Disusun Oleh:
Pembimbing
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Hemoragic Post Partum” sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah
Palemvbang BARI Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita,
nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-
pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan............................................................................................2
1.3 Manfaat..............................................................................................................2
1.3.1 Manfaat Teoritis......................................................................................2
1.3.2 Manfaat Praktis........................................................................................2
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Manfaat
2.1 Definisi
Pendarahan Post partum didefinisikan sebagai perdarahan terukur
lebih dari 500 ml untuk persalinan pervaginam dan lebih dari 1000 ml untuk
persalinan sesar, yang terjadi dalam 24 jam pertama persalinan. Namun,
definisi ini tidak berfokus pada tanda dan gejala klinis perdarahan, oleh karena
itu, pada tahun 2017, American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) mengubah definisinya sebagai kehilangan darah lebih dari atau sama
dengan 1000 ml, atau kehilangan darah yang disertai dengan tanda atau gejala
hipovolemia yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran, terlepas dari dari cara
persalinan. Sebaliknya, Royal College of Obstetricians and Gynecologists
(RCOG) mendefinisikan perdarahan post partum menurut volume darah yang
hilang: minor (antara 500 dan 1000 ml) dan mayor (>1000 ml). Namun,
volume perkiraan kehilangan darah tetap tidak dapat diandalkan dalam banyak
kasus, dan oleh karena itu perhatian utama harus diarahkan pada status klinis
umum pasien. 5
Beberapa alat untuk penilaian kehilangan darah telah digunakan
sebagai estimasi yang akurat akan secara langsung mempengaruhi diagnosis
dan pengelolaan pada perdarahan post partum. Sebelumnya pengukuran jumlah
darah dilakukan dengan estimasi visual sebagai bagian dari penilaian
kehilangan darah, tetapi karena kurang akurat digunakanlah alat tambahan
untuk estimasi yang lebih objektif seperti pengukuran gravimetri, teknik
pengambilan darah langsung, dan evaluasi parameter klinis. Beberapa
guideline juga telah memasukkan indeks syok dan sistem peringatan dini
obstetrik ke dalam rekomendasi untuk mengevaluasi perdarahan post partum. 6
3
4
2.2 Epidemiologi
Perdarahan postpartum merupakan komplikasi kegawatdaruratan obstetrik
dengan persentase 1% -10% dari semua persalinan. Peradarahan post partum
terus menjadi penyebab obstetrik utama kematian ibu. Pada tahun 2015
terdapat lebih dari 80.000 ibu kematian di seluruh dunia akibat perdarahan
post partum. Distribusinya bervariasi di seluruh wilayah, dengan prevalensi
tertinggi 5,1%–25,7% dilaporkan di Afrika, diikuti oleh Amerika Utara sebesar
4,3%-13% dan Asia pada 1,9%–8%. Insiden PPH juga telah meningkat,2– 5
meningkat dari 5,1%–6,2% di Kanada antara 2003 dan 2010, dan dari 2,9%–
3,2% di AS antara 2010 dan 2014. 7
2.3 Etiologi
Penyebab perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi 4 T yaitu tone
(tonus; atonia uteri), tissue (jaringan; retensio plasenta dan sisa plasenta), tears
(laserasi; laserasi perineum, vagina, serviks dan uterus) dan thrombin
(koagulopati; gangguan pembekuan darah). Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan postpartum yaitu sebesar 70% dan sekaligus penyebab utama
kematia maternal. Trauma seperti laserasi, ruptura uteri dll. sebesar 20%, tisuue
(jaringan) seperti retensio plasenta, sisa plasenta sebesar 10% serta thrombin
(koagulopati) atau gangguan pembekuan darah seperti idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP), thombotic thrombocytopenic purpura,
penyakit von Willebrand dan hemofilia, menyumbang 1% sebagai penyebab
PPH.8
2.3.1 Tonus
Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk
berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi
serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta.
Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada
5
2.3.2 Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma
jalan lahir :9
a. Ruptur uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa
menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat
operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea
sebelumnya.
b. Inversi uterus
6
Pada inversi uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa
ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversi uterus dapat dibagi :
2.3.3 Tsissue
Retensio plasenta
Adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam 1/2 jam
setelah bayi ahir. 1,8
7
2.5 Diagnosis
Dapat disebut perdarahan post partum bila perdarahan terjadi sebelum,
selama, setelah plasenta lahir. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan
perdarahan postpartum :1
a. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
b. Penurunan tekanan darah
c. Peningkatan detak jantung
d. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
e. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum.
