Anda di halaman 1dari 31

Referat

HEMORAGIC POST PARTUM

Disusun Oleh:

Aninda Afrilia Aryani, S.Ked


NIM: 712021099

Pembimbing

dr. Asmar Dwi Agustine, Sp. OG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Referat dengan judul

HEMORAGIC POST PARTUM

Dipersiapkan dan disusun oleh:

Aninda Afrilia Aryani, S.Ked


NIM: 712021099

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang

Palembang, Agustus 2022


Pembimbing

dr. Asmar Dwi Agustine, Sp. OG


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Hemoragic Post Partum” sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah
Palemvbang BARI Salawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita,
nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-
pengikutnya sampai akhir zaman.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:

1. dr. Asmar Dwi Agustine, Sp. OG selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik


Senior di SMF/ Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah memberikan masukan,
arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian referat ini

2. Rekan-rekan dokter muda atas bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini


masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Palembang, Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan............................................................................................2
1.3 Manfaat..............................................................................................................2
1.3.1 Manfaat Teoritis......................................................................................2
1.3.2 Manfaat Praktis........................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3


2.1 Definisi........................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...............................................................................................4
2.3 Etiopatogenesis...........................................................................................4
2.4 Klasifikasi................................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
2.5 Manifestasi Klinis....................Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
2.6 Penatalaksanaan........................................................................................10
2.7 Komplikasi dan Prognosis.......Kesalahan! Bookmark tidak ditentukan.
2.8Pencegahan........................................Khan! Bookmark tidak ditentukan.
2.9

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka Kematian Ibu merupakan tolak ukur untuk menilai baik
buruknya pelayanan kebidanan dan sebagai indikator tingkat kesejahteraan
ibu. Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Ratio/ MMR) didasarkan pada
risiko kematian ibu berkaitan dengan proses melahirkan, persalinan,
perawatan obstetrik, komplikasi kehamilan dan masa nifas.1,2,3
Angka kematian ibu (AKI) pada tahun 2017 sangat tinggi. Sekitar
295.000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan serta saat
persalinan.4 Di Indonesia sendiri, 38 ibu meninggal setiap harinya akibat
penyakit/komplikasi terkait kehamilan dan persalinan.
Lima penyebab kematian ibu terbesar di Indonesia yaitu perdarahan,
hipertensi dalam kehamilan, infeksi, partus lama/macet, dan abortus.
Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama
kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi.
Persentase perdarahan sebesar 30,3 %, hipertensi 27,1%, dan infeksi 7,3%. 5
Penyebab perdarahan pada kehamilan yang penting adalah perdarahan
antepartum dan perdarahan postpartum.
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih
dari 500 mL setelah persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah
persalinan abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari
24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan
ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.1
Data statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari
kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000
kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian
maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000
kematian matenal tiap tahunnya. 4

1
2

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan referat ini adalah :
1. Lebih memahami mengenai hemoragic post partum.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukan diskusi
mengenai hemoragic post partum.

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi Institusi Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu


pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu
obstetric ginekologi

2. Bagi Akademik Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk


penulisan karya ilmiah selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Teoritis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh
dari referat ini sesuai dengan yang seharusnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pendarahan Post partum didefinisikan sebagai perdarahan terukur
lebih dari 500 ml untuk persalinan pervaginam dan lebih dari 1000 ml untuk
persalinan sesar, yang terjadi dalam 24 jam pertama persalinan. Namun,
definisi ini tidak berfokus pada tanda dan gejala klinis perdarahan, oleh karena
itu, pada tahun 2017, American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) mengubah definisinya sebagai kehilangan darah lebih dari atau sama
dengan 1000 ml, atau kehilangan darah yang disertai dengan tanda atau gejala
hipovolemia yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran, terlepas dari dari cara
persalinan. Sebaliknya, Royal College of Obstetricians and Gynecologists
(RCOG) mendefinisikan perdarahan post partum menurut volume darah yang
hilang: minor (antara 500 dan 1000 ml) dan mayor (>1000 ml). Namun,
volume perkiraan kehilangan darah tetap tidak dapat diandalkan dalam banyak
kasus, dan oleh karena itu perhatian utama harus diarahkan pada status klinis
umum pasien. 5
Beberapa alat untuk penilaian kehilangan darah telah digunakan
sebagai estimasi yang akurat akan secara langsung mempengaruhi diagnosis
dan pengelolaan pada perdarahan post partum. Sebelumnya pengukuran jumlah
darah dilakukan dengan estimasi visual sebagai bagian dari penilaian
kehilangan darah, tetapi karena kurang akurat digunakanlah alat tambahan
untuk estimasi yang lebih objektif seperti pengukuran gravimetri, teknik
pengambilan darah langsung, dan evaluasi parameter klinis. Beberapa
guideline juga telah memasukkan indeks syok dan sistem peringatan dini
obstetrik ke dalam rekomendasi untuk mengevaluasi perdarahan post partum. 6

