Oleh:
Pembimbing:
dr. Susi Handayani, Sp, An, M.Sc., MARS
Laporan Kasus
Judul:
IN HOSPITAL CARDIAC ARREST (IHCA)
Oleh:
Imam Sandi Pratama, S.Ked
712022005
Telah dilaksanakan pada bulan Agustus 2023 sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Anestesioligi dan terapi
intensif Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“IN HOSPITAL CARDIAC ARREST (IHCA)” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Anestesiologi dan terapi intensif
Rumah sakit Muhammadiyah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Susi Handayani, Sp. An, M.Sc., MARS selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Anestesi Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan, arahan,
serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan dokter muda atas kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus
ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu
pengetahuan kedokteran.
iii
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................
BAB I. LAPORAN KASUS...................................................................................
1.1 Identitas Pasien..........................................................................................
1.2 Anamnesis.................................................................................................
1.3 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................
1.4 Status Lokalis............................................................................................
1.5 Pemeriksaan penunjang ............................................................................
1.6 Diagnosa Banding.....................................................................................
1.7 Diagnosa Kerja..........................................................................................
1.8 Penatalaksanaan........................................................................................
1.9 Prognosis...................................................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
2.1 Appendicular infiltrate............................................................................
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi......................................................................
2.1.2 Definisi.............................................................................................
2.1.3 Epidemiologi....................................................................................
2.1.4 Etiologi.............................................................................................
2.1.5 Patofisiologi.....................................................................................
2.1.6 Manifestasi Klinis............................................................................
2.1.7 Pemeriksaan.....................................................................................
2.1.8 Diagnosis..........................................................................................
2.1.9 Tatalaksana......................................................................................
2.1.10 Komplikasi.......................................................................................
2.1.11 Prognosis..........................................................................................
BAB III. KESIMPULAN.....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
dalam menghadapi kejadian henti jantung.4
Upaya untuk mencegah henti jantung di Rumah Sakit memerlukan
sistem untuk mengidentifikasi pasien yang memburuk dan respons
intervensi yang tepat (misalnya tim respons yang cepat). Penatalaksanaan
selama serangan jantung meliputi kompresi dada, ventilasi, defibrilasi dini
(jika ada) dan perhatian segera terhadap penyebab yang berpoensi revesibel
seperti hiperkalemia atau hipoksia.5
2.1.2 Etilogi
Henti jantung biasanya disebabkan oleh penyakit jantung struktural
yang mendasarinya. 70% kasus serangan jantung dianggap karena penyakit
koronor iskemik. Penyebab struktural lain seperti gagal jantung kongestif,
hipertrofi ventrikel kiri, kelainan arteri koroner kongenital, displasia ventrikel
kanan aritmogenik, kardiomiopati obstruktif hipertrofik, dan temponade
jantung. Penyebab non struktural termasuk sindrom Brugada, sindrom Wolf-
Parkinson-White dan sindrom QT panjang bawaan.6
Ada banyak etiologi non-jantung termasuk perdarahan intrakranial,
emboli paru, pneumothoraks, henti napas primer, konsumsi racun termasuk
overdosis obat, kelainan elektrolit, infeksi berat (sepsis), hipotermia atau
trauma.6
2.1.4 Penatalaksnaan
4
hidup dasar (BHD), aktivasi sistem tanggap darurat, RJP sedini mungkin,
serta dengan defibrilasi cepat menggunakan defibrilator eksternal otomatis
atau automatic external defibrillator (AED). BHD di menit-menit awal dapat
meningkatkan angka bertahan hidup sebanyak 4% dan pada pasien napas
spontan sebesar 40%.1
5
Henti jantung di rumah sakit atau In Hospital Cardiac Arrest (IHCA)
adalah peristiwa akut yang berpotensi mempengaruhi pasien yang di rawat
di rumah sakit. Henti jantung di rumah sakit didefinisikan sebagai hilangnya
sirkulasi yang mendorong resusitasi dengan kompresi dada, defibrilasi atau
keduanya.5
6
3. CPR Kualitas tinggi
Salah satu bagian dari bantuan hidup dasar adalah Resusitasi
Jantung Paru (RJP). Tindakan ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi
jantung sehingga mampu kembali memompa serta memperbaiki sirkulasi
darah di tubuh. Adapun langkah-langkah resusitasi jantung paru yaitu:7
a. Menganalisa situasi
Keamanan penolong menjadi prioritas untuk menghindari adanya
korban selanjutnya. Perhatikan situasi dan keadaan yang aman
untuk penolong dan korban.