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan
syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi
terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok.
9
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Tatalaksana Awal Perdarahan Pasca Persalinan
Tatalaksana perdarahan postpartum secara umum bertujuan untuk
menghentikan perdarahan pervaginam pada pasien, mengembalikan
volume darah dan oxygen-carryng capacity. Tatalaksana yang dilakukan
11
pada akhir kehamilan, saat persalinan, dan pada masa nifas (reseptor
oksitosin di miometrium meningkat). Oksitosin bekerja pada rahim selama
20-30 menit. Pada pemberian secara intramuskular, efek oksitosin dapat
timbul lebih cepat daripada pemberian ergometrin secara intramuskular,
yaitu 3 menit. Sedangkan, untuk pemberian secara intravena, efek
oksitosin juga dapat timbul dalam waktu 1 menit. Pada keadaan darurat,
baik ergometrin atau oksitosin dapat diberikan secara intravena dan
efeknya dapat timbul dengan cepat. Namun, penggunaan kombinasi
oksitosin dan ergometrin memiliki efek samping (mual, muntah,
peningkatan tekanan darah) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan oksitosin saja.
Dosis awal oksitosin adalah 20-40 unit dalam 1000 ml larutan NaCl
0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 60 tpm dan diikuti dengan 10
unit intramuskular. Lanjutkan dengan infus oksitosin 20 unit dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 40 tpm
hingga perdarahan berhenti. Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan
intravena yang mengandung oksitosin. Bila tidak tersedia oksitosin,
berikan ergometrin dengan dosis 0,2 mg intramuskular atau intravena
bolus lambat dan dapat diikuti dengan pemberian 0,2 mg intramuskular
setelah 15 menit dan pemberian 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus
lambat setiap 4 jam bila diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5 dosis (1
mg). Jika perdarahan masih berlanjut, berikan asam traneksamat intravena
bolus selama 1 menit dan dapat diulang setelah 30 menit.11
Selain ergometrin dan oksitosin, dapat juga diberikan injeksi
prostaglandin secara intramuskular. Prostaglandin mematangkan serviks
dengan mengubah komposisi matriks ekstraselular, meningkatkan aktivitas
kolagenase dan elastase, meningkatkan konsentrasi glikosaminoglikan,
dermatan sulfat dan asam hyaluronat di serviks. Agen ini menyebabkan
relaksasi otot serviks dan meningkatkan kalsium intraselular sehingga
memfasilitasi kontraksi miometrium. Misoprostol merupakan analog
sintetik dari prostaglandin E1 alamiah. Agen ini diserap secara cepat
melalui peroral dengan bioavailabilitas melebihi 80%. Pemberian
misoprostol terbukti aman, ekonomis, dan efektif menurunkan insiden
14
Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBI, namun jika KBI tidak
berhasil dalam waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain sebagai
berikut :
1) Berikan 0,2 mg ergonletrin IM atau misoprostol 600-l000rncg per
rektal. Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena
ergometrin dapat menaikkan tekanan darah.
2) Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus
dan berikan 500 cc larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit
oksitosin. Jarum berdiameter besar memungkinkan pemberian cairan
IV secara cepat dan dapat dipakai untuk transfusi darah (bila perlu).
Oksitosin secara IV cepat merangsang kontraksi uterus. Ringer Laktat
diberikan untuk restorasi volume cairan yang hilang selama
perdarahan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi
KBI, karena KBI dengan ergometrin dan oksitosin akan membantu
uterus berkontraksi.
2) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera
rujuk ibu karena hal ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu
membutuhkan tindakan gawat darurat di fasilitas kesehatan rujukan
yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi darah.Sambil
membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infus
cairan hingga ibu tiba di tempat rujukan.
Kompresi Bimanual Eksternal
1) Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus
uteri dan di atas simfisis pubis.
2) Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang
korpus uteri, sejajar dengan dinding depan korpus uteri. Usahakan
untuk mencakup/memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan
depan dan belakang agar pembuluh darah di dalam anyaman
17
bawah rahim. Jahit sedekat mungkin dengan uterus karena ureter berada 1
cm dari uterus. Lakukan pada kedua sisi lateral. Jika mengenai arteri,
segera jepit dan ikat sampai perdarahan berhenti. Lakukan pula pengikatan
arteri utero-ovarika, yaitu dengan melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2
cm lateral bawah pangkal ligamentum suspensorium ovarii kiri dan kanan
agar upaya hemostasis berlangsung efektif, lakukan pada kedua sisi.
Berikan antibiotik profilaksis dan analgetik. Evaluasi keberhasilan ligasi
arteri uterina asendens adalah dengan menilai perdarahan, bukan menilai
kontraksi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah cedera pembuluh darah
(vasa uterina) atau ureter.
Ligasi arteri iliaka interna dilakukan untuk pasien yang masih ingin
memiliki anak, seperti pada ligasi arteri uterina. Ligasi dilakukan dengan
identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral
paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke
medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak
1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut
arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah
ligasi risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.13 B-lynch suture dikenal
juga dengan Brace Suture adalah metode untuk mengikat rahim dengan
tujuan untuk menghentikan perdarahan, tanpa harus mengangkat rahim.
Cara ini dipilih bila tes dengan manual kompresi berhasil menghentikan
perdarahan. Sebelum melakukan B- lynch suture, pastikan tidak ada sisa
plasenta atau selaput ketuban. Bentuk jahitan jelujur dimulai dari segmen
bawah rahim (uterus anterior) menuju corpus daerah anterior lalu fundal,
kemudian menuju corpus posterior sampai sejajar jahitan awal, jahitan
dilanjutkan ke samping atau ke sisi uterus yang lain, lalu menuju corpus
posterior menuju fundal sampai mencapai corpus anterior dan berakhir
20
pada segmen bawah rahim sejajar jahitan awal. Batas jahitan dari kedua
tepi uterus adalah 3-4 cm dari sisi kanan dan kiri.12
Histerektomi merupakan pilihan terakhir untuk perdarahan
postpartum. Histerektomi dilakukan jika perdarahan postpartum masif
tidak dapat diatasi dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa ibu. Indikasi
utama adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atonia uteri, ruptura
uteri, hematoma ligamentum latum, robekan serviks luas setelah tindakan
forseps, dan koriomanionitis. Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteri
uterine. 12
Terapi Bedasarkan Etiologi
Tatalaksana Atonia Uteri
Tatalaksana atonia uteri adalah pendekatan farmakologis
(pemberian agen uterotonika), pendekatan non-farmakologis tanpa
pembedahan (kompresi bimanual eksternal dan internal, kompresi aorta,
intrauterine packing), dan pendekatan pembedahan (konservatif dan
non-konservatif). Tatalaksana lanjutan untuk atonia uteri adalah :
1. Memposisikan pasien dalam posisi Trendelenburg, pasang oksigen
dan IV line
2. Pastikan plasenta lahir lengkap
3. Merangsang kontraksi uterus
2.8 komplikasi
Komplikasi perdarahan post partum primer yang paling berat yaitu syok.
Bila terjadi syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi komplikasi
lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam masa nifas. Infeksi dalam keadaan
anemia bisa berlangsung berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang disertai
oleh pembekuan intravaskuler merata dapat terjadi kegagalan fungsi organ-
organ seperti gagal ginjal mendadak 2 .
2.9 Prognosis
Perdarahan postpartum masih merupakan ancaman yang tidak terduga,
walaupun dengan pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan postpartum
masih merupakan salah satu sebab kematian ibu yang penting., 1
2.10 Pencegahan
Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak hamil dengan melakukan antenatal care yang rutin. Namun
pemantauan kondisi ibu selama kala III dan IV serta selalu siap untuk
menatalaksana perdarahan merupakan tindakan pencegahan yang sangat
penting. Meskipun berbagai faktor diketahui dapat meningkatkan resiko
perdarahan pascapersalinan, dua per tiga dari kasus perdarahan pascapersalinan
terjadi pada ibu tanpa faktor resiko tersebut atau tidak diketahui sebelumnya.
Tidak mudah memperkirakan ibu mana yang akan mengalami perdarahan.
Karena alasan tersebut, maka manajemen aktif kala III merupakan hal yang
sangat penting dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian ibu akibat
perdarahan pascapersalinan. 6
24
BAB 3
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
24
dalam William Obstetrics 22th edition. Philadelphia. McGrawHill.2005
p:635-663
11. Maria Fernanda Escobar et al., “FIGO Recommendations on the
Management of Postpartum Hemorrhage 2022,” International Journal of
Gynecology & Obstetrics 157, no. S1 (March 1, 2022): 3–50,
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/ijgo.14116.
12. Amelia Sylvi Wafda Nur, Asuhan Kebidanan Kasus Kompleks Maternal &
Neonatal (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2019).
13. William, F.R., Carey J.C. Perawatan Pasca Persalinan, dalam Obstetri &
Ginekologi, edisi pertama,. Jakarta: Widya Medika 2001: 200-209
24