3
4

2.2 Epidemiologi
Perdarahan postpartum merupakan komplikasi kegawatdaruratan obstetrik
dengan persentase 1% -10% dari semua persalinan. Peradarahan post partum
terus menjadi penyebab obstetrik utama kematian ibu. Pada tahun 2015
terdapat lebih dari 80.000 ibu kematian di seluruh dunia akibat perdarahan
post partum. Distribusinya bervariasi di seluruh wilayah, dengan prevalensi
tertinggi 5,1%–25,7% dilaporkan di Afrika, diikuti oleh Amerika Utara sebesar
4,3%-13% dan Asia pada 1,9%–8%. Insiden PPH juga telah meningkat,2– 5
meningkat dari 5,1%–6,2% di Kanada antara 2003 dan 2010, dan dari 2,9%–
3,2% di AS antara 2010 dan 2014. 7

2.3 Etiologi
Penyebab perdarahan postpartum dapat dibagi menjadi 4 T yaitu tone
(tonus; atonia uteri), tissue (jaringan; retensio plasenta dan sisa plasenta), tears
(laserasi; laserasi perineum, vagina, serviks dan uterus) dan thrombin
(koagulopati; gangguan pembekuan darah). Atonia uteri merupakan penyebab
utama perdarahan postpartum yaitu sebesar 70% dan sekaligus penyebab utama
kematia maternal. Trauma seperti laserasi, ruptura uteri dll. sebesar 20%, tisuue
(jaringan) seperti retensio plasenta, sisa plasenta sebesar 10% serta thrombin
(koagulopati) atau gangguan pembekuan darah seperti idiopathic
thrombocytopenic purpura (ITP), thombotic thrombocytopenic purpura,
penyakit von Willebrand dan hemofilia, menyumbang 1% sebagai penyebab
PPH.8

2.3.1 Tonus
 Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk
berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.
Perdarahan postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi
serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh
darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta.
Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada
5

perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada


palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala
III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah
dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas
dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan
postpartum.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi :
 Manipulasi uterus yang berlebihan,
 General anestesi (pada persalinan dengan operasi),
 Uterus yang teregang berlebihan :
o Kehamilan ganda
o Fetal macrosomia (berat janin antara 4500 – 5000 gram)
o Polyhydramnion
 Kehamilan lewat waktu
 Partus lama
 Grande multipara (fibrosis otot-otot uterus)
 Anestesi yang dalam
 Infeksi uterus (chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia)
 Plasenta previa

2.3.2 Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma
jalan lahir :9
a. Ruptur uterus
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa
menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat
operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea
sebelumnya.
b. Inversi uterus
6

Pada inversi uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa
ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversi uterus dapat dibagi :

- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar


dari ruang tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar
terletak diluar vagina.

c. Laserasi Traktus Genitalis


Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi karena robekan pada
saat proses persalinan baik normal maupun dengan tindakan, sehingga
inspeksi harus selalu dilakukan sesudah proses persalinan selesai
sehingga sumber perdarahan dapat dikendalikan. Tempat-tempat
perdarahan dapat terjadi di vulva, vagina, servik, porsio dan uterus.
Derajat Keterangan
Ruptur
Derajat I Laserasi pada lapisan eoitel vagina atau kulit perineum saja
Derajar II Mengenai otot perineum namun tidak mengenai sfingter ani
Derajat III Mengenai sfingter ani dan dibagi lagi menjadi tiga derajat yang
berbeda
Derajat III a Ruptur kurang dari 50% tebal sfingter ani eksterna
Derajat III b Ruptur lebih dari 50% tebal sfingter ani eksterna
Derajat III c Ruptur mengenai sfingter ani interna
Derajat IV Ruptur derajat 3 hingga mengenai lapisan epitel anus

2.3.3 Tsissue
 Retensio plasenta
Adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam 1/2 jam
setelah bayi ahir. 1,8
7

Hal-hal yang menyebabkannya adalah :


1. Plasenta belum dapat terlepas dari dinding rahim karena tumbuh
melekat di dalam, yang kemudian dibagi menjadi:
a. Plasenta adhesiva, yaitu pada desidua endometrium lebih
dalam
b. Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan
menembus desidua sampai miometrium
c. Plasenta akreta, yang lebih dalam menembus miometrium tapi
belum sampai menembus serosa
d. Plasenta perkreta, menembus hingga serosa atau peritoneum
dinding rahim.
2. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan
akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya
lingkaran kontriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan
penanganan kala III yang akan menghalangi plasenta keluar
(Plasenta inkarserata).

