Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


KEGAWATAN SISTEM PERNAFASAN

Disusun oleh :
Kelompok 1
Keperawatan 6B

1. Ahmad Nashir (201802046)


2. Azkiya Rahma Nur Azizah (201802054)
3. Devi Ratnasari (201802058)
4. Eka Melita Rahayu Putri (201802060)
5. Gian Aloka Fedritiano (201802064)
6. Irma Sabiella (201802066)
7. Khoirunnisa Azahra (201802067)
8. Nida Amalia Sari (201802075)
9. Primayossy Hernika Putri (201802077)
10. Via Resti Fami Putri (201802086)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI HUSADA MULIA
MADIUN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat serta kehendak-Nya lah kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul penanggulangan kondisi bencana kebakaran ini yang bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah keperawatan bencana tahun pelajaran 2021/2022.
Berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyampaikan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
2. Ibu Mega Arianti Putri, S.Kep.,Ns.,M.Kep sebagai pembimbing mata kuliah Keperawatan
gawat darurat yang memberikan pengarahan bimbingan kepada kami dalam menyusun
tugas makalah ini.
3. Dan kepada kelompok kami yang telah bersedia bekerja sama dalam membuat dan
menyusun tugas makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat dimasa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Madiun, 1 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pneumothorax (Open and Tension)................................................................ 3
1. Definisi.................................................................................................... 3
2. Etiologi.................................................................................................... 4
3. Manifestasi Klinis.................................................................................... 5
4. Patofisiologi............................................................................................. 6
5. Pathway................................................................................................... 8
6. Penatalaksanaan....................................................................................... 9
B. Hemothorax.................................................................................................. 14
1. Definisi.................................................................................................. 14
2. Etiologi.................................................................................................. 14
3. Klasifikasi.............................................................................................. 14
4. Manifestasi Klinis.................................................................................. 15
5. Anatomi dan Fisiologi........................................................................... 15
6. Patofisiologi........................................................................................... 16
7. Pathway................................................................................................. 18
8. Pemeriksaan Diagnostik........................................................................ 19
9. Penatalaksanaan..................................................................................... 20
C. Edema Pulmonal........................................................................................... 23
1. Definisi.................................................................................................. 23
2. Etiologi.................................................................................................. 23
3. Manifestasi Klinis.................................................................................. 24
4. Klasifikasi.............................................................................................. 26
5. Patofisiologi........................................................................................... 27
6. Pathway................................................................................................. 30
7. Penatalaksanaan..................................................................................... 31

ii
D. Algoritma Trauma Thoraks.......................................................................... 36
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................... 39
B. Saran............................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak mengakibatkan
seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan segera dalam arti pertolongan
pertama secara cermat, tepat, cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu
maka korban akan mati / kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup.
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu keadaan
darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-waktu, kapan saja, terjadi
dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja, kapan saja, terjadi dimana saja sebagai
akibat dari suatu kecelakaan, suatu proses medik atau perjalanan suatu penyakit.
Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang mengenai
dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada pada
organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma tumpul maupun oleh sebab
trauma tajam. Peningkatan dalam pemahaman mekanisme fisiologis yang terlibat,
kemajuan dalam modalitas imaging yang lebih baru, pendekatan invasif yang minimal,
dan terapi farmakologis memberikan kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada pasien dengan cedera ini (Mattox, et al., 2013; Marc Eckstein, 2014;
Lugo,, et al., 2015)
Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami cedera berat
meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks dan Pneumotoraks
juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien trauma toraks.
Penatalaksanaan pada cedera ini telah berkembang selama beberapa dekade terakhir. Hal
ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik imaging diagnostik dan peningkatan dalam
pemahaman patofisologi. Pemahaman ini akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma toraks sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera (Mattox, et al., 2013; Marc Eckstein, 2014).
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44tahun di
seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta pertahun)
kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada
tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat ketiga dalam penyebab kematian dini
dan kecacatan.

1
2

Dalam keadaan gawat darurat harus dilakukan tindakan penanganan awal untuk
mencegah keadaan pasien menjadi tambah buruk. Pada pasien trauma Waktu sangatlah
penting, diperlukan cara yang mudah untuk menangani, biasanya proses ini dinamakan
sebagai initial assagment (penilaian awal). Dalam initial assagment terdapat tindakan
Primary Survey dan Secondary Survey.
Primary Survey merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menilai keadaan
klien dengan menggunakan metode ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposurey) dilakukan pada saat waktu yang tepat.
Secondary Survey merupakan tindakan lanjutan dari Primary Survey yang dilakukan
dengan mengkaji secara meyeluruh dari ujung kepala sampai ujung kaki klien, biasanya
disebut dengan pengkajian Head To Toe.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan tentang pneumothorax (Open dan Tension)
2. Menjelaskan tentang hemothorax
3. Menjelaskan tentang edema pulmonal

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan dari pneumothorax (Open dan Tension)
2. Untuk mengetahui penjelasan dari hemothorax
3. Untuk mengetahui penjelasan dari edema pulmonal
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pneumothorax (Open dan Tension)


1. Definisi
Pneumotoraks (American college of Surgeons Commite on Trauma, Willimas,
2013) Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di rongga
pleura akibat robeknya pleura viseral, dapat terjadi spontan atau karena trauma, yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan negatif intrapleura sehingga
mengganggu proses pengembangan paru.
Pneumotoraks terjadi karena trauma tumpul atau tembus toraks. Dapat pula
terjadi karena robekan pleura viseral yang disebut dengan barotrauma, atau robekan
pleura mediastinal yang disebut dengan traum trakheobronkhial. (Rhea 1982)
membuat klasifikasi pneumotoraks atas dasar persentase pneumotoraks, kecil bila
pneumotoraks <20%, sedang bila pneumotoraks 20%-40%, dan besar bila
pneumotoraks >40%.
a. Open pneumothoraks
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada thoraks sehingga
udara dapat keluar dan masuk rongga intra thoraks dengan mudah. Tekanan
intra thoraks akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai
sucking-wound (American college of Surgeons Commite on Trauma, Willimas,
2005).
Open pneumothoraks merupakan adanya lubang pada dinding dada yang
cukup besar untuk memungkinkan udara mengalir dengan bebas dan masuk ke
luar anggota thoraks bersama setiap upaya pernapasan (Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah vol 1 edisi 8).
b. Tension pneumothoraks
Tension pneumothoraks adalah pengumpulan/ penimbunan udara di ikuti
peningkatan tekanan di dalam rongga pleura. Kondisi ini terjadi bila salah satu
rongga paru terluka, Sehingga udara masuk ke rongga pleura dan udara tidak
bisa keluar secara alami. Kondisi ini bisa dengan cepat menyebabkan terjadinya
insufisiensi pernapasan, kolaps kardiovaskuler, dan, akhirnya, kematian jika
tidak dikenali dan ditangani. Hasil yang baik memerlukan diagnosa mendesak

3
4

dan penanganan dengan segera. Tension pneumothoraks adalah diagnosa klinis


yang sekarang lebih siap dikenali karena perbaikan di pelayanan-pelayanan
darurat medis dan tersebarnya penggunaan sinar-x dada (Bosswick, 1988).
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi
udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan
tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif
ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan (Manjoer, 2000).

2. Etiologic
a. Open pneumothoraks
Open pneumothoraks disebabkan oleh trauma tembus dada. Berdasarkan
kecepatannya, trauma tembus dada dapat dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan
kecepatannya, yaitu:
1) Luka tusuk 
Umumnya dianggap kecepatan rendah karena senjata (benda yang
menusuk atau mengenai dada) menghancurkan area kecil di sekitar luka.
Kebanyakan luka tusuk disebabkan oleh tusukan pisau. Namun, selain itu
pada kasus kecelakaan yang mengakibatkan perlukaan dada, dapat juga
terjadi ujung iga yang patah (fraktur iga) mengarah ke dalam sehingga
merobek pleura parientalis dan 3iseralis sehingga dapat mengakibatkan
open pneumotoraks
2) Luka tembak 
Luka tembak pada dada dapat dikelompokkan sebagai ke/epatan
rendah, sedang, atau tinggi. Faktor yang menentukan kecepatan dan
mengakibatkan keluasan kerusakan termasuk jarak darimana senjata
ditembakkan, kaliber senjata, dan konstruksi serta ukuran peluru. Peluru
yang mengenai dada dapat menembus dada sehingga memungkinkan
udara mengalir bebas keluar dan masuk rongga toraks.
b. Tension Pneumothoraks
Etiologi Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena
iatrogenik atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:
1) Trauma benda tumpul atau tajam – meliputi gangguan salah satu pleura
visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah tulang
5

rusuk tidak menjadi hal yang penting bagi terjadinya Tension


Pneumotoraks)
2) Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat),
biasanya vena subclavia atau vena jugular interna (salah arah kateter
subklavia).
3) Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks sederhana
ke Tension Pneumotoraks
4) Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks
sederhana di mana fungsi pembalut luka sebagai 1-way katup
5) Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan
pneumothoraks (Corwin, 2009).

