Anda di halaman 1dari 61

Laporan Kasus

HAMIL PRETERM DENGAN JANIN HIDROSEFALUS DAN


KELAINAN KONGENITAL SERTA TERDAPAT
POLIHIDROMION DAN RIWAYAT SC 1 KALI DIAKHIRI
DENGAN SECTIO CAESAREA

Disusun Oleh :
Ahmad Muchlisin, S.Ked.
NIM : 712021029

Pembimbing Klinik:
Dr. dr. Hj. Aryani Aziz, Sp.OG (K)., MARS.

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
HAMIL PRETERM DENGAN JANIN HIDROSEFALUS DAN KELAINAN
KONGENITAL SERTA TERDAPAT POLIHIDROMION DAN RIWAYAT
SC 1 KALI DIAKHIRI DENGAN SECTIO CAESAREA

Oleh:
Ahmad Muchlisin, S.Ked.
712021029

Telah dilaksanakan pada bulan Juni 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF/ Departemen Obstetri dan
Ginekologi Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2022

Dokter Pendidik Klinik


Dr. dr. Hj. Aryani Aziz, Sp.OG (K), MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“HAMIL PRETERM DENGAN JANIN HIDROSEFALUS DAN KELAINAN
KONGENITAL SERTA TERDAPAT POLIHIDROMION DAN RIWAYAT SC
1 KALI DIAKHIRI DENGAN SECTIO CAESAREA” sebagai syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang. Salawat beriring salam selalu tercurah
kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat, dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada:
1. Dr. dr. Hj. Aryani Aziz, Sp.OG (K)., MARS., selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik Senior di SMF/ Departemen Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang yang telah
memberikan masukan, arahan, serta bimbingan dalam penyelesaian
laporan kasus ini
2. Rekan-rekan co-assistant atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Palembang, Juni 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................ ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................ 1
1.2 Maksud dan Tujuan ................................................................................ 2
1.3 Manfaat ................................................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Sectio Caesarea...................................................................................... 3
2.2. Riwayat SC Sebelmunya ....................................................................... 7
2.3. Vaginal Birth After Caesarean............................................................... 23
2.4. Anemia dalam Kehamilan ..................................................................... 28

BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................40

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Apakah Penegakan Diagnosis pada Pasien ini Sudah Benar?............... 50
4.2 Apakah Penatalaksanaan pada Pasien ini Sudah Adekuat? .................. 51

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan................................................................................................. 53
5.2 Saran.....................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 54


LAMPIRAN.................................................................................................................... 54

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sectio Caesarea adalah proses kelahiran janin melalui tindakan
laparotomi dan dilanjutkan dengan histerotomi. 1 Word Health Organization
(WHO) mempertimbangkan rata-rata tindakan Sectio Caesarea berkisar 5%
sampai 15% sebagai range maksimum yang ditargetkan pada intervensi
penyelamatan nyawa dalam hal persalinan. Pada tahun 2014, di Amerika
Serikat rata-rata Sectio Caesarea meningkat hingga 29,1%, di Inggris dan
Wales juga telah mencapai 21,4%, meningkat 5 kali lipat sejak tahun 2001.
Selain itu, tercatat pula pada tahun 2011 hingga 2013, angka kejadian Sectio
Caesarea di Kanada adalah 22,5%. Data tersebut menunjukkan bahwa
secara global, khusus-nya di negara-negara maju, bahwa angka tindakan
persalinan melalui Sectio Caesarea terbilang tinggi. Pada tahun 70-an
permintaan Sectio Caesarea adalah sebesar 5%, dan kini pada tahun 2014
lebih dari 50% ibu hamil menginginkan operasi Sectio Caesarea.2
Tidak hanya di level dunia, angka persalinan dengan Sectio Caesarea
di Indonesia juga terbilang cukup tinggi. Hasil survei Gulardi dan
Basalamah, terhadap 64 rumah sakit di Jakarta tahun 2013, menunjukkan
dari 17.665 kelahiran, sebanyak 35,7-55,3% melahirkan dengan tindakan
Sectio Caesarea. Sebanyak 19,5-27,3% di antaranya karena adanya
komplikasi Cephalo Pelvic Disproportion yaitu ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin. Berikutnya, Sectio
Caesarea akibat perdarahan hebat yang terjadi selama persalinan sebanyak
11,9- 21% dan Sectio Caesarea karena janin sungsang berkisar antara 4,3-
8,7%.2 Hasil Riskesdas tahun 2018 menunjukkan kelahiran dengan metode
operasi sesar sebesar 17,6 persen dari total 78.736 kelahiran sepanjang
tahun 2018 di Indonesia, dan pada sumatera selatan sebesar 9.4% dari total
2.529 kelahiran.3
Dengan meningkatnya frekuensi seksio sesarea ini, maka dapat
meningkat pula angka kejadian ibu hamil dengan riwayat pernah melahirkan

1
dengan seksio sesarea serta penyulit yang dialami saat persalinan. Di
Inggris, frekuensi seksio sesarea ulangan pada ibu yang pernah seksio
sesarea sebelumnya sekitar 28% dari kelahiran yang ada. Selain itu, di
Australia selatan sekitar 56,6% seksio sesarea elektif dan 13,9% seksio
sesarea emergensi dialami oleh ibu yang pernah seksio sesarea sebelumnya.
Di RSUP DR.M.Djamil Padang, kasus persalinan pada ibu dengan riwayat
seksio sesarea pada persalinan sebelumnya pada tahun 2012 sekitar 8,90%.
Kehamilan dan persalinan dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya akan
mendapat risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas yang meningkat
terutama berhubungan dengan parut uterus. 4

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan bagi semua dokter muda agar dapat memahami kasus
kehamilan dengan kondisi janin hidrosefalus dan kelainan kongenital
serta terdapat polihidromion dan riwayat sectio caesarea.
2. Diharapkan munculnya pola berfikir yang kritis bagi semua dokter
muda setelah dilakukannya diskusi dengan dosen pembimbing klinik
tentang kasus kehamilan dengan kondisi janin hidrosefalus dan
kelainan kongenital serta terdapat polihidromion dan riwayat sectio
caesarea.

1.1. Manfaat
1.1.1. Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan
referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu obstetric dan
ginekologi.
b. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan laporan kasus ini dapat
menjadi landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.
1.1.2. Manfaat Praktis

2
Bagi dokter muda, diharapkan laporan kasus ini dapat diaplikasikan
pada kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dalam penegakkan
diagnosis yang berpedoman pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sectio Caesarea


2.1.1. Definisi
Sectio Caesarea adalah proses kelahiran janin melalui tindakan
laparotomi dan dilanjutkan dengan histerotomi.1 Definisi lain dari sectio
caesar adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.4
Sectio caesarea merupakan tindakan medis yang diperlukan
untuk membantu persalinan yang tidak bisa dilakukan secara normal
akibat masalah kesehatan ibu atau kondisi janin. Tindakan ini diar-
tikan sebagai pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi
untuk melahirkan janin dari dalam rahim.2

2.1.2. Prevalensi
Menurut data WHO, angka persalinan Sectio Caesarea di
dunia terus meningkat.dunia terus meningkat. Pada tahun 1970 an
sekitar 5-7% dari seluruh persalinan, dan kemudian pada tahun 1987
meningkat menjadi 24,4%. Lalu pada tahun 1996, dengan berbagai
upaya diusahakan agar persalinan Sectio Caesarea dapat diturunkan
sehingga menjadi 22,8% dan terus ditekan/dikendalikan hingga
stabil di kisaran 15-18%. WHO merekomendasikan angka Sectio
Caesarea di suatu negara hanya 5-15%.6 Berdasarkan hasil survei
WHO tahun 2004-2008 di tiga benua yaitu Amerika Latin, Afrika
dan Asia diketahui angka kejadian Sectio Caesarea terendah di
Angola yaitu 2,3% dan tertinggi di Cina sebesar 46,2%.6 Demikian
juga angka persalinan Sectio Caesarea di Asia meningkat tajam.
Hasil penelitian di Thailand memperlihatkan persalinan Sectio
Caesarea pada tahun 1990 sekitar 15,2% dan pada tahun 1996
4

menjadi 22,4%. Di Cina, angka persalinan Sectio Caesarea pada


tahun 2003 sebesar 19,2% dan pada tahun 2011 meningkat tajam
menjadi 36,3%.6
Di Indonesia angka persalinan Sectio Caesarea meningkat
sangat tajam terutama di kotakota besar. Hasil Riskesdas tahun 2018
menunjukkan kelahiran dengan metode operasi sesar sebesar 17,6
persen dari total 78.736 kelahiran sepanjang tahun 2018 di
Indonesia, dan pada sumatera selatan sebesar 9.4% dari total 2.529
kelahiran.3
Angka persalinan Sectio Caesarea diprediksi akan terus
meningkat. Hal ini karena kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang obstetrik dan ginekologi, pemantauan janin secara elektronik
telah menyebar luas, peningkatan status ekonomi dan tingkat
pendidikan yang tinggi. Disamping itu, akses untuk mendapatkan
informasi mengenai persalinan Sectio Caesarea tersedia dengan
cepat sehingga dengan mudah menentukan pilihan persalinan yang
akan dijalani nya.6

2.1.3. Klasifikasi
1. Sectio Caesarea Elektif
Sectio Caesarea elektif didefinisikan sebagai prosedur
Sectio Caesarea yang dilakukan tanpa keadaan darurat dan
keputusan dibuat sebelum persalinan.7
2. Sectio Caesarea Darurat (Emergency)
Sectio Caesarea darurat (emergency) didefinisikan sebagai
tindakan Sectio Caesarea yang dilakukan untuk keadaan darurat
ibu atau janin seperti preeklampsia, gawat janin atau karena
penyebab lain.7
5

2.1.4. Indikasi
Berikut ini merupakan indikasi dari Sectio Caesarea.2

Tabel 2.1. Indikasi SC2

Sumber: Cunningham (2018)


2.1.5. Kontraindikasi
6

Kontraindikasi section caesarea antara lain:7,8


 Infeksi intrapartum
 Koagulopati parah
Untuk kontraindikasi dari Sectio Caesarea perlu diingat bahwa tindakan
ini dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin oleh karena itu sebaiknya
tidak dilakukan apabila janin telah meninggal, atau terlalu kecil untuk
hidup diluar kandungan, atau terbukti menderita cacat seperti
hidrosefalus, anensefalus dan lain-lain. Infeksi intrapartum juga
merupakan kontraindikasi relatif mengingat bahayanya bagi ibu.7,8

2.1.6. Komplikasi9
Komplikasi Sectio Caesarea antara lain:9
1) Komplikasi intraoperatif: Infeksi, Injury organ, risiko yang
berhubungan dengan anestesi, kebutuhan untuk transfusi
darah, dan histerektomi.
2) Komplikasi postoperatif: Thromboemboli, Adhesi dan
Nyeri yang menetap, sindroma sheehan
3) Risiko untuk kehamilan selanjutnya: Intrauterine Growth
Retardation, Abortus spontan, Kehamilan ektopik, Janin
meninggal ketika dilahirkan (Stillbirth), Ruptur uterus,
Infertilitas, Plasenta previa, Plasenta inkreta, Plasenta
akreta, dan risiko penyerta lainnya.