2.3.4 Trombin: koagulopati.


Dalam periode postpartum kelainan pada sistem koagulasi dan
pembekuan tidak selalu terjadi pada perdarahan yang banyak, hal ini
ditekankan efikasi dari kontraksi dan retraksi untuk mencegah
perdarahan. Endapan fibrin pada tempat plasenta, bekuan darah dan suply
pembuluh darah memegang peranan penting pada jam-jam dan hari-hari
setelah persalinan dimana kelainan pada area ini dapat mencetuskan
perdarahan pascasalin sekunder atau eksaserbasi perdarahan karena
penyebab lainnya dimana yang paling sering trauma8
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit
keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :
- Hipofibrinogenemia
- Trombocitopeni
- Idiopathic thrombocytopenic purpura
8

- HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low


platelet count )
- Disseminated Intravaskuler Coagulation

2.4 Faktor Resiko


Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan
faktor risiko paling besar untuk terjadinya perdarahan postpartum sehingga
segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya.
Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan postpartum :8
a. Grande multipara
b. Perpanjangan persalinan
c. Chorioamnionitis
d. Kehamilan multiple
e. Injeksi Magnesium sulfat
f. Perpanjangan pemberian oxytocin

2.5 Diagnosis
Dapat disebut perdarahan post partum bila perdarahan terjadi sebelum,
selama, setelah plasenta lahir. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan
perdarahan postpartum :1
a. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
b. Penurunan tekanan darah
c. Peningkatan detak jantung
d. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit)
e. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum.
Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan
syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi
terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok.
9

Tabel 1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post


Partum
Diagnosis Kerja Penyulit Gejala dan Tanda
Atonia uteri Syok Atonia uteri
Bekuan darah pada Uterus tidak
serviks atau posisi berkontraksi dan
telentang akan lembek.
menghambat aliran Perdarahan segera
darah keluar setelah anak lahir
Pucat Darah segar mengalir
Robekan jalan lahir Lemah segera setelah bayi lahir
Menggigil Uterus berkontraksi dan
  keras
Plasenta lengkap
Retensio plasenta Tali pusat putus akibat Plasenta belum lahir
traksi berlebihan setelah 30 menit
Inversio uteri akibat Perdarahan segera
tarikan Uterus berkontraksi dan
Perdarahan lanjutan keras
Retensi sisa plasenta Uterus berkontraksi Plasenta atau sebagian
tetapi tinggi fundus selaput tidak lengkap
tidak berkurang Perdarahan segera
Inversio uteri Neurogenik syok Uterus tidak teraba
Pucat dan limbung Lumen vagina terisi
massa
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
10

Endometritis atau sisa Anemia Sub-involusi uterus


fragmen plasenta Demam Nyeri tekan perut bawah
(terinfeksi atau tidak) dan pada uterus
Perdarahan sekunder

2.6 Peneriksaan penujang


a. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang
buruk.
 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak
periode antenatal.
 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan.
b. Pemeriksaan radiologi
 Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis
dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat
membantu untuk melihat adanya gumpalan darah dan retensi sisa
plasenta1,3.
 USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat
pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta
akreta dan variannya2, 5

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Tatalaksana Awal Perdarahan Pasca Persalinan
Tatalaksana perdarahan postpartum secara umum bertujuan untuk
menghentikan perdarahan pervaginam pada pasien, mengembalikan
volume darah dan oxygen-carryng capacity. Tatalaksana yang dilakukan
11

berupa penilaian kondisi ibu secara cepat, pemasangan infus, melakukan


crocc-match darah pasien serta mengatasi penyebab perdarahan pada
pasien.
Manajemen aktif persalinan kala III terbukti mencegah terjadinya
perdsrahan postpartum. Manajemen aktif persalinan kala III terdiri dari 3
tindakan yaitu injeksi oksitosin segera setelah bayi lahir, peregangan tali
pusat terkendali dan masase uterus pasca kelahiran plasenta. Prosesudr
penanganan perdarahan postpartum dapat disingkat dengan
HAEMOSTASIS. Tatalaksana ini terdiri dari tatalaksana awal diantaranya
meminta bantuan, memasang jalur intravena dengan kateter, mencari
etiologi dan melakukan massase uterus. Langkah selanjutnya adalah
memberikan obat-obatan berupa preparate uterotonika, diantaranya
oksitosin, metilergometrin, dan misoprostol. Oksitosin diberikan 10-20
unit dalam 500 ml RL 0,9% atau 10 IU intramuscular.
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1 diberikan dengan
dosis 600-1000 mcg dengan rute oemberian per oral, rektal atau vaginal.
Setelah memberikan tatalaksana obat, langkah selanjutnya adalah
memberikan tatalaksana konservatif non bedah seperti menyingkirkan
faktor sisa plasenta atau robekan jalan lahir, melakukan kompresi
bimanual atau kompresi aorta abdominal serta memasang tampon uterus
vagina dan kondom kateter.
Tabel 2. Langkah HAEMOSTASIS untuk tatalaksana perdarahan
postpartum