3. Manifestasi Klinis
a. Open Pneumothoraks
Gejala-gejalanya sangat bervariasi, tergantung kepada jumlah udara yang
masuk ke dalam rongga pleura dan luasnya paru-paru yang mengalami kolaps
(mengempis). Gejalanya bisa berupa : Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-
tiba, dan semakin nyeri jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk.
1) Sesak nafas
2) Dada terasa sempit
3) Mudah lelah
4) Denyut jantung yang cepat
5) Hidung tampak kemerahan
6) Cemas, stress, tegang
7) Tekanan darah rendah (hipotensi)
8) Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.
b. Tension Pneumothoraks
1) Manifestasi awal : nyeri dada, dispnea, ansietas, takipnea, takikardi,
hipersonor dinding dada dan tidak ada suara napas pada sisi yang sakit.
Manifestasi lanjut : tingkat kesadaran menurun, trachea bergeser menuju
ke sisi kontralateral, hipotensi, pembesaran pembuluh darah leher/ vena
jugularis (tidak ada jika pasien sangat hipotensi) dan sianosis (Boshwick,
1997).
2) Terjadi sesak napas yang progresif dan berat
6

3) Terdapat kolaps dengan pulsus kecil dan hipotensi berat sebagai akibat
gangguan pada jantung dan terhalangnya aliran balik vena ke jantung
4) Tanda-tanda pergesaran mediastinum jelas terlihat
5) Perkusi biasanya timpani, mungkin pula redup karena pengurangan
getaran pada dinding toraks
6) Apabila pneumotoraks meluas, atau apabila yang terjadi adalah tension
pneumothoraks dan udara menumpuk di ruang pleura, jantung dan
pembuluh darah besar dapat bergeser ke paru yang sehat sehingga dada
tampak asimetris (Corwin, 2009).

4. Patofisiologi
a. Open Pneumothoraks
Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif.
Tekanan negatif disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic
recoil) dan dinding dada yang cenderung mengembang. Bilamana terjadi
hubungan antara alveol atau ruang udara intrapulmoner lainnya (kavitas, bulla)
dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara akan mengalir dari alveoli
ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut
tertutup. Serupa dengan mekanisme di atas, maka bila ada hubungan antara
udara luar dengan rongga pleura melalui dinding dada, udara akan masuk ke
rongga pleura sampai perbedaan tekanan menghilang atau hubungan menutup.
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada dasarnya adalah akibat dari:
1) Kegagalan Ventilasi
2) Kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar
3) Kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik.
Ketiga faktor diatas dapat menyebabkan hipoksia.
b. Tension Pneumothoraks
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki
tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya. Udara
memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti katup
satu arah. Udara dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak
bisa keluar lagi karena tempat ruptur tersebut akan menutup pada saat ekspirasi.
Tension pneumotoraks terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki
tekanan yang lebih tinggi daripada udara dalam paru sebelahnya. Udara
7

memasuki rongga pleura dari tempat ruptur pleura yang bekerja seperti katup
satu arah. Udara dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak
bisa keluar lagi karena tempat ruptur tersebut akan menutup pada saat ekspirasi.
Udara juga menekan mediastinum sehingga terjadi kompresi serta
pergeseran jantung dan pembuluh darah besar. Udara tidak bisa keluar dan
tekanan yang semakin meningkat akibat penumpukan udara ini menyebabkan
kolaps paru. Ketika udara terus menumpuk dan tekanan intrapleura terus
meningkat, mediastinum akan tergeser dari sisi yang terkena dan aliran balik
vena menurun.Keadaan ini mendorong jantung, trakea, esofagus dan pembuluh
darah besar berpindah ke sisi yang sehat sehingga terjadi penekanan pada
jantung serta paru ke sisi kontralateral yang sehat (Sudoyo, 2009).
Dalam keadaan normal pleura parietal dan visceral seharusnya dapat
dipertahankan tetap berkontak karena ada gabungan antara tekanan intraprgleura
yang negative dan tarikan kapiler oleh sejumlah kecil cairan pleura. Ketika
udara masuk ke ruang pleura factor-faktor ini akan hilang dan paru di sisi cedera
mulai kolaps, dan oksigenasi menjadi terganggu. Jika lebih banyak udara yang
memasuki ruang pleura pada saat inspirasi di bandingkan dengan yang keluar
pada saat ekspirasi akan tercipta efek bola katup dan tekanan pleura terus
meningkat sekalipun paru sudah kolaps total dan akhirnya tekanan ini menjadi
demikian tinggi sehingga mendiastinum terdorong ke sisi berlawanan dan paru
sebelah juga terkompresi dan dapat menyebabkan hipoksia yang berat dapat
timbul dan ketika tekanan pleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran darah
yang melalui sirkulasi sentral akan menurun secara signifikan yang
mengakibatkan hipotensi arterial dan syok.(Kowalak, 2011).
8

5. Pathway
Pneumothoraks

P. tertutup P. tension P. terbuka

Cedera tumpul Kelanjutan dari Trauma dada penetrasi


pneumothoraks tertutup,
trauma dada penetrasi
Membuka ruang intra
Rusuk yang fraktur
pleural kedalam tekanan
(menusuk dan
Udara memasuki ruang pleura (pada atmosfer
merobek membran
saat inspirasi) dan tidak dapat
pleura)
keluar pada saat ekspirasi
Udara terhisap kedalam ruang
intra pleural
Udara memasuki
Akumulasi udara dalam rongga
membran pleura
dada (tekanan positif)
Peningkatan tekanan
intrapleural
Peningkatan tekanan
Pergeseran mediastinum,
intra pleural dan
kompresi organ-organ
mengempiskan paru
mediastinum Paru menjadi kolaps

Terjadi kolaps pada


alveolus-alveolus Penurunan ekspansi
paru

Resiko infeksi Insersi WSD Mobilitas terbatas

Terputusnya kontinuitas Pasien dan


Gangguan mobilitas fisik
tulang dan jaringan keluarganya sering
bertanya

Nosiseptor mengeluarkan
zat kimia bradikinin Kurang menerima
informasi Pola napas tidak
efektif
Menurunnya ambang nyeri
Cemas

Nyeri
9

6. Penatalaksanaan Pneumothoraks (Open dan Tension)


1. Open Pneumothorax
a. Primery Survey
1) Airway and cervical spine control
Pemeriksaan apakah ada obstruksi jalan napas yang disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, atau maksila dan mandibula, faktur
laring atau trakea. Jaga jalan nafas dengan jaw thrust atau chin lift,
proteksi c-spine, bila perlu lakukan pemasangan collar neck. Pada
penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan napas
bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap
dilakukan.

