Anda di halaman 1dari 52

Laporan Kasus

RESPIRATORY DISTRESS ET CAUSA STATUS


ASTHMATICUS

Oleh :
Erwin Dwitama, S.Ked
712021007

Pembimbing :

dr. Ahmad Bayu Alfarizi, Sp.A (K), M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Judul:
RESPIRATORY DISTRESS ET CAUSA STATUS ASTHMATICUS

Oleh:
Erwin Dwitama
712021007

Telah dilaksanakan pada bulan Mei 2022 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang

Palembang, Mei 2022

dr. Ahmad Bayu Alfarizi, Sp.A(K), M. Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“ Respiratory Distress et causa Status Astmaticus” sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Umum Daerah Palembang Bari, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. dr. Ahmad Bayu Alfarizi, Sp.A (K), M.Kes selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang, yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan
dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual
3. Rekan-rekan co-assistensi dan perawat atas bantuan dan kerjasamanya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini


masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
telah diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah SWT. Amin.
Palembang, Mei 2022

iii
Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................6

1.1 Latar Belakang..........................................................................................6

1.2 Maksud dan Tujuan...................................................................................7

1.3 Manfaat......................................................................................................7

1.3.1 Manfaat Teoritis.................................................................................7

1.3.2 Manfaat Praktis..................................................................................7

BAB II. LAPORAN KASUS.................................................................................8

2.1 Identitas Pasien..........................................................................................8

2.2 Anamnesis.................................................................................................8

2.3 Pemeriksaan Fisik....................................................................................13

2.4 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................20

2.5 Diagnosis Banding..................................................................................22

2.6 Diagnosis Kerja.......................................................................................22

2.7 Tatalaksana..............................................................................................22

2.8 Prognosis.................................................................................................22

2.9 Follow-Up...............................................................................................23

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................26

3.1. Definisi Asma..........................................................................................26

3.2. Prevalensi Asma......................................................................................27

3.3. Faktor Risiko...........................................................................................28


v
3.4. Patogenesis Asma....................................................................................29

3.5. Klasifikasi Asma.....................................................................................31

3.6. Manifestasi Klinis....................................................................................32

3.7. Diagnosis.................................................................................................33

3.8. Tatalaksana..............................................................................................36

BAB IV. ANALISA KASUS................................................................................42

BAB V. KESIMPULAN......................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering


dijumpai baik pada anak maupun dewasa. Prevalens asma pada anak sangat
bervariasi di antara negara-negara di dunia, berkisar antara 1- 18%. Meskipun
tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab kesakitan atau
kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang penting. Jika
tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup anak,
membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu tidur, meningkatkan angka
absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun.1,2
Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Akan
tetapi, faktor mana yang lebih berperan tidak dapat dipastikan karena
kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut. Asma terjadi karena inflamasi
kronik, hiper-responsif dan perubahan struktur akibat penebalan dinding
bronkus (remodeling) saluran respiratori yang berlangsung kronik bahkan
sudah ada sebelum munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan obstruksi
pada saluran respiratori terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi
otot polos, edema mukosa, hipersekresimukus.1,2

Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan dewasa


adalah sama. Namun, ada beberapa permasalahan pada asma anak yang
tidak dijumpai pada dewasa karena bervariasinya perjalanan alamiah
penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik, kesulitan menentukan
diagnosis dan pemberian obat, serta bervariasinya respons terhadap terapi
yang sering tidak dapat diprediksi sebelumnya.1,2

7
Asma adalah penyakit multifaktorial dengan perjalanan klinis yang
bervariasi pada setiap anak dan dapat berubah seiring berjalannya waktu.
Asma tidak dapat sembuh, tetapi dapat dikendalikan agar gejala tidak sering
muncul. Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua merupakan
kunci penting untuk mencapai asma terkendali.1,2

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami kasus Status
Asthmaticus
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi laporan
kasus Status Asthmaticus dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Status Asthmaticus, terkait pada
kegiatan kepanitraan.

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi institusi, diharapkan laporan kasus ini dapat menambah


referensi dan studi kepustakaan dalam bidang ilmu kesehatan anak.
2. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan laporan kasus ini dapat
menjadi landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis

Bagi dokter muda, diharapkan laporan kasus ini dapat


diaplikasikan pada kegiatan kepaniteraan klinik senior dalam
penegakkan diagnosis yang berpedoman pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik.

8
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

No. Rekam Medik : 57.51.07

Nama : An. I H

Tanggal lahir : 28 januari 2018

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 4 tahun 3 bulan

Agama : Islam

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Jl. Sabar jaya, Mariana ilir,


Banyuasin

Dikirim Oleh : Datang Sendiri

MRS tanggal : Rabu, 11 Mei 2022

Nama Ayah : Tn. A S

Nama Ibu : Ny. D R

2.2 Anamnesis

Tanggal : 12 Mei 2022


Diberikan oleh : Ibu dan Ayah Pasien

A. Riwayat Penyakit Sekarang

1. Keluhan Utama

Sesak nafas.

9
2. Keluhan Tambahan

Batuk dan Pilek.

