Anda di halaman 1dari 32

REFERAT KEDOKTERAN

Post Partum Hemmorhage

Disusun Oleh:

Adri Samudra Ramandey

Arklafina Aksamina Sesa

Rosyidah Qurrota A’yun

Pembimbing:

dr. Filvanus Jabiy, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD JOHN PIET WANANE KABUPATEN SORONG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPUA

2023
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan
Pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Referat dengan judul “Post
Partum Hemorrhage” sebagai salah satu tugas karya ilmiah yang harus diselesaikan oleh
Mahasiswa Profesi Pendidikan Dokter (MPPD) dalam kepaniteraan klinik di Departemen
Ilmu Obstetri dan Ginekologi.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Pembimbing Referat penulis dr. Filvanus Jabiy, Sp.OG atas arahan,
masukan, bimbingan dan kesabaran beliau agar penulis dapat menyelesaikan tugas karya
ilmiah referat ini.
Referat ini telah disusun dengan aturan kepenulisan karya ilmiah yang telah
ditetapkan baik secara sistematika maupun isi laporan. Namun, penulis menyadari bahwa
karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan. Sehingga dibutuhkan saran dan masukan dari
semua pihak terkait referat Post Partum Hemorrhage
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberi manfaat kepada penulis dan
mahasiswa kepaniteraan departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi untuk memahami materi
terkait Post Partum Hemorrhage. Atas perhatian dan pengertiannya, penulis ucapkan
terimakasih.

Sorong, April 2023

Penulis

ii
Lembar Pengesahan

Referat diajukan oleh:

Nama : Adri Samudera Ramandey

Arklafina Aksamina Sesa

Rosyidah Qurrota A’yun

Nomor Induk Mahasiswa :

Universitas : Universitas Papua

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Kepaniteraan : Departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Judul Referat : Post Partum Hemorrhage

Pembimbing : dr. Filvanus Jabiy, Sp.OG

TELAH DIPRESENTASIKAN DAN DISAHKAN

PADA TANGGAL :………………………………………………………………

Mengetahui: Pembimbing Referat

dr. Filvanus Jabiy, Sp.OG

iii
DAFTAR ISI

JUDUL REFERAT ................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................................


1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................


2

2.1. Definisi dan Epidemiologi ….......................................................................................


2

2.2 Hemostasis PPH dan Patofisiologi …………………………………………………... 2

2.3 Faktor Risiko ……………………………………………………………………….... 4

2.4 Manifestasi Klinis ……………………………………………………………….…… 4

2.5 Klasifikasi ………......................................................................................................... 4

2.6 Etiologi ......................................................................................................................... 6

2.6.1. Atonia Uteri ...................................................................................................... 7

2.6.2. Retensio Plasenta .............................................. ............................................. 12

2.6.3 Sisa Plasenta …………………………………………………………….…. 15

2.6.4 Robekan Jalan Lahir ……………………………………………………........ 15

2.6.5 Ruptur Uteri ……………………………………………………..…….…..… 19

2.6.6 Inversio Uteri ………………………………………………………………... 21

2.6.7 Gangguan Pembekuan Darah ………………………………………...……… 22

2.7 Manajemen Perdarahan ……………………………………………………..……… 22

2.8 Pencegahan ……..….................................................................................................. 24

2.9 Prognosis ………….................................................................................................... 24

BAB 3 KESIMPULAN ......................................................................................................... 25

iv
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
26

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Post Partum Hemorrhage (PPH) atau perdarahan post partum (PPP) adalah
perdarahan yang terjadi > 500 cc setelah bayi lahir atau yang berpotensi memepengaruhi
hemodinamik ibu. Tatalaksana perdarahan post partum harus disesuaikan berdasarkan
penyebabnya.1 Penyebab PPP yang paling sering adalah uterus tidak dapat berkontraksi
dengan baik (tone), trauma jalan lahir (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang
menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah
(thrombin).1
Tatalaksana untuk PPP pada prinsipnya adalah untuk menghentikan perdarahan
dan mengganti darah yang hilang. Saat terjadi perdarahan yang berlebihan pasca
persalinan, harus dicari etiologinya karena perdarahan postpartum bukanlah sebuah
diagnosis namun keadaan yang harus dicari etiologinya. Selain itu, setiap penyebab
memiliki tatalaksana yang spesifik.1,2
PPP merupakan salah satu penyebab kematian ibu di dunia. Berdasarkan angka
kematian ibu (AKI) PPH merupakan salah satu target dari Millenium Development Goals
(MDGs). Pada tahun 2012, AKI mengalami kenaikan menjadi 359 per 100.000 penduduk
atau meningkat sekitar 57% dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 228 per
100.000 penduduk.1 Pencapaian target MDGs dapat diraih salah satunya melalui
penurunan AKI yang disebabkan oleh PPH. Untuk mendukung target tersebut,
dibutuhkan petugas kesehatan yang terlatih dan pedoman berbasis bukti pada keamanan,
kualitas, dan kegunaan dari berbagai intervensi yang ada. Dengan demikian dapat
dilahirkan suatu kebijakan dan program yang dapat di implementasikan secara realistis,
strategis dan berkesinambungan.1,2,3
1.2 Tujuan
Referat post partum hemmorhage yang dibuat ini memiliki beberapa tujuan untuk
meningkatkan manfaat pembuatannya, yaitu diantaranya:
1. Sebagai bahan materi informasi terkait post partum hemmorhage agar lebih memahami
berbagai aspek kedokteran terkait post partum hemmorhage.
2. Sebagai bahan pembelajaran dalam kepenulisan karya ilmiah khususnya referat
kedokteran.
3. Meningkatkan pemahaman tentang post partum hemmorhage secara komprehensif.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi


Post Partum Hemorrhage (PPH) secara umum didefinisikan sebagai kehilangan
darah dari saluran genetalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml
setelah melahirkan secara seksio sesarea. Definisi lain, Perdarahan post partum adalah
perdarahan >500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi mempengaruhi hemodinamik
ibu.1
Epidemiologi
Perdarahan postpartum merupakan penyebab utama kematian ibu di seluruh
dunia dengan tingkat prevalensi tertinggi afrika dan asia. Sekitar 529.000 wanita
meninggal saat hamil setiap tahunnya dan hampir semuanya (99%) terjadi pada negara
berkembang. 40% kematian karena pendarahan post-partum terjadi pada 24 jam pertama
dan 66% terjadi saat minggu pertama. Mortalitas sebanyak 140.000 wanita di dunia
meninggal akibat perdarahan postpartum setiap tahunnya, dengan kata lain 1 kematian
terjadi setiap 4 menit. Menurut WHO, kematian ibu di kawasan Asia Tenggara
menyumbang hampir ⅓ jumlah kematian ibu dan anak secara global. Di Indonesia
sendiri, angka kematian Ibu masih tergolong sangat tinggi.3.4.5
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2016 AKI di
Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab utama kematian ibu yaitu
hipertensi dalam kehamilan dan perdarahan post partum. Berdasarkan profil kesehatan
Indonesia tahun 2020, sebagian besar kematian ibu pada disebabkan oleh perdarahan,
yaitu sebanyak 1.330 kasus. Oleh karena itu, upaya percepatan penurunan angka
kematian ibu (AKI) dilakukan dengan menjamin ibu dapat mengakses pelayanan
kesehatan ibu yang berkualitas.3,4,5
2.2 Hemostasis normal dan patofisiologi PPH
Pada kehamilan cukup bulan sedikitnya 600 ml/mnt darah mengalir ke uterus
melalui ruang-ruang interviler plasenta. Darah masuk melalui arteri spiralis yang
berjumlah sekitar 120, dan arteri spiralis ini tidak memiliki lapisan muskularis akibat
adanya remodeling oleh invasi trofoblast. Apabila terjadi pelepasan plasenta pada kala
III persalinan maka arteri spiralis akan terbuka sehingga terjadi perdarahan. Kontraksi
uterus akan menjepit arteri spiralis yang terbuka sehingga perdarahan berhenti.
Selanjutnya diikuti terbentuknya bekuan-bekuan darah yang menyumbat lumen arteri

2
spiralis. Sebaliknya apabila tidak terjadi kontraksi uterus segera setelah pelepasan
plasenta akan terjadi perdarahan postpartum yang hebat dan membahayakan jiwa.
Patofisiologi perdarahan postpartum atau postpartum hemorrhage (PPH) disebabkan oleh
beberapa faktor. PPH dapat disebabkan oleh gangguan pada 4T (tonus, tissue, trauma,
dan thrombin).3,4
Selama masa kehamilan, volume darah ibu meningkat hingga 50% atau setara
dengan 4-6 liter, dan volume plasma mengalami peningkatan hingga melebihi kadar total
sel darah merah. Kondisi ini menimbulkan kesan penurunan konsentrasi hemoglobin dan
penurunan jumlah hematokrit. Peningkatan volume darah ini bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan perfusi uteroplasenta, serta untuk menggantikan volume perdarahan yang
akan terjadi pada saat proses persalinan.3,4
Fisiologi Penghentian Perdarahan pada Persalinan
Pada saat persalinan, plasenta akan terpisah secara spontan dari tempat
implantasinya beberapa menit setelah bayi lahir. Dibalik tempat melekatnya plasenta,
terdapat pembuluh-pembuluh darah uterus yang melintas di antara serat-serat otot
miometrium. Selama proses melahirkan, otot-otot ini akan mengalami kontraksi dan
retraksi.3,4
Proses kontraksi dan retraksi akan mengkompresi pembuluh-pembuluh darah
tersebut, sehingga perdarahan dapat berhenti. Hal ini sering kali disebut “jahitan
fisiologis”, yang merupakan mekanisme pertahanan tubuh pada wanita hamil tanpa
penyulit atau komplikasi.3,4
Kegagalan Mekanisme Fisiologi
Pada keadaan-keadaan tertentu, mekanisme “jahitan fisiologis” bisa tidak
terjadi, misalnya pada kondisi atonia uteri, retensio plasenta, trauma jalan lahir, plasenta
akreta, atau plasenta previa.3,4
Atonia Uteri
Hal ini dikarenakan terdapat gangguan pada tonus uteri (atonia uteri), di mana proses
kontraksi dan retraksi tidak berjalan dengan baik dan maksimal. Sehingga pembuluh-
pembuluh darah pada uterus tidak terkompresi, dan perdarahan tidak dapat dihentikan.
Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum.3,4
Retensio Plasenta
Selain itu, proses kontraksi dan retraksi yang tidak berjalan dengan baik juga dapat
mengganggu proses pelepasan plasenta secara utuh sehingga pada akhirnya akan
menyebabkan keadaan yang kita kenal sebagai retensio plasenta. 3,4
3
Trauma Jalan Lahir
Pada kasus trauma jalan lahir, jumlah pembuluh darah di jalan lahir meningkat selama
kehamilan, sehingga adanya trauma akan menimbulkan perdarahan yang lebih signifikan
dibandingkan pada wanita tidak hamil. 3,4
Plasenta Akreta dan Plasenta Previa
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi pada kasus dimana implantasi plasenta tidak
normal, misalnya pada plasenta akreta atau plasenta previa. Pada plasenta previa, letak
plasenta yang rendah akan menyebabkan gangguan kontraksi uterus. Pada plasenta
akreta, implantasi plasenta terlalu dalam hingga ke miometrium sehingga perlukaan akan
mencapai miometrium dan menyebabkan perdarahan yang lebih banyak saat plasenta
lepas. 3,4
2.3 Faktor Risiko
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko perdarahan post partum adalah sebagai berikut:
• Anestesi umum
• Distensi uterus
• Perfusi miometrium yang buruk
• Persalinan lama
• Persalinan yang terlalu cepat
• Persalinan dengan induksi/augmentasi
• Multipara
• Kehamilan kembar
• Riwayat atonia uterus dan kelainan uterus
• Preeklamsi-eklamsi
• Anemia.3,4
2.4 Manifestasi Klinis
Pasien datang dengan perdarahan akut post partum dari vagina. Pasien
mungkin juga mengalami peningkatan detak jantung, peningkatan laju pernapasan, dan
merasa pingsan saat berdiri. Saat pasien terus kehilangan darah, mereka mungkin juga
merasa kedinginan, mengalami penurunan tekanan darah, dan mungkin kehilangan
kesadaran. Pasien mungkin juga memiliki tanda dan gejala syok, seperti kebingungan,
penglihatan kabur, kulit lembap, dan kelemahan. 3,4
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Berdasarkan Jumlah Perdarahan
Perdarahan dibagi menjadi minor yaitu 500-1000 ml atau mayor >1000 ml. Perdarahan
4
mayor dapat dibagi menjadi sedang yaitu 1000-2000 ml atau berat >2000 ml Pembagian
lain menurut Sibai adalah perdarahan ringan (mild) apabila jumlah perdarahan ≤ 1500
ml, berat (severe) > 1500 ml, dan massif > 2500 ml. 3,4
2.5.2 Berdasarkan Waktu
Perdarahan pasca persalinan dini (primer)
Terjadi salam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai
robekan jalan lahir dan sisa sebagian plasenta, serta kasus-kasus jarang yaitu inversion
uteri.6,7 Etiologi perdarahan postpartum dini yaitu:
 Atonia uteri
Pada keadaan ini, uterus tidak berkontraksi dengan baik
 Laserasi jalan lahir
Pembukaan vagina, serviks dan perineum dapat menimbulkan perdarahan yang
banyak jika tidak ditangani dengan cepat.
 Hematoma
Hematoma hal ini disebabkan oleh daerah-daerah yang mengalami laserasi
mengalami hematoma.
 Lain-lain
Sisa plasenta dan selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga masih
ada pembuluh darah yang tetap terbuka, rupture uteri dan inversio uteri. 6,7
Perdarahan pasca persalinan lambat (sekunder)
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam persalinan atau 6-10 hari pasca persalinan.
Penyebab tersering yaitu sisa plasenta. Gejalanya peradarahan dapat terjadi terus-
menerus atau berulang. Pada palpasi ditemukan fundus uteri teraba dan lebih besar dari
yang diperkirakan, sedangkan pada pemeriksaan dalam ditemukan uterus
membesar, teraba lunak sertaa keluar darah dari ostium uteri. 6,7
Perawatan perdarahan
postpartum lambat dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
 Perdarahan sedikit
Menganjurkan tira baring dirumah dibantu dengan pemberian obat-obatan oral
golongan uterotonika. Diberikan antibiotik jika ditemukan adanya infeksi.
 Perdarahan sedang
Pemberian oksitosin intravena 20 unit dalam 500 cc ringer laktat. Apabila
dengan tatalaksana ini perdarahan dapat dihentikan dan tidak ditemukan

