Urticaria Diarrhea
Angioedema
(not
mandatory)

Disamping tabel diatas, terdapat juga klasifikasi derajat klinis reaksi

hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004) yaitu.

1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit)

seperti: eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema

periorbita.

2. Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler,

14
gastrointestinal) seperti : sesak nafas, stridor, mengi, mual,

muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak enak di tenggorokan

dan dada serta nyeri perut.

3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis),

seperti: sianosis (SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg

pada dewasa), kolaps, penurunan kesadaran dan inkontinensia.

Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi

hipersensitifitas akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat

merupakan gambaran klinis anafilaksis.

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding reaksi anafilaksis adalah asma episode berat, sinkop, panic

attacks, hipoglikemia. Asma episode berat saat serangan dapat menunjukkan

gejala batuk, sulit bernafas, terdengar wheezing sehingga menyerupai reaksi 8

anafilaksis pada sistem respirasi. Namun, gatal, urtikaria, angioedema, nyeri

abdomen jarang ditemukan pada asma. Panic attacks menimbulkan gejala seperti

kesulitan bernafas, kemerahan, takikardia, dan gangguan gastrointestinal. Namun,

adanya urtikaria, angioedema, hipotensi jarang pada panic attacks. Hipotensi

dapat terjadi pada sinkop dan anafilaksis, tetapi pucat dan berkeringat tampak

pada sinkop.

15
2.10 Penatalksanaa

Penatalaksanaan reaksi anafilaksis sebagai berikut.


1. Evaluasi ABC

2. Posisikan pasien dengan posisi elevasi ekstremitas atas

3. Beri 02 100% 6-8 L/menit (distress nafas)

4. Adrenalin 1:1000 larutan (1mg/ml) disuntikkan 0,3-0,5 ml IM atau 0,01

mg/kgBB Akses infus (14atau 16 gauge) intravena dengan normal salin

5. Bila tidak ada perbaikan, pemnerian adrenalin dapat diulang 10-15 menit

kemudian dengan dosis maksimum 0,5 mg untuk dewasa dan 0,3 mg

untuk anak-anak

6. Medikasi lini kedua yang dapat digunakan adalah H1 antihistamin seperti

intravena chlorpheniramine (10 mg) atau dipenhidramin (25-50 mg),

cetirizine intra oral; β2 adrenergic agonists, seperti salbutamol inhaler (2,5

mg/3 mL); glukokortikoid seperti hydrocortison 100-500 mg IM atau IV,

metylprednisolon 125-250 mg IV, oral prednisone.

7. Observasi 2-3 kali dalam 24 jam dan hindari agen penyebab.

16
PENATALAKSANAAN SYOK ANAFILAKSIS

1. Menghentikan tindakan kedokteran gigi dan


pemberian bahan alergen

2. Lakukan resusitasi ABC • Airway


Airway
Breathing
circulation

• Breathing

17
• Circulation


3. Pemberian adrenalin 0,5 ml- 1 ml, 1:1000
intra muscular, dapat diulang setiap 10 menit
bila dibutuhkan

4. Pemberian oksigen

18
5. Pemberian bronkodilator semprot
(salbutamol 5 mg) atau aminovilin 5 mg/kg
intra vena

6. Pemberian antihistamin intra vena.


H1 bloker misalnya klorfeniramin (10 mg
IV) dan H2 bloker ranitidin (50 mg IV
lambat)

7. Pemberian kortikosteroid intra vena.

hidrokortison 200 mg IV

19
8. Kirim ke IGD

Terapi jangka panjang setelah pemberian terapi terhadap anafilaksis di pelayanan

kesahatan.

1. Edukasi terhadap reaksi anafilaksis

Anafilaksis merupakan kondisi gawat darurat sehingga harus

dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat.

2. Mengonfirmasi faktor pemicu reaksi anafilaksis

Waktu yang optimal untuk melakukan tes terhadap pemicu alergi

adalah 3- 4 minggu setelah episode akut anafilaksis. Pasien

dengan hasil negatif perlu dites lagi beberapa minggu/bulan

kemudian. Faktor yang diketahui melalui anamnesis dapat

menyebabkan reaksi anafilaksis perlu dikonfirmasi lagi dengan

alergen skin test dan/atau mengukur level allergen-spesific IgE

pada serum.

3. Pencegahan berulangnya reaksi anafilaksis

- Terapi terhadap penyakit yang mendasari seperti asma,

penyakit kardiovaskuler, mastocytosis dan penyakit lainnya

yang dapat memeperberat reaksi anafilaksis.

20
- Menghindari pemicu dan imunomodulasi

Pasien yang alergi terhadap makanan tertentu harus

menghindari makanan yang dapat memicu reaksi. WAO

belum merekomendasikan penggunaan oral immunotherapy

food allergen atau imunomodulator lainnya. Sedangkan,

pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap gigitan

serangga dapat menggunakan imunoterapi subkutan untuk 3-

5 tahun. Perlindungan yang diberikan yaitu sebesar 80-90%.

Pasien dengan riwayat pemakaian obat-obatan tertentu

kemudian menjadi alergi tidak boleh diberikan obat tersebut

sehingga dapat mencegah timbulnya reaksi anafilaksis.

Pasien dengan anafilaksis idiopatik yang sering muncul yaitu

> 6 kali dalam 1 tahun atau >2 kali dalam 2 bulan

dipertimbangkan untuk diberikan terapi profilaksis yaitu

glukokortikoid sistemik dan H1 antihistamin atau injeksi

omalizumab untuk 2-3 bulan.

21
BAB 3
KESIMPULAN

Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua

organ atau lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi,

sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal). Faktor pemicu timbulnya anafilaksis

pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah sebagian besar oleh makanan.

Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini

pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi

tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang

digunakan untuk memperkuat adanya alergi. Reaksi anafilaksis/hipersensitifitas

dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Penanganan utama anafilaksis adalah

dengan mengamankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi serta terapi adrenalin.

Penatalaksanaan dengan pemberian epinefrin dan resusitasi cairan serta

dilakukan kardioversi karena hemodinamik yang tidak stabil. Setelah dilakukan

penangan tersebut pasien membaik dan irama jantung kembali normal.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonym, 2011, Anaphylaxis. Available from URL:


http://en.wikipedia.org/wiki/Anaphylaxis

Brown A. Current Management of Anaphylaxis. Emergencias. 2009;21:213-223

Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of


The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204.

Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis.
2011;4:13-37.

Ewan, PW, 1998, Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ, Vol 316, Page 1442- 1445

Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.

Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat
dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas
Akut/Anafilaksis pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah
Denpasar Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.

Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley,


Chichester (Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24.

Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition and
Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498

Karnen GB, Iris R. Imunologi dasar. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

23
Edisi IV. Jakarta:Interna;2006; h.190-193.

Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology, Arch Intern Med, Page 161:15-21

Rengganis I, Sundaru H, 2009, Renjatan Anafilaktik, Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam, Interna Publishing, Jakarta

Stephen FK, 2011, Anaphylaxis, Medscape. Available from URL:


http://emedicine.medscape.com

Suryana K, 2003, Diktat Kuliah, Clinical Allergy Immunology, Divisi Allergi


Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah,
Denpasar

Triggiani M, Patella V, Staiano R, Granata F, Marone G. Allergy and the


cardiovascular system. Clinical and Experimental Immunology.
2008;153:7-11.

Volaluck S. Differential responses of mast cell toll-like receptor 2 and 4 in allergy


and innate immunity. The Journal Clinical Investgation. 2002; 109:1351-
1359.

24

Anda mungkin juga menyukai