Anda di halaman 1dari 48

KASUS II

Keperawatan Gerontik

Disusun guna untuk memenuhi tugas Keperawatan Gerontik

Dosen pengampu: Ns. Diah Ratnawati, S. Kep., M. Kep., Sp. Komunitas

Disusun oleh:

Davita Aprilia P : 1610711107

Susilawati : 1610711108

Dini Aulia R : 1610711109

Maya Suryawanti : 1610711112

Siti Anisatur R : 1610711113

Santi Sri H : 1610711120

Juliant Immanuel. H. D. G : 1610711121

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA 2019
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.

Makalah yang berjudul Kasus II Keperawatan Gerontik ini ditulis untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik. Dalam penyusunan makalah ini penulis
sadar karna kemampuan penulis sangat terbatas. Makalah ini masih mengandung banyak
kekurangan, untuk itu harapan penulis para pembaca bersedia memberi saran dan pendapat
untuk makalah ini.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan
dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Depok, 05 Mei 2019

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................i

Daftar Isi ...................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

I.1.1 Latar Belakang ...................................................................................1

I.1.2 Tujuan Penulisan ...............................................................................1

I.1.3 Rumusan Masalah..............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

II.2.1 Konsep Gerontologi dan Geriatrik ....................................................3

II.2.2 Gerontologi Keperawatan .................................................................3

II.2.3 Praktek dan Pendidikan Keperawatan Gerontik ..............................4

II.2.4 Peran Perawat Gerontology ..............................................................6

II.2.5 Evidence Based Practice Untuk Keperawatan Gerontik ..................7

II.2.6 Perkembangan Keperawatan Gerontik .............................................12

II.2.7 Pengertian Lansia dan Batasan Usia Lanjut .....................................13

II.2.8 Berbagai Setting Perawatan Kesehatan Bagi Lansia ........................15

BAB III PENUTUP

III.3.1 Kesimpulan .......................................................................................31

III.3.2 Saran .................................................................................................31

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

I.1.1 Latar Belakang


Lansia merupakan proses penuaan dengan bertambahnya usia individu yang
ditandai dengan penurunan fungsi organ tubuh seperti otak, jantung, hati dan ginjal
serta peningkatan kehilangan jaringan aktif tubuh berupa otot-otot tubuh. Penurunan
fungsi organ tubuh pada lansia akibat dari berkurangnya jumlah dan kemampuan sel
tubuh, sehingga kemampuan jaringan tubuh untuk mempertahankan fungsi secara
normal menghilang, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Fatmah, 2010).
Lansia merupakan masa manusia menapaki kehidupan menjelang kahir hayat.
Keadaan ini identik dengan perubahan-perubahan yang mencolok pada fisik maupun
psikis manusia tersebut.
Proses penuaan pasti terjadi baik perempuan maupun laki-laki, juga pada semua
makhluk hidup. hingga kini belum ditemukannya cara untuk mencegah
prosespenuaan. Penyebab penuaan adalah mulai berkurangnya proses
pertumbuhan,pembelahan sel, dan berkurangnya proses metabolisme tubuh.
Akibatnya, terjadigangguan terhadap kulit, selaput lendir, tulang, sistem pembuluh
darah, aliran darah,metabolisme vitamin, dan fungsi otak.
(sampai disini)
I.1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep gerontologi dan geriatrik.
2. Untuk mengetahui gerontology keperawatan.
3. Untuk mengetahui praktek dan pendidikan keperawatan gerontik.
4. Untuk mengetahui peran perawat gerontology.
5. Untuk mengetahui evidence based practice keperawatan gerontik.
6. Untuk mengetahui perkembangan keperawatan gerontik.
7. Untuk mengetahui pengertian lansia dan batasan usia.
8. Untuk mengetahui berbagai setting perawatan kesehatan bagi labisa (acute care
setting, nursing home setting dan home care services)
I.1.3 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dari konsep gerontologi dan geriatrik?
2. Apa yang dimaksud dari gerontology keperawatan?
3. Apa asaja praktek dan pendidikan dari keperawatan gerontik?
4. Apa saja peran perawat gerpntology?
5. Apa yang dimaksud dengan evidence based practice untuk keperawatan gerontik?
6. Bagaimana perkembangan keperawatan gerontik?
7. Apa yang dimaksud dari pengertian lansia dan sebutkan batasan usia dari
keperawatan gerontik?
8. Bagaimana setting perawatan kesehatan bagi lansia (acute care setting, nursing
home setting dan home care services)?

BAB II
TINJAUAN TEORI

II.2.1 Konsep Gerontologi dan Geriatrik


A. Konsep Gerontology
Gerontologi merupakan studi ilmiah tentang efek penuaan dan penyakit yang
berhubungan dengan penuaan pada manusia, meliputi aspek biologis, fisiologis,
psikososial, dan aspek rohani dari penuaan. Penuaan merupakan proses yang
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat terjadi pada semua
orang pada saat mereka mencapai tahap perkembangan kronologis tertentu.
(Stanley, 2007).
Gerontologi ialah studi tentang penuaan dan orang dewasa yang lebih tua,yang
bersifat multidisiplin berbagai bidang seperti keperawatan, psikologi, pekerjaan
sosial dan profesi kesehatan tertentu (Miller, 2012).
Gerontologi merupakan studi holistik tentang proses penuaan dan individu
sepanjang kehidupan mereka untuk mengetahui perubahan fisik, mental, sosial,
analisis perubahan masayarakat dan penerapan pengetahuan ini ke kebijakan dan
program pengembangan. Fokus dari keperawatan gerontologi adalah untuk
mempelajari, mendiagnosis, dan mengobati penyakit (Tabloski, 2014).
Gerontologi adalah istilah luas yang digunakan untuk mendefinisikan studi
tentang penuaan dan / atau usia. termasuk aspek biopsikososial dari penuaan.

B. Konsep Geriatrik
Geriatri adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia (lansia) yang mengobati
kondisi dan penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009).
Menurut bahasa Geriatrik berasal dari kata "Geros" = tua, iatria = to care, jadi
Geriatrik adalah perawatan usia lanjut.
Menurut UU RI No. 13 tahun 1998, lansia adalah seseorang yang telah
mencapai umur 60 tahun ke atas.

II.2.2 Gerontology Keperawatan


Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
didasarkan pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang bersifat konprehensif terdiri
dari bio-psiko-sosio-spritual dan kultural yang holistik, ditujukan pada klien lanjut
usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat (UU RI No.38 tahun 2014). Pengertian lain dari keperawatan gerontik
adalah praktek keperawatan yang berkaitan dengan penyakit pada proses menua
(Kozier, 1987).
Keperawatan gerontologis, adalah aspek gerontologi yang termasuk dalam
disiplin keperawatan dan ruang lingkup praktik keperawatan. Ini melibatkan perawat
yang mengadvokasi kesehatan orang tua di semua tingkatan pencegahan. Perawat
klinis bekerja dengan orang tua yang sehat di komunitas mereka, orang tua yang sakit
akut yang membutuhkan rawat inap dan perawatan, dan lansia yang sakit kronis atau
cacat dalam fasilitas perawatan jangka panjang, perawatan terampil, perawatan di
rumah, dan rumah sakit. Ruang lingkup praktik keperawatan gerontologis mencakup
semua orang dewasa yang lebih tua dari saat “usia tua” hingga kematian. (Mauk, K.L
2014)
Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
didasarkan pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang bersifat konprehensif terdiri
dari bio-psiko-sosio-spritual dan kultural yang holistik, ditujukan pada klien lanjut
usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat (UU RI No.38 tahun 2014).
Keperawatan gerontik, didefinisikan sebagai spesialisasi keperawatan tentang
praktik mengasuh, merawat, dan menghibur orang dewasa yang lebih
tua.Keperawatan gerontik memiliki tujuan yaitu untuk memenuhi kenyamanan lansia,
mempertahankan fungsi tubuh.

II.2.3 Praktek dan Pendidikan Keperawatan Gerontik


Karena perkembangan dan pertumbuhan gerontologis keperawatan sebagai
spesialisasi, sekarang diakui secara luas bahwa semua perawat yang bekerja dengan
orang dewasa harus kompeten dalam menangani masalah kesehatan unik orang
dewasa yang lebih tua. Sebagai contoh, selama 1990-an, Asosiasi Gerontologi di
Tinggi Pendidikan, Liga Nasional untuk Keperawatan, dan Biro Profesi Kesehatan
mengidentifikasi kurikulum inti dan terminal tujuan untuk perawat profesional tingkat
pemula di bidang keperawatan gerontologis. Kompetensi ini, Dewasa Tua:
Kompetensi dan Kurikulum Baccalaureate yang Direkomendasikan Pedoman untuk
Perawatan Perawat Geriatrik, pertama kali diterbitkan pada tahun 2000 dan diperbarui
secara berkala.
The Comprehensive Geriatric Education Program (Program Pendidikan
Geriatrik Komprehensif) (CGEP) disahkan melalui Nurse Reinvestment Act of 2002
untuk meningkatkan pendidikan profesional kesehatan yang peduli orang tua. Selama
5 tahun pertama program ini, hampir 20.000 perawat, mahasiswa keperawatan, dan
profesional perawatan kesehatan lainnya menerima pelatihan dan pendidikan dalam
perawatan yang lebih tua orang dewasa (Douglas-Kersellius, 2009). Meskipun upaya
meningkat untuk memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan yang unik dari orang
dewasa yang lebih tua, Institute of Medicine menerbitkan laporan pada tahun 2008
yang menekankan masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa
semua professional kompeten untuk merawat orang dewasa yang lebih tua (Akademi
Nasional Ilmu, 2008).
Salah satu cara meningkatkan kompetensi perawat dalam merawat lansia orang
dewasa melalui program pendidikan berkelanjutan. Artikel keperawatan oleh Barba
and Fay (2009); Kowlowitz, Davenport, dan Palmer (2009); dan McConnell et al.
(2009) menggambarkan model untuk melanjutkan pendidikan keperawatan
gerontologis. Sebagai tambahan, Palmer dkk. (2008) menggambarkan simulasi klinis
itu dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan keperawatan geriatri. Ini simulasi
peer-review, dikembangkan sebagai bagian dari Kesehatan Layanan dan Administrasi
Sumber Daya hibah, fokus pada kepedulian untuk orang dewasa yang tiba-tiba
mengalami perubahan kesehatan status, eksaserbasi kondisi kronis, atau sentinel acara
seperti jatuh. Evaluasi menemukan bahwa perawat menikmati menggunakan simulasi,
melaporkan peningkatan kompetensi klinis, dan secara signifikan meningkatkan
pengetahuan mereka (Kowlowitz et al., 2009).
Sejak awal 1990-an, Yayasan John A. Hartford telah menunjukkan komitmen
utama untuk meningkatkan keperawatan merawat orang dewasa yang lebih tua
melalui banyak inisiatif yang diarahkan peningkatan pengetahuan keperawatan dan
klinis berbasis bukti praktek. Pada tahun 1992, yayasan ini mendanai inisiatif besar
disebut Nurses Improving Care to the Hospitalized Elderly (NICHE).. Program
NICHE sedang berlangsung dan mencakup lebih banyak dari 225 rumah sakit
nasional. Itu telah terbukti membaik kualitas perawatan untuk orang dewasa yang
lebih tua serta kepuasan kerja untuk perawat. Studi hasil di rumah sakit NICHE telah
menunjukkan perbaikan dalam perawatan klinis, efektivitas biaya, keperawatan
pengetahuan, dan persepsi perawat tentang keperawatan geriatric mempraktikkan
lingkungan dan kualitas perawatan geriatri (Boltz et al.,2008). Pada 2007, Yayasan
Hartford bekerja sama dengan American Journal of Nursing untuk mengembangkan
dan menyebarluaskan serangkaian 28 artikel berbasis web gratis dan sesuai video
yang dapat digunakan perawat dan mahasiswa keperawatan untuk ditingkatkan
perawatan mereka terhadap orang dewasa yang lebih tua.
1. Kompetensi perawat gerontik

