Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

MYELITIS TRANSVERSA

Oleh:

Febiyolan, S.Ked.

712019089

Pembimbing:
dr. Hj. Isma Yulianti, Sp. S
 

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN SARAF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat berjudul
MYELITIS TRANSVERSA

Dipersiapkan dan disusun oleh


Febiyolan, S.Ked.
712019089

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di
Departemen Ilmu Kesehatan Saraf Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juli 2020


Dosen Pembimbing

dr. Hj. Isma Yulianti, Sp. S

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha Esa dengan segala keindahan-Nya, zat
Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas dari segala sifat lemah
semua makhluk. 
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “MYELITIS TRANSVERSA” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Departemen Ilmu Kesehatan Saraf Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan arahan maka
dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dr.Hj. Isma Yulianti,Sp. S
selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari
bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu hanya milik Allah.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, Juli 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman judul...................................................................................................................i
Halaman pengesahan........................................................................................................ii
Kata pengantar..................................................................................................................iii
Daftar isi.............................................................................................................................iv
Daftar Gambar..................................................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang......................................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan..............................................................................................1
1.3. Manfaat...................................................................................................................1
1.3.1. Manfaat Teoritis....................................................................................................1
1.3.2. Manfaat Praktisi....................................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf..........................................................................3
2.2. Myelitis Transversa....................................................................................................12
2.2.1. Definisi......................................................................................................................12
2.2.2. Epidemiologi.............................................................................................................12
2.2.3. Etiologi......................................................................................................................13
2.2.4. Patofisiologi..............................................................................................................14
2.2.5. Gejala Klinis.............................................................................................................15
2.2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan....................................................................................16
2.2.7. Diagnosis Banding...................................................................................................18
2.2.8. Tatalaksana..............................................................................................................20
2.2.9. Komplikasi...............................................................................................................22
2.2.10. Prognosis.................................................................................................................23
BAB III
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................24
3.2. Saran............................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................25

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Susunan Sistem Saraf.................................................................................3


Gambar 2.2. Anatomi Otak..............................................................................................4
Gambar 2.3. Medula Spinalis...........................................................................................5
Gambar 2.4. Distribusi Saraf Krania..............................................................................6
Gambar 2.5. Saraf Spinalis (31 pasang) beserta nama dan letaknya...........................7
Gambar 2.6. Sistem Saraf Otonom..................................................................................7
Gambar 2.7. Struktur Neuron..........................................................................................9
Gambar 2.8. Gambar MRI pada Myelitis Transversa...................................................17
Gambar 2.9. Algoritma Diagnosis Myelitis.....................................................................18
Gambar 2.10. Kriteria Diagnosis Pada Multiple Sklerosis............................................18
Gambar 2.11. MRI pada Multiple Sklerosis...................................................................19
Gambar 2.12. Kriteria Neuromyelitis Optika.................................................................19
Gambar 2.13. Kriteria Acute Disseminated Encephalomyelitis....................................20
Gambar 2.14. Perbedaan MRI pada MS, NMOSD,ADEM,IATM...............................20

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Myelitis transversal (TM) adalah peradangan pada sumsum tulang
belakang sepanjang satu atau lebih level, tanpa adanya lesi tekan. Peradangan
ini dapat menyebabkan kerusakan pada myelin serat sel saraf ensheathing,
dengan disfungsi neurologis yang dihasilkan termasuk kelemahan, gangguan
sensorik, dan masalah otonom termasuk usus dan kandung kemih1. Insiden
myelitis dari seluruh usia anak hingga dewasa dilaporkan sebanyak 1-8 juta
orang di Amerika Serikat, sekitar 1400 kasus baru per tahun yang didiagnosis
di Amerika Serikat. Sebanyak 34000 orang dewasa dan anak-anak menderita
gejala sisa myelitis berupa cacat sekunder. Sekitar 20 % dari myelitis
transversal akut terjadi pada anak-anak. Sedangkan insiden myelitis transversa
idiopatik sekitar 1,34-4,6 juta per tahun2. Myelitis dapat disebabkan berbagai
etiologi seperti infeksi bakteri dan virus, penyakit autoimun sistemik,
beberapa sclerosis, SLE, Sjogren sindrome, pasca trauma, neoplasma, iskemik
atau perdarahan saraf tulang belakang dan jarang penyebab iatrogenik. Pada
kasus dimana penyebab dari myelitis tidak dapat diidentifikasi maka disebut
sebagai idiopatik3,. Selama terjadi inflamasi pada saraf tulang belakang, akson
yang bermyelin mengalami kerusakan yang dapat menyebabkan gejala berupa
gejala motorik seperti kelumpuhan, disfungsi sensori seperti rasa nyeri dan
rasa kebas, dan disfungsi otonom seperti retensi urin. Sedangkan prognosis
dari myelitis adalah buruk. Prognosis setelah serangan myelitis sangat
bervariasi antara dewasa dan anak4. Belum ada penelitian mengenai myelitis
transversa di indonesia khususnya di palembang. Oleh sebab itulah refrat
dengan judul myelitis transversa ini disusun.

1.2. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan referat ini adalah sebagai berikut.


1. Diharapkan dokter muda dapat memahami Myelitis transversal, secara
menyeluruh.

1
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukan diskusi mengenai
materi Myelitis transversal.
3. Diharapkan dokter muda dapat mengaplikasikan pemahaman yang didapat
mengenai kasus Myelitis transversal selama menjalani kepaniteraan klinik
dan seterusnya.