3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke IGD RSUD Palembang Bari diantar oleh kedua
orang tuanya dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat
kurang lebih sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. sesak muncul
secara perlahan lahan, dirasakan terus menerus, dipengaruhi oleh
debu, asap, cuaca dingin dan aktivitas fisik sedang hingga berat, sesak
nafas tidak dipengaruhi oleh makanan. orang tua pasien mengatakan
keluhan ini sering kambuh, dalam waktu 2 bulan dapat terjadi 1 kali
serangan dengan durasi kurang lebih selama 7 hari. kekambuhan
sering terjadi pada malam hari terutama pada pukul 3 pagi, saat sesak
nafas terjadi seluruh aktivitas pasien terganggu. awalnya pasien
mengeluh batuk kering, timbul secara tiba tiba, batuk dirasakan terus
menerus, tenggorokan tidak terasa gatal, demam tidak ada. Selain itu
pasien mengeluh pilek berwarna putih encer, keluhan ini muncul
setelah batuk kering.
Kurang lebih 3 tahun yang lalu pasien pertama kali mengalami
sesak nafas, sesak nafas muncul secara tiba tiba sesak juga
dipengaruhi debu, asap, udara dingin dan aktivitas fisik. Sesak dapat
muncul dengan frekuensi 1 bulan 2 kali kekambuhan dengan tiap kali
kekambuhan selama 1 minggu. Pasien lalu diantarkan ke rumah sakit
dan didiagnosis dokter menderita Asma.
Tidak terdapat penurunan kesadaran, bengkak pada wajah dan
tubuh (-), batuk berdarah (-), mual (-), muntah (-), sakit perut (-),
penurunan berat badan (-), berkeringat malam hari (-), mudah lelah (-),
sakit kepala (-), sianosis (-).
Riwayat penyakit yang sama di dalam keluarga ada yaitu nenek
dari ayah pasien juga didiagnosis menderita asma, pasien biasanya
meredakan keluhanya dengan menggunakan nebulasi ventolin di
rumah atau dirumah sakit.

10
4. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat mengalami keluhan yang sama sebelumnya ada. Pasien


sering berobat di rumah ke klinik ataupun rumah sakit untuk
melakukan nebulasi dan keluhan sesak berkurang.

5. Riwayat Penyakit keluarga


Riwayat keluarga mengalami asma ada yaitu nenek dari ayah pasien,
alergi (+), batuk lama (-).

6. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

- Masa kehamilan : Cukup bulan

- Partus : Sectio Caesarea

- Tempat : Rumah Sakit

- Penolong : Dokter

- BB lahir : 2700 gram

- Panjang badan : 47 cm

- Lingkar kepala : Ibu pasien lupa

- Keadaan saat lahir : Langsung menangis

11
7. Riwayat Makanan
- ASI : 0-3 bulan
- Susu formula : 3 – sekarang
- Bubur nasi : 14 bulan
- Nasi tim : 14 bulan – 2 tahun
- Nasi biasa : 2 tahun – sekarang

8. Riwayat Imunisasi

IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur
BCG 0 Bulan
DPT 1 2 Bulan DPT 2 3 bulan DPT 3 4 bulan
Hepatitis 0 Bulan Hepatitis 2 bulan Hepatitis 3 bulan

B1 B2 3
Hib 1 1 Bulan Hib 2 2 bulan Hib 3 3 bulan
Polio 1 2 Bulan Polio 2 3 bulan Polio 3 4 bulan
MR 9 Bulan Polio 4 18 Bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

12
9. Pedigree

Kesan: Pasien anak pertama dari dua bersaudara

10. Riwayat Keluarga


Perkawinan : Pertama
Umur : Ayah (31 tahun) ibu ( 29 tahun )
Pendidikan : S1 dan SMA
Penyakit yang pernah diderita : tidak ada

11. Riwayat pribadi/sosial ekonomi keluarga


Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Kesan : Ekonomi menengah

13
2.3 Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan fisik umum

Keadaan Umum : Tampak sakit berat


Kesadaran : E4M6V5
Berat Badan : 12,5 kg
Panjang Badan : 103 cm
Status gizi : Gizi kurang
BB/U = P 25 (Gizi kurang)
TB/U = P 15 ( Gizi kurang)
BBI = 16 kg

Gambar 2.1 Penentuan status gizi menggunakan growth chart WHO

14
15
Tanda Vital
TD : 127/68 mmHg
HR : 139 x/menit, isi : cukup, tegangan : cukup
Pernapasan : 30 x/menit, Tipe : Thorakoabdominal
Suhu : 36,4 0C

SpO2 : 97 %

2. Pemeriksaan khusus
Kepala
Kepala : Normocephali
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+)

Hidung : Sekret (-), deviasi septum (-)

THT : Sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-)

Telinga : Sekret (-)

Gusi : Gusi berdarah (-)

Lidah : Atrofi papil (-), hiperemis (-)

THT

Faring : Hiperemis (-)

Tonsil : T1-T1, tenang

Leher

Inspeksi : Massa (-), pembesaran KGB (-)

Palpasi : Massa (-), pembesaran KGB (-)

16
Thoraks

Paru

Inspeksi : Bentuk normal, simetris, retraksi (+/+)

Palpasi : Retraksi sela iga (+), krepitasi (-)

Perkusi : Sonor dikedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler normal (+/+), tipe pernapasan


thorako-abdominal, ronkhi (-/-), wheezing
ekspirasi (+/+).

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat, scar (-).

Palpasi : Iktus cordis tidak teraba.

Perkusi : Batas kanan atas ICS II linea Parasternalis


dextra.
Batas kiri atas ICS II linea Parasternalis
sinistra.
Batas kanan bawah ICS IV linea Parasternalis
dextra.
Batas kiri bawah ICS V linea midclavicularis

Sinistra.