NO PROFIL DESKRIPSI PROFIL


LULUSAN

1 Care Provider Pemberi asuhan keperawatan


Penghubung interaksi dan transaksi antara klien dan
2 Community Leader keluarga
dengan tim kesehatan
Pendidik dan promotor kesehatan bagi klien, keluarga
3 Educator dan
masyarakat
Manager atau pemimpin praktik/ruangan pada tatanan
4 Manager
rumah sakit maupun masyarakat
Peneliti pemula yang mampu melakukan penelitian
5 Researcher
sederhana sesuai metode penelitian ilmiah.

2. Kompetensi Askep

PERAN TUGAS KETRAMPILAN


Mengelola askep pada A. Mengkaji status kesehatan 1. Mengeksplorasi data
klien lanjut usia di dalam klien 2. Menvalidasi data
keluarga a. Pengkajian MMSE 3. Menginterpretasi data
yang mengalami masalah b. Pengkajian SPMSQ 4. Menganalisa data
kesehatan c. Apgar Lansia
d. Pengkajian Skala
Depresi
e. Pengkajian Katz Indeks
f. Pengkajian Skala Norton
g. Pengkajian Screening
Fall

B. Merumuskan diagnosa
keperawatan 1.Merumuskan
diagnosa
keperawatan
2.Memprioritaskan
masalah
C. Menyusun rencana 1. Menentukan tujuan
perawatan dan implemetasi 2. Menentukan kriteria
hasil
a. Manajemen nyeri 3.Menentukan
b. Menghitung status rencana keperawatan
nutrisi 4.Melaksanakan
c. ROM tindakan keperawatan
d. Keagle Exercise 5.Memberikan
e. Pendidikan Kesehatan pendidikan
f. Senam Lansia kesehatan
(Kelompok)
g. TAK (Kelompok)

D. Mengevaluasi asuhan 1.Memantau


keperawatan perkembangan klien
2. Mengevaluasi
perkembangan
klien
E. Melakukan dokumentasi 1. Mendokumentasikan
asuhan keperawatan asuhan
keperawatan

II.2.4 Peran Perawat Gerontology


1. Healer
Pada tahun 1800 peran perawat ini telah ditunjukan oleh tulisan “Florence
Nightingale’s” tentang perawat itu harus “put the patient in the best condition for
nature to act upon him “( Nightingale, 1946). Peran perawat ‘healer’
menempatkan klien/individu dalam kondisi yang terbaik dan perawat berperan
dalam hal:
a. Penyembuhan penyakit.
b. Mengembalikan fungsi secara optimal
c. Memberikan menjelaskan tentang pengertian dan tujuan hidup.
d. Membantu mobilisasi/peran serta sumber-sumber internal dan eksternal.

Dalam ‘healer role’‘ perawat gerontologi harus dipandang sebagai manusia


yang menghargai terhadap kesehatan sehingga dengan peran tersebut perawata
ikut bertangungjawab dan berpartisipasi aktif untuk mempertahankan kesehatan
dan penanganan terhadap penyakit. Untuk mengoptimalkan peran ini perawat
harus memandang klien dan berbagai aspek seperti: biologi, emasional, sosial,
kultural dan spiritual.

2. Implementor
Peran perawat gerontologi disini identik dengan peran ‘provider’ yang lebih
banyak dalarn memberikan pelayanan dibandingkan dengan tim kesehatan yang
lain.Perawat dituntut mampu mengunakan teori-teori gerontologi dalam
menerapkan proses keperawatan terhadap usia lanjut. Didalarn peran mi klien dan
keluarganya dituntut berperan aktif. Meskipun ‘body of knowlegde’ geriatric dan
gerontology telah berkembang tetapi dalam mengoptimalkan peran implementor
masih membutuhkan informasi-informasi yang sangat diperlukan terutama yang
berkaitan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang mempunyai relevansi dalam
rentang kehidupan usia lanjut sehingga proses keperawatan yang dihasilkan akan
semakin optimal pula.
3. Edukator
Peran perawat gerontologi dituntut mampu mengunakan fasilitas yang formal
atau non formal dalam mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan sebagai
pemben pelayanan terhadap usia lanjut. Pengetahuan ( seperti patofisiologi,
famakoIogi dll) dan ketrampilan yang diperoleh akan bermanfaaat untuk
memahami terjadinya proses menua sehingga peran perawat sebagai edukator
akan lebih komunikatif dan efektif. Peran mi sangat membutuhkan prinsip-prinsip
komunikasi yang efektif yang meliputi: listening, interacting, clarifying,
validating dan evaluating.
4. Advocate
Peran ‘advocate’ sebagai perawat dapat berupa usaha perawat untuk
membantu klien mendapatkan haknya sebagai klien, rnendapatkan pelayanan
yang seharusnya didapatkan, rnemperjuangkan kepentingan usia lanjut.
5. Innovator
Perawat gerontologi harus mengembangkan secara kontinue dan mengarah ke
spesialisasi bahkan dapat mengunakan kesempatan untuk mengunakan tehnologi
yang baru dalam rneningkatkan pelayanan kesehatan terhadap usia lanjut. ‘Jiwa
ingin tahu harus dirniliki oleh perawat gerontologi agar dalam membuat
keputusan dan mengernbangkan melalui eksperimen-eksperimen dapat
meningkatkan kualitas praktek keperawatan gerontologi.

II.2.5 Evidence Based Practice Keperawatan Gerontik


A. Pengertian Evidence Based Practice
EBP merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini
untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial,
psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya
(Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al., 2000).
Menurut (Goode & Piedalue, 1999) : Praktik klinis berdasarkan bukti melibatkan
temuan pengetahuan dari penelitian, review atau tinjauan kritis. EBP didefinisikan
sebagai intervensi dalam perawatan kesehatan yang berdasarkan pada fakta
terbaik yang didapatkan. EBP merupakan proses yang panjang, adanya fakta dan
produk hasil yang membutuhkan evaluasi berdasarkan hasil penerapan pada
praktek lapangan.
EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk pengambilan
keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang terintegrasi di dalamnya
adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada dengan pengalaman dan bukti-bukti
nyata yang baik (pasien dan praktisi). EBP dapat dipengaruh oleh faktor internal
dan external serta memaksa untuk berpikir kritis dalam penerapan pelayanan
secara bijaksana terhadadap pelayanan pasien individu, kelompok atau system
(newhouse, dearholt, poe, pough, & white, 2005).
Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP) adalah
tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan bukti (berbasis
bukti) yang berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk
menuntun pengambilan keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP
merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk
membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial,
psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya
(Briggs & Rzepnicki, 2004; Brownson et al., 2002; Sackett et al., 2000).
EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur, merupakan
proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan fakta terbaik untuk
pengembangan dan peningkatan pada praktek lapangan. Pencetus dalam
penggunaan fakta menjadi pedoman pelaksanaan praktek dalam memutuskan
untuk mengintegrasikan keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik
berdasarkan penelitian sistematik.
Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai:
1. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan praktek klinis
ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam keputusan klinis (Mulhall,
1998).
2. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian
secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan tentang
pemberian asuhan keperawatan pada individu atau sekelompok pasien dan
dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari pasien tersebut
(Ingersoll G, 2000).

B. Evidence Based Keperawatan Gerontik


Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme
yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta
menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang
disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan
saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara
linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.
Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status kesehatan
lansia yang lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia lebih tinggi
dibanding masa-masa sebelumnya. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam
kurun waktu tahun 1990-2025, tergolong tercepat di dunia . Pada tahun 2002,
jumlah lansia di Indonesia berjumlah 16 juta dan diproyeksikan akan bertambah
menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau sebesar 11,37 % penduduk dan ini
merupakan peringkat keempat dunia, dibawah Cina, India dan Amerika Serikat .
Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS tahun 1998 masing-
masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di atas berbeda
dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata
adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103 dunia.
Data statistik tersebut mengisyaratkan pentingnya pengembangan keperawatan
gerontik di Indonesia. Walaupun secara historis, jauh sebelum keperawatan
gerontik berkembang menjadi sebuah spesialisasi pada dasarnya keperawatan
memiliki peran yang besar terhadap pemberian pelayanan keperawatan bagi
lansia. Fokus asuhan keperawatan pada lansia ditujukan pada dua kelompok
lansia, yaitu (1) lansia yang sehat dan produktif, dan (2) lansia yang memiliki
kerentanan tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai melemah, sakit-
sakitan, dan daya pikir menurun . Pemberian asuhan keperawatan bagi kedua
kelompok tersebut bertujuan untuk memenuhi harapan-harapan yang diinginkan
oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan produktif dalam tiga
dimensi, yaitu fisik, fungsional, dan kognitif. Berbagai penelitian melaporkan
bahwa peningkatan kualitas ketiga dimensi tersebut dapat meningkatkan harapan
hidup lansia yang lebih sehat.

