Oleh :
Erwin Dwitama, S.Ked
712021007
Pembimbing :
Laporan Kasus
Judul:
RESPIRATORY DISTRESS ET CAUSA STATUS ASTHMATICUS
Oleh:
Erwin Dwitama
712021007
Telah dilaksanakan pada bulan Mei 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“ Respiratory Distress et causa Status Astmaticus” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Umum Daerah Palembang Bari, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. dr. Ahmad Bayu Alfarizi, Sp.A (K), M.Kes selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang, yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan
dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual
3. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.
iii
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................6
1.3 Manfaat......................................................................................................7
2.2 Anamnesis.................................................................................................8
2.7 Tatalaksana..............................................................................................22
2.8 Prognosis.................................................................................................22
2.9 Follow-Up...............................................................................................23
3.7. Diagnosis.................................................................................................33
3.8. Tatalaksana..............................................................................................36
BAB V. KESIMPULAN......................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48
vi
BAB I
PENDAHULUAN
7
Asma adalah penyakit multifaktorial dengan perjalanan klinis yang
bervariasi pada setiap anak dan dapat berubah seiring berjalannya waktu.
Asma tidak dapat sembuh, tetapi dapat dikendalikan agar gejala tidak sering
muncul. Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua merupakan
kunci penting untuk mencapai asma terkendali.1,2
1.3 Manfaat
8
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : An. I H
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
Sesak nafas.
9
2. Keluhan Tambahan
10
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Penolong : Dokter
- Panjang badan : 47 cm
11
7. Riwayat Makanan
- ASI : 0-3 bulan
- Susu formula : 3 – sekarang
- Bubur nasi : 14 bulan
- Nasi tim : 14 bulan – 2 tahun
- Nasi biasa : 2 tahun – sekarang
8. Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur
BCG 0 Bulan
DPT 1 2 Bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan
Hepatitis 0 Bulan Hepatitis 2 bulan Hepatitis 3 bulan
B1 B2 3
Hib 1 1 Bulan Hib 2 2 bulan Hib 3 3 bulan
Polio 1 2 Bulan Polio 2 3 bulan Polio 3 4 bulan
MR 9 Bulan Polio 4 18 Bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
12
9. Pedigree
13
2.3 Pemeriksaan Fisik
14
15
Tanda Vital
TD : 127/68 mmHg
HR : 139 x/menit, isi : cukup, tegangan : cukup
Pernapasan : 30 x/menit, Tipe : Thorakoabdominal
Suhu : 36,4 0C
SpO2 : 97 %
2. Pemeriksaan khusus
Kepala
Kepala : Normocephali
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+)
THT
Leher
16
Thoraks
Paru
Jantung
Sinistra.
17
Abdomen
tekan (-)
Status Pubertas :-
(Skala Tanner)
KESAN : -
18
Status Neurologis :
1. Fungsi motorik
Lengan Tungkai
Kanan kiri Kanan kiri
Gerakan Segala Segala Segala Segala
arah arah arah arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflex fisiologis + + + +
Reflex patologis - - - -
2. Fungsi sensorik
Normal
3. Nervi craniales
19
N.VII(facialis) : Normal
N.VIII(vestibulocochlearis) : Tidak
diperiksa
N.IX(glossopharingeus) : Arcus pharynx simetris, uvula ditengah
N.X(vagus) : Arcus pharynx simetris, uvula ditengah
N.XI (accesorius) : Normal
4. Fungsi Autonom
20
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hematokrit 44 % 35-47%
Basofil 0% 0-1 %
Eosinofil 0% 1-3 %
Batang 1% 2-6 %
Segmen 78 % 50-70 %
Limfosit 17 % 20-40 %
Monosit 4% 2-8 %
Elektrolit
21
Pemeriksaan Rontgen Thoax (11 Mei 2022)
- Tulang-tulang intak
Kesan:
22
2.5 Diagnosis Banding
2. Pneumonia
3. Bronkiolitis
Status Asthmaticus
2.7 Tatalaksana
Non medikamentosa
Tirah baring
Medikamentosa
Injeksi Metilprednisolon 30 mg
Ceftriaxone 1x 600 mg
2.8 Prognosis
23
2.9 Follow-Up
Tanggal – Jam CATATAN KEMAJUAN (S/O/A) RENCANA
TATALAKSANA
12/05/22 Masalah : P:
Pukul 06.40 1. Sesak nafas Terapi :
WIB 2. Batuk
- IVFD KAEN 1 B gtt
3. Leukosit 12,400 /UL (meningkat)
10/menit
Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (+/+)
P: retraksi sela iga (+), krepitasi (-)
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal
24
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus
13/05/22 Masalah : P:
Pukul 05.30 1. Sesak nafas Terapi :
WIB 2. Batuk
- Injeksi ceftriaxon 1 x 600
mg
S : Sesak nafas berkurang (+), batuk
kering (+) - O2 nasal canule 2 Lpm
- IVFD KAEN 1B 10
O: cc/jam
KU: Tampak sakit sedang
- Metil prednisolone 15
Sens: Compos mentis
mg/ 8 jam
HR: 122 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR: 32 x/menit
SpO2: 99%
Temp: 36,8oC
Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (-/-)
P: retraksi sela iga (-), krepitasi (-)
25
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Cembung, Distensi, nyeri tekan
(-), timpani (+), bising usus (+), Shiffting
dullness (-), Undulasi (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik
A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus
HR: 108 x/menit, isi dan tegangan cukup mg/ 8 jam (stop)
RR: 30 x/menit
SpO2: 98%
Temp: 36,7oC
Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
26
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (+/+)
P: retraksi sela iga (+), krepitasi (-)
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus
27
Temp: 36,8oC Persiapan pulang.
Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (-/-)
P: retraksi sela iga (-), krepitasi (-)
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus
28
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada yang
diterima secara universal. Definisi asma yang ada pada beberapa pedoman
memasukkan gejala klinis dan karakteristiknya, serta mekanisme yang
mendasari dengan rincian yang berbeda antara satu pedoman dengan
lainnya. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai
suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran
respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada
saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang
bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori. International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan
dengan obstruksi saluran respiratori dan hiper- responsif bronkus, yang secara
klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang
berulang.1
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran
respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi
klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang
timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.2
29
3.2. Prevalensi Asma Pada Anak
Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering terjadi pada anak-
anak di negara maju, mengenai hampir 6 juta anak berusia kurang dari 18 tahun
di Amerika Serikat. Pada 2003, Survei Kesehatan Nasional dari Centres for
Disease Control and Prevention mendapatkan prevalens asma seumur hidup
adalah 12,5% dan prevalens asma saat itu adalah 8,5% pada anak berusia kurang
dari 18 tahun. Antara 1996 dan 2004, angka serangan asma dan prevalens asma
cukup stabil bila dibandingkan dengan 12 bulan sebelumnya.6
Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak
awal tahun 1990 di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti
menggunakan kuesioner yang dirancang masing masing sehingga hasilnya
berbeda. Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di
Indonesia dan berbagai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama
dari studi ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok usia 6-7 tahun dan
13-14 tahun.2
30
3.3. Faktor Risiko
31
3.4. Patogensis Asma
Patogenesis dasar penyakit asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran
napas yang melibatkan banyak sel dan elemen seluler. Inflamasi kronik tersebut
menyebabkan saluran napas menjadi hiperresponsif dan menjadi sempit,sehingga
mengganggu proses bernapas yang normal, dan menimbulkan manifestasi klinis
berupa sesak napas, mengi, dada terasa berat serta batuk, terutama pada malam
atau pagi hari.1.4
Aliran udara yang masuk terbatas disebabkan adanya faktor yang berperan
dalam patogenesis asma. Faktor utama yaitu terjadi inflamasi pada saluran napas.
Ada beberapa perubahan yang terjadi pada jalan napas. Perubahan utama yaitu
adanya kontraksi pada otot polos bronkus sehingga saluran napas akan
menyempit. Respon utama terhadap paparan berbagai rangsangan termasuk
alergen maupun zat iritan. IgE terutama sebagai antibiotik pada reaksi alergi fase
cepat setelah fase sensitisasi. Alergen masuk akan diendositosis oleh APCs, lalu
terdeteksi oleh sel T kemudian sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th2. Setelah
itu, sel Th2 melakukan induksi produksi IgE oleh sel B. IgE akan menempel di
reseptor permukaan sel mast dan basofil. Aktivasi oleh antigen ini
mengakitbatkan lepasnya mediator yang akan menginisiasi bronkospasme
semacam histamin, leukotriens, tryptase, prostaglandin D2 dan juga mediator
inflamasi sitokin lain.1.4
Proses inflamasi progresif dan persisten akan mewujudkan suatu aliran udara
yang sangat terbatas. Ada banyak sel-sel berperan dalam proses inflamasi
tersebut, yang berkaitan dengan peningkatan eosinofil dan sitokin Th2 yang
dimana juga digunakan untuk biomarker dalam penatalaksaan. Tingginya
peningkatan jumlah eosinofil akan berkorelasi dengan derajat keparahan pada
asma karena eosinofil memiliki banyak enzim-enzim inflamasi, leukotriens, serta
sitokin pro-inflamasi. Th2 dan IL-5 yang telah dihasilkan oleh sumsum tulang
akan meningkatkan eosinofil. Kemudian eosinofil masuk ke matriks saluran napas
dan juga bertahan lama karena adanya IL-4 dan GM-CSF. IL-4 yang terpenting
untuk melakukan diferensiasi Th2, serta diperlukan IL-13 sebagai pembentukan
IgE. Mediator yang banyak akan berperan menyebabkan inflamasi yang persisten,
32
termasuk edema lokal, hipersekresi mukus, hipertropi serta hiperplasia otot polos
jalan napas.1.4
Hiperresponsif jalan napas termasuk dalam salah satu fakto resiko dalam
perkembangan gejala asma pada dewasa dan anak-anak, yang terkait dengan
keparahan gejala, penurunan fungsi paru, dan sebagai penentu pengobatan.
Hiperresponsif bronkus adalah suatu respon obstruksi jalan napas yang berlebihan
akan berakibat stimulus pada obat, kimia dan fisik termasuk juga histamin,
metakolin, AMP, sulfur dioksida, asap, serta udara dingin.1.4
Struktur utama jalan napas adalah sel epitel, fibroblas, dan juga sel otot polos.
Respon terhadap inflamasi ialah perbaikan terhadap jalan napas, namun perbaikan
jalan napas pada pasien asma adalah perbaikan pada patologis dengan perubahan
struktur jalan napas yang dinamakan Remodelling. Remodelling memiliki
berbagai variasi berupa penebalan subepitel maka dari itu deposisi kolagen,
denudasi epitel dan metaplasia sel goblet, akan meningkatkan di lapisan otot
polos, angiogenesis, serta masuk ke komponen matriks ekstraselular yang berupa
kolagen, proteoglikan, glikoprotein pada dinding saluran napas.1,4
33
3.5. Klasifikasi Asma2
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang
sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkanumur
• Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asma remaja (12-17 tahun)
Berdasarkanfenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan
yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
• Asma tercetus infeksi virus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetus alergen
• Asma terkait obesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
34
Berdasarkan derajat beratnya serangan
35
3.7. Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis
medis yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat
diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara kinis.2
A. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi
klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala
respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas,
rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough
(batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk
membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas
diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yangmengarah ke asmaadalah:2
36
malam hari (nokturnal).
37
endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).2
38
3.8. Tatalaksana Asma
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci
tujuan yang ingin dicapaiadalah :7
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata laksana
nonmedikamentosa dan tata laksana medikamentosa. Tata laksana
nonmedikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan penghindaran pencetus.2
A. Tatalaksana Medikamentosa
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan
mempertahankan kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh
kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat
serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi,
maka pemakaian obat ini dihentikan.1,2
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk
mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma
yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau
gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu
39
yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya
terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari
steroid antiHinflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi
steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan anti-
imunoglobulin E.1,2
a) Obat Pereda (Reliever)
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan
teknik inhalasi sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak,
sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi
masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga
mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan
penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur / Metered Dose Inhaler
(MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan
kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih
banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah.
Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa
spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.1,2
Tabel 3.1. Cara Pemberian Obat Pereda Asma2
40
b) Obat Pengendali Asma
Steroid-inhalasi
41
Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2Cagonist, LABA
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan
tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi
agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi
paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat
kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang
berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah
tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-
agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan
agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian
penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada
anak balita masih terbatas.1,2
42
olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis
β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang
cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja
panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.1,2
Teofilin Lepas Lambat
B. Tatalaksana Non-Medikamentosa
43
penting tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan program KIE
adalah memberi informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap pasien dan
keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman,
keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan asma,
mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam
menghindari faktor-faktor pencetus, sehingga meningkatkan keteraturan
terhadap rencana pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya
mampu meningkatkan kemandirian dalam tata laksana asma yang lebih baik.2
BAB IV
ANALISA KASUS
44
Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, datang dengan keluhan
sesak nafas sejak 3 hari SMRS dan memberat sejak ± 30 menit SMRS. Keluhan sesak
juga disertai dengan batuk. Pasien sebelumnya berobat ke bidan dan diberikan obat
racikan. Keluhan berkurang setelah minum obat tersebut, namun keluhan kembali lagi
dan memberat.
Menurut teori, sesak napas adalah kondisi pernapasan abnormal atau kurang
nyaman dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan tingkat
kebugarannya yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi dan etiologi. Organ
yang paling sering berkontribusi dalam dyspnea adalah jantung dan paru.9
Diagnosis dari sesak nafas dikategorikan menjadi dua yaitu kardiak dan
nonkardiak.6
1. Kardiak
- Gagal jantung - Hiipertrofi ventrikel kiri
- Penyakit arteri koroner - Hipertrofi katup asimetrik
- Kardiomiopati - Perikarditis
- Disfungsi katup - Aritmia
2. Non-kardiak
- Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Bronkhiolitis
- Asma
- Kondisi metabolik, misal asidosis metabolik, hipertiroidism
- Penyakit hati, misal sirosis hati
- Penyait ginjal, misal gagal ginjal akut (AKI), gagal ginjal kronis (CKD)
- Fungsional: Gelisah, panic
- Drug induce.
Pada sesak nafas yang disebabkan oleh gangguan pada cardiac, adanya tanda-
tanda kelainan kardiovaskular. Penyebab paling sering adalah CHF. Biasanya
pada CHF yang menyebabkan keluhan paru yaitu terjadinya gagal jantung kiri
dimana jantung kiri gagal untuk memompa darah secara adekuat yang datang dari
45
paru sehingga menyebabkan kongesti pulmonal. Etiologi yang mendasari dapat
berupa kelainan otot janutung sehingga ada yang menyebabkan penurunan
kontraktilitas otot jantung, hipertensi sistemik sehingga meningktanya beban
jantung dan terjadi hipertrofi pada otot.6 Pada pasien tidak ditemukan adanya
tanda-tanda kelainan kardiovaskular sehingga kemungkinan sesak nafas pada
pasien bukan disebabkan oleh kardiovaskular.
46
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi
klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang
timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.2
47
dialami oleh pasien. Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan
menjadi genetik dan non-genetik. Penelitian yang dilakukan di Padang
memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk memengaruhi
timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah atau
ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian obat
parasetamol.2
Keluhan berulang pada pasien sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu.
Saat ini pasien mengatakan bahwa keluhan berulang sekitar 3-4 kali dalam
seminggu. Hal ini dapat menentukan derajat asma yang dialami pasien. Pasien
dapat dikatakan derajat asma persisten sedang jika terdapat episode gejala
asma yang lebih dari 1 kali dalam 1 minggu namun tidak setiap hari.2
Pasien diberikan tatalaksana non-medikamentosa dan medikamentosa.
Tatalaksana non-medikamentosa meliputi edukasi orang tua pasien dan tirah
baring. Tatalaksana medikamentosa meliputi IVFD KAEN 3A gtt 10/menit, IVFD
Drip Aminopilin 100 mg dalam 100 cc D5, Nebu Ventolin 3x1 amp, Ceftriaxone 1x1,2
gr, I.njeksi Metilprednisolon 3x25 mg.
48
media, gonorrhea, profilaksis sebelum operasi, dan meningitis. Sebagai agen
bakterisidal, ceftriaxone secara selektif dan ireversibel menghambat
pembentukkan dinding sel bakteri dengan mengikat penicillin binding protein
(PBP) yang berperan sebagai katalis ikatan silang polimer peptidoglikan
pembentuk dinding sel bakteri. Aksi penghambatan PBP akan merusak integritas
dinding sel yang diikuti dengan lisis sel sehingga dapat membunuh bakteri dan
mengatasi infeksi.10,11
BAB IV
KESIMPULAN
Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
49
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi dengan manifestasi klinis asma berupa batuk, wheezing, sesak napas,
dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung
memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
Etiologi asma yang dialami pasien berasal dari faktor genetik dan non-genetik.
Faktor non-genetik yang ditemukan pada pasien adalah faktor alergen (debu) dan
juga cuaca atau suhu yang dingin. Batuk yang dialami oleh pasien dapat merupakan
akibat dari asma yang dialami ataupun infeksi yang dapat menjadi salah satu
pencetus asma yang terjadi pada pasien. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan
leukosit pada hasil laboratorium darah pasien.
Pasien diberikan tatalaksana non-medikamentosa dan medikamentosa.
Tatalaksana non-medikamentosa meliputi edukasi orang tua pasien dan tirah baring.
Tatalaksana medikamentosa meliputi IVFD KAEN 3A gtt 10/menit, IVFD Drip
Amiopilin 100 mg dalam 100 cc D5, O2 nasal 2 lpm, Nebu Ventolin 3x1 amp, Ceftriaxone
1x1,2 gr, I.njeksi Metilprednisolon 3x25 mg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma. 2019. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2.
50
Cetakan ke-2. UUK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Dalam: Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
PP IDAI; 2013. h. 71H84.
4. Asher I, Bissell K, Chiang CY, El Sony A, Ellwood P, Garcia-Marcos L, Marks
GB, et al. 2019. Calling time on asthmadeaths in tropical regions-how much
longer must people wait for essential medicines? Lancet Respir Med;7:13-5.
5. Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk.
Japanese guideline for childhood asthma. Allergol Int.2014;63:335H56
6. Behrman, Jenson, Kliegman, Marcdante. 2018. Ilmu Kesehatan Anak Esensial
Nelson. Ed-6. Elsevier.
7. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk.
Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Int. 2014;63:335H56.
8. Jurnal
9. BAPPENAS. 2010. Laporan Pencapaian Pembangunan Millenium di Indonesia
2010. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Indonesia.
10. Amir Syarif & Elysabeth. 2014. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta; Balai
Penerbit FK UI.
11. Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar &
Klinik, Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al. Jakarta :
Penerbit.
51