b. Cek respon korban
Periksa keadaan korban dengan memberikan rangsangan nyeri
ataupun verbal. Pemeriksaan ini dilakukan setelah dipastikannya
lingkungan telah aman untuk penolong maupun korban.
Rangsangan verbal yang dilakukan bisa dengan memanggil korban
disertai menepuk bahu korban. Apabila tidak ada respon, penolong
bisa melakukan rangsangan nyeri, baik menekan kuku maupun di
bagian dada.
c. Meminta bantuan&aktifkan Emergency Medical Service (EMS)
Jika korban masih tidak memberikan respon, penolong segera
meminta bantuan dengan berteriak dan mengaktifkan sistem gawat
darurat atau EMS.
d. Memperbaiki posisi korban dan penolong
1) Posisikan korban supinasi atau terlentang dipermukaan yang
keras dan datar.
2) Memperbaiki posisi korban dengan cara log roll (kepala, leher
dan punggung digulingkan secara bersamaan).
7
e. Periksa airway (jalan napas)
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya
sumbatan pada jalan nafas yang disebabkan benda asing dalam
mulut, jika ada benda asing segera bersihkan lebih dulu, buka mulut
dengan menggunakan teknik cross finger. Jika sumbatan berbentuk
cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk dan jari tengah yang
dilapisi atau ditutupi sepotong kassa, sedangkan jika terdapat
sumbatan benda padat dapat dikeluarkan dengan menggunakan jari
telunjuk (finger sweep).8 Penolong menggunakan manuver head tilt
chin lift untuk membuka jalan napas korban jika tidak terdapat
trauma leher dan trauma kepala. Jika terdapat trauma leher dan
kepala yang dicurigai terdapat cedera spinal, jalan napas dapat
dibuka dengan manuver jaw thrust tanpa ekstensi kepala. Membuka
jalan napas dan mempertahankan kepatenannya merupakan hal yang
sangat penting dalam resusitasi jantung paru, gunakan head tilt chin
lift jika jaw thrust tidak dapat membuka jalan napas secara adekuat.11
Gambar 2. Airway
f. Breathing
Tindakan pemeriksaan pernafasan ini dilakukan dengan cara
melihat pergerakan dada (look), mendengarkan suara nafas (listen),
dan merasakan hembusan nafas pasien (feel) dengan mendekatkan
telinga penolong dengan hidung pasien, melihat pergerakan dinding
dada 5-6 detik. Jika tidak ada pernafasan segera beri nafas buatan
8
sebanyak 10-12 kali per menit (1 kali bantuan nafas, 5-6 detik).
g. Circulation
Memastikan adanya denyut nadi pasien dengan meletakkan jari
telunjuk dan jari tengah di nadi karotis pasien (di sisi kanan atau
kiri leher sekitar 1-2 cm dari thakhea) raba selama < 10 detik. Jika
nadi tidak teraba dan nafas tidak terasa lakukan resusitasi jantung
paru.
h. RJP yang berkualitas
1) Posisikan diri di samping korban
2) Pastikan posisi korban aman dan supinasi/terlentang
3) Letakkan kedua tangan (saling menumpuk), di prosessus
xyphoideus atau diantara kedua puting susu
4) Posisi penolong tegak lurus
Pemberian resusitasi jantung paru bisa dikatakan berkualitas
jika mencakup hal ini, yaitu tekan kuat (minimum 2 inch/5 cm)
dan kecepatannya (100-120 kali per menit) dan tunggu rekoil
dada selesai dengan sempurna, meminimalisir interupsi dalam
kompresi, menghindari ventilasi berlebihan, ganti kompresor/
penolong tiap 2 menit, namun boleh dilakukan < 2 menit jika
sudah mulai kelelahan, jika tidak ditemukannya suara napas
lanjutan, rasio kompresi ventilasi 30:2, kapnografi gelombang
kuantitatif, jika hasil PETCO2 rendah ataupun menurun, kaji
ulang kualitas RJP yang telah diberikan.