C. Penelitian
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu keperawatan merupakan bagian yang
esensial dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan termasuk
pula keperawatan gerontik. Peningkatan kualitas tersebut hendaknya sejalan
dengan penerapan praktik keperawatan yang didasarkan pada fakta (evidence-
based practice for nursing). Menurut Loiselle et. al (2004), praktik keperawatan
berdasarkan fakta merupakan upaya pemanfaatan hasil penelitian (fakta empiris)
klinik keperawatan yang terbaik guna menentukan sebuah keputusan dalam
intervensi keperawatan . Praktik keperawatan berdasarkan fakta memberikan
kerangka kerja dan proses penggabungan hasil penelitian dan preferensi klien
yang sistematis dalam pengambilan keputusan klinik, baik di tingkat individu
maupun organisasi pelayanan kesehatan . Fakta empiris tersebut bersumber dari
temuan penelitian-penelitian keperawatan yang relevan. Fakta terbaiklah yang
akan digunakan sebagai pedoman dalam menentukan pendekatan terhadap klien,
keputusan klinik, dan tindakan keperawatan. Sedangkan fakta terbaik adalah
rangkaian tindakan yang paling efisien, efektif, dan aman bagi klien. Bila perawat
telah memiliki budaya kerja yang ilmiah, dimana ia selalu mencari pembenaran
tindakan yang dilakukannya melalui pemanfaatan hasil-hasil penelitian maka
diharapkan akan didapatkan hasil perawatan yang lebih baik. Karena dalam
praktik keperawatan tidak ada ruang sedikit pun yang diperkenankan bagi
tindakan trial and error. Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan
merupakan upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan yang
berorientasi pada efektifitas biaya (cost effectiveness). Meningkatkan penelitian
keperawatan dan menerapkan hasilnya dalam praktek keperawatan merupakan
kebutuhan mendesak untuk membangun praktek keperawatan yang efektif.
Menurut studi terhadap berbagai laporan penelitian keperawatan (meta-analysis)
yang dilakukan oleh Heater, Beckker, dan Olson (1988), menyatakan bahwa
pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan yang bersumber dari penelitian
memiliki out come yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang hanya
mendapatkan intervensi standar.
Terdapat banyak model proses penerapan hasil penelitian dalam lingkup
pelayanan keperawatan yang telah disusun oleh para ahli, misalnya model
Rosswurm dan Larrabee , model Iowa , model Children’s Hospital of Philadelphia
, model Aurora , model Stetler , model Diffusion of Innovation, model Research
Nurse Intern Program , atau model Process of Research Utilization. Prioritas
penelitian Bidang Keperawatan Gerontik. Keperawatan Gerontik secara holistik
menggabungkan aspek pengetahuan dan keterampilan dari berbagai macam
disiplin ilmu dalam memeprtahankan kondisi kesehatan fisik mental, sosial, dan
spritual (lihat gambar 2). Hal ini diupayakan untuk memfasilitasi lansia kearah
perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada
pemulihan kesehatan, memaksimalkan kualitas hidup lansia baik dalam kondisi
sehat, sakit maupun kelemahan serta memberikan rasa aman, nyaman, terutama
dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik diharapkan dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan teknik maupun
mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas. Namun dalam menyusun
prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara kebutuhan untuk menambah ilmu
dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas, efektifitas,
efesienso, dan kepatutan pelayanan. Dalam mengembangkan penelitian tersebut,
kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-aspek kritis yang ada dalam
keperawatan gerontik. Tulisan ini mencoba untuk merangkaikan usulan prioritas
penelitian di bidang keperawatan gerontik. Ada enam aspek utama yang perlu
dikaji mengingat sampai saat ini penelitian-penelitian keperawatan terutama di
dalam negeri masih sedikit, dan apabila ada penelitian tersebut jarang
dipublikasikan.

D. Area Prioritas
1. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu maupun
kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. Sub area prioritas:
Ventilasi dan sirkulasi, Nutrisi, Ekskresi, Aktifitas dan istirahat, Stimulasi
mental, Tidur, Masalah kardiovaskuler, Masalah penyakit vaskulerisasi
perifer, Masalah respiratori, Masalah gastrointestinal, Masalah diabetes,
Masalah muskuloskeletal, Masalah genitourinary, Masalah neurology,
masalah menurunnya fungsi sensorik. Masalah dermatology, Masalah
kesehatan mental, Tindakan operatif & dampaknya, Paliative care, Manajemen
nyeri, Rehabilitasi, Perawatan diri dan higienitas, Pengawasan menelan obat.
2. Parameter & hasil (outcome) intervensi klinis yang spesifik. Sub area
prioritas: Diagnosis keperawatan yang spesifik, Pengembangan alat ukur
geriatrik (contoh Iowa Index of Geriatric Assessment Tools dapat diakses di
http://www.uiowa.edu).
3. Faktor-faktor organisasi yang berdampak pada sistem pelayanan dan kinerja,
Sub area prioritas: Peran kolaborasi, Model perawatan di rumah (home care),
Model perawatan di rumah sakit (hospital care), Model perawatan di panti
jompo (institutional care), Model perawatan jangka panjang (long-term care),
Nursing agency, Team work.
4. Faktor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub area
prioritas: Aspek legal : kebijakan & regulasi, Kelenturan kesehatan yang
berbasis budaya & kepercayaan, Sosial ekonomi, Konsep-konsep gerontologi
(aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek
psikologis, aspek fisiologis, & aspek sosial).
5. Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psikososial. Sub area
prioritas: Penilaian status fungsional, Psikologis, Senile dementia
,Olah raga, Rekreasi, Upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, Interaksi
sosial, Spiritual, Manajemen Stress, Sakaratul maut, Support keluarga,
Aktifitas dan disfungsi seksual.
6. Promosi kesehatan. Sub area prioritas: Pesan, Teknologi

E. Langkah-langkah dalam proses EBP


Berdasarkan (Melnyk et al., 2014) ada beberapa tahapan atau langkah dalam
proses EBP. Tujuh langkah dalam evidence based practice (EBP) dimulai dengan
semangat untuk melakukan penyelidikan atau pencarian (inquiry) personal. Budaya EBP
dan lingkungan merupakan faktor yang sangat penting untuk tetap mempertahankan
timbulnya pertanyaan-pertanyaan klinis yang kritis dalam praktek keseharian. Langkah-
langkah dalam proses evidance based practice adalah sebagai berikut:
1. Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry)
2. Mengajukan pertanyaan PICO(T) question
3. Mencari bukti-bukti terbaik
4. Melakukan penilaian (appraisal) terhadap bukti-bukti yang ditemukan
5. Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk membuat
keputusan klinis terbaik
6. Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP
7. Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)

Jika diuraikan 7 langkah dalam proses evidence based practice adalah sebagai
berikut:
1. Menumbuhkan semangat penyelidikan (inquiry)
Inquiry adalah semangat untuk melakukan penyelidikan yaitu sikap
kritis untuk selalu bertanya terhadap fenomena-fenomena serta kejadian-
kejadian yang terjadi saat praktek dilakukan oleh seorang klinisi atau petugas
kesehatan dalam melakukan perawatan kepada pasien. Namun demikian,
tanpa adanya budaya yang mendukung, semangat untuk menyelidiki atau
meneliti baik dalam lingkup individu ataupun institusi tidak akan bisa
berhasil dan dipertahankan.
Elemen kunci dalam membangun budaya EBP adalah semangat untuk
melakukan penyelidikan dimana semua profesional kesehatan didorong
untuk memepertanyakan kualitas praktek yang mereka jalankan pada saat ini,
sebuah pilosofi, misi dan sistem promosi klinis dengan mengintegrasikan
evidence based practice, mentor yang memiliki pemahaman mengenai
evidence based practice, mampu membimbing orang lain, dan mampu
mengatasi tantangan atau hambatan yang mungkin terjadi, ketersediaan
infrastruktur yang mendukung untuk mencari informasi atau lieratur seperti
komputer dan laptop, dukungan dari administrasi dan kepemimpinan, serta
motivasi dan konsistensi individu itu sendiri dalam menerapkan evidence
based practice (Tilson et al, 2011).
2. Mengajukan pertanyaan PICO (T) question
Menurut (Newhouse et al., 2007) dalam mencari jawaban untuk
pertanyaan klinis yang muncul, maka diperlukan strategi yang efektif yaitu
dengan membuat format PICO. P adalah pasien, populasi atau masalah baik
itu umur, gender, ras atapun penyakit seperti hepatitis dll. I adalah intervensi
baik itu meliputi treatment di klinis ataupun pendidikan dan administratif.
Selain itu juga intervensi juga dapat berupa perjalanan penyakit ataupun
perilaku beresiko seperti merokok. C atau comparison merupakan intervensi
pembanding bisa dalam bentuk terapi, faktor resiko, placebo ataupun non-
intervensi. Sedangkan O atau outcome adalah hasil yang ingin dicari dapat
berupa kualitas hidup, patient safety, menurunkan biaya ataupun
meningkatkan kepuasan pasien. (Bostwick et al., 2013) menyatakan bahwa
pada langkah selanjutnya membuat pertanyaan klinis dengan menggunakan
format PICOT yaitu P(Patient atau populasi), I(Intervention atau tindakan
atau pokok persoalan yang menarik), C(Comparison intervention atau
intervensi yang dibandidngkan), O(Outcome atau hasil) serta T(Time frame
atau kerangka waktu). Contohnya adalah dalam membentuk pertanyaan
sesuai PICOT adalah pada Mahasiswa keperawatan(population) bagaimana
proses pembelajaran PBL tutotial (Intervention atau tindakan) dibandingkan
dengan small group discussion (comparison atau intervensi pembanding)
berdampak pada peningkatan critical thinking (outcome) setelah pelaksanaan
dalam kurun waktu 1 semester (time frame). Ataupun dalam penggunaan
PICOT non intervensi seperti bagaimana seorang ibu baru (Population) yang
payudaranya terkena komplikasi (Issue of interest) terhadap kemampuannya
dalam memberikan ASI (Outcome) pada 3 bulan pertama pada saat bayi baru
lahir. Hasil atau sumber data atau literatur yang dihasilkan akan sangat
berbeda jika kita menggunakan pertanyaan yang tidak tepat makan kita akan
mendapatkan berbagai abstrak yang tidak relevan dengan apa yang kita
butuhkan (Melnyk & Fineout, 2011).
Sedangkan dalamlobiondo & haber, (2006) dicontohkan cara
memformulasikan pertanyaan EBP yaitu pada lansia dengan fraktur
hip(patient/problem), apakah patient-analgesic control (intervensi) lebih
efektif dibandingkan dengan standard of care nurse administartif
analgesic(comparison) dalam menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan
LOS (Outcome).
3. Mencari bukti-bukti terbaik
Kata kunci yang sudah disusun dengan menggunakan picot digunakan
untuk memulai pencarian bukti terbaik. Bukti terbaik adalah dilihat dari tipe
dan tingkatan penelitian. Tingkatan penelitian yang bisa dijadikan evidence
atau bukti terbaik adalah meta-analysis dan systematic riview. Systematic
riview adalah ringkasan hasil dari banyak penelitian yang memakai metode
kuantitatif. Sedangkan meta-analysis adalah ringkasan dari banyak penelitian
yang menampilkan dampak dari intervensi dari berbagai studi. Namun jika
meta analisis dan systematic riview tidak tersedia maka evidence pada
tingkatan selanjutnya bisa digunakan seperti RCT. Evidence tersebut dapat
ditemukan pada beberapa data base seperti CINAHL, MEDLINE, PUBMED,
NEJM dan COHRANE LIBRARY (Melnyk & Fineout, 2011).
Ada 5 tingkatan yang bisa dijadikan bukti atau evidence (Guyatt&Rennie,
2002) yaitu:
a. Bukti yang berasal dari meta-analysis ataukah systematic riview.
b. Bukti yang berasal dari disain RCT.
c. Bukti yang berasal dari kontrol trial tanpa randomisasi.
d. Bukti yang berasal dari kasus kontrol dan studi kohort.
e. Bukti dari systematic riview yang berasal dari penelitian kualitatif dan
diskriptif.
f. Bukti yang berasal dari single-diskriptif atau kualitatif study
g. Bukti yang berasal dari opini dan komite ahli.