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur(-)


gallop(-)

17
Abdomen

Inspeksi : Datar, massa (-), spider nervi (-), venektasi(-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Distensi (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri

tekan (-)

Perkusi : Timpani (+), Shiffting Dullnes (-), Undulasi (-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

Status Pubertas :-
(Skala Tanner)

KESAN : -

18
Status Neurologis :

1. Fungsi motorik

Lengan Tungkai
Kanan kiri Kanan kiri
Gerakan Segala Segala Segala Segala
arah arah arah arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflex fisiologis + + + +
Reflex patologis - - - -

2. Fungsi sensorik

Normal

3. Nervi craniales

N.I (olfaktorius) : Normal

N.II (opticus) : Refleks cahaya (+/+)


N.III (occulomotorius) : Celah mata menutup sempurna, ptosis (-/-),
gerakan bola mata normal, nystagmus (-/-),
pupil bulat, rata dan licin, ukuran ±2 mm.
N.IV N.IV(trochlearis) : Celah mata menutup sempurna, ptosis (-/-),
gerakan bola mata normal, nystagmus (-/-),
pupil bulat, rata dan licin, ukuran ±2 mm.
N.V(trigeminus) : M. Masseter dan M. Temporalis simetris,

rahang bawah berada di tengah-tengah,


kekuatan gigitan sama
N.VI(Abdusence) : Normal

19
N.VII(facialis) : Normal
N.VIII(vestibulocochlearis) : Tidak
diperiksa
N.IX(glossopharingeus) : Arcus pharynx simetris, uvula ditengah
N.X(vagus) : Arcus pharynx simetris, uvula ditengah
N.XI (accesorius) : Normal

N. XII (Hypoglossus) : Deviasi lidah (-), fasikulasi (-), atrofi

papil lidah (-)

Gejala rangsang meningeal

Kaku Kuduk : Tidak ada


Kernig Sign : Tidak ada
Laseque Sign : Tidak ada
Brudzinski Sign I : Tidak ada
Brudzinski Sign II : Tidak ada
Symphisis Sign : Tidak ada

4. Fungsi Autonom

Tidak ada kelainan

20
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (Tanggal 11 Mei 2022)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hemoglobin 13.7 g/dl 14-16 g/dl

Eritrosit 5.65 juta/ uL (↑) 4-5 juta/Ul

Leukosit 12.4 ribu/uL (↑) 5.000-10.000/ ul

Trombosit 327 ribu/mm3 150.000-400.000/mm3

Hematokrit 44 % 35-47%

Basofil 0% 0-1 %

Eosinofil 0% 1-3 %

Batang 1% 2-6 %

Segmen 78 % 50-70 %

Limfosit 17 % 20-40 %

Monosit 4% 2-8 %

Elektrolit

Natrium 141 mmol/L 135 – 155

Kalium 4,78 mmol/L 3,5 – 5,5

21
Pemeriksaan Rontgen Thoax (11 Mei 2022)

Pada pemeriksaan Rontgen Thorax didapatkan :

- CTR <50%, cor tak membesar

- Corakan bronkovaskuler normal

- Diafragma kanan dan kiri licin

- Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip

- Tulang-tulang intak

- Soft tissue baik

Kesan:

Radiologis tak tampak kelainan thorax

22
2.5 Diagnosis Banding

1. Asthma Attack + Bacterial Infection

2. Pneumonia

3. Bronkiolitis

2.6 Diagnosis Kerja

Status Asthmaticus

2.7 Tatalaksana

Non medikamentosa

 Edukasi orang tua

 Tirah baring

 Menghindari faktor pencetus asma

Medikamentosa

 IVFD KAEN 1B 30 cc/jam.

 O2 Nasal canule 2 liter/jam

 Nebu Ventolin 3x1 amp = 2 cc NaCl

 Injeksi Metilprednisolon 30 mg

 Ceftriaxone 1x 600 mg

2.8 Prognosis

- Quo ad vitam : Dubia ad bonam

- Quo ad functionam : Dubia ad bonam

- Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

23
2.9 Follow-Up
Tanggal – Jam CATATAN KEMAJUAN (S/O/A) RENCANA
TATALAKSANA
12/05/22 Masalah : P:
Pukul 06.40 1. Sesak nafas Terapi :
WIB 2. Batuk
- IVFD KAEN 1 B gtt
3. Leukosit 12,400 /UL (meningkat)
10/menit

S : Sesak nafas berkurang, batuk kering -O2 nasal canule Lpm

(+) - Aminophilin 0,5


mg/kgbb/jam
O:
- Injeksi Metilprednisolon
KU: Tampak sakit sedang
15 mg / 8 jam
Sens: Compos mentis
HR: 130 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR: 52 x/menit
SpO2: 96%
Temp: 36,7oC

Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (+/+)
P: retraksi sela iga (+), krepitasi (-)
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal

24
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen: Cembung, Distensi, nyeri tekan


(-), timpani (+), bising usus (+), Shiffting
dullness (-), Undulasi (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus
13/05/22 Masalah : P:
Pukul 05.30 1. Sesak nafas Terapi :
WIB 2. Batuk
- Injeksi ceftriaxon 1 x 600
mg
S : Sesak nafas berkurang (+), batuk
kering (+) - O2 nasal canule 2 Lpm