H Meminta pertolongan Langkah Awal


A Akses vena dengan kateter ukuran besar (18G)
dan cairan kristaloid (NaCl atau Ringer Laktat)
serta transfuse
E Etiologi dan preparate uterotonic
M Masase uterus
O Preparat uterotonic dan misoprostol Obat-obatan
S Persiapan kamar operasi. Singkirkan faktor sisa Konservatif non-bedah
plasenta, robekan jalan lahir, kompresi
12

bimanual dan kompresi aorta abdominal


T Tampon uterus vagina, kondom kateter
A Kompresi uteru (bedah), Teknik B-Lynch Konservatif bedah
S Devaskularisasi system perdarahan pelvis
I Embolisasi arteri uteri dengan radiologi
intervensi
S Histerektomi subtotal/total Langkah Akhir

Langkah selanjutnya dari tatalaksana perdarahan postpartum adalah


melakukan tatalaksana konservatif bedah, yakni metode kompresi uterus
dengan teknik B-Lynch, devaskularisasi system perdarahan pelvis atau
embolisasi arteri uterine dengan radiologi intervensi. Langkah terakhir
adalah melakukan histerektomi subtotal atau total.
2.7.2 Terapi Farmakologi
Dua jenis obat yang paling sering digunakan adalah ergometrin 0,5
mg dan oksitosin 5 unit. Kombinasi dari kedua obat tersebut adalah
syntometrine. Ergometrin dapat menyebabkan timbulnya kontraksi tonik
pada rahim. Selain itu, ergometrin juga bersifat vasokonstriktor.
Penggunaan ergometrin pada kala III persalinan dinyatakan efektif
mengurangi perdarahan, insiden perdarahan postpartum, dan penggunaan
uterotonik terapeutik. Ergometrin dapat menyebabkan nyeri setelah
persalinan yang membutuhkan analgetik secara intravena. Ergometrin juga
dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah, terutama jika diberikan
secara intravena. Oleh sebab itu, merupakan kontraindikasi untuk
diberikan pada pasien dengan hipertensi, preeklampsia dan eklampsia.
Ergometrin dapat bekerja mempengaruhi rahim selama 2-3 jam. Pada
pemberian secara intramuskular, efek ergometrin dapat timbul dalam
waktu 7 menit, sedangakan jika diberikan secara intravena hanya
dibutuhkan waktu 1 menit untuk mendapatkan efeknya. Ergometrin
terasosiasi dengan lebih banyak tindakan pengeluaran manual plasenta.
Oksitosin sintetik dapat menimbulkan kontraksi rahim yang bersifat
ritmik. Oksitosin tidak memiliki efek sistemik pada dosis terapeutik.
Oksitosin merangsang otot polos uterus untuk berkonntraksi lebih kuat
13

pada akhir kehamilan, saat persalinan, dan pada masa nifas (reseptor
oksitosin di miometrium meningkat). Oksitosin bekerja pada rahim selama
20-30 menit. Pada pemberian secara intramuskular, efek oksitosin dapat
timbul lebih cepat daripada pemberian ergometrin secara intramuskular,
yaitu 3 menit. Sedangkan, untuk pemberian secara intravena, efek
oksitosin juga dapat timbul dalam waktu 1 menit. Pada keadaan darurat,
baik ergometrin atau oksitosin dapat diberikan secara intravena dan
efeknya dapat timbul dengan cepat. Namun, penggunaan kombinasi
oksitosin dan ergometrin memiliki efek samping (mual, muntah,
peningkatan tekanan darah) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan oksitosin saja.
Dosis awal oksitosin adalah 20-40 unit dalam 1000 ml larutan NaCl
0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 60 tpm dan diikuti dengan 10
unit intramuskular. Lanjutkan dengan infus oksitosin 20 unit dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9% atau Ringer Lactate dengan kecepatan 40 tpm
hingga perdarahan berhenti. Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan
intravena yang mengandung oksitosin. Bila tidak tersedia oksitosin,
berikan ergometrin dengan dosis 0,2 mg intramuskular atau intravena
bolus lambat dan dapat diikuti dengan pemberian 0,2 mg intramuskular
setelah 15 menit dan pemberian 0,2 mg intramuskular atau intravena bolus
lambat setiap 4 jam bila diperlukan. Jangan berikan lebih dari 5 dosis (1
mg). Jika perdarahan masih berlanjut, berikan asam traneksamat intravena
bolus selama 1 menit dan dapat diulang setelah 30 menit.11
Selain ergometrin dan oksitosin, dapat juga diberikan injeksi
prostaglandin secara intramuskular. Prostaglandin mematangkan serviks
dengan mengubah komposisi matriks ekstraselular, meningkatkan aktivitas
kolagenase dan elastase, meningkatkan konsentrasi glikosaminoglikan,
dermatan sulfat dan asam hyaluronat di serviks. Agen ini menyebabkan
relaksasi otot serviks dan meningkatkan kalsium intraselular sehingga
memfasilitasi kontraksi miometrium. Misoprostol merupakan analog
sintetik dari prostaglandin E1 alamiah. Agen ini diserap secara cepat
melalui peroral dengan bioavailabilitas melebihi 80%. Pemberian
misoprostol terbukti aman, ekonomis, dan efektif menurunkan insiden
14

perdarahan postpartum. Efek samping dari misoprostol antara lain pireksia


sementara, mual, dan muntah. Jika rahim terus gagal berkontraksi setelah
pemberian obat-obat yang bersifat oksitoksik, rahim telah kosong, dan
tidak ada tanda-tanda trauma jalan lahir, prostaglandin karboprost
(Hemabate) dapat diberikan dengan dosis 250 mikrogram dan dapat
diulang pemberiannya.
Untuk mengatasi infeksi atau mencegah terjadinya infeksi, dapat

diberikan antibiotika spektrum luas dan anti bakteri anaerob seperti

metronidazole. Antibiotika profilaksis dapat diberikan dengan dosis


tunggal. Antibiotika profilaksis yang paling sering digunakan adalah
ampisillin 2 gram intravena dan metronidazole 500 mg intravena.11

2.7.3 Terapi non-farmakologi


Selain obat-obatan yang membantu kontraksi rahim, dapat dilakukan
tindakan untuk membantu mengganti cairan yang hilang, yaitu dengan
pemberian infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Lactate atau Ringer
Acetate) sesuai dengan kondisi pasien. Resusitasi cairan sebelum darah
tersedia harus dilakukan sesegera mungkin dengan infus kristaloid dan
koloid sampai 3,5L (2L kristaloid dan atau 1-2L koloid). Prinsip utama
yang harus dipikirkan dalam resusitasi cairan kristaloid adalah hanya 20%
dari jumlah cairan yang akan tetap bertahan dalam intravascular dalam 1
jam setelah pemberian sehingga volume kristaloid yang harus diberikan
sekitar tiga kali lipat dari jumlah volume estimasi perdarahan
Perlu juga dilakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan yang
terjadi yaitu evakuasi rahim, kompresi rahim bimanual,
pemasangantampon rahim, transfuse darah, ligase arteri uterine dan
histerektomi. Evakuasi rahim dilakukan jika setelah eksplorasi rahim
ditemukan adanya hasil konsepsi yang tertinggal. Hasil konsepsi yang
tertinggal dibersihkan, dikeluarkan dari rahim. Jika plasenta masih utuh
tertinggal di dalam rahim 30 menit setelah bayi lahir, dapat dikeluarkan
dengan cara manual plasenta. Jika hanya sebagian plasenta atau selaput
15

ketuban yang tertinggal, dapat dibersihkan dengan cara pembersihan


manual digital atau dengan kuretase. Kompresi rahim dimanual dapat
dilakukan setelah menyingkirkan kemungkinan plasenta tidak lengkap dan
trauma pada jalan lahir. Kompresi bimanual terbagi menjadi 2 yaitu
kompresi bimanual interna dan eskterna. Langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
Kompresi bimanual internal
1) Pakai sarung tangan disinfeks tingkat tinggi atau steril, dengan lembut
masukkan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari) melalui
introitus dan ke dalam vagina ibu.
2) Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah
pada kavum uteri mungkin hal ini menyehabkan uterus tidak dapat
berkontraksi secara penuh
3) Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan
dinding anterior uterus, ke arah tangan luar yang menahan dan
mendorong dinding posterior uterus ke arah depan sehingga uterus
ditekan dan arah depan dan belakang.
4) Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini
memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka
(bekas implantasi plasenta) di dinding uterus dan juga merangsang
miometrium untuk berkontraksi.
5) Evaluasi keberhasilan:
- Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan
melakukan KBI selama dua menit, kemudian perlahan-lahan
keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat selama kala empat.
- Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan masih berlangsung, periksa
ulang perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika
demikian, segera lakukan penjahitan untuk menghentikan perdarahan
- Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga
untuk melakukan kompresi bimanual eksternal, kemudian lakukan
langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta
keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
16

Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBI, namun jika KBI tidak
berhasil dalam waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain sebagai
berikut :
1) Berikan 0,2 mg ergonletrin IM atau misoprostol 600-l000rncg per
rektal. Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena
ergometrin dapat menaikkan tekanan darah.
2) Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus
dan berikan 500 cc larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit
oksitosin. Jarum berdiameter besar memungkinkan pemberian cairan
IV secara cepat dan dapat dipakai untuk transfusi darah (bila perlu).
Oksitosin secara IV cepat merangsang kontraksi uterus. Ringer Laktat
diberikan untuk restorasi volume cairan yang hilang selama
perdarahan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi
KBI, karena KBI dengan ergometrin dan oksitosin akan membantu
uterus berkontraksi.
2) Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera
rujuk ibu karena hal ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu
membutuhkan tindakan gawat darurat di fasilitas kesehatan rujukan
yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi darah.Sambil
membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infus
cairan hingga ibu tiba di tempat rujukan.
Kompresi Bimanual Eksternal
1) Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus
uteri dan di atas simfisis pubis.
2) Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang
korpus uteri, sejajar dengan dinding depan korpus uteri. Usahakan
untuk mencakup/memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan
depan dan belakang agar pembuluh darah di dalam anyaman
17

miometrium dapat dijepit secara manual. Cara ini dapat menjepit


pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk berkontraksi.

Pada keadaan tertentu, masih diperlukan pemasangan tampon kasa di


rahim. Tampon biasanya dibiarkan di dalam rahim selama 12 jam. Jika
setelah itu kontraksi tetap tidak terjadi, maka histerektomi harus dilakukan.
Keadaan pasien kemungkinan besar sudah berada dalam kondisi yang
serius dan keputusan untuk operasi sulit dibuat, namun harus dilakukan
sesegera mungkin, jangan sampai terlambat melakukan penanganan. Pada
kasus perdarahan yang berkelanjutan, adanya gangguan pembekuan darah
harus disingkirkan. .1
Dapat juga digunakan kondom sebagai pengganti tampon kasa.
Kondom diikat pada kateter, dimasukkan ke dalam cavum uteri, dan diisi
cairan fisiologis sebanyak 250-500ml atau sesuai kebutuhan. Lakukan
observasi perdarahan dan stop pengisian cairan setelah perdarahan
berkurang. Untuk menjaga agar kondom tetap di dalam vagina, dapat
digunakan tampon kasa gulung. Bila perdarahan berlanjut, tampon kasa
akan basah dan darah keluar dari introitus vagina. Kontraktilitas uterus
dijaga dengan pemberian drip oksitosin paling tidak sampai dengan 6 jam
kemudian. Diberikan antibiotika tripel, Amoxicillin, Metronidazole dan
Gentamycin. Kondom kateter dilepas 24 – 48 jam kemudian, pada kasus
dengan perdarahan berat kondom dapat dipertahankan lebih lama.1
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut
dan diperkirakan akan melebihi 2000cc atau keadaan klinis pasien
18

menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.


Terdapat kontroversi mengenai kadar hematokrit atau hemoglobin dimana
transfusi darah harus diberikan, namun menurut konsensus yang ada
transfusi darah direkomendasikan pada wanita yang mengalami
perdarahan secara akut dengan hematokrit dibawah 25% dan tidak
diberikan pada wanita anemia sedang dengan kondisi klinis yang stabil.
Gambaran klinis merupakan indikasi utama untuk menentukan perlu-
tidaknya transfusi darah dan tidak perlu membuang waktu untuk
menunggu hasil laboratorium. Whole blood yang kompatibel merupakan
produk yang ideal utnuk penanganan hypovolemia akibat perdarahan masif
yang akut karena dengan whole blood tidak hanya mengembalikan
hypovolemia tetapi juga faktor koagulasi (terutama fibrinogen). Pedoman
transfuse darah dari British Committee for Standards in Haematology dari
penanganan perdarahan masif, antara lain hemoglobin > 8 g/dL, trombosit
> 75x103/L, prothrombin time (PT) < 1,5 x mean kontrol, activated
prothrombin time (aPTT) < 1,5 x mean kontrol, dan fibrinogen > 150
mg/dL. PRC (packed red cells) digunakan dengan komponen darah lain
dan diberikan jika terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan
2-4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan
untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang
dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi dengan
menambahkan 100cc normal saline pada masing-masing unit.5
Tindakan pembedahan (laparotomi) merupakan pilihan tindakan yang
dapat dilakukan apabila pemberian agen uterotonika dengan atau tanpa
balloon tamponade tidak dapat menghentikan perdarahan. Tindakan
pembedahan konservatif meliputi B-Lynch suture dan ligasi arteri (arteri
uterine atau arteri iliaka interna), sedangkan tindakan non- konservatif
adalah histerektomi. Tindakan pembedahan konservatif adalah tindakan
pembedahan yang mempertahankan uterus, sedangkan tindakan
pembedahan non-konservatif adalah tindakan pembedahan yang tidak
mempertahankan uterus.
Ligasi arteri uterina asendens bertujuan untuk menurunkan aliran
darah uterus. Arteri uterina berada di perbatasan antara serviks dan segmen
19

bawah rahim. Jahit sedekat mungkin dengan uterus karena ureter berada 1
cm dari uterus. Lakukan pada kedua sisi lateral. Jika mengenai arteri,
segera jepit dan ikat sampai perdarahan berhenti. Lakukan pula pengikatan
arteri utero-ovarika, yaitu dengan melakukan pengikatan pada 1 jari atau 2
cm lateral bawah pangkal ligamentum suspensorium ovarii kiri dan kanan
agar upaya hemostasis berlangsung efektif, lakukan pada kedua sisi.
Berikan antibiotik profilaksis dan analgetik. Evaluasi keberhasilan ligasi
arteri uterina asendens adalah dengan menilai perdarahan, bukan menilai
kontraksi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah cedera pembuluh darah
(vasa uterina) atau ureter.
Ligasi arteri iliaka interna dilakukan untuk pasien yang masih ingin
memiliki anak, seperti pada ligasi arteri uterina. Ligasi dilakukan dengan
identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral
paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke
medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka
interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak
1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut
arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah
ligasi risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.13 B-lynch suture dikenal
juga dengan Brace Suture adalah metode untuk mengikat rahim dengan
tujuan untuk menghentikan perdarahan, tanpa harus mengangkat rahim.
Cara ini dipilih bila tes dengan manual kompresi berhasil menghentikan
perdarahan. Sebelum melakukan B- lynch suture, pastikan tidak ada sisa
plasenta atau selaput ketuban. Bentuk jahitan jelujur dimulai dari segmen
bawah rahim (uterus anterior) menuju corpus daerah anterior lalu fundal,
kemudian menuju corpus posterior sampai sejajar jahitan awal, jahitan
dilanjutkan ke samping atau ke sisi uterus yang lain, lalu menuju corpus
posterior menuju fundal sampai mencapai corpus anterior dan berakhir
20

pada segmen bawah rahim sejajar jahitan awal. Batas jahitan dari kedua
tepi uterus adalah 3-4 cm dari sisi kanan dan kiri.12
Histerektomi merupakan pilihan terakhir untuk perdarahan
postpartum. Histerektomi dilakukan jika perdarahan postpartum masif
tidak dapat diatasi dengan tujuan untuk menyelamatkan jiwa ibu. Indikasi
utama adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atonia uteri, ruptura
uteri, hematoma ligamentum latum, robekan serviks luas setelah tindakan
forseps, dan koriomanionitis. Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteri
uterine. 12
Terapi Bedasarkan Etiologi
 Tatalaksana Atonia Uteri
Tatalaksana atonia uteri adalah pendekatan farmakologis
(pemberian agen uterotonika), pendekatan non-farmakologis tanpa
pembedahan (kompresi bimanual eksternal dan internal, kompresi aorta,
intrauterine packing), dan pendekatan pembedahan (konservatif dan
non-konservatif). Tatalaksana lanjutan untuk atonia uteri adalah :
1. Memposisikan pasien dalam posisi Trendelenburg, pasang oksigen
dan IV line
2. Pastikan plasenta lahir lengkap
3. Merangsang kontraksi uterus

a. Masase fundus uteri dan merangsang putting susu


b. Pemberian oksitosin dan turunan ergometrin secara IM atau IV
c. Pemberian derivate prostaglandin
d. Pemberian misoprostol 800-1000 mikrogram per rectal
e. Kompresi bimanual eksterna atau interna
f. Kompresi aorta abdominal
g. Pemasangan tampon kondom
h. Bila tindakan diatas gagal, dilakukan laparotomi. Baik dengan
mempertahankan uterus maupun histerektomi
21

Jika atonia uteri menyebabkan inversion uteri, yang dapat


dilakukan
adalah :

1. Tegakkan diagnosis inverion uteri terlebih dahulu


2. Melakukan pemasangan IV line
3. Jika terjadi syok, segera lakukan penanganan syok
4. Bila perlu diberikan tokolitik /MgSo4 untuk melemaskan uterus
yang terbalik sebelum reposisi manual dengan cara mendorong
endometrium ke atas masuk ke dalam vagina.
5. Plasenta dilepaskan di dalam uterus secara manual kemudian
dikeluarkan. Sambil memberikan uterotonika secara intravena atau
intramuscular, tangan tetap dipertahankan didalam hingga uterus
kembali normal.
6. Antibiotik dan transfuse drah sesuai keperluan
7. Jika uterus tidak dapat kembali pada posisi semua, maka perlu
dilakukan laparatomi. 1
 Tatalaksana Retensio Plasenta
1. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan
tindakan yang akan diambil
2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila
ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat
3. Pasang infus oksitosin 20 unit dalam 500 cc RL dengan 40 tetesan
permenit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg
rektal (sebaiknya tidak mengunakan ergometrin karena kontraksi
tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam
cavum uteri)
4. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan
manual plasenta secara hati-hati dan halus (melepaskan plasenta
yang melekat erat secara paksa, dapat menyebabkan perdarahan atau
perforasi)
22

5. Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia


6. Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan
7. Beri antibiotika profilaksis (Ampisilin 2 g IV/oral + Metronidazol 1
supositoria/oral)
8. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, dan
syok neurogenik. 13
 Tatalaksana Sisa Plasenta
Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala
metritis. Antibiotika yang dipilih adalah Ampisilin dosis awal 1 g IV
dilanjutkan dengan 3x1 g oral dikombinasi dengan Metronidazol 1 g
supositoria dilanjutkan 3x500 mg oral. Dengan dipayungi antibiotika
tersebut, lakukan eksplorasi digital ( bila serviks terbuka ) dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat
dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi
dan kuretase. Bila kadar Hb < 8 g% berikan tranfusi darah, bila kadar
Hb > 8 g% berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari
 Tatalaksana Truma Jalan Lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus
sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut.
Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir
dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah
diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak
luka dan berakhir dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan
setelah penjahitan selesai.
Hematoma jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi
laserasi pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa
dilakukan insisi dan drainase. Apabila hematom sangat besar curiga
sumber hematoma karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi untuk
menghentikan perdarahan.7
 Tatalaksana Ganguan pembekuan darah
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya ruptur uteri,
sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang
23

baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan


pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian product darah
pengganti (trombosit, fibrinogen).11

2.8 komplikasi
Komplikasi perdarahan post partum primer yang paling berat yaitu syok.
Bila terjadi syok yang berat dan pasien selamat, dapat terjadi komplikasi
lanjutan yaitu anemia dan infeksi dalam masa nifas. Infeksi dalam keadaan
anemia bisa berlangsung berat sampai sepsis. Pada perdarahan yang disertai
oleh pembekuan intravaskuler merata dapat terjadi kegagalan fungsi organ-
organ seperti gagal ginjal mendadak 2 .