Dalam mencari best evidence, hal yang sering menjadi hambatan dalam
proses pencarian adalah keterbatasan lokasi atau sumber database yang free
accsess terhadap jurnal-jurnal penelitian. Namun demikian seiring dengan
perkembangan teknologi, berikut contoh databased yang free accsess dan
paling banyak dikunjungi oleh tenaga kesehatan yaitu MIDIRS,CINAHL,
Pubmed, cohrane library dan PsycINFO serta Medline. Berikut adalah
contoh pertanyaan EBP beserta data based yang disarankan, diantaranya
adalah (Schneider & Whitehead, 2013).
Beberapa databased yang disebutkan diatas memuat berbagai literatur
kesehatan dari berbagai sumber. Beberapa diantaranya adalah free of charge,
cost, atau keduanya. Seperti misalnya cohrane databased merupakan
organisasi non-profit. Namun demikian jenis informasi yang diberikan adalah
systemayic review, sehingga jumlah informasi yang ditawarkan terbatas atau
dalam jumlah kecil berkisar 3 jutaan citation namun sangat
direkomendasikan untuk menjadi databased pertama dalam mencari jawaban
dari pertanyaan klinis. Sedangkan CINAHL dan MEDLINE merupakan
databased yang paling komprehensif untuk menemukan berbagai jurnal atau
informasi kesehatan baik itu kedokteran, keperawatan, kedokteran gigi
ataupun farmasi dengan berbagai level evidence. MEDLINE merupakan
databasedfree charge yang terhubung dengan Pubmed databased (Dicenso et
al., 2014). Sedangkan CINAHL merupakan konten artikel jurnal, buku,
ataupun disertasi dan bisa temukan baik melalui databased langsung ataukah
melalui MEDLINE. Sedangkan PsycINFO merupakan databased yang lebih
banyak mempublikasikan literatur pendidikan dalam aspek psikologi,
psikiatri, neuroscience untuk pertanyaan klinis. Sedangkan Pubmed
merupakan bibliografic database yang berisi kontenfree akses dan berbayar
serta mempunyai link dengan database MEDLINE(Melnyk et al., 2014).

Dalam (Kluger, 2007) dicontohkan cara melakukan pencarian evidence dari


beberapa sumber atau databased yang ada yaitu:
a. Memilih databased (CINAHL, Medline etc)
b. Menerjemahkan istilah atau pertanyaan kedalam perbendaharaan kata
dalam database, sebagai contoh fall map menjadi accidental fall
c. Menggunakan limit baik dalam jenis, tahun dan umur
Limit atau membatasi umur seperti aged, 45 and over, limit tipe
publikasi seperti “metaanalisis atau systematic review”, dan limit tahun
publikasi seperti 2010-2015
d. Membandingkan dengan database yang lain seperti cohrane, psycINFO
e. Melakukan evaluasi hasil, ulangi ke step 2 jika diperlukan

Sedangkan menurut (Newhouse, 2007) langkah-langkah atau strategi mencari


informasi melalui databased diantaranya adalah:
a. Mencari kata kunci, sinonim, atau yang mempunyai hubungan dengan
pertanyaan yang sudah disusun dengan PICO format
b. Menentukan sumber atau database terbaik untuk mencari informasi yang
tepat
c. Mengembangkan beberapa strategi dalam melakukan pencarian dengan
controlled vocabularries, menggunakan bolean operator, serta limit.
controlled vocabularries yang dapat menuntun kita untuk memasukkan
input yang sesuai dengan yang ada pada database. Seperti misalnya
MeSH pada Pubmed serta CINAHL Subject Heading pada database
CINAHL. menggunakan bolean operator misalnya AND, OR, NOT.
AND untuk mencari 2 tema atau istilah, OR untuk mencari selain dari
salah satu atau kedua istilah tersebut. Namun jika dikombinasikan
dengan controlled vocabularries, OR akan memperluas pencarian, serta
AND akan mempersempit pencarian. Setelah itu untuk lebih spesifik dan
fokus lagi dapat digunakan dengan menggunakan limit yang sesuai
seperti umur, bahasa, tanggal publikasi. Contohnya adalah limit terakhir
5 tahun untuk jurnal atau english or american only.
d. Melakukan evaluasi memilih evidence dengan metode terbaik dan
menyimpan hasil
4. Melakukan penilaian apprasial terhadap bukti-bukti yang ditemukan
Setelah menemukan evidence atau bukti yang terbaik, sebelum di
implementasikan ke institusi atau praktek klinis, hal yang perlu kita lakukan
adalah melakukan appraisal atau penilaian terhadap evidence tersebut. Untuk
melakukan penilaian ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
diantaranya adalah (Polit & Beck, 2013):
a. Evidence quality adalah bagaimana kualitas bukti jurnal tersebut?
(apakah tepat atau rigorous dan reliable atau handal)
b. What is magnitude of effect? (seberapa penting dampaknya?)
c. How pricise the estimate of effect? Seberapa tepat perkiraan efeknya?
d. Apakah evidence memiliki efek samping ataukah keuntungan?
e. Seberapa banyak biaya yang perlu disiapkan untuk mengaplikasikan
bukti?
f. Apakah bukti tersebut sesuai untuk situasi atau fakta yang ada di klinis?

Sedangkan kriteria penilaian evidence menurut (Bernadette & Ellen, 2011)


yaitu:
a. Validity.
Evidence atau penelitian tersebut dikatakan valid adalah jika penelitian
tersebut menggunakan metode penelitian yang tepat. Contohnya adalah
apakah variabel pengganggu dan bias dikontrol dengan baik, bagaimana
bagaimana proses random pada kelompok kontrol dan intervensi, equal
atau tidak.
b. Reliability
Reliabel maksudnya adalah konsistensi hasil yang mungkin didapatkan
dalam membuat keputusan klinis dengan mengimplementasikan
evidence tersebut, apakah intervensi tersebut dapat dikerjakan serta
seberapa besar dampak dari intervensi yang mungkin didapatkan.
c. Applicability
Applicable maksudnya adalah kemungkinan hasilnya bisa di
implementasikan dan bisa membantu kondisi pasien. Hal tersebut bisa
dilakukan dengan mempertimbangkan apakah subjek penelitiannya
sama, keuntungan dan resiko dari intervensi tersebut dan keinginan
pasien (patient preference) dengan intervensi tersebut.
5. Mengintegrasikan bukti dengan keahlian klinis dan pilihan pasien untuk
membuat keputusan klinis terbaik
Sesuai dengan definisi dari EBP, untuk mengimplementasikan EBP ke
dalam praktik klinis kita harus bisa mengintegrasikan bukti penelitian dengan
informasi lainnya. Informasi itu dapat berasal dari keahlian dan pengetahuan
yang kita miliki, ataukah dari pilihan dan nilai yang dimiliki oleh pasien.
Selain itu juga, menambahkan penelitian kualitatif mengenai pengalaman
atau perspektif klien bisa menjadi dasar untuk mengurangi resiko kegagalan
dalam melakukan intervensi terbaru (Polit & Beck, 2013). Setelah
mempertimbangkan beberapa hal tersebut maka langkah selanjutnya adalah
menggunakan berbagai informasi tersebut untuk membuat keputusan klinis
yang tepat dan efektif untuk pasien. Tingkat keberhasilan pelaksanaan EBP
proses sangat dipengaruhi oleh evidence yang digunakan serta tingkat
kecakapan dalam melalui setiap proses dalam EBP (Polit & Beck, 2008).
6. Evaluasi hasil dari perubahan praktek setelah penerapan EBP
Evaluasi terhadap pelaksanaan evidence based sangat perlu dilakukan
untuk mengetahui seberapa efektif evidence yang telah diterapkan, apakah
perubahan yang terjadi sudah sesuai dengan hasil yang diharapkan dan
apakah evidence tersebut berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan
pasien (Melnyk & Fineout, 2011).
7. Menyebarluaskan hasil (disseminate outcome)
Langkah terakhir dalam evidence based practice adalah menyebarluaskan
hasil. Jika evidence yang didapatkan terbukti mampu menimbulkan
perubahan dan memberikan hasil yang positif maka hal tersebut tentu sangat
perlu dan penting untuk dibagi (Polit & Beck, 2013).
Namun selain langkah-langkah yang disebutkan diatas, menurut (Levin &
Feldman, 2012) terdapat 5 langkah utama evidence based practicedalam
setting akademikyaitu Framing the question (menyusun pertanyaan klinis),
searching for evidence, appraising the evidence, interpreting the evidence
atau membandingkan antara literatur yang diperoleh dengan nilai yang dianut
pasien dan merencanakan pelaksanaan evidence kedalam praktek, serta
evaluating your application of the evidence atau mengevaluasi sejauh mana
evidence tersebut dapat menyelesaikan masalah klinis.

