Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

KEGAWATDARUTAN MEDIK DAN KEBENCANAAN

“PENATALAKSANAAN EMERGENSI PADA TRAUMA


OROMAKSILOFASIAL DISERTAI FRAKTUR BASIS KRANI”

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Dalam Melengkapi Kepaniteraan Klinik


Pada Modul 10

Oleh:

Futri Marisya
21100707360804052

Pembimbing :
drg. Suci Auliya

RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report ” Penatalaksanaan
Emergensi pada Trauma Oromaksilofasial Disertai Fraktur Basis Krani” untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan kepanitraan klinik modul 10 dapat
diselesaikan.

Dalam penulisan Laporan Kasus penulis menyadari, bahwa semua proses


yang telahdilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Suci Auliya selaku dosen
pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak lainnya.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu.

Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna


sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena
itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya


kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang
memerlukan.

Padang, 02 April 2023

Futri Marisya

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Oleh

FUTRI MARISYA

21100707360804052

Telah didiskusikan Case Report Modul 10 Kegawadaruratan Medis

“Penatalaksanaan Emergensi pada Trauma Oromaksilofasial Disertai Fraktur

Basis Krani” guna melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik pada Modul 10.

Padang, 02 April 2023

Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing

(drg. Suci Auliya)

iii
DAFTAR ISI

Halaman
Sampul ........................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
BAB 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................. 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4
2.1 Definisi ........................................................................................................... 5
2.2 Anatomi Maksilofasial ................................................................................... 6
2.3 Etiologi ........................................................................................................... 8
2.4 Klasifikasi ....................................................................................................... 8
2.5 Manifestasi Klinis......................................................................................... 23
2.6 Diagnosis ...................................................................................................... 24
2.7 Pemeriksaan Ekstra Oral .............................................................................. 29
2.8 Pemeriksaan Intra Oral ................................................................................. 31
2.9 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 32
2.10 Komplikasi ................................................................................................... 34
2.11 Prinsip Penatalaksanaan Trauma Maksilofasial ........................................... 35
BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 44

iv
v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jumlah penduduk di Indonesia semakin bertambah setiap tahunnya

sehingga meningkatkan mobilitas penduduk baik di desa maupun di kota.

Jumlah kendaraan bermotor pun ikut meningkat seiring dengan kebutuhan

transportasi. Pertambahan volume kendaraan tersebut, meningkatkan resiko

kecelakaan lalu lintas. Menurut hasil riset skala nasional yang berbasis

komunitas dan telah dilaksanakan secara berkala oleh Badan Litbangkes

Kemenkes RI pada tahun 2018 kecelakaan lalu lintas menurut provinsi dan

karakteristik, sulses menjadi urutan kedua tertinggi di Indonesia.

Trauma wajah atau yang disebut juga dengan istilah Maksilofacial Fracture

merupakan kasus terbanyak dalam kecelakaan lalu lintas. Dimana,

Maksilofasial merupakan bagian yang penting bagi kehidupan manusia.

Maksilofasial dibentuk oleh tulang-tulang wajah atau tengkorak bagian depan,

sehingga apabila terjadi fraktur dapat mengakibatkan suatu kelainan pada

bentuk wajah yang menyebabkan gangguan estetik pada wajah yang tidak

jarang mengakibatkan deformitas berat dan meninggalkan kecacatan bahkan

dapat mengancam jiwa seperti akibat gangguan saluran napas bagian atas dan

otak. Akibat trauma maksilofasial yang sering kompleks dan melibatkan

beberapa organ penting, sehingga penanganan harus intensif dan k holistik.

Fraktur pada maksilofasial bisa terjadi hanya satu tempat ataupun multipel/

kompleks, akibat benturan dengan kekuatan rendah atau akibat kekuatan tinggi

1
(>50 ekuatan gravitasi). Struktur tulang maksilofasial yang pipih dan menonjol

menjadikannya lebih rentan terjadi frakturkarena menjadi sasaran penganiayaan

dan benturan. Sekitar 70% kecelakaan lalu lintas disertai trauma kepala leher,

dan yang paling seringmengalami cedera adalah bagian maksilofasial terutama

mandibula. (Juwita, Zulfikar and Restuastuti, 2017)

Dalam studi mortalitas Pusat Nasional 16 Statistik Kesehatan data dari

1979- 1986, menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor

yang tidak menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka

alami. Fraktur maksilofasial mempunyai banyak variasi antara lain, dapat

berupa fraktur maksila, fraktur mandibula, fraktur nasal, dan fraktur

dentoalveolaratau kombinasinya. Dari beberapa macam fraktur tersebut, ada

dua macam fraktur yang memiliki pembagiantipe tersendiri, seperti fraktur

maksila terbagi atas fraktur le fort I, le fort II, dan le fort III sedangkan untuk

fraktur mandibula terdiri dari fraktur symfisis, angulus, dan body (Namirah,

2014).