2.9 Prognosis
Perdarahan postpartum masih merupakan ancaman yang tidak terduga,
walaupun dengan pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan postpartum
masih merupakan salah satu sebab kematian ibu yang penting., 1

2.10 Pencegahan
Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak hamil dengan melakukan antenatal care yang rutin. Namun
pemantauan kondisi ibu selama kala III dan IV serta selalu siap untuk
menatalaksana perdarahan merupakan tindakan pencegahan yang sangat
penting. Meskipun berbagai faktor diketahui dapat meningkatkan resiko
perdarahan pascapersalinan, dua per tiga dari kasus perdarahan pascapersalinan
terjadi pada ibu tanpa faktor resiko tersebut atau tidak diketahui sebelumnya.
Tidak mudah memperkirakan ibu mana yang akan mengalami perdarahan.
Karena alasan tersebut, maka manajemen aktif kala III merupakan hal yang
sangat penting dalam upaya menurunkan kesakitan dan kematian ibu akibat
perdarahan pascapersalinan. 6
24
BAB 3
KESIMPULAN

Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi


setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 ml setelah prsalinan
abdominal. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menetukan
jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan
sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan perubahan
tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin,
menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi
>100/menit, kadar Hb >8 g /dL.Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum
dapat disebabkan oleh Atonia uteri, Robekan (laserasi, luka) jalan lahir. retensio
plasenta dan sisa plasenta, Gangguan pembekuan darah (koagulopati).Gejala
klinis yang ditemui adalah Perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah
bayi lahir.,Pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, denyut
nadi cepat dan halus, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-
lain.Penatalaksanaan :Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer laktat
Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell Evaluasi
pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan perfusi cairan ke
ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, S. 2016. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2. Sharma G. 2014. Maternal, Perinatal and Neonatal Mortality in South-East
Asia Region. 3. Asian Journal of Epidemiology 5; p. 1-14.
3. Rahman, Myers, Gillham. 2008. Postpartum hemorrhage secondary to
uterine atony, complicated by platelet storage pool disease and partial
placenta diffusa: a case report.
4. WHO, 2019. Fact Sheets: Maternal Mortality. https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/maternal-mortality. Diakses pada tanggal 1 Februari
2021.
5. Maria Fernanda Escobar et al., “FIGO Recommendations on the
Management of Postpartum Hemorrhage 2022,” International Journal of
Gynecology & Obstetrics 157, no. S1 (March 1, 2022): 3–50,
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/ijgo.14116.
6. Escobar, Maria Fernanda, Anwar H Nassar, Gerhard Theron, Eythan R
Barnea, Wanda Nicholson, Diana Ramasauskaite, Isabel Lloyd, et al. “FIGO
Recommendations on the Management of Postpartum Hemorrhage 2022.”
International Journal of Gynecology & Obstetrics 157, no. S1 (March 1,
2022): 3–50. https://doi.org/https://doi.org/10.1002/ijgo.14116.
7. C Deneux-Tharaux, M-P Bonnet, and J Tort, “[Epidemiology of post-
partum haemorrhage].,” Journal de gynecologie, obstetrique et biologie de
la reproduction 43, no. 10 (December 2014): 936–50,
https://doi.org/10.1016/j.jgyn.2014.09.023.
8. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage,
http://www.emedicine.com
9. Smith J.R, Postpartum Haemorrhage, updated 23 September 2014. Diakses
tanggal 27 Februari 2015 dari
http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview
10. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K.
Chapter 25 Obstetrical Hemorrhage, Section VII; Obstetrical complication,

24
dalam William Obstetrics 22th edition. Philadelphia. McGrawHill.2005
p:635-663
11. Maria Fernanda Escobar et al., “FIGO Recommendations on the
Management of Postpartum Hemorrhage 2022,” International Journal of
Gynecology & Obstetrics 157, no. S1 (March 1, 2022): 3–50,
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/ijgo.14116.
12. Amelia Sylvi Wafda Nur, Asuhan Kebidanan Kasus Kompleks Maternal &
Neonatal (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2019).
13. William, F.R., Carey J.C. Perawatan Pasca Persalinan, dalam Obstetri &
Ginekologi, edisi pertama,. Jakarta: Widya Medika 2001: 200-209

24

Anda mungkin juga menyukai