- IVFD KAEN 1B 10
O: cc/jam
KU: Tampak sakit sedang
- Metil prednisolone 15
Sens: Compos mentis
mg/ 8 jam
HR: 122 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR: 32 x/menit
SpO2: 99%
Temp: 36,8oC

Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (-/-)
P: retraksi sela iga (-), krepitasi (-)

25
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: Cembung, Distensi, nyeri tekan
(-), timpani (+), bising usus (+), Shiffting
dullness (-), Undulasi (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus

14/05/22 Masalah : Terapi :


Pukul 1. Sesak nafas
- Injeksi ceftriaxon 1 x
06.30 WIB 2. Batuk
600 mg
3. Leukosit 12,400 /UL (meningkat)
- O2 nasal canule 2

S : Sesak nafas berkurang, batuk kering Lpm

(+) - IVFD KAEN 1B 10


cc/jam
O:
-nebulizer ventolin 1x1
KU: Tampak sakit sedang
Sens:Compos mentis - Metil prednisolone 15

HR: 108 x/menit, isi dan tegangan cukup mg/ 8 jam (stop)

RR: 30 x/menit
SpO2: 98%
Temp: 36,7oC

Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik

26
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (+/+)
P: retraksi sela iga (+), krepitasi (-)
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen: Cembung, Distensi, nyeri tekan


(-), timpani (+), bising usus (+), Shiffting
dullness (-), Undulasi (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus

15/05/22 Masalah : -IVFD KAEN 1 B 10


Pukul 1. Batuk Kering (+) cc/jam
06.00 WIB S: - injeksi Ceftriaxon 1x
Sesak nafas menghilang, batuk kering 600 mg (Stop)
(+)
O:
KU: Tampak sakit ringan
Sens:Compos mentis
HR: 80 x/menit, isi dan tegangan cukup
RR: 30 x/menit
SpO2: 96%

27
Temp: 36,8oC Persiapan pulang.

Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut: bibir kering (-), sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-), massa (-)
Thoraks:
Paru:
I: simetris, retraksi (-/-)
P: retraksi sela iga (-), krepitasi (-)
P: sonor pada kedua lapang paru
A: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Cor:
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung normal
A: BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen: Cembung, Distensi, nyeri tekan


(-), timpani (+), bising usus (+), Shiffting
dullness (-), Undulasi (-)
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik

A:
Diagnosis : Respiratory Distress e c
Status Asthmaticus

28
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Asma

Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada yang
diterima secara universal. Definisi asma yang ada pada beberapa pedoman
memasukkan gejala klinis dan karakteristiknya, serta mekanisme yang
mendasari dengan rincian yang berbeda antara satu pedoman dengan
lainnya. Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai
suatu penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran
respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada
saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang
bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori. International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan
dengan obstruksi saluran respiratori dan hiper- responsif bronkus, yang secara
klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang
berulang.1
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran
respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi
klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang
timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.2

29
3.2. Prevalensi Asma Pada Anak
Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering terjadi pada anak-
anak di negara maju, mengenai hampir 6 juta anak berusia kurang dari 18 tahun
di Amerika Serikat. Pada 2003, Survei Kesehatan Nasional dari Centres for
Disease Control and Prevention mendapatkan prevalens asma seumur hidup
adalah 12,5% dan prevalens asma saat itu adalah 8,5% pada anak berusia kurang
dari 18 tahun. Antara 1996 dan 2004, angka serangan asma dan prevalens asma
cukup stabil bila dibandingkan dengan 12 bulan sebelumnya.6
Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan sejak
awal tahun 1990 di berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti
menggunakan kuesioner yang dirancang masing masing sehingga hasilnya
berbeda. Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di
Indonesia dan berbagai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama
dari studi ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok usia 6-7 tahun dan
13-14 tahun.2

Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota


menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar antara 3% di
Bandung sampai 8% di Palembang pada kelompok usia 6-7 tahun.
Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung dan
tertinggi di Subang 24,4%. Tingginya prevalens asma di Subang yang
dibandingkan dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta (12,5%),
hampir 2 kali lipat; diduga disebabkan karena tingginya angka polusi udara di
Subang akibat sulfur dari Gunung Tangkuban Perahu. Di Bandung dilakukan
penelitian ulangan dengan kuesioner yang sama, pada kelompok 13-14 tahun,
setelah 5 tahun terjadi peningkatan 2 kali lipat menjadi 5,2%. Pada tahun
2012, hasil penelitian di daerah rural kotamadya Bandung pada anak usia 7-
14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma sebesar 9,6% dari 332 subyek
penelitian.3

30
3.3. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan menjadi


genetik dan non-genetik. Penelitian ISAAC mendapatkan beberapa faktor
risiko yaitu: polusi udara, asap rokok, makanan cepat saji, berat lahir, cooking
fuel, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi rumah yang tidak memadai,
merokok di dalam rumah, dan tidak adanya ventilasi. Penelitian yang
dilakukan di Padang memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna
untuk memengaruhi timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan
adalah atopi ayah atau ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada
ibu serta pemberian obat parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan kontak
dengan unggas merupakan faktor protektif terhadap kejadian asma.2
Tabel 2.2 Faktor Risiko Asma1

31
3.4. Patogensis Asma
Patogenesis dasar penyakit asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran
napas yang melibatkan banyak sel dan elemen seluler. Inflamasi kronik tersebut
menyebabkan saluran napas menjadi hiperresponsif dan menjadi sempit,sehingga
mengganggu proses bernapas yang normal, dan menimbulkan manifestasi klinis
berupa sesak napas, mengi, dada terasa berat serta batuk, terutama pada malam
atau pagi hari.1.4
Aliran udara yang masuk terbatas disebabkan adanya faktor yang berperan
dalam patogenesis asma. Faktor utama yaitu terjadi inflamasi pada saluran napas.
Ada beberapa perubahan yang terjadi pada jalan napas. Perubahan utama yaitu
adanya kontraksi pada otot polos bronkus sehingga saluran napas akan
menyempit. Respon utama terhadap paparan berbagai rangsangan termasuk
alergen maupun zat iritan. IgE terutama sebagai antibiotik pada reaksi alergi fase
cepat setelah fase sensitisasi. Alergen masuk akan diendositosis oleh APCs, lalu
terdeteksi oleh sel T kemudian sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th2. Setelah
itu, sel Th2 melakukan induksi produksi IgE oleh sel B. IgE akan menempel di
reseptor permukaan sel mast dan basofil. Aktivasi oleh antigen ini
mengakitbatkan lepasnya mediator yang akan menginisiasi bronkospasme
semacam histamin, leukotriens, tryptase, prostaglandin D2 dan juga mediator
inflamasi sitokin lain.1.4
Proses inflamasi progresif dan persisten akan mewujudkan suatu aliran udara
yang sangat terbatas. Ada banyak sel-sel berperan dalam proses inflamasi
tersebut, yang berkaitan dengan peningkatan eosinofil dan sitokin Th2 yang
dimana juga digunakan untuk biomarker dalam penatalaksaan. Tingginya
peningkatan jumlah eosinofil akan berkorelasi dengan derajat keparahan pada
asma karena eosinofil memiliki banyak enzim-enzim inflamasi, leukotriens, serta
sitokin pro-inflamasi. Th2 dan IL-5 yang telah dihasilkan oleh sumsum tulang
akan meningkatkan eosinofil. Kemudian eosinofil masuk ke matriks saluran napas
dan juga bertahan lama karena adanya IL-4 dan GM-CSF. IL-4 yang terpenting
untuk melakukan diferensiasi Th2, serta diperlukan IL-13 sebagai pembentukan
IgE. Mediator yang banyak akan berperan menyebabkan inflamasi yang persisten,

32
termasuk edema lokal, hipersekresi mukus, hipertropi serta hiperplasia otot polos
jalan napas.1.4
Hiperresponsif jalan napas termasuk dalam salah satu fakto resiko dalam
perkembangan gejala asma pada dewasa dan anak-anak, yang terkait dengan
keparahan gejala, penurunan fungsi paru, dan sebagai penentu pengobatan.
Hiperresponsif bronkus adalah suatu respon obstruksi jalan napas yang berlebihan
akan berakibat stimulus pada obat, kimia dan fisik termasuk juga histamin,
metakolin, AMP, sulfur dioksida, asap, serta udara dingin.1.4
Struktur utama jalan napas adalah sel epitel, fibroblas, dan juga sel otot polos.
Respon terhadap inflamasi ialah perbaikan terhadap jalan napas, namun perbaikan
jalan napas pada pasien asma adalah perbaikan pada patologis dengan perubahan
struktur jalan napas yang dinamakan Remodelling. Remodelling memiliki
berbagai variasi berupa penebalan subepitel maka dari itu deposisi kolagen,
denudasi epitel dan metaplasia sel goblet, akan meningkatkan di lapisan otot
polos, angiogenesis, serta masuk ke komponen matriks ekstraselular yang berupa
kolagen, proteoglikan, glikoprotein pada dinding saluran napas.1,4

Gambar 3.1. Patofisiologi Asma Bronkial5

33
3.5. Klasifikasi Asma2
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang
sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkanumur
• Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asma remaja (12-17 tahun)

Berdasarkanfenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan
yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
• Asma tercetus infeksi virus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetus alergen
• Asma terkait obesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala


• Asma intermiten
• Asma persisten ringan
• Asma persisten sedang
• Asma persisten berat

34
Berdasarkan derajat beratnya serangan

Derajat Asma Uraian Kekerapan Gejala Asma


Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari

3.6. Manifestasi Klinis


Anak asma mempunyai gejala batuk, mengi dan sesak napas atau napas cepat.
Anamnesis harus mendapatkan data frekuensi, tingkat keparahan, dan faktor yang
memperberat gejala pada anak. Faktor yang memicu eksaserbasi antara lain
infeksi virus, paparan alergen dan iritan (rokok, bau-bauan menyengat, asap),
olahraga, emosi dan perubahan cuaca atau kelembaban. Gejala malam hari
seringkali dijumpai. Rinosinusitis, refluks gastroesofagus, dan sensitivitas
terhadap obat antiinflamasi nonsteroid (khususnya aspirin) dapat memicu asma.
Tatalaksana terhadap kondisi-kondisi ini dapat mengurangi frekuensi beratnya
asma. Eksplorasi terhadap adanya riwayat keluarga dengan alergi dan asma juga
akan bermanfaat.6
Selama episode akut, pemeriksaan fisis dapat menunjukkan adanya takipnea,
takikardi, batuk, mengi, dan ekspirasi yang memanjang. Temuan pada
pemeriksaan fisis bisa kurang jelas. Mengi yang klasik mungkin tidak terlalu
terdengar apabila gerkan udara hanya minimal. Apabila serangan berlanjut,
sianosis, berkurangnya aliran udara, retraksi, agitasi, ketidakmampuan untuk
berbicara, posisi duduk tripoid, diaforesis, dan pulsus paradoksus (penurunan
tekanan darah >15 mmHg pada saat inspirasi) dapat dijumpai. Pemeriksaan fisis
dapat memperlihatkan bukti penyakit atopi lain seperti eksema atau rinitis alergi.6

35
3.7. Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis
medis yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat
diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara kinis.2
A. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi
klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala
respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas,
rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough
(batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk
membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas
diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yangmengarah ke asmaadalah:2

• Gejala timbul secara episodik atau berulang.


• Timbul bila ada faktor pencetus.
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk,
suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin,
penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk
sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,
rinofaringitis
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa
berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke
waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada

36
malam hari (nokturnal).

Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau


dengan pemberian obat pereda asma.2
B. Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien
biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala
batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar
langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop.
Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis
atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti
allergic shiners atau geographictongue.2
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran
napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran
respiratori, atauadanyaatopipadapasien.
• Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan
untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan
pemeriksaan dengan peakflow meter.

• Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah,


pemeriksaan IgE spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric
oxide), eosinofil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan
salin hipertonik.

Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk


mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin,
foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-esofagus, uji
keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks,

37
endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).2

Gambar 3.2. Alur Diagnosis Asma Pada Anak2

38
3.8. Tatalaksana Asma
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci
tujuan yang ingin dicapaiadalah :7
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata laksana
nonmedikamentosa dan tata laksana medikamentosa. Tata laksana
nonmedikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan penghindaran pencetus.2
A. Tatalaksana Medikamentosa
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan
mempertahankan kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh
kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat
serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi,
maka pemakaian obat ini dihentikan.1,2
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk
mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma
yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau
gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu

39
yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya
terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari
steroid antiHinflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi
steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan anti-
imunoglobulin E.1,2
a) Obat Pereda (Reliever)
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan
teknik inhalasi sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak,
sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi
masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga
mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan
penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur / Metered Dose Inhaler
(MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan
kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih
banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah.
Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa
spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.1,2
Tabel 3.1. Cara Pemberian Obat Pereda Asma2

40
b) Obat Pengendali Asma
 Steroid-inhalasi

Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan


berperan penting dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid
inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif.
Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 µg per
hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki
fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma
memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk
mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma
setelah berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun,
steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit,
memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan
menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi
atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibatinfeksivirus.1,2

Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak


memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Kandidiasis oral
dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara
berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang
air bekas berkumur tersebut. Pada anak asma yang
mendapatkansteroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil
tinggi badan dan berat badan) setiap tahun.1,2

Tabel 3.2. Dosis Preparat Steroid Inhalasi Pada Anak2

41
 Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2Cagonist, LABA
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan
tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi
agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi
paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat
kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang
berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah
tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-
agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan
agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian
penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada
anak balita masih terbatas.1,2

Kombinasi agonis β2 kerja panjang steroid inhalasi juga


dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu

42
olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis
β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang
cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja
panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.1,2
 Teofilin Lepas Lambat

Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat


diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai
kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun.
Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan
memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid
inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas
lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena
kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik.
Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga
pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu
dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual,
muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia,
nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat
terutama timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas
10mg/kgBB/hari.1,2

B. Tatalaksana Non-Medikamentosa

Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan unsur yang sangat

43
penting tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan program KIE
adalah memberi informasi dan pelatihan yang sesuai terhadap pasien dan
keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan atau pemahaman,
keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan asma,
mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam
menghindari faktor-faktor pencetus, sehingga meningkatkan keteraturan
terhadap rencana pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya
mampu meningkatkan kemandirian dalam tata laksana asma yang lebih baik.2

Penghindaran pencetus asma merupakan bagian dari tata laksana non-


medikamentosa pada asma anak selain tata laksana KIE, baik pada pasien
maupun keluarganya. Serangan asma bisa terjadi akibat dua faktor, yaitu
kegagalan dalam farmakoterapi jangka panjang dan kegagalan menghindari
faktor pencetus, ketika faktor pencetus ini bisa menyebabkan keadaan yang
tidak ada gejala menjadi bergejala atau yang gejalanya ringan menjadi
berat.2

BAB IV
ANALISA KASUS

44
Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, datang dengan keluhan
sesak nafas sejak 3 hari SMRS dan memberat sejak ± 30 menit SMRS. Keluhan sesak
juga disertai dengan batuk. Pasien sebelumnya berobat ke bidan dan diberikan obat
racikan. Keluhan berkurang setelah minum obat tersebut, namun keluhan kembali lagi
dan memberat.
Menurut teori, sesak napas adalah kondisi pernapasan abnormal atau kurang
nyaman dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan tingkat
kebugarannya yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi dan etiologi. Organ
yang paling sering berkontribusi dalam dyspnea adalah jantung dan paru.9
Diagnosis dari sesak nafas dikategorikan menjadi dua yaitu kardiak dan
nonkardiak.6

1. Kardiak
- Gagal jantung - Hiipertrofi ventrikel kiri
- Penyakit arteri koroner - Hipertrofi katup asimetrik
- Kardiomiopati - Perikarditis
- Disfungsi katup - Aritmia
2. Non-kardiak
- Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Bronkhiolitis
- Asma
- Kondisi metabolik, misal asidosis metabolik, hipertiroidism
- Penyakit hati, misal sirosis hati
- Penyait ginjal, misal gagal ginjal akut (AKI), gagal ginjal kronis (CKD)
- Fungsional: Gelisah, panic
- Drug induce.

Pada sesak nafas yang disebabkan oleh gangguan pada cardiac, adanya tanda-
tanda kelainan kardiovaskular. Penyebab paling sering adalah CHF. Biasanya
pada CHF yang menyebabkan keluhan paru yaitu terjadinya gagal jantung kiri
dimana jantung kiri gagal untuk memompa darah secara adekuat yang datang dari

45
paru sehingga menyebabkan kongesti pulmonal. Etiologi yang mendasari dapat
berupa kelainan otot janutung sehingga ada yang menyebabkan penurunan
kontraktilitas otot jantung, hipertensi sistemik sehingga meningktanya beban
jantung dan terjadi hipertrofi pada otot.6 Pada pasien tidak ditemukan adanya
tanda-tanda kelainan kardiovaskular sehingga kemungkinan sesak nafas pada
pasien bukan disebabkan oleh kardiovaskular.

Pada sesak nafas yang disebabkan oleh sistem pernapasan, patofisiologinya


tidak spesifik terhadap satu jalur saja. Pengetahuan mengenai patofisiologi yang
mendasari penyakit-penyakit (seperti asma, COPD dan lain-lain) menjadi dasar
hipotesis mekanisme dispnea pada penyakit ini beban otot inspirasi meningkat,
sehingga usaha yang dibutuhkan untuk melawan resistensi aliran napas akibat
bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika terjadi hiperinflasi, otot inspirasi
menjadi memendek. Kejadian ini mampu mengubah radius kurvatura diafragma,
sehingga terjadi mechanical disadvantage. Akibatnya, dibutuhkan usaha
tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini menyebabkan
sesak nafas.6 Pada pasien terdengar wheezing di kedua lapang paru sehingga
kemungkinan sesak nafas pada pasien merupakan kelainan dari sistem pernafasan.

Pada anamnesis, ibu pasien mengatakan pasien pernah mengalami keluhan


serupa sebelumnya. Keluhan sesak seringkali dirasakan pasien saat pasien berada
di tempat yang berdebu dan diwaktu pagi hari. Dari hasil pemeriksaan fisik
ditemukan tanda vital pasien TD 100/70 mmHg, Nadi 98 x/menit, suhu 36,8oC
dan RR 30x/menit. Pada pemeriksaan spesifik thoraks didapatkan retraksi dinding
dada dan wheezing (+/+) pada auskultasi. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya leukositosis dan pada hasil pemeriksaan rontgen thorax
menunjukkan adanya gambaran hyperaerated lung.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


kemungkinan pasien mengalami asma.
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran
respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan

46
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi
klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang
timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.2

Peningkatan leukosit pada pasien menandakan adanya infeksi yang


terjadi pada pasien. Asma umumnya tidak menyebabkan peningkatan
leukosit, sehingga pada pasien patut dicurigai sebagai pneumonia bakterial.
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang ditandai
dengan batuk, sesak napas, demam dan ronki basah, dengan gambaran infiltrat
pada foto rontgen toraks. Secara umum bakteri yang paling berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup B. Pada
pneumonia seringkali ditemukan adanya ronkhi basah halus yang khas dan
pada pemeriksaan foto toraks akan dijumpai infiltrat. Pada pasien ini, keluhan
yang dialami dapat menuju pada pneumonia, namun setelah dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut, diagnosis pneumonia dapat disingkirkan.10

Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis


yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan
produksi sputum. Adanya keluhan berulang dapat membedakan asma dengan
bronkiolitis. Sangat sulit untuk membedakan bronkiolitis dengan asma dari
pemeriksaan fisik, tetapi keduanya dapat dibedakan dari faktor usia, ada
tidaknya demam, dan tidak ditemukannya riwayat (pribadi maupun keluarga)
yang mengalami asma. Bronkiolitis umumnya timbul pada tahun pertama
kehidupan dan disertai demam, sedangkan asma umumnya timbul pada anak
yang lebih besar dan memiliki episode mengi berulang yang umumnya tidak
disertai demam kecuali terdapat infeksi respiratori atas yang mencetuskan
terjadinya serangan asma.2,6

Pada pasien ditemukan adanya riwayat penyakit serupa didalam


keluarganya. Hal ini merupakan salah satu faktor risiko penyakit asma yang

47
dialami oleh pasien. Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan
menjadi genetik dan non-genetik. Penelitian yang dilakukan di Padang
memberikan hasil bahwa faktor-faktor yang bermakna untuk memengaruhi
timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi ayah atau
ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu serta pemberian obat
parasetamol.2

Keluhan berulang pada pasien sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu.
Saat ini pasien mengatakan bahwa keluhan berulang sekitar 3-4 kali dalam
seminggu. Hal ini dapat menentukan derajat asma yang dialami pasien. Pasien
dapat dikatakan derajat asma persisten sedang jika terdapat episode gejala
asma yang lebih dari 1 kali dalam 1 minggu namun tidak setiap hari.2
Pasien diberikan tatalaksana non-medikamentosa dan medikamentosa.
Tatalaksana non-medikamentosa meliputi edukasi orang tua pasien dan tirah
baring. Tatalaksana medikamentosa meliputi IVFD KAEN 3A gtt 10/menit, IVFD
Drip Aminopilin 100 mg dalam 100 cc D5, Nebu Ventolin 3x1 amp, Ceftriaxone 1x1,2
gr, I.njeksi Metilprednisolon 3x25 mg.

Aminopilin merupakan salah satu bronkodilator yang poten dengan aksi


antiinflamasi yang ringan, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan serangan
asma. Aminopilin merupakan obat dengan rentang terapi yang sempit yang
memiliki risiko tinggi terhadap kejadian advance drug reaction (ADR) atau reaksi
obat yang tidak dikehendaki pada dosis normal, sehingga seringkali obat dengan
rentang terapi sempit memerlukan pemantauan khusus agar dapat
mengoptimalkan keamanan dan efektivitas. Pada pasien ini pemberian aminopilin
hanya diberikan 1 kali melalui intravena dengan di dripkan dalam 100 mg larutan
D5.

Ceftriaxone merupakan antibiotik beta laktam dari golongan sefalosporin


generasi ketiga yang memiliki efek bakterisidal. Obat ini digunakan untuk
mengatasi berbagai infeksi bakteri seperti infeksi saluran pernafasan, infeksi
saluran kemih, infeksi saluran cerna, infeksi kulit, infeksi tulang serta sendi, otitis

48
media, gonorrhea, profilaksis sebelum operasi, dan meningitis. Sebagai agen
bakterisidal, ceftriaxone secara selektif dan ireversibel menghambat
pembentukkan dinding sel bakteri dengan mengikat penicillin binding protein
(PBP) yang berperan sebagai katalis ikatan silang polimer peptidoglikan
pembentuk dinding sel bakteri. Aksi penghambatan PBP akan merusak integritas
dinding sel yang diikuti dengan lisis sel sehingga dapat membunuh bakteri dan
mengatasi infeksi.10,11

Ventolin memiliki kandungan salbutamol yang meerupakan obat golongan


β2-agonis. Obat golongan ini mempunyai mekanisme kerja yaitu dengan
menyebabkan bronkodilatasi, meningkatkan klirens mukosiliari, stabbilitas sel
mast dan menstimulasi otot skelet. Obat yang berkerja selekstif pada reseptop β 2
merupakan bronkodilator paling efektif dengan efek samping yang lebih minimal
pada terapi asma. Salbutamol biasa digunakan sebagai terapi asma akut dan asma
akibat exercise karena merupakan bronkodilator poten yang mempunyai onset
cepat atau biasanya disebut Short Acting β2-agonist (SABA).10,11
Metilprednisolon merupakan salah satu kortikosteroid yang banyak
digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diebrikan baik yang berkerja
secara topikal maupun secara sitemik. Kortikosteroid mengurangi jumlah sel
inlfamasi di saluran napas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel
dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat penarikan sel inflamasi ke saluran
napas dan menghambat keberadaan sel inflamasi di saluran napas. Oleh karena
itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinlfamasi spektrum luas, sehingga
berdampak pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran vaskular,
penurunan produksi mukus dan peningkatan respon β-adrenergik.10,11

BAB IV
KESIMPULAN

Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang

49
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi dengan manifestasi klinis asma berupa batuk, wheezing, sesak napas,
dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung
memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
Etiologi asma yang dialami pasien berasal dari faktor genetik dan non-genetik.
Faktor non-genetik yang ditemukan pada pasien adalah faktor alergen (debu) dan
juga cuaca atau suhu yang dingin. Batuk yang dialami oleh pasien dapat merupakan
akibat dari asma yang dialami ataupun infeksi yang dapat menjadi salah satu
pencetus asma yang terjadi pada pasien. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan
leukosit pada hasil laboratorium darah pasien.
Pasien diberikan tatalaksana non-medikamentosa dan medikamentosa.
Tatalaksana non-medikamentosa meliputi edukasi orang tua pasien dan tirah baring.
Tatalaksana medikamentosa meliputi IVFD KAEN 3A gtt 10/menit, IVFD Drip
Amiopilin 100 mg dalam 100 cc D5, O2 nasal 2 lpm, Nebu Ventolin 3x1 amp, Ceftriaxone
1x1,2 gr, I.njeksi Metilprednisolon 3x25 mg.

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. 2019. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2.

50
Cetakan ke-2. UUK Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB, penyunting. Dalam: Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
PP IDAI; 2013. h. 71H84.
4. Asher I, Bissell K, Chiang CY, El Sony A, Ellwood P, Garcia-Marcos L, Marks
GB, et al. 2019. Calling time on asthmadeaths in tropical regions-how much
longer must people wait for essential medicines? Lancet Respir Med;7:13-5.
5. Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk.
Japanese guideline for childhood asthma. Allergol Int.2014;63:335H56
6. Behrman, Jenson, Kliegman, Marcdante. 2018. Ilmu Kesehatan Anak Esensial
Nelson. Ed-6. Elsevier.
7. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk.
Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Int. 2014;63:335H56.
8. Jurnal
9. BAPPENAS. 2010. Laporan Pencapaian Pembangunan Millenium di Indonesia
2010. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Indonesia.
10. Amir Syarif & Elysabeth. 2014. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta; Balai
Penerbit FK UI.
11. Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar &
Klinik, Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al. Jakarta :
Penerbit.

51

Anda mungkin juga menyukai