1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
1. Bagi Institusi
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu kesehatan saraf terutama
mengenai Myelitis transversal.
2. Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan karya
ilmiah selanjutnya.
1.3.2 Manfaat Praktisi
Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh
dari referat ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan
diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Anatomi dan fisiologi Sistem Saraf


Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls
saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi
tanggapan rangsangan5. Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu
bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang
paling kompleks. Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang
cepat dengan kecepatan pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada
aktivitas listrik (impuls saraf)6. Alur informasi pada sistem saraf dapat
dipecah secara skematis menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau
internal yang mengenai organ-organ sensorik akan menginduksi
pembentukan impuls yang berjalan ke arah susunan saraf pusat (SSP)
(impuls afferent), terjadi proses pengolahan yang komplek pada SSP
(proses pengolahan informasi) dan sebagai hasil pengolahan, SSP
membentuk impuls yang berjalan ke arah perifer (impuls efferent) dan
mempengaruhi respons motorik terhadap stimulus6.
Susunan sistem saraf terbagi secara anatomi yang terdiri dari saraf
pusat (otak dan medula spinalis) dan saraf tepi (saraf kranial dan spinal)
dan secara fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik6.

Gambar 2.1. Susunan sistem saraf7


1. Sistem saraf pusat
Susunan saraf pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula
spinalis, yang merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktifitas
tubuh. Bagian fungsional pada susunan saraf pusat adalah neuron akson

3
sebagai penghubung dan transmisi elektrik antar neuron, serta
dikelilingi oleh sel glia yang menunjang secara mekanik dan
metabolik6.
A. Otak
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai pusat
pengatur dari segala kegiatan manusia yang terletak di dalam rongga
tengkorak. Bagian utama otak adalah otak besar (cerebrum), otak
kecil (cereblum) dan otak tengah8. Otak besar merupakan pusat
pengendali kegiatan tubuh yang disadari. Otak besar ini dibagi
menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan kiri. Tiap belahan
tersebut terbagi menjadi 4 lobus yaitu frontal, parietal, okspital, dan
temporal. Sedangkan disenfalon adalah bagian dari otak besar yang
terdiri dari talamus, hipotalamus, dan epitalamus 8. Otak belakang/
kecil terbagi menjadi dua subdivisi yaitu metensefalon dan
mielensefalon. Metensefalon berubah menjadi batang otak (pons)
dan cereblum. Sedangkan mielensefalon akan menjadi medulla
oblongata 7. Otak tengah/ sistem limbic terdiri dari hipokampus,
hipotalamus, dan amigdala8.

Gambar 2.2. anatomi otak9.


Pada otak terdapat suatu cairan yang dikenal dengan cairan
serebrospinalis. Cairan cerebrospinalis ini mengelilingi ruang sub
araknoid disekitar otak dan medula spinalis. Cairan ini juga mengisi

4
ventrikel otak. Cairan ini menyerupai plasma darah dan cairan
interstisial dan dihasilkan oleh plesus koroid dan sekresi oleh sel-sel
epindemal yang mengelilingi pembuluh darah serebral dan melapisi
kanal sentral medula spinalis. Fungsi cairan ini adalah sebagai
bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan medula spinalis, juga
berperan sebagai media pertukaran nutrien dan zat buangan antara
darah dan otak serta medula spinalis7.
B. Medula Spinalis (Sumsum Tulang Belakang)
Sumsum tulang belakang terletak memanjang di dalam rongga
tulang belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas
tulang pinggang yang kedua. Sumsum tulang belakang terbagi
menjadi dua lapis yaitu lapisan luar berwarna putih (white area) dan
lapisan dalam berwarna kelabu (grey area)10. Lapisan luar
mengandung serabut saraf dan lapisan dalam mengandung badan
saraf. Di dalam sumsum tulang belakang terdapat saraf sensorik,
saraf motorik dan saraf penghubung. Fungsinya adalah sebagai
penghantar impuls dari otak dan ke otak serta sebagai pusat pengatur
gerak refleks8.

Gambar 2.3. medula spinalis

5
2. Sistem Saraf Tepi
Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis yang
merupakan garis komunikasi antara SSP dan tubuh. SST tersusun dari
semua saraf yang membawa pesan dari dan ke SSP Berdasarkan
fungsinya SST terbagi menjadi 2 bagian yaitu6:
A. Sistem Saraf Somatik (SSS)
Sistem saraf somatik terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31
pasang saraf spinal. Proses pada saraf somatik dipengaruhi oleh
kesadaran.
1. Saraf kranial 12 pasang
saraf kranial muncul dari berbagai bagian batang otak. Beberapa
dari saraf tersebut hanya tersusun dari serabut sensorik, tetapi sebagian
besar tersusun dari serabut sensorik dan motorik.

Gambar 2.4. Distribusi Saraf Krania

2. Saraf spinal Ada 31 pasang


Saraf spinal berawal dari korda melalui radiks dorsal (posterior) dan
ventral (anterior). Saraf spinal adalah saraf gabungan motorik dan
sensorik, membawa informasi ke korda melalui neuron aferen dan
meninggalkan melalui eferen.

6
Gambar 2.5. Saraf Spinalis (31 pasang) beserta nama dan letaknya
B. Sistem Saraf Otonom (SSO)
Sistem saraf otonom mengatur jaringan dan organ tubuh yang tidak
disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh sistem saraf otonom
adalah pembuluh darah dan jantung. Sistem ini terdiri atas sistem saraf
simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Fungsi dari kedua sistem saraf ini
adalah saling berbalikan.