i. Recovery Position
Bila keadaan pasien sudah Kembali normal, posisikan pasien
dengan posisi pemulihan dengan tujuan dapat mencegah terjadinya
sumbatan saluran nafas jika terdapat cairan.
4. Defibrilasi
Defibrilasi dilakukan pada kondisi henti jantung mendadak yang
shockable yaitu pada VF/VT tanpa nadi. Setelah 5 siklus RJP atau 2
9
menit, segera lakukan penilaian apabila masih ditemukan VF/VT tanpa
nadi maka defibrilasi dapat segera dilanjutkan CPR 5 siklus atau 2 menit,
kemudian lakukan penilaian ulang. Penolong harus memeriksa denyut
nadi karotis bilamana ritme yang teratur telah kembali. Bilamana tidak
ada denyut nadi atau tidak ada indikasi shock dengan AED, RJP harus
dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima siklus.
10
menyentuh korban. Lalu tekan tombol shock.
f. Segera lakukan kembali RJP.Setelah dilakukannya RJP 5 siklus atau
2 menit stop RJP dan lihat irama yang ada di monitor.
11
mengikuti perintah, mulai TTM sesegera mungkin; mulai
pada 32-360 C selama 24 jam menggunakan perangkat
pendinginan dengan feedback loop.
3. Manajemen perawatan kritis lainnya, seperti: pantau suhu inti
terus-menerus (esofageal, rektal, kemih). Pertahankan
normoxia, normokapnia, euglikemia. Lakukan pemantauan
elektroensefalogram (EEG) terus menerus atau berkala.
Berikan ventilasi yang tetap melindungi paru.
12
BAB III
LAPORAN KASUS
13
yang diulang menunjukkan perbaikan pada komponen edema paru. Pada
hari ke-2, pasien mengalami takikardia ventrikel monomorfik dengan
tekanan darah 70/30 mmHg. Kejut DC diberikan dan CPR dimulai. Sesuai
dengan pendapat ahli jantung, pasien mulai diberikan injeksi amiodaron
drip 150 mg stat, diikuti dengan infus 1 mg/menit. Pasien dipantau dengan
EKG 12 jam sekali dan grafik tekanan darah per jam. Akhirnya, infus
amiodaron dihentikan dan keluarga pasien diberi tahu tentang perlunya
operasi penggantian katup dalam waktu dekat. Pasien dilanjutkan dengan
injeksi meropenem 1 g dan injeksi linezolid 600 mg.
14
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISIS
Objektif
1. Untuk memahami
2. Untuk
Pertimbangan
Seorang Wanita hamil 29 tahun Wanita hamil 29 tahun mengalami
penurunan ksadaran dan takikardia ventrikel monomorfik dengan tekanan
darah 70/30 mmHg, yang mengarah pada kemungkinan henti jantung atau
cardiac arrest, hal ini membutuhkan Penanganan IHCA perlu diberikan
perhatian khusus karena berkaitan dengan sistem deteksi dini penurunan kondisi
pasien dan tanggapan rumah sakit dalam menghadapi kasus kegawatdaruratan.
Pemberian resusitasi yang berkualitas merupakan kunci keefektifan pertolongan
pasien cardiac arrest karena dapat mengurangi tingkat keparahan gejala sisa dan
memberikan prognosis yang lebih baik.
15
memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien
agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.
16
Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan
kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,
Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1
napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa,
anak-anak, dan bayi eseha tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2
menit.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun
membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan
dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12
nafas/menit dan memeriksa denyut nadi esehat setiap 2
menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi
adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis
eseha, pasien bangun, atau petugas ahli eseha. Bila harus
terjadi interupsi, petugas esehatan sebaiknya tidak memakan
lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi
otomatis atau pemasangan advance airway.1
ALAT DEFIBRILASI
AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum tiba,
lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock
diberikan bila ada indikasi / instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan
program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi
shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP
selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi
shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus
langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang,
atau korban mulai bergerak.
17
Pada algortima tersebut, dilakukannya tindakan sesuai dengan BLS (Basic Life
Support) yaitu pengaktifan respon emergensi, Melakukan CPR, Melakukan
manual defibrilator, dan pemberian shock pertama.
Tim ACLS datang dan melakukan intervensi dan tindakan yang dibutuhkan.
Ketua tim melakukan tindakan sesuai algoritma pada sisi kiri. Anggota tim harus
melakukan CPR hingga defibrilator datang dan siap diberikan kepada pasien.
Ketua tim bertanggung jawab untuk melakukan intervensi gangguan minimal
pada CPR.
Lakukan CPR saat defibrillator sedang charging. Interval antara kompresi terakhir
dan kejutan listrik bisa meningkatkan keselamatan pasien. Lakukan kejutan listrik
saat kompresor mengangkat tangan dan berkata “clear” yang menandakan tidak
berkontak dengan pasien. Berikan kejutan listrik sesuai dengan dosis energoi
yang akan dikeluarkan. Monopasik atau bipasik. Apabila monopasik, berikan
kejutan dengan enegri 360-J. apabila bipasik berikan dosis energi dengan range
tertentu. Apabila tidak mengetahui dosis kejutannya, berikan dosis maksimal
untuk pertama kali. Setelah dilakukan kejut listrik, langsung lakukan CPR dan
kompresi dada pada pasien selama 2 menit.
Pemberian defibrilator tidak memulai ulang jantung namun mengejutkan jantung
dan menghentikan segala aktivitas listrik pada jantung. Jantung masih dapat
berjalan terus dan timbulnya pacemaker normal menyatakan bahwa pasien ROSC.
Pada satu menit pertama setelah dilakukan defibrilation, ritme spontan biasanya
lambat dan tidak menimbulkan denyut yang adekuat atau tidak terdapat perfusi
yang adekuat. Pasien membutuhkan CPR (dimulai dengan kompresi dada)
beberapa menit hingga fungsi jantung kembali adekuat. Itulah mengapa
pentingnya melakukan CPR kualitas tinggi yang diawali dengan kompresi dada
setelah shock pertama.
jarak waktu collapse hingga dilakukannya defibrilatrion adalah determinan yang
sangat penting untuk menilai keselamatan dari korban. Semakin cepat waktunya,
semakin tinggi tingkat keselamatan pada korban. Pada VF, CPR dapat
menyalurkan sedikit darah ke jantung dan otak namun tidak bisa memperbaiki
irama jantung. Lebih awal diberikan kejut listrik, lebih tinggi tingkat keberhasilan
pasien. Pada kondisi VF.
18
Setiap menit yang berlalu antara kejadian tidak sadar hingga pemberia defibrilator
menurunkan kesempatan untuk selamat kira-kira 7% hingga 10% per menit
apabila tidak dilakukan CPR dan apabila dilakukan CPR, kira-kira 3%-4% per
menit.
Untuk meningkatkan keselamatan dalam penggunaan defibrilator, selalu
memberitahu bahwa akan dilakukan kejutan listrik. Katakan dengan jelas sebelum
ingin melakukan kejutan listrik.
“Clear. Shocking”
Memeriksa kembali untuk memastikan tidak ada yang berkontak dengan
pasien dan peralatan
Lakukan pemeriksaan visual untuk memastikan ulang bahwa tidak ada yang
menyentuh pasien
Memastikan oksigen tidak mengalir ke dada pasien.
Saat melakukan kejut listrik, operator harus melihat wajah pasien, bukan
melihat ke mesin. Hal tersebut berguna untuk memastikan petugas CPR
dan yang lainnya tidak menyentuh pasien.
Setelah itu dilakukan pengulangan CPR yang dimulai
dengan kompresi dada, tidak perlu melakukan pemeriksaan
ritme jantung atau pemeriksaan nadi kecuali adanya respon
dan ROSC serta lakukan pemasangan Akses IV/IO.
Pemeriksaan ritme dilakukan setelah 2 menit setelah
dilakukan CPR. Pemeriksaan dari ritme tidak boleh lebih dari
10 detik. Apabila ritme diketahui dan nadi teraba, lakukan
penatalaksanaan post cardiac arrest. Apabila ritmenya non
shockable dan tidak teraba nadi, lakukan jalur asistole / PEA
pada Cardiac Arrest Algoritma. Apabila ritmenya shockable,
berikan 1 kejutan listrik dan lanjutkan CPR hingga 2 menit
setelah diberikan kejutan listrik.1
Setelah jalur IV/IO telah dipasang, berikan
epinephrine selama CPR setelah kejutan ke dua. Epinephrine
1 mg /IV atau IO. Diulang selama 3 hingga 5 menit.
Ephineprine digunakan selama resusitasi untuk
19
vasokonstriksi pembuluh darah sehingga meningkatkan
aliran darah ke otak dan arteri koroner dengan cara
meningkatkan MAP dan aortic pressure.
Setelah itu lakukan pengecheckan ulang dan
mengikuti jalur algoritma. Apabila hasil dari pemeriksaan
ritme, didapatkan shockable, dilanjutkan dengan langkah
nomor 8. berikan 1 kejutan listrik, CPR ulang hingga 2
menit. Berikan obat antiaritmia seperti amiodaron dan
lidokain.
Amiodaron 300mg IV/IO di injeksikan, lalu dapat
diberikan tambahan 150mg IV/IO. Amiodaron adalah
antiaritmmia kelas III yaitu memblok kanal sodium pada
pacemaker yang cepat. Lidokain dapat juga diberikan apabila
amiodaron tidak tersedia yaitu 1.5mg/Kg IV/IO pada dosis
pertama dan 0,5 hingga 0,75 mg/Kg IV/IO dengan interval 5
hingga 10 menit. Dengan dosis maksimum 3mg/kg. Lidokain
menekan konduksi otomatis pada jaringan di jantung dan
memblokade permeabilitas dari membran saraf untuk
menghambat ion sodium.
Rute masuk obat sangat penting dalam cardiac arrest.
Jalur yang bisa diberikan adalah rute intravena, intraosseus
dan endotracheal.
20
menit. Periksa ulang irama jantung.
21
BAB V
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Irfani QI. Bantuan Hidup Dasar. CDK. 2019. 46(6): 458-461.
2. Nugroho W, Muhammad A. Studi Grounded Theory: Pola
Penanganan Kejadian Henti Jantung Pada Keluarga. Jurnal Ilmu
Pendidikan Nonformal. 2022. 8(2): 831-840.
3. Willim HA. Ketaren I, Supit AI. Tatalaksana Pasca-Henti Jantung.
CDK. 2021. 48(7): 375-379.
4. Dewangga SY. Wirawan H. Yasmin DA. Gambaran Karakteristik
Pasien In Hospital Cardiac Arrest dan Luaran Pasca Resusitasi
Jantung Paru oleh Tim Code Blue di RSUP Sanglah. Intisari Sains
Medis. 2022. 13(1): 59-64.
5. Andersen LW, Holmberg MJ, Berg KM, Donnino MW. Granfeldt A.
In- Hospotal Cardiac Arrest: A Review. JAMA. 2019. 321(12): 1200-
1210.
6. Patel K, Hipkind JE. Cardiac Arrest. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
7. American Heart Association. Kejadian Penting American Heart
Association Tahun 2020: Pedoman CPR dan ECC.
https://cpr.heart.org/en/resuscitation-
science/cpr-and-ecc-guidlines/algorithms.
24