2) Breathing: gerakan dada asimetris, trakea bergeser, vena jugularis


distensi, tapi masih ada nafas.
a) Needle decompression: Tension pneumothorax membutuhkan
dekompresi segera dan penaggulangan awal dengan cepat berupa
insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang terkena. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks
sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu
dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela
iga ke 5 ( setinggi puting susu) di anterior garis midaksilaris.
Dekompresi segera pake jarum suntik tusuk pada sela iga ke 2 di
midklavikula dan tutup dengan handskon biar udara lain tidak
masuk nanti lakukan WSD lebih lanjut setelah sampai RS.
10

b) Prinsip dasar dekompresi jarum adalah untuk memasukan kateter ke


dalam rongga pleura, sehingga menyediakan jalur bagi udara untuk
keluar dan mengurangi tekanan yang terus bertambah. Meskipun
prosedur ini bukan tatalaksana definitif untuk tension
pneumothorax, dekompresi jarum menghentikan progresivitas dan
sedikit mengembalikan fungsi kardiopulmoner.
c) Pemberian oksigen

3) Circulation : (takikardia, hipotensi)


a) Kontrol perdarahan dengan balut tekan tapi jangan terlalu rapat
untuk menghindari parahnya tension pneumothoraks
b) Pemasangan IV line 2 kateter berukuran besar (1-2 liter RL
hangat 390C)
4) Disability : nilai GSC daan reaksi pupil
Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC
5) Rujuk ke rumah sakit terdekat dengan peralatan medis sesuai
kebutuhan atau yang mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien
sudah distabilkan.
6) Pengelolaan selama transportasi :
a. Monitoring tanda vital dan pulse oksimetri
b. Bantuan kardiorespirasi bila perlu
11

c. Pemberian darah bila perlu


d. Pemberian obat sesuai intruksi dokter analgesic jangan
diberikan karena bisa membiaskan simptom
b. Secondary survey dilanjutkan dengan tatalaksana definitif
1) Prinsip tatalaksana di UGD
a) Eksposure : buka pakaian penderita, cegah hipotermia, tempatkan di
tempat tidur dengan memperhatikan jalan nafas terjaga. Pemasangan
IV line tetap.
b) Re-evaluasi :
a. Laju nafas
b. Suhu tubuh
c. Pulse oksimetri saturasi O2
d. Pemasangan kateter folley (kateter urin) monitor dieresis,
dekompresiv. urinaria sebelum DPL

e. EKG
f. NGT bila tidak ada kontraindikasi (fraktur basis kranii)
g. Bersihkan dengan antiseptic luka memar dan lecet bila ada lalu
kompres dan obati
c) Lakukan tube thoracostomy / WSD (water sealed drainage,
merupakan tatalaksana definitif tension pneumothorax), (Continous
suction).
12

d) WSD Sebagai alat diagnostic, terapik, dan follow up , mengevakuasi


darah atau udara sehingga pengembangan paru maksimal, lalu
lakukan monitoring
e) Penyulit, perdarahan dan infeksi atau super infeksi

2) Medis : Tindakan pengobatan pneumotoraks tergantung dari luasnya


pneumotoraks. Tujuan dari pneumotoraks tersebut yaitu untuk
mengeluaran udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Prinsipprinsip penanganan pneumotoraks adalah:
a) Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumotoraks <15% dari
hemitoraks. Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura telah
menutup, udara dalam rongga pleura perlahan-lahan akan
direabsobsi. Laju reabsobsi diperkirakan 1,25% dari sisi
pneumotoraks perhari. Laju reabsobsi tersebut akan meningkat jika
diberikan tambahan oksigen.
b) WSD (Water Seal Drainage),
Tindakan ini dilakukan seawall mungkin pada pasien
pneumotoraks yang luasnya >15%. Tindakan ini bertujuan
mengeluarkan udara dari rongga pleura. Tindakan ini dapat
dilakukan dengan cara memasukan jarum di intercosta pada daerah
apikal yaitu ICS 2-3 sedangkan pada daerah basal yaitu ICS 8-9.
c) Torakoskopi
Adalah suatu tindakan untuk melihat langsung kedalam
rongga toraks dengan alat bantu torakoskop sangat efektif dalam
penanganan PSP dan mencegah berulangnya kembali. Dengan
13

prosedur ini dapat dilakukaan reseksi bulla atau bleb dan juga bisa
dilakukan untuk pleurodesis (Kurniasih, 2009).
2. Tension Pneumothorax
Pneumotoraks terbuka membutuhkan intervensi kedaruratan.
Menghentikan aliran udara yang melewati lubang pada dinding dada merupakan
tindakan menyelamatkan jiwa. Pada situasi darurat tersebut, apa saja dapat
digunakan untuk mentup luka dada misalnya handuk, sapu tangan, atau punggung
tangan. Jika sadar, pasien diinstruksikan untuk menghirup dan mengejan dengan
glotis tertutup. Aksi ini membantu mengembangkan kembali paru dan
mengeluarkan udara dari toraks. Di rumah sakit, lubang ditutup dengan kassa
yang dibasahi dengan petrolium. Balutan tekan dipasang dan diamankan dengan
lilitan melingkar. Biasanya, selang dada yang dihubungkan dengan drainase
water-seal (WSD) dipasang untuk memungkinkan udara dan cairan mengalir.
Anti biotik biasanya diresepkan untuk melawan infeksi akibat kontaminasi.
(Nirwan Arief, 1984).
14

B. Hemothorax
1. Definisi
Hemothoraks merupakan keadaan berkumpulnya darah di dalam rongga
intrapleura. Cedera tumpul atau tusukan pada dinding dada dapat menyebabkan
pembuluh darah setempat ruptura, seperti arteri mamaria internal atau arteri
intrakostalis. Hemothoraks luas terjadi jika darah yang berkumpul di dalam rongga
pleural melebihi 1,5 L. (Ester chang. 2010: 189).
Hemotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber berasal dari
darah yang berada pada dinding dada , parenkim paru - paru , jantung atau pembuluh
darah besar kondisi ini biasanya konsekuensi dari trauma tumpul atau tajam. Ini juga
merupakan komplikasi dari beberapa penyakit (William, 2013).

2. Etiologic
Menurut Magerman (2010) penyebab hematothoraks antara lain :
a. Penetrasi pada dada
b. Trauma tumpul pada dada
c. Laserasi jaringan paru
d. Laserasi otot dan pembuluh darah intercostal
e. Laserasi arteri mammaria interna
Penyebab Hemothoraks secara umum dibagi menjadi yaitu :
a. Traumatik
Berupa trauma tumpul, ataupun trauma tembus seperti luka tusuk (termasuk
iatrogenik)
b. Nontraumatik / spontan
Berupa neoplasma, komplikasi antikoagulan, emboli paru dengan infark.
robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan, bullous
emphysema, nekrosis akibat infeksi, tuberculosis, fistula arteri atau vena
pulmonal, telangiectasia hemoragik herediter, kelainan vaskular intratoraks
nonpulmoner (aneurisma aorta pars thoraxica, aneurisma arteri mamaria
interna), sekuestrasi intralobar dan ekstralobar, patologi abdomen (pancreatic
pseudocyst, splenic artery aneurysm, hemoperitoneum), catamenial.

3. Klasifikasi
Pada orang dewasa secara teoritis hematothoraks dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
15

a. Hematothoraks ringan
1) Jumlah darah kurang dari 400 cc
2) Tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada foto thoraks
3) Perkusi pekak sampai iga IX
b. Hematothoraks sedang
1) Jumlah darah 500 cc sampai 2000 cc
2) 15% - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
3) Perkusi pekak sampai iga VI
c. Hematothoraks berat
1) Jumlah darah lebih dari 2000 cc
2) 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
3) Perkusi pekak sampai iga IV
(Bararah, 2013)

4. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang muncul pada pasien dengan hemotoraks adalah nyeri dada,
pasien menunjukkan distres pernapasan berat, napas pendek, takikardi, hipotensi,
pucat, dingin, dan takipneu. Pasien juga dapat mengalami anemia sampai syok
(Boston Medical Centre, 2014).

5. Anatomi dan Fisiologi


Terdapat dua paru, di mana masing-masing terletak disamping garis medialis
di rongga thoraks, bentuk paru menyerupai kerucut dan terdiri atas bagian apeks,
basal, permukaan kosta, permukaan medialis. Bagian apeks (puncak) berada
dibagian dasar leher sekitar 2.5 mm diatas klavikula tengah. Apeks paru berada di
dekat iga pertama dan pembuluh darah arteri dan vena subclavian serta saraf di dasar
leher. Basal paru berbentuk cekung dan semilunar, serta berada di permukaan toraks
diafragma. Permukaan kosta berbentuk cembung dan berada berhadapan dengan
kartilago kosta, iga, dan otot interkosta.
Pleura terdiri atas kantong membrane serosa yang tertutup (masing-masing
satu di tiap paru) dan berisi sedikit cairan serosa. Pleura membentuk dua lapisan:
satu lapisan melekat pada paru (pleura visceral) dan lapisan lainnya melekat pada
dinding rongga toraks (pleura parietal). Diantara kedua lapisan ini terdapat rongga
disebut rongga pleura, rongga ini merupakan satu-satunya ruang kosong. Dalam
16

kondisi sehat, dua lapis pleura dipisahkan oleh selaput cairan serosa yang
memungkinkan lapisan bebas bergerak satu sama lain, dan mencegah gesekan antara
lapisan saat bernapas. Cairan serosa disekresi oleh sel epithelial membrane.
Paru terdiri atas bronkus dan jalan napas berukuran lebih kecil , alveoli,
jaringan ikat, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf, yang semuanya berada di
matriks jaringan ikat elastic. Tiap lobus tersusun dari sejumlah lobulus. Trukus
pulmonal terbagi menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri , yang membawa darah
yang miskin oksigen ketiap paru. Di dalam paru , arteri pulmonalis terbagi menjadi
banyak cabang, yang akhirnya bermuara di jaringan kapiler padat di sekitar dinding
alveoli.
Pertukaran gas antara udara di paru dan darah kapiler berlangsung pada dua
selaput yang sangat halus (keduanya disebut membrane pernapasan). Kapiler
pulmonal bergabung membentuk dua vena pulmonalis di tiap paru. Vena ini keluar
dari paru melalui hilum dan membawa darah yang kaya akan oksigen ke atrium kiri
jantung (Nurachmah, dkk. 2010).

6. Patofisiologi
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat
tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi
yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan
komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih
berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada
jantung
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan
fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah
satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan
pembuluh darah.
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area
17

utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan oleh


jumlah dan kecepatan kehilangan darah.
Perubahan hemodinamik bervariasi, tergantung pada jumlah perdarahan dan
kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang pria 70
kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.
Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan gejala awal
syok yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah.
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk
terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah.
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan
cadangan paru dan jantung yang mendasari.
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama.
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa jam
penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura dimulai.
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan
cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi besar
dan gejala efusi pleura berdarah.
18

Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari


hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi bakteri pada
hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar, hal ini dapat
mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis (Mancini, 2015).

7. Pathway

Trauma tumpul /
Iritasi ujung
penetrasi pada dada Pelepasan mediator
syaraf nyeri

Volume darah
Perdarahan ↓ 
 Nyeri

Akumulasi darah pada Defisit volume


rongga pleura
cairan

Kolaps paru parsial


Syok
atau total Penurunan curah
jantung hipovolemik

Pergeseran mediastinum pada


sisi yang tidak terkena Hipotensi

Ketidakefektifan
Penekanan oleh jantung, pembuluh darah
 bersihan jalan napas
 besar, dan trakea pada paru normal

Penurunan ekspansi Ventilasi ↓  Ketidakefektifan


 paru Oksigenasi ↓   pola napas

Kelemahan Hipoksia

Intoleransi
Aktifitas
19

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X dada
Menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleura. Pada kasus trauma tumpul
dapat terlihat pada foto toraks, seperti fraktur kosta atau pneumotoraks.
b. AGD
Variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan mekanik
pernapasan dan kemampuan mengompensasi. PCO2 kadang-kadang meningkat >
45. PO2 mungkin normal atau menurun < 80, saturasi oksigen biasanya menurun.
c. Hemoglobin
Kadar Hb menurun < 10 gr %, menunjukkan kehilangan darah
d. Volume tidal menurun < 500 ml, kapasitas vital paru menurun
(Bararah, 2013)
e. Torakosentesis dan WSD
1) Persiapkan kulit dengan antiseptik
2) Lakukan infiltratif kulit, otot  dan pleura dengan lidokain 1 % diruang sela
iga yang sesuai, biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid axillaris.
3) Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura
4) Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis
5) Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk menghindari
melukai pembuluh darah di bagian bawah iga
6) Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi pleura
dan perlebar lubangnya
7) Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan dimasukkan ke
dalam kulit
8) Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi
dengan satu jahitan.
9) Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa
dijahit, yang berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti. Tutup
dengan selembar kasa hubungkan selang tersebut dengan sistem drainage
tertutup air
10) Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage. (Muttaqin, 2012)
f. Analisis Cairan Pleura
Pada analisis cairan pleura, setelah dilakukan aspirasi, cairan tersebut
diperiksa kadar hemoglobin atau hematokrit. Dikatakan hemotoraks jika kadar
20

hemoglobin atau hematokrit cairan pleura separuh atau lebih dari kadar
hemoglobin atau hematokrit darah perifer.
g. CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang cukup akurat untuk mengetahui cairan
pleura atau darah, dan dapat membantu untuk mengetahui lokasi bekuan darah.
Selain itu, CT scan juga dapat menentukan jumlah bekuan darah di rongga pleura
(Mancini, 2015).

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hemothorax dapat dibagi menjadi dua yaitu tatalaksana awal
menggunakan kateter interkostal dan tatalaksana lanjutan yang dapat berupa
medikamentosa ataupun pembedahan sesuai indikasi.
a. Penatalaksanaan Awal
Tujuan dari tatalaksana awal pada pasien hemothorax bertujuan untuk
menstabilisasi kardiopulmonal serta mengevakuasi darah dari pleura.
1) Survei Primer
Survei primer dilakukan untuk stabilisasi sumbatan jalan napas, gangguan
pernapasan maupun gangguan sirkulasi. Setelah jalan napas, gangguan
pernapasan, dan sirkulasi diamankan, segera lakukan rontgen thorax.
2) Kateter Interkostal
Kateter interkostal merupakan tata laksana awal hemothorax. Kateter
interkostal dimasukan ke dalam rongga pleura untuk mendrainase darah,
udara, pus maupun cairan lainnya. Ukuran tabung yang biasa digunakan
adalah 36 F, namun beberapa penelitian membuktikan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara ukuran 28-32F dengan 36-40F pada trauma
thorax. Kateter interkostal diarahkan ke posterior mempertimbangkan
pergerakkan darah ke arah posterior pada pasien supinasi. Kateter interkostal
umumnya dimasukkan pada sela iga ke-6 atau ke-7 pada linea midaksilaris.
Setelah pemasangan kateter interkostal, sebaiknya dilakukan rontgen
thorax ulang untuk mengevaluasi posisi kateter interkostal dan menentukan
jumlah hemothorax yang tersisa. Apabila terdapat darah yang menetap
setelah 72 jam, tidak dianjurkan untuk melakukan pemasangan kateter
interkostal kedua, melainkan segera dilakukan video-assisted thoracoscopic
surgery (VATS).
21

b. Penatalaksanaan lanjutan
1) Medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat berupa pemberian antibiotik profilaksis dan
fibrinolitik intrapleural.
a) Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik pada pasien hemothorax dianjurkan untuk
mengurangi risiko terjadi komplikasi infeksius. Pedoman dari The Eastern
Association for Trauma merekomendasikan penggunaan antibiotik
sefalosporin generasi pertama dalam 24 jam pada pasien dengan kateter
interkostal. Namun apabila sudah terjadi empiema maka antibiotik yang
direkomendasikan adalah yang spesifik untuk bakteri Staphylococcus
aureus dan Streptococcus. Pemberian antibiotik dapat mengurangi angka
kejadian pneumonia dari 14,8% menjadi 4,1%, dan emfisema dari 8,7%
menjadi 0,8%.
b) Terapi Fibrinolitik Intrapleural
Terapi fibrinolitik intrapleural merupakan terapi nonoperatif yang
dapat dilakukan untuk mengevakuasi residu gumpalan darah serta
memecah perlengketan jika kateter interkostal tidak adekuat mengatasi
hemothorax. Terapi ini dilakukan untuk mengurangi risiko lung
entrapment, fibrothorax kronis, gangguan fungsi paru, serta infeksi yang
diakibatkan retensi darah pada paru. Fibrinolitik yang digunakan adalah
streptokinase (250,000 IU), urokinase (100,000 IU atau 250,000 IU), atau
tissue plasminogen activator (TPA). Terapi fibrinolitik intrapleura dapat
diberikan selama 2-9 hari untuk streptokinase, dan 2-15 hari untuk
urokinase.
2) Pembedahan
Tatalaksana bedah dapat menggunakan video-assisted thoracoscopic
surgery (VATS) dan juga thoracotomy.
a) Video-Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
Penggunaan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) pada
situasi akut hemothorax masih menjadi kontroversi. Tetapi tata laksana ini
menjadi lini pertama pada Retained Hemothorax untuk mengevakuasi
darah yang menggumpal dan tidak bisa dievakuasi oleh kateter interkostal.
22

Apabila dibandingkan dengan thoracotomy, VATS memiliki komplikasi


post operatif yang lebih sedikit serta lama rawat inap yang lebih pendek.
b) Thoracotomy
Thoracotomy merupakan tata laksana operatif yang dilakukan apabila
terdapat hemothorax masif atau perdarahan yang tidak berhenti. Indikasi
untuk dilakukannya thoracotomy antara lain :
b.1) Apabila terdapat drainase lebih dari 1500 ml dalam 24 jam atau
>200 ml/jam
b.2) Terdapat gumpalan hemothorax yang tidak dapat di evakuasi
b.3) Cardiac tamponade
b.4) Defek pada dinding dada
b.5) Kebocoran udara atau ekspansi paru yang tidak adekuat meskipun
telah dilakukan drainase
b.6) Cedera pada pembuluh darah besar, esofagus, diafragma, serta
jantung.
(Boersma WG, dkk. 2010).
23

C. Edema Pulmonal
1. Definisi
Paru paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan berhubungan
dengan sistem peredaran darah (sirkulasi) vertebrata yang bernapas dengan udara.
Istilah yang berhubungan dengan paru paru sering disebut pulmo, dengan kata latin
pulmones untuk paru paru. Paru paru merupakan organ yang sangat vital bagi
kehidupan manusia karena tanpa paru paru manusia tidak dapat hidup. Didalam paru
paru terdapat pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Setelah membebaskan
oksigen, sel sel darah merah mennagkap karbondioksida sebagai hasil metabolisme
tubuh yang akan dibawa ke paru paru. (Guyton and Hall, 2007)
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di
ekstravaskuler dalam paru (Muttaqin,2012)
Edema paru adalah akumulasi cairan ekstravaskular di dalam paru. Edema paru
sering disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dan penyakit
pada ventrikel kiri sehingga sering disebut sebagai edema paru kardiogenik (Murray,
2011)
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi
diekstravaskular dalam paru.kelainan ini disebabkan oleh dua keadaan, yaitu
peningkatan tekanan hidrostatis dan peningkatan permeabilitas kapiler paru (Arif
Muttaqin).

2. Etiologic
Walaupun lebih mudah mengelompokkan edema paru menjadi kardiogenik
dan non kardiogenik namun pengelompokan tersebut tidak benar benar tegas.
(Kidess, 1995 :Subagiyo, 2012) membagi edema paru berdasarkan penyebabnya
sebagai berikut:
a. Edema paru kardiogenik (Hidrostatik).
b. Edema paru nonkardiogenik (permeability).
c. Edema paru campuran atau patogeneisnya belum diketahui
1) Edema paru karena ketinggian
2) Edema paru neurogenik
3) Re-expansion pulmonary edema
4) Overedosis narkotik
5) Tocolytic therapy
24

6) Uremia
Braundwauld (1997), subagyo (2012) membagi edema paru berdasarkan
mekanisme pencetusnya:
a. Ketidakseimbangan starling force
1) Peningkatan tekanan vena pulmonalis
a) Tanpa gagal ventrikel kiri (missal: stenosis mitral)
b) Sekunder karena gagal ventrikel kiri
2) Penurunan tekanan onkotik plasma pada hipoalbuminemia
3) Peningkatan tekanan negative interstisial pada tatalaksana pneumotoraks
dengan tekanan negative yang tinggi
b. Gangguan permeabilitas membrane kapiler alveoli
1) Pneumonia (bakteri, virus atau parasite)
2) Inhalasi toksin (NO, asap)
3) Pancreatitis hemoragik akut
4) Pneumonia akut akibat radiasi
5) Zat vasoaktif endogen (histamine, kinin)
6) Koagulasi intravascular diseminata (DIC)
7) Imunologi pneumonitis hipersensitif
c. Insufisiensi sistem limfe
1) Pasca transplantasi paru
2) Limfangitis karsinomatosis
3) Limfangitis fibrotic (silicosis)
d. Tidak diketahui atau belum jelas meknaismenya
1) Edema paru neurogenic
2) Overdosis obat narkotika
3) Emboli paru
4) Eklampsia
5) Pasca kardioversi
6) Pasca anestesi
7) Pasca bedah pintas jantung paru

3. Manifestasi Klinis
a. Manifestasi umum :
25

1) Perubahan dini edema paru adalah peningkatan aliran limfatik, terjadi


karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang
mengelilingi arteriola paru dan saluran pernapasan yang kecil
2) Onstruksi pada saluran nafas kecil
3) Hipoksemia ringan timbul karena adanya perubahan dalam distribusi
ventilasi dan perfusi
4) Menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratosi namun
ekskresi CO2 tidak terganggu
5) Gangguan disfusi menyebabkan terjadinya peningkatan pintas kanna ke kiri
melalui alveoli yang tidak mengalami ventilasi (muttaqin,2012)
b. Manifestasi akut
1) Sesak nafas ekstrim atau kesulitan bernapas (dyspnea) yang memburuk
ketika berbaring
2) Perasaan mencekik dan tenggelam
3) Wheezing atau gasping
4) Kecemasan kegelisahan atau rasa takut
5) Batuk yang menghasilkan sputum berbusa yang diserati darah
6) Keringat berlebih
7) Kulit pucat
8) Nyeri dada jika edema paru disebabkan oleh penyakit jantung
9) Denyut jantung cepat, tidak teratur (palpitasi)
Edema paru dapat menjadi fatal jika tidak diobati, jangka panjang (kronis)
1. Memiliki lebih sesak napas dari pada normal ketika klien aktif secara fisik
2. Kesulitas bernafas dengan pengerahan tenaga, sering ketika klien berbaring
datar disbanding duduk
3. Wheezing
4. Bangun di malam hari dengan perasaan sesak nafas yang bisa dikurangi
dengan duduk
5. Kenaikan berat badan yang cepat ketika edema paru berkembang sebagai
akibat dari gagal jantung kongestif, suatu kondisi dimana jantung
memompa darah terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Berat
badan adalah dari penumpukan cairan dalam tubuh, terutama kaki.
6. Bengkak di kaki dan pergelangan kaki
7. Kehilangan nafsu makan
26

8. Kelelahan
c. Gejala edema paru tahap lanjut seperti: headache, insomnia, retensi cairan,
batuk dan sesak nafas. (muttaqin,2012)

4. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2 kardiogenik dan non
kardiogenik. Hal ini penting diketahui karena pengobatanya berbeda.
a. Edema paru kardiogenik
Edema paru kardiogenik adalah edema paru yang disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena
meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema paru kardiogenik menunjukkan
adanya akumulasi cairan yang rendah protein di interstasial paru dan alveoli
ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri melebihi keluaran
ventrikel kiri.
Edema paru kardiogenik adalah edema yang disebabkan oeh adanya
kelainan pada organ jantung. misalnya jantung tidak bekerja semestinya seperti
jantung tidak kuat lagi memompa.
Edema paru kardiogenik berakibat dari tekanan yang tinggi dalam
pembuluh pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang
buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung
yang buruk (datang dari beragam sebab sebab seperti arrhythmias dan penyakit
penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan serangan jantung atau klep
klep jantung yang abnormal dapat menjerumus pada akumulasi lebih dari
jumlah draah yang biasa dalam pembuluh darah dari paru paru. Ini dapat
penyebabkan cairan dari pembuluh pembuluh darah didorong keluar ke alveoli
ketika tekanan membesar.
b. Edema paru non kardiogenik
Edema paru non kardiogenik adalah penimbunan cairan pada jaringan
interstisial paru dan alveolus paru yang disebabkan selain oleh kelainan jantung.
edema yang umunya disebabkan oleh:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integrasi dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya dan ini menurun pada alveoli yang
bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh darah.
27

2) Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi infeksi paru,
merokok kokain, atau radiasi pada paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh
dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh darah, berakibat
pada edema paru. Pada orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut dialysis
mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
4) Trauma otak, perdarahan pada otak, seizure seizure yang parah, atau operasi
otak dapat berakibat pada akumulasi cairan di paru menyebabkan
neurogenic pulmonary edema.
5) Paru yang mengembang dengan cepat dapat menyebabkan rekspansi
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus kasus ketika paru
mengempis ( pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling
paru (pleura effusion) dikeluarkan. Berakibat pada ekspansi yang cepat dari
paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang
terpengaruh.
6) Penyebab penyebab lain yang lebih jarang dari non cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolis (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru paru) luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi,
beberapa infeksi virus, atau ekslamsia pada wanita hamil.

5. Patofisiologi
Edema paru timbul bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih
banyak dari yang yang biasa dikeluarkan. Akumulasi cairan ini akan berakibat serius
pada fungsi paru oleh karena tidak mungkin terjadi pertukaran gas apabila alveoli
penuh terisi cairan. Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi suatu aliran keluar
yang kontinyu dari cairan dan protein dalam pembuluh darah ke jaringan interstatsial
dan kembali ke sistem aliran darah melalui saluran limfe. Pergerakan cairan tersebut
memenuhi hukum starling sebagai berikut (Flick,2000,Alpert
2002,Nendrastuti&Soetomo,2010)
Ruangan alveolar dipisahkan dari interstasium paru terutama oleh sel epitel
alveoli tipe I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barrier relative
nonpermeabel terhadap aliran cairan dari interstasium ke rongga rongga (space).
Fraksi yang besar ruang interstasial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya
terdiri atas satu lapisan sel endothelium di atas membrane basal. Sedangkan sisanya
28

merupakan jaringan ikat yang terdiri astas jaringan kolagen dan jaringan elastic,
fibroblast, sel fagosit, dan beberapa jaringan lain. (Muttaqin, 2012).
Mekanisme yang menjaga agar jaringan interstasial tetap kering adalah : tekanan
onokotik plasma lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler paru, jaringan konektif
dan barrier seluler relative tidak permeable terhadap protein plasma, adanya sistem
limfatik yang secara ekstensif mengeluarkan cairan dari jaringan interstasial.
Pada individu normal tekanna kapiler pulmonal adalah sekitar 7 dan 12 mmHg.
Karena tekanan onkotik plasma berkisar antara 25 mmHg maka tekanan ini akan
mendorong cairan kembali ke dalam kapiler. Tekanan hidrostatik bekerja melewati
jaringan konektif dan barrier seluler. Yang dalam keadaan normal bersifat relative
tidak permeabel terhadap protein plasma. Paru mempunyai sistem limfatik yang
secara ekstensif dapat meningkatkan aliran 5 atau 6 kali bila terjadi kekebalan air di
dalam jaringan interstisial paru.
Edema paru akan terjadi bila mekanisme normal untuk menjaga paru tetap
kering terganggu seperti dibawah ini (Flick,2000,Alpert2002) :
a. Permeabilitas membran yang berubah
b. Tekanan hidrostatik mikrovaskuler yang meningkat
c. Tekanan peri mikrovaskuler yang menurun
d. Tekanan osmotic/onkotik mikrovaskuler yang menurun
e. Tekanan osmotik/onkotik peri mikrovaskuler yang meningkat
f. Gangguan saluran limfe
Apapun penyebabnya, akibatnya terhadap paru tetap sama yaitu edema paru
yang terjadi 3 tahap:
a. Tahap 1 : terjadinya peningkatan perpindahan cairan koloid dari kapiler ke
ruang interstasial tapi masih diikuti oleh peningkatan aliran limfatik
b. Tahap 2 : terjadi bila kemampuan pompa sintem limfatik telah terlampaui
sehingga cairan dan kristaloid mulai terakumulasi dalam ruang interstasial
sekitar bronkoli, arteriol, dan venul (pada foto roraks terlihat sebagai sebagai
edema paru interstasial)
c. Tahap 3 : peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema
alveolus. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas (subagyo,2012).
Secara histologi kerusakan tampak berubah dengan berjalanya Waktu dan dibagi
menjadi 3 fase sebagai berikut:
29

a. Stage I : fase eksudatif, ditandai dengan ekstravasasi cairan kaya protein ke


dalam ruang interstasial dan alveoli
b. Stage II : fase proliferative, sesuai dengan perkembangan penyakit, edema
disertai respons seluler yang kuat dan berhubung dengan perdarahan, nekrosis
seluler, hiperplasisa sel pneumosit tipe II, deposisi fibrin dan okulsi vaskuler
oleh trombosit.
c. Stage III : fase fibrotic, pada pasien yang masih bertahan, proses perbaikan
terjadi ditandai dengan fibrosis dan penebalan septa alveolar, akibatnya terjadi
pembesaran tak berturan ruang udara dan obliterasi vaskuler (subagyo,2012)
30

6. Pathway

Faktor Kardiogenik Faktor Non-Kardiogenik

ARSD Isufisiensi limfatik Unkwnown


Gagal jantung kiri

Pulmonary
Pnemonia Post. Lung
Embolism
Transplant
Aspirasi Asam
Eclamsia
Lambung Lymphangitic
Carsinomiclosis High Altitude
Bahan Toksik
Pulmonary
Inhalan Silicosis
Edema

Ketidakseimbangan
Staling Force

Tekanan Kapiler Tekanan Onkotik Tekanan Negative Tekanan Onkotik


Paru Naik Plasma Turun Interstitial Naik Interstitial Naik

Cairan berpindah ke
interstitial

Akumulasi Cairan Berlebih ( Transudat / Eksudat )

Alveoli Terisi Cardiac Output Pemasangan Alat Bantu Nafas


Cairan Menurun (Ventilator)
31

Gangguan O2 Jaringan Pemasangan


Bed Rest Area Invasi
Pertukaran Gas Menurun Selang
Fisik M.O
Endotrakheal

Defisit Gangguan Resiko


Perawatan Komunikasi Tingi
Diri Verbal Infeksi
Gangguan Kelelahan
Pengambilan
Perfusi O2
Jaringan Meningkat Intoleransi
Aktivitas
Gangguan
Pola Nafas

7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Pada tempat terjadinya peningkatan tekanan, terapidilakukan dengan tujuan
untuk mengurangi tekanan hidrostatik yang menyebabkan edema paru. Tujuan
terapi yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas adalah untuk
menghilangkan faktor penyebab perlukaan paru, perbaikan keadaan umum dan
memberi kesempatan paru paru untuk membaik, serta mengurangi tekanan yang
menyebabkan pergeseran cairan melaui barrier yang terluka. (Mayo clinic
staff,2011).
1) Penatalaksanaan edema paaru non kardiogenik (ARDS)
a) Suport
Mencari dan menterapi penyebabnya, yang harus dilakukan adalah
support kardiovaskuler, terapi cairan, renal support, pengelolaan sepsis.
b) Ventilasi
Menggunakan ventilasi protective ARDS
2) Penatalaksanaan edema paru kardiogenik
Sasarannya adalah
a) Mencapai oksigenasi adekuat
b) Memelihara stabilitas hemodinamik
c) Mengurangi stres miokard dengan menurunkan preload dan afterload
3) Penatalaksanaan
a) Posisi setengah duduk
32

b) Oksigen terapi
c) Morphin IV 2,5mg
d) Diuretik
e) Inotropic
f) Nitroglycerine
Bukti penelitian menunjukkan bahwa pilihan terapi terbaik adalah
vasodilator intravena sedini mungkin (nytroglyceine, nesiride, nitropruside) dan
diuretik dosis rendah. Nitroglycerine adalah terapi lini pertama pada semua
pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95-100 mmHgdengan dosis
20mg/min sampai 200mg/menit. (rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang
sangat rendah (<0,5mg/min) dari nitrogliceryne akan menurunkan LVED (Mayo
clinic staff,2011).
b. Penatalaksanaan keperawatan gawat darurat
1) Penilaian awal (primary survey) adalah penilaian untuk menentukan
prioritas penderita dan adanya kondisi yang mengancam nyawa.
Pemeriksaan ini dilakukan dalam Waktu kurang dari 2 menit. Urutan
pemeriksaan dalam primary survey adalah:
a) Pemeriksa keadaan umum penderita
b) Evaluasi tingkat kesadaran awal sambilmestabilkan tulang leher, untuk
melihat tingkat kesadaran pasien dengan menggunakan AVPU :
A : Alert (sadar dan berorientasi baik)
V : merespon rangsangan verbal (sadar tapi bingung atau tidak sadar
tapi merespon rangsangan verbaldengan cara tertentu)
P : merespon rangsangan nyeri/pain (tidak sadar tapi Merangsang nyeri
dengan cara tententu)
U : tidak merespon/Unresponsive (tidak ada reflek muntah atau batuk)
c) Nilai jalan nafas pasien (Airway), ada tidaknya obstruksi jalan nafas
seperti apneu, mendengkur, bunyi kumur, dan stridor.
d) Milai pernafasan (breathing) lihat ada tidaknya pergerakan dinding
dada dengar bunyi nafas dan rasakan hembusan nafas
e) Nilai sirkulasi, pemeriksaan singkat terhadap nadi perdarahan dan
tanda tanda penurunan perfusi.
2) Rapid trauma survey
33