2.6. Sistem Saraf Otonom (Parasimpatik-Simpatik)11

7
SST berdasarkan divisinya juga dibagi menjadi dua bagian yaitu6:
1. Divisi sensori (afferent) yaitu susunan saraf tepi dimulai dari
receptor pada kulit atau otot (effector) ke dalam pleksus, radiks, dan
seterusnya kesusunan saraf pusat. Jadi besifat ascendens.
2. Divisi motorik (efferent) yang menghubungkan impuls dari SSP ke
effector (Muscle and Glands) yang bersifat desendens untuk menjawab
impuls yang diterima dari reseptor di kulit dan otot dari lingkungan
sekitar
3. Sel-sel Pada Sistem Saraf
Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel saraf
dan sel glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk menghantarkan
impuls dari panca indera menuju otak yang selanjutnya oleh otak akan
dikirim ke otot. Sedangkan sel glial berfungsi sebagai pemberi nutrisi
pada neuron5.
A. Sel Saraf Neuron
Sel saraf (neuron) bertanggung jawab untuk proses transfer
informasi pada sistem saraf6. Sel saraf berfungsi untuk menghantarkan
impuls. Setiap satu neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu badan
sel (soma), dendrit dan akson. Badan sel (soma) memiliki satu atau
beberapa tonjolan5. Soma berfungsi untuk mengendalikan
metabolisme keseluruhan dari neuron7. Badan sel (soma) mengandung
organel yang bertanggung jawab untuk memproduksi energi dan
biosintesis molekul organik, seperti enzim-enzim. Pada badan sel
terdapat nukleus, daerah disekeliling nukleus disebut perikarion.
Badan sel biasanya memiliki beberapa cabang dendrit6.
Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang
serta merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk
menerima dan menghantarkan rangsangan ke badan sel8. Khas dendrit
adalah sangat bercabang dan masing-masing cabang membawa proses
yang disebut dendritic spines6.
Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan
informasi keluar dari badan sel5. Di dalam akson terdapat benang-

8
benang halus disebut neurofibril dan dibungkus oleh beberpa lapis
selaput mielin yang banyak mengandung zat lemak dan berfungsi
untuk mempercepat jalannya rangsangan. Selaput mielin tersebut
dibungkus oleh sel-sel Schwann yang akan membentuk suatu jaringan
yang dapat menyediakan makanan dan membantu pembentukan
neurit. Bagian neurit ada yang tidak dibungkus oleh lapisan mielin
yang disebut nodus ranvier8. Pada SSP, neuron menerima informasi
dari neuron dan primer di dendritic spines, yang mana ditunjukkan
dalam 80-90% dari total neuron area permukaan. Badan sel
dihubungkan dengan sel yang lain melalui akson yang ujung satu
dengan yang lain membentuk sinaps. Pada masing-masing sinap
terjadi komunikasi neuron dengan sel yang lain6.

Gambar 2.7. Struktur Neuron

B. Sel penyokong atau Neuroglia (Sel Glial)


Sel glial adalah sel penunjang tambahan pada SSP yang berfungsi
sebagai jaringan ikat7. selain itu juga berfungsi mengisolasi neuron,
menyediakan kerangka yang mendukung jaringan, membantu
memelihara lingkungan interseluler, dan bertindak sebagai fagosit.
Jaringan pada tubuh mengandung kira-kira 1 milyar neuroglia, atau sel
glia, yang secara kasar dapat diperkirakan 5 kali dari jumlah neuron 5.
Sel glia lebih kecil dari neuron dan keduanya mempertahankan
kemapuan untuk membelah, kemampuan tersebut hilang pada banyak

9
neuron. Secara bersama-sama, neuroglia bertanggung jawab secara
kasar pada setengah dari volume sistem saraf. Terdapat perbedaan
organisasi yang penting antara jaringan sistem saraf pusat dan sistem
saraf tepi, terutama disebabkan oleh perbedaaan pada jenis sel glia
tersebut. Ada empat macam sel glia yang memiliki fungsi berbeda
yaitu5:
 Astrosit/ Astroglia: berfungsi sebagai “sel pemberi makan”
bagi sel saraf
 Oligodendrosit/ Oligodendrolia: sel glia yang bertanggung
jawab menghasilkan mielin dalam susunan saraf pusat. Sel ini
mempunyai lapisan dengan substansi lemak mengelilingi
penonjolan atau sepanjang sel saraf sehingga terbentuk
selubung mielin. Mielin pada susunan saraf tepi dibentuk oleh
sel Schwann. Sel ini membentuk mielin maupun neurolemma
saraf tepi. Mielin menghalangi ion natrium dan kalium
melintasi membran neuronal dengan hampir sempurna.
Serabut saraf ada yang bermielin ada yang tidak. Transmisi
impuls saraf disepanjang serabut bermielin lebih cepat
daripada serabut yang tak bermielin, karena impuls berjalan
dengan cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain
disepanjang selubung mielin. Peran dari mielin ini sangatlah
penting, oleh sebab itu pada beberapa orang yang selubung
mielinnya mengalami peradangan ataupun akan kehilangan
kemampuan untuk mengontrol otot-ototnya sehingga terjadi
kelumpuhan pada otot-otot tersebut.
 Mikroglia: sel glia yang mempunyai sifat fagosit dalam
menghilangkan sel-sel otak yang mati, bakteri dan lain-lain.
Sel jenis ini ditemukan diseluruh SSP dan dianggap penting
dalam proses melawan infeksi.
 Sel ependimal: sel glia yang berperan dalam produksi cairan
cerebrospinal.

