Keperawatan Gerontik
Disusun oleh:
Susilawati : 1610711108
JAKARTA 2019
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah yang berjudul Kasus II Keperawatan Gerontik ini ditulis untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik. Dalam penyusunan makalah ini penulis
sadar karna kemampuan penulis sangat terbatas. Makalah ini masih mengandung banyak
kekurangan, untuk itu harapan penulis para pembaca bersedia memberi saran dan pendapat
untuk makalah ini.
Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Penulis
Daftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN TEORI
B. Konsep Geriatrik
Geriatri adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia (lansia) yang mengobati
kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009).
Menurut bahasa Geriatrik berasal dari kata "Geros" = tua, iatria = to care, jadi
Geriatrik adalah perawatan usia lanjut.
Menurut UU RI No. 13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah
mencapai umur 60 tahun ke atas.
2. Kompetensi Askep
B. Merumuskan diagnosa
keperawatan 1.Merumuskan
diagnosa
keperawatan
2.Memprioritaskan
masalah
C. Menyusun rencana 1. Menentukan tujuan
perawatan dan implemetasi 2. Menentukan kriteria
hasil
a. Manajemen nyeri 3.Menentukan
b. Menghitung status rencana keperawatan
nutrisi 4.Melaksanakan
c. ROM tindakan keperawatan
d. Keagle Exercise 5.Memberikan
e. Pendidikan Kesehatan pendidikan
f. Senam Lansia kesehatan
(Kelompok)
g. TAK (Kelompok)
2. Implementor
Peran perawat gerontologi disini identik dengan peran ‘provider’ yang lebih
banyak dalarn memberikan pelayanan dibandingkan dengan tim kesehatan yang
lain.Perawat dituntut mampu mengunakan teori-teori gerontologi dalam
menerapkan proses keperawatan terhadap usia lanjut. Didalarn peran mi klien dan
keluarganya dituntut berperan aktif. Meskipun ‘body of knowlegde’ geriatric dan
gerontology telah berkembang tetapi dalam mengoptimalkan peran implementor
masih membutuhkan informasi-informasi yang sangat diperlukan terutama yang
berkaitan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang mempunyai relevansi dalam
rentang kehidupan usia lanjut sehingga proses keperawatan yang dihasilkan akan
semakin optimal pula.
3. Edukator
Peran perawat gerontologi dituntut mampu mengunakan fasilitas yang formal
atau non formal dalam mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan sebagai
pemben pelayanan terhadap usia lanjut. Pengetahuan ( seperti patofisiologi,
famakoIogi dll) dan ketrampilan yang diperoleh akan bermanfaaat untuk
memahami terjadinya proses menua sehingga peran perawat sebagai edukator
akan lebih komunikatif dan efektif. Peran mi sangat membutuhkan prinsip-prinsip
komunikasi yang efektif yang meliputi: listening, interacting, clarifying,
validating dan evaluating.
4. Advocate
Peran ‘advocate’ sebagai perawat dapat berupa usaha perawat untuk
membantu klien mendapatkan haknya sebagai klien, rnendapatkan pelayanan
yang seharusnya didapatkan, rnemperjuangkan kepentingan usia lanjut.
5. Innovator
Perawat gerontologi harus mengembangkan secara kontinue dan mengarah ke
spesialisasi bahkan dapat mengunakan kesempatan untuk mengunakan tehnologi
yang baru dalam rneningkatkan pelayanan kesehatan terhadap usia lanjut. ‘Jiwa
ingin tahu harus dirniliki oleh perawat gerontologi agar dalam membuat
keputusan dan mengernbangkan melalui eksperimen-eksperimen dapat
meningkatkan kualitas praktek keperawatan gerontologi.
C. Penelitian
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu keperawatan merupakan bagian yang
esensial dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan termasuk
pula keperawatan gerontik. Peningkatan kualitas tersebut hendaknya sejalan
dengan penerapan praktik keperawatan yang didasarkan pada fakta (evidence-
based practice for nursing). Menurut Loiselle et. al (2004), praktik keperawatan
berdasarkan fakta merupakan upaya pemanfaatan hasil penelitian (fakta empiris)
klinik keperawatan yang terbaik guna menentukan sebuah keputusan dalam
intervensi keperawatan . Praktik keperawatan berdasarkan fakta memberikan
kerangka kerja dan proses penggabungan hasil penelitian dan preferensi klien
yang sistematis dalam pengambilan keputusan klinik, baik di tingkat individu
maupun organisasi pelayanan kesehatan . Fakta empiris tersebut bersumber dari
temuan penelitian-penelitian keperawatan yang relevan. Fakta terbaiklah yang
akan digunakan sebagai pedoman dalam menentukan pendekatan terhadap klien,
keputusan klinik, dan tindakan keperawatan. Sedangkan fakta terbaik adalah
rangkaian tindakan yang paling efisien, efektif, dan aman bagi klien. Bila perawat
telah memiliki budaya kerja yang ilmiah, dimana ia selalu mencari pembenaran
tindakan yang dilakukannya melalui pemanfaatan hasil-hasil penelitian maka
diharapkan akan didapatkan hasil perawatan yang lebih baik. Karena dalam
praktik keperawatan tidak ada ruang sedikit pun yang diperkenankan bagi
tindakan trial and error. Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan
merupakan upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan yang
berorientasi pada efektifitas biaya (cost effectiveness). Meningkatkan penelitian
keperawatan dan menerapkan hasilnya dalam praktek keperawatan merupakan
kebutuhan mendesak untuk membangun praktek keperawatan yang efektif.
Menurut studi terhadap berbagai laporan penelitian keperawatan (meta-analysis)
yang dilakukan oleh Heater, Beckker, dan Olson (1988), menyatakan bahwa
pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan yang bersumber dari penelitian
memiliki out come yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang hanya
mendapatkan intervensi standar.
Terdapat banyak model proses penerapan hasil penelitian dalam lingkup
pelayanan keperawatan yang telah disusun oleh para ahli, misalnya model
Rosswurm dan Larrabee , model Iowa , model Children’s Hospital of Philadelphia
, model Aurora , model Stetler , model Diffusion of Innovation, model Research
Nurse Intern Program , atau model Process of Research Utilization. Prioritas
penelitian Bidang Keperawatan Gerontik. Keperawatan Gerontik secara holistik
menggabungkan aspek pengetahuan dan keterampilan dari berbagai macam
disiplin ilmu dalam memeprtahankan kondisi kesehatan fisik mental, sosial, dan
spritual (lihat gambar 2). Hal ini diupayakan untuk memfasilitasi lansia kearah
perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada
pemulihan kesehatan, memaksimalkan kualitas hidup lansia baik dalam kondisi
sehat, sakit maupun kelemahan serta memberikan rasa aman, nyaman, terutama
dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik diharapkan dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan teknik maupun
mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas. Namun dalam menyusun
prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk menambah ilmu
dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas, efektifitas,
efesienso, dan kepatutan pelayanan. Dalam mengembangkan penelitian tersebut,
kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-aspek kritis yang ada dalam
keperawatan gerontik. Tulisan ini mencoba untuk merangkaikan usulan prioritas
penelitian di bidang keperawatan gerontik. Ada enam aspek utama yang perlu
dikaji mengingat sampai saat ini penelitian-penelitian keperawatan terutama di
dalam negeri masih sedikit, dan apabila ada penelitian tersebut jarang
dipublikasikan.
D. Area Prioritas
1. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu maupun
kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. Sub area prioritas:
Ventilasi dan sirkulasi, Nutrisi, Ekskresi, Aktifitas dan istirahat, Stimulasi
mental, Tidur, Masalah kardiovaskuler, Masalah penyakit vaskulerisasi
perifer, Masalah respiratori, Masalah gastrointestinal, Masalah diabetes,
Masalah muskuloskeletal, Masalah genitourinary, Masalah neurology,
masalah menurunnya fungsi sensorik. Masalah dermatology, Masalah
kesehatan mental, Tindakan operatif & dampaknya, Paliative care, Manajemen
nyeri, Rehabilitasi, Perawatan diri dan higienitas, Pengawasan menelan obat.
2. Parameter & hasil (outcome) intervensi klinis yang spesifik. Sub area
prioritas: Diagnosis keperawatan yang spesifik, Pengembangan alat ukur
geriatrik (contoh Iowa Index of Geriatric Assessment Tools dapat diakses di
http://www.uiowa.edu).
3. Faktor-faktor organisasi yang berdampak pada sistem pelayanan dan kinerja,
Sub area prioritas: Peran kolaborasi, Model perawatan di rumah (home care),
Model perawatan di rumah sakit (hospital care), Model perawatan di panti
jompo (institutional care), Model perawatan jangka panjang (long-term care),
Nursing agency, Team work.
4. Faktor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub area
prioritas: Aspek legal : kebijakan & regulasi, Kelenturan kesehatan yang
berbasis budaya & kepercayaan, Sosial ekonomi, Konsep-konsep gerontologi
(aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek
psikologis, aspek fisiologis, & aspek sosial).
5. Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psikososial. Sub area
prioritas: Penilaian status fungsional, Psikologis, Senile dementia
,Olah raga, Rekreasi, Upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, Interaksi
sosial, Spiritual, Manajemen Stress, Sakaratul maut, Support keluarga,
Aktifitas dan disfungsi seksual.
6. Promosi kesehatan. Sub area prioritas: Pesan, Teknologi
Jika diuraikan 7 langkah dalam proses evidence based practice adalah sebagai
berikut:
1. Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry)
Inquiry adalah semangat untuk melakukan penyelidikan yaitu sikap
kritis untuk selalu bertanya terhadap fenomena-fenomena serta kejadian-
kejadian yang terjadi saat praktek dilakukan oleh seorang klinisi atau petugas
kesehatan dalam melakukan perawatan kepada pasien. Namun demikian,
tanpa adanya budaya yang mendukung, semangat untuk menyelidiki atau
meneliti baik dalam lingkup individu ataupun institusi tidak akan bisa
berhasil dan dipertahankan.
Elemen kunci dalam membangun budaya EBP adalah semangat untuk
melakukan penyelidikan dimana semua profesional kesehatan didorong
untuk memepertanyakan kualitas praktek yang mereka jalankan pada saat ini,
sebuah pilosofi, misi dan sistem promosi klinis dengan mengintegrasikan
evidence based practice, mentor yang memiliki pemahaman mengenai
evidence based practice, mampu membimbing orang lain, dan mampu
mengatasi tantangan atau hambatan yang mungkin terjadi, ketersediaan
infrastruktur yang mendukung untuk mencari informasi atau lieratur seperti
komputer dan laptop, dukungan dari administrasi dan kepemimpinan, serta
motivasi dan konsistensi individu itu sendiri dalam menerapkan evidence
based practice (Tilson et al, 2011).
2. Mengajukan pertanyaan PICO (T) question
Menurut (Newhouse et al., 2007) dalam mencari jawaban untuk
pertanyaan klinis yang muncul, maka diperlukan strategi yang efektif yaitu
dengan membuat format PICO. P adalah pasien, populasi atau masalah baik
itu umur, gender, ras atapun penyakit seperti hepatitis dll. I adalah intervensi
baik itu meliputi treatment di klinis ataupun pendidikan dan administratif.
Selain itu juga intervensi juga dapat berupa perjalanan penyakit ataupun
perilaku beresiko seperti merokok. C atau comparison merupakan intervensi
pembanding bisa dalam bentuk terapi, faktor resiko, placebo ataupun non-
intervensi. Sedangkan O atau outcome adalah hasil yang ingin dicari dapat
berupa kualitas hidup, patient safety, menurunkan biaya ataupun
meningkatkan kepuasan pasien. (Bostwick et al., 2013) menyatakan bahwa
pada langkah selanjutnya membuat pertanyaan klinis dengan menggunakan
format PICOT yaitu P(Patient atau populasi), I(Intervention atau tindakan
atau pokok persoalan yang menarik), C(Comparison intervention atau
intervensi yang dibandidngkan), O(Outcome atau hasil) serta T(Time frame
atau kerangka waktu). Contohnya adalah dalam membentuk pertanyaan
sesuai PICOT adalah pada Mahasiswa keperawatan(population) bagaimana
proses pembelajaran PBL tutotial (Intervention atau tindakan) dibandingkan
dengan small group discussion (comparison atau intervensi pembanding)
berdampak pada peningkatan critical thinking (outcome) setelah pelaksanaan
dalam kurun waktu 1 semester (time frame). Ataupun dalam penggunaan
PICOT non intervensi seperti bagaimana seorang ibu baru (Population) yang
payudaranya terkena komplikasi (Issue of interest) terhadap kemampuannya
dalam memberikan ASI (Outcome) pada 3 bulan pertama pada saat bayi baru
lahir. Hasil atau sumber data atau literatur yang dihasilkan akan sangat
berbeda jika kita menggunakan pertanyaan yang tidak tepat makan kita akan
mendapatkan berbagai abstrak yang tidak relevan dengan apa yang kita
butuhkan (Melnyk & Fineout, 2011).
Sedangkan dalamlobiondo & haber, (2006) dicontohkan cara
memformulasikan pertanyaan EBP yaitu pada lansia dengan fraktur
hip(patient/problem), apakah patient-analgesic control (intervensi) lebih
efektif dibandingkan dengan standard of care nurse administartif
analgesic(comparison) dalam menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan
LOS (Outcome).
3. Mencari bukti-bukti terbaik
Kata kunci yang sudah disusun dengan menggunakan picot digunakan
untuk memulai pencarian bukti terbaik. Bukti terbaik adalah dilihat dari tipe
dan tingkatan penelitian. Tingkatan penelitian yang bisa dijadikan evidence
atau bukti terbaik adalah meta-analysis dan systematic riview. Systematic
riview adalah ringkasan hasil dari banyak penelitian yang memakai metode
kuantitatif. Sedangkan meta-analysis adalah ringkasan dari banyak penelitian
yang menampilkan dampak dari intervensi dari berbagai studi. Namun jika
meta analisis dan systematic riview tidak tersedia maka evidence pada
tingkatan selanjutnya bisa digunakan seperti RCT. Evidence tersebut dapat
ditemukan pada beberapa data base seperti CINAHL, MEDLINE, PUBMED,
NEJM dan COHRANE LIBRARY (Melnyk & Fineout, 2011).
Ada 5 tingkatan yang bisa dijadikan bukti atau evidence (Guyatt&Rennie,
2002) yaitu:
a. Bukti yang berasal dari meta-analysis ataukah systematic riview.
b. Bukti yang berasal dari disain RCT.
c. Bukti yang berasal dari kontrol trial tanpa randomisasi.
d. Bukti yang berasal dari kasus kontrol dan studi kohort.
e. Bukti dari systematic riview yang berasal dari penelitian kualitatif dan
diskriptif.
f. Bukti yang berasal dari single-diskriptif atau kualitatif study
g. Bukti yang berasal dari opini dan komite ahli.
Dalam mencari best evidence, hal yang sering menjadi hambatan dalam
proses pencarian adalah keterbatasan lokasi atau sumber database yang free
accsess terhadap jurnal-jurnal penelitian. Namun demikian seiring dengan
perkembangan teknologi, berikut contoh databased yang free accsess dan
paling banyak dikunjungi oleh tenaga kesehatan yaitu MIDIRS,CINAHL,
Pubmed, cohrane library dan PsycINFO serta Medline. Berikut adalah
contoh pertanyaan EBP beserta data based yang disarankan, diantaranya
adalah (Schneider & Whitehead, 2013).
Beberapa databased yang disebutkan diatas memuat berbagai literatur
kesehatan dari berbagai sumber. Beberapa diantaranya adalah free of charge,
cost, atau keduanya. Seperti misalnya cohrane databased merupakan
organisasi non-profit. Namun demikian jenis informasi yang diberikan adalah
systemayic review, sehingga jumlah informasi yang ditawarkan terbatas atau
dalam jumlah kecil berkisar 3 jutaan citation namun sangat
direkomendasikan untuk menjadi databased pertama dalam mencari jawaban
dari pertanyaan klinis. Sedangkan CINAHL dan MEDLINE merupakan
databased yang paling komprehensif untuk menemukan berbagai jurnal atau
informasi kesehatan baik itu kedokteran, keperawatan, kedokteran gigi
ataupun farmasi dengan berbagai level evidence. MEDLINE merupakan
databasedfree charge yang terhubung dengan Pubmed databased (Dicenso et
al., 2014). Sedangkan CINAHL merupakan konten artikel jurnal, buku,
ataupun disertasi dan bisa temukan baik melalui databased langsung ataukah
melalui MEDLINE. Sedangkan PsycINFO merupakan databased yang lebih
banyak mempublikasikan literatur pendidikan dalam aspek psikologi,
psikiatri, neuroscience untuk pertanyaan klinis. Sedangkan Pubmed
merupakan bibliografic database yang berisi kontenfree akses dan berbayar
serta mempunyai link dengan database MEDLINE(Melnyk et al., 2014).
3. Comparison :
Melakukan kompres dingin pada sendi yang kaku.
4. Outcome :
Masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik dapat teratasi sebagian dengan
kriteria:
a. Klien dapat beraktifitas.
b. Kekakuan sendi menurun.
C. Tinjauan Kasus
1. Deskripsi
Pasien Ny. P, umur : 65 tahun, dengan diagnosa medis diabetes melitus, Ny. P
mengeluh pusing, kadang gliyeng, badan pegel semua, kaki likaten dan leher
cengeng. Kesadaran : kompos mentis, TD : 140/90 mmHg, Pernapasan :
20X/menit, Nadi : 80 X/ menit.
2. Data Fokus
Data Subjektif : Klien mengeluh sendinya terasa kaku Data Objektif : Kekuatan
otot menurun, Pergerakan sendi tampak terbatas.
3. Analisa Data
Problem : Gangguan mobilitas fisik.
Etiologi : Kekakuan sendi.
4. Diagnosa Keperawatan
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan sendi ditandai dengan
klien mengeluh sendinya terasa kaku, kekuatan otot menurun, pergerakan sendi
terbatas.
D. Dasar Pembanding
Dasar pembanding dari masalah keperawatan kurang pengetahuan yaitu dengan
melakukan kompres panas pada sendi dengan melakukan kompres dingin pada
sendi.
E. Implementasi
Melakukan kompres panas pada sendi.
F. Hasil
S:O:A:P Klien
: mengatakan
kekakuan
sendi
berkurang.
Keadaan
umum klien
baik. -
Klien
tampak
pergerakan
sendi
terbatas. -
Masalah
teratasi
sebagian.
Intervensi
dilanjutkan.
G. Diskusi
Laporan Evidenced-Basic Practice pada klien Ny. P dengan diagnosa medis
diabetes melitus, dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan kekakuan sendi ditandai dengan klien mengeluh sendinya
terasa kaku, kekuatan otot menurun, pergerakan sendi terbatas, hal ini
dikarenakan, setelah mengadakan pengkajian hasil dari analisa data, perawat
menganjurkan untuk melakukan kompres panas pada klien diabetes melitus.
Kompres panas yaitu :
Saat otot terasa kaku, nyeri atau cedera yang berkepanjangan, kompres panas
adalah pertolongan pertama yang ideal. Panas cukup efektif meredakan rasa sakit
akibat pergerakan otot yang berlebihan. Kompres dengan menggunakan kantung
atau handuk panas meningkatkan elastisitas jaringan sendi dan menstimulasi
peredaran darah (Hestianingsih, 2013).
Kompres dingin :
Kompres dingin menggunakan es dapat menyebabkan vasokonstriksi
(penyempitan pembuluh darah) sehingga saat terjadi radang atau cedera, proses
vasokonstriksi yang terjadi akan menyebabkan pengurangan bengkak. Selain itu,
peredaran zat-zat dalam darah yang berperan dalam menimbulkan rasa nyeri ke
sendi lutut tersebut juga akan terhenti sehingga rasa nyeri dapat berkurang (Yani,
2016).
Efek fisiologis kompres panas dan dingin
Kompres panas Kompres dingin
Vasodilatasi Vasokontriksi
Meningkatkan Menurunkan
permeabilitas kapiler permeabilitas kapiler
Meningkatkan Menurunkan metabolisme
metabolisme selulas selular
Merelaksasi otot Merelaksasi otot
Menigkatkan inflamasi, Memperlambat
meningkatkan aliran pertumbuhan bakteri,
darah ke suatu area mengurangi inflamasi
Meredakan nyeri dengan Meredakan nyeri dengan
merelaksasi otot membuat area menjadi
mati rasa, memperlambat
aliran impuls nyeri, dan
menigkatkan ambang
nyeri
Efek sedatif Efek anastesi lokal
Mengurangi kekakuan Meredakan perdara
sendi dengan
menurunkan viskositas
cairan senovial
III.3.1 Kesimpulan
Gerontologi adalah istilah luas yang digunakan untuk mendefinisikan studi
tentang penuaan dan / atau usia. termasuk aspek biopsikososial dari penuaan. Geriatri
adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia (lansia) yang mengobati kondisi dan
penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009). Keperawatan gerontik,
didefinisikan sebagai spesialisasi keperawatan tentang praktik mengasuh, merawat,
dan menghibur orang dewasa yang lebih tua.Keperawatan gerontik memiliki tujuan
yaitu untuk memenuhi kenyamanan lansia, mempertahankan fungsi tubuh.
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas (Setianto, 2004). Birren dan jenner (1977)
mengusulkan untuk membedakan usia antara usia biologis, usia psikologis, dan usia
sosial. Usia biologis adalah usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak
lahirnya, berada dalam keadaan hidup, tidak mati. Usia psikologis adalah usia yang
menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian
kepada situasi yang dihadapinya. sedangkan, usia sosial adalah usia yang menunjuk
kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang
sehubungan dengan usianya.
III.3.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar makalah ini dapat dimengerti dan
dipahami dengan baik, sehingga kita dapat mengetahui tentang Konsep Dasar
Keperawatan Gerontik. Agar dapat menjadi pedoman buat kita sebagai perawat
gerontik dimana pun berada.
Daftar Pustaka
Juniarti, Neti, & Kurnianingsih, Sari. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kozier, et al. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik.
(7th ed.). (Vols. 2). Jakarta: EGC.
Maryam, R. S., et al. (2008). Mengenal usia lanjut & perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Miller, C. A. (2012). Nursing for Wellnes in Older Adults, 6th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Touhy, T. A. & Jett, K. F. (2014). Ebersole and Hess Gerontological Nursing & Healthy
Aging, 4th edition. Missouri: Elsevier Mosby.
Efendi, Ferry & Makhfud. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.