Anda di halaman 1dari 39

1

Laporan Kasus

KETUBAN PECAH DINI

Oleh:
DEWI ASTRI KHAIRINA

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Ketuban
Pecah Dini”. Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak
masukan dalam penyelesaian laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................i

Daftar Isi..............................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................1

Latar Belakang......................................................................................1

Tujuan....................................................................................................1

Manfaat makalah...................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................3

2.1 Anatomi dan Fisiologi Amniokhorion............................................3

2.2 Definisi............................................................................................3

2.3 Epidemiologi...................................................................................4

2.4 Faktor Resiko..................................................................................5

2.5 Patogenesis......................................................................................6

2.6 Diagnosis.........................................................................................7

2.7 Diagnosis Banding..........................................................................8

2.8 Penatalaksanaan................................................................................

2.9 Komplikasi....................................................................................14

2.10 Prognosis.....................................................................................14

BAB 3 STATUS ORANG SAKIT....................................................16

BAB 4 FOLLOW UP........................................................................26

BAB 5 DISKUSI................................................................................28

BAB 6 KESIMULAN........................................................................31

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia
gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes
(PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau preterm
premature rupture of membranes (PPROM).
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya
yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar

1
6,46-15,6% kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari

2
semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar PPROM merupakan
komplikasi pada sekitar 1/3 dari semua kelahiran prematur, yang telah meningkat

3
sebanyak 38% sejak tahun 1981 . Dapat diprediksi bahwa ahli obstetri akan pernah
menemukan dan melakukan penanganan kasus KPD dalam karir kliniknya.

Kejadian KPD preterm berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan


mortalitas maternal maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang
mengalami KPD preterm akan mengalami infeksi yang berpotensi berat, bahkan
fetus/ neonatus akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas terkait KPD
preterm yang lebih besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami
kematian. Persalinan prematur dengan potensi masalah yang muncul, infeksi
perinatal, dan kompresi tali pusat in utero merupakan komplikasi yang umum
terjadi. KPD preterm berhubungan dengan sekitar 18-20% kematian perinatal di
Amerika Serikat.4Di Indonesia berdasarkan survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Faktor yang dapat menyebabkan
kematian ibu ini diantaranya adalah perdarahan (60-70%), pre-eklampsia dan
eklampsia (10-20%), serta infeksi (10-20%). Infeksi pada kehamilan 23%
disebabkan oleh kejadian ketuban pecah dini. Insidensi ketuban pecah dini terjadi
10% pada semua kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi 6-
19%, sedangkan pada kehamilan preterm insidensinya 2% dari semua kehamilan.
Hampir semua ketuban pecah dini pada kehamilan preterm akan lahir sebelum
aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu minggu setelah selaput ketuban
pecah. 70% kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan cukup bulan, sekitar
85% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas, ketuban
pecah dini berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan insidensi
30-40%.

Ketuban pecah dini belum diketahui penyebab pastinya, namun terdapat


beberapa kondisi internal maupun eksternal yang diduga terkait dengan ketuban
pecah dini. Yang termasuk dalam faktor internal antara lain adalah usia ibu,
paritas, polihidramnion, inkompetensi serviks, dan presentasi janin. Sedangkan
yang termasuk dalam faktor eksternal adalah infeksi dan status gizi.

Kejadian ketuban pecah dini dapat menimbulkan beberapa masalah bagi


ibu maupun janin, misalnya pada ibu dapat menyebabkan infeksi puerperalis/masa
nifas, dry labour/partus lama, dapat pula menimbulkan perdarahan post partum,
morbiditas dan mortalitas maternal, bahkan kematian. Resiko kecacatan dan
kematian janin juga tinggi pada kejadian ketuban pecah dini preterm. Hipoplasia
paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada ketubanpecah dini preterm.
Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila ketuban pecah dini preterm ini
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu. Resiko infeksi meningkat
pada kejadian ketuban pecah dini diakibatkan karena pecahnya selaput ketuban
akan membuat bakteri mudah untuk memasuki uterus dan akan berkembangbiak.
Perkembangan bakteri ini akan lebih cepat terjadi pada lingkungan yang hangat
dan basah. Kemungkinan untuk terjadi infeksi akan meningkat pada keadaan
ketuban pecah dini yang lama, karena bakteri akan memiliki waktu yang lebih
lama untuk bermultiplikasi. Semua ibu hamil dengan ketuban pecah dini prematur
sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada
khorion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat
terjadi pada ketuban pecah diniSehubungan dengan hal diatas, diharapkan
pengetahuan tentang ketuban pecah dini dapat dipahami oleh pembaca dalam
usaha menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan oleh
ketuban pecah dini.

Pada praktiknya manajemen KPD saat ini sangat bervariasi. Manajemen


bergantung pada pengetahuan mengenai usia kehamilan dan penilaian risiko
relatif persalinan preterm versus manajemen ekspektatif. Seiring dengan
berkembangnya pengetahuan dan bertambah pemahaman mengenai risiko-risiko
serta faktor-faktor yang mempengaruhi, diharapkan ada suatu pedoman dalam
praktik penatalaksanaan KPD aterm dan KPD preterm, seperti waktu persalinan,
penggunaan medikamentosa, dan praktik pemilihan/ pengawasan terhadap
manajemen ekspektatif, karena masih banyaknya variasi mengenai manajemen
KPD, khususnya KPD preterm. Dengan adanya pendekatan penatalaksanaan yang
sistematis dan berbasis bukti ataupun konsensus maka diharapkan luaran
persalinan yang lebih baik.
1.2 Tujuan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah :

1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis tentang Ketuban pecah dini

2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus


KPD melakukan penatalaksanaan yang tepat, cepat, dan akurat sehingga
mendapatkan prognosis yang baik

1.3 Manfaat

Manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:

1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang Ketuban


Pecah Dini

2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca tentang Ketuban


Pecah Dini

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1Anatomi dan FisiologiAmniokhorion

Gambar 2.1. Skema Lapisan Selaput Membran Janin Dan Komponen Protein, MMP
(Matrix

Metalloproteinase), TIMP ( Tissue Inhibitor Metalloproteinase )

Amniokhorion terdiri atas 2 lapisan besar yaitu amnion dan khorion yang
dihubungkan oleh matriks ekstraselular. Amnion berasal dari ektoderm embrionik
dan terdiri dari 5 lapisan berbeda, yaitu lapisan epitel, membran basalis, lapisan
kompak, lapisan fibroblast, dan lapisan intermediate atau lapisan sponge. Amnion
bersifat avaskular dan tanpa nervus dan memiliki kontak langsung dengan cairan
amnion. Amnion sendiri merupakan jaringan yang menentukan hampir semua
kekuatan regang membran janin. Sehingga pembentukan komponen-komponen
amnion yang mencegah ruptur atau robekan sangatlah penting bagi keberhasilan
kehamilan. Pada uji kekuatan peregangan, resistensi terhadap robekan dan ruptur,
didapatkan bahwa lapisan desidua dan khorion laeve sudah robek terlebih dahulu
daripada amnion. Selain itu, daya regang amnion hampir seluruhnya terletak pada
lapisan kompak yang terdiri dari kolagen interstitium tipe I, III, V, dan VI (dalam
jumlah lebih sedikit) yang saling berikatan. Fungsi dari selaput ketuban adalah
sebagai pembungkus ketuban dan menutupi pembukaan dorsal janin.

Sedangkan khorion merupakan membran eksternal yang berwarna putih


dan terbentuk dari vili-vili sel telur yang berhubungan dengan desidua
kapsularis. Khorion akan berlanjut dengan tepi plasenta dan melekat pada
lapisan uterus. Khorion terdiri dari 4 lapisan yang tersusun sebagai berikut :

1. Trofoblas
Terdiri dari sel – sel trofoblas dari yang bulat sampai polygonal. Lapisan
terdalam dari khorion terdiri dari 2 sampai 10 lapisan sel trofoblas, pada
aspek yang lebih dalam berbatasan dengan desidua maternal. Lapisan ini
mengandung vili khorion.

2. Pseudo basal membran

Merupakan lapisan tebal sel – sel sitotrofoblas polygonal dengan 2 tipe sel
yang berbeda morfologinya, membentuk basal membran untuk trofoblas.
Lapisan ini merupakan jaringan ikat padat yang melekat kuat pada lapisan
retikuler diatas dan membentuk percabangan serat ke dalam trofoblas.

3. Lapisan retikuler

Terdiri dari jaringan serabut – serabut fusiformis dan sel – sel stellata.
Lapisan ini membentuk mayoritas dari ketebalan khorion dan terdiri dari
jaringan retikuler yang terdiri dari serat-serat parallel dan akan bisa muncul
nodus di tempat-tempat di mana terjadi percabangan. Beberapa fibroblas
yang muncul bersama dengan banyak sel Hofbauer.

4. Lapisan seluler

Merupakan lapisan sel – sel bervakuola dan melekat satu dengan yang lain
secara erat dengan ruang intraseluler yang sempit (basal sitotrofoblas).
Lapisan ini adalah lapisan tipis yang terdiri dari jaringan fibroblas. Hal ini
sering tidak sempurna atau sama sekali tidak ada pada khorion ketika
diperiksa pada saat kehamilan aterm, tetapi lebih mudah dikenali pada awal
kehamilan.

Membran amnion adalah struktur biologis yang transparan yang tidak


memiliki saraf, otot atau pembuluh limfe. Sumber nutrisi dan oksigen adalah
dari cairan khorion, cairan amnion dan permukaan pembuluh darah janin,
menjadi penyedia nutrisi melalui cara difusi. Energi utamanya diperoleh
melalui proses glikolitik anaerobik karena pasokan oksigen terbatas.
2. Cairan Ketuban (Likuor Amnii)

Merupakan cairan yang terdapat di dalam rongga amnion yang diliputi


oleh selaput janin. Rongga amnion sendiri mulai terbentuk pada hari ke 10-20
setelah pembuahan. Cairan ini akan menumpuk di dalam rongga amnion yang
jumlahnya meningkat seiring dengan perkembangan kehamilan sampai
menjelang aterm, dimana terjadi penurunan volume cairan amnion pada
banyak kehamilan normal. Volume air ketuban bertambah banyak dengan
makin tuanya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 12 minggu volumenya ±
50 ml, pada usia 20 minggu antara 350-400 ml, dan pada saat usia kehamilan
mencapai 36-38 minggu kira-kira 1000 ml. Selanjutnya volumenya menjadi
berkurang pada kehamilan posterm, tidak jarang mencapai kurang dari 500 ml.
Air ketuban sendiri berwarna putih, agak keruh, serta mempunyai bau yang
khas, agak amis dan manis. Cairan ini mempunyai berat jenis 1,008, yang
akan menurun seiring bertambahnya usia kehamilan. Air ketuban terdiri atas
98% air, sisanya terdiri atas garam anorganik serta bahan organik dan bila
diteliti benar, terdapat rambut lanugo (rambut halus berasal dari bayi), sel-sel
epitel, dan verniks kaseosa (lemak yang meliputi kulit bayi). Protein
ditemukan rata-rata 2,6% gram per liter, sebagian besar sebagai albumin.
Darimana cairan ini berasal belum diketahui secara pasti, masih diperlukan
penelitian lebih lanjut. Telah banyak teori yang dikemukakan mengenai hal
ini. Salah satunya menurut Siswosudarmo, bahwa air ketuban berasal dari
transudasi plasma maternal, masuk menembus selaput yang melapisi plasenta
dan tali pusat. Pada kehamilan lanjut, urin janin akan ikut membentuk air
ketuban. Dikemukakan bahwa peredaran likuor amnii cukup baik pada rongga
amnion. Dalam 1 jam didapatkan perputaran lebih kurang 500 ml. mengenai
cara perputaran ini pun terdapat banyak teori, antara lain bayi menelan air
ketuban yang kemudian dikeluarkan melalui air kencing. Prichard dan Sparr
menyuntikkan kromat radioaktif ke dalam air ketuban ini. Hasilnya, mereka
menemukan bahwa janin menelan ± 8-10 cc air ketuban atau 1% dari total
seluruh volume air ketuban tiap jam. Apabila janin tidak menelan air ketuban
ini (pada kasus janin dengan stenosis), maka akan didapat keadaan
hidramnion. Fungsi dari cairan ketuban ini antara lain:

a) Melindungi janin terhadap trauma dari luar


b) Memungkinkan janin bergerak dengan bebas
c) Melindungi suhu tubuh janin
d) Meratakan tekanan di dalam uterus pada partus sehingga serviks membuka
e) Membersihkan jalan lahir (jika ketuban pecah) dengan cairan yang steril
dan mempengaruhi keadaan di dalam vagina sehingga mengurangi risiko bayi
mengalami infeksi.2

2.2 Defenisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai kebocoran spontan cairan
dari kantung amnion sebelum adanya tanda-tanda inpartu. Kejadian KPD dapat terjadi
sebelum atau sesudah masa kehamilan 40 minggu.Berdasarkan waktunya, KPD dapat
terjadi pada kehamilan preterm atau kehamilan kurang bulan terjadi sebelum minggu
ke-37 usia kehamilan, sedangkan pada kehamilan aterm atau kehamilan cukup bulan
terjadi setelah minggu ke-37 dari usia kehamilan.

Pada KPD kehamilan preterm dan KPD kehamilan aterm kemudian dibagi
menjadi KPD awal yaitu kurang dari dua belas jam setelah pecah ketuban dan KPD
berkepanjangan yang terjadi dua belas jam atau lebih setelah pecah ketuban.

2.3 Epidemiologi

Pada tahun 2005, WHO memperkirakan 12,9 juta kelahiran (9,6%) di seluruh
dunia adalah prematur. Sekitar 11 juta (85%) dari kelahiran prematur tersebut
terkonsentrasi di Afrika dan Asia. Sekitar 45-50% penyebab dari kelahiran prematur
adalah idiopatik, 30% terkait dengan KPD dan 15-20% dikaitkan dengan indikasi
medis.

Menurut Eastman, insidensi ketuban pecah dini ini berkisar 12 % dari semua
kehamilan normal. Sekitar 70% kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan di
aterm, namun di pusat rujukan, lebih dari 50% kasus dapat terjadi pada kehamilan
preterm.

Angka kejadian KPD di Indonesia sendiri masih cukup tinggi. Data yang
diperoleh dari RSUD Dr. H. Soewondo menyebutkan kejadian KPD pada tahun 2011
sebanyak 445 sedangkan pada tahun 2012 meningkat sebanyak 542 penderita.

2.4 Faktor Resiko


Berbagai faktor risiko berhubungan dengan KPD, khususnya pada kehamilan
preterm. Pasien berkulit hitam memiliki risiko yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan pasien kulit putih. Pasien lain yang juga berisiko adalah pasien dengan status
sosioekonomi rendah, perokok, mempunyai riwayat infeksi menular seksual, memiliki
riwayat persalinan prematur, riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya,
perdarahan pervaginam, atau distensi uterus (misalnya pasien dengan kehamilan
multipel dan polihidramnion). Prosedur yang dapat berakibat pada kejadian KPD
aterm antara lain sirklase dan amniosentesis. Tampaknya tidak ada etiologi tunggal
yang menyebabkan KPD. Infeksi atau inflamasi koriodesidua juga dapat
menyebabkan KPD preterm. Penurunan jumlah kolagen dari membran amnion juga
diduga merupakan faktor predisposisi KPD preterm.8

2.5 Patogenesis
Ketuban pecah dini terjadi setelah terdapat aktivasi dari multifaktorial dan
berbagai mekanisme. Faktor epidemiologi dan faktor klinis dipertimbangkan sebagai
pencetus dari ketuban pecah dini. Faktor ini termasuk infeksi traktus reproduksi pada
wanita (Bakterial vaginosis, Trikomoniasis, Gonorrhea, Chlamydia, dan
korioamnionitis subklinis), faktor-faktor perilaku (merokok, penggunaan narkoba,
status nutrisi, dan koitus), komplikasi obstetri (kehamilan multipel, polihidramnion,
insufisiensi servik, operasi servik, perdarahan dalam kehamilan, dan trauma
antenatal), dan kemungkinan karena perubahan lingkungan (tekanan barometer).
Sinyal biokimia dari fetus termasuk sinyal apoptosis dan sinyal endokrin dari fetus,
juga merupakan implikasi dalam inisiasi dari terjadinya ketuban pecah dini.
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada daerah
tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi
atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di daerah
lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler atau
trofoblas.
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia
yang menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan struktur,
jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Pada daerah di sekitar pecahnya selaput ketuban
diidentifikasi sebagai suatu zona “restricted zone of extreme altered morphology
(ZAM)”
Penelitian oleh Malak dan Bell pada tahun 1994 menemukan adanya sebuah
area yang disebut dengan “high morphological change” pada selaput ketuban di
daerah sekitar serviks. Daerah ini merupakan 2 - 10% dari keseluruhan permukaan
selaput ketuban. Bell dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut menemukan bahwa
area ini ditandai dengan adanya peningkatan MMP-9, peningkatan apoptosis
trofoblas, perbedaan ketebalan membran, dan peningkatan myofibroblas.
Penelitian oleh Rangaswamy dkk (2012), mendukung konsep paracervical
weak zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal akan
pecah dengan hanya diperlukan 20 - 50% dari kekuatan yang dibutuhkan untuk
menimbulkan robekan di area selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian
mendukung konsep adanya perbedaan zona pada selaput ketuban, khususnya zona di
sekitar serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona lainnya
seiring dengan terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan histologi.
Paracervical weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban
dan berperan sebagai initial breakpoint.
Penelitian lain oleh Reti dkk (2007), menunjukkan bahwa selaput ketuban di
daerah supraservikal menunjukkan peningkatan aktivitas dari petanda protein
apoptosis yaitu cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2.
Didapatkan hasil laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien
dengan ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan laju
apoptosis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks dibandingkan dengan
daerah fundus
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui jalur
intrinsik maupun ekstrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari caspase.
Reti dkk, (2007) berpendapat bahwa jalur intrinsik dari apoptosis merupakan jalur
yang dominan berperan pada apoptosis selaput ketuban pada kehamilan aterm. Pada
penelitian ini dibuktikan bahwa terdapat perbedaan kadar yang signifikan pada Bcl-2,
cleaved caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah supraservikal, di mana protein-
protein tersebut merupakan protein yang berperan pada jalur intrinsik. Fas dan
ligannya, Fas-L yang menginisiasi apoptosis jalur ekstrinsik juga ditemukan pada
seluruh sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya tidak berbeda bermakna antara
daerah supraservikal dengan daerah distal. Diduga jalur ekstrinsik tidak berperan
banyak pada remodeling selaput ketuban.
Degradasi dari jaringan kolagen matriks ekstraseluler dimediasi oleh enzim
matriks metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini dihambat oleh
tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat menjelang persalinan,
terjadi ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix MMP dan TIMP,
peningkatan aktivitas kolagenase dan protease, peningkatan tekanan intrauterin.11

Gambar 2. Diagram Berbagai Mekanisme yang Berperan pada Kejadian


Ketuban Pecah Dini.
2.6 Diagnosa

Diagnosis KPD secara tepat sangat penting untuk menentukan penanganan


selanjutnya. Cara-cara yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah21–24 :
1. Anamnesis
Pasien merasakan adanya cairan yang keluar secara tiba-tiba dari jalan lahir atau
basah pada vagina. Cairan ini berwarna bening dan pada tingkat lanjut dapat
disertai mekonium.
2. Pemeriksaan inspekulo
Terdapat cairan ketuban yang keluar melalui bagian yang bocor menuju kanalis
servikalis atau forniks posterior, pada tingkat lanjut ditemukan cairan amnion
yang keruh dan berbau.

3. Pemeriksaan USG
Ditemukan volume cairan amnion yang berkurang / oligohidramnion, namun
dalam hal ini tidak dapat dibedakan KPD sebagai penyebab oligohidramnion
dengan penyebab lainnya.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis maternal (lebih dari 15.000/uL), adanya
peningkatan C-reactive protein cairan ketuban serta amniosentesis untuk
mendapatkan bukti yang kuat (misalnya cairan ketuban yang mengandung
leukosit yang banyak atau bakteri pada pengecatan gram maupun pada kultur
aerob maupun anaerob).
Tes lakmus (Nitrazine Test) merupakan tes untuk mengetahui pH cairan, di mana cairan
amnion memiliki pH 7,0-7,5 yang secara signifikan lebih basa daripada cairan vagina dengan
pH 4,5-5,5. jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban.
Normalnya pH air ketuban berkisar antara 7-7,5. Namun pada tes ini, darah dan infeksi
vagina dapat menghasilkan positif palsu. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
Tes Fern. Untuk melakukan tes, sampel cairan ditempatkan pada slide kaca dan dibiarkan
kering. Pemeriksaan diamati di bawah mikroskop untuk mencari pola kristalisasi natrium
klorida yang berasal dari cairan ketuban menyerupai bentuk seperti pakis.12

2.7 Diagnosis Banding

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan
morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau akibat
kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu. Terdapat dua manajemen dalam
penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah
penanganan dengan pendekatan tanpa intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan
klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan. Berikut ini adalah tatalaksana yang
dilakukan pada KPD  berdasarkan masing-masing kelompok usia kehamilan.
A. Ketuban pecah dini usia kehamilan <24 minggu

Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm


didapatkan  bahwa morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia dan takipnoe
transien lebih besar apabila ibu melahirkan pada usia tersebut dibanding
pada kelompok usia lahir 36 minggu. Morbiditas mayor seperti sindroma
distress pernapasan dan perdarahan intraventrikular tidak secara signifikan berbeda.

Pada saat ini, suatu penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan


adalah pilihan yang lebih baik pada ketuban pecah dini usia kehamilan 24 - 34
minggu. Pada usia kehamilan antara 30-34 minggu, persalinan lebih baik daripada
mempertahankan kehamilan dalam menurunkan insiden korioamnionitis secara
signifikan. Tetapi tidak ada perbedaan signifikan berdasarkan morbiditas neonatus.
Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa persalinan lebih baik dibanding
mempertahankan kehamilan.13

B. Ketuban pecah dini usia kehamilan 34-38 minggu

Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan


meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis. Tidak ada perbedaan signifikan
terhadap kejadian respiratory distress syndrome. Pada saat ini, penelitian
menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding melakukan
persalinan.14

KPD Memanjang

Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm. Administrasi


antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda kelahiran
yang akan memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan kortikosteroid prenatal.
Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal necrotizing
enterocolitis sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau
penisilin adalah  pilihan terbaik. Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan
digunakan bila KPD memanjang (> 24 jam).14
Tabel 2.1 Antibiotik yang digunakan pada KPD >24 jam

Medikamentosa D R Frekuensi
Benzilpenisilin 1.2 gram IV Setiap 4 jam
Klindamisin (jika sensitif
600 mg IV Setiap 8 jam
pada penisilin)

Manajemen Aktif

Pada kehamilan ≥37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun demikian, jika pasien
memilih manajemen ekspektatif, harus dihargai. Lamanya waktu manajemen ekspektatif
perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan dibuat berdasarkan keadaan per individu. 

Induksi persalinan dengan prostaglandin pervaginam berhubungan dengan peningkatan ri
siko korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan dengan induksi oksitosin.
Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam untuk
induksi persalinan pada kasus KPD.

Dapat pula diberikan misoprostol 25 µg – 50 µg intravaginal tiap


6  jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik dosis tinggi dan
persalinan diakhiri. Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor pelvik > 5, induksi
persalinan.15

Tabel 2.2 Medikamentosa yang digunakan pada KPD14

Magnesium Magnesium Sulfat IV:


Untuk efek neuroproteksi pada Bolus 6 gram selama 40 menit
PPROM <31 minggu bila persalinan dilanjutkan infus 2 gram/jam untuk
diperkirakan dalam waktu 24 jam dosis pemeliharaan sampai persalinan
atau sampai 12 jam terapi
Kortikosteroid Betamethasone:
Untuk menurunkan risiko sindrom 12 mg IM setiap 24 jam dikali 2 dosis
distress pernapasan jika betamethasone tidak tersedia,
gunakan deksamethasone 6 mg IM
setiap 12 jam
Antibiotik Ampisilin
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan
Eritromisin
250 mg IV setiap 6 jam selama 48
jam, dikali 4 dosis diikuti dengan
Amoksisilin
250 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari
dan
Eritromisin
333 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari,
jika alergi ringan dengan penisilin,
dapat digunakan:
Cefazolin
1 gram IV setiap 8 jam selama 48 jam
dan
Eritromisin
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan:
Cephalexin
500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari
dan
Eritromisin
333 mg PO setiap 8 jam selama
hari Jika alergi berat penisilin, dapat
diberikan
Vancomycin
1 gram IV setiap 12 jam selama 48
jam dan
Erythromycin
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam
diikuti dengan
Clindamycin
300 mg PO setiap 8 jam selama 5 hari

2.9 Komplikasi
a) Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut
dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis.
Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami
endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal
dunia. Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan
terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas
belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan setelah mengalami KPD
harus dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta 4% perlu mendapatkan transfusi darah
karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai
kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama.14
b) Komplikasi Janin
1. Hipoksia dan asfiksia akibat oligohidramnion

Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari


normal, yaitu kurang dari 300 cc. Oligohidramnion juga menyebabkan
terhentinya perkembangan  paru-paru (paru-
paru hipoplastik), sehingga pada saat lahir, paruparu tidak berfungsi sebagaima
na mestinya. Dengan pecahnya ketuban, terjadi oligohidramnion
yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat
hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin
sedikit air ketuban, janin semakin gawat.16

2. Sindrom deformitas janin 

KPD pada kehamilan yang sangat muda dan disertai dengan


oligohidramnion yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya deformasi
janin antara lain :

a) Sindroma Potter 
Sindroma Potter dapat berbentuk “clubbed feet”, Hipoplasia Pulmonal
dan kelainan kranium yang terkait dengan oligohidramnion.

Gambar 2.1 Sindroma Potter (Barraco, R.D & Chiu, W.C, 2010).

b) Deformitas ekstrimitas
3. Persalinan awal
Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai
persalinan, secara umum bersifat proporsional secara terbalik dengan usia gestasi
saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah studi besar pada pasien aterm
menunjukkan bahwa 95% pasien akan mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah
kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang mengevaluasi pasien dengan
preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode laten 4 minggu.
Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami sekuele
sepert malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, necrotizing
enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel, dan sindrom distress
pernapasan.14

2.7 Prognosis
Prognosis tergantung pada usia kandungan, keadaan ibu dan serta adanya infeksi atau
tidak. Pada usia kehamilan lebih muda, midtrimester (13-26 minggu) memiliki prognosis
lebih buruk. Kelangsungan hidup lebih bervariasi dengan usia kehamilan saat diagnosis dari
12% ketika terdiagnosa pada usia 16-19 minggu, sebanyak 60% bila didiagnosis 25-26
minggu. Pada kehamilan dengan infeksi memburuk, sehingga bila bayi selamat dan
dilahirkan memerlukan penanganan yang intensif. Apabila KPD terjadi setelah usia masuk ke
dalam aterm maka prognosis lebih baik terutama bila tidak terdapatnya infeksi, ataupun
komplikasi lainnya, sehingga terkadang pada aterm sering digunakaninduksi untuk membantu
persalinan.
Prognosis ketuban pecah dini ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-
komplikasi dari kehamilan . Prognosis untuk janin tergantung pada:
a. Maturitas janin: bayi yang beratnya di bawah 2500 gram mempunyai prognosis yang
lebih jelek dibanding bayi lebih besar
b. Presentasi : presentasi bokong menunjukkan prognosis yang jelek, khususnya jika
bayinya premature.
c. Infeksi intrauterine meningkatkan mortalitas janin.
d. Semakin lama kehamilan berlangsung dengan ketuban pecah, semakin tinggi
insidensi infeksi dan semakin buruk prognosis.

BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

SMF OBSTETRI & GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

1. Identitias Pasien
Nama : Ny. CLS
Umur : 32 tahun
Pendidikan : Tamat Sarjana
Pekerjaan : PNS
Suku/Agama : Batak/ Kristen
Status : Menikah
Alamat : Jl. Karya
Tanggal Masuk : 25 November 2019 pukul 17.30 WIB
No. MR : 10.84.74

2. Anamnesis
Keluhan utama : Keluar air-air dari kemaluan
Telaah :

- Hal ini dialami pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (23 November 2019).
Frekuensi 2-3 kali ganti pembalut perhari. Cairan berwarna jernih. Riwayat keluar
lendir darah tidak dijumpai. Riwayat perut mules-mules seperti mau melahirkan tidak
dirasakan.
- HPHT pasien terakhir 17/04/2019. Pasien telah 3 kali melakukan antenatal care ke
dokter spesialis kandungan.
- Riwayat mengalami cedera fisik disangkal, riwayat berhubungan dengan suami
disangkal, riwayat demam sebelumnya disangkal, riwayat konsumsi jamu- jamuan
selama kehamilan tidak dijumpai.
- BAK (+), BAB (+), kesan normal

Riwayat Penggunaan Obat

Tidak dijumpai

Riwayat Penyakit Terdahulu


Tekanan darah tinggi, gula, jantung, asma, dan alergi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak dijumpai

Riwayat Haid
HPHT : 17-04-2019
TTP : 24-01-2020
ANC : 3x di dokter spesialis kandungan
Menarche : 12 tahun
Siklus : 28 hari
Lama Haid : 5-7 hari, teratur
Ganti pembalut : 2-3 kali sehari
Nyeri haid :-

Riwayat Persalinan

1. Abortus spontan tahun 2012


2. Partus tahun 2014, hamil aterm, persalinan spontan pervaginam, ditolong dokter
di RS, anak perempuan, BBL 3200 gram. Keadaan anak sekarang: hidup usia 5
tahun
3. Partus tahun 2017, hamil aterm, sectio caesarea oleh dokter di RS, anak laki-laki
BBL 4000 gram. Keadaan anak sekarang: hidup usia 2 tahun
4. Hamil ini

Riwayat Pernikahan
Pertama kali dengan suami sekarang Tn. K, berusia 32 tahun, sudah menikah 7 tahun.

Riwayat Kontrasepsi
Tidak pernah

Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien saat ini tinggal dengan suaminya. Pasien adalah seorang PNS dan suami pasien
bekerja sebagai guru. Biaya hidup sehari-hari diperoleh dari gaji yang didapat pasien
serta suami pasien. Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi alkohol maupun
merokok.

Riwayat Operasi
1. Sectio caesarea tahun 2017

3. Pemeriksaan Fisik
Status Presens
Sensorium : Compos mentis Anemis : (-)
TD : 120/70 mmHg Ikterus : (-)
HR : 80 x/i, teratur Sianosis : (-)
RR : 20 x/i Dyspnea : (-)
Temperatur : 36,5 ºC Edema : (-)
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 148 cm
LILA : 25 cm
Status Generalisata
Kepala : Mata : Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor ka=ki, ø 3 mm
Hidung : Konka eutrofi, septum medial
Mulut : Kandidiasis oral (-), uvula medial,
tonsil T1/T1
Telinga : Sekret (-/-), pendengaran (+)

Toraks:
Pemeriksaan Depan Belakang
Abdomen :
Fisik
Inspeksi Simetris fusiformis, Simetris fusiformis, pernafasan
pernafasan torakoabdominal, pergerakan otot-
torakoabdominal, otot nafas tambahan (-)
pergerakan otot-otot nafas
tambahan (-),
hiperpigmentasi areola
mammae (+)
Palpasi Stem fremitus kanan=kiri, Stem fremitus paru kanan=kiri,
kesan normal. kesan normal.
Perkusi Sonor pada kedua lapangan Sonor pada kedua lapangan paru.
paru.
Batas jantung relatif
Atas : ICS III sinistra
Kanan: LPS dextra
Kiri : 2 cm medial
LMCS, ICS V
Auskultasi Paru Paru
RR: 20 x/i SP: vesikuler pada seluruh
SP: vesikuler pada seluruh lapangan paru
lapangan paru ST: -
ST: -
Jantung
S1/S2 normal, HR: 80 x/i,
reguler, murmur (-), gallop
(-)

Inspeksi : Membesar asimetris, jejas (-)


Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
Auskultasi: Peristaltik (+) N
Ekstremitas : jejas (-), luka (-), edema (-)

Ekstres :Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal.


Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis tidak dijumpai

Status Obstetri
Abdomen : Membesar asimetris
Leopold I : TFU setinggi antara pusat dan processus xyphoideus (25 cm),
bagian teratas janin bokong
Leopold II : Punggung janin di sebelah kiri
Leopold III : Bagian terbawah janin kepala, belum masuk pintu atas panggul
Leopold IV : Konvergen 5/5
HIS : Tidak ada
DJJ : 148 x/i
Gerak janin : (+)

Status Ginekologi
Inspekulo : Serviks tidak berdilatasi, portio licin, erosi (-), darah (-),
tampak cairan menggenang di daerah fornix posterior, jernih,
tidak berbau, dibersihkan kesan tidak mengalir aktif, Nitrazin
test (+), Valsava test (+)

VT : Tidak dilakukan pemeriksaan


ST :-

4. Penjajakan
Laboratorium
Darah Lengkap

Hemoglobin : 9.2 g/dl 12-16 g/dl


Hematokrit : 29.30 % 38 - 44 %
Red Blood : 4.18 x 106 3,8 - 5,2 /mm³
Cell /mm³

Leukosit : 10.960/mm³ 3.600 – 11.000 /mm³


Trombosit : 328.000 m³ 140.000 – 440.000
/mm³
MCV : 70.10 fL 82 – 92 fl
MCH : 22.00 fL 27 – 31 pg
MCHC : 31,40 fL 32 – 36 g%
:
GDS : 128 <200
:
Natrium : 136 135 – 155
Kalium : 3,59 3,5 – 5,0
Klorida : 106 96 – 106

Ultrasonografi Transabdominal

Interpretasi

1. Fetus tunggal, presentasi kepala, anak hidup


2. FM (+)
3. DJJ 148x/I regular
4. BPD 81,5 mm
5. HC 291,2 mm
6. AC 281,7 mm
7. FL 59,7 mm
8. S/D Ratio 2,1
9. MVP 25,2 mm
10. EFW 1862 gram

Kesimpulan : KDR (31-32) minggu + PK + AH

5. Diagnosis

KPD Preterm + Previous SC 1x + MG + KDR (31-32) minggu + PK + AH

6. Penatalaksanaan
- Total bedrest, posisi Tredelenberg
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Cefazolin 1 gr/ 8 jam
- Inj. Dexamethasone 6 mg/12 jam

7. Rencana
- Manajemen ekspektatif
- Monitor vital sign, DJJ, tanda-tanda inpartu, dan tanda-tanda korioamnionitis

KESIMPULAN

· Ny. N.Y.A., 28 tahun, G1P0A0, Somalia, Muslim, Ibu rumah tangga, datang
dengan keluhan keluar air-air dari kemaluan sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pada pemeriksaan obstetric Leopold I dengan TFU setentang processus xyphoideus
dan bagian teratas janin bokong, Leopold II dengan punggung janin di sebelah kiri,
Leopold III bagian terbawah janin kepala dan belum masuk pintu atas panggul, serta
Leopol IV dengan konvergen 5/5. Pada pemeriksaan inspekulo dijumpai cairan
menggenang di daerah fornix posterior, jernih, tidak berbau, dibersihkan kesan
mengalir, Nitrazin test (+), Valsava test (+). Pemeriksaan adekuasi panggul
menunjukkan panggul yang adekuat. Pasien didiagnosis dengan KPD + Primigravida
+ KDR (36-37 minggu) + presentasi kepala dengan anak hidup. Pasien dilakukan
tindakan persalinan spontan pervaginam dan dilakukan pemantauan kontraksi uterus,
vital sign, perdarahan pervaginam lalu diterapi dengan IVFD RL+ oxytocin 10 IU 20
gtt/i, Cefadroxil 500 mg 2x1, Asam Mefenamat 500 mg 3x1, dan Vitamin B kompleks
2x1.
BAB IV

FOLLOW UP

25 November 2019
S Keluar air-air dari kemaluan
O Sensorium: Compos mentis
TD 120/70 mmHg
HR: 80 x/i
RR: 20 x/i
Temp: 36,50C
DJJ : 143x/i
Gerak : (+)
Abdomen : Membesar asimetris
TFU : 2 jari di bawah processus xyphoideus (25 cm)
Teregang: kanan
Terbawah: kepala
A KPD Preterm + Prev SC 1x + MG+ KDR (31-32) minggu + PK
+ AH
P - IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Cefazoline 1gr/8 jam
- Inj. Dexamethasone 6 mg/12 jam
R Pantau VS, DJJ, suhu dan tanda-tanda inpartu.
Cek KGD, GDS  194

26 November 2019
S Mulas mulas mau melahirkan
O Sensorium : Compos mentis
TD : 120/60 mmHg
HR : 96 x/i
RR : 20 x/i
Temp : 36,5 0C
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 25 cm
Teregang : Kiri
Terbawah : kepala
DJJ : 144 x/i
A KPD Preterm + Prev SC 1x + MG+ KDR (31-32) minggu + PK
+ AH
P IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Cefazoline 1gr/8 jam
Inj. Dexamethasone 6 mg/12 jam
R Pantau VS, DJJ, His

27 November 2019 (12.50 WIB)


S Mulas mulas mau melahirkan
O Sensorium : Compos mentis
TD : 120/80 mmHg
Abdomen : membesar asimetris
TFU : 33 cm
Teregang : kiri
Terbawah : kepala
DJJ : 138 x/i
HIS : 2x20”/10’
VT : 4 cm
A KPD Preterm + MG + KDR (31-32) minggu + PK + AH
P
R Pantau VS, DJJ, HIS

BAB V

DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
Definisi Identitias Pasien
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan Nama : Ny. CLS
sebagai kebocoran spontan cairan dari kantung Umur : 32 tahun
amnion sebelum adanya tanda-tanda inpartu. Pendidikan : Tamat Sarjana
Kejadian KPD dapat terjadi sebelum atau Pekerjaan : PNS
sesudah masa kehamilan 40 minggu. Suku/Agama : Batak/ Kristen
Status : Menikah
Berdasarkan waktunya, KPD dapat terjadi
pada kehamilan preterm atau kehamilan kurang
bulan terjadi sebelum minggu ke-37 usia - Keluhan utama : Keluar air-air dari
kehamilan, sedangkan pada kehamilan aterm kemaluan. Usia kehamilan saat ini 31-
atau kehamilan cukup bulan terjadi setelah 32 minggu.
minggu ke-37 dari usia kehamilan.

Faktor resiko
1. Golongan social ekonomi rendah
 Pekerjaan pasien PNS dan suami
pasien guru.
2. Kehamilan remaja
 Usia 32 tahun
3. Merokok
 Tidak pernah mengonsumsi
alkohol maupun merokok.
4. Penyakit Menular Seksual (PMS)
 Tidak terdapat riwayat PMS
5. Vaginosis Bakterial
 Riwayat keluhan keputihan
disertai bau, berwarna putih
6. Perdarahan antenatal kekuningan tidak dijumpai
 Keluhan keluar darah dari
kemaluan tidak dijumpai
7. Riwayat ketuban pecah dini pada  Tidak terdapat Riwayat ketuban
kehamilan sebelumnya. pecah dini pada kehamilan
sebelumnya.
8. Orang berkulit hitam lebih beresiko
 Suku : batak
dibanding berkulit putih
9. Riwayat persalinan prematur.
 Riwayat persalinan
5. Abortus spontan tahun 2012
6. Partus tahun 2014, hamil aterm,
persalinan spontan pervaginam,
ditolong dokter di RS, anak
perempuan, BBL 3200 gram.
Keadaan anak sekarang: hidup usia
5 tahun
7. Partus tahun 2017, hamil aterm,
sectio caesarea oleh dokter di RS,
anak laki-laki BBL 4000 gram.
Keadaan anak sekarang: hidup usia
2 tahun
8. Hamil ini
Diagnosis

Anamnesis

1. Gejala yang terpenting adalah keluar


- Hal ini dialami pasien sejak 2 hari
air-air dari kemaluan berupa cairan
sebelum masuk rumah sakit (23
jernih.
November 2019). Frekuensi 2-3 kali
2. Cairan tampak di introitus
ganti pembalut perhari. Cairan
berwarna jernih. Riwayat keluar lendir
darah tidak dijumpai.
3. Tidak ada his dalam 1 jam
- Riwayat perut mules-mules seperti mau
melahirkan tidak dirasakan.
- Riwayat demam sebelumnya disangkal
4. Gejala Klinis lainnya adalah adalah
gejala dari infeksi atau korioamnionitis
seperti adanya demam yang menyertai.

Pemeriksaan Fisik

Inspekulo
Terdapat cairan ketuban yang keluar melalui Inspekulo: Serviks tidak berdilatasi,

bagian yang bocor menuju kanalis servikalis portio licin, erosi (-) darah (-). Tampak

atau forniks posterior, pada tingkat lanjut cairan menggenang di daerah fornix

ditemukan cairan amnion yang keruh dan posterior, jernih, tidak berbau,

berbau. dibersihkan kesan tidak mengalir aktif.

Pemeriksaan USG
Ditemukan volume cairan amnion yang Ultrasonografi Transabdominal
berkurang / oligohidramnion, namun dalam
hal ini tidak dapat dibedakan KPD sebagai 11. Fetus tunggal, presentasi kepala, anak
penyebab oligohidramnion dengan penyebab hidup
lainnya. 12. FM (+)
13. DJJ 148x/I regular
14. BPD 81,5 mm
15. HC 291,2 mm
16. AC 281,7 mm
17. FL 59,7 mm
18. S/D Ratio 2,1
19. MVP 25,2 mm
20. EFW 1862 gram

Kesan : KDR (31-32) minggu + PK + AH

Pemeriksaan Laboratorium
 Untuk menentukan ada atau tidaknya
infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis  Leukosit 10.960 /mm³

maternal (lebih dari 15.000/uL)


 adanya peningkatan C-reactive protein
cairan ketuban serta amniosentesis
untuk mendapatkan bukti yang kuat  Tidak dilakukan pemeriksaan
(misalnya cairan ketuban yang
mengandung leukosit yang banyak atau
bakteri pada pengecatan gram maupun
pada kultur aerob maupun anaerob).
 Pemeriksaan Nitrazin Test positif
(kertas lakmus merah berubah menjadi  Nitrazin Test : positif
biru artinya air ketuban keluar). Namun
pada tes ini, darah dan infeksi vagina
dapat menghasilkan positif palsu.
 Tes Fern. Untuk melakukan tes, sampel
cairan ditempatkan pada slide kaca dan  Tidak dilakukan Tes Fern
dibiarkan kering. Pemeriksaan diamati
di bawah mikroskop untuk mencari
pola kristalisasi natrium klorida yang
berasal dari cairan ketuban menyerupai
bentuk seperti pakis.

Tatalaksana Terapi
- Total bedrest, posisi Tredelenberg
Prinsip utama penatalaksanaan KPD
- IVFD RL 20 gtt/i
adalah untuk mencegah mortalitas dan
- Inj. Cefazolin 1 gr/ 8 jam
morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang
- Inj. Dexamethasone 6 mg/12 jam
dapat meningkat karena infeksi atau akibat
kelahiran preterm pada kehamilan > 37
Anjuran
minggu.
- Manajemen ekspektatif
Pada usia kehamilan antara 30-34 minggu, - Monitor vital sign, DJJ, tanda-tanda
persalinan lebih baik daripada inpartu, dan tanda-tanda
mempertahankan kehamilan dalam korioamnionitis
menurunkan insiden korioamnionitis secara
signifikan. Tetapi tidak ada
perbedaan signifikan berdasarkan morbiditas
neonatus..

Selama melakukan penatalaksanaan


ekspektatif harus dilakukan pemantauan seperti
pemeriksaan leukosit setiap hari, observasi
tanda-tanda vital terutama temperatur
setiap 4 jam sekali, dan observasi denyut
jantung janin. Jika selama pengelolaan
ekspektatif pasien mengalami infeksi maka
segera lakukan penetalaksanaan KPD secara
aktif yaitu dengan melakukan induksi tanpa
melihat umur kehamilan. Jika induksi tidak
berhasil maka dilakukan tindakan bedah sesar.

pemberian antibiotik adalah: Ampicillin 2


gram IV tiap 6 jam dan eritromycin 250 mg iv
tiap 6 jam selama 48 jam diikuti oleh 250 mg
amoxilin peroral tiap 8 jam dan eritromicin 250
mg selama 5 hari.

Proses persalinan pada kehamilann 24-37


minggu menurut Krisnadi, Effendi, dan Pribadi
(2009) adalah disesuaikan dengan resiko
obsterik yang mungkin terjadi dan proses
persalinan disamakan dengan proses persalinan
aterm.

PROGNOSIS

Prognosis ketuban pecah dini


ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan
komplikasi-komplikasi dari kehamilan .
Prognosis untuk janin tergantung pada:
a. Maturitas janin: bayi yang beratnya di
a. Tafsiran berat bayi dari pemeriksaan
bawah 2500 gram mempunyai
USG : 1862 gram
prognosis yang lebih jelek dibanding
bayi lebih besar
b. Presentasi kepala
b. Presentasi : presentasi bokong
menunjukkan prognosis yang jelek,
khususnya jika bayinya premature.
c. Infeksi intrauterine meningkatkan c. Tidak ditemukannya tanda- tanda
infeksi seperti demam, air ketuban
mortalitas janin. berwarna kehijauan disertai bau,
d. Semakin lama kehamilan berlangsung peningkatan leukosit.
d. Saat ini kehamilan masih di
dengan ketuban pecah, semakin tinggi
pertahankan
insidensi infeksi dan semakin buruk
prognosis.
BAB VI

KESIMPULAN

Ny. H, 24 tahun, G1P0A0, datang ke IGD RSUP H. Adam Malik dengan keluhan
keluar darah dari kemaluan. Hal ini dialami pasien sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat keluar lendir darah disangkal. Riwayat mulas-mulas mau melahirkan dijumpai.
Keluar bercak darah dijumpai. Riwayat keluar air-air dari kemaluan tidak dijumpai. Pasien
merupakan pasien rawat inap berulang dengan plasenta previa lateralis. Pasien didiagnosis
Plasenta previa lateralis + PG + KDR (33-34) mgg + PK + AH. Pasien diterapi dengan IVFD
RL + Nifedipine tab 4x10 mg + Histolan tab 2x ½ + Inj Dexamethasone 6mg/12 jam dan
direncanakan dilakukan persalinan Sectio Caesaria.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anthony R. Introduction to pPROM. Obstet Gyne Clinics of North America 1992; 19


(241-247) .

2. Mercer BM, Crocker LG, Pierce WF, Sibai BM. Clinical characteristics and outcome
of twin gestation complicated by preterm premature rupture of the membranes. Am J
Obstet Gynecol. 1993 May;168(5):1467-73.

3. American College of Obstetrics and Gynecology. ACOG Practice Bulletin No. 80:
Premature rupture of membranes. Clinical management guidelines for obstetrician-
gynecologists. Obstet Gynecol. 2007 Apr;109(4):1007-19.

4. Caughey AB, Robinson JN, Norwitz ER. Contemporary diagnosis and management
of preterm premature rupture of membranes. Rev Obstet Gynecol. 2008
Winter;1(1):11-22.

5. Repository USU Available at :


http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/24515/Chapter
%20I.pdf?sequence=5&isAllowed=y [Accessed 01 November 2019].

6. Repository UMY Available at :


http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10708/6.%20BAB
%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y [Accessed 01 November 2019]

7. Royal Hospital for Women. Obstetric clinical guidelines group: preterm premature
rupture of membranes assessment and management guideline. 2009 Oktober.
Diunduh dari seslhd.health.nsw.gov.au pada 24 Agustus.

8. Women and Newborn Health Service. King Edward Memorial Hospital. Clinical
Guidelines Obstetrics and Midwifery Guidelines. September 2002.
www.kemh.health.wa.gov.au/development/manuals/O&G_guidel
ines/sectionb/2/5172.pdf

9. Fariz A. Ketuban Pecah Dini. Available at:


http://www.academia.edu/7536959/Ketuban_pecah_dini [Accessed 02
November 2019]
10. Nurmiati. Kadar Interleukin 1- β (IL-1 β ¿ pada Ketuban Pecah Dini (KPD). Program
studi Magister Kebidanan Universitas hasanuddin. Makasar 2017.
Availableat:http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollectio
n/NGRiZDQ0ZWU3ZjVkOWlxN2U0MGRiMjVkZWRjMzUzZmFiN2M4M
TkyMQ==.pdf [Accessed 02 November 2019]

11. https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/e0f02fd5ec702026d242263abdaa4a36.p
df
12. Rif'ati, Naura Laras and KRISTANTO, HERMAN. 2018. HUBUNGAN
KORIOAMNIONITIS DENGAN ASFIKSIA NEONATUS PADA KEHAMILAN
DENGAN KETUBAN PECAH DINI. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine.
13. Mercer BM, C. L., Boe NM, Sibai BM. 1993. "Induction versus
expectant management in premature rupture of the membranes with mature
amniotic fluid at 32 to 36 weeks: arandomized trial." Am J Obstet Gynecol 169: 775-
782.
14. POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokeran Ketuban Pecah Dini
15. Kenyon S, B. M., Neilson J. 2003. Antibiotics for preterm rupture
of membranes."Cochrane Database Syst Rev 2(CD001058).
16. Barraco, R.D. dan Chiu, W.C. 2010. Practice Management Guidelines for the
Diagnosis dan Management of Injury in the Pregnant Pantient. Jurnal The EAST, 23
(5):123
17. Mochtar, Rustam, Sinopsis Obstetri Edisi 2 Jilid 1, EGC, Jakarta, 1998

Anda mungkin juga menyukai