10
Neuralgia pada sistem saraf tepi biasanya berkumpul jadi satu dan
disebut ganglia (tunggal: ganglion). Akson juga bergabung menjadi satu
dan membentuk sistem saraf tepi. Seluruh neuron dan akson disekat atau
diselubungi oleh sel glia. Sel glia yang berperan terdiri dari sel satelit dan
sel Schwann. Badan neuron pada ganglia perifer diselubungi oleh sel
satelit. Sel satelit berfungsi untuk regulasi nutrisi dan produk buangan
antara neuron body dan cairan ektraseluler. Sel tersebut juga berfungsi
untuk mengisolasi neuron dari rangsangan lain yang tidak disajikan di
sinap. Setiap akson pada saraf tepi, baik yang terbungkus dengan mielin
maupun tidak, diselubungi oleh sel Schwann atau neorolemmosit.
Plasmalemma dari akson disebut axolemma; pembungkus sitoplasma
superfisial yang dihasilkan oleh sel Schwann disebut neurilemma 6. Dalam
penyampaian impuls dari reseptor sampai ke efektor perifer caranya
berbeda-beda. Sistem saraf somatik (SSS) mencakup semua neuron
motorik somatik yang meng-inervasi otot, badan sel motorik neuron ini
terletak dalam SSP, dan akson-akson dari SSS meluas sampai ke sinapsis
neuromuskuler yang mengendalikan otot rangka. Sebagaian besar kegiatan
SSS secara sadar dikendalikan. Sedangkan sistem saraf otonom mencakup
semua motorik neuron viseral yang menginervasi efektor perifer selain
otot rangka. Ada dua kelompok neuron motorik viseral, satu kelompok
memiliki sel tubuh di dalam SSP dan yang lainnya memiliki sel tubuh di
ganglia perifer6. Neuron dalam SSP dan neuron di ganglia perifer
berfungsi mengontrol efektor di perifer. Neuron di ganglia perifer dan di
SSP mengontrolnya secala bergiliran. Akson yang memanjang dari SSP ke
ganglion disebut serat preganglionik. Akson yang menghubungkan sel
ganglion dengan efektor perifer dikenal sebagai serat postganglionik.
Susunan ini jelas membedakan sistem (motorik visceral) otonom dari
sistem motorik somatik. Sistem motorik somatik dan sitem motorik
visceral memiliki sedikit kendali kesadaran atas kegiatan SSO. Interneuron
terletak diantara neuron sensori dan motorik. Interneuron terletak
sepenuhnya didalam otak dan sumsum tulang belakang. Mereka lebih
banyak daripada semua gabungan neuron lain, baik dalam jumlah dan

11
jenis. Interneuron bertanggung jawab untuk menganalisis input sensoris
dan koordinasi motorik output. Interneuron dapat diklasifikasikan sebagai
rangsang atau penghambat berdasarkan efek pada membran post sinaps
neuron6.

2.2 Myelitis Transversal


2.2.1. Definisi
Myelitis transversal adalah peradangan fokus pada sumsum tulang
belakang sepanjang satu atau lebih level, tanpa adanya lesi tekan.
Peradangan ini dapat menyebabkan kerusakan pada myelin serat sel saraf
ensheathing, dengan disfungsi neurologis yang dihasilkan termasuk
kelemahan, gangguan sensorik, dan masalah otonom termasuk usus dan
kandung kemih1. Sedangkan Myelitis Transversa Akut adalah kelainan
demielinasi inflamasi yang jarang terjadi yang ditandai dengan onset motor,
sensorik, dan disfungsi otonom yang relatif akut 12. Dapat terjadi secara
idiopatik yaitu tidak ada bakteri spesifik, virus, atau penyebab inflamasi
yang jelas yang ditemukan, atau dapat juga terjadi secara sekunder yaitu
terdapat penyakit yang sebelumnya1.
2.2.2. Epidemiologi
Myelitis transversa jarang terjadi, dengan hanya 1.400 kasus baru setiap
tahun di Amerika Serikat, atau 1,34 hingga 4,6 kasus per juta populasi per
tahun. Sebuah penelitian tahun 1993 di Amerika Serikat pada myelopathy
noncompressive akut atau subakut melaporkan bahwa 45% dari kasus
adalah parainfectious, 21% multiple sclerosis, 12% iskemia sumsum tulang
belakang, dan 21% idiopatik1. Sebuah studi retrospektif multisenter di
Prancis tahun 2005 yang menerapkan kriteria Kelompok Kerja Konsorsium
myelitis transversa akut pada 288 subjek memiliki penyebaran yang lebih
merata. Penyakit sistemik (systemic lupus erythematosus, sindrom Sjögren,
sindrom antifosfolipid) terlibat dalam 20,5%, infark sumsum tulang
belakang pada 18,8%, multiple sclerosis 10,8%, infeksi sklerosis 10,8%,
infeksi 17,5% skainosis atau parainfeksi, neuromielitis optica 17%, dan
neuropatik akut Myelitis transversa 15,6%1. Pada kasus ini dominasi oleh

12
perempuan yaitu sekitar 60% hingga 75%. Pasien dengan myelitis
transversa yang berkaitan dengan multiple sclerosis,setelah infeksi, atau
idiopatik terjadi di usia lebih muda, sedangkan mereka dengan myelitis
transversa yang berkaitan dengan infark medula spinalis atau efek radiasi
lebih tua. Kasus ini dapat kambuh, mulai dari 17,5% hingga 61% serta bisa
kambuh lebih umum dengan myelitis transversa parsial akut1. Insidensi pada
pediatrik adalah 1,7-2 per juta anak per tahun. Rasio pria terhadap wanita
adalah 1,1-1,6 : 1. Akut myelitis transversa lebih sering terjadi pada usia
dewasa yang lebih umum. Pada anak-anak 20% dari total kasus akut
myelitis transversa. Distribusi usia pada akut myelitis transversa pediatrik
terutama di bawah 5 dan lebih dari 10 tahun. Tidak ada kecenderungan
etnis. Infeksi atau vaksinasi sebelumnya dilaporkan masing-masing hingga
66% dan 28% anak-anak dengan myelitis transversa, selama 30 hari
sebelum timbulnya penyakit. Trauma tulang belakang ringan atau suntikan
alergi mungkin merupakan faktor risiko sebelumnya12.
2.2.3. Etiologi
Studi lain dari Perancis pada 2012 tentang myelitis transversa parsial akut
dengan masa tindak lanjut rata-rata 104,8 bulan melaporkan etiologi kasus
tersebut adalah 62% multiple sclerosis, 1% myelitis postinfectious, 1%
neuromyelitis optica, 1% Sjögren syndrome, dan 34% belum ditentukan
atau idiopatik1. Penyebab lain terjadinya myelitis transversa ini adalah3:
 Gangguan sistem kekebalan tubuh
Gangguan ini berperan penting dalam menyebabkan kerusakan pada
sumsum tulang belakang. Gangguan tersebut adalah aquaporin-4
autoantibody yang terkait neuromyelitis optica, multiple sclerosis.
Fenomena autoimun pasca-infeksi atau pasca-vaksin, di mana sistem
kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan tubuh sendiri
ketika merespons infeksi.
 Infeksi virus
Virus terkait termasuk virus herpes seperti varicella zoster (virus
yang menyebabkan cacar air dan herpes zoster), herpes simpleks,
cytomegalovirus, dan Epstein-Barr; flavivirus seperti West Nile dan

13
Zika; influenza, echovirus, hepatitis B, gondong, campak, dan
rubella.
 Infeksi bakteri
seperti sifilis, TBC, actinomyces, pertusis, tetanus, difteri, dan
penyakit Lyme. Infeksi bakteri kulit, infeksi telinga tengah,
gastroenteritis campylobacter jejuni, dan pneumonia bakteri
mikoplasma juga telah dikaitkan dengan kondisi tersebut.
 Infeksi jamur di sumsum tulang belakang, termasuk Aspergillus,
Blastomyces, Coccidioides, dan Cryptococcus.
 Parasit, termasuk Toksoplasmosis, Sistiserkosis, Schistosomiasis,
dan Angti Strongyloides.
 Gangguan peradangan lainnya yang dapat mempengaruhi sumsum
tulang belakang, seperti sarkoidosis, lupus erythematosus sistemik,
sindrom Sjogren, penyakit jaringan ikat campuran, skleroderma, dan
sindrom Bechet.
 Gangguan pembuluh darah seperti malformasi arteri-vena, fistula
vena arteri-dural, malformasi kavernosa intra spinal, atau emboli
diskus.
2.2.4. Patofisiologi
Patogenesis myelitis transversa sebagian besar pasien mengalami
pleocytosis CSF dan barrier breakdown darah-otak dalam area sumsum
tulang belakang. Pada 30-60% kasus myelitis transversa idiopatik, ada
penyakit pernafasan, gastrointestinal atau sistemik yang sebelumnya.
aktivasi abnormal dari sistem kekebalan mengakibatkan peradangan dan
cedera dalam sumsum tulang belakang. Berbagai agen infeksi meniru
encodemolecular (mis. Protein, glikolipid atau prototeoglikan) yang
menyerupai antigen diri sendiri. Respons imun terhadap bentuk antibodi
kemudian dapat mengakibatkan aktivasi kekebalan secara reaktif terhadap
jaringan. Molekul tersebut dapat merangsang limfosit T, sehingga memecah
toleransi kekebalan tubuh sendiri yang sebelumnya telah ada. Sebagai
alternatif, bentuk molekul menstimulasi pembentukan antibodi yang
bereaksi silang dengan antigen, yang menghasilkan pembentukan kompleks

14
imun dan aktivasi cedera sel-mediated komplemen-mediated atau yang
dimediasi sel untuk selftissue. Autoantibodi ini dapat berfungsi sebagai
antagonis terhadap reseptor seluler, mengubah pensinyalan seluler,
metabolisme, atau aktivitas sehingga merusak sel saraf di tulang belakang.

2.2.5. Gejala Klinis


Mielitis transversal dapat berupa akut (berkembang beberapa jam hingga
beberapa hari) atau subakut (biasanya berkembang selama satu hingga
empat minggu). Empat fitur klasik dari mielitis transversal adalah3:
 Kelemahan kaki dan lengan. Orang dengan mielitis transversal mungkin
memiliki kelemahan pada tungkai yang berkembang dengan cepat. Jika
mielitis mengenai sumsum tulang belakang bagian atas, itu
mempengaruhi lengan juga. Individu dapat mengembangkan
paraparesis (kelumpuhan parsial pada kaki) yang dapat berkembang
menjadi paraplegia (lumpuh total pada kaki), yang mengharuskan orang
tersebut menggunakan kursi roda.
 Rasa sakit. Gejala awal biasanya termasuk nyeri punggung bagian
bawah atau tajam, sensasi penembakan yang menjalar ke bawah kaki
atau lengan atau di sekitar batang tubuh.
 Perubahan sensorik. Mielitis transversal dapat menyebabkan parestesia
(sensasi abnormal seperti terbakar, gelitik, tusukan, mati rasa,
kedinginan, atau kesemutan) di kaki, dan hilangnya sensoris. Sensasi
abnormal di tubuh dan daerah genital sering terjadi.
 Disfungsi usus dan kandung kemih. Gejala umum termasuk
peningkatan frekuensi atau dorongan untuk menggunakan toilet,
inkontinensia, kesulitan berkemih, dan sembelit.
 Banyak orang juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan tidak
nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan, sementara
beberapa orang mengalami masalah pernapasan. Gejala lain mungkin
termasuk disfungsi seksual dan depresi dan kecemasan yang disebabkan
oleh perubahan gaya hidup, stres, dan nyeri kronis.

15
 Segmen sumsum tulang belakang di mana kerusakan terjadi
menentukan bagian mana dari tubuh yang terpengaruh. Kerusakan pada
satu segmen akan memengaruhi fungsi pada level itu dan di bawahnya.
Pada individu dengan mielitis transversal, kerusakan mielin paling
sering terjadi pada saraf di punggung atas, menyebabkan masalah
dengan gerakan kaki dan kontrol usus dan kandung kemih, yang
memerlukan sinyal dari segmen bawah sumsum tulang belakang.

2.2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan


Dalam mendiagnosis mielitis transversal dilakukan dengan
mengambil riwayat medis dan melakukan pemeriksaan neurologis
menyeluruh. Langkah pertama dalam mengevaluasi kondisi medula
spinalis adalah untuk menyingkirkan penyebab yang memerlukan
intervensi darurat, seperti trauma atau tekanan massa pada medula spinalis.
Masalah lain yang harus dikesampingkan termasuk hernia atau cakram
yang terpeleset, stenosis (penyempitan kanal yang memegang sumsum
tulang belakang), abses, pengumpulan pembuluh darah yang tidak normal,
dan defisiensi vitamin. Tes yang dapat menunjukkan diagnosis mielitis
transversal dan menyingkirkan atau mengevaluasi penyebab yang
mendasarinya meliputi3:
 Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan medan
magnet yang kuat dan gelombang radio untuk menghasilkan
tampilan cross sectional atau gambar tiga dimensi jaringan,
termasuk otak dan sumsum tulang belakang. MRI tulang
belakang hampir selalu akan mengkonfirmasi adanya lesi di
dalam sumsum tulang belakang, sedangkan MRI otak dapat
memberikan petunjuk untuk penyebab lain yang
mendasarinya, terutama MS. Dalam beberapa kasus, computed
tomography (CT), yang menggunakan x-ray dan komputer
untuk menghasilkan gambar penampang tubuh atau organ,
dapat digunakan. Sering kali injeksi agen kontras diberikan
untuk menentukan apakah agen kontras bocor ke sumsum
tulang belakang yang merupakan ciri khas dari peradangan.

16
 Tes darah dapat dilakukan untuk menyingkirkan berbagai
gangguan seperti infeksi HIV, kekurangan vitamin B12, dan
banyak lainnya. Darah diuji keberadaan antibodi (anti-
aquaporin-4, anti-myelin oligodendrocyte) dan sejumlah
antibodi yang terkait dengan kanker (antibodi paraneoplastik)
yang dapat ditemukan pada orang dengan mielitis transversal.
 Tusukan lumbar (juga disebut spinal tap) menggunakan jarum
untuk mengeluarkan sampel kecil cairan serebrospinal yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Pada beberapa
orang dengan mielitis transversal, cairan serebrospinal
mengandung lebih banyak protein daripada biasanya dan
peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit) yang membantu
tubuh melawan infeksi.
 Jika tidak ada dari tes ini yang menunjukkan penyebab
spesifik, orang tersebut dianggap memiliki mielitis transversa
idiopatik. Dalam beberapa kasus, pengujian awal
menggunakan MRI dan pungsi lumbal mungkin menunjukkan
hasil normal tetapi mungkin perlu diulang dalam 5-7 hari.

Gambar 2.8.: gambar MRI pada Myelitis Transversa

17
Gambar 2.9. algorimyelitis transversaa diagnosis myelitis
transversa14

2.2.7. Diagnosis Banding


 Multiple Sclerosis

Gambar 2.10. kriteria diagnosis pada multiple sclerosis14

18
Gambar 2.11. MRI pada multiple sclerosis14
 Neuromyelitis Optika

Gambar 2.12. kriteria neuromyelitis optika14

19
 Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM)

Gambar 2.13. kriteria acute disseminated encephalomyelitis14

Gambar 2.14. perbedaan MRI pada MS,


NMOSD,ADEM,IAMYELITIS TRANSVERSA14
 Selain itu diagnosis banding pada myelitis transversa ini dibedakan
berdasarkan etiologi terjadinya myelitis transversa14.

2.2.8. Tatalaksana
 Steroid intravena
Pengobatan steroid intravena adalah terapi lini pertama yang sering
digunakan pada Mielitis transversa akut. Kortikosteroid memiliki
banyak mekanisme aksi termasuk aktivitas antiinflamasi, sifat
imunosupresif, dan aksi antiproliferatif. Meskipun tidak ada studi
acak terkontrol plasebo double-blind yang mendukung pendekatan
ini, bukti dari gangguan terkait dan pengalaman klinis mendukung

20
perawatan ini. Di Johns Hopkins myelitis transversa Center, standar
perawatan termasuk metilprednisolon intravena (1000 mg) atau
deksametason (200 mg) selama 3 sampai 5 hari kecuali ada alasan
kuat untuk menghindari terapi ini. Keputusan untuk menawarkan
steroid lanjutan atau menambah pengobatan baru seringkali
didasarkan pada perjalanan klinis, penyebab yang mendasari dan
penampilan MRI pada akhir 5 hari steroid13.
 Pertukaran Plasma (PLEX)
PLEX sering dimulai pada myelitis transversa sedang hingga berat
(yaitu, ketidakmampuan untuk berjalan, fungsi otonom yang sangat
jelas, dan kehilangan sensorik pada ekstremitas bawah) pada
individu yang menunjukkan sedikit perbaikan klinis setelah
pemberian steroid intravena 5 sampai 7 hari, tetapi mungkin juga
dimulai pada presentasi pertama. PLEX diyakini bekerja pada
penyakit SSP autoimun melalui penghilangan faktor terlarut spesifik
atau tidak spesifik yang kemungkinan menjadi perantara,
bertanggung jawab atas, atau berkontribusi terhadap kerusakan
organ target yang dimediasi peradangan. PLEX telah terbukti efektif
pada orang dewasa dengan myelitis transversa dan gangguan
inflamasi akut SSP lainnya13.
 Perawatan Imunomodulator Lainnya
Jika ada kelanjutan perkembangan meskipun dengan terapi steroid
intravena dan PLEX, dipertimbangkan dosis intravena siklofosfamid
(800-1000 mg / m2) dipertimbangkan. Siklofosfamid diketahui
memiliki sifat imunosupresif. Dari pengalaman Johns Hopkins
myelitis transversa Center, telah dilaporkan bahwa PLEX
memberikan manfaat tambahan untuk steroid pada pasien yang tidak
berada pada tingkat kecacatan ASIA A dan yang tidak memiliki
riwayat penyakit autoimun. Bagi mereka yang diklasifikasikan pada
tingkat kecacatan, mereka menunjukkan manfaat yang signifikan
ketika diberikan terapi kombinasi dengan steroid, PLEX dan IV
cyclophosphamide. Siklofosfamid harus diberikan di bawah

21
pengawasan tim onkologi yang berpengalaman, dan pengasuh harus
memantau pasien dengan saksama untuk sistitis hemoragik dan
sitopenia13.
 Perawatan dan Manajemen Jangka Panjang
Setelah fase akut, perawatan rehabilitasi untuk meningkatkan
keterampilan fungsional dan mencegah komplikasi sekunder
imobilitas melibatkan akomodasi psikologis dan fisik. Masalah fisik
termasuk manajemen usus dan kandung kemih, seksualitas,
pemeliharaan integritas kulit, kelenturan, kegiatan hidup sehari-hari
(mis., Berpakaian), mobilitas, dan rasa sakit13.
 Tidak ada prosedur pembedahan kuratif khusus untuk myelitis
transversa. Namun, lesi seperti abses, disk hernia, stenosis tulang
belakang, dan tumor mungkin perlu segera dioperasi untuk
meredakan tekanan dan mencegah kerusakan lebih lanjut1.

2.2.9. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien myelitis transversa ini adalah
hipotensi ortostatik, gangguan termoregulasi, disrefleksia otonom, infeksi
paru-paru dan saluran kemih, ileus dan konstipasi, ketidakseimbangan
elektrolit, kerusakan kulit, kelenturan dan kontraktur, nyeri
muskuloskeletal dan neuropatik, cedera (termasuk patah tulang) pada
tulang, otot, dan persendian karena sensorik. Osifikasi heterotopik,
osteoporosis, batu ginjal, depresi, dan kecemasan. Mungkin ada
kelemahan otot pernapasan tergantung pada tingkat medula spinalis yang
terlibat, dan ketika parah, bantuan ventilasi mekanis mungkin diperlukan.
Risiko bronkopneumonia dan apnea tidur diperparah dengan obat
penenang atau obat penekan pernapasan1. Osifikasi heterogen dapat terjadi
di sekitar sendi, terutama siku, lutut, dan pinggul. Komplikasi
gastrointestinal meliputi distensi gas, regurgitasi, gangguan pencernaan,
dan konstipasi kronis. Infeksi saluran kemih dan urosepsis juga sering
terjadi pada kandung kemih neurogenik, karena baik urin yang tertahan
dan instrumentasi kandung kemih meningkatkan risiko infeksi.

22
Disrefleksia otonom / hiperrefleksia dapat terjadi, terutama untuk lesi di
atas T6. Nyeri adalah keluhan yang sangat sering dan mungkin timbul dari
sumber muskuloskeletal atau bersifat neuropatik. Penatalaksanaan nyeri
dapat meliputi obat-obatan seperti analgesik, obat antiinflamasi
nonsteroid, kursus singkat penghambat siklooksigenase-2, berbagai
antikonvulsan, dan antidepresan trisiklik1. Nyeri bahu umum terjadi
dengan penyebab tendinitis, cedera rotator cuff, kontraktur, dan radang
sendi atau artritis degeneratif. Komplikasi yang umum adalah kerusakan
iskemik kulit jika pelepasan tekanan tidak dilakukan secara teratur.
Kesadaran dan pemantauan untuk trombosis vena dalam dan emboli paru
harus rutin. Tekanan yang berkepanjangan pada saraf tepi juga dapat
menyebabkan disestesia, nyeri, atau lemah. Dapat juga terjadi masalah
seksualitas, reproduksi, dan kesuburan, terutama pada pasien yang lebih
muda dan aktif secara seksual1.

2.2.10. Prognosis
Kebanyakan orang dengan mielitis transversal memiliki setidaknya
pemulihan sebagian, dengan sebagian besar pemulihan terjadi dalam 3
bulan pertama setelah serangan. Bagi sebagian orang, pemulihan dapat
berlanjut hingga 2 tahun (dan dalam beberapa kasus, lebih lama). Namun,
jika tidak ada perbaikan dalam 3 sampai 6 bulan pertama, pemulihan total
tidak mungkin terjadi (meskipun pemulihan sebagian masih dapat terjadi
dan masih membutuhkan rehabilitasi). Perawatan akut yang agresif dan
terapi fisik telah terbukti meningkatkan hasil. Beberapa individu memiliki
kecacatan sedang (seperti kesulitan berjalan, sensitivitas saraf, dan
masalah kandung kemih dan usus) sementara yang lain mungkin memiliki
kelemahan permanen, kelenturan, dan komplikasi lainnya. Serangan
myelitis dengan neuromyelitis optica spectrum disorder (NMOSD)
cenderung lebih parah dan berhubungan dengan pemulihan yang lebih
sedikit dibandingkan serangan dengan multiple sclerosis. Penelitian telah
menunjukkan bahwa timbulnya gejala yang cepat umumnya menghasilkan
pemulihan yang lebih buruk.Banyak orang dengan mielitis transversal

23
hanya mengalami satu episode meskipun mielitis transversal berulang atau
kambuh kadang-kadang terjadi, terutama ketika penyebab yang
mendasarinya (seperti MS atau NMOSD) dapat ditemukan3.
Beberapa orang pulih sepenuhnya dan kemudian mengalami
kekambuhan. Yang lain mulai pulih dan kemudian menderita gejala yang
memburuk sebelum pemulihan berlanjut. Dalam semua kasus mielitis
transversal, dokter akan mengevaluasi kemungkinan penyebab yang
mendasari seperti MS, NMOSD, atau sarkoidosis, karena kebanyakan
orang dengan kondisi yang mendasari ini dapat mengalami kekambuhan
atau memburuk ketika pengobatan akut dihentikan. Orang-orang ini harus
diperlakukan dengan perawatan pencegahan untuk mengurangi
kemungkinan kambuh di masa depan3.

24
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
1. Myelitis transversa adalah peradangan fokus pada sumsum tulang
belakang sepanjang satu atau lebih level tanpa adanya lesi tekan.
2. Myelitis transversa ini sangat jarang terjadi, akan tetapi dibandingkan
dengan usia anak-anak myelitis transversa lebih sering terjadi pada usia
dewasa.
3. Myelitis transversa memiliki risiko kekambuhan yang tinggi yaitu 17%-
61%.
4. Myelitis transversa paling banyak disertai dengan penyakit autoimun.
3.2. Saran
Diharapkan dilakukan penelitian mengenai angka kejadian pada Myelitis
transversa di Palembang Khususnya di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
dan di Rumah Sakit Bari Palembang

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Lim,P.A.C.2019. Elsevier Public Health Emergency. Jurnal. Tranverse
Myelitis. Hal: 952-959. Diunggah pada tanggal 01 juli 2020
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7151963/)
2. Varina L. Wolf, Pamela J. Lupo and Timothy E. Lotze. Pediatric Acute
Transverse Myelitis Overview and Differential Diagnosis. J Child Neurol.
2012; 27: 1426. Diunggah pada tanggal 01 juli 2020
(https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0883073812452916)
3. Transverse Myelitis fact sheet. National Institute of Neurological
Disorders and Stroke.2020..Diunggah pada tanggal 01 juli
2020(https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-
Education/Fact-Sheets/Transverse-Myelitis-Fact-Sheet)
4. Elliot M. Frohman and Dean M. Wingerchuk. Transverse Myelitis. N Engl
J Med. 2010. No.363. Hal : 564-572. Diunggah pada tanggal 01 juli 2020
(https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp1001112)
5. Feriyawati, Lita. 2006. Anatomi Sistem Saraf dan Peranannya dalam
Regulasi Kontraksi Otot Rangka. Diakses tanggal 01 Juli 2020
(http://library.usu.ac.id/download/fk/060001194.pdf)
6. Bahrudin, M., 2013. Neurologi Klinis. Edisi Pertama, Malang, Universitas
Muhammadiyah Malang Press, hal 53-55.
7. Nugroho. 2013. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf. Diakses tanggal 01 juni
2020 (http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2013/11/ANATOMI-
FISIOLOGISISTEM-SARAF.pdf)
8. Khafinudin, Ahmad. 2012. Organ Pada Sistem Saraf. Diakses tanggal 01
juni 2020 (http://khafinudin.files.wordpress.com/2012/03/sistem-saraf.pdf)
9. Adam, Ron D, 1999; Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; Edisi
Ketiga, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
10. Chumaidah A.N. 2013. Neurologi. Diakses tanggal 20 Januari
2017(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/neurologi/2013.pdf)
11. Nelson,T.2015.Diakses tanggal 20 Desember 2016
(http://activateanddominate.com/wpcontent/uploads/2015/09/parasympath
eti c.jpg)

26
12. Tavasoli,A dan Aidin Tabrizi.2018. Iranian Journal Of Child Neurology.
Jurnal. Acute Transverse Myelitis In Children, Literature Review. Vol: 12.
No: 2. Hal: 7-16. Diunduh pada tanggal 02 juli 2020
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5904733/)
13. National Organization for Rare Disease.2020. transversa Myelitis.
Diunduh pada tanggal 02 juli 2020 (https://rarediseases.org/rare-
diseases/transverse-myelitis/)
14. Bacheet, M.F dan Ahmed Elkady.2020. Journal Of The Teaching Hospital
And Institutes. Jurnal. The Differential Diagnosis Of Acute Inflammatory
Transversa Myelitis Review Article. Vol: 9. No: 4. Hal: 8-21. Diunggah
pada tanggal 03 juli 2020
(https://www.researchgate.net/publication/338987561_The_Differential_D
iagnosis_of_Acute_Inflammatory_Transverse_Myelitis_Review_Article)
15. Kaplin, A.I, Douglass Kerr, Charlos A Pardo.2004. fronties In Bioscience.
Jurnal. Transversa Myelitis: Pathogenesis Diagnosis and Treatment. Vol:
9. Hal: 1483-1499. Diakses pada tanggal 03 juli 2020
(https://www.researchgate.net/publication/5242294_Transverse_myelitis_
Pathogenesis_diagnosis_and_treatment)

27

Anda mungkin juga menyukai