Meruapakan pemeriksaan singkat untuk menemukan semua ancaman


nyawa. Penilaian yang dilakukan adalah:
a) Pemeriksaan tanda tanda vital
b) Riwayat dan kejadian trauma dengan metode SAMPLE
S : gejala (symptom)
A : alergi (allergies)
M : pengobatan/terapi (medication)
P : riwayat penyakit dahulu (past medical history)
L : makan dan minum terakhir (last oral intake)
E : kejadian sebelum insiden (event)
c) Melakukan pemeriksaan lengkap mulai kepala, leher, dada, perut,
panggul, dan ekstermitas
- Nilai dengan cepat bagain kepala dan leher perhatikan bila mana
vena leher datar, distensi atau deviasi trakea, racoon eyes dan
battles sign
- Lihat dan raba dan dengar dada. Melihat pergerakan dinding dada,
meraba adanya rasa nyeri, instabilitas, krepitasi, kemudian
dengarkan suara nafas pada kedua lapang paru.
- Perhatikan suara jantung ada kelainanatau tidak
- Periksa bagain perut (distansi, memar, atau luka tembus) dan
palpasi adanya kekakuan dan rasa nyeri
- Pemeriksaan panggul untuk mengetahui adanya perubahan bentuk
atau luka
- Pemeriksaan ekstermitas
• Memeriksa DCAP-BTLS adanya perubahan bentuk
(deformitas), memasr (contosio), lecet (abration), luka tembus
(penetration), luka bakar (burn), rasa nyeri (tenderness),
laserasi, atau pembengkakan (swelling). Jika ada krepitasi atau
gesekan fragmen tulang merupakan tanda pasti adanya fraktur.
Bila ada tanda ini segera imbolisasi untuk mencegah cedera
jaringan lunak yang lebih parah.
• Memeriksa persendian apakah ada ada nyeri atau gangguan
pergerakan sendi
• Periksa dan catat nadi, motoric, dan sensorik daerah distal.
34

d) Balut dan bidai bila ditemukan trauma


e) Monitor terus menerus
Pendekatan ABCD dan imobilisasi tulang leher jika diindikasi :
1) Airway management
a) Bicara pelan pada pasien. Pasien yang menjawab tanda bahwa
jalan nafasnya bebas, jika tidak sadar mungkin memerlukan nafas
buatan
b) Bebaskan jalan nafas pasien dengan chin lift/jaw thrust
c) Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau non
breathing
d) Melakukan suction jika tersedia
e) Siapkan untuk intubasi trakea sesuai indikasi, intubasi endotrakeal
(ET) mungkin diperlukan jika jalan napas tidak dapat diperbaiki
dengan langkah langkah di atas atau jika pasien tidak mendapatkan
ventilasi yang cukup.
f) Kritoritomi mungkin diperlukan jika intubasi tidak berhasil, jika
ada kemungkinan kuat cedera vertebrae cervicales atau pada kasus
trauma wajah massif.
2) Breathing
a) Menilai pernafasan cukup
b) Jika pernafasan tidak ada lakukan pernafasan buatan
c) Periksa dada untuk bukti sucking chest wound, pneumothorax, fail
chest.
d) Dekomresi rongga pleura dan tutup jika ada luka robek dinding
dada
e) Berikan oksigen jika ada
3) Circulation
a) Memasang infuse dngan menggunakan jarum besar (14-16G)
untuk resusitasi cairan. Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena
sectie
b) Cairan infus (NaCl 0,9%) harus dihangatkan sesuai suhu tubuh
karena hipotermia dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah
c) Hindari cairan yang mengandung glukosa
35

d) Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang


golongan darah
4) Disability
a) Menilai kesadaran klien dengan cepat
b) Perawatan lanjutan dan pemantauan
c) Konsultasikan segera untuk intervensi operatif
d) Segera transfer ke pusat spesialis trauma yang sesuai
e) Jangan membuang buang Waktu (golden hour). Bertindak cermat
dan cepat utamakan nyawa daripada anggota gerak.
36

D. Algoritma Trauma Thoraks

Komplikasi
1. Iga : fraktur multiple
dapat menyebabkan
kelumpuhan rongga
dada
2. Pleura, paru-paru,
bronkhi,
hemopneumothoraks, Keluhan utama
emfisema pembedahan 1. Pasien mengeluh
3. Jantung : tamponade sesak
jantung, ruptur jantung, 2. Pasien mengeluh
ruptur otot papilar, nyeri pada dada
ruptur klep jantung. (biasanya pada pasien
4. Pembuluh darah besar : fraktur rusuk dan
hematothoraks sternum)
5. Esofagus : mediatinitis 3. Pasien mengeluh
batuk berdarah,
berdahak
4. Pasien mengeluh
lemas, lemah
5. Pasien mengatakan
mengalami
kecelakaan terbentur
dan tertusuk di bagian
dada

Terapi farmakologi
1. Antibiotika
2. Analgetika
3. Expectorant
37

Trauma dada
Pemeriksaan penunjang Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan laboratorium 1. Tulang belakang servical
1) Gas darah Temponade
arteri (GDA) untuk 1) Stabilkan dengan traksi manual segaris
melihat adanya hipoksia akibat Hemothorax
2) Amankan dengan Pneumothorax
collar, penunjang kepala dan
Jantung
kegagalan pernapasan perban
2) Torasentesis : 3) Hanya dapat disingkirkan olehpemeriksaan yang
menyatakandarah/cairan normal pada pasien yang sadar penuh atau
Penyebab : luka tusuk Penyebab : luka tembus
serosanguisa rontgen yangPenyebab
normal : spontan (bula yang
dad yang tembus ke thoraks oleh benda pecah), trauma (penyedotan luka
3) Hemoglobin : mungkin 2. Airway management/penatalaksanaan jalan
jantung tajam, traumatic atau rongga dada), iatrogenic (pleural
menurun napas
spontan
4) Saturasi O2 menurun 1) Bersihkan tap,biopsy
obstruksi paru-paru,
dengan insersi CVP,
menggunakan
(biasanya) ventilasi dengan tekanan positif)
tangan dan mengangkat dagu (pada pasien tidak
5) Toraksentesis : menyatakan sadar)
darah/cairan di daerah thoraks 2) Lindungi jalan napas dengan jalan napas
2. Radio diagnostik orofaringeal dan nasofaringeal (pada pasien
1) Radiologi : foto thoraks (AP) tidak sadar)
untuk mengkonfirmasi MRS3) Jalan napas Pemeriksaan
definitivefisik
(akses langsung melalui
pengembangan kembali paru- 1. Airway diindikasikan
oksigenasi intratekal) (A) pada:
paru dan untuk melihat daerah a. Apneal Batuk (resiko)obstruksi kental atau
dengan sputum jalan
terjadinya trauma darah,
napasatas/(resiko) terkadang disertai dengan
aspirasi/memerlukan
IGD muntah darah, krekels (+), jalan
2) EKG memperlihatkan ventilasi mekanik
perubahan gelombang T-ST napas tidak paten
b. Selang orotrakeal
yang non spesifik atau disritmia c. Selang 2. nasotrakeal
Breathing (B)
3) Pemeriksaan USG 4) Jalan Adanya dengan
napas napas spontan denga
pembedahan
(Echocardiografi) merupakan gerakan
(krikotiroidotomi) dada asimetris
diidikasikan pada: (pada
metode non invasif yang dapat pasien tension pneumothoraks),
a. Trauma maksilofasial/disrupsi laring/gagal
membantu penilaian intubasi napas cepat, dispnea, takipnea,
pericardium dan dapat suara napas kusmaul, napas
3. Circulation/sirkulasi
mendeteksi cairan di kantong 1) Berikan suplemen pendek, napas dangkal.
oksigen
perikard 2) Nilai 3. Circulation
frekuensi (C)
napas/masuknya udara
Tarjadi
(simetris)/pergerakan hipotensi, nadi lemah,
dinding dada
pucat,
(simetris)/posisi trakeaterjadi perdarahan,sianosis,
3) Ambil darahtakikardi
untuk Cross match, DPL, dan
4. Disability
ureum + elektrolit (D)
4. Disfungsi SSP Penurunan kesadaran (apabila
1) Nilai GCS/reaksi terjadi penanganan
pupil/fungsiyang lambat)dan
motorik
sensorik ekstremitas jika mungkin
5. Eksposure of extremities/pajanan ekstremitas
1) Nilai ekstremitas untuk trauma mayor tulang
panjang dan pada lokasi kehilangan darah hebat
Diagnosa
Keperawatan

Pola napas tidak efektif b.d Bersihan jalan napas tidak Nyeri akut b.d agen
posisi tubuh yang efektif b.d peningkatan pencedera fisik (trauma
menghambat ekspansi paru sekresi secret dada)
38

Tujuan : Tujuan : Tujuan :


Setelah dilakukan Tindakan Setelah dilakukan Tindakan Setelah dilakukan Tindakan
keperawatan 1x24 jam maka pola keperawatan 1x24 jam maka keperawatan 1x8 jam maka
napas membaik, dengan bersihan jalan napas meningkat, tingkat nyeri menurun, dengan
Kriteria hasil : dengan Kriteria hasil :
1. Dispnea menurun Kriteria hasil : 1. Keluhan nyeri menurun
2. Penggunaan otot bantu napas 1. Batuk efektif meningkat 2. Gelisah menurun
menurun 2. Produksi sputum menurun 3. Frekuensi nadi membaik
3. Pemanjangan fase ekspirasi 3. Dispnea menurun 4. Pola napas membaik
menurun 4. Frekuensi napas membaik Intervensi:
4. Frekuensi napas membaik 5. Pola napas membaik Manajemen Nyeri
5. Kedalaman napas membaik Intervensi: Observasi
Intervensi: Latihan Batuk Efektif 1. Identifikasi lokasi,
Manajemen Jalan Napas Observasi karakteristik, durasi, frekuensi,
Observasi 1. Identifikasi kemampuan batuk kualitas, intensitas nyeri
1. Monitor pola napas 2. Monitor adanya retensi sputum 2. Identifikasi respons nyeri non
2. Monitor bunyi napas tambahan 3. Monitor input dan output verbal
3. Monitor sputum cairan 3. Identifikasi factor yang
Terapeutik Terapeutik memperberat dan
1. Pertahankan kepatenan jalan 1. Atur posisi semi-fowler atau memperingan nyeri
napas dengan head-tilt dan fowler Terapeutik
chin-lift 2. Pasang perlak dan bengkok 1. Berikan teknik non-
2. Berikan oksigen dipangkuan pasien farmakologis untuk
Edukasi 3. Buang secret pada tempat mengurangi rasa nyeri
1. Ajarkan Teknik batuk efektif sputum 2. Fasilitasi istirahat dan tidur
Kolaborasi Edukasi 3. Pertimbangkan jenis dan
1. Kolaborasi pemberian 1. Jelaskan tujuan dan prosedur sumber nyeri dalam pemilihan
bronkodilator, ekspektoran batuk efektif strategi meredakan nyeri
mukolitik, jika perlu 2. Anjurkan tarik napas dalam Edukasi
melalui hidung selama 4 detik, 1. Jelaskan penyebab, periode,
ditahan selama 2 detik, dan pemicu nyeri
kemudian keluarkan dari mulut 2. Jelaskan strategi meredakan
dengan bibir mencucu selama nyeri
8 detik 3. Ajarkan teknik non-
3. Anjurkan mengulangi tarik farmakologis untuk
napas dalam hingga 3 kali mengurangi rasa nyeri
4. Anjurkan batuk dengan kuat Kolaborasi
langsung setelah tarik napas 1. Kolaborasi pemberian
dalam yang ke - 3 analgetic, jika perlu
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pneumotoraks (American college of Surgeons Commite on Trauma, Willimas,
2013) Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di rongga
pleura akibat robeknya pleura viseral, dapat terjadi spontan atau karena trauma, yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu
proses pengembangan paru. Pneumotoraks terjadi karena trauma tumpul atau tembus
toraks. Dapat pula terjadi karena robekan pleura viseral yang disebut dengan barotrauma,
atau robekan pleura mediastinal yang disebut dengan traum trakheobronkhial. (Rhea
1982) membuat klasifikasi pneumotoraks atas dasar persentase pneumotoraks, kecil bila
pneumotoraks <20%, sedang bila pneumotoraks 20%-40%, dan besar bila pneumotoraks
>40%.
Hemothoraks merupakan keadaan berkumpulnya darah di dalam rongga
intrapleura. Cedera tumpul atau tusukan pada dinding dada dapat menyebabkan
pembuluh darah setempat ruptura, seperti arteri mamaria internal atau arteri intrakostalis.
Hemothoraks luas terjadi jika darah yang berkumpul di dalam rongga pleural melebihi
1,5 L. (Ester chang. 2010: 189).
Paru paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan berhubungan
dengan sistem peredaran darah (sirkulasi) vertebrata yang bernapas dengan udara. Istilah
yang berhubungan dengan paru paru sering disebut pulmo, dengan kata latin pulmones
untuk paru paru. Paru paru merupakan organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia
karena tanpa paru paru manusia tidak dapat hidup. Didalam paru paru terdapat
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Setelah membebaskan oksigen, sel sel darah
merah mennagkap karbondioksida sebagai hasil metabolisme tubuh yang akan dibawa ke
paru paru. (Guyton and Hall, 2007)

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami materi dan
persoalan kebakaran dan menambah wawasan pengetahuan mengenai trauma, primary
survey, rapid trauma score. Selain itu dengan adanya makalah ini diharapkan dapat
dilakukan penelitian dan penulisa lebih lanjut mengenai pengkajian ini.

39
DAFTAR PUSTAKA

Aru W.Sudoyo,dkk.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta:Interna
Publishing.
Bararah, Taqiyyah. 2013. Asuhan Keperawatan: Panduan Lengkap Menjadi Perawat
Profesional jilid 2. Prestasi Pustaka Publisher.
Bosswick, John A., Jr. 1988. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC.
Braunwauld, Clinical aspect of heart failure; pulmonary edema. In : Braunwauld. Heart
Disease. A textbook of cardiovascular medicine. WB Saunders; 7:553, 2001
Buku Saku Patofisiologi Corwin, Elizabeth J. Corwi 2009
Eddy Japri, Thomas Kardjito, Mohammad Amin. Pneumotorax: Symposium llmu
Kedokteran Darurat. Surabaya 1998.
Guyton and Hail. Textbook of Medical Physiology. 7 ed. Philadelphia: WB. Saunders
Company. 1997. 2007. pp 622 – 633
Hall, Guyton & Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakata: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2007
Kowalak, Jennifer P. dkk ; Buku Ajar Patofisiologi : “SISTEM PERNAPASAN
PNEUMOTHORAKS : BAB.7- Hal.253 : EGC-Jakarta, 2011
Manson, J. Robert. 2010. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine, 5/e.
Saunders. Philadelphia.
Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Netter, 1979 dalam Kurniasih, Dkk, 2009, hlm.2343)
Nendrastuti & soetomo, 2010. Edema Paru Akut Karddiogenik dan Non Kardiogenik.
Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 1. No. 3 Oktober 2010
Nirwan Arief , Wibowo Suryatenggara: Pneumotoraks. Dalam Symposium Penatalaksanna
Gawat Paru Masa Kini. Ahmad Husain AS, dkk. Yogykarta, 1984.
Prince, Sylvia A. 2006. Patofiologi Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC
Subagyo, Ahmad. 2013. Edema Paru, Kelainan Akut atau Kronik. Diakses melalui
http://www.klikparu.com/2013/02/edema-paru-kelainan-akut-atau-kronik.html

40

Anda mungkin juga menyukai