Faktor umur dan jenis kelamin dilaporkan memiliki kaitan dengan insiden

frakturmaksilofasial.Frekuensi fraktur maksilofasial pada kelompok usia

produktif yaitu kelompok usia anak, remaja hingga dewasa muda relatif lebih

tinggi. Penelitian oleh Hwang (2010) di Rumah Sakit Pendidikan Universitas

Inha, Korea Selatan bahwa morbiditas tertinggi pada fraktur maksilofasial

dialami oleh kelompok umur 21-30 tahun (29%), berbeda dengan penelitian

Erol (2002) dari tahun 1978-2002 di Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial,

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Dicle, Turki bahwa fraktur maksilofasial

2
paling banyak ditemukan pada usia anak-anak yaitu 0-10tahun (27,6%),

terutama pada musim panas karena anak-anak berlibur dan banyak bermain

diluar rumah sehingga lebih beresiko untuk jatuh dan terjadi fraktur

maksilofasial.Sedangkan penelitian di Royal Adelaide Hospital, Australia

bahwa penderita fraktur maksilofasial terbanyak adalah kelompok usia 20-29

tahun.1 Penelitian Reksoprawiro (2006) perbandingan pria dan wanita yang

mengalami fraktur maksilofasial adalah 6:1.5,Penelitian di Royal Adelaide

Hospital, Australia (1989- 1992) perbandingan laki-laki dan perempuan adalah

4:1, sedangkan penelitian di Waikato Hospital, New Zealand (2000) 80%

penderita fraktur maksilofasial adalah laki- laki.Sesuai dengan kepustakaan

bahwa insidensi fraktur maksilofasial terjadi lebih banyak pada laki- laki dari

pada perempuan, hal ini karena laki-laki lebih banyak berada diluar rumah,

sehingga lebih beresiko terjadi fraktur maksilofasial karena kegiatannya.

Trauma oromaksilofasial berhubungan dengan cedera pada wajah atau

rahang yang disebabkan oleh kekuatan fisik, benda asing atau luka bakar,

termasuk cedera pada salah satu struktur tulang, kulit dan jaringan lunak pada

wajah. Setiap bagian dari wajah mungkin dapat terpengaruh, mata dengan otot-

ototnya, saraf dan pembuluh darahnya mungkin mengalami cedera sehingga

dapat menyebabkan gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran posisi dari bola

mata dan tulang rongga mata dapat retak akibat pukulan yang kuat. Sementara

di rongga mulut dapat menyebabkan gigi geligi goyang atau terlepas, kerusakan

jaringan lunak seperti edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi (Engin et al,

2014).

3
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penatalaksanaan trauma oromaksilofasial disertai fraktur basis

krani?

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui dan memahami penatalaksanaan trauma oromaksilofasial

disertai fraktur basis krani

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

4
2.1 Definisi

Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang

pembentuk wajah. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi

menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan

sepertiga bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah

tulang frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila,

zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer

termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke

dalam bagian sepertiga bawah wajah (Mansjoer et al, 2000).

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah

dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup

jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak

wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan

yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala(Mansjoer et

al, 2000).:

Trauma Jaringan lunak

1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.

2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.

3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.

4. Cedera kelopak mata.

5. Cedera telinga.

6. Cedera hidung.

Trauma Jaringan keras

5
1. Fraktura sepertiga atas muka.

2. Fraktura sepertiga tengah muka.

a. Fraktura hidung (os nasale).

b. Fraktura maksila(os maxilla).

c. Fraktur zigomatikum(os zygomaticum dan arcus zygomaticus).

d. Fraktur orbital (os orbita).

3. Fraktura sepertiga bawah muka.

a. Fraktura mandibula (os mandibula).

b. Gigi (dens).

c. Tulang alveolus (os alveolaris) (Departemen Kesehatan RI).

2.2 Anatomi Maksilofasial

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan

kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada

anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium

dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam

membentuk wajah manusia (Apley, 1995).

6
Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial 4

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak

otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut

(cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak

wajah dibagi atas dua bagian (Apley, 1995):

a. Bagian hidung terdiri atas :

Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di

sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas.

Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan

bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari

tulang tapis yang tegak.

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti:

Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang terdiri

dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua
7
dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri

dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan

dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya

otot.

2.3 Etiologi

Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,

kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu

lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian

dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka

terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun (Syaiful, 2010).

Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah

karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai

ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh

trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas

(automobile) (Syaiful, 2010).

2.4 Klasifikasi

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu

trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak

biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu

lintas atau pisau dan golok pada perkelahian (Ballinger, 1968).

a. Trauma jaringan lunak wajah

8
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena

trauma dari luar.Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan

berdasarkan (Ballinger, 1968):

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

a. Ekskoriasi

b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka

tusuk (vulnus punctum)

c. Luka bakar (combustio)

d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

a. Skin Avulsion & Skin Loss

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

(Gambar 1)

9
Gambar 1. Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan

yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan sejajar dengan garis Langer

4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi

a. Luka Bersih.

• Luka Sayat Elektif.

• Steril Potensial Terinfeksi.

• Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius,

traktur elementarius, dan traktur genitourinarius.

b. Luka Bersih Tercemar.

• Luka sayat elektif.

• Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.

• Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur

elementarius, dan traktur genitourinarius.

• Proses penyembuhan lebih lama.

c. Luka Tercemar.

• Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur

genitourinarius dan kandung empedu.

• Luka trauma baru: laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.

d. Luka Kotor.

• Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.

• Perforasi viscera,abses dan trauma lama.

10
5. Klasifikasi Lain.

a. Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).

b. Luka Tusukan (puncture).

c. Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung.

b. Trauma Jaringan Keras Wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang

terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari

terminologinya Trauma pada jarinagan keras wajah dapat diklasifikasikan

berdasarkan (Mansjoer, 2000):

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.

a. Berdiri Sendiri: Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,

maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus.

b. Bersifat Multiple: Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan

fraktur kompleks mandibula.

Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula

11
Gambar 3. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan.

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita).

b. Fraktur Le Fort:

• Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering

terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan

palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas

mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia

nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya

edema.

12
• Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur

piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua

periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat

seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di

nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma

langsung atau karena laju perkembangan dari edema.

Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan

dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya

deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura

nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga

dapat ditemukan pada kasus ini.

• Fraktur ini disebut juga fraktur transversal. Fraktur Le Fort III

menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang

terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta

adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai

pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan

ekimosis periorbital.

13
Gambar 4. Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III

c. Fraktur segmental mandibula.

3. Berdasarkan Tipe fraktur.

a. Fraktur simple

• Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada

kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.

• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.

Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama

pada anak dan jarang terjadi.

b. Fraktur compound

• Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan

lunak.

• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi,

dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran

periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah

dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

c. Fraktur comminuted

• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam

seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian

yang kecil atau remuk.

14
• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur

kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

d. Fraktur patologis

• Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit

tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan

penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur

spontan.

4. Perluasan tulang yang terlibat.

a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.

b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan fraktur

compression.

5. Konfigurasi (garis fraktur)

a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal

b. Oblique ( miring )

c. Spiral (berputar)

d. Comminuted (remuk)

6. Hubungan antar Fragmen

• Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat

• Undisplacement, bisa terjadi berupa:

o Angulasi / bersudut

o Distraksi

o Kontraksi

o Rotasi / berputar

15
o Impaksi / tertanam

c. Trauma Dentoalveolar

• Trauma pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

✓ Infraksi Mahkota

Fraktur sebagian atau pecahnya enamel tanpa kehilangan substansi gigi

lainnya.

✓ Fraktur Mahkota

Fraktur yang mengenai enamel dan dentin tanpa mengenai pulpa.

✓ Komplikasi Fraktur Mahkota

Fraktur mahkota yang tidak hanya mengenai enamel dan dentin, namun juga

pulpa.

✓ Fraktur Mahkota-akar

Fraktur yang mengenai enamel, dentin dan sementum namun tidak mengenai

pulpa.

✓ Komplikasi Fraktur Mahkota-akar

Fraktur yang melibatkan kerusakan enamel, dentin, sementum dan pulpa.

✓ Fraktur Akar

✓ Fraktur yang mengenai dentin, sementum dan pulpa.

• Trauma pada Jaringan Periodontal

✓ Infraksi Concussion

Trauma pada jaringan pendukung gigi tanpa disertai kehilangan gigi.

✓ Subluxation

16
Trauma pada jaringan sekitar gigi disertai adanya kehilangan jaringan yang

abnormal namun tidak ada peristiwa lepasnya gigi.

✓ Intrusive Luxation (central dislocation)

Lepasnya gigi dari tulang alveolar disertai dengan fraktur pada soket alveolar.

✓ Extrusive luxation (peripheral dislocation, Partial avulsion)

Lepasnya gigi sebagian diluar soket alveolar

✓ Lateral luxation

Lepasnya gigi pada arah selain axial, biasanya disertai dengan fraktur soket

alveolar.

✓ Retained Root Fracture

Fraktur dengan retensi pada segmen akar namun kehilangan segmen mahkota

diluar soket alveolar.

✓ Exarticulation (complete avulsion)

✓ Lepasnya gigi secara keseluruhan dari alveolar soket

• Klasifikasi Ellis pada Fraktur Dentoalveolar

✓ Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau

tanpa memakai perubahab tempat

✓ Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan

atau tanpa memakai perubahan tempat.

✓ Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa

perubahan tempat

17
✓ Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital

dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota

✓ Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma

✓ Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota

✓ Klas VII : Perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar gigi

✓ Klas VIII : Fraktur mahkota sampai akar

✓ Klas IX : Fraktur pada gigi desidui

3 Facial danger zones (Zona bahaya wajah)

Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar

di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila

terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat

fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone (Tania, 2010).

18
Gambar 5. Facial danger zone

Berikut pengklasifikasian dari facial danger zone :

1. Facial danger zone 1 (N. Auricularis)

• N. Auricularis, terletak 6,5 cm dibawah meatus acusticus

eksternus.

• Terletak di posterior SMAS (Superficial musculoaponeurotic

system).

Gambar 6. Facial danger zone 1

19
Gambar 7. Superficial Muscular Aponeurotic System (SMAS)

2. Facial danger zone 2 (cabang dari N.VII)

• Terletak 1,5 cm di sisi lateral dari alis mata.

Gambar 8. Facial danger zone 2

3. Facial danger zone 3 ( cabang marginal mandibular dari N.VII ).

20
• Terletak di regio mandibular.

Gambar 9. Facial danger zone 3

4. Facial danger zone 4 (cabang buccal & zygomaticus dari N.VII)

• Terletak di daerah buccal & zygomaticus.

Gambar 10. Facial danger zone 4

5. Facial danger zone 5 ( nn.Supraorbita & nn.Supratrochlearis ).

21
Gambar 11. Facial danger zone 5

6. Facial danger zone 6 ( n.infra orbita )

• Terletak tepat dibawah mata.

Gambar 12. Facial danger zone 6

7. Facial danger zone 7 (n. Mentalis).

• Terletak di mandibula, 1,5 cm dibawah bibir.

22
Gambar 13. Facial danger zone 7

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan mal oklusi terutama pada

fraktur mandibula.

2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.

3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.

4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.

5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan

lokasi daerah fraktur.

6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung

tulang yang fraktur.

7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.

8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan

23
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di

bawah nervus alveolaris.

10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan

pergerakan bola mata dan penurunan visus.

2.6 Diagnosis

Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur

Maksilofasial, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Anamnesa

Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain

yang melihat langsung kejadian. Yang harus ditanyakan adalah :1

❖ Penyebab pasien mengalami trauma:

❖ Kecelakaan lalu lintas

❖ Trauma tumpul

❖ Trauma benda keras

❖ Terjatuh

❖ Kecelakaan olah raga

❖ Berkelahi

❖ Dimana kejadiannya

24
❖ Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit

❖ Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa lama

pasien tidak sadarkan diri

b. Pemeriksaan fisik

• Inspeksi

Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah:

a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema

b. Luka tembus

c. Asimetris atau tidak

d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal

e. Otorrhea / Rhinorrhea

f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign

g. Cedera kelopak mata

h. Ecchymosis, epistaksis

i. defisit pendengaran

j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

• Palpasi

1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,

ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka

untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

25
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,

mengesampingkan adanya aspirasi.

3. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi, dan mati langkah, terutama di

daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan

zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal,

dan rahang atas.

4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos,

menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan

okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaksi terhadap

cahaya, baik langsung dan konsensual.

5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan

proptosis.

6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.

7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti

hyphema.

8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan

kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.

9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal terhadap

lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika

tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak.

10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap

bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan

dari canthus medial.

26
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau

dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan Krepitasi.

12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi

pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea cairan

cerebrospinal.

13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,

integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atau ecchymosis

daerah mastoid (Battle sign).

14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara

Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda Krepitasi atau

mobilitas.

15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di

sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I.

Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva dan

pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.

17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau.

Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami

rasa sakit.

18. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk

memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.

27
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran

telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa

sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.

20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.

Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut:

a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya

b. Adanya Krepitasi

c. Fraktur

d. Deformitas, kelainan bentuk

e. Trismus (tonik kontraksi rahang)

f. Edema

g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas. 1

• Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII

1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.

2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek

motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis.

3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI), diplopia.

4. N. Trigeminal (V)

1. Tes sensorik, Sentuh di dahi, bibir atas, dan dagu di garis tengah,

Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit

sensorik.

2. Tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.

28
5. N. Facial (VII)

1. Area Temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.

2. Area Zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.

3. Area Buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi

4. Area Marginal mandibula, mengerutkan bibir

5. Area Cervical, menarik leher (saraf otot platysma, Namun, fungsi ini tidak

terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari)

6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, gosok jari atau

berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan konduktif,

akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.

2.7 Pemeriksaan Ekstra Oral

Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial

yaitu meliputi:

1. Periksa kesadaran pasien.

2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :

• Apakah asimetris atau tidak.

• Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.

3. Apakah ada Hematoma :

a. Fraktur Zygomatikus

• Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara

cepat sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam

29
• Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas

apakah ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding

zigomatikus

b. Fraktur nasal

• Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah

medial

c. Fraktur Orbita

• Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?

• Apakah sejajar atau bergeser ?

• Apakah pasien bisa melihat ?

• Apakah dijumpai diplopia ?

Hal ini karena :

o Pergeseran orbita

o Pergeseran bola mata

o Paralisis saraf ke VI

o Edema

d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.

• Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah: nyeri tekan,

deformitas, iregularitas dan krepitasi

• Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,

pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub

cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak

menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur

30
e. Cedera saraf

• Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas

(saraf gigi atas)

f. Cedera gigi

• Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak

abnormal dan juga disekitarnya.9

2.8 Pemeriksaan Intra Oral

Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah

adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti:

• Mandibular floating.

• Maxillar floating.

• Zygomaticum floating.

Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari

struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti

adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.

Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana

dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga

tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana

untuk mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah

yang efektif dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainya dari trauma

31
maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang

meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam

melakukan salah satu tindakan ini dengan baik dapat berakibat fatal (Tania,2010).

2.9 Pemeriksaan Penunjang

• Wajah Bagian Atas :

❖ CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).

❖ CT-scan aksial koronal.

❖ Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan

X-ray kepala.

• Wajah Bagian Tengah :

❖ CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).

❖ CT scan aksial koronal.

❖ Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi

waters dan posteroanterior (Caldwell’s), Submentovertek

(Jughandle’s).

• Wajah Bagian Bawah :

❖ CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.

❖ Panoramic X-ray.

❖ Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :

➢ Posteroanterior (Caldwell’s).

➢ posisi lateral (Schedell).

➢ posisi towne (Tania, 2010).

32
• Gambaran CT-scan

Gambar 14. (A) Gambaran CT-scan koronal, (B) CT scan 3D, (C) CT scan aksial

• Gambaran CBCT-scan 3D.

Gambar 15. CBCT-scan 3D

33
Gambar 16. CBCT-scan 3D

• Gambaran Panoramic X-ray

Gambar 17. Panoramic X-ray

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering timbul berupa: 13

34
a. Aspirasi.

b. Gangguan Airway.

c. Scars.

d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.

e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah,

bau, rasa.

f. Kronis sinusitis.

g. Infeksi.

h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.

i. Fraktur non union atau mal union.

j. Mal oklusi.

k. Perdarahan (Tania, 2010).

2.11 Prinsip Penatalaksanaan Trauma Maksilofasial

1. Recognition: diagnosa dan penilaian fraktur

Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan

anamnesis, pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu

diperhatikan: lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai

untuk pengobatan, komplikasi yang terjadi selama pengobatan.

2. Reduction / reposisi:

Tujuannya untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan tulang. Dapat

dicapai yang manipulasi tertutup atau reduksi terbuka progesi.

3. Retention/ fiksasi dan imobilisasi:

35
Imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pergeseran fragmen dan mencegah

pergerakan yang dapat mengancam union. Untuk mendapatkan hasil

penyembuhan fraktur yang baik, fragmen – fragmen tulang harus terikat

dengan kuat pada posisi anatomi semula. Adanya pergerakan antar fragmen

tulang dapat mengganggu proses penyembuhan dan meningkatkan resiko

terjadinya fibrous union. Fiksasi yang baik menghasilkan terbentuknya kalus

pada proses penyembuhan fraktur dimana terjadi remodeling tulang secara

perlahan sehingga terbentuk kontur tulang yang normal. Pada prinsipnya

fiksasi dapat berupa alat yang rigd, semi-rigid, atau non-rigid dimana

penempatannya dapat internal maupun eksternal. Posisi yang akurat, oklusi

dan angulasi yang baik, tidak adanya interposisi jaringan lunak serta reduksi

yang benar sangat penting untuk memastikan terjadinya penyembuhan tulang

yang baik. Penutupan jaringan lunak baik itu mukosa maupun kulit sangat

penting khususnya dalam kasus – kasus penggunaan fiksasi internal.

4. Rehabilitation

Mengembalikan aktifitas fungsional seoptimal mungkin. Penatalaksaan

fraktur mengacu kepada empat tujuan utama, yaitu:

• Mengurangi rasa nyeri. Trauma pada jaringan disekitar fraktur

menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai menimbulkan

syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi obat penghilang rasa nyeri,

serta dengan teknik imobilisasi.

• Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.

36
• Membuat tulang kembali menyatu. Tulang yang fraktur akan mulai

menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna

dalam waktu 6 bulan.

• Mengembalikan fungsi seperti semula. Imobilisasi dalam jangka

waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan kekakuan pada

sendi. Maka utntuk mencegah hal tersebut diperlukan upaya

imobilisasi (Hutchinson dan Skinner, 1996).

Penatalaksaana emergensi pasien trauma oromaksilofasial disertai fraktur basis

krani

Penatalaksanaan emergensi pada pasien trauma oromaksilofasial yang disertai

fraktur basis kranii anterior harus mendapat perhatian segera pada saluran

pernapasan, adekuasi dari ventilasi, kontrol perdarahan internal dan eksternal serta

observasi kebocoran cairan serebro spinal. Penilaian awal (primary survey) pada

kasus pasien trauma ini bedasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS), dari

American College of Surgeons (ACS). Primary survey berupa penilaian Airway clear

with C-Spine control, Breathing-ventilation-oxygenation, Circulation, Disability-

neurologic status, dan Exposure-environment, body temperature (ABCDE) seperti

pada gambar dibawah. Penilaaan ABCDE merupakan prioritas pemeriksaan

berdasarkan jenis luka, tanda vital dan mekanisme cedera, sehingga keadaan yang

mengancam nyawa dengan cepat dikenali dan resusitasi segera dilakukan (Peter et al,

2013).

Pemeriksaan jalan nafas pada pasien ini didapati Airway clear with C-Spine

control, perdarahan intra oral, dan tidak menggangu jalan nafas, serta tidak terdapat

37
obstruksi. Usaha untuk membebaskan jalan nafas dilakukan dengan menjaga jalan

nafas dari perdarahan intra oral dengan tindakan suctioning dan melindungi vertebra

servikal serta dengan pemasangan airway defenitif jika diperlukan (Bell et al, 2004).

Breathing, ventilation, oxygenation diberikan dengan nasal kanul 2-4 liter per

menit, dan evaluasi ventilasi secara cepat meliputi fungsi paru, dinding dada dan

diafragma. Circulation dengan pemasangan infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit,

untuk menjaga keadaan hemodinamik pasien tetap stabil dan secara simultan

dilakukan pemeriksaan darah lengkap serta faktor pembekuan darah. Sumber

perdarahan eksternal pada pasien ini tidak ditemukan. Disability, neurologic status

pada pasien ini dievaluasi menggunakan GCS, pasien mampu membuka mata spontan

ukuran dan reaksi pupil tidak terdapat tanda-tanda lateralisasi, motorik mampu

mengikuti perintah, dan komunikasi verbal baik (Peter et al, 2013).

Exposure, environment, body temperature, pakaian pasien dibuka untuk

melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, kelainan-kelainan yang mungkin

terlewat pada pemeriksaan sebelumnya, seperti adanya darah yang keluar dari anus

atau luka pada tubuh yang tertutup pakaian, setelah pakaian dilepas pasien segera

diselimuti untuk mencegah hipotermi. Pemeriksaan pada pasien ini ditemukan jejas

luka abrasi pada regio leher dan dada kemudian dilakukan pemeriksaan foto rontgen

thoraks Antero Posterior (AP) dan foto servical, dengan hasil dalam batas normal

(Nancy, 2012).

Pemeriksaan secondary survey pada pasien ini dilakukan dengan prinsip head to

toe examination berupa prosedur penunjang seperti anamnesis, pemeriksaan fisik

ekstra oral, kepala dan oromaksilofasial, pemeriksaan intra oral yang meliputi status

38
lokalis gigi dan jaringan pendukung sekitarnya, pemeriksaan radiologis dan

laboratorium dapat dikerjakan pada kesempatan ini (Peter et al, 2013).

Adanya kebocoran cairan serebro spinal pada pasien ini ditemukan berdasarkan

ditemukannya rhinorrhea dan ‘halo sign’ yang diidentikasi berdasarkan ditemukan

cairan serebro spinal berada di luar pada linen dan membentuk cincin dari darah atau

mukus berada ditengahnya. Penatalaksanaan pada pasien fraktur basis kranii dapat

dilakukan secara non operatif atau operatif (Francis et al, 2013).

Indikasi untuk tindakan operatif dilakukan oleh bagian Bedah Saraf jika

penanganan konservatif gagal oleh karena kebocoran cairan serebro spinal persisten

kurang dari dua minggu, rekuren atau delayed onset kebocoran cairan serebro spinal

setelah 10 hari. Pneumocephalus dengan volume besar, rekuren pneumocephalus

setelah 10 hari, meningitis, trauma penetrans, dan adanya perdarahan intrakranial

merupakan indikasi dilakukan tindakan operatif (Tseng et al, 2011).

39
A = airway
1.
Membebaskan jalan nafas
Melakukan manuver
 Head tilt - chin lift

 Jaw trust

40
2. B = breathing
Melakukan pemeriksaan
 Look
 Listen
 Feel

Memeberikan nafas buatan


 Mouth to mouth
 Ambu bag

3. D = dissability
Melakukan penilaian skor tingkat kesadaran
 Metode AVPU
 Metode GCS

4. E = Environmental
Menempatkan pasien dalam posisi recovery

41
Gambar 1. Ekstra oral dengan C-spine control, tampak edema dan hematoma pada regio periorbital bilateral, edema pada regio
mandibula kanan, serta terdapat bekas jahitan pada regio labiomental dengan ukuran 2 cm.

Gambar 2. Gambaran Intra oral: (A). Tampak laserasi pada regio bibir atas, gingiva regio gigi 21 – 22, dan oklusi tidak didapat
karena rahang atas dan bawah terdapat fraktur. (B). Tampak laserasi pada regio bibir bawah, gingiva regio gigi 31 – 42, (C).
Tampak laserasi pada regio palatum

(A) (B) (C)

Gambar 5. Gambaran Intra oral paska tindakan Bedah Mulut dan Maksilofasial: (A). Posisi oklusi paska
pemasangan IDW Erich Bar pada rahang bawah. (B) dan (C) Post penjahitan laserasi intraoral. (D). Foto panoramik
setelah pasien masuk ruang rawat inap.

42
BAB 3
KESIMPULAN

Penatalaksanaan emergensi trauma oromaksilofasial disertai fraktur basis

kranii anterior dilakukan segera dan cepat dengan minimal intervensi untuk

mencegah kebocoran cairan serebro spinal persisten, dan terjadinya infeksi

meningitis. Manajemen luka jaringan lunak dan jaringan keras, melakukan reduksi,

fiksasi dan imobilisasi fraktur, manajemen nyeri serta pemberian antibiotik. Seorang

ahli Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam melakukan tindakan emergensi

harus mengetahui dan menguasai penilaian awal pada pasien trauma berdasarkan

prinsip-prinsip Advance Trauma Life Support (ATLS).

43
DAFTAR PUSTAKA

Apley AG. 1995, Apley’sistem of orthopeadicsed fractures. Alih Bahasa Edi

Nugroho.7th ed. Jakarta : Widya Medika

Annonimous. 2010, Perawatan Trauma Maxillofacial. Diakses dari :

http://www.fotosearch.com/M/Cidera Maxillofacial-Trauma.html.

Ballinger WF,Rutherford RB, 1968, Zeidema GD.The Management Of Trauma.

London : WB Sounders Company.

Bell RB, Dierks EJ, Homer L, Potter BE. Management of cerebrospinal fiuid leak

associated with craniomaxillofacial trauma. J Oral Maxillofacial Surgery.

2004; 62(6): 676- 84.

Cowley RA. Trauma Care Vol I Surgical Management. 1987. Philadelphia : J B

Lippincort Company. 62 – 3

Eliastam M,Sternbach GL,Blesler MJ. 1998, Penuntun Kedaruratan Medis. Alih

Bahasa Humardja Santasa.5th ed.. Jakarta : EGC.

Engin DA, Alper GS, Erdal K, Cemil K, Fevzi Y, Evvah K, Tamer D, Muge S.

Assessment of maxillofacial trauma in emergency department. WJES.

Turkey. 2014; 9: 13.

Facial danger zone, 2010, Facial Anatomy. Diakses dari : http://www.avshalom-

shalom.com/interns/face%20lift/facial%20anatomy.pdf.

Francis B. Quinn. Melinda Stoner Quinn. Basilar Skull Fractures [Internet]. Grand

Rounds Presentation. The University of Texas Medical Branch in Galveston.

Journal of Otolaryngology; 2013 [cited 2015 July 13]. Available from

44
Netlibrary: https://www.utmb. edu/otoref/Grnds/basilar-skull-fx-2013-12/

basilar-skull-fx-2013-12.pdf.

Hutchinson and Skinner, 1996, ABC of Major Trauma 2 nd ed BMJ Publishing Group,

London.

Katzen JT, Jarrahy R, Eby JB, Mathiasen RA, Margulies DR, Shahinian HK.

Craniofacial and skull base trauma. The Journal of Trauma Injury, Infection,

and Critical Care. 2003; 54: 1026-1034.

Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta Kedokteran

Jilid 2. Jakara: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Nancy P. American college of surgeon. Head injury. Advance Trauma Life Support.

9th edition. Chicago. 633 N. Saint Clair Street; 2012. 176-235

Perhimpunan Dokter Spesialis Anastesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2000,

Advance Life Support Course Sub – Committee of the Resuscitation Council

(UK). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Penerjemah: Purwanto dan Basoeseno.

Jakarta: EGC; 1996. 221-263.

Peter WB, Barry E, Rainer S. Maxillofacial trauma and esthetic facial reconstruction.

2nd edition.St. Louis, Missouri.Saunders; 2013. 28-58.

Raymond J. Fonseca. Oral and maxillofacial trauma. 4th edition. St. Louis, Missouri.

Saunders. 2013. part II. chap 4.

45
Syaiful Saanin. 2010, Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas Sumatra Barat. Diakses dari:

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html.

Tania Parsa,MD. 2010, Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries.

Attending Physician, Eastern Maine Medical Center.E medicine Journal

Tseng WC, Shih HM, Su YC, Chen HW, Hsiao KY, Chen IC. The association

between skull bone fractures and outcomes in patients with severe traumatic

brain injury. The Journal of Trauma. 2011; 71: 1611-1614.

Woodruff M,Berry HE. 1966, Surgery For Dental Student.4th ed. Newyork :

Blackwell Scientific Publication. Hal:156 -68

46

Anda mungkin juga menyukai