2.2. Riwayat Sectio Caesarea Pada Persalinan Sebelumnya


Pada awal abad ke-20, persalinan sesar telah menjadi relatif aman.
Namun, karena wanita selamat dari operasi pertama dan hamil lagi, mereka
sekarang berisiko mengalami ruptur jaringan parut rahim. Namun, momok
ruptur tidak menghasilkan kepatuhan yang ketat untuk melahirkan sesar
berulang.1
Percobaan persalinan setelah operasi Caesar/ A Trial of Labor After
Caesarean (TOLAC) dapat menjadi alternatif yang aman dan tingkat
keberhasilan dilaporkan 60-80%. Keberhasilan TOLAC memiliki banyak
7

manfaat jangka panjang dan jangka pendek, termasuk pengurangan


komplikasi perinatal, perdarahan, trombosis, dan infeksi. Meskipun demikian,
tingkat TOLAC telah menurun. Cara persalinan sangat terkait dengan
konseling dari dokter. Dalam praktik klinis, dokter kandungan cenderung
menekankan komplikasi utama yang terkait dengan TOLAC, khususnya
ruptur uteri. Banyak wanita yang memenuhi syarat untuk TOLAC menjalani
persalinan Caesar elektif berulang/ Elective Repeat Caesarean Delivery
(ERCD) sebelum usia kehamilan 39 minggu. Dokter harus memberikan
informasi yang lebih mendalam tentang TOLAC untuk memungkinkan pasien
membuat keputusan yang tepat.14
Sampai saat ini, sangat sedikit percobaan acak telah dilakukan yang
menyediakan data komparatif dan pilihan TOLAC atau ERCD masih
kontroversial karena manfaat dan risiko yang terkait. Selain itu, kurangnya
pendidikan tentang TOLAC sering dikaitkan dengan ERCD karena mayoritas
wanita tidak dapat membuat keputusan yang tepat.14

2.2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Persalinan


Untuk wanita yang pernah melahirkan sesar sebelumnya,
perencanaan kehamilan di masa depan dan rute persalinan harus
dimulai dengan konseling prakonsepsi dan ditangani sekali lagi di
awal perawatan pranatal. 1
Dengan asumsi tidak ada keadaan yang meringankan, ada dua
pilihan dasar. Pertama, TOLAC menawarkan tujuan untuk mencapai
Vaginal Birth After Caesarean (VBAC). Jika persalinan sesar menjadi
perlu selama percobaan, maka itu disebut "percobaan persalinan yang
gagal." Pilihan kedua adalah persalinan sesar elektif berulang /
Elective Repeat Caesarean Delivery (ERCD). Ini termasuk persalinan
sesar yang dijadwalkan serta persalinan sesar yang tidak dijadwalkan
tetapi direncanakan untuk persalinan spontan atau indikasi lain.1
Keputusan akhir harus mempertimbangkan faktor klinis yang
diketahui mempengaruhi keberhasilan TOLAC serta manfaat dan
risiko. Seperti yang diharapkan, tarif ini bervariasi antara institusi dan
8

penyedia. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan TOLAC


tercantum dalam tabel 2.2. Akhirnya, faktor ekonomi, staf, dan
medikolegal dapat membentuk keputusan untuk menawarkan
TOLAC.1

Tabel 2.2. Faktor Yang Mempengaruhi TOLAC

Sumber: Cunningham (2018)

2.2.2. Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Rute Persalinan


A. Risiko Ibu
Tingkat ruptur uteri dan komplikasi terkait jelas meningkat
dengan TOLAC. Ruptur uteri biasanya diklasifikasikan sebagai (1)
lengkap, ketika semua lapisan dinding rahim terpisah, atau (2) tidak
lengkap, ketika otot rahim terpisah tetapi peritoneum viseral masih
utuh. Ruptur inkomplit juga sering disebut sebagai dehiscence uteri.
Risiko inilah yang mendasari sebagian besar kecemasan dalam
mencoba TOLAC. Meskipun demikian, beberapa orang berpendapat
bahwa faktor-faktor ini seharusnya hanya menjadi pertimbangan
minimal dalam pengambilan keputusan karena risiko absolutnya
9

rendah. Satu tinjauan sistematis oleh Guise dan rekan (2010) yang
dikutip dalam Cunningham (2018), menyimpulkan bahwa risiko
ruptur uteri meningkat secara signifikan pada wanita yang menjalani
TOLAC—risiko absolut 0,47 persen dan risiko relatif 20,7—
dibandingkan dengan mereka yang memilih ERCD.1
Tabel 2.3. Komplikasi Pada Wanita Dengan Riwayat SC Sebelumnya

Sumber: Cunningham (2018)

Suatu studi yang melakukan studi prospektif di 19 pusat


akademik. Hasil dari hampir 18.000 wanita yang mencoba TOLAC
dibandingkan dengan lebih dari 15.000 gravida yang menjalani
ERCD. Risiko mutlak ruptur uteri adalah 0,7 persen dibandingkan
dengan tidak ada ruptur uteri yang dilaporkan dalam kohort ERCD.
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa angka kematian ibu
tidak berbeda secara signifikan antara keduanya. Tapi, tinjauan
sistematis yang disebutkan di atas oleh Guise (2010) yang dikutip
dalam Cunningham (2018), menemukan risiko kematian ibu
10

berkurang secara signifikan untuk wanita yang menjalani TOLAC


dibandingkan dengan ERCD. Dalam studi kohort Kanada
retrospektif, tingkat kematian ibu untuk wanita yang menjalani
ERCD adalah 5,6 per 100.000 kasus dibandingkan dengan 1,6 per
100.000 untuk mereka yang mencoba TOLAC.1
Perkiraan morbiditas ibu juga bertentangan. Ulasan olehGuise
(2010) yang dikutip dalam Cunningham (2018),mengamati tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam risiko histerektomi atau transfusi.
Tetapi, metaanalisis lain melaporkan bahwa wanita yang menjalani
TOLAC kira-kira setengahnya membutuhkan transfusi darah atau
histerektomi dibandingkan dengan mereka yang menjalani ERCD.
Sebaliknya, dalam studi Jaringan, peneliti mengamati bahwa risiko
transfusi dan infeksi secara signifikan lebih besar untuk wanita yang
mencoba TOLAC. Disparitas ini juga ditemukan di antara penelitian-
penelitian lainnya. Khususnya, dibandingkan dengan TOLAC yang
berhasil, risiko komplikasi utama ini lima kali lipat lebih besar
dengan upaya persalinan pervaginam yang gagal.1
B. Risiko Janin dan Neonatal
TOLAC dikaitkan dengan angka kematian perinatal yang
secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan ERCD. Tingkat
perinatal dengan TOLAC adalah 0,13 dibandingkan dengan 0,05
persen untuk ERCD, dan angka kematian neonatal adalah 0,11
berbanding 0,06 persen, masing-masing. Dalam penelitian lain
terhadap hampir 25.000 wanita dengan riwayat persalinan sesar,
risiko kematian perinatal terkait persalinan pervaginam adalah 1,3
per 1000 di antara 15.515 wanita yang memilih TOLAC. Meskipun
risiko absolut ini kecil, tetapi 11 kali lebih besar daripada risiko yang
ditemukan pada 9.014 wanita dengan ERCD.1
TOLAC juga tampaknya terkait dengan risiko hipoksia
iskemik ensefalopati (HIE) yang lebih tinggi daripada ERCD. Studi
Jaringan melaporkan kejadian HIE pada aterm menjadi 46 per
11

100.000 TOLAC dibandingkan dengan nol kasus pada wanita yang


menjalani ERCD.1
Dalam tinjauan sistematis, risiko absolut takipnea transien
pada bayi baru lahir sedikit lebih tinggi dengan ERCD dibandingkan
dengan TOLAC-4,2 versus 3,6 persen. Namun, ventilasi bag dan
masker neonatus lebih sering digunakan pada bayi baru lahir yang
dilahirkan setelah TOLAC daripada bayi yang dilahirkan dengan
ERCD—5,4 berbanding 2,5 persen.1
Akhirnya, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam skor
Apgar 5 menit atau tingkat masuk unit perawatan intensif neonatal
untuk bayi baru lahir yang dilahirkan oleh TOLAC dibandingkan
dengan yang dilahirkan oleh ERCD. Trauma lahir dari laserasi lebih
sering terlihat pada neonatus yang lahir dengan ERCD.1
C. Sayatan Rahim Sebelumnya
1) Jenis Sayatan Sebelumnya
Jenis dan jumlah persalinan sesar sebelumnya merupakan
faktor utama dalam merekomendasikan TOLAC. Wanita dengan
satu histerotomi transversal rendah sebelumnya memiliki risiko
terendah dari pemisahan bekas luka simtomatik. Risiko tertinggi
adalah dengan insisi vertikal sebelumnya meluas ke fundus.1
Yang penting, pada beberapa wanita, bekas luka klasik
akan pecah sebelum onset persalinan, dan ini bisa terjadi
beberapa minggu sebelum aterm. Dalam sebuah tinjauan
terhadap 157 wanita dengan riwayat persalinan sesar klasik,
seorang wanita mengalami ruptur uteri lengkap sebelum onset
persalinan, sedangkan 9 persen mengalami dehiscence uterus.1
12

Tabel 2.4. Tipe Insisi Uteri Dan Estimasi Terjadinya Ruptur Uteri

Sumber: Cunningham (2018)

Bekas luka persalinan sesar vertikal yang pecah


diidentifikasi pada saat persalinan sesar berulang di awal
persalinan. Dua tanda bintang hitam di sebelah kiri
menunjukkan beberapa tempat omentum yang melekat rapat.1
Risiko ruptur uteri pada wanita dengan insisi vertikal
sebelumnya yang tidak meluas ke fundus tidak jelas.Sayatan
rahim vertikal rendah ini tidak memiliki peningkatan risiko
ruptur dibandingkan dengan sayatan melintang rendah.
American College of Obstetricians and Gynecologists (2017) )
yang dikutip dalam Cunningham (2018), menyimpulkan bahwa
meskipun bukti terbatas, wanita dengan sayatan vertikal
sebelumnya di segmen bawah rahim tanpa ekstensi fundus
mungkin menjadi kandidat untuk TOLAC. Hal ini berbeda
dengan insisi uterus klasik atau berbentuk T sebelumnya, yang
oleh sebagian besar dianggap sebagai kontraindikasi persalinan.1
Meskipun ada beberapa indikasi untuk sayatan klasik
primer, 53 persen wanita yang menjalani persalinan sesar antara
240/7 minggu dan 256/7 minggu memiliki sayatan seperti itu.
Pada usia kehamilan 28 minggu, risikonya turun menjadi 35
13

persen dan menurun menjadi <10 persen pada 32 minggu.


Kemungkinan insisi uterus klasik juga meningkat dengan
presentasi noncephalic. Dalam kasus tersebut—misalnya, janin
sungsang prematur dengan segmen bawah yang belum
berkembang—sayatan "vertikal rendah" hampir selalu meluas ke
segmen aktif. Pelahiran sesar prematur sebelumnya dapat
menyebabkan peningkatan risiko dua kali lipat. Hal ini mungkin
sebagian dijelaskan oleh kemungkinan yang lebih besar pada
janin prematur dengan ekstensi insisi uterus ke atas.Lannon dan
rekan kerja (2015) yang dikutip dalam Cunningham
(2018),membandingkan 456 wanita dengan riwayat persalinan
sesar periviable dengan lebih dari 10.000 wanita yang persalinan
sesar sebelumnya terjadi pada saat aterm. Mereka mengamati
ruptur uteri pada 1,8 persen pada kelompok periviable
sebelumnya versus 0,4 persen pada kelompok aterm
sebelumnya. Dari ruptur uteri pada kelompok periviable,
setengahnya terjadi pada wanita yang insisi uterus sebelumnya
digambarkan sebagai transversal rendah.1
Ada juga pertimbangan khusus untuk wanita dengan
kelainan bentuk rahim yang telah menjalani operasi caesar.
Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa risiko ruptur uteri
pada kehamilan berikutnya lebih besar daripada risiko pada
mereka yang memiliki histerotomi transversal rendah
sebelumnya dan rahim yang terbentuk secara normal. Namun,
dalam sebuah penelitian terhadap 103 wanita dengan anomali
duktus mullerian, tidak ada kasus ruptur uteri. Mengingat
berbagai risiko ruptur uteri yang terkait dengan berbagai jenis
sayatan rahim, tidak mengherankan bahwa sebagian besar rekan
dari American College of Obstetricians and Gynecologists
menganggap jenis sayatan sebelumnya menjadi faktor yang
paling penting ketika mempertimbangkan TOLAC.1
14

2) Penutupan Sayatan Sebelumnya


Insisi histerotomi transversal rendah dapat dijahit dalam
satu atau dua lapisan. Sebuah metaanalisis oleh Roberge dan
rekan (2014) yang dikutip dalam Cunningham (2018),
membandingkan penutupan lapisan tunggal versus lapisan ganda
dan jahitan penguncian versus membuka kunci untuk penutupan
uterus. Mereka melaporkan bahwa tingkat dehiscence uteri atau
ruptur uteri untuk penutupan ini tidak berbeda secara signifikan.
Penutupan lapisan tunggal dan penguncian lapisan pertama,
bagaimanapun, dikaitkan dengan berkurangnya ketebalan
miometrium selama pengukuran sonografi berikutnya.
Sebaliknya,Bennich dan rekan kerja (2016) yang dikutip dalam
Cunningham (2018),melaporkan bahwa penutupan lapisan
ganda tidak meningkatkan ketebalan sisa miometrium ketika
sonografi kontras salin dilakukan beberapa bulan
pascapersalinan. Di Parkland Hospital, kami secara rutin
menutup sayatan segmen bawah dengan satu garis jahitan
pengunci.1
3) Jumlah Sayatan Pada Operasi Caesar Sebelumnya
Setidaknya tiga studi melaporkan dua kali lipat atau tiga
kali lipat dari tingkat ruptur pada wanita dengan dua
dibandingkan dengan satu histerotomi transversal sebelumnya.
Sebaliknya, analisis database Sebaliknya, mereka melaporkan
perbedaan yang tidak signifikan dalam tingkat ruptur uteri pada
975 wanita dengan beberapa persalinan sesar sebelumnya
dibandingkan dengan 16.915 wanita dengan satu operasi
sebelumnya—0,9 berbanding 0,7 persen, masing-masing.
Morbiditas ibu yang serius lainnya meningkat seiring dengan
jumlah kelahiran sesar sebelumnya.1
4) Pencitraan Sayatan Sebelumnya
Pengukuran sonografi dari sayatan histerotomi
sebelumnya telah digunakan untuk memprediksi kemungkinan
15

ruptur. Cacat besar pada rahim yang tidak hamil meramalkan


risiko yang lebih besar untuk ruptur berikutnya.Naji dan rekan
kerja (2013) yang dikutip dalam Cunningham
(2018),menemukan bahwa ketebalan sisa miometrium menurun
seiring dengan kemajuan kehamilan dan ruptur tersebut
berhubungan dengan bekas luka yang lebih tipis. Dalam tinjauan
sistematis, wanita dengan sayatan sesar transversal rendah
sebelumnya menjalani evaluasi sonografi trimester ketiga.
Peneliti menyimpulkan bahwa ketebalan segmen bawah rahim
adalah prediktor kuat untuk cacat bekas luka rahim pada wanita
dengan riwayat sesar. Mereka mendefinisikan segmen ini
sebagai ukuran terkecil antara urin di kandung kemih ibu dan
cairan amnion. Yang mengatakan, mereka tidak dapat
menemukan nilai ambang batas yang ideal untuk
merekomendasikan TOLAC. Kelompok yang sama ini
kemudian merekrut 1.856 wanita yang berencana untuk
melahirkan pervaginam setelah satu sayatan melintang rendah,
dan mereka secara sonografi mengukur ketebalan segmen bawah
rahim antara 34 minggu dan 39 minggu. Mereka
mengelompokkan wanita ke dalam tiga kategori risiko ruptur
uteri selama TOLAC berdasarkan nilai segmen yang diukur:
risiko tinggi <2,0 mm; risiko menengah 2,0–2,4 mm; dan risiko
rendah 2,5 mm. Tingkat TOLAC masing-masing adalah 9, 42,
dan 61 persen dalam tiga kategori. Dari 984 TOLAC, tidak ada
gejala ruptur uteri.1
D. Ruptur Uterus Sebelumnya
Wanita yang sebelumnya mengalami ruptur uteri memiliki
risiko lebih besar untuk kambuh. Mereka dengan ruptur segmen
rendah sebelumnya memiliki risiko kekambuhan hingga 6 persen,
sedangkan ruptur uteri segmen atas sebelumnya memberikan risiko 9
hingga 32 persen.Fox dan rekan (2014) yang dikutip dalam
Cunningham (2018), melaporkan 14 wanita dengan ruptur uteri
16

sebelumnya dan 30 wanita dengan dehiscence uterus sebelumnya.


Pada 60 kehamilan berikutnya, mereka melaporkan tidak ada ruptur
uteri atau komplikasi berat jika wanita ditangani dengan cara standar
dengan persalinan sesar sebelum onset persalinan.1
E. Interval Persalinan
Studi pencitraan resonansi magnetik penyembuhan
miometrium menunjukkan bahwa involusi uterus lengkap dan
pemulihan anatomi mungkin memerlukan setidaknya 6 bulan. Untuk
mengeksplorasi ini lebih lanjut,Shipp dan rekan kerja (2001) yang
dikutip dalam Cunningham (2018) meneliti hubungan antara interval
antar persalinan dan ruptur uteri pada 2409 wanita dengan satu
persalinan sesar sebelumnya. Ada 29 wanita dengan ruptur uteri—
1,4 persen. Interval antar persalinan 18 bulan dikaitkan dengan risiko
ruptur simtomatik tiga kali lipat lebih besar selama TOLAC
berikutnya dibandingkan dengan interval >18 bulan. Demikian
pula,Stamilio dan rekan (2007) yang dikutip dalam Cunningham
(2018)mencatat peningkatan tiga kali lipat risiko ruptur uteri pada
wanita dengan interval antar kehamilan <6 bulan dibandingkan
dengan satu 6 bulan.1
F. Persalinan Vagina Sebelumnya
Persalinan pervaginam sebelumnya, baik sebelum atau setelah
kelahiran sesar, meningkatkan prognosis untuk pelahiran pervaginam
berikutnya dengan persalinan spontan atau induksi. Persalinan
pervaginam sebelumnya juga menurunkan risiko ruptur uteri
berikutnya dan morbiditas lainnya.1
G. Indikasi Persalinan Caesar Sebelumnya
Wanita dengan indikasi yang tidak berulang—misalnya,
presentasi bokong—memiliki tingkat VBAC tertinggi hampir 90
persen. Mereka yang pernah melahirkan sesar untuk kompromi janin
memiliki tingkat VBAC sekitar 80 persen, dan bagi mereka yang
dilakukan untuk penghentian persalinan, tingkat VBAC mendekati
17

60 persen. Persalinan sesar kala dua sebelumnya dapat dikaitkan


dengan ruptur uteri kala dua pada kehamilan berikutnya.
H. Ukuran dan Posisi Janin
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
ukuran janin berbanding terbalik dengan tingkat VBAC. Risiko
ruptur uteri kurang terkait erat. Zelop dan rekan (2001) yang dikutip
dalam Cunningham (2018) mempelajari hasil dari hampir 2750
wanita yang menjalani TOLAC, dan tingkat ruptur uteri meningkat
—walaupun tidak signifikan—dengan meningkatnya berat janin.
Angkanya 1,0 persen untuk berat janin <4000 g, 1,6 persen untuk
>4000 g, dan 2,4 persen untuk >4250 g. Demikian pula,Jastrow dan
rekan (2010) yang dikutip dalam Cunningham (2018) dalam laporan
retrospektif dari 2586 wanita dengan insisi uterus transversal rendah
sebelumnya, mengamati peningkatan risiko untuk percobaan
persalinan yang gagal, ruptur uteri, distosia bahu, dan laserasi
perineum yang terkait dengan peningkatan berat badan lahir.
Sebaliknya,Baron dan rekan kerja (2013) yang dikutip dalam
Cunningham (2018)tidak menemukan angka ruptur uteri yang lebih
tinggi dengan berat lahir >4000 g. Dengan janin prematur, wanita
yang mencoba TOLAC memiliki tingkat VBAC yang lebih tinggi
dan tingkat ruptur yang lebih rendah.1
Data yang mendukung versi cephalic eksternal (ECV) untuk
presentasi bokong terbatas dan berasal dari penelitian kecil). Dari ini,
keberhasilan ECV dan tingkat efek samping tampak sebanding
dengan wanita tanpa operasi sesar sebelumnya. American College of
Obstetricians and Gynaecologists (2016) yang dikutip dalam
Cunningham (2018) mengakui kurangnya data yang kuat ini. Di
Rumah Sakit Parkland, kami tidak mencoba ECV pada mereka yang
pernah melahirkan secara sesar.1
I. Kehamilan Multijanin
Kehamilan kembar tampaknya tidak meningkatkan risiko
ruptur uteri.Ford dan rekan (2006) yang dikutip dalam Cunningham
18

(2018)menganalisis 1850 wanita dengan anak kembar dan


melaporkan 45 persen tingkat VBAC yang berhasil sebesar 0,9
persen. Studi serupa olehCahill (2005)danVarner (2007)dan rekan
yang dikutip dalam Cunningham (2018) mereka melaporkan tingkat
pecahnya 0,7 hingga 1,1 persen dan tingkat VBAC 75 sampai 85
persen. Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (2017) yang dikutip dalam Cunningham (2018),
wanita dengan kembar dan histerotomi transversal rendah
sebelumnya dapat dengan aman menjalani TOLAC.1
J. Obesitas ibu
Beberapa penelitian telah melaporkan hubungan terbalik antara
indeks massa tubuh sebelum hamil (BMI) dan tingkat
VBAC.Hibbard dan rekan kerja (2006) yang dikutip dalam
Cunningham (2018) melaporkan tingkat berikut: 85 persen dengan
BMI normal, 78 persen dengan BMI antara 25 dan 30, 70 persen
dengan BMI antara 30 dan 40, dan 61 persen dengan BMI 40.1K
K. Kematian Janin
Sebagian besar wanita dengan riwayat persalinan sesar dan
kematian janin pada kehamilan saat ini akan lebih memilih
persalinan pervaginam. Meskipun kekhawatiran janin dihindarkan,
data yang tersedia menunjukkan bahwa risiko ibu meningkat.
Hampir 46.000 wanita dengan persalinan sesar sebelumnya dalam
database Jaringan memiliki total 209 kematian janin pada usia
kehamilan rata-rata 32,8 minggu. Ada 158 perempuan yang memilih
TOLAC, dengan tingkat VBAC 87 persen. Di seluruh kelompok
TOLAC, tingkat ruptur uteri adalah 2,4 persen. Dari 116 ibu yang
menjalani induksi persalinan, terdapat lima kasus ruptur uteri (3,4
persen).1
19

2.2.3. Manajemen Intrapartum


Karena risiko ruptur uteri pada wanita yang menjalani
TOLAC, American Academy of Pediatricians dan American College
of Obstetricians and Gynecologists (2017) yang dikutip dalam
Cunningham (2018),merekomendasikan bahwa uji coba semacam itu
dilakukan hanya di fasilitas dengan staf yang segera tersedia untuk
memberikan perawatan darurat. Selain itu, pusat-pusat ini harus
memiliki rencana dan sumber daya untuk mengelola ruptur uteri.
Beberapa berpendapat bahwa ketentuan ini menolak akses penuh
perempuan ke pilihan. Misalnya, dalam survei sebelumnya di rumah
sakit Ohio, 15 persen lembaga Tingkat I, 63 persen Tingkat II, dan
100 persen lembaga Tingkat III memenuhi persyaratan ini. Selain itu,
survei tenaga kerja anestesi obstetrik melaporkan bahwa karena
keterbatasan staf, TOLAC hanya diperbolehkan di 88 persen rumah
sakit dengan 1500 persalinan per tahun, di 59 persen di antaranya
dengan 500 hingga 1499 persalinan, dan di 43 persen di rumah sakit
dengan < 500 persalinan. Dalam beberapa kasus, wanita memilih
untuk mencoba TOLAC di pusat bersalin atau di rumah.1
A. Pematangan Serviks dan Stimulasi Persalinan
Induksi persalinan dikaitkan dengan tingkat kegagalan yang
lebih tinggi selama TOLAC. Namun, risiko ruptur uteri kurang jelas
dengan induksi atau augmentasi, kecuali prostaglandin E1—
misoprostol—yang merupakan kontraindikasi. Sebaliknya, kami
mencoba induksi hanya dengan amniotomi. Pertimbangan lain
adalah untuk menghindari induksi atau augmentasi pada wanita
dengan jenis insisi sebelumnya yang tidak diketahui, serviks yang
tidak baik, atau kehamilan >40 minggu.1
B. Oksitosin
Induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin telah
terlibat dalam peningkatan angka ruptur uteri pada wanita yang
menjalani TOLAC. Dalam studi Jaringan yang dilaporkan oleh
Landon dan rekan (2004) yang dikutip dalam Cunningham (2018),,
20

ruptur uteri lebih sering terjadi pada wanita yang diinduksi dengan
oksitosin saja—1,1 persen—dibandingkan dengan mereka yang
melahirkan secara spontan—0,4 persen. Augmentasi persalinan
dikaitkan dengan ruptur uteri pada 0,9 persen. Di antara wanita
dalam percobaan ini tanpa persalinan pervaginam sebelumnya, risiko
ruptur uteri yang terkait dengan induksi oksitosin adalah 1,8 persen
—risiko empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan persalinan
spontan. Sebaliknya, dalam satu studi kasus-kontrol, induksi tidak
dikaitkan dengan risiko ruptur yang lebih tinggi.Cahill
(2008)danGoetzl (2001)dan rekan kerja yang dikutip dalam
Cunningham (2018), mereka melaporkan risiko terkait dosis pecah
dengan oksitosin.1
C. Prostaglandin
Berbagai preparat prostaglandin yang biasa digunakan untuk
pematangan serviks atau induksi persalinan. Sebagai sebuah
kelompok, penggunaan yang aman pada wanita dengan persalinan
sesar sebelumnya tidak jelas karena data yang bertentangan.1
Dengan misoprostol (PGE1), Wing dan rekan (1998) yang
dikutip dalam Cunningham (2018),membandingkannya dengan
oksitosin untuk induksi persalinan pada wanita dengan persalinan
sesar sebelumnya. Mereka menghentikan percobaan mereka setelah
dua dari 17 wanita pertama yang diberi misoprostol mengalami
ruptur uteri. Penelitian lain mengkonfirmasi hal ini, dan sebagian
besar menganggap misoprostol sebagai kontraindikasi.1
Prostaglandin lain, studi untuk mengevaluasi penggunaannya
untuk induksi adalah kontradiktif.Ravasia dan rekan kerja (2000)
yang dikutip dalam Cunningham (2018),membandingkan ruptur uteri
pada 172 wanita yang diberi gel PGE2 dengan 1544 wanita dalam
persalinan spontan. Tingkat ruptur secara signifikan lebih besar pada
wanita yang diobati dengan gel PGE2—2,9 persen dibandingkan
dengan 0,9 persen pada wanita dengan persalinan spontan.Lydon-
Rochelle dan rekan (2001) yang dikutip dalam Cunningham (2018),
21

menemukan hasil yang serupa. Namun, dalam studi Jaringan yang


dikutip sebelumnya, tingkat ruptur uteri adalah 1,4 persen ketika
prostaglandin digunakan dalam kombinasi dengan oksitosin. Tetapi,
pada subkelompok dari 227 wanita yang persalinannya diinduksi
dengan prostaglandin saja, tidak ada ruptur. Temuan serupa
dilaporkan dengan prostaglandin intravaginal, yang tidak terkait
dengan risiko ruptur uteri yang lebih besar. Penggunaan berurutan
dari prostaglandin diikuti oleh oksitosin dikaitkan dengan risiko
pecah tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan persalinan
spontan.1
D. Metode Mekanik
Studi tentang penggunaan kateter Foley transservikal untuk
pematangan serviks dan induksi persalinan pada wanita dengan
riwayat sesar masih terbatas. Dalam sebuah penelitian retrospektif
terhadap 2479 wanita dengan riwayat persalinan sesar, risiko ruptur
uteri menggunakan kateter Foley transservikal untuk induksi
persalinan (1,6 persen) tidak lebih besar secara signifikan
dibandingkan dengan persalinan spontan (1,1 persen) atau dengan
menggunakan amniotomi dengan atau tanpa oksitosin. 1,2 persen).
Sebaliknya, Hoffman (2004) yang dikutip dalam Cunningham
(2018), menggambarkan 138 wanita yang menjalani pematangan
serviks prainduksi dengan kateter Foley dibandingkan dengan 536
wanita yang memasuki persalinan secara spontan. Mereka
mengamati risiko ruptur uteri yang signifikan dan sangat tinggi
selama persalinan setelah pematangan serviks kateter Foley
dibandingkan dengan onset persalinan spontan—6,5 berbanding 1,9
persen.1
E. Analgesia Epidural
Kekhawatiran bahwa analgesia epidural untuk persalinan
mungkin menutupi nyeri ruptur uteri belum diverifikasi. Kurang dari
10 persen wanita dengan pemisahan bekas luka mengalami rasa sakit
dan pendarahan, dan deselerasi detak jantung janin adalah tanda
22

yang paling mungkin. Yang mengatakan,Cahill dan rekan kerja


(2010) yang dikutip dalam Cunningham (2018),didokumentasikan
bahwa lebih sering episode dosis epidural dikaitkan dengan
peningkatan tingkat ruptur uteri. Tingkat VBAC serupa, dan dalam
beberapa kasus lebih tinggi, di antara wanita dengan analgesia
epidural persalinan dibandingkan dengan mereka yang menggunakan
bentuk analgesia lainnya. Mungkin terkait, hampir seperempat
persalinan VBAC diselesaikan dengan forsep atau vakum. American
Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians and
Gynecologists (2017) yang dikutip dalam Cunningham (2018),
menyimpulkan bahwa analgesia epidural dapat digunakan dengan
aman selama TOLAC.1
F. Eksplorasi Bekas Luka Rahim
Setelah VBAC, beberapa dokter secara rutin
mendokumentasikan integritas bekas luka sebelumnya dengan
menempatkan tangan melalui serviks yang melebar dan sepanjang
permukaan bagian dalam segmen bawah rahim. Tetapi eksplorasi
uterus rutin dianggap oleh orang lain tidak perlu. Dalam sebuah studi
longitudinal terhadap 3469 wanita yang memiliki VBAC, tujuh
dehiscence uterus dan satu ruptur uteri menghasilkan tingkat
kejadian keseluruhan 0,23 persen. Mereka menyimpulkan bahwa
evaluasi transservikal hanya perlu dilakukan pada pasien yang
bergejala.1
Saat ini, manfaat evaluasi bekas luka rutin pada wanita tanpa
gejala tidak jelas, namun, koreksi bedah dehiscence diperlukan jika
terjadi perdarahan yang signifikan. Praktek kami adalah untuk secara
rutin memeriksa situs histerotomi sebelumnya. Setiap keputusan
untuk laparotomi dan perbaikan mempertimbangkan luasnya
robekan, apakah rongga peritoneum telah dimasuki, dan adanya
perdarahan aktif.1
23

2.3. Vaginal Birth After Caesarean (VBAC)


2.3.1. Definisi VBAC
Vaginal Birth After Caesarean Section (VBAC) adalah
persalinan pervaginam pada seorang ibu hamil yang sebelumnya
mempunyai riwayat seksio sesarea. Perencanaan VBAC menunjuk ke
setiap maternal yang memiliki riwayat seksio sesarea dan berencana
untuk melahirkan pervaginam dibandingkan seksio sesarea ulangan
elektif.10

2.3.2. Kesuksesan VBAC


Persalinan pervaginam baik secara spontan ataupun dengan
bantuan pada maternal yang telah merencanakan VBAC menyatakan
kesuksesan VBAC. Rata- rata keberhasilan VBAC secara keseluruhan
dilaporkan diantara 50% sampai 85%. Maternal Faktor yang
mengikuti dikenali sebagai kemungkinan hasil VBAC dan berguna
sebagai dasar seleksi yang tepat untuk persalinan percobaan VBAC.
Persalinan dengan seksio sesarea darurat selama persalinan
menunjukkan ketidaksuksesan VBAC. 11

2.3.3. Risiko VBAC


Baik persalinan seksio sesarea berulang elektif maupun
percobaan VBAC tetap memiliki risiko pada maternal maupun
neonatus. Risiko pada maternal seperti perdarahan, infeksi, luka
operasi, tromboemboli, histerektomi, dan ke matian. Kebanyakan
morbiditas maternal terjadi selama percobaan VBAC yang
membutuhkan seksio sesarea berulang. Oleh karena itu, VBAC
dihubungkan dengan sedikit komplikasi dan gagalnya percobaan
VBAC dihubungkan dengan komplika lebih banyak dibandingkan
seksio sesarea berulang. Oleh karena itu, risiko morbiditas maternal
dihubungkan dengan kemungkinan kesuksesan VBAC.12
Ruptur uterus atau terbukanya bekas seksio sesarea
dihubungkan dengan percobaan VBAC yang meningkatkan
24

penambahan morbiditas maternal dan neonatus. Insiden ruptur uterus


yang pernah dilaporkan bervariasi, beberapa penelitian setuju bahwa
ruptur uterus merupakan masalah besar bersama dengan bekas luka
yang asimtomatik. Sebagai tambahannya, pada kasus yang sejenis
tidak dibuat tingkatan angka kejadian ruptur uterus berdasarkan
riwayat tipe insisi seksio sesarea sebelumnya (seperti insisi
tranversal bagian bawah atau klasik). 12
Salah satu faktor yang mempengaruhi ruptur uterus adalah
riwayat lokasi insisi pada uterus. Sebagian besar penelitian pada
maternal dengan riwayat insisi uterus transversal bagian bawah
dilaporkan dapat mengurangi angka ruptur uterus sekitar 0,5-0,9%
setelah percobaan VBAC. 12
Sebagai pendukung pilihan maternal melahirkan dengan
percobaan VBAC adalah VBAC memiliki sebagian potensi kesehatan
yang menguntungkan untuk maternal. Maternal yang menjalani
VBAC berarti menghindari bedah besar pada abdominal, sehingga
menurunkan angka perdarahan, infeksi dan periode penyembuhan
yang lebih singkat dibandingkan dengan seksio sesarea berulang
elektif. Selanjutnya, sebagai pertimbangan keluarga besar, VBAC
mungkin berpotensi ke depannya untuk menghindari konsekuensi
maternal yang bersalin dengan seksio sesarea multipel seperti,
histerektomi, luka perut atau kandung kemih, tansfusi, infeksi serta
letak plasenta abnormal termasuk plasenta previa dan plasenta
accrete.12
Percobaan VBAC lebih banyak menunjukkan kemungkinan
keberhasilan VBAC yaitu 60-80%. Tetapi, kesempatan VBAC pada
setiap individu bervariasi berdasarkan demografi dan karakteristik
obstetri. Sebagai contoh, maternal yang seksio sesarea pertama
karena gangguan kemajuan persalinan lebih rendah kesuksesan
VBAC dibandingkan dengan seksio sesarea karena indikasi yang
tidak berulang seperti presentasi sungsang. Sama seperti bukti yang
konsisten mengenai maternal yang mengalami induksi persalinan
25

atau augmentasi memiliki kesuksesan VBAC lebih rendah saat


dibandingkan dengan usia kehamilan yang spontan tanpa
augmentasi. Faktor lain yang mempengaruhi ketidaksuksesan adalah
peningkatan usia maternal, peningkatan indeks massa tubuh,
peninggian berat bayi, dan usia kehamilan saat melahirkan. Interval
jarak persalinan yang pendek dan preeklamsia saat melahirkan
memiliki hubungan dengan penurunan kesempatan percobaan VBAC.
Sebaliknya, maternal yang memiliki riwayat persalinan pervaginam
memiliki kesuksesan percobaan VBAC yang lebih tinggi
dibandingkan yang tidak memiliki riwayat tersebut. 12
Kemungkinan maternal yang menjalani percobaan VBAC akan
bergantung pada faktor individualnya. Beberapa pengamat mencoba
membuat sistem skor untuk membantu prediksi VBAC tetapi
sebagian besar angka kesuksesannya sedikit. Tetapi, satu model yang
berkembang khusus untuk maternal yang menjalani percobaan
VBAC adalah maternal dengan riwayat insisi transversal bagian
bawah sebanyak satu kali, kehamilan tunggal, dan presentasi kepala
bayi. Model ini memerlukan edukasi dan konseling pada pasien
untuk masa percobaan VBAC. 12

2.3.4. Keuntungan VBAC 13


Pada Maternal:
 Menghindari pembedahan
 Menghindari risiko dan komplikasi yang berhubungan dengan
pembedahan
 Pemulihan setelah melahirkan lebih cepat
 Perawatan di rumah sakit lebih singkat
 Menghindari komplikasi pada kehamilan berikutnya
Pada Fetal:
 Mengurangi risiko gangguan pernafasan pada bayi
26

2.3.5. Kontraindikasi VBAC


Keadaan yang menjadi kontraindikasi untuk dilakukan
persalinan percobaan adalah:13
1. Riwayat bekas seksio sesarea klasik atau disebut ‘T’ tebalik
2. Riwayat histerektomi atau miomektomi yang masuk ke kavitas
uterus
3. Riwayat ruptur uterus
4. Adanya kontraindikasi untuk melahirkan secara pervaginam,
seperti plasenta previa atau malpresentasi
5. Maternal yang mengalami kemunduran persalinan percobaan
setelah seksio dan membutuhkan permintaan seksio sesarea
elektif berulang

2.3.6. Score VBAC


Tabel 2.5. Skoring VBAC menurut Flamm and Geiger

Sumber: Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (2018)


27

Tabel 2.6. Score VBAC menurut Weinstein

Sumber: Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (2018)


28

2.4. Anemia Dalam Kehamilan


2.4.1. Definisi
Anemia merupakan keadaan tidak mencukupinya eritrosit untuk
mengantarkan kebutuhan oksigen jaringan. Karena hal ini sulit diukur,maka
anemia didefinisikan sebagai rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb), hitung
eritrosit, dan hematokrit (Hct) dari nilai normal.Berdasarkan WHO, anemia
pada kehamilan ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb) <11 g/dL atau
hematokrit (Ht) <33%, serta anemia pasca salin apabila didapatkan Hb <10
g/dL. Center for disease control and prevention mendefinisikan anemia
sebagai kondisi dengan kadar Hb <11 g/dL pada trimester pertama dan ketiga,
Hb <10,5 g/dL pada trimester kedua, serta <10 g/dL pada pasca persalinan.15

2.4.2. Faktor Risiko


Pada kehamilan terdapat beberapa kondisi yang dapat meningkatkan
risiko anemia, di antaranya: 15
- Asupan Nutrisi
Asupan nutrisi sangat berpengaruh terhadap risiko anemia pada ibu
hamil. Perubahan fisiologis maternal yang membutuhkan banyak nutrien
perlu diimbangi dengan asupan nutrisi yang cukup. Selain kekurangan zat
besi, kurangnya kadar asam folat dan vitamin B12 masih sering terjadi pada
ibu hamil. Oleh karena itu, ibu hamil disarankan untuk mengkonsumsi
makanan yang memiliki komposisi nutrisi bervariasi, khususnya besi, asam
folat, dan vitamin B12 untuk mencegah anemia. 15
- Diabetes Gestasional
Pada kondisi hiperglikemi, transferin yang mengakomodasi peningkatan
kebutuhan besi janin mengalami hiperglikosilasi sehingga tidak dapat
berfungsi optimal. Akibatnya transpor besi ke janin berkurang, dan besi
terutama digunakan untuk memproduksi eritrosit, sehingga tidak mencukupi
kebutuhan perkembangan organ janin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
sekitar 40–90% kadar besi berkurang pada organ neonatus yang lahir dari ibu
dengan diabetes.
29

- Kehamilan multipel
Kebutuhan besi pada kehamilan multipel lebih tinggi dibandingkan
dengan kehamilan tunggal. Ibu dengan kehamilan multipel cenderung
mengalami peningkatan berat badan berlebih dibandingkan kehamilan
tunggal, yang dapat meningkatkan mediator inflamasi sistemik seperti IL-6,
sehingga meningkatkan kebutuhan besi. Hal ini menyebabkan ibu dengan
kehamilan multipel memiliki risiko yang lebih besar mengalami defisiensi
besi. 15
- Kehamilan remaja
Anemia pada kehamilan remaja disebabkan oleh multifaktorial, seperti
akibat penyakit infeksi, genetik, atau belum tercukupinya status nutrisi yang
optimal. Masa remaja telah dibuktikan sebagai fase yang rentan defisiensi
nutrisi. Peningkatan risiko anemia pada remaja disebabkan masih
diperlukannya besi pada fase tumbuh kembang yang belum selesai. Sebuah
studi di Amerika menyatakan bahwa sebanyak 9–13% remaja menderita
anemia pada trimester 1, dan meningkat menjadi 57–66% pada trimester 3. 15
- Inflamasi dan infeksi dalam kehamilan
Kondisi infeksi dan inflamasi dapat memicu keadaan defisiensi besi.
Infeksi seperti cacing, tuberculosis, HIV, malaria, maupun penyakit lain
seperti inflammatory bowel disease atau keganasan akan memperburuk
keadaan anemia, dan anemia pun akan memperburuk kondisi inflamasi
dan/atau infeksi tersebut. 15

2.4.3. Jenis Anemia Dalam Kehamilan


1. Anemia karena Perdarahan
1. Masa Kehamilan
Anemia akibat perdarahan dapat terjadi selama masa kehamilan
(perdarahan antepartum), namun lebih sering terjadi pada pasca salin
(perdarahan postpartum/pasca salin). Etiologi dari perdarahan antepartum
tersering adalah plasenta previa, solusio plasenta dan perdarahan saluran
cerna akibat inflamasi (Crohn’s disease, kolitis ulseratif). Kehilangan darah
selama kehamilan dapat menyebabkan anemia berat, hingga terjadi
30

peningkatan angka kelahiran preterm. Selain itu, anemia berat juga dapat
meningkatkan risiko anemia pasca salin dan kebutuhan transfusi pada
maternal saat peripartum. 15
2. Masa Nifas
Secara umum, kehilangan darah hingga 30% dari volume total darah (sekitar
15 ml/kg berat badan) dapat dikompensasi oleh tubuh. Kehilangan darah
sebanyak 1000 ml atau lebih dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
maternal. Perdarahan pasca salin adalah salah satu penyebab terbanyak
mortalitas maternal, terutama di negara berkembang. Kematian ibu akibat
perdarahan dapat dicegah dengan manajemen aktif kala 3, pemberian agen
uterotonika dan resusitasi cairan,
intervensi bedah, dan ketersediaan darah untuk transfusi.Jumlah darah
yang hilang dapat diperkirakan dengan beberapa metode termasuk
pengukuran secara langsung, dan menggunakan selisih nilai hematokrit atau
konsentrasi hemoglobin. 15
2. Anemia Hipoproliferatif
1) Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering terjadi
saat kehamilan, yang dipicu oleh perubahan fisiologis maternal. 15
2)Anemia Defisiensi Asam Folat, Vitamin B12, dan B6
a) Defisiensi Asam Folat
Anemia yang disebabkan oleh defisiensi asam folat jarang terjadi di
negara industrial, namun dapat terjadi pada wanita dengan diet tidak
seimbang, malabsorpsi dan penyalahgunaan alkohol. Gejala yang muncul
diawal kehamilan (disamping gejala umum anemia) meliputi mual, muntah
serta anoreksia yang memburuk seiring terjadinya anemia. Trombositopenia
dan leukopenia dapat terjadi pada beberapa kasus. 15
b) Defisiensi Vitamin B12
Anemia pada kehamilan jarang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12.
Anemia ini dapat disebabkan oleh defisiensi faktor intrinsik seperti riwayat
operasi lambung, akibat sekunder dari malabsorpsi, serta inflamasi saluran
cerna kronis. Selain adanya anemia makrositik, gejala lain dari defisiensi
31

vitamin B12 lainnya adalah gejala defisit neuropsikiatri seperti paraesthesia,


rasa kebas, depresi, mudah marah, dan otot yang lemah. Ibu dengan kadar
vitamin B12 yang rendah, memiliki risiko berbagai komplikasi kehamilan di
antaranya defek tabung saraf (neural tube defect), abortus spontan, PJT, dan
berat bayi lahir rendah. Anak yang lahir pada ibu dengan defisiensi vitamin
B12 memiliki berbagai risiko abnormalitas kognitif, anemia, serta diabetes
tipe 2 di kemudian hari. 15
c) Defisiensi Vitamin B6
Pada ibu hamil dengan anemia yang tidak responsif terhadap pemberian
zat besi, perlu dipertimbangkan adanya defisiensi vitamin B6. Kadar vitamin
B6 pada kehamilan dipengaruhi oleh alkaline phosphatase (ALP) yang
diproduksi oleh plasenta. Defisiensi vitamin B6 dapat menginisiasi proses
enzimatik sintesis heme dan penggunaan zat besi di sel eritropoeisis.
Defisiensi dari kedua mikronutrien ini menyebabkan anemia mikrositik
hipokrom dan gambaran darah tepi yang sulit dibedakan. Karena itu
diperlukan pemeriksaan kadar keduanya untuk dapat menegakkan diagnosis
yang tepat. 15
3. Anemia Akibat Proses Inflamasi
Anemia dapat terjadi akibat infeksi parasit maupun bakteri (contoh:
pielonefritis akut), infeksi virus kronis (contoh: HIV), dan penyakit inflamasi
kronis yang mempengaruhi pencernaan (Crohn’s disease, kolitis
ulseratif).Anemia disebabkan akibat adanya inhibisi hematopoeisis yang
dimediasi oleh sitokin, dan menurunnya pelepasan zat besi kedalam eritrosit
dari sistem retikuloendotelial. Beberapa bakteri (contoh: Staphylococcus)
menggunakan zat besi untuk reaksi enzimatiknya. Zat besi diambil tidak
hanya dari penghancuran transferin, namun juga dari eritrosit setelah
penghancurannya dari molekul heme. 15
4. Anemia karena Penyakit Ginjal
Pasien dengan gagal ginjal atau dengan transplantasi ginjal dapat terjadi
anemia sedang hingga berat selama kehamilan. Pada wanita dengan kondisi
ini terjadi defisiensi eritropoietin, anemia normositik, dan anemia
hipoproliferatif. Secara umum, wanita dengan riwayat terapi substitusi
32

eritropoietin rekombinan, memiliki kebutuhan rhEPO yang meningkat selama


kehamilan. Penambahan volume darah pun lebih sedikit dibanding kehamilan
normal terutama dengan pada keadaan gagal ginjal. Meskipun demikian,
peningkatan volume darah tetap terjadi sehingga kondisi anemia yang telah
ada sebelumnya semakin memberat. Angka kejadian kelahiran preterm lebih
tinggi pada anemia karena penyakit ginjal. 15

2.4.4. Gejala Klinis


Tanda dan gejala yang ditemukan pada ibu hamil dengan defisiensi besi
mirip dengan gejala anemia pada umumnya, yaitu akibat penurunan
penghantaran oksigen ke jaringan. Pada kondisi awal, pasien akan memiliki
toleransi yang rendah untuk melakukan aktivitas fisik, sesak saat beraktifitas
ringan, serta mudah lelah. Bila derajat anemia makin parah, tanda dan gejala
klinis pun menjadi lebih jelas, seperti penurunan kinerja dan daya tahan,
apatis, gelisah, gangguan kognitif dan konsentrasi, sesak, berdebar, pusing
berputar, hipotensi ortostatik, serta ditemukan pucat seluruh tubuh, dan
murmur sistolik pada katup mitral jantung. Keparahan derajat gejala yang
diderita pasien juga berkaitan dengan komorbiditas yang ada pada pasien.
Misalnya, pasien dengan kelainan jantung dan paru, manifestasinya akan
menjadi lebih jelas. Gejala anemia dapat dibedakan menjadi akut dan kronis.
Anemia akut akan menyebabkan sesak yang tiba-tiba, pusing, dan kelelahan
yang mendadak. Pada kondisi anemia kronis seperti defisiensi besi, gejala
yang muncul bersifat gradual, dan baru disadari oleh pasien saat kondisi
eritrosit sudah sangat rendah. 15
Khusus pada anemia defisiensi besi, kondisi defisiensi besi yang parah
akan merusak enzim yang memerlukan besi, seperti sitokrom di banyak
jaringan pada tubuh. Hal ini akan terlihat paling signifikan pada kulit yang
menjadi sangat tidaksehat. Di antaranya adalah: 15
- Koilonikia: kuku berbentuk cekung dan sangat rapuh
- Angular stomatitis: luka atau ulkus pada ujung mulut
- Glositis: peradangan pada mulut
- Antropik gastritis: inflamasi pada gaster
33

- Achlorydria: kekurangan asam hialuronat pada gaster


- Disfagia: sulit menelan (akibat plummer-vinson syndrome atau Peterson-
Brown-Kelly syndrome)

2.4.5. Diagnosis

Gambar 2.1. Alur Diagnosis Anemia Dalam Kehamilan


Sumber: Wibowo dkk (2021)
Pemeriksaan skrining anemia pada kehamilan disarankan untuk
dilakukan pada saat trimester 1, saat usia 24–28 minggu, serta dalam 24–48
jam pascasalin (sesuai indikasi). Untuk mendiagnosis anemia dapat dilakukan
beberapa parameter pemeriksaan berikut ini: 15
1. Konsentrasi hemoglobin (Hb)
Hemoglobin merupakan protein dalam darah yang dapat
merepresentasikan kadar besi di sirkulasi. WHO mengklasifikasikan derajat
keparahan anemia sebagai berikut: 15
a. Ringan : kadar Hb <11 mg/dL
b. Sedang : kadar Hb <10 mg/dL
c. Berat : kadar Hb <7 mg/dL
2. Kadar hematokrit (Ht)
34

Hematokrit adalah jumlah eritrosit pada volume darah keseluruhan yang


dihitung dalam persentase. Pada kehamilan terjadi peningkatan volume
plasma yang jumlahnya tidak berimbang dengan peningkatan jumlah eritrosit
sehingga menyebabkan penurunan kadar hematokrit dalam kehamilan. Kadar
hematokrit<33% mengindikasikan adanya anemia. 15
3. Hitung eritrosit
Anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit yang disertai
dengan berkurangnya kadar hemoglobin atau perubahan morfologi
eritrosit.11 Pada ibu hamil, jumlah hitung eritrosit <3,42 x106/mm3 dapat
dikatakan anemia. 15
4. Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin
(MCH)
MCV adalah ukuran atau volume rata-rata eritrosit. Sedangkan MCH adalah
rata-rata konsentrasi hemoglobin dalam satu sel eritrosit. Pada anemia
defisiensi besi terjadi penurunan nilai MCV <80 fl dan MCH <26 pg, serta
pada apusan darah tepi tampak gambaran eritrosit mikrositik hipokrom.
Selain anemia defisiensi besi, anemia mikrositik hipokrom juga dapat
ditemukan pada thalasemia, anemia
sideroblastik, atau anemia karena penyakit kronik.Selama kehamilan
terjadi peningkatan eritropoiesis akibat peningkatan hormon human placental
lactogen (HPL), sehingga akan meningkatkan persentase eritrosit muda yang
besar. Hal ini mengakibatkan diagnosis defisiensi besi melalui mikrositosis
lebih sulit selama kehamilan, dan defisiensi besi dapat terjadi meskipun MCV
masih normal. 15
5. Red-cell Distribution Width (RDW)
RDW merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan karena termasuk
dalam pemeriksaan Darah Perifer Lengkap (DPL). RDW menunjukkan
variasi ukuran eritrosit dan dapat melihat adanya defisiensi besi lebih awal.
RDW yang tinggi merefleksikan heterogenitas MCV (anisositosis), yang
dapat disebabkan gangguan maturasi atau degradasi eritrosit. Tidak seperti
MCV yang masih normal pada tahap prelaten dan laten defisiensi besi, RDW
akan mengalami peningkatan akibat jumlah sel mikrositik yang meningkat.
35

Selain anemia defisiensi besi, peningkatan RDW juga dapat ditemukan pada
anemia megaloblastik akibat defisiensi asam folat atau vitamin B12, anemia
sideroblastik, sindrom mielodisplastik, hemoglobinopati, serta pasien anemia
yang telah mendapatkan transfusi darah. 15
6. Retikulosit
Retikulosit merupakan eritrosit imatur yang dilepaskan ke sirkulasi dan
hanya berada dalam sirkulasi selama 1–2 hari sebelum mengalami maturasi.
Retikulosit dapat digunakan untuk menilai respons sumsum tulang terhadap
anemia. Jumlah retikulosit normal adalah sekitar 50.000–100.000/μl untuk
hitung absolut dan 0,6–2% untuk persentasi absolut, namun nilai ini memiliki
standard error yang cukup tinggi. Untuk penilaian efektivitas produksi
eritrosit yang lebih baik, nilai retikulosit absolut perlu dikoreksi dengan kadar
hematokrit dan waktu maturasi retikulosit di sirkulasi, yang dinamakan
reticulocyte production index (RPI). Nilai RPI <2% berhubungan dengan
kondisi anemia hipoproliferatif dan kelainan maturasi eritrosit, seperti pada
anemia defisiensi besi. Kadar retikulosit ini juga dapat digunakan untuk
penilaian awal respon terapi anemia (besi, asam folat, atau transplantasi
sumsum tulang). 15
7. Reticulocyte Hemoglobin Content (Ret-He/CHr)
Ret-He menggambarkan ketersediaan zat besi untuk eritropoiesis,
sehingga penurunan Ret-He dapat digunakan untuk deteksi awal defisiensi
besi. Ret-He merupakan indikator paling awal untuk mengetahui penurunan
ataupun peningkatan availabilitas besi di sumsum tulang. Ret-He merupakan
petanda muatan dari hemoglobin selular, yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi defisiensi besi. Keuntungan utama pemeriksaan Ret-He adalah
menunjukkan hasil pemeriksaan real time dan termasuk ke dalam
pemeriksaan DPL yang rutin dilakukan, sehingga tidak dibutuhkan teknik
pemeriksaan tambahan. Ret-He juga lebih akurat dibandingkan dengan feritin
dan saturasi transferin dalam mendeteksi defisiensi besi pada pasien dengan
inflamasi atau penyakit kronis. 15
8. Feritin
36

Feritin adalah protein yang mengandung besi, dan menggambarkan


total besi yang tersimpan dalam tubuh. Feritin terutama didapatkan pada sel
retikuloendotelial pada hati, limpa, sumsum tulang dan jaringan tubuh
lainnya. Kadar serum feritin <15 μg/L dijadikan diagnosis patokan defisiensi
besi. Walaupun begitu, nilai serum feritin <30 μg/L memiliki nilai sensitivitas
92% dan spesifisitas 98%, untuk mendeteksi defisiensi. Meskipun feritin
serum merupakan pemeriksan standar untuk mendiagnosis defisiensi besi,
namun dapat terjadi misinterpretasi hasil karena peningkatan kadar feritin
palsu akibat apoferitin yang juga merupakan reaksi fase akut yang dapat
meningkat pada keadaan infeksi, inflamasi sistemik, keganasan, dan gagal
ginjal kronik. Hal ini menjelaskan kadar feritin yang rendah dapat digunakan
untuk diagnosis defisiensi besi, namun kadar yang normal tidak
menyingkirkan diagnosis defisiensi besi. Adanya infeksi atau inflamasi perlu
disingkirkan apabila dijumpai kadar feritin normal. Studi menjelaskan bahwa
pada kondisi inflamasi, kadar serum feritin yang dapat dihubungkan dengan
defisiensi besi adalah <100 μg/L. Sebaliknya, pada kadar feritin >100 μg/L,
diperlukan pengecekan marker inflamasi, penyakit ginjal, hepar, maupun
keganasan. 15
9. Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)
Pengukuran besi serum merupakan pengukuran jumlah besi yang
berikatan dengan transferin. Kadar besi serum normal adalah 60–120 mg/dL.
Kadar serum besi yang rendah menggambarkan tidak mampunya sumsum
tulang untuk meningkatkan produksi eritrosit dengan yang baik, akibat proses
pembentukan hemoglobin yang membutuhkan besi terganggu. 15
10. Reseptor Transferin/soluble Transferin Receptor (sTfR)
Reseptor transferin/sTfR meningkat pada defisiensi besi dipicu oleh
eritroblas di sumsum tulang akibatnya sTfR dapat memberikan informasi
terkait kebutuhan sel akan besi, serta derajat proliferasi eritropoiesis. Kadar
sTfR rendah pada awal kehamilan, kemudian meningkat mulai trimester 2
seiring peningkatan kebutuhan besi. Reseptor transferin meningkat pada
keadaan defisiensi besi atau apabila kebutuhan zat besi seluler meningkat
seperti dalam kehamilan. Pada keadaan defisiensi besi, peningkatan sTfR
37

memungkinkan sel untuk meningkatkan aviditas terhadap besi sehingga


meningkatkan absorbsinya. 15
11. Saturasi Transferin (TSAT)
Nilai TSAT diperoleh dari kadar serum besi dibagi TIBC, yang
merepresentasikan seberapa banyak kadar besi yang dapat digunakan pada
proses eritropoiesis. TSAT <20% merupakan tanda defisiensi besi kronik
pada kehamilan yang terjadi akibat banyaknya besi yang dilepaskan dari
transferin yang bersirkulasi untuk mempertahankan eritropoiesis. Saturasi
transferin dapat menggantikan feritin pada kondisi inflamasi, meskipun tidak
sebaik feritin dalam mendiagnosis stadium awal defisiensi besi. 15

2.4.6. Tatalaksana
1. Pencegahan Anemia
Kebutuhan mikronutrien meningkat pesat pada masa kehamilan, di
antaranya besi, folat, iodium, kalsium, dan vitamin D. WHO
merekomendasikan suplementasi beberapa jenis mikronutrien terutama pada
ibu hamil di negara-negara yang memiliki angka prevalensi defisiensi nutrisi
yang tinggi untuk mengurangi risiko berat lahir bayi rendah dan bayi kecil
masa kehamilan.34 Studi menunjukan bahwa suplementasi besi oral
menurunkan risiko anemia maternal pada kehamilan aterm,, berat bayi lahir
rendah, dan kelahiran preterm.15
Suplementasi besi dan asam folat direkomendasikan untuk semua wanita
hamil di seluruh dunia.36 Dosis suplementasi yang direkomendasikan WHO
pada ibu hamil adalah 60 mg besi elemental dan dilanjutkan hingga 3 bulan
pasca salin, karena prevalensi anemia dalam kehamilan di Indonesia >40%,
yaitu 48,9%. Penilaian kadar feritin di awal kehamilan dapat memberikan
gambaran dosis suplementasi yang diperlukan. Berikut rekomendasi
suplementasi besi berdasarkan kadar feritin: 15
• Feritin 70–80 μg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh lebih dari 500
mg,
sehingga tidak diperlukan suplementasi.
38

• Feritin 30–70 μg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh 250–500 mg,
sehingga direkomendasikan suplementasi 30–40 mg besi elemental.
• Feritin <30 μg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh cukup rendah
sehingga diperlukan suplementasi 60–80 mg besi elemental.
2. Dosis Terapi
Pemberian besi merupakan terapi utama defisiensi besi dan anemia
defisiensi besi. Dosis terapi defisiensi besi disesuaikan dengan derajat
defisiensi dan usia kehamilan saat diagnosis ditegakkan. Pada anemia
defisiensi besi ringan dengan kadar Hb 10–10,4 g/dL dapat diberikan terapi
besi oral 80–100 mg/hari. Jika ibu hamil terdiagnosis anemia defisiensi besi
pada trimester pertama dan kedua, maka tablet besi oral dapat diberikan
sebagai terapi lini pertama. Pada keadaan defisiensi besi, penghitungan
kebutuhan besi dilakukan sebagai perkiraan pemberian terapi menggunakan
Ganzoni Formula.
Kebutuhan besi = BB[kg] x (Target Hb - Hb saat ini)[g/L] x 2,4 + 500 mg
3. Tranfusi darah
Transfusi PRC (packed red cell) diberikan pada Hb <7 g/dL, atau Hb
≥7 g/dL pada pasien dengan gejala, seperti dekompensasi jantung, serta tidak
respon terhadap terapi pemberian besi intravena. Tranfusi darah jarang sekali
diberikan kecuali terdapat tanda-tanda hipovolemia, contohnya akibat
perdarahan pasca salin. Kondisi anemia berat akan menyebabkan oksigenisasi
janin yang abnormal sehingga menyebabkan denyut jantung janin abnormal,
berkurangnya cairan amion, hipoperfusi janin, hingga kematian janin. 15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. H
Umur : 39 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Simpang Rambutan, Kec. Rambutan, Kab. Banyuasin,
Sumatera Selatan.
MRS : 08 Juni 2022, Pukul 17.30 WIB
No. RM : 66-95-73

B. Identitas Suami
Nama : Tn. S
Umur : 39 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Alamat : Jl. Simpang Rambutan, Kec. Rambutan, Kab. Banyuasin,
Sumatera Selatan.

3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 08 Juni 2022.
A. Keluhan Utama
Perut terasa kencang.

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Os mengeluh perut terasa kencang sejak 2 minggu yang lalu.
Kemudian os datang ke bidan dan di rujuk ke dokter untuk USG. Mules
(-), darah lendir (-), air air (-), gerakan janin masih dirasakan.
41

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Diabetes Melitus (-), Alergi obat dan makanan (-), Asma (-), Malaria
(-), Hipertensi sebelum kehamilan (-), Penyakit Jantung (-), Penyakit Ginja
l (-), Penyakit TBC (-), Penyakit Hepar (-).

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Diabetes Melitus (-), Alergi obat dan makanan (-), Asma (-), Hiperten
si (-) ibu pasien, Penyakit Jantung (-), Penyakit Ginjal (-), Penyakit TBC
(-), Penyakit Hepar (-)

E. Riwayat Menstruasi
Usia menarche         : 13 tahun
Siklus haid               : 90 hari, tidak teratur
Lama haid : 5 hari, 2-3x ganti pembalut/ hari
Keluhan  saat haid : Nyeri haid (-)
HPHT : 10 - 11 - 2021
TP : 17 - 08 – 2022

F. Riwayat Perkawinan
Menikah : 1 kali, tahun 1997
Lama pernikahan : 15 tahun
Usia menikah : 24 tahun

G. Riwayat Kontrasepsi
- KB suntik terakhir di bulan Juni tahun 2019.

H. Riwayat ANC
- 5 kali, ke bidan
- 2 kali, ke posyandu
- 1 kali, ke dokter spesialis
42

I. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


1. 1998/Perempuan/2.600 gram/SC/Dokter
2. 2002/Perempuan/2.800 gram/Pervaginam/Bidan/Meninggal 10 jam
setelah melahirkan
3. 2018/Perempuan/2.500 gram/Pervaginam/Bidan
4. Hamil ini

3.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 64 kg
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 °C

B. Pemeriksaan Spesifik
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-) edema
periorbital (-/-), mata cekung (-/-), pupil isokor, reflek
cahaya (+/+)
Telinga : Nyeri tekan (-/-), Massa (-/-), Serumen (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut : Bibir pucat (+), lidah kotor (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar thyroid (-)
Thorax : Inspeksi: simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus (+/+) normal kanan dan kiri
Perkusi: Sonor (+/+) di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+) ronki (-/-) wheezing (-/-)
Cor : Inspeksi: Ictus kordis tidak tampak
43

Palpasi : Ictus kordis tidak teraba


Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II (+/+) normal, regular,
HR: 98 x/menit, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Inspeksi: Perut membesar karena kehamilan, luka
bekas operasi (+), linea nigra (+), striae gravidarum
(+)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : tidak dilakukan
Palpasi : hepar dan lien sulit dinilai
Genitalia : Bloody show (-), lesi (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-)

C. Status Obstetrikus
Pemeriksaan Luar
- Leopold I : Teraba bagian janin lunak, tidak mudah digerakkan dan ti
dak melenting (kesan bokong), TFU 2 jari di bawah proc
essus xhypoideus, 29 cm dari symphisis pubis.
- Leopold II : Teraba bagian keras, memanjang dan datar seperti papan
di kiri perut ibu (punggung janin) dan teraba bagian luna
k yang kecil-kecil dibagian kanan (ekstremitas).
- Leopold III : Teraba bagian janin bulat, keras, dan melenting (kesan k
epala).
- Leopold IV : Konvergen (Belum masuk PAP)
- TBJ : (TFU-13) x 155 = 3.255 gram
- DJJ : 124 x/menit
- His : 2x selama 10 menit durasi 30 detik
Pemeriksaan Dalam :
- Posisi portio : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Konsistensi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pembukaan : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Ketuban : Tidak dilakukan pemeriksaan
44

- Pendataran : Tidak dilakukan pemeriksaan


- Presentasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Penunjuk : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Penurunan : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Molase : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium (8 Juni 2022, pukul 18.12 WIB)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 12 12-16 g/dl
Hematokrit 35,8 37-47%
Trombosit 294.000 150.000 – 440.000/ul
Leukosit 11.500 4.200 – 11.000/ul
Hitung Jenis
Eosinofil 2,1 1 – 3%
Basofil 0,2 0 – 1%
Neutrofil 73,0 40-60%
Limfosit 18,8 20 – 50%
Monosit 5,9 2 – 8%
Ratio N/L 3,9 < 3,13
LED 1 Jam 7 <20
Golongan Darah+Rhesus
Golongan Darah A
Rhesus Positif
Masa pembekuan/CT 9 < 15 menit
Masa perdarahan/BT 2 < 6 menit
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 72 70 – 140 g/dL
Imunoserologi
HBsAg Negatif Negatif
Imunologi
45

Antigen SARS-CoV-2 Negatif Negatif

2. Pemeriksaan Urin (8 Juni 2022, pukul 18.12 WIB)


Urin Rutin
Makroskopis
Warna Kuning Tua Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Ph 6.0 4.5–7.5
Berat Jenis 1.020 1.005 – 1.030
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Positif
Urobilinogen Positif Negatif
Darah Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Positif Negatif
Sedimen
Eritrosit 6-8 <3
Leukosit 10-12 <5
Epitel 6 1 - 15
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif

3.5 Diagnosis Kerja Dokter


G4P3A0 Hamil 31-32 minggu belum inpartu janin tunggal hidup dengan
hidrosefalus + kelainan kongenital presentasi kepala dengan polihidromion +
riwayat sc 1x..

3.6 Penatalaksanaan
46

- Observasi keadaan umum, tanda vital ibu, DJJ.


- Cek laboratorium darah rutin, urin rutin, dan SWAB antigen SARS Cov-2
- Rencana SC elektif dan tubektomi pada 09 Juni 2022, Pukul 08.00 WIB
- IVFD DS 500 gtt 20x/menit
- Observasi KU, TVI, perdarahan
- IVFD RL drip Tramadol drip gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 3 x 1 amp
- Inj. Metronidazole 3 x 1 amp
- Pronalges suppositoria 4 x 100 mg
- Nifedipine 4 x 10 mg
- Dopamet 3 x 250 mg
- Inbion 1 x 1 tablet

3.7. Laporan Operasi


Pasien dengan posisi terlentang, dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pa
da daerah perut dan sekitarnya, lapangan operasi dipersempit dengan duk steri
l. Dilakukan insisi Medialis. Insisi diperdalam secara tajam dan tumpul sampa
i menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus gravidaru
m. Kemudian dilakukan insisi SBR didapatkan cairan ketuban utuh. Lalu bayi
dilahirkan dengan cara meluksir kepala. Pukul 08.32 WIB, lahir bayi
perempuan, berat badan lahir 1.700 gram, PB 35 cm, LK 36 cm, LD 25 cm,
LP 24 cm, APGAR score 5/8, ketuban jernih, plasenta lengkap. Kemudian dil
akukan penutupan dinding uteri dengan cara melakukan penjahitan pada kedu
a sudut luka insisi SBR. Dilakukan jahit lapis per lapis sesuai lapisan anatomi.
Tindakan selesai.

3.8. Follow-up
Tanggal Pemeriksaan Terapi (P/)
09/06/2022 S/ Perut terasa kencang  Observasi keadaan umum, ta
07.00 WIB nda vital ibu, DJJ.
O/ KU : Tampak sakit ringan  Cek laboratorium darah rutin,
Kesadaran: Compsmentis urin rutin, dan SWAB antige
47

TD : 110/80 mmHg n SARS Cov-2


HR : 92 x/menit  Rencana SC elektif pada 09
RR : 24 x/menit Juni 2022, Pukul 08.00 WIB
Suhu : 36,5oC  IVFD DS 500 gtt 20x/menit
Djj : 124x/m
TFU : 34 cm
VT : Tidak dilakukan

A/
G4P3A0 Hamil 31-32 minggu
belum inpartu janin tunggal hidup
dengan hidrosefalus + kelainan
kongenital presentasi kepala dengan
polihidromion + riwayat SC 1x
Tanggal Pemeriksaan Terapi (P/)
10/06/2022 S/ Nyeri luka post SC - Cek Hb post op
07.00 WIB - Kateter menetap 24 jam
O/ KU : Tampak sakit sedang - Diet TKTP
Kesadaran: Compsmentis - Mobilisasi bertahap
TD : 160/100 mmHg
HR : 90 x/menit Th:
RR : 22 x/menit - IVFD RL drip Tramadol drip
Suhu : 36,3oC gtt 20x/menit
- Inj. Ceftriaxone 3 x 1 amp
A/ (Skin test)
P4A0 Post SC a/i hidrosefalus + - Inj. Metronidazole 3 x 500
polihidramnion + kelainan kongenital + mg/i.v
riwayat SC 1x - Pronalges suppositoria 4 x
100 mg
- Nifedipine 4 x 10 mg
- Dopamet 3 x 250 mg
- Inbion 1 x 1 tablet/Oral
48

Tanggal Pemeriksaan Terapi (P/)


11/06/2022 S/ Nyeri luka post SC - Aff infus
07.00 WIB - Aff kateter
O/ KU : Tampak sakit sedang - Diet TKTP
Kesadaran: Compsmentis - Mobilisasi bertahap
TD : 101/65 mmHg - Ganti Opsite
HR : 75 x/menit - Rencana pulang
RR : 20 x/menit - Jadwal Kontrol Poli tanggal
Suhu : 36,6oC 14 Juni 2022

A/ Th/
P4A0 Post SC a/i hidrosefalus + - Cefadroxil 2 x 500 mg/Oral
polihidramnion + kelainan kongenital + - As. Mefenamat 3 x 500
riwayat SC 1x mg/Oral
- Inbion 1 x 1 tablet
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah benar ?


Pada kasus ini dilaporkan seorang pasien berinisial Ny.A berusia 22
tahun dengan diagnosa G3P2A0 Hamil aterm, Inpartu kala 1 fase laten, Janin
Tunggal Hidup, Presentasi Kepala, dengan riwayat SC 1x.
Pasien datang dengan keluhan mules mau melahirkan ±12 jam SMRS.
Keluar lendir dari jalan lahir ada, keluar darah dan air-air tidak ada.
Pada pemeriksaan obstetrik didapatkan tinggi fundus uteri 29 cm,
dengan taksiran berat janin 2.480 gram. Pada saat dilakukan palpasi
pemeriksaan Leopold I didapatkan bokong dengan TFU 29 cm, Leopold II
didapatkan punggung kanan, Leopold III didapatkan presentasi kepala, dan
Leopold IV didapatkan janin belum masuk pintu atas panggul. Pada
auskultasi dengan pemeriksaan Doppler didapatkan denyut jantung janin
132x/menit.
Pada pemeriksaan dalam, didapatkan bahwa konsistensi porsio lunak,
posisi anterior, pembukaan 1 cm, pendataran 25%, selaput ketuban utuh,
presentasi kepala, penunjuk, dan hodge I. Hal ini menunjukkan bahwa
diagnosis pasien benar sudah inpartu kala 1 fase laten.
Pasien mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak masih bisa
dirasakan. Hal ini menandakan bahwa diagnosis janin pada kasus ini benar,
yaitu Janin Tunggal Hidup.
Pasien mengaku memiliki riwayat persalinan dengan sectio caesarea 1
kali yaitu pada anak ke-dua nya ±2 tahun yang lalu karena lahir prematur dan
tidak ada kemajuan pembukaan persalinan. Menurut teori, Sectio Caesarea
adalah proses kelahiran janin melalui tindakan laparotomi dan dilanjutkan
dengan histerotomi. Sectio caesarea merupakan tindakan medis yang
diperlukan untuk membantu persalinan yang tidak bisa dilakukan secara
normal akibat masalah kesehatan ibu atau kondisi janin. Tindakan ini diar-
tikan sebagai pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan
janin dari dalam rahim. Adanya riwayat sectio caesarea merupakan salah satu
indikasi maternal untuk dilakukan Sectio Caesarea pada kehamilan
selanjutnya dengan pertimbangan lainnya.1,2
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin, didapatkan kadar
hemoglobin yaitu 7,6 g/dL, yang berarti bahhwa pasien mengalami anemia.
Berdasarkan WHO, anemia pada kehamilan ditegakkan apabila kadar
hemoglobin (Hb) <11 g/dL atau hematokrit (Ht) <33%, serta anemia pasca
salin apabila didapatkan Hb <10 g/dL. Center for disease control and
prevention mendefinisikan anemia sebagai kondisi dengan kadar Hb <11
g/dL pada trimester pertama dan ketiga, Hb <10,5 g/dL pada trimester kedua,
serta <10 g/dL pada pasca persalinan.15
Secara keseluruhan, diagnosis pada pasien ini belum tepat. Jika ditinjau
dari segi penulisan diagnosis obstetri diawali dengan diagnosis ibu dan
komplikasi, diagnosis kehamilan, diagnosis persalinan, dan terakhir diikuti
diagnosis janin dan komplikasinya. Diagnosis yang terpat yaitu G3P2A0
Hamil aterm, Inpartu kala 1 fase laten, Janin Tunggal Hidup, Presentasi
Kepala, dengan riwayat SC 1x+anemia.

4.2. Apakah penatalaksanaan pasien ini sudah adekuat?


Pada saat pasien datang, pasien diberikan IVFD Ringer Lactat 500 cc
gtt 20 x/menit. Pemberian RL gtt 20x/menit diberikan sebagai untuk
menambah elektrolit tubuh sebagai pengembalian keseimbangan tubuh.
Selain itu dipasang kateter urin sebagai persiapan pre-operatif.
Selain itu pada pasien di rencanakan tindakan Sectio Caesarea.
Menurut teori indikasi Sectio Caesarea, terbagi menjadi indikasi maternal,
feto-maternal dan maternal. Pada pasien didapatkan riwayat SC 1 kali
sebelumnya yang merupakan indikasi maternal dari Sectio Caesarea. Sebagai
pertimbangan lainnya dihitung skor VBAC menurut Flamm and Geiger,
didapatkan skor 4 dengan angka keberhasilan 64-67%, sehingga untuk
mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi dilakukan persalinan dengan
SC.1,11

51
Pemilihan jenis persalinan pada pasien dengan riwayat SC sebelumnya
terdapat 2 pilihan dasar. Pertama, TOLAC/ A Trial of Labor After Caesarean
menawarkan tujuan untuk mencapai Vaginal Birth After Caesarean (VBAC).
Jika persalinan sesar menjadi perlu selama percobaan, maka itu disebut
"percobaan persalinan yang gagal." Pilihan kedua adalah persalinan sesar
elektif berulang / Elective Repeat Caesarean Delivery (ERCD).1
Selanjutnya diberikan transfusi PRC 600 cc. PRC adalah sel darah
merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. PRC
didapatkan dengan memisahkan sel darah merah dari plasma, sehingga
didapatkan sel darah merah dengan nilai hematokrit tinggi (69-70%).
Pada hari pertama post SC, tatalaksana yang diberikan berupa IVFD
Ringer Lactat 500 cc gtt 20x/menit+Pitogin 20 IU, inj. Ceftriaxone 2x1
gram / iv (skin test), Inj. Asam traneksamat 3x500mg/ iv, inj, Tramadol 3x50
mg/iv drip, Inj. Metronidazole 3x500 mg/iv infus kocor dan inbion 1x1
cap/oral.
Tujuan pemberian oxytocin sebagai uterotonika yang mempertahankan
kontraksi uterus adekuat, sehingga diharapkan ketika miometrium
berkontraksi akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah yang berjalan di
dalam miometrium juga yang menuju ke perlekatan plasenta sehingga
perdarahan akan berhenti.
Pemberian antibiotik Ceftriaxone 2x1 gram (iv) dan Metronidazole 3x
500 mg (iv). Ceftriaxone merupakan antibiotik yang berguna untuk
pengobatan sejumlah infeksi bakteri. Antibiotik ini termasuk golongan
sefalosporin generasi tiga. Pemberian antibiotik pada kasus ini bertujuan
untuk profilaksis terjadinya infeksi pada bekas operasi.1 Indikasi
digunakannya kombinasi antibiotika ini untuk pengobatan terhadap infeksi
yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis mikroba. Metronidazole dapat
digunakan karena kemampuannya melawan bakteri anaerob yang ditemui
pada dan beberapa bakteri lain.
Pemberian analgesia pascaoperasi merupakan salah satu tatalaksana
pada pasien dengan post SC.1 Tramadol 3x50 mg/ drip. Penggunaan tramadol
pada ibu pasca melahirkan masih tergolong aman meskipun tramadol

52
merupakan golongan opioid. Efek opioid yang dimiliki tramadol termasuk
opioid lemah sehingga tidak terlalu menimbulkan sifat aditif.
Diberikan injeksi asam traneksamat 3x500 mgl/iv. Asam trankesamat
merupakan agen antifibrinolitik analog lisin yang bekerja. Asam traneksamat
menghambat aktivasi molekul plasminogen yang mencegah plasmin berikatan
dengan fibrinogen dan struktur fibrin. Asam traneksamat dapat memberikan
efek menurunkan perdaharan. Pada kasus untuk mengurangi pendarahan post
operatif.
Inbion merupakan suplemen yang mengandung Fe glukonat,
magnesium sulfat, copper sulfat, vitamin C, asam folat, Vitamin B12, dan
sorbitol . Fungsi dari obat ini adalah untuk pasien-pasien dengan kekurangan
zat besi selama masa kehamilan, menyusui, dan ibu hamil, karena selama
masa kehamilan dan pasca-persalinan ibu hamil banyak kehilangan darah
terutama pada proses persalinan. Pada kasus juga diberikan karena adanya
anemia pada pasien.
Tatalaksana aktif pada kasus yaitu tindakan persalinan SC elektif dan
tatalaksana konservatif yaitu dengan pemberian terapi obat-obatan suportif
sebelum dan sesudah tindakan SC berupa pemberian transfusi PRC,
uterotonika, antibiotika, analsetik, anti fibrinolitik, serta suplemen. Secara
keseluruhan penatalaksanaan pada kasus sudah adekuat.

53
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
terapi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa:
1. Diagnosis pada kasus ini belum tepat.
2. Penatalaksanaan kasus ini sudah adekuat.

5.2 Saran
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam mendiagnosis haruslah tepat agar penatalaksanaan yang diberikan
susuai dengan penyakit yang diderita dan agar kondisi pasien tidak lebih
memburuk hingga dapat menimbulkan komplikasi.
2. Lakukan edukasi kepada pasien apabila terdapat risiko untuk melakukan
persalinan pervaginam untuk melakukan penjadwalan operasi sectio
caesarea sebelum inpartu.
3. Lakukan edukasi kepada ibu hamil mengenai risiko anemia dalam
kehamilan, cara pencegahannya dan komplikasi yang dapat terjadi
akibatnya.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Cuningham FG., Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth, JC., Wenstrom
KD. Williams Obstetrics Edisi ke 25. New York : McGraw-Hill. 2018
2. Ayuningtyas, D., Oktarina, R., Misnaniarti, dan Sutrisnawati, N.Y.D. Etika
Kesehatan Pada Persalinan Melalui Sectio Caesarea Tanpa Indikasi Medis.
Jurnal MKMI, 14(1): 9-16. 2018
3. Kementerian Kesehatan. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018.
Jakarta: Badan Litbang Kesehatan. 2018
4. Afriani A., Desmiwarti, Kadri H. Kasus Persalinan Dengan Bekas Seksio
Saesarea Menurut Keadaan Waktu Masuk di Bagian Obstetri dan Ginekologi
RUP Dr. M. Djamil Padang, Jurnal Kesehatan Andalas Vol/2 No. 3. 2018
5. Prawiroharjo, S. IlmuBedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2016
6. Committee on Practice Bulletins-Obstetrics. Practice Bulletin No. 183:
Postpartum Hemorrhage. Obstet Gynecol ;130(4):e168-e186. 2019
7. Pratiwi, R.A.B., Gunanegara, R.F., & Ivone, J. Factors Affecting Caesarean
Labor in RSUD Lembang 2017-2018. Journal of Medicine and Health, 2(3):
838-846. 2019
8. Sung S, Mahdy H. Cesarean Section. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. 2021
9. Mylonas, I., and Friese, K. Indication For And Risk Of Elective Caesarean
Section. Deutsches Ärzteblatt International, 112: 489–495.
DOI:10.3238/arztebl.2015.0489. 2020.
10. Society of Obstetricians and Gynaecologist (SOGC). Alarm International: A
Program to Reduce Maternal and Neonatal Mortality and Morbidity Fourth
Edition. Canada: The Global Library of Women’s Medicine. 2019
11. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Green-top Guideline No.
45: Birth After Previous Caesarean Birth. 2018
12. The American College of Obstetricians and Gynecologists. 2017. Vaginal
Birth After Previous Cesarean Delivery. Practice Bulletin Clinical
Management Guidelines For Obstetrician-Gynecologists 116(2).

54
13. Obstetric & Gynaecology Department. Vaginal Birth following Caesarean
Section (VBAC) Patient Information. Wrightington, Wigan and Leigh NHS
Foundation Trust. 2018
14. Uno, K. Et al. Reasons For Previous Caesarean deliveries Impact a Woman’s
Independent Decision of Delivery Mode and The Success of Trial of Labor
After Caesarean. BMC Pregnancy And Childbirth (2020) 20:170
https://doi.org/10.1186/s12884-020-2833-2
15. Wibowo, N., dkk. Anemia Defisiensi Besi Pada Kehamilan. Departemen
Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2021

55
LAMPIRAN

56

Anda mungkin juga menyukai