CONTOH: LAPORAN EVIDENCED-BASIC PRACTICE KEPERAWATAN


GERONTIK PADA NY. P DENGAN DIAGNOSA MEDIS DIABETES
MELITUS
A. Latar Belakang
Usia lanjut merupakan masa usia di mana terjadi perubahan-perubahan yang
menyebabkan terjadinya kemunduran fungsional pada tubuh. Salah satunya
adalah terjadinya penurunan produksi dan pengeluaran hormon yang diatur oleh
enzim-enzim yang juga mengalami penurunan pada usia lanjut. Salah satu
hormon yang menurun sekresinya pada usia lanjut adalah insulin. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit diabetes mellitus pada
usia lanjut. Namun demikian, beberapa faktor resiko seperti resistensi insulin
akibat kurangnya massa otot dan terjadinya perubahan vaskular, kegemukan
akibat kurangnya aktivitas fisik yang tidak diimbangi dengan asupan makanan
yang adekuat, sering mengkonsumsi obat-obatan, faktor genetik, dan keberadaan
penyakit lain yang memperberat diabetes mellitus, juga memegang peran penting.
Penyakit diabetes melitus yang terdapat pada usia lanjut mempunyai
gambaran klinis yang bervariasi luas, dari tanpa gejala sampai dengan komplikasi
nyata dan kadang-kadang menyerupai penyakit atau perubahan yang biasa
ditemui pada usia lanjut. Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia
dan polifagia, pada DM usia lanjut tidak ada. Umumnya pasien datang dengan
keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena pada usia lanjut, respon tubuh terhadap
berbagai perubahan/gejala penyakit mengalami penurunan. Biasanya yang
menyebabkan pasien usia lanjut datang berobat adalah karena gangguan
penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot
(neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan
biasa (Sona, 2015).
B. PICO
1. Patient and problem :
Pasien Ny. P, dengan diagnosa medis diabetes melitus, klien mengeluh sendinya
terasa kaku, kekuatan otot menurun dan pergerakan sendi tampak terbatas.
2. Intervention :
Melakukan kompres panas pada sendi yang kaku.

3. Comparison :
Melakukan kompres dingin pada sendi yang kaku.
4. Outcome :
Masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik dapat teratasi sebagian dengan
kriteria:
a. Klien dapat beraktifitas.
b. Kekakuan sendi menurun.

C. Tinjauan Kasus
1. Deskripsi
Pasien Ny. P, umur : 65 tahun, dengan diagnosa medis diabetes melitus, Ny. P
mengeluh pusing, kadang gliyeng, badan pegel semua, kaki likaten dan leher
cengeng. Kesadaran : kompos mentis, TD : 140/90 mmHg, Pernapasan :
20X/menit, Nadi : 80 X/ menit.
2. Data Fokus
Data Subjektif : Klien mengeluh sendinya terasa kaku Data Objektif : Kekuatan
otot menurun, Pergerakan sendi tampak terbatas.
3. Analisa Data
Problem : Gangguan mobilitas fisik.
Etiologi : Kekakuan sendi.
4. Diagnosa Keperawatan
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan sendi ditandai dengan
klien mengeluh sendinya terasa kaku, kekuatan otot menurun, pergerakan sendi
terbatas.

D. Dasar Pembanding
Dasar pembanding dari masalah keperawatan kurang pengetahuan yaitu dengan
melakukan kompres panas pada sendi dengan melakukan kompres dingin pada
sendi.
E. Implementasi
Melakukan kompres panas pada sendi.

F. Hasil
S:O:A:P Klien
: mengatakan
kekakuan
sendi
berkurang.
Keadaan
umum klien
baik. -
Klien
tampak
pergerakan
sendi
terbatas. -
Masalah
teratasi
sebagian.
Intervensi
dilanjutkan.

G. Diskusi
Laporan Evidenced-Basic Practice pada klien Ny. P dengan diagnosa medis
diabetes melitus, dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan kekakuan sendi ditandai dengan klien mengeluh sendinya
terasa kaku, kekuatan otot menurun, pergerakan sendi terbatas, hal ini
dikarenakan, setelah mengadakan pengkajian hasil dari analisa data, perawat
menganjurkan untuk melakukan kompres panas pada klien diabetes melitus.
Kompres panas yaitu :
Saat otot terasa kaku, nyeri atau cedera yang berkepanjangan, kompres panas
adalah pertolongan pertama yang ideal. Panas cukup efektif meredakan rasa sakit
akibat pergerakan otot yang berlebihan. Kompres dengan menggunakan kantung
atau handuk panas meningkatkan elastisitas jaringan sendi dan menstimulasi
peredaran darah (Hestianingsih, 2013).
Kompres dingin :
Kompres dingin menggunakan es dapat menyebabkan vasokonstriksi
(penyempitan pembuluh darah) sehingga saat terjadi radang atau cedera, proses
vasokonstriksi yang terjadi akan menyebabkan pengurangan bengkak. Selain itu,
peredaran zat-zat dalam darah yang berperan dalam menimbulkan rasa nyeri ke
sendi lutut tersebut juga akan terhenti sehingga rasa nyeri dapat berkurang (Yani,
2016).
Efek fisiologis kompres panas dan dingin
Kompres panas Kompres dingin
Vasodilatasi Vasokontriksi
Meningkatkan Menurunkan
permeabilitas kapiler permeabilitas kapiler
Meningkatkan Menurunkan metabolisme
metabolisme selulas selular
Merelaksasi otot Merelaksasi otot
Menigkatkan inflamasi, Memperlambat
meningkatkan aliran pertumbuhan bakteri,
darah ke suatu area mengurangi inflamasi
Meredakan nyeri dengan Meredakan nyeri dengan
merelaksasi otot membuat area menjadi
mati rasa, memperlambat
aliran impuls nyeri, dan
menigkatkan ambang
nyeri
Efek sedatif Efek anastesi lokal
Mengurangi kekakuan Meredakan perdara
sendi dengan
menurunkan viskositas
cairan senovial

H. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
a. P : Diabetes melitus, masalah gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
kekakuan sendi, I : Kompres panas, C : Kompres dingin, O : Gangguan mobilitas
fisik kekakuan sendi teratasi sebagian.
b. Hasil intervensi kompres panas : masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik
kekakuan sendi teratasi sebagian.
2. Saran
a. Perawat
Perlu dilakukan metode intervensi masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik
kekakuan sendi dengan metode lain seperti kompres dingin.
b. Pasien
Sebelum memberikan intervensi keperawatan perlu dilakukan pengkajian
terhadap pasien untuk menentukan tindakan yang tepat dalam implementasi
keperawatan.
II.2.6 Perkembangan atau Sejarah Keperawatan Gerontik
Geriatrik merupakan istilah pertama dari kedokteran yang memiliki makna yaitu
pengobatan penyakit pada lansia. Perawat geriatrik pertama kali disebut pada tahun
1925 dalam American Journal Of Nursing. Lalu, pada tahun 1942 terbentuk The
American Geriatrics Society dan penerbitan jurnal edisi pertama yaitu Geriatrics
(Miller, 2012). Tahun 1953, masyarakat mengubah nama jurnal tersebut menjadi
Journal of the American Geriatrics Society dan fokus dari geriatrik menjadi semakin
luas, yakni tentang berbagai masalah kesehatan lansia, intervensi yang dapat
mempertahankan fungsi optimal, serta promosi kesehatan yang bertujuan untuk
menunda kecacatan pada lansia (Miller, 2012). Perawat geriatrik sudah terbentuk dan
diusulkan sejak 1925, namun baru pada tahun 1950 perawat geriatrik pertama kali
disarankan sebagai “care of aged” dalam American Journal of Nursing.
Kelahiran perawat geriatrik yang sebenarnya ialah pada tahun 1962 diawali oleh
American Nurses Association (ANA) yang membentuk kelompok Konferensi Praktik
Keperawatan Geriatrik. Kemudian pada tahun 1966, ANA membentuk divisi
Perawatan Geriatrik (Flaherty, 2004; Mauk, 2014). Pada tahun 1968, ANA
menerbitkan standar geriatrik yang pertama dan memberikan sertifikasi keperawatan
geriatrik. Dapat dikatakan bahwa keperawatan geriatrik adalah spesialisasi pertama
yang menetapkan standar praktik dalam ANA. Namun, istilah penggunaan nama
“Keperawatan Geriatrik” tidak berlangsung lama karena dirasa kurang dalam
menggambarkan keperawatan.
Pada pertengahan tahun 1970-an, ANA menganjurkan untuk mengubah istilah
keperawatan geriatrik menjadi keperawatan gerontologi (Miller, 2012). Perubahan ini
disebabkan oleh penekanan pada istilah geriatrik cenderung hanya pada masalah
kesehatan yang dihadapi seperti dalam bidang medis dan tidak terdpat nilai-nilai
keperawatan. Sehingga, pada tahun 1976 nama geriatrik resmi berubah menjadi
gerontologi dan divisi perawatan geriatrik berubah menjadi divisi gerontologi
(Tabloski, 2014). Proses perubahan nama ini diharapkan dapat membuat istilah
keperawatan spesialisasi yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini dikarenakan
keperawatan gerontologi berperan erat dalam pengembangan pengetahuan sebagai
dasar praktik terbaik dalam merawat dewasa lanjut usia (Touhy & Jett, 2014).
Keperawatan gerontologi juga diakui oleh Ameican Nurses Credentialing
Center (ANCC) sebagai spesialisasi dengan menawarkan sertifikasi sebagai perawat
gerontologi, spesialis klinis pada keperawatan gerontologi atau praktisi perawat
gerontologi. Namun, perdebatan istilah untuk spesialisasi keperawatan dewasa usia
lanjut masih belum berakhir. Menurut beberapa pandangan, penggunaan kata “ology”
sangat tidak relevan dengan praktik keperawatan (klinik), karena makna “ology”
menunjuk kearah ilmu pengetahuan dan scientific (Flaherty, 2004). Lalu, pada tahun
1979, Gunter dan Estes menyarankan istilah baru yaitu gerontik untuk menggantikan
gerontologi.
Keperawatan gerontik lebih sesuai secara filosofi dibandingkan dengan
keperawatan geriatrik dan lebih bersifat linguistik daripada keperawatan gerontologi
(Flaherty, 2004). Hal ini dikarenakan keperawatan gerontik juga dapat mencakup
seni, praktik menasuh, merawat dan mengjibur dewasa lanjut. Sehingga, pada istilah
gerontik ini sudah mencakup pengetahuan dan praktik keperawatan dan dianggap
mampu menggambarkan ilmu keperawatan secara menyeluruh (Touhy & Jett, 2014).

II.2.7 Pengertian Lansia dan Batasan Usia


A. Konsep Lanjut Usia
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas (Setianto, 2004). Lansia bukan suatu penyakit,
namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan
(pudjiastuti, 2003). Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang
untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. kegagalan
ini berkaitan dengan penurunan dayakemampuan untuk hidup serta peningkatan
kepekaan secara individual (Hawari, 2001).
B. Batasan Umur Usia Lanjut
Berikut ini adalah batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari
pendapat berbagai ahli yang dikutip dari nugroho (2000):
1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2
yang berbunyi “lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam
puluh) tahun ke atas”
2. Menurut World Health Organization (WHO)
a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun
3. Menurut Prof. Dr. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad
a. Masa bayi : 0-1 tahun
b. Masa prasekolah : 1-6 tahun
c. Masa sekolah : 6-10 tahun
d. Masa pubertas : 10-20 tahun
e. Masa dewasa : 20-40 tahun
f. Masa setengah umur (prasenium) : 40-65 tahun
g. Masa lanjut usia (senium) : 65 tahun keatas
4. Menurut Dra. Jos. Masdani (psikolog UI)
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi
menjadi empat bagian sebagai berikut:
a. Pertama (fase iuventus) : 25-40 tahun
b. Kedua (fase virilitas) : 40-55 tahun
c. Ketiga (fase presenium) : 55-65 tahun
d. Keempat ( fase senium) : 65 hingga tutup usia
5. Menurut Prof. Dr. Koesoemato setyonegoro
a. Masa dewasa muda (eldery adulthood) : 18 atau 20-25 tahun
b. Masa dewasa penuh atau maturitas (middle years): 25-60 atau 65 tahun
c. Masa lanjut usia (geriatric age) : >65 atau 70 tahun
6. Masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri di bagi lagi menjadi tiga batasan
umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old (>80
tahun).

Birren dan jenner (1977) mengusulkan untuk membedakan usia antara


usia biologis, usia psikologis, dan usia sosial. Usia biologis adalah usia yang
menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak lahirnya, berada dalam keadaan
hidup, tidak mati. Usia psikologis adalah usia yang menunjuk pada kemampuan
seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang
dihadapinya. sedangkan, usia sosial adalah usia yang menunjuk kepada peran-
peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan
dengan usianya.

II.2.8 Setting Perawatan Kesehatan Bagi Lansia


A. Bentuk Pelayanan Perawatan Kesehatan Bagi Lansia
NO Bentuk Pelayanan Jenis Deskripsi
1. Acute Care a. Unit perawatan akut geriatri Program ini khusus lansia yang
terspesiali-sasi (spesialized geriatric memiliki kebutuhan unik dan
acute care units) kompleks yang dapat dipenuhi
oleh tim multidisiplin untuk
mencegah kemunduran fungsi
selama hospitalisasi (Baztan,
Suarez-Garcia, Lopez-Arrieta,
Rodrigues-Manas, & Rodrigues-
Artalejo, 2009; Zelada, Salinas,
& Baztan, 2009).
b. Unit pelayanan sub-akut Program ini menyediakan
pelayanan keperawatan dan
kesehatan ahli bagi lansia yang
membutuhkan rehabilitasi
komprehensif setelah mengalami
penyakit atau operasi yang berat,
misalnya stroke atau operasi
ortopedi.
c. Model hospital-at-home Model ini merupakan model
multidisiplin yang menyediakan
perawatan dan pelayanan
kesehatan dalam waktu tertentu.
Tipe ini mencakup tipe layanan
yang menyediakan layanan
discharge planning awal
(Shepperd et al, 2009).
d. Model perawatan tradisional Model ini diaplikasikan pada
rentang layanan yang luas dan
bertujuan untuk menyediakan
koordinasi dan kontinuitas
layanan kesehatan kesehatan
melalui berbagai setting layanan
(Schoen, Osborn, How, Doty, &
Peugh, 2009).
2. Home Care Service a. Skilled Home Care berfokus pada edukasi pasien
beserta pemberi perawatannya
untuk bersama-sama melakukan
aktivitas perawatan mandiri.
b. Long-Term Home Care Pencapaian yang ditekankan
pada tipe ini adalah untuk
mempertahankan fungsi tubuh
dan kesehatan secara maksimal,
serta dapat mengatasi penyakit
atau ketidakmampuan klien.
Sedangkan penggunanya
biasanya adalah mereka yang
tidak memenuhi kategori
Mediacare.
3. Nursing Home Definisi Rumah perawatan atau fasilitas
Setting keeprawatan merujuk kepada
suatu institusi yang dibuat untuk
orang-orang yang butuh bantuan
untuk melakukan beberapa
aktivitas sehari-hari. Rumah
perawatan membutuhkan
pengawasan yang berkelanjutan
oleh seorang perawat yang
teregistrasi atau praktisi perawat
berlisensi.
a. Perawatan Luka balutan yang steril, debrimen
dan irigrasi luka, pembalutan,
pengkajian terhadap drainase,
pengkajian dan pengambilan
kultur luka dan memberi
petunjuk kepada klien dan
keluarga dalam perawatan luka.
b. Perawatan Pernafasan pengelolaan terapi oksigen,
ventilasi mekanik dan
melakukan penghisapan dan
perawatan trakeotomi.
c. Pengobatan Memberi petunjuk kepada klien
dan keluarga tentang cara kerja,
pemebrian dan efek samping
obat-obatan, memantau
pelaksanaan dan keefektifan
obat-obatan yang diberikan.

d. Rehabilitasu Memberi petunjuk kepada klien


dan keluarga tentang cara
menggunakan alat bantu, latihan
rentang gerak, ambulasi, dan
teknik-teknik pemindahan klien.
5. Newers Model of a. The Eden Alternatif Menggabungkan strategi dan
Nursing Home Care memberdayakan staf dalam
membawa tentang perubahan
lingkungan. Model ini,
mengadopsi panti werda yang
untuk mematuhi prinsip yang
tercantum dalam Eden Registry.
Hasil dari model ini yang telah
diidentifikasi dalam studi
meliputi retensi ditingkatkan
staf, meningkatkan kepuasan staf
dan penduduk, dan pengurangan
jumlah obat dan infeksi.

b. The Green House Project Terdiri dari 4 Rumah Mandiri


yang nyaman dan asri dan
beroperasi di bawah lisensi dari
sebuah panti werda yang
mensponsori di Tupelo,
Missouri. Biasanya dalam green
house terdapat 7 sampai 12
orang dalam sebuah rumah dan
menyatu dengan rumah-rumah
tetangga. Pada model ini, bentuk
rumah yang minimalis
memberikan berbagai layanan
panti werda yang berlisensi dan
bersertifikat untuk orang tua
dengan tingkat kecacatan yang
tinggi, termasuk yang
berhubungan dengan demensia,
dalam pengaturan rumah tangga
biasa. Sebuah penelitian pada 2
tahun pertama dari model ini
menemukan bahwa warga yang
berada di lingkungan tersebut
mengalami peningkatan pada
dimensi kualitas hidup dan
peningkatan hasil kesehatan
karena pada model ini mencakup
seluruh aspek seperti biologis,
psikologis, sosial dan spiritual
yang dibutuhkan oleh lansia
(Kane & Cutler, 2008)
7. Bentuk Pelayanan a. Pusat Pelayanan Terapadu (Posyandu) Pos Pelayanan Terpadu
Keperawatan dan (Posyandu) atau Pos Pembinaan
Ksehatan Berbasis Terpadu (Posbindu) Lanjut Usia
Komunitas bagi adalah suatu wadah pelayanan
Lnajut Usia kepada lanjut usia di
masyarakat yang proses
pembentukan dan
pelaksanaannya dilakukan oleh
masyarakat bersama lembaga
swadaya masyarakat (LSM),
lintas sektor pemerintah dan
non-pemerintah, swasta,
organisasi sosial dan lain-lain
dengan fokus utama pelayanan
kesehatan pada upaya promotif
dan preventif.
b. Promosi Kesehatan Edukasi kesehatan terkait
aktivitas fisik seperti berolahraga
pada komunitas lansia yang
dapat membantu dalam ketahan
fungsi kardiovaskular, respirasi
serta menguatkan otot. Promosi
kesehatan terkait pola diet untuk
mencegah obesitas. Edukasi
lainnya yang dapat diberikan
terkait kebiasaan merokok,
reproduksi dan seksual,
kesehatan jiwa, keamanan dan
pencegahan cedera, lingkungan
yang sehat, imunisasi, dan serta
pelayanan kesehatan.
c. Senior Centers Senior Centers dikembangkan
pada tahun 1940 untuk
menyediakan aktivitas sosial dan
rekreasi. Pelayanan yang
diberikan berupa rekreasi,
edukasi, konseling, terapi,
nutrisi, dan skrining kesehatan.
d. Adult day centers Adult day centers juga
memberikan makanan,
pelayanan transportasi, terapi
pengobatan, perawatan asistif,
dan pelayanan atau terapi
lainnya. Pelayanan ini
berlangsung pada week days
selama 8 jam dalam sehari, 5
jam untuk program formal dan 5
jam untuk interaksi sosial.
Tujuan dari pelayanan ini untuk
meningkatkan kemampuan
fungsional lansia, mencegah
terjadinya penyakit yang akan
membawa klien untuk menjalani
pengobatan di rumah sakit,
memberikan pelayanan
keperawatan kepada lansia yang
memiliki tingkat ketergantungan
tinggi, dan meningkatkan
kualitas hidup lansia yang
memiliki gangguan pada kondisi
kesehatannya (Miller, 2012).
e. Respite Care Respite care merupakan
pelayanan yang tujuan utamanya
yaitu untuk mengurangi risiko
isolasi sosial, depresi, distress
psikologis, dan masalah lain
yang terkait dengan beban dalam
pemberian pelayanan kesehatan
dan keperawatan. Pelayanan
yang diberikan berupa adults day
centers dan perawatan di rumah
jangka pendek.

B. Peran Perawat Setting Perawatan Kesehatan Bagi Lansia


1. Acute Care Setting
a. Peran Perawat Gerontik pada Setting Acute Care
Setting perawatan akut memaparkan bahwa perawat gerontik
berfokus pada treatment (terapi fisik, patologi berbicara bahasa dan terapi
okupasi) dan asuhan keperawatan untuk masalah-masalah akut seperti
trauma, kecelakaan, permasalahan ortopedi, penyakit respiratori yang
ringan, atau masalah sirkulasi yang cukup serius. Tujuan dari asuhan
keperawatan ini adalah untuk membantu meningkatkan kualitas hidup dan
mencegah komplikasi. Seorang perawat gerontik perawatan akut
merupakan perawat praktik lanjutan dengan sertifikasi khusus dalam
perawatan akut.
Perawat gerontik perawatan akut memiliki keahlian untuk merawat
pasien lansia di lingkungan kesehatan akut seperti di ruang gawat darurat,
unit perawatan intensif, pusat trauma atau daerah diagnostik canggih
seperti kateterisasi jantung. Perawat dipersiapkan untuk berbagai
kesempatan kerja di Rawat Inap akut pengaturan (ICU, CCU, Departemen
Darurat) atau daerah khusus (kardiovaskular, pernapasan, neurologi).
Perawat perawatan akut juga merupakan pusat layanan perencanaan untuk
lansia pada saat pulang. Selain itu, perawat gerontik dapat membantu
dalam penjadwalan mengunjungi perawat atau penerimaan perawatan
jangka panjang. Perawat juga membantu lansia untuk menemukan
program promosi kesehatan, seperti yang akan membantu dalam berhenti
merokok, manajemen stres, penurunan berat badan, atau berolahraga akan
memungkinkan mereka untuk memasuki program ini segera setelah
pulang, sementara mereka masih termotivasi untuk melakukannya.
Perbedaan dengan perawatan sub-akut yaitu perawat sub-akut
memberikan perawatan berkelanjutan untuk pasien yang tidak lagi
memerlukan rawat inap, namun masih perlu perawatan medis terampil di
fasilitas rehabilitasi. Rehabilitasi sub-akut dianjurkan ketika pasien tidak
fungsional dapat kembali ke rumah. Selama penyembuhan, pasien
menerima rehabilitasi di fasilitas keperawatan terampil, di mana mereka
menginap sampai tujuan terapi terpenuhi. Perbedaan mendasar antara
perawatan akut dan sub-akut adalah durasi tinggal. Durasi tinggal seorang
pasien dalam setting perawatan akut mungkin singkat dan fokusnya adalah
mungkin pada tindakan pencegahan seperti peningkatan pengawasan
kegiatan pasien dan lingkungan.
b. Bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan lansia pada acute care
setting
Continuum of care merujuk pada program atau institusi yang
menyediakan pelayanan antar disiplin yang komprehensif dan
terkoordinasi untuk lansia mencakup antara lain perawatan
primer/preventif, akut, transisional, dan pelayanan rehabilitasi. Setting
perawatan akut merupakan bagian yang penting dari continuum of care
karena perawatan lansia dengan penyakit akut sangat kompleks.
Brocklehurst dan Allen (1987) berpendapat bahwa lansia memerlukan
perhatian khusus dikarenakan usia lanjut lebih sensitif terhadap penyakit
akut. (Miller, 2012; Wallace, 2008). Beberapa model perawatan yang
dikembangkan untuk lansia dalam setting perawatan akut yaitu (Miller,
2012):
a. Unit perawatan akut geriatri terspesialisasi (spesialized geriatric acute
care units)
Program ini disebut juga dengan unit acute care for elders (ACE). Inti
dari program ini adalah lansia memiliki kebutuhan unik dan kompleks
yang dapat dipenuhi oleh tim multidisiplin untuk mencegah
kemunduran fungsi selama hospitalisasi. Model keperawatan ini
terbukti mengurangi kemunduran fungsi sebesar 18% dan mengurangi
lamanya hospitalisasi (Baztan, Suarez-Garcia, Lopez-Arrieta,
Rodrigues-Manas, & Rodrigues-Artalejo, 2009; Zelada, Salinas, &
Baztan, 2009). Model ini berfokus pada manajemen tim interdisiplin,
keperawatan yang berfokus pada klien, discharge planning lebih awal,
lingkungan fisik yang sesuai, serta pengkajian dan intervensi pada
gangguan yang umum terjadi pada lansia (mobilitas, risiko jatuh, self-
care, integritas kulit, kontinensia, depresi, dan ansietas). Tim ACE
biasanya terdiri dari perawat gerontologis, geriatris, farmasi, psikiater
profesional, dan berbagai terapis rehabilitasi. Namun terdapat tiga
gangguan pada lansia yang sering disebabkan oleh hospitalisasi, yaitu
cedera jatuh, ulkus dekubitus, dan infeksi saluran kemih karena
pemasangan kateter. Capetuzi dan Brush (2009) mengidentifikasi
beberapa model untuk meningkatkan pelayanan lansia di rumah sakit
(Miller, 2012):
1) Hospital elder life program (HELP): fokus pada identifikasi dan
manajemen delirium pada lansia di rumah sakit
2) Unit yang menyediakan palliative care
3) Kolaborasi geriatri dan ortopedi pada klien dengan fraktur pinggul
4) Program yang mengurangi waktu operasi pada lansia
5) Tim yang khusus menangani trauma pada lansia
6) Unit konsultasi untuk lansia
b. Unit pelayanan sub-akut
Program ini merujuk pada kebutuhan medis yang kompleks pada
lansia di rumah sakit. Program ini menyediakan pelayanan
keperawatan dan kesehatan ahli bagi lansia yang membutuhkan
rehabilitasi komprehensif setelah mengalami penyakit atau operasi
yang berat, misalnya stroke atau operasi ortopedi. Pelayanan yang
tersedia adalah kemoterapi, terapi intravena, perawatan luka kompleks,
nutrisi enteral dan parenteral, dan manajemen respiratori kompleks
(ventilator, trakeostomi)
c. Model hospital-at-home
Model ini merupakan model multidisiplin yang menyediakan
perawatan dan pelayanan kesehatan dalam waktu tertentu. Tipe ini
mencakup tipe layanan yang menyediakan layanan discharge planning
awal. Tipe ini dapat diterapkan pada lansia dengan selulitis,
pneumonia, terapi infusi, perawatan post-operasi, CHF, dan COPD.
Penelitian menunjukkan setelah 6 bulan, persentase meninggal lebih
rendah pada pasien yang menerima perawatan di rumah (Shepperd et
al, 2009). Selain itu, tipe ini juga lebih murah, serta pasien mengalami
peningkatan ADL (Leff, 2009).
d. Model perawatan tradisional
Model ini diaplikasikan pada rentang layanan yang luas dan bertujuan
untuk menyediakan koordinasi dan kontinuitas layanan kesehatan
kesehatan melalui berbagai setting layanan. Model ini dikembangkan
sebagai respon banyaknya klien yang masukkembali ke rumah sakit
tidak lama setelah pulang. Model ini terbukti menurunkan
rehospitalisasi pasien sebanyak 30%, dengan demikian juga
menurunkan biaya (Jack et al., 2009). Komponen utama model ini
adalah; (a) perawat mengadvokasi tanggung jawab utama untuk
mengoordinasi rencana pulang dan komunikasi dengan klien/keluarga
dan penyedia layanan kesehatan lain, (b) dokumen rencana perawatan
setelah hospitalisasi yang berfokus pada pasien, dan (c) follow-up oleh
farmasi 3 hari setelah pulang. Pada model ini, tersedia suatu instrumen
untuk mengidentifikasi klien lansia yang berisiko mengalami transisi
yang buruk yang dikembangkan oleh perawat, yaitu Transitional Care
Model (TCM): Hospital Discharge Screening Criteria for High Risk
Older Adults. Perawat memastikan klien/keluarga memahami
informasi tentang diagnosa akhir dan masalah yang ada, medikasi
(jadwal, tujuan dan efek, kesepakatan follow-up, masalah yang
mungkin timbul, dan semua penyedia layanan (Podrazik & Whelan,
2008).
2. Nursing Home Setting
a. Peran perawat pada nursing home setting
Nursing homes dikategorikan kedalam keterampilan keperawatan atau
rehabilitasi skil (jangka pendek) yang ditujukan untuk pasien pasca
perawatan di rumah sakit selama 6 bulan atau kurang, dan perawatan
jangka panjang untuk klien yang menderita penyakit kronis. Rata-rata
perawat terdaftar menyediakan 6 jam sehari perawatan langsung untuk
setiap lansia nursing home care, tetapi mereka bertanggung jawab untuk
semua komponen pelayanan perawatan (Burger et al., 2009).
Seorang pimpinan perawat dari seluruh negara bagian berinisiatif
untuk meningkatkan perawatan di fasilitas keperawatan agar
menghasilkan peningkatan dalam semua indikator kualitas berikut: jatuh,
penurunan berat badan, tekanan ulkus, dan status bed fast (Rantz et
al, 2009.). Selain perawatan langsung untuk para lansia, perawat praktek
dapat memberikan pendidikan staf, membantu pengembangan program,
bertindak sebagai konsultan dalam perencanaan dan pelaksanaan
perawatan, membentuk kelompok-kelompok pendukung untuk klien dan
keluarga, dan bertindak sebagai advokat bagi klien dan keluarga mereka.
Peran perawat dalam mempersiapkan lansia menghadapi kematian di
nursing home care adalah membantu dan memenuhi kebutuhan fisik,
psikis, sosial dan spiritual. Pada saat memenuhi kebutuhan fisik lansia,
perawat membantu lansia dalam memenuhi kebutuhan nutrisi,
membantu perawatan diri lansia dan lingkungan, membantu
mobilisasi, dan membantu kebutuhan eliminasi.
Peran perawat dalam memenuhi kebutuhan psikis lansia
adalah memberikan dukungan emosional, peduli dan membantu
menyelesaikan masalah. Dalam pemenuhan kebutuhan sosial lansia,
perawat mempunyai peran untuk peduli, memberikan hiburan serta
membina sosialisasi dan komunikasi yang baik dengan orang lain.
Memberi kesempatan berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia
untuk menciptakan sosialisasi mereka. Perawat harus bisa memberikan
ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan tuhan atau
agama yang dianutnya, terutama jika klien dalam keadaan sakit atau
mendekati kematian.
b. Bentuk pelayanan keperawatan dan kesehatan lansia pada nursing home
setting
Rumah perawatan atau fasilitas keprawatan merujuk kepada suatu
institusi yang dibuat untuk orang-orang yang butuh bantuan untuk
melakukan beberapa aktivitas sehari-hari. Rumah perawatan
membutuhkan pengawasan yang berkelanjutan oleh seorang perawat
yang teregistrasi atau praktisi perawat berlisensi. Selain perawatan
medis dan pelayanan keperawatan, rumah perawatan juga
menyediakan pelayanan gigi, pelayanan kesehatan kaki, pelayanan
konsultasi pengobatan tertentu dan terapi rehabilitasi (terapi fisik dan
okupasi). Rumah perawatan menyediakan banyak pelayanan
kesehatan yang sama dengan yang disediakan di Rumah Perawatan Akut,
tetapi bagaimanapun penerima perawatan dipanggil penghuni daripada
pasien karena terdapatnya beberapa fasilitas hunian.
Rumah perawatan pada umumnya dikategorikan sebagai
perawatan singkat karena biasannya dilakukan dalam jangka waktu yang
pendek. Untuk bisa menjadi petugas di rumah perawatan, seseorang harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut: mempunyai orang yang dirawat
minimal 3 hari dengan 30 hari masa pengobatan yang berhubungan
dengan ketrampilan perawatan. Mempunyai sertifikat yang berlisensi dari
profesioanal atau pemerintah. Membutuhkan ketrampilan melakukan
perawatan sehari-hari yang tersertifikasi. Beberapa bentuk pelayanan
keperawatan dan kesehatan di rumah perawatan:
1) Perawatan Luka: balutan yang steril, debrimen dan irigrasi
luka, pembalutan, pengkajian terhadap drainase, pengkajian dan
pengambilan kultur luka dan memberi petunjuk kepada klien dan
keluarga dalam perawatan luka.
2) Perawatan Pernapasan: pengelolaan terapi oksigen, ventilasi
mekanik dan melakukan penghisapan dan perawatan trakeotomi.
3) Tanda Vital: memantau tekanan darah, status kardiopulmonal,
dan memberi instruksi kepada klien dan keluarga dalam pengukuran
denyut bila diperlukan..
4) Eliminasi: pengkajian dan pengajaran, pemasangan kateter
urine, irigrasi, observasi adanya infeksi, dan memberi petunjuk
kepada keluarga tentang katerisasi intermiten juga dilaksanakan.
5) Nutrisi: pengkajian status nutrisi dan hidrasi, petunjuk diet
yang dianjurkan, pemberian makanan melalui selang dan memberi
petunjuk kepada keluarga tentang pemberian makanan melalui selang.
6) Rehabilitasi: memberi petunjuk kepada klien dan keluarga tentang
cara menggunakan alat bantu, latihan rentang gerak, ambulasi, dan
teknik-teknik pemindahan klien.
7) Pengobatan: memberi petunjuk kepada klien dan keluarga tentang
cara kerja, pemebrian dan efek samping obat-obatan, memantau
pelaksanaan dan keefektifan obat-obatan yang diberikan.
8) Terapi Intravena: pengkajian dan penatalaksanaan dehidrasi,
pemberian antibiotik, nutrisi parenteral, transfuse darah, dan agen
analgesik dan kemoterapik.
9) Studi Hasil Laboratorium Tertentu: melakukan studi tentang
gambaran pemeriksaan darah dari hasil laboratorium yang
berhubungan dengan proses penyakit atau pengobatan.

Beberapa diagnosis yang terkait dengan rumah perawatan adalah stroke,


patah tulang rusuk, gagal jantung kongestif, dan pemulihan paska
penyakit akut seperti pneumonia, infark miokardium. Harapanya setelah
seseorang dirawat di rumah perawatan seseorang tersebut akan
mencapai peningkatan ke level yang lebih tinggi pada fungsi organ yang
terkait penyakit dan menunjukan pemulihan dari episode akut.
3. Newers Model of Nursing Home Care
a. Peran perawat pada Newers Model of Nursing Home Care
Peran perawat pada Newers Model of Nursing Home care
(Eliopoulous, 2005) adalah:
1) Memenuhi kenyamanan lansia
2) Mempertahankan fungsi tubuh
3) Membantu lansia menghadapi kematian dengan tenang dan damai
melalui ilmu dan teknik keperawatan gerontik
4) Peran sebagai advokat, perawat harus dapat melindungi dan
memfasilitasi keluarga dalam pelayanan keperawatan.
5) Peran perawat juga sebagai konselor, fokus membantu
perkembangan sikap baru klien, perasaan klien, dan juga kebiasaan
dimana tetap mempromosikan pertumbuhan yang intelek
6) Peran perawat sebagai edukator, mengajarkan dan
meningkatkan perawatan mandiri dan kebebasan optimal.
7) Membimbing orang pada segala usia untuk mencapai masa tua yang
sehat menghilangkan perasaan takut tua.
8) Memantau dan mendorong kualitas pelayanan
9) Memerhatikan serta mengurangi resiko terhadap kesehatan
dan kesejahteraan
10) Mendidik dan mendorong pemberi pelayanan kesehatan\
11) Mendengarkan serta memberikan dukungan, semangat dan harapan
12) Menghasilkan, mendukung, menggunakan, dan berpartisipasi
dalam penelitian
13) Melakukan perawatan restoratif dan rehabilitative
14) Mengoordinasi dan mengatur perawatan
15) Mengkaji, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
perawatan individu dan perawatan secara menyeluruh
16) Memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
17) Membangun masa depan perawat gerontik untuk menjadi
ahli di bidangnya
18) Saling memahami keunikan aspek fisik, emosi, sosial, dan spiritual
19) Mengenal dan mendukung manajemen etika yang sesuai dengan
tempat
20) Memberikan dukungan dan kenyamanan dalam menghadapi
proses kematian.

Asuhan keperawatan gerontik yang berfokus pada peningkatan


angka harapan hidup dan kepuasan hidup lansia masih tergolong baru di
Indonesia dan tidak seoptimal penerapannya di negara-negara lain. Barier
budaya, nilai dan kepercayaan masih memegang peranan penting sebagai
penghambat berkembangnya aktivitas lansia dalam menikmati dan
memperbaiki kualitas hidup di hari tuanya. Selain itu, persentase lansia
yang menderita penyakit sedang hingga berat masih menjadi fokus utama
pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga intervensi untuk
meningkatkan self quality time sulit untuk diterapkan. Karena itu,
perawat Indonesia diharapkan mampu membangun paradigma dimana
fokus utama pelayanan kesehatan untuk lansia tidak lagi pada
pengobatan atau kuratif, tetapi pada kegiatan promotif dan preventif untuk
mencapai kepuasan hidup lansia selayaknya di negara- negara maju
dengan berbagai sumber dan akses pelayanan yang reliable dan
accessible.
b. Bentuk peleyanan keperawatan dan kesehatan lansia pada Newers Model
of Nursing Home Care
1) Pioneer Network “jaringan pelopor”
Pioneer network pada perawatan jangka panjang, dianggap sebagai
organisasi payung dari perubahan budaya gerakan telah berkembang
sejak tahun 1997 dari pertemuan tengara perintis di seluruh Amerika
Serikat dengan tujuan mengubah filosofi perawatan di panti
wreda (White-Chou et al., 2009). Dua model yang paling banyak
diterapkan perawatan yang merupakan bagian dari Pioneer Jaringan
adalah Eden Alternatif dan Green House Project.
a) Eden alternatif
Eden Alternatif adalah model dikembangkan pada
pertengahan-1990 oleh William Thomas, MD, dengan maksud
untuk menciptakan lingkungan sekelompok kecil warga untuk
mencegah atau menangani kebosanan, kesepian, tidak berdaya,
dan kurangnya makna yang umum di panti werda tradisional.
Komponen penting adalah pengenalan sistematis hewan
peliharaan, tanaman, dan anak-anak untuk membuat pengaturan
seperti rumah dan meningkatkan kualitas hidup penduduk. Selain
itu, Eden Alternatif menggabungkan strategi untuk terlibat dan
memberdayakan staf dalam membawa tentang perubahan
lingkungan. Panti wreda yang mengadopsi model komprehensif
ini dan berjanji untuk mematuhi prinsip Eden yang tercantum
dalam Eden Registry. Hasil dari model ini yang telah
diidentifikasi dalam studi meliputi retensi peningkatkan staf,
meningkatkan kepuasan staf dan penduduk, dan pengurangan
jumlah obat-obatan dan infeksi.
b) The green house project
The Green House Project, digambarkan sebagai panti werda
sederhana, juga telah dipromosikan oleh William Thomas, MD,
yang merupakan pendiri Eden Alternatif dan pemimpin utama
dalam Pioneer Network. Proyek pertama kali dibuka pada
tahun 2003 dan terdiri dari empat Rumah Hijau yang
beroperasi secara mandiri di bawah lisensi dari sebuah panti wreda
mensponsori di Tupelo, Missouri. Biasanya dalam green house
terdapat 7 sampai 12 warga di sebuah rumah yang menyatu
dengan rumah-rumah tetangga. Rumah panti wreda ini
memberikan berbagai layanan berlisensi dan bersertifikat untuk
orang tua dengan tingkat kecacatan yang tinggi, termasuk yang
berhubungan dengan demensia, dalam pengaturan rumah
tangga biasa. Pendekatan Green House menekankan hubungan
dan makna keputusan dalam intervensi untuk gangguan
perilaku terkait demensia. Sebuah penelitian dalam 2 tahun
pertama dari model ini menemukan bahwa warga mengalami hasil
yang lebih baik pada dimensi kualitas hidup dan tidak ada
penurunan dalam hasil kesehatan karena pada model mencakup
seluruh aspek seperti; biologis, psikososial, sosial, spiritual
yang dibutuhkan oleh lansia (Kane & Cutler, 2008).
BAB III
PENUTUP

III.3.1 Kesimpulan
Gerontologi adalah istilah luas yang digunakan untuk mendefinisikan studi
tentang penuaan dan / atau usia. termasuk aspek biopsikososial dari penuaan. Geriatri
adalah pelayanan kesehatan untuk lanjut usia (lansia) yang mengobati kondisi dan
penyakit terkait dengan proses menua (Setiati dkk, 2009). Keperawatan gerontik,
didefinisikan sebagai spesialisasi keperawatan tentang praktik mengasuh, merawat,
dan menghibur orang dewasa yang lebih tua.Keperawatan gerontik memiliki tujuan
yaitu untuk memenuhi kenyamanan lansia, mempertahankan fungsi tubuh.
Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas (Setianto, 2004). Birren dan jenner (1977)
mengusulkan untuk membedakan usia antara usia biologis, usia psikologis, dan usia
sosial. Usia biologis adalah usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak
lahirnya, berada dalam keadaan hidup, tidak mati. Usia psikologis adalah usia yang
menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian
kepada situasi yang dihadapinya. sedangkan, usia sosial adalah usia yang menunjuk
kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang
sehubungan dengan usianya.
III.3.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar makalah ini dapat dimengerti dan
dipahami dengan baik, sehingga kita dapat mengetahui tentang Konsep Dasar
Keperawatan Gerontik. Agar dapat menjadi pedoman buat kita sebagai perawat
gerontik dimana pun berada.
Daftar Pustaka

Juniarti, Neti, & Kurnianingsih, Sari. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kozier, et al. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik.
(7th ed.). (Vols. 2). Jakarta: EGC.

Maryam, R. S., et al. (2008). Mengenal usia lanjut & perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Miller, C. A. (2012). Nursing for Wellnes in Older Adults, 6th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Touhy, T. A. & Jett, K. F. (2014). Ebersole and Hess Gerontological Nursing & Healthy
Aging, 4th edition. Missouri: Elsevier Mosby.

Miller,C.A. (2019).Nursing wellness in Older Adults : Theory and Practice.8thed. Wolter


Kluwer

Efendi, Ferry & Makhfud. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai