Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

IN HOSPITAL CARDIAC ARREST (IHCA)

Oleh:

Imam Sandi Pratama, S.Ked


712022005

Pembimbing:
dr. Susi Handayani, Sp, An, M.Sc., MARS

DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI


INTENSIFRUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH
PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PALEMBANG 2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
IN HOSPITAL CARDIAC ARREST (IHCA)

Oleh:
Imam Sandi Pratama, S.Ked
712022005

Telah dilaksanakan pada bulan Agustus 2023 sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Anestesioligi dan terapi
intensif Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Agustus 2023


Pembimbing

dr. Susi Handayani, Sp. An, M.sc ., MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“IN HOSPITAL CARDIAC ARREST (IHCA)” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Anestesiologi dan terapi intensif
Rumah sakit Muhammadiyah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Susi Handayani, Sp. An, M.Sc., MARS selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Anestesi Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan, arahan,
serta bimbingan dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan dokter muda atas kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus
ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu
pengetahuan kedokteran.

Palembang, Agustus 2023

iii
Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................
KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................
BAB I. LAPORAN KASUS...................................................................................
1.1 Identitas Pasien..........................................................................................
1.2 Anamnesis.................................................................................................
1.3 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................
1.4 Status Lokalis............................................................................................
1.5 Pemeriksaan penunjang ............................................................................
1.6 Diagnosa Banding.....................................................................................
1.7 Diagnosa Kerja..........................................................................................
1.8 Penatalaksanaan........................................................................................
1.9 Prognosis...................................................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
2.1 Appendicular infiltrate............................................................................
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi......................................................................
2.1.2 Definisi.............................................................................................
2.1.3 Epidemiologi....................................................................................
2.1.4 Etiologi.............................................................................................
2.1.5 Patofisiologi.....................................................................................
2.1.6 Manifestasi Klinis............................................................................
2.1.7 Pemeriksaan.....................................................................................
2.1.8 Diagnosis..........................................................................................
2.1.9 Tatalaksana......................................................................................
2.1.10 Komplikasi.......................................................................................
2.1.11 Prognosis..........................................................................................
BAB III. KESIMPULAN.....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cardiac Arrest atau Henti jantung merupakan salah satu keadaan
berhentinya fungsi mekanis jantung secara mendadak, yang dapat reversibel
dengan penanganan yang sesuai tetapi akan menyebabkan kematian apabila
tidak ditangani dengan segera.1
Henti jantung dibagi menjadi 2 yaitu shockable dan non shockable.
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian terbesar nomor satu di
dunia. Setiap tahun lebih dari 400.000 orang Amerika meninggal karena
kematian jantung mendadak Pada orang dewasa, penyakit jantung yang
paling sering ditemui ialah penyakit jantung koroner dan gagal jantung.
Kejadian henti jantung merupakan salah satu kondisi kegawat -
daruratan yang banyak terjadi di luar rumah sakit. Angka kematian akibat
henti jantung masih sangat tinggi baik di negara - negara maju maupun yang
masih berkembang Jika tindakan korektif tidak diambil dengan cepat,
kondisi ini berkembang menjadi kematian mendadak.
Kejadian henti jantung terjadi akibat hilangnya darah termasuk
oksigen di dalam otot jantung karena terhambatnya arteri koroner oleh
bekuan darah atau akibat kerja jantung dalam memompakan darah.
Penderita akan mengalami kehilangan kesadaran, pernapasan yang terhenti
dan nadi tidak teraba. Jika disaat kejadian henti jantung dalam waktu lebih
dari delapan menit tidak diketahui dan tidak segera di tangani, maka terjadi
kematian otak secara permanen dapat terjadi dan selanjutnya dapat
mengakibatkan kematian.2
Henti jantung seringkali merupakan keadaan akhir dari progresivitas
dan dekompensasi berbagai patofisiologi penyakit. Henti jantung dapat
terjadi di luar rumah sakit (Out Hospotal Cardiac Arrest- OHCA) ataupun
di dalam rumah sakit (In Hospital Cardiac Arrest- IHCA).3 IHCA penting
untuk diperhatikan karena berkaitan dengan mortalitas yang tinggi serta
menggambarkan sistem deteksi dini dan kecepatan respon rumah sakit

1
dalam menghadapi kejadian henti jantung.4
Upaya untuk mencegah henti jantung di Rumah Sakit memerlukan
sistem untuk mengidentifikasi pasien yang memburuk dan respons
intervensi yang tepat (misalnya tim respons yang cepat). Penatalaksanaan
selama serangan jantung meliputi kompresi dada, ventilasi, defibrilasi dini
(jika ada) dan perhatian segera terhadap penyebab yang berpoensi revesibel
seperti hiperkalemia atau hipoksia.5

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari penulisan laporan Kasus ini adalah sebagai
berikut:
1. Diharapkan semua dokter muda agar dapat memahami kasus mengenai
In Hospital Cardiac Arrest.
2. Diharapkan dikemudian hari semua dokter muda mampu mengenali dan
memberikan tatalaksana secara cepat dan tepat pada pasien In Hospital
Cardiac Arrest.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teotitis
1. Bagi Institusi
Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan mengenai In Hospital Cardiac Arrest.
2. Bagi Akademik
Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah referensi untuk
dilakukan karya ilmiah selanjutnya yang berhubungan dengan In
Hospital Cardiac Arrest.
1.3.2 Manfaat Praktis
1. Laporan Kasus ini diharapkan memberi pengetahuan kepada
pembaca mengenai In Hospital Cardiac Arrest.
2. Diharapkan dokter muda dapat mengimplementasikan ilmu yang
diperoleh dari laporan kasus ini dalam kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) dan diharapkan di kemudian hari dalam
praktik klinik.
2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Henti Jantung


2.1.1 Definisi
Menurut American Heart Association dan American College of
Cardiology, henti jantung adalah penghentian aktivitas jantung secara tiba-tiba
sehingga korban menjadi tidak responsif, tanpa pernapasan normal dan tidak
ada tanda-tanda sirkulasi. Jika tindakan tidak segera dilakukan dengan cepat,
kondisi ini akan menyebabkan kematian mendadak.6

2.1.2 Etilogi
Henti jantung biasanya disebabkan oleh penyakit jantung struktural
yang mendasarinya. 70% kasus serangan jantung dianggap karena penyakit
koronor iskemik. Penyebab struktural lain seperti gagal jantung kongestif,
hipertrofi ventrikel kiri, kelainan arteri koroner kongenital, displasia ventrikel
kanan aritmogenik, kardiomiopati obstruktif hipertrofik, dan temponade
jantung. Penyebab non struktural termasuk sindrom Brugada, sindrom Wolf-
Parkinson-White dan sindrom QT panjang bawaan.6
Ada banyak etiologi non-jantung termasuk perdarahan intrakranial,
emboli paru, pneumothoraks, henti napas primer, konsumsi racun termasuk
overdosis obat, kelainan elektrolit, infeksi berat (sepsis), hipotermia atau
trauma.6

2.1.3 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis cardiac arrest adalah sebagai berikut:5
a. Tidak teraba nadi di arteri (karotis, radialis maupun femoralis)
b. Pernapasan tidak normal, pada beberapa kasus pasien dapat bernapas
tidak normal meskipun jalan napas paten
c. Pasien tidak respon terhadap rangsangan verbal maupun nyeri

2.1.4 Penatalaksnaan

Aspek dasar pertolongan pada henti jantung mendadak adalah bantuan

4
hidup dasar (BHD), aktivasi sistem tanggap darurat, RJP sedini mungkin,
serta dengan defibrilasi cepat menggunakan defibrilator eksternal otomatis
atau automatic external defibrillator (AED). BHD di menit-menit awal dapat
meningkatkan angka bertahan hidup sebanyak 4% dan pada pasien napas
spontan sebesar 40%.1

Penatalaksanaan henti jantung perlu dilaksanakan secepatnya. Alur


penanganan henti jantung yang disebut chain of survival atau Rantai Bertahan
Hidup. Rantai Bertahan Hidup ini terdiri dari dua tipe, yaitu In Hospital
Cardiac Arrest (IHCA) atau kejadian henti jantung di rumah sakit dan Out of
Hospital Cardiac Arrest atau kejadian henti jantung di luar rumah sakit
(OHCA).7

Gambar 2.1 Rantai Bertahan Hidup untuk IHCA dan OHCA


Dewasa.7

2.2 Tatalaksana Henti Jantung di Rumah Sakit


2.2.1 Definisi
In Hospital Cardiac Arrest (IHCA) atau henti jantung di rumah sakit
merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa
apabila tidak mendapatkan penanganan segera.8

5
Henti jantung di rumah sakit atau In Hospital Cardiac Arrest (IHCA)
adalah peristiwa akut yang berpotensi mempengaruhi pasien yang di rawat
di rumah sakit. Henti jantung di rumah sakit didefinisikan sebagai hilangnya
sirkulasi yang mendorong resusitasi dengan kompresi dada, defibrilasi atau
keduanya.5

2.2.2 Alur Penanganan


Penanganan IHCA perlu diberikan perhatian khusus karena berkaitan
dengan sistem deteksi dini penurunan kondisi pasien dan tanggapan rumah
sakit dalam menghadapi kasus kegawatdaruratan. Pemberian resusitasi yang
berkualitas merupakan kunci keefektifan pertolongan pasien cardiac arrest
karena dapat mengurangi tingkat keparahan gejala sisa dan memberikan
prognosis yang lebih baik.9,10
1. Pengenalan kondisi henti jantung
Langkah pertama adalah pengenalan dini kondisi henti jantung.
Bersamaan dengan memeriksa tingkat kesadaran, diperiksa juga
pernapasan pasien, apakah pasien tidak bernapas atau bernapas tidak
normal (gasping). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan denyut nadi pada
orang dewasa dengan meraba arteri karotis < 10 detik, jika penolong
tidak merasakan adanya denyut nadi dalam periode waktu tersebut,
kompresi dada harus mulai dilakukan.7
Jika pernapasan tidak normal atau tidak bernapas, namun denyut
nadi masih teraba, berikan bantuan napas setiap 5-6 detik, dengan
volume tidal yang direkomendasikan 500-700 ml atau dada terlihat
mengembang. Hindari pemberian bantuan napas yang berlebihan. Nadi
pasien diperiksa setiap 2 menit.7
2. Aktivasi respon darurat
Apabila pasien tidak merespons dan tidak bernapas atau bernapas
tidak adekuat, maka harus dilakukan persiapan untuk dilakukannya
pertolongan pada pasien. pembentuan tim untuk persiapan resusitasi
pada pasien dan persiapan alat-alat yang dapat membantu proses
resusitasi.7

6
3. CPR Kualitas tinggi
Salah satu bagian dari bantuan hidup dasar adalah Resusitasi
Jantung Paru (RJP). Tindakan ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi
jantung sehingga mampu kembali memompa serta memperbaiki sirkulasi
darah di tubuh. Adapun langkah-langkah resusitasi jantung paru yaitu:7
a. Menganalisa situasi
Keamanan penolong menjadi prioritas untuk menghindari adanya
korban selanjutnya. Perhatikan situasi dan keadaan yang aman
untuk penolong dan korban.
b. Cek respon korban
Periksa keadaan korban dengan memberikan rangsangan nyeri
ataupun verbal. Pemeriksaan ini dilakukan setelah dipastikannya
lingkungan telah aman untuk penolong maupun korban.
Rangsangan verbal yang dilakukan bisa dengan memanggil korban
disertai menepuk bahu korban. Apabila tidak ada respon, penolong
bisa melakukan rangsangan nyeri, baik menekan kuku maupun di
bagian dada.
c. Meminta bantuan&aktifkan Emergency Medical Service (EMS)
Jika korban masih tidak memberikan respon, penolong segera
meminta bantuan dengan berteriak dan mengaktifkan sistem gawat
darurat atau EMS.
d. Memperbaiki posisi korban dan penolong
1) Posisikan korban supinasi atau terlentang dipermukaan yang
keras dan datar.
2) Memperbaiki posisi korban dengan cara log roll (kepala, leher
dan punggung digulingkan secara bersamaan).

7
e. Periksa airway (jalan napas)
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya
sumbatan pada jalan nafas yang disebabkan benda asing dalam
mulut, jika ada benda asing segera bersihkan lebih dulu, buka mulut
dengan menggunakan teknik cross finger. Jika sumbatan berbentuk
cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk dan jari tengah yang
dilapisi atau ditutupi sepotong kassa, sedangkan jika terdapat
sumbatan benda padat dapat dikeluarkan dengan menggunakan jari
telunjuk (finger sweep).8 Penolong menggunakan manuver head tilt
chin lift untuk membuka jalan napas korban jika tidak terdapat
trauma leher dan trauma kepala. Jika terdapat trauma leher dan
kepala yang dicurigai terdapat cedera spinal, jalan napas dapat
dibuka dengan manuver jaw thrust tanpa ekstensi kepala. Membuka
jalan napas dan mempertahankan kepatenannya merupakan hal yang

sangat penting dalam resusitasi jantung paru, gunakan head tilt chin
lift jika jaw thrust tidak dapat membuka jalan napas secara adekuat.11
Gambar 2. Airway

f. Breathing
Tindakan pemeriksaan pernafasan ini dilakukan dengan cara
melihat pergerakan dada (look), mendengarkan suara nafas (listen),
dan merasakan hembusan nafas pasien (feel) dengan mendekatkan
telinga penolong dengan hidung pasien, melihat pergerakan dinding
dada 5-6 detik. Jika tidak ada pernafasan segera beri nafas buatan

8
sebanyak 10-12 kali per menit (1 kali bantuan nafas, 5-6 detik).

g. Circulation
Memastikan adanya denyut nadi pasien dengan meletakkan jari
telunjuk dan jari tengah di nadi karotis pasien (di sisi kanan atau
kiri leher sekitar 1-2 cm dari thakhea) raba selama < 10 detik. Jika
nadi tidak teraba dan nafas tidak terasa lakukan resusitasi jantung
paru.
h. RJP yang berkualitas
1) Posisikan diri di samping korban
2) Pastikan posisi korban aman dan supinasi/terlentang
3) Letakkan kedua tangan (saling menumpuk), di prosessus
xyphoideus atau diantara kedua puting susu
4) Posisi penolong tegak lurus
Pemberian resusitasi jantung paru bisa dikatakan berkualitas
jika mencakup hal ini, yaitu tekan kuat (minimum 2 inch/5 cm)
dan kecepatannya (100-120 kali per menit) dan tunggu rekoil
dada selesai dengan sempurna, meminimalisir interupsi dalam
kompresi, menghindari ventilasi berlebihan, ganti kompresor/
penolong tiap 2 menit, namun boleh dilakukan < 2 menit jika
sudah mulai kelelahan, jika tidak ditemukannya suara napas
lanjutan, rasio kompresi ventilasi 30:2, kapnografi gelombang
kuantitatif, jika hasil PETCO2 rendah ataupun menurun, kaji
ulang kualitas RJP yang telah diberikan.
i. Recovery Position
Bila keadaan pasien sudah Kembali normal, posisikan pasien
dengan posisi pemulihan dengan tujuan dapat mencegah terjadinya
sumbatan saluran nafas jika terdapat cairan.

4. Defibrilasi
Defibrilasi dilakukan pada kondisi henti jantung mendadak yang
shockable yaitu pada VF/VT tanpa nadi. Setelah 5 siklus RJP atau 2

9
menit, segera lakukan penilaian apabila masih ditemukan VF/VT tanpa
nadi maka defibrilasi dapat segera dilanjutkan CPR 5 siklus atau 2 menit,
kemudian lakukan penilaian ulang. Penolong harus memeriksa denyut
nadi karotis bilamana ritme yang teratur telah kembali. Bilamana tidak
ada denyut nadi atau tidak ada indikasi shock dengan AED, RJP harus
dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima siklus.

Gambar 2.2 Algoritma BHL.7

Langkah-langkah pemasangan AED


a. Siapkan peralatan.
b. Segera setelah AED datang, nyalakan alat dan tempelkan elektroda
pads pada dada korban. Elektroda apex diletakan di prekordium kiri
dan sternum elektroda diletakan di infrascapular kanan.
c. Lihat monitor dan pastikan klinis penderita dan gambaran EKG
Ventrikel Fibrilasi/ Ventrikel takikardi.
d. Ikuti perintah suara dari AED. Pastikan tidak ada orang yang
menyentuh korban saat AED melakukan analisis irama jantung
e. Jika shock diindikasikan, pastikan tidak ada seorangpun yang

10
menyentuh korban. Lalu tekan tombol shock.
f. Segera lakukan kembali RJP.Setelah dilakukannya RJP 5 siklus atau
2 menit stop RJP dan lihat irama yang ada di monitor.

5. Perawatan pasca henti jantung


Perawatan pasca henti jantung dilakukan secara sistematis dan
berbasis multidisiplin ilmu untuk pasien setelah didapatkan kondisi
return of spontaneous circulation (ROSC). Perawatan pasca henti
jantung memiliki beberapa fase yang harus dijalani, yaitu fase stabilisasi
awal dan manajemen darurat tambahan dan berkelanjutan.7
A. Fase Stabilisasi Awal
Resusitasi tetap berlangsung selama fase pasca-ROSC, dan banyak
hal dari aktivitas ini dapat terjadi bersamaan. Akan tetapi, jika
memerlukan penentuan prioritas, ikuti langkah- langkah berikut.
1) Manajemen jalan napas: kapnografi gelombang atau
kapnometri untuk mengkonfirmasi dan memantau
penempatan pipa endotrakeal.
2) Manajemen parameter napas: titrasi FIO2 untuk SpO2 92%
- 98%; mulai dengan frekuensi napas 10 kali/menit, titrasi ke
PaCO2 sebesar 35-45 mmHg.
3) Manajemen parameter hemodinamik: berikan kristaloid
dan/atau vasopresor atau inotropik untuk mencapai tekanan
darah sistolik >90 mmHg atau mean arterial pressure >65
mmHg.

B. Manajemen Berkelanjutan dan Aktivitas Potensial Tambahan


Evaluasi ini harus dilakukan secara bersamaan sehingga
keputusan tentang manajemen suhu bertarget (TTM) menerima
prioritas tinggi sebagai intervensi jantung.7
1. Intervensi jantung potensial: evaluasi awal dari
elektrokardiogram 12 sadapan (EKG); pertimbangkan
hemodinamika untuk keputusan tentang intervensi jantung.
2. Targeted Temperature Management (TTM): jika pasien tidak

11
mengikuti perintah, mulai TTM sesegera mungkin; mulai
pada 32-360 C selama 24 jam menggunakan perangkat
pendinginan dengan feedback loop.
3. Manajemen perawatan kritis lainnya, seperti: pantau suhu inti
terus-menerus (esofageal, rektal, kemih). Pertahankan
normoxia, normokapnia, euglikemia. Lakukan pemantauan
elektroensefalogram (EEG) terus menerus atau berkala.
Berikan ventilasi yang tetap melindungi paru.

Gambar 2.4 Perawatan Pasca Henti Jantung

12
BAB III
LAPORAN KASUS

Wanita primigravida berusia 29 tahun dengan usia kehamilan 29 minggu datang


ke unit gawat darurat dengan keluhan utama kesulitan bernapas selama 1 jam
disertai dengan gangguan pernapasan. Pada pemeriksaan, parameter vital pasien
menunjukkan kondisi umum yang buruk, demam, dengan denyut jantung
140x/menit dan tekanan darah 150/90 mmHg. Selain itu, laju pernapasan
40x/menit dan SpO2 52%. Pada pemeriksaan sistem pernapasan menunjukkan
krepitasi yang luas dengan dahak berbusa berwarna merah muda. Pemeriksaan
lebih lanjut pada rontgen dada menunjukkan adanya sepsis dengan hipertensi
arteri pulmonalis yang parah dengan tekanan arteri pulmonalis 25 mmHg dengan
edema paru. Sementara itu, ekokardiografi 2-D pada pasien menunjukkan
penyakit jantung rematik dengan regurgitasi mitral. Injeksi furosemid 40 mg
diberikan secara stat dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif
(ICU) dengan dukungan oksigen 1,5 liter.

Di ICU, pasien menjadi mengantuk dan mengalami penurunan kesadaran.


Kode biru segera diaktifkan dan CPR segera dimulai oleh tim ahli anestesi,
dokter kandungan, dan komunitas keperawatan sesuai dengan protokol
bantuan hidup dasar (BHD). Pasien segera diintubasi, akses intravena
diperoleh dan injeksi adrenalin diberikan. Pasien diberikan kejut listrik arus
searah (DC) 200 Joule dan setelah 4 menit tidak ada kembalinya sirkulasi
spontan (ROSC). Histerotomi resusitasi dilakukan, dan setelah 8 menit
kelahiran bayi, terjadi kembalinya sirkulasi ibu secara spontan. Bayi
dipindahkan ke ICU neonatal. Pasien dipindahkan ke ruang operasi untuk
diselesaikan setelah perut dan rahim yang terbuka ditutup. Infus furosemid
injeksi dengan dosis 40 mg dimulai dan koreksi elektrolit diberikan. Selain
itu, pasien diberikan injeksi meropenem 1 g dan injeksi linezolid 600 mg
dan dipasangi inotrop dan ventilator. Dalam satu hari, hasil rontgen dada

13
yang diulang menunjukkan perbaikan pada komponen edema paru. Pada
hari ke-2, pasien mengalami takikardia ventrikel monomorfik dengan
tekanan darah 70/30 mmHg. Kejut DC diberikan dan CPR dimulai. Sesuai
dengan pendapat ahli jantung, pasien mulai diberikan injeksi amiodaron
drip 150 mg stat, diikuti dengan infus 1 mg/menit. Pasien dipantau dengan
EKG 12 jam sekali dan grafik tekanan darah per jam. Akhirnya, infus
amiodaron dihentikan dan keluarga pasien diberi tahu tentang perlunya
operasi penggantian katup dalam waktu dekat. Pasien dilanjutkan dengan
injeksi meropenem 1 g dan injeksi linezolid 600 mg.

14
BAB IV
PEMBAHASAN

Ringkasan: Wanita hamil 29 tahun mengalami penurunan ksadaran dan


takikardia ventrikel monomorfik dengan tekanan darah 70/30 mmHg
mengindikasikan adanya henti jantung karna……..

ANALISIS
Objektif
1. Untuk memahami
2. Untuk

Pertimbangan
Seorang Wanita hamil 29 tahun Wanita hamil 29 tahun mengalami
penurunan ksadaran dan takikardia ventrikel monomorfik dengan tekanan
darah 70/30 mmHg, yang mengarah pada kemungkinan henti jantung atau
cardiac arrest, hal ini membutuhkan Penanganan IHCA perlu diberikan
perhatian khusus karena berkaitan dengan sistem deteksi dini penurunan kondisi
pasien dan tanggapan rumah sakit dalam menghadapi kasus kegawatdaruratan.
Pemberian resusitasi yang berkualitas merupakan kunci keefektifan pertolongan
pasien cardiac arrest karena dapat mengurangi tingkat keparahan gejala sisa dan
memberikan prognosis yang lebih baik.

PENGENALAN DAN PENGAKTIFN CEPAT SISTEM TANGGAPAN


DARURAT
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas
kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban.
Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban
tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan
jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus memanggil bantuan terdekat
setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong juga

15
memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien
agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.

RESUSITASI PARU JANTUNG DINI


Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting
untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
 Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit dan
maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali / menit,
kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya interval
kompresi dada.
 Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan
kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi
maksimal diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman
kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari diameter
anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2
inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas (remaja), kedalam
kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping
korban jika korban berada di tempat tidur.
 Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama
melakukan siklus kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil dada
penuh dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan hal
tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah setiap
kompresi.
 Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
 Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai
cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
 Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali.

16
Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan
kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
 Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,
Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1
napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa,
anak-anak, dan bayi eseha tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan
 Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2
menit.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun
membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan
dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12
nafas/menit dan memeriksa denyut nadi esehat setiap 2
menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi
adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis
eseha, pasien bangun, atau petugas ahli eseha. Bila harus
terjadi interupsi, petugas esehatan sebaiknya tidak memakan
lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi
otomatis atau pemasangan advance airway.1

ALAT DEFIBRILASI
AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum tiba,
lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock
diberikan bila ada indikasi / instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan
program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi
shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP
selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi
shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus
langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang,
atau korban mulai bergerak.

CARDIAC ARREST VF/PULSELESS VT CASE

17
Pada algortima tersebut, dilakukannya tindakan sesuai dengan BLS (Basic Life
Support) yaitu pengaktifan respon emergensi, Melakukan CPR, Melakukan
manual defibrilator, dan pemberian shock pertama.
Tim ACLS datang dan melakukan intervensi dan tindakan yang dibutuhkan.
Ketua tim melakukan tindakan sesuai algoritma pada sisi kiri. Anggota tim harus
melakukan CPR hingga defibrilator datang dan siap diberikan kepada pasien.
Ketua tim bertanggung jawab untuk melakukan intervensi gangguan minimal
pada CPR.
Lakukan CPR saat defibrillator sedang charging. Interval antara kompresi terakhir
dan kejutan listrik bisa meningkatkan keselamatan pasien. Lakukan kejutan listrik
saat kompresor mengangkat tangan dan berkata “clear” yang menandakan tidak
berkontak dengan pasien. Berikan kejutan listrik sesuai dengan dosis energoi
yang akan dikeluarkan. Monopasik atau bipasik. Apabila monopasik, berikan
kejutan dengan enegri 360-J. apabila bipasik berikan dosis energi dengan range
tertentu. Apabila tidak mengetahui dosis kejutannya, berikan dosis maksimal
untuk pertama kali. Setelah dilakukan kejut listrik, langsung lakukan CPR dan
kompresi dada pada pasien selama 2 menit.
Pemberian defibrilator tidak memulai ulang jantung namun mengejutkan jantung
dan menghentikan segala aktivitas listrik pada jantung. Jantung masih dapat
berjalan terus dan timbulnya pacemaker normal menyatakan bahwa pasien ROSC.
Pada satu menit pertama setelah dilakukan defibrilation, ritme spontan biasanya
lambat dan tidak menimbulkan denyut yang adekuat atau tidak terdapat perfusi
yang adekuat. Pasien membutuhkan CPR (dimulai dengan kompresi dada)
beberapa menit hingga fungsi jantung kembali adekuat. Itulah mengapa
pentingnya melakukan CPR kualitas tinggi yang diawali dengan kompresi dada
setelah shock pertama.
jarak waktu collapse hingga dilakukannya defibrilatrion adalah determinan yang
sangat penting untuk menilai keselamatan dari korban. Semakin cepat waktunya,
semakin tinggi tingkat keselamatan pada korban. Pada VF, CPR dapat
menyalurkan sedikit darah ke jantung dan otak namun tidak bisa memperbaiki
irama jantung. Lebih awal diberikan kejut listrik, lebih tinggi tingkat keberhasilan
pasien. Pada kondisi VF.

18
Setiap menit yang berlalu antara kejadian tidak sadar hingga pemberia defibrilator
menurunkan kesempatan untuk selamat kira-kira 7% hingga 10% per menit
apabila tidak dilakukan CPR dan apabila dilakukan CPR, kira-kira 3%-4% per
menit.
Untuk meningkatkan keselamatan dalam penggunaan defibrilator, selalu
memberitahu bahwa akan dilakukan kejutan listrik. Katakan dengan jelas sebelum
ingin melakukan kejutan listrik.
“Clear. Shocking”
 Memeriksa kembali untuk memastikan tidak ada yang berkontak dengan
pasien dan peralatan
 Lakukan pemeriksaan visual untuk memastikan ulang bahwa tidak ada yang
menyentuh pasien
 Memastikan oksigen tidak mengalir ke dada pasien.
Saat melakukan kejut listrik, operator harus melihat wajah pasien, bukan
melihat ke mesin. Hal tersebut berguna untuk memastikan petugas CPR
dan yang lainnya tidak menyentuh pasien.
Setelah itu dilakukan pengulangan CPR yang dimulai
dengan kompresi dada, tidak perlu melakukan pemeriksaan
ritme jantung atau pemeriksaan nadi kecuali adanya respon
dan ROSC serta lakukan pemasangan Akses IV/IO.
Pemeriksaan ritme dilakukan setelah 2 menit setelah
dilakukan CPR. Pemeriksaan dari ritme tidak boleh lebih dari
10 detik. Apabila ritme diketahui dan nadi teraba, lakukan
penatalaksanaan post cardiac arrest. Apabila ritmenya non
shockable dan tidak teraba nadi, lakukan jalur asistole / PEA
pada Cardiac Arrest Algoritma. Apabila ritmenya shockable,
berikan 1 kejutan listrik dan lanjutkan CPR hingga 2 menit
setelah diberikan kejutan listrik.1
Setelah jalur IV/IO telah dipasang, berikan
epinephrine selama CPR setelah kejutan ke dua. Epinephrine
1 mg /IV atau IO. Diulang selama 3 hingga 5 menit.
Ephineprine digunakan selama resusitasi untuk

19
vasokonstriksi pembuluh darah sehingga meningkatkan
aliran darah ke otak dan arteri koroner dengan cara
meningkatkan MAP dan aortic pressure.
Setelah itu lakukan pengecheckan ulang dan
mengikuti jalur algoritma. Apabila hasil dari pemeriksaan
ritme, didapatkan shockable, dilanjutkan dengan langkah
nomor 8. berikan 1 kejutan listrik, CPR ulang hingga 2
menit. Berikan obat antiaritmia seperti amiodaron dan
lidokain.
Amiodaron 300mg IV/IO di injeksikan, lalu dapat
diberikan tambahan 150mg IV/IO. Amiodaron adalah
antiaritmmia kelas III yaitu memblok kanal sodium pada
pacemaker yang cepat. Lidokain dapat juga diberikan apabila
amiodaron tidak tersedia yaitu 1.5mg/Kg IV/IO pada dosis
pertama dan 0,5 hingga 0,75 mg/Kg IV/IO dengan interval 5
hingga 10 menit. Dengan dosis maksimum 3mg/kg. Lidokain
menekan konduksi otomatis pada jaringan di jantung dan
memblokade permeabilitas dari membran saraf untuk
menghambat ion sodium.
Rute masuk obat sangat penting dalam cardiac arrest.
Jalur yang bisa diberikan adalah rute intravena, intraosseus
dan endotracheal.

CARDIAC ARREST PULSELESS ACTIVITY CASE (PEA)


PEA tergabung dengan beberapa group ritme jantung yang terorganisiratau semi-
terorganisir namun nadi tidak teraba yaitu ritme idioventrikular, ventrikular
escape rhytms, sinus rhytms dan lain -lain.
Alur dari PEA, lakukan CPR kualitas tinggi pada korban, lakukan pemeriksaan
nadi dan ritme dalam waktu 10 detik. Pasangkan monitor pada korban, pasangkan
jalur IV/IO akses setelah pemasangan oksigen pada pasien. Setelah itu periksa
ulang nadi pasien selama 10 detik dan lakukan CPR. Berikan epinephrine setelah
jalur IV atau IO telah diberikan, ephinephrine diberikan 1 mgIV/IO, diulang 3 - 5

20
menit. Periksa ulang irama jantung.

CARDIAC ARREST ASYSTOLE CASE


Asistole adalah henti jantung yang diasosiasikan dengan tidak adanya tanda-tanda
aktivitas listrik (terdapat garis lurus pada gambaran ECG). sering mewakili dari
irama yang terakhir. Fungsi jantung tidak ada lagi sehingga listrik dan fungsi dari
jantung berhenti dan korban dinyatakan meninggal.
CPR dihentikan di lingkungan rumah sakit dengan berbagai faktor yaitu :
1. Waktu antara hilang kesadaran dengan CPR
2. Waktu antara hilang kesadaran dengan defribilasi pertama
3. Penyakit komorbid
4. Status pre-arrest
5. Irama awal
6. Respon terhadap resusitasi
7. ETCO2 kurang dari 10 setelah 20 menit CPR
CPR diluar rumah sakit dapat dihentikan apabila terjadi beberapa kondisi sebagai
berikut
1. ROCS
2. Transfer pasien kepada tenaga ahli yang lebih profesional
3. Adanya tanda-tanda kematian yang irreversible
4. Pelaku CRP kelelahan atau dapat menyebabkan bahaya pada diri sendiri
atau lingkungan sekitar
5. Adanya tanda DNAR.

21
BAB V
KESIMPULAN

1. In Hospital Cardiac Arrest (IHCA) atau henti jantung di rumah sakit


merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa
apabila tidak mendapatkan penanganan segera.
2. Tatalaksana yang diberikan adalah dengan memastikan respons, periksa nadi
dan pernapasan. Pasien dalam keadaan asistol segera lakukan bantuan hidup
dasar yaitu Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan kompresi dan ventilasi.
Jika tidak ada tanda ROSC berikan epinefrin dan kompresi kembali. Apabila
sudah ada tanda ROSC lanjutkan ke perawatan pasca henti jantung dengan
manajemen hemodinamik dan saluran napas.

22
DAFTAR PUSTAKA

23
1. Irfani QI. Bantuan Hidup Dasar. CDK. 2019. 46(6): 458-461.
2. Nugroho W, Muhammad A. Studi Grounded Theory: Pola
Penanganan Kejadian Henti Jantung Pada Keluarga. Jurnal Ilmu
Pendidikan Nonformal. 2022. 8(2): 831-840.
3. Willim HA. Ketaren I, Supit AI. Tatalaksana Pasca-Henti Jantung.
CDK. 2021. 48(7): 375-379.
4. Dewangga SY. Wirawan H. Yasmin DA. Gambaran Karakteristik
Pasien In Hospital Cardiac Arrest dan Luaran Pasca Resusitasi
Jantung Paru oleh Tim Code Blue di RSUP Sanglah. Intisari Sains
Medis. 2022. 13(1): 59-64.
5. Andersen LW, Holmberg MJ, Berg KM, Donnino MW. Granfeldt A.
In- Hospotal Cardiac Arrest: A Review. JAMA. 2019. 321(12): 1200-
1210.
6. Patel K, Hipkind JE. Cardiac Arrest. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
7. American Heart Association. Kejadian Penting American Heart
Association Tahun 2020: Pedoman CPR dan ECC.
https://cpr.heart.org/en/resuscitation-
science/cpr-and-ecc-guidlines/algorithms.

24

Anda mungkin juga menyukai