5
adanya sisa plasenta yang tertinggal, tidak perlu dilakukan kuretase. Dan jika,
ditemukan adanya infeksi dapat diberikan antibiotika.
 Perdarahan banyak
Pada pasien dengan perdarahan yang banyak, dapat diberikan cairan intravena
dan diberikan transfuse darah. Setelah pemberian oksitosin perdarahan masih
terus terjadi dan ditemukan adanya sisa plasenta, maka dapat dilakukan
kuretase. Tetapi, jika perdarahan masih terus berlansung, lakukan laparatomi
untuk melakukan histerektomi atau ligase arteria hipogastrika.6,7
2.6 Etiologi
Perdarahan post partum dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu, kelemahan otot
uterus untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), robekan jalan
lahir dari perineum, vagina, uterus (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang
menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah
(thrombin). 6,7 Berikut merupakan table pengelompokkan penyebab terjadinya perdarahan
post partum:
Penyebab Tanda dan Gejala
Atonia Uteri  Perdarahan segera setelah bayi lahir
 Uterus tidak berkontraksi atau lembek
Retensio Plasenta  Plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit setelah
kelahiran bayi
Sisa Plasenta  Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
 Perdarahan dapat muncul 6-10 hari pasca persalinan
disertai
subinvolusi uterus
Robekan Jalan Lahir  Perderahan segera
 Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
Ruptur Uteri  Perdarahan segera perdarahan intraabdominal dan/atau
pervaginam)
 Nyeri perut yang hebat
 Tidak ada kontraksi
Inversio Uteri  Fundus uteri tidak terba pada palpasi abdomen
 Lumen vagina terasa massa

6
 Nyeri ringan hingga berat
Gangguan  Perdarahan tidak berhenti, encer, tidak terlihat darah
Pembekuan Darah gumpalan darah
 Kegagalan terbentuknya gumpalan pada uji pembekuan
darah sederhana
 Terdapat faktor predisposisi:
- Solusio plasenta
- Kematian janin dalam uterus
- Eklampsia
- Emboli air ketuban
Tabel 1. Penyebab perdarahan Post Partum.1,2,3,6,7

2.6.1 Atonia Uteri


Atonia uteri merupakan keadaan melemahnya tonus atau kontraksi dari uterus yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi
plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Atonia uteri menyumbang sekitar 90% kejadian
perdarahan postpartum. Perdarahan yang disebabkan oleh atonia uteri dapat dicegah dengan
cara: 6,7
a. Manejemen aktif kala III yang dilakukan pada semua wanita yang bersalin karena hal
ini dapat menurunkan insiden perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri.
b. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi lahir).
Faktor prediposisi terjadinya atonia uteri yaitu:
a. Regangan rahim yang belebihan yang disebabkan oleh kehamilan gemelli,
polihidramnion atau maksrosmia.
b. Ibu lelah kerana persalinan lama atau persalinan kesep
c. Adanya riwayat pernah atonia uteri
d. Infeksi intrauterine
e. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi uterus
f. Kehamilan grande multipara
g. Ibu dengan keadaan umum yang jelakm anemia atau menderita penyakit kronis.
6,7

Diagnosis ditegakkan apabila, bayi sudah lahir dan plasenta lahir tetapi perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan palpasi ditemukan fundus uteri masih setinggi pusat

7
atau lebih dengan kontraksi yang inadekuat. Banyaknya darah yang hilang akan
mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa dalam keadaan umum sadar, anemis atau
sampai syok berat. Tindakan utama yang harus dilakukan yaitu berdasarkan keadaan
klinisnya. 6,7 Pada umumnya sebagai berikut:
 Memasang jalur intravena dan oksigen
 Memastikan kontraksi uterus dengan cara:
- Masase fundus uteri dan meransang puting susu
- Pastikan plasenta lahir lengkap
- Pemberian oksitosin dan/atauturunan ergor melalui suntikan secara IM, IV.
Oksitosin diberikan sebanyak 20-40 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau RL
dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 unit
dalam 1000 ml dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
- Bila tidak tersedia oksitosin atau perdarahan tidak berhenti, berikan ergometrin 0,2 mg
IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM setelah 15 menit, dan
pemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila diperlukan.
- Pemberian derivate prostaglandin F2a yang kadang memberikan efek samping berupa
diare, mual dan muntah, demam, takikardi dan hipertensi.
- Pemberian misoprostol 800-1.000 ug per-rektal
- Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 gram asam traneksamat IV (bolus selama 1 menit,
dapat diulang setelah 30 menit)
- Lakukan pemasangan kondom kateter atau kompresi bimanual eksternal dan internal
selama 5 menit
- Kompresi aorta abdominal
- Pemasangan “tampon kondom” yang dipasangkan dalam kavum uteri disambung
dengan kureter, difiksasi dengan karet gelang dan di isi cairan infus 200 ml yang akan
mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.
- Apabila, semua tindakan gagal, maka persiapkan tindakan operatif laparotomi dengan
pilihan bedah koservatif (mempertahankan uterus) atau melakukan histerektomi.
Dengan Langkah alternatif yaitu: Ligase arteria uterine atau arteria ovarika, operasi
ransel B lynch, histerektomi supravaginal, histerekstomi total abdominal.2,6
Tujuan pengobatan ialah untuk menimbulkan kontraksi uterus. Utamakan
pemberian obat-obatan yang dapat menimbulkan kontraksi uterus seperti oksitosin
dan pemberian obat-obatan golongan methergine secara intravena atau

8
intramuscular. Selain ini, dapat dilakukan masase uterus. Tetapi jika telah dilakukan
cara tersebut tetapi perdarahannya masih aktif dapat dilakukan kompresi bimanual
uterus dengan mengosongkan vesika urinaria terlebih dahulu.6,7

Pemasangan kondom kateter


Pemasangan kondom kateter memerlukan alat-alat, seperti kateter foley nomor 24,
kondom, larutan NaCl 0,9%, dan selang infus atau spuit 50 ml. langkah-langkah
pemasangan sebagai berikut:
• Baringkan ibu dalam posisi litotomi
• Mencuci kedua tangan
• Gunakan sarung tangan steril
• Masukkan kateter ke dlam kondom
• Ikat dengan tali dekat dengan mulut kondom
• Pertahankan vesika urinaria dalam keadaan kosong dengan kateter foley
• Masukan kondom yang sudah terikat dengan kateter di dalam kondom
• Ujung luar kateter dihubungkan dengan infus set
• Kondom dikembangkan dengan 250-500 ml larutan NaCl 0,9%
• Observasi perdarhan, jika perdarah sudah berukarang, hentikan pengembangan kondom
• Ujung luar kondom dilipat dan diikat dengan tali
• Kontraksi uterus dipertahankan dengan drip oksitosin sampai setidaknya 6 jam setelah
prosedur.
• Pertahankan posisi kondom dengan kasa gulung yang ditempatkan di dalam vagina atau
kembangkan kondom lainnya di dalam vagina
• Kondom kateter dipertahankan selama 24 jam dan setelah itu dikempiskan bertahan (10-
15 menit) dan dikeluarkan.
• Berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal: ampisilin 2 gram IV dan metronidazol 500
mg IV ATAU sefazolin 1 gram IV dan metronidazol 500 mg
• Jika terdapat tanda-tanda infeksi pada pasien diberikab antibiotik kombinasi sampai
pasien bebas demam selama 48 jam: ampisilin 2 gram IV tiap 6 jam dan gentamisin 5
mg/kgBB IV setiap 24 jam dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.2,6

9
Kompresi Bimanual Uterus.
Terapat dua cara melakukan kompresi bimanual uterus yaiu:
 Semua tangan dimasukkan dalam vagina dan digenggankan, uterus ditekan antara tangan
yang berada divagina dan tangan yang diluar.
 Semua tangan dimasukkan kedalam vagina, memegang seviks, sedangkan tangan yang
lain memegang fundus uteri dan didekatkan pada serviks uteri. Tindakan ini biasanya tidak
berlansung lama karena melelahkan. Tetapi, jika tindakan ini gagal menghentikan
perdarahan, dapat dilakukan pemasangan tampon uterus atau laparatomi untuk ligase
arteria hipogastrika ataupun histerektomi.1,2,6,7

Pemasangan tampon uterovaginal


 Vaginanya dibuka dengan menggunakan speculum, memegang dinding depan dan
belakang dengan ring tang. Kemudian, masukkan tampon dengan menggunakan tampon
yang melalui serviks sampai ke fundus uteri. Tampon tang ditarik beberapa cm dan
kemudian didorong kearah fundus uteri. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai semua

10
rongga uterus dipenuhi oleh tampon. Sedangkan tangan asisten tetap diletakkan diatas
fundus uteri.6,7
 Setelah pemasangan tampon perdarahan belum berhenti. Pemasangan tampon tidak boleh
diulangi dan segera dilakukan laparatomi untuk melakukan histerktomi atau ligase arteria
hipogatrika. 6,7

Ligase Arteria Hipogastrika


Melakukan irisan pada kulit yang dilakukan pada garis tengah antara pusat dan
simfisis. Dengan tujuan untuk dapat mencapai pembuluh darah yang akan di ikat, dilakukan
irisan pada parametrium (jika perlu ligamentum rotumdum dipotong distal) kemudian
parametrium dibuka secara tajam dan tumpul hingga bifurcation arteria iliaca communis
tampak.6,7
Tarik ureter kearah medial dengan cara imobilisasi sigmoid kearah medial yang
dipermuda jika kita hendak melakukan pengikatan arteria hipogastrika yang kiri. Jaringan
ikat Angkat jaringan ikat yang menutupi arteria hipograstika diangkat dengan menggunakan
gunting dan kemudian arteria hipogastrika diangkat dengan pertolongan jarum Deschamps.
Pengikatan dilakukan pada dua tempat dengan jarak kurang lebih 1 cm dengan
menggunakan catgut khromik no 2. Pada tindakan ini harus hati-hati jangan sampai terjadi
perlakuan vena hipogastrika yang letaknya postero-medial dari arteri tersebut. Ligamentum
rotumdum bila dipotong dijahit kembali dan peritoneum ditutup kembali. Jika hal tersebut
terjadi, tetapi tidak ada fasilitas untuk dilakukan laparotomi. Maka. dapat dilakukan tindakan
sementara yaitu penejepitan parametrium. 6,7,14

11
Penjepitan Parametrium
Penjepitan parametrium dilakukan dengan cara vagina dibuka dengan spekulum,
kemudian bibir depan dan belakang dari serviks dipegang dengan ring tang,
menyipakan dua klem Kelly yang panjang lurus atau bengkok. Menggunakan dua
ring tang tersebut menarik serviks sejauh mungkin kearah kiri dan menggunakan
klem Kelly jepit forniks lateralis ke kanan.
Selama 12-24 jam klem tersebut dibiarkan.6,7

2.6.2 Retensio Plasenta


Retensio plasenta merupakan kondisi dimana plasenta tetap tertinggal didalam uterus
setengah jam (30 menit) setelah persalinan atau setelah bayi lahir. Hal ini disebabkah oleh
adanya adhesi antara plasenta dengan uterus.9,10 Retensio plasenta terdiri beberapa jenis
berdasarkan kedalaman implantasi plasenya ke uterus, antara lain:
 Plasenta akreta, implantasinya menembus jaringan desidua basalis dan nithabuch layer
 Plasenta inkreta, jika plasenta menembus miometrium. Faktor prediposisi terjadi
plasenta inkreta ialah plasenta previa, bekas seksio, kuret berulang dan multiparitas

12
 Plasenta perkreta, apabila vili korialis sampai menembus perimetrium
Jika, bagian kecil dari plasenta masih tertinggal didalam uterus dikenal dengan rest
plasenta yang dapat menimbulkan perdarahan postpartum primer dan sekunder. Proses kala
III didahului dengan adanya pelepasan atau separasi plasenta yang ditandai dengan
perdarahan pervaginam sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Sedangkan, pada
retensio plasenta, sepanjang plasenta belum juga terlepas, maka tidak menimbulkan
perdarahan.8
Biasanya setelah plasenta lahir, setelah beberapa menit kemudian terjadi pelepasan
plasenta disertai dengan sedikit perdarahan (kira-kira 100-200 cc), jika plasenta sudah lepas
dan turun ke bagian bawah rahim, maka uterus akan berkontraksi untuk pengeluaran
plasenta. Retensio plasenta merupakan penyebab dari kematian maternal dan angka
kesakitan diseluruh negara berkembang.6,7

Prosedur tatalaksana retensio plasenta.


 Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 60 tetes/menitdan 10 UNIT IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 UNIT dalam
1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga
perdarahan berhenti
 Lakukan tarikan tali pusat terkendali
 Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta manual secara hati-hati
 Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV DAN metronidazole 500
mg IV).
 Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi perdarahan
hebat atau infeksi.6,7

Prosedur manual plasenta.

13
 Lakukan bila plasenta tidak lahir setelah 30 menit bayi lahir dan telah disertai
manajeman aktif kala III. Dan atau tidak lengkap keluarnya plasenta dan perdarahan
berlanjut
 Lakukan persetujuan tindakan medis (informed consent)
 Berikan sedatif diazepam 10 mg IM/IV
 Antibiotika dosis tunggal (profilaksis):
• Ampisilin 2 g IV + metronidazol 500 mg IV, ATAU
• Cefazo lin 1 g IV + metronidazol 500 mg IV
 Cuci tangan dan pasang sarung tangan panjang steril
 Jepit tali pusat dengan klem dan tegangkan sejajar dengan lantai
 Masukkan tangan dalam posisi obstetri dengan menelusuri bagian bawah tali pusat.2
 Tangan sebelah dalam menyusuri tali pusat hingga masuk ke dalam kavum uteri,
sedangkan tangan di luar menahan fundus uteri, untuk mencegah inversio uteri.
 Menggunakan lateral jari tangan, disusuri dan dicari pinggir perlekatan (insersi) plasenta.
 Tangan obstetri dibuka menjadi seperti memberi salam, lalu jari-jari dirapatkan.
 Tentukan tempat implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
 Gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke arah kranial hingga seluruh
permukaan plasenta dilepaskan.
 Jika plasenta tidak dapat dilepaskan dari permukaan uterus, kemungkinan plasenta
akreta. Siapkan laparotomi untuk histerektomi supravaginal.
 Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta.
 Pindahkan tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat plasenta dikeluarkan.
 Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada
dinding uterus.
 Periksa plasenta lengkap atau tidak, bila tidak lengkap, lakukan eksplorasi ke dalam
kavum uteri.2

14
2.6.3 Sisa Plasenta
Sisa plasenta merupakan bagian dari plasenta satu atau lebih lobus tertinggal di dalam
uterus. Sisa plasenta akan menyebabkan kontraksi tidak efektif, dan akan menyebabkan
terjadinya perdarahan. Tanda-tanda dari adanya plasenta yang tertinggal, yaitu plasenta atau
sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap, terjadi perdarahan segera,
uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.1
Penanganan yang dapat dilakukan pada keadaan sisa plasenta didalam uterus, yaitu:
 Oksitosin diberikan sebanyak 20-40 unit dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9% atau
RL dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM. Lanjutkan infus oksitosin 20
unit dalam 1000 ml dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.
 Eksplorasi manual uterus menggunakan teknik serupa dengan teknik yang
digunakan untuk manual plasenta
 Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta
 Keluarkan sisa plasenta menggunkan jari-jari tangan, klem, atau forsep disenfeksi
tingkat tinggi
 Berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 gram IV dan
metronidazole 500 mg)
 Jika perdarahn berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia uteri.1,2

2.6.4 Robekan Jalan Lahir

Trauma jalan lahir dapat terjadi karena episiotomi yang melebar, robekan spontan pada
perineum, vagina, dan serviks, serta ruptur uteri, trauma karena forceps atau ekstraksi vakum,
dan memimpin persalinan sebelum pembukaan lengkap. 2,3 Pertolongan persalinan yang
semakin manipulatif dan traumatif akan memudahkan robekan jalan lahir, sehingga tindakan
yang harus dilakukan adalah menghindari memimpin persalinan pada saat pembukaan servik
belum lengkap. Faktor resiko terjadinya robekan jalan lahir antara lain, makrosomia,
malpresentasi, partus presipitatus, dan distosia bahu.2,6,7
Robekan yang terjadi bisa ringan hingga yang terberat (tingkat I sampai tingkat IV),
oleh karena itu pada setiap persalinan hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari
kemungkinan adanya robekan, lakukan irigasi pada tempat luka dan dengan antiseptik.
Semua titik sumber perdarahan harus diklem, diikat dan dijahit lapis demi lapis sampai

15
perdarahan berhenti. Bila perdarahan masih berlnjut, berikan 1 gram asam traneksamat
intravena (bolus selama 1 menit dapat diulang setelah 30 menit) lalu merujuk pasien.2,6,7

Derajat/tingkat robekan yang dapat terjadi pada persalinan:


 Tingkat I : mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, tidak perlu dijahit
 Tingkat II : mengenai mukosa vagina, jaringan ikat dan otot dibawahnya
 Tingkat III : mengenai otot sfingter ani
 Tingkat IV : mengenai mukosa rectum

Tatalaksana pada robekan serviks adalah sebagai berikut:

• Robekan servik sering terjadi pada sisi lateral karena servik yang terjulur akan
mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi
• Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap tetapi terjadi perdarahan banyak maka
segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
• Jepitkan klem ovum pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan dapat segera
dihentikan
• Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke arah luar
sehingga semua robekan dapat dijahit
• Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 gram asam tranesakmat IV bolus selama 1
menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien
• Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan
perdarahan pasca tindakan.2

Tatalaksana Penjahitan Robekan jalan lahir:

• Robekan Tingkat II
Pastikan pasien tidak memiliki alergi terhadap lidokain atau obat-obatan sejenis.
Suntikkan sekitar 10 ml lidokain 0,5% di bawah mukosa vagina, di bawah kulit
perineum, dan pada otot-otot perineum. Masukkan jarum spuit pada ujung atau pojok
laserasi atau luka dan dorong masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum
jahitnya akan masuk atau keluar.2,6

Bagian yang Dijahit Gambar

16
Jahitan mukosa:
Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan
benang 2-0 mulai dari 1 cm di atas puncak
luka di dalam vagina sampai pada batas
vagina.2

Jahitan otot:
Lanjutkan jahitan pada daerah otot
perineum sampai ujung luka pada
perineum secara jelujur dengan benang 2-
0. Lihat ke dalam luka untuk mengetahui
letak ototnya. Penting sekali untuk
menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga
di antaranya.2
Jahitan kulit:
Carilah lapisan subkutikuler persis di
bawah lapisan kulit. Lanjutkan dengan
jahitan subkutikuler kembali ke arah batas
vagina, akhiri dengan simpul mati pada
bagian dalam Vagina. Potong kedua ujung
benang, dan hanya disisakan masing
masing 1 cm. Jika robekan cukup luas dan
dalam, lakukan colok dubur, dan pastikan
tidak ada bagian rektum terjahit.2
Tabel 2. Cara jahit robekan perineum

• Robekan Tingkat III dan IV


Penjahitan ini harus dilakukan oleh penolong yang berkompeten. Segera rujuk bila tidak
mampu. Lakukan blok pudendal, ketamin atau anestesia spinal. Minta asisten untuk
memeriksa uterus dan memastikan uterus berkontraksi. Asepsis dan antisepsis pada
daerah robekan. Pastikan tidak ada alergi terhadap lignokain atau obat-obatan sejenis

17
Suntikkan sekitar 10 ml lignokain 0,5% di bawah mukosa vagina, di bawah kulit
perineum, dan pada otot-otot perineum. Masukkan jarum sepuit pada ujung atau pojok
laserasi atau luka dan dorong masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum
jahitnya akan masuk atau keluar. Tunggu 2 menit, kemudian jepit area dengan forsep.
Jika pasien masih merasakan, tunggu 2 menit kemudian lalu ulangi tes. Tautkan mukosa
rektum dengan benang 3-0 atau 4-0 secara interuptus dengan jarak 0,5 cm antara jahitan.
Jahitlah otot perineum dengan jahitan jelujur.2,6

Jahitan Sfingter Ani


• Jepit otot sfingter dengan klem Allis atau pinset
• Tautkan ujung otot sfingter ani dengan 2-3 jahitan benang 2-0 angka 8 secara iteruptus
• Larutan antiseptik pada daerah robekan
• Reparasi mukosa vagina, otot perineum, dan kulit
• Untuk robekan tingkat IV:
- Berikan profilaksis dosis tunggal ampisilin 500 mg P.O dan metronidazol 500 mg P.O
- Observasi tanda-tanda infeksi
- Jangan lakukan pemeriksaan rektal atau enema selama 2 minggu
- Berikan pembalut fese selama seminggu per oral.2

2.6.5 Ruptur Uteri


Ruptur uteri adalah
robeknya dinding uterus pada
saat usia kehamilan lebih dari 28
minggu.7 sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum dapat berhubungan. Beberapa
pendapat mengatakan bahwa ruptur uteri ialah robekan atau diskontinuitas dinding rahim
akibat dilampauinya daya regang miometrium. 9 Ruptur uteri diklasifikasikan berdasarkan
keadaan robeknya, kapan terjadinya dan berdasarkan etiologinya.
Berdasarkan keadaan robekan:

18
• Ruptur uteri inkomplit (subperitoneal); ruptur uteri yang hanya dinding uterus yang robek
sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
• Ruptur uteri komplit (trasnperitoneal); ruptur uteri yang selain dinding uterus robek,
lapisan serosa juga robek sehingga dapat berada dirongga peritoneum.8,10

Berdasarkan kapan terjadinya:


• Ruptur uteri pada waktu kehamilan (ruptur uteri gravidarum); ruptur uteri yang terjadi
karena dinding uterus lemah yang dapat disebabkan oleh bekas seksio sesaria, bekas
enukleasi mioma uteri, bekas kuretase/plasenta manual dan sepsis post partum. 5,7
• Ruptur uteri pada waktu persalinan (ruptur uteri intrapartum); ruptur uteri pada dinding
uterus baik, bagian terbawah janin tidak maju/turun yang dapat disebabkan oleh versi
ekstraksi, ekstraksi forcep, ekstraksi bahu dan manual plasenta.8,10

Berdasarkan etiologi
• Ruptur uteri spontan (non violent)
Ruptur uteri spontan pada uterus normal disebabkan oleh beberapa penyebab yang
mengakibatkan persalinan tidak maju. Hal ini dapat disebabkan oleh panggul sempit,
hidrosefalus, makrosomia, janin dalam letak lintang, presentasi bokong, hamil ganda dan
tumor pada jalan lahir.8,10
• Ruptur uteri violenta
Ruptur uteri yang disebabkan oleh adanya manipulasi tenaga tambahan lain seperti induksi
atau stimulasi partus dengan oksitosin atau yang sejenisnya atau dorongan yang kuat pada
fundus saat persalinan.8,10
• Ruptur uteri trumatika
Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan. Dalam hal ini, kecelakaan
tidak berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya trauma abdomen.
Tindakan berarti berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan, misalnya versi
ekstraksi, ekstraksi forcep, alat-alat embriotomi dan manual plasenta.8,10

Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali yang sudah ada
sebelumnya. Penyebab ruptur uteri yang paling sering adalah terpisahnya jaringan parut
akibat seksio sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin sering terjadi
bersamaan dengan timbulnya partus percobaan pada persalinan dengan riwayat seksio
sesarea. Faktor predisposis ruptur uteri lain yang sering dijumpai adalah riwayat manipulasi
atau operasi trumatik, misalnya kuretase, perforasi dan miomektomi. Stimulasi uterus yang

19
tidak tepat dengan oksitosin juga dapat menjadi penyebabnya, walaupun hal ini sekarang
sudah jarang terjadi.8
Manifestasi klinis dari ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur uteri yang
membakat, yaitu didahului his yang kuat dan terus-menerus, rasa nyeri yang hebat dibagian
bawah, nyeri waktu ditekan, nadi dan pernapasan cepat, segmen bawah uterus tegang, nyeri
pada perabaan lingkaran retraksi (Van Bundle Ring) meninggi sampai mendekati pusat dan
ligamentum rotunda menegang. Keadaan umum penderita tidak baik, dapat terjadi anemia
sampai syok.8
Penatalaksanaan ruptur uteri:

• Perbaiki keadaan umum; atasi syok dengan pemberian cairan dan darah. Untuk mencegah
timbulnya ruptur uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan cermat, khususnya
pada persalinan dengan kemungkinan distosia dan pada wanita yang pernah mengalami
seksio sesarea atau pembedahan lain pada uterus.5
• Laparatomi : Apabila keadaan penderita mulai membaik, selanjutnya dilakukan
laparatomi dengan tindakan jenis operasi:
- Histerektomi baik total maupun subtotal; histerektomi dilakukan jika fungsi reproduksi
ibu tidak diharapkan lagi dan kondisi buruk yang membahayakan ibu.
- Repair uterus (histeorafi) yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya. Histeorafi
dilakukan jika masih mengharapkan fungsi reproduksinya, kondisi klinis ibu stabil dan
ruptur tidak berkomplikasi.
- Konservatif; hanya dengan temponade dan pemberian antibiotik yang cukup.8

2.6.6 Inversio Uteri

Inversio uteri merupakan suatu keadaan dimana bagian atas uterus (fundus uterus)
masuk ke cavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam cavum uteri,
bahkan ke vagina dengan dinding endometrium sebelah luar. Angka kejadian inversion uteri

20
1:5.000 sampai 1:20.000 persalinan. Meskipun jarang terjadi, komplikasi yang
disebabkannya cukup serius jika tidak segera diketahui dan ditatalaksana dengan baik.6

Faktor-faktor yang memungkinkan hal ini terjadi, yaitu atonia uteri, serviks yang
masih terbuka lebar dan adanya kekuatan yang menarik fundus kebawah (misalnya karena
plasenta akreta, inkreta dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras kebawah) atau ada
tekanan dari fundus uteri dari atas (maneuver crede) atau tekanan intra abdominal yang keras
dan tiba-tiba (misalnya batuk keras atau bersin).2

Tanda-tanda inversio uteri:


• Syok karena kesakitan
• Perdarahan banyak bergumpal
• Pada vulva tampak endometrium terbalik atau tanpa plasenta yang masih melekat.
• Jika baru terjadi, maka prognosis cukup baik, akan tetapu jika kejadiannya cukup lama,
maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis
dan infeksi.2

Berikut tindakan yang dilakukan secara garis besar:


• Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti dan
pemberian obat
• Beberapa senter memberikan tokolitik atau MgSO4 untuk melemaskan uterus yang
terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk
kedalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk kedalam uterus pada
posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak
• Didalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan jika berhasil dikeluarkan dari rahim
dan sambil memberikan uterotonika lewat infuse atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar
konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru dilepaskan.
• Pemberian antibiotik dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya
• Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan manuver
diatas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparatomi untuk reposisi dan kalau terpaksa
dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.8

2.6.7 Gangguan Pembekuan Darah

Penyebab perdarahan postpartum karena ganguan pembekuan darah baru dicurigai


jika penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah

21
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Tendensi mudah terjadinya
perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul
hematom pada bekas jahitan, suntikan, dan lain-lain. Pada pemeriksaan penunjang
ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu perdarahan dan
waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibronogenemia, dan
terdeteksi adanya fibrin degradation produk (FDP) serta perpanjangan tes protrombin
dan partial thromboplastin time (PTT).6

Predisposisi terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklamsia, emboli cairan ketuban dan sepsis. Terapi yang dapat dilakukan
adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit,
fibrinogen, dan heparinisasi atau pemberian Epsilon Amino Caproic Acid (EACA).6

2.7 Manajemen Perdarahan

Organisasi dan asosiasi termasuk WHO, International Federation of


Gynecologist and Obstetricians mengeluarkan panduan untuk pencegahan dan
pengelolaan PPH. Penatalaksanaan awal termasuk mengidentifikasikan PPH,
menentukan penyebab dan menerapkan intervensi yang tepat berdasarkan etiologi.
Intervensi untuk mengobati PPH umumnya dimulai dari yang kurang invasif dan
mencakup teknik kompresi, obat-obatan, prosedur dan pembedahan. Tatalaksana PPH
juga dapat melibatkan terapi tambahan seperti penggantian darah dan cairan. Untuk
mengobati kehilangan darah dan gejala sisa lainnya yang diakibatkan oleh PPH. Teknik
manajemen konservatif seperti obat yang menyebabkan rahim berkontraksi
(uterotonika), pijat rahim eksternal dan kompresi bimanual umumnya digunakan sebagai
pengobatan lini pertama. Teknik kompresi ini mendorong kontraksi uterus yang
menetralkan atonia dan membantu pengeluaran sisa plasenta atau bekuan.12

Obat-obatan yang sering digunakan dalam manajemen PPH adalah agen


uterotonika. Obat-obat ini termasuk oksitosin, methylergonovine maleat, misoprostol,
carboprost tromethamine dan dinoprostone. Prosedur yang digunakan dalam pengelolaan
PPH meliputi pengangkatan plasenta secara manual, pengangkatan bekuan secara
manual, temponade balon uterus. Perbaikan laserasi diindikasikan saat PPH merupakan
akibat dari trauma saluran genital. Pilihan pembedahan ketika tindakan lain gagal untuk
mengontrol perdarahan termasuk kuretase dan ligasi arteri panggul lainnya, jahitan
kompresi dan histerektomi. Prosedur yang lebih invasif dan teknik bedah umumnya

22
digunakan setelah manajemen konservatif lini pertama (misalnya gagal untuk
mengontrol perdarahan dan dapat dianggap sebagai intervensi lini kedua. Prosedur dan
pembedahan dapat meningkatkan risiko infeksi dan komplikasi lain dan dapat
menghilangkan atau mempegaruhi kesuburan dan kehamilan dimasa mendatang).
Setelah PPH dikendalikan, tindak lanjut manajemen bervariasi diantaranya pemeriksaan
laboratorium, terapi pengganti besi dan intervensi lain untuk menilai dan mengobati
gejala sisa PPH.12

23
2.8 Pencegahan
Pencegahan terjadinya PPH dapat dilakukan sejak ibu hamil melakukan perawatan
antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan
jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada proses persalinan semua mempunyai
risiko untuk terjadi patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pasca bersalin.7
Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal
2. Mengenal faktor predisposisi PPH seperti multiparitas, makrosmia, kehamilan
kembar, hidroamnion, bekas seksio, ada riwayat PPH sebelumnya dan kehamilan
risiko tinggi lainnya
3. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan mencegah partus lama
4. Kehamilan risiko tinggi adar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan
5. Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan di dukum

24
6. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPH dan merujuk
pasien sebagaimana mestinya.7

Pencegahan terjadinya PPH berdasarkan bukti dan penelitian menunjukkan bahwa


penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan angka kejadian dan
keparahan perdarahan post partum. Penangan yang dapat dilakukan, antara lain:
- Pemberian uterotonik (oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan
- Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
- Penarikan tali pusat yang lembut dengan penekan uterus secara berlawanan arah
ketika uterus berkontraksi.2.6
2.9 Prognosis
Prognosis dari perdarahan post partum umumnya dubia ad bonam. Namun,
prognosis ini tergantung dari penyebab terjadinya perdarahan, lama terjadinya
perdarahan, jumlah darah yang keluar, efektivitas dari tindakan pengobatan, dan
kecepatan pengobatan. Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat sangat penting
untuk mencapai hasil yang baik untuk pasien.1,6

25
BAB III
KESIMPULAN

Post Partum Hemorrhage (PPH) secara umum didefinisikan sebagai kehilangan


darah dari saluran genetalia >500 ml setelah melahirkam pervaginam atau >1000 ml setelah
melahirkan secara seksio sesarea. Definisi lain, Perdarahan post partum adalah perdarahan
>500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi mempengaruhi hemodinamik ibu.1,6
Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan oleh 4 T, tonus,
trauma, tissue, thrombus yaitu Atonia uteri, Robekan (laserasi, luka) jalan lahir, retensio
plasenta dan sisa plasenta, gangguan pembekuan darah (koagulopati).2
Pencegahan terjadinya PPH dapat dilakukan sejak ibu hamil melakukan perawatan
antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang
rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada proses persalinan semua mempunyai risiko untuk
terjadi patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pasca salin.8
Perdarahan post partum merupakan salah satu penyebab penting tingginya angka
morbiditas dan mortalitas ibu. Oleh karena itu para tenaga kesehatan diharapkan dapat
mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan serta cara-cara
penanganannya. Diharapkan dengan adanya deteksi dini, ketepatan diagnosis serta kecepatan
dalam penanganan perdarahan pascasalin, angka kematian ibu akibat perdarahan dapat
diturunkan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan obstetrik ginekologi Indonesia himpunan kedokteran fetomaternal.


Pedoman Nasional pelayanan kedokteran perdarahan pasca-salin. 2016.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku saku pelayanan kesehatan ibu di
fasilitas kesehatan dasar dan rujukan: pedoman bagi tenaga kesahatan. KEMENKES:
Jakarta; 2013. Hal. 101-8; 276-80.
3. Wormer KC, Jamil RT, Bryant SB. Acute Postpartum Hemorrhage. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499988/
4. James AH, Federspiel JJ, Ahmadzia HK. Disparities in obstetric hemorrhage outcomes.
Res Pract Thromb Haemost. 2022 Feb 6;6(1):e12656. doi: 10.1002/rth2.12656. PMID:
35146237; PMCID: PMC8818495.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020.
ISBN 978-623-301-218-8
6. Made Kornia Karkata, Perdarahan Pascapersalinan. Dalam: Ilmu kebidanan,
Prawirohardjo Sarwono. Ed.4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008.
Hal. 514-521.
7. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu bedah kebidanan. Ed 1. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2000.
8. Budiman, Mayasari D. Perdarahan postpartum dini ec retensio plasenta. Medula Unila.
Vol 7 No 3. 2017.
9. Gill P, Patel A, Van Hook JW. Uterine Atony. [Update 2022 Jul 5]. In; StatPearls
[Internet]. Treasur Island (FL); StatPearls Publishing; 2022 Jan.
10. Sari Ratna DP. Ruptur uteri. Juke unila. Maret 2015:5(9). Hal 110-13.
11. Lumbanraja SN. Kegawatdaruratan obstetri. Medan: Perpustakaan nasional: catalog
dalam terbitan (KDT). 2017. Hal 43-56.
12. Likis FE, Sathe NA, Morgans AK, et all. Management of postpartum hemorrhage
[internet]. Rockville (MD): Agency for healthcare research and quality (US); 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai