Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

ETIOLOGI

OLEH
Rimna Melinda Kaban
120100373

PEMBIMBING
dr. Yuki Yunanda, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN
PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
ii

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


ETIOLOGI

OLEH
Rimna Melinda Kaban
120100373

PEMBIMBING
dr. Yuki Yunanda, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN
PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
iii

ALUR DOKTER KLINIS DI INDONESIA

“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan

dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.”

OLEH
Rimna Melinda Kaban
120100373

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN
PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
iv

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : ETIOLOGI
Nama : RIMNA MELINDA KABAN
NIM : 120100373

Medan, 21 Desember 2017

Pembimbing

dr. Yuki Yunanda, M.Kes

NIP: 197906222003121001
v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Etiologi”. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
melengkapi persyaratan Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
dr. Yuki Yunanda, M.Kes atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran
untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini
di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan.
Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik secara moral
maupun spiritual, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2017

Penulis
vi

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ......................................................................................... iv


Kata Pengantar ................................................................................................ v
Daftar Isi ........................................................................................................... vi
Daftar Singkatan .............................................................................................. vii

Bab 1. Pendahuluan ......................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Tujuan Makalah .......................................................................... 2
1.3. Manfaat Makalah ........................................................................ 2
Bab 2. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 3
2.1. Definisi ........................................................................................ 3
2.2 Kriteria Kausalitas ....................................................................... 3
2.2.1 Postulat Koch ............................................................................... 3
2.2.2 Kriteria Hills ................................................................................ 5
2.2.3 Kriteria Sussers ............................................................................ 13
2.3 Modalitas Kausalitas ................................................................... 14
Bab 3. Kesimpulan ........................................................................................... 16
Daftar Pustaka .................................................................................................. 18
vii

DAFTAR SINGKATAN

OR Odds Ratio

RCT Random Controlled Trials


viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hubungan Sebab Akibat


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini perhatian utama para epidemiolog ditujukan pada riset


etiologi. Riset etiologi adalah riset epidemiologi yang bertujuan mengetahui
penyebab-penyebab penyakit, hubungan satu penyebab dengan penyebab lainnya,
serta besarnya pengaruh terhadap penyakit. Untuk membuat kesimpulan tentang
penyebab penyakit, perlu mengklasifikasi arti “kausalitas” dalam epidemiologi.1

Webster mendefinisikan kausa sebagai “sesuatu yang memberikan efek


atau suatu hasil. Dalam buku teks kedokteran, kausa atau penyebab biasanya
dibahas dengan judul “etiologi”, “patogenesis”, “mekanisme” atau “faktor resiko”.
Kausa penting untuk melatih dokter terutama dalam membimbing pendekatan
mereka untuk tiga tugas klinis yaitu pencegahan, diagnosis, dan pengobatan.
Ketika kita memeriksa tekanan darah pasien secara berkala, kita memperhatikan
dan bereaksi pada bukti bahwa hipertensi menyebabkan morbiditas dan mortalitas
dan pengobatan hipertensi mencegah stroke dan infark miokard. Proses
diagnostik, terutama penyakit menular, sering melibatkan pencarian untuk agen
penyebab. Proses diagnostik sering bergantung pada informasi tentang kausa
ketika adanya faktor risiko untuk mengidentifikasi kelompok pasien dengan
prevalensi penyakit yang tinggi.2
Akhirnya, kepercayaan dalam hubungan kausal mendasari setiap manuver
terapi dalam kedokteran klinis. Mengapa memberikan penisilin untuk pneumonia
pneumokokus kecuali kita pikir itu akan menyebabkan penyembuhan? Atau
memberi saranan kepada pasien dengan kanker metastatik untuk menjalani
kemoterapi karena kita percaya antimetabolit akan menyebabkan regresi
metastasis dan memperpanjang hidup, kenyamanan, dan atau kemampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari?2
Pada umumnya, dokter lebih tertarik kepada kausa diobati atau reversibel
dari penyebab yang tidak bisa diubah. Peneliti, dari sisi lainnya, juga mungkin

1
tertarik dalam mempelajari faktor-faktor kausal yang tidak ada pengobatan atau
pencegahan berkhasiat ada, dengan harapan mengembangkan intervensi
pencegahan atau terapi di masa depan.²

1.2. Tujuan Makalah


Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai
“Etiologi”. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Makalah


Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun
pembaca khususnya peserta KKS dan menjadi suatu tolak ukur bagi penelitian
selanjutnya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kata etiologi berasal dari bahasa Yunani “aitia” yang berarti sebab dan
logos yang artinya ilmu. Etiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
penyebab. Etilogi adalah ilmu pengetahuan atau teori tentang faktor-faktor yang
menyebabkan penyakit serta metode masuknya faktor tersebut ke tubuh pejamu.
Etiologi juga merupakan penyebab atau asal mula penyakit atau gangguan.3

2.2 Kriteria Kausalitas


2.2.1 Postulat Henle-Koch’s
Pada tahun 1882, 40 tahun setelah konfrontasi Holmes-Meigs, Koch
menyatakan empat postulat yang mencerminkan sebuah agen infeksius penyebab
penyakit. Berdasarkan pendekatan tersebut, terbentuk asumsi bahwa penyakit
tertentu memiliki satu penyebab dan penyebab tertentu mengakibatkan satu
penyakit. Konsep penyebab menurut Henle dan Robert Koch, khususnya untuk
menentukan pengaruh organisme hidup yang menyebabkan penyakit tertentu,
memerlukan persyaratan-persyaratan sebagai berikut1 :
1. Organisme tersebut selalu dijumpai dalam setiap kasus penyakit
2. Organisme tersebut dapat di isolasi dan dikembangkan dalam media
(kultur) yang murni
3. Organisme tersebut jika diinokulasi ke dalam binatang yang sensitif
menyebabkan penyakit tertentu
4. Organisme tersebut mesti dipulihkan dari binatang dan diidentifikasi
Postulat Koch memberikan kontribusi besar terhadap konsep sebab dalam
kedokteran. Sebelum Koch, diyakini bahwa banyak bakteri yang berbeda yang
menyebabkan penyakit tertentu. Penerapan postulatnya membantu membawa
ketertiban dari kekacauan. Postulat Koch masih berguna hingga hari ini. Bahwa
organisme tertentu menyebabkan penyakit tertentu merupakan dasar untuk
penemuan pada tahun 1977 bahwa penyakit Legionnaire disebabkan oleh bakteri

3
Gram-negatif dan penemuan yang pada 1980-an yang baru ditemukan HIV yang
menyebabkan AIDS.1
Bagaimanapun, bagi kebanyakan penyakit, penyebab tidak dapat
dihubungkan hanya dengan aturan Koch. Kadang-kadang, terlalu banyak
ketergantungan pada pendekatan Koch telah menimbulkan kesulitan kepada
komunitas medis dengan mempersempit perspektif kita. Apakah semua penyakit
begitu sederhana sehinga kita selalu punya hubungan satu penyebab dengan
penyakit tunggal. Misalnya, merokok menyebabkan kanker paru-paru, penyakit
paru obstruktif kronik, tukak lambung, kanker kandung kemih, dan penyakit arteri
koroner. Penyakit arteri koroner memiliki beberapa penyebab, termasuk merokok,
hipertensi, hiperkolesterolemia, dan keturunan. Mungkin penderita memiliki
penyakit arteri koroner tanpa ada faktor risiko yang diketahui.1
Biasanya, banyak faktor bertindak bersama untuk menyebabkan penyakit
yang disebut "hubungan sebab akibat". Sebuah hubungan sebab-akibat dipahami
dengan baik dalam kondisi seperti penyakit arteri koroner, tapi juga berlaku untuk
penyakit menular, dimana keberadaan organisme diperlukan untuk menyebabkan
penyakit namun belum tentu cukup. AIDS tidak terjadi tanpa terpapar dengan
HIV, namun paparan virus tidak perlu berakibat pada penyakit. Misalnya, paparan
HIV jarang menyebabkan AIDS setelah mendapat suntikan jarum suntik (3 atau
4/1000), karena virus ini tidak menular seperti virus hepatitis B.1
Postulat Koch pada kebanyakan penyakit (infeksi dan non infeksi) tidak
cukup untuk menentukan hubungan sebab akibat, karena4 :
1. Organisme penyebab mungkin hilang, kalau penyakit berkembang
2. Sejumlah agen (dosis) yang cukup biasanya diperlukan untuk
menimbulkan penyakit
3. Situasi yang tidak biasa yaitu penyebab yang khusus memperkuat agen
yang infeksius
4. Satu faktor resiko dapat menyebabkan berbagai efek/penyakit,
misalnya merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit

4
2.2.2 Kriteria Austin Hill
Akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an para epidemiolog telah
menyadari pentingnya rumusan kriteria umum yang dapat dipakai sebagai
pedoman, yang walaupun mungkin belum mencukupi tetapi amat dibutuhkan para
peneliti untuk memutuskan adanya hubungan kausal, berdasarkan bukti-bukti dari
berbagai riset.2
Pada tahun 1965, ahli statistik Inggris Sir Austin Bradford Hill
mengusulkan serangkaian kriteria yang harus dicari saat memutuskan hubungan
antara penyakit dan beberapa faktor lingkungan adalah sebab akibat atau hanya
sebuah asosiasi. Usulannya sudah banyak digunakan, terkadang dengan
modifikasi.1

Tabel 2.1 Hubungan Sebab-Akibat


Kriteria Keterangan
Kronologi waktu Sebab mendahului akibat
Kekuatan risiko relatif besar
Efek dosis respon paparan yang lebih besar menyebabkan terkait
dengan tingkat penyakit yang lebih tinggi
Reversibilitas pengurangan paparan terkait dengan tingkat
penyakit yang lebih rendah
Konsistensi berulang kali diamati oleh orang yang berbeda,
di tempat, keadaan dan waktu yang berbeda
Kredibilitas biologi suatu masuk akal, menurut pengetahuan biologis saat
hipotesis itu
Spesifik satu penyebab menyebabkan satu efek
Analogi Hubungan sebab dan akibat sudah terbentuk
untuk pemaparan atau penyakit yang sama

Terdapat sembilan kriteria atau pedoman yang diberikan penekanan


khusus yaitu temporalitas hubungan, kekuatannya, kehadiran hubungan dosis-
respons yang masuk akal, konsistensi temuan dalam studi yang beragam, dan
koherensi dengan temuan disiplin lain dan teori biomedis. Daripada mengajukan

5
kriteria mutlak, Bradford Hill menganggap ini sebagai aspek hubungan antara
eksposur dan hasil yang kami terutama dipertimbangkan sebelum memutuskan
bahwa kemungkinan besar penafsiran itu sebab-akibat.5

Kriteria kausalitas yang dikenal dirumuskan oleh Bradford Hill (1965),


sebagai berikut :
1. Kekuatan Asosiasi.
Hubungan yang kuat antara penyebab dan akibat yang diakui, seperti yang
diungkapkan oleh resiko relatif atau absolut yang besar merupakan bukti yang
lebih baik untuk hubungan kausal dengan asosiasi yang lemah. Sehingga 4 sampai
16 kali lipat kejadian kanker paru yang lebih tinggi di antara perokok daripada
bukan perokok di banyak penelitian prospektif yang berbeda merupakan bukti
yang lebih kuat bahwa merokok menyebabkan kanker paru-paru daripada temuan
dalam penelitian yang sama bahwa merokok mungkin terkait dengan kanker
ginjal, yang mana resiko relatifnya jauh lebih kecil. Demikian pula, bahwa resiko
relatif infeksi hepatitis B untuk kanker hepatoselular hampir 300 kali sehingga
menyebabkan virus tersebut adalah penyebab kanker hati. Bias kadang-kadang
dapat menghasilkan risiko relatif besar. Namun, bias yang tidak dikenali
cenderung menghasilkan risiko relatif yang besar daripada bias yang dikenali.1
Makin kuat hubungan paparan dan penyakit, makin kuat pula keyakinan
bahwa hubungan tersebut bersifat kausal. Sebab, makin kuat hubungan paparan
dan penyakit sebagaimana yang teramati, makin kecil kemungkinan bahwa
penaksiran hubungan itu di pengaruhai oleh kesalahan acak maupun kesalahan
sistematik yang tidak terduga atau tak terkontrol. Sebaliknya, hubungan yang
lemah kita dapat menduga bahwa peran peluang, bias dan kerancuan cukup besar
untuk mengakibatkan distorsi hasil.2
Adanya asosiasi atau hubungan dinyatakan dengan melakukan uji statistik.
Jaminan adanya suatu hubungan secara statistik diperkuat dengan adanya
kekuatan hubungan (strength) dan adanya konsistensi. Misalnya adanya hubungan
anemia ibu hamil dengan kejadian abortus dengan p= 0,01 (melalui uji chi
square).4

6
Besarnya hubungan antara paparan dan hasilnya dikenal sebagai kekuatan
asosiasi. Dalam percobaan terkontrol [controlled trial (CT)] sering dinyatakan
sebagai pengurangan resiko absolut [absolute risk reduction atau risk different
(RD)] atau pengurangan resiko relatif [relative risk reduction (RRR)]. Untuk studi
kohort RR biasanya digunakan yaitu berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk
memberikan hasil pada pasien yang terpapar dengan pasien tidak terpapar. Untuk
studi case control daripada menggunakan rasio resiko [ratio of risk (RR)],
digunakan odds ratio (OR). Kemungkinan kasus pasien terpapar oleh
kemungkinan pasien kontrol terpapar.5

2. Konsistensi
Ketika beberapa penelitian dilakukan pada waktu yang berbeda dalam
keadaan yang berbeda dan dengan berbagai jenis pasien, semuanya sampai pada
kesimpulan yang sama membuktikan hubungan kausal yang kuat. Bahwa skrining
untuk kanker kolorektal menjadi lebih efektif dan masuk akal ketika dilakukan
uji coba acak terkontrol [randomized control trial (RCT)] tes perdarahan pada
kolon dan studi kasus kontrol sigmoid dimana keduanya menemukan efek
perlindungan. Sebab akibatnya sangat didukung ketika studi menggunakan
beberapa desain penelitian yang berbeda, semuanya mengarah pada hasil yang
sama, karena studi yang menggunakan desain yang sama dapat membuat
kesalahan yang sama. Hal ini sering terjadi bahwa studi yang berbeda
menghasilkan hasil yang berbeda. Kurang konsistensi tidak berarti bahwa hasil
dari suatu penelitian tertentu tidak valid. Satu studi yang baik harus lebih besar
dari beberapa studi yang lain.1
Makin konsisten dengan riset-riset lainnya yang dilakukan pada populasi
dan lingkungan yang berbeda, makin kuat pula keyakinan hubungan kausal.
Kriteria konsistensi juga sangat penting untuk meyakinkan peneliti tentang
hubungan kausal. Contohnya: merokok baru diyakini sebagai penyebab Ca paru
setelah dibuktikan melalui ribuan riset yang dilakukan pada berbagai populasi,
negara dan waktu. Sebaliknya, inkonsistensi temuan tidak dapat dengan
sendirinya dianggap sebagai non-kausal. Sebab dalam banyak hal, agen penyebab
baru dapat mewujudkan pengaruhnya terhadap penyakit, jika terdapat aksi

7
penyebab komplementer yang menciptakan kondisi yang mencukupi untuk
terjadinya penyakit tersebut. Padahal, kondisi yang mencukupi itu tidak selalu
dapat dipenuhi pada setiap situasi. Selain itu, inkonsistensi bisa terjadi karena
adanya “artefak”, baik yang berasal dari fluktuasi acak maupun bias dalam
pelaksanaan riset.2
Konsistensi hubungan ditunjukkan bahwa beberapa hasil penelitian
tentang hubungan variabel independen dan variabel dependen selalu positif.
Konsistensi meliputi dua hal, yaitu survivability dan replicability.4
a. Survivability adalah adanya hubungan dapat dibuktikan dengan
sejumlah uji statistik yang berbeda kekuatan uji statistiknya
b. Replicability adalah adanya hubungan dapat dibuktikan dengan
sejumlah teknik uji statistik
Kurang atau tidak adanya konsistensi tentang hubungan tersebut tidak
berarti bahwa dapat ditetapkan tidak adanya hubungan sebab akibat. Apabila
sampel penelitian begitu kecil maka hubungan statistik dapat tidak terlihat,
walaupun jenis desain studi begitu baik. Hal ini yang tidak dapat menunjukkan
hubungan statistik adalah bila data homogeny, misalnya peneliti ingin mengetahui
hubungan statistik antara suami yang tidak disunat dengan kejadian kanker leher
rahim di Indonesia. Karena kebanyakan suami di Indonesia bersunat (jadi data
homogen), maka hubungan tidak disunat dengan kejadian kanker leher rahim
tidak terlihat. Padahal di India hubungan statistik antara suami tidak disunat dan
suami disunat hamper seimbang, jadi data tidak homogen.4

3. Spesifisitas.
Satu penyebab, satu efek. Lebih sering ditemukan untuk penyakit infeksi
akut (seperti poliomielitis dan tetanus) dan untuk gangguan
metabolisme bawaan (seperti asam urat, ochronosis, dan hiperkolesterolemia
turunan).Untuk penyakit kronik, penyakit degeneratif sering ada banyak
penyebab atau banyak efek dari penyebab yang sama.
Ca paru disebabkan oleh merokok, asbes, dan radiasi. Rokok bukan hanya
menyebabkan kanker paru tapi juga bronkitis, tukak lambung, penyakit
periodontal dan kulit menjadi keriput. Spesifisitas merupakan bukti yang kuat

8
untuk menyatakan penyebab, namun jika tidak ada spesifisitas meneybabkan
lemahnya hubungan sebab-akibat.1
Seringkali kriteria ini berarti bahwa paparan faktor apapun dapat
menimbulkan hanya hasil tunggal. Meskipun hal ini mungkin benar untuk
beberapa penyakit menular, misalnya hanya virus rubella menyebabkan rubella,
ini tidak mungkin jelas sehubungan dengan paparan lingkungan. Bradford Hill
mengakui bahwa ada penyakit yang mungkin memiliki lebih dari satu penyebab
dan bahwa hubungan satu-ke-satu tidak sering ditemukan.Namun, jika sebuah
asosiasi terbatas pada kelompok tertentu dengan paparan lingkungan tertentu atau
sangat meningkat dalam kelompok ini, maka kasus hubungan kausal diperkuat.5
Spesifisitas yaitu ukuran ketepatan suatu variabel dalam memprediksi
terjadinya suatu keadaan (variabel lain) bila variabel lain dikendalikan. Ada dua
jenis spesifisitas, yaitu spesifisitas penyebab dan efek.4
a. Spesifisitas penyebab, adalah suatu efek (outcome) tertentu memiliki
penyebab spesifik
b. spesifisitas efek, yaitu penyebab tertentu menimbulkan efek yang
spesifik (khusus)
Makin spesifik efek paparan, makin kuat kesimpulan hubungan kausal.
Begitu juga, makin spesifik “penyebab”, makin kuat kesimpulan hubungan kausal.
Kriteria spesifitas sering diekspoitir para simpatisan perokok dan pecandu rokok
untuk menyanggah hubungan sebab akibat antara kebiasaan merokok dan ca paru.
Argumentasi mereka, hubungan merokok dan ca paru tidak spesifik, sebab rokok
juga mengakibatkan sejumlah penyakit lain seperti penyakit jantung koroner, ca
mulut, ca nasofaring, ca esofagus, emfisema, bronkitis kronik, kematian prenatal
dan sebagainya. Argumentasi ini sesungguhnya tidak kuat, sebab asap dan
partikulat rokok tembakau terdiri dari puluhan komponen , seperti nikotin, tar,
benzipiren, karbon monoksida, dan lain-lain.2

4. Kronologi waktu
Hubungan kausal harus menunjukkan sekuen waktu yang jelas, yaitu
paparan faktor penelitian (anteseden) mendahului kajadian penyakit (konsekuen).2

9
Hubungan urutan waktu ini menunjukkan bahwa penyebab atau exposure
mendahuli efek, atau variabel independent. Hubungan ini menunjukkan urutan
waktu yang sekuen. Bila urutan waktu tidak terpenuhi, maka hubungan kausal
tidak terpenuhi. Dalam jenis studi cross sectional dan kohort, hubungan temporal
ini kecil kemungkinannya, namun kadang-kadang perlu dicermati secara seksama.
Dalam jenis studi kohort dan intervensi, hubungan temporal pasti ada. Pengakuan
exposure dan efek perlu dilakukan berulang-ulang di tempat-tempat yang berbeda
untuk memperkuat bukti hubungan temporal itu. Misalnya terjadi anemia pada ibu
hamil akan didahului dengan kekurangan asupan zat besi sehingga kadar
hemoglobinnya menjadi turun.4

5. Efek dosis-respons.
Hubungan ini menunjukkan bahwa bila faktor resiko/exposure diperbesar,
maka kemungkinan terjadinya efek juga semakin besar. Dengan demikian arah
hubungannya harus asimetris (searah/linear). Persyaratan ini dapat diberikan
dengan contoh makin banyak merokok, semakin besar resiko menderita ca paru
yang ditunjukkan oleh odds ratio (OR) dan relative risk (RR).1,4
Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan frekuensi
penyakit menguatkan kesimpulan hubungan kausal. Contoh : apabila resiko
terkena Ca paru meningkat dengan bertambahnya jumlah batang rokok yang
dihisap perhari, maka keyakinan hubungan kausal antara merokok dan Ca paru
makin kuat pula. Sebaliknya, tidak terpenuhi kriteria dosis respons tidak
menyingkirkan kemungkinan hubungan kausal, sebab dikenal konsep nilai
ambang dan tingkat saturasi. Selama ini ambang atau tingkat saturasi belum
dicapai oleh dosis yang diberikan, maka perubahan dosis tidak akan diikuti
perubahan kejadian penyakit. Selain itu, teramatinya hubungan dosis respon tidak
selalu dapat diartikan hubungan sebab akibat. Perubahan frekuensi penyakit pada
setiap perubahan intensitas paparan dapat juga disebabkan bias yang bersifat
gradual.2

10
6. Kredibilitas Biologik suatu Hipotesis.
Keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit makin kuat jika
ada dukungan pengetahuan biologik. Namun demikian, tidak adanya dukungan
pengetahuan biologik tidak dapat dengan sendirinya dikatakan bukan hubungan
non-kasual. Sebab seringkali pengetahuan biologi yang tersedia “tertinggal”,
sehingga tidak dapat menjelaskan hasil pengamatan suatu riset. Secara umum
dapat dikatakan, makin terbatas pengetahuan biologik tentang hubungan antara
paparan dan penyakit, makin kurang tepat untuk memutuskan bahwa hubungan itu
non-kasual.2

7. Koherensi
Makin koheren dengan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit,
makin kuat keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit.Kriteria
koherensi menegaskan pentingnya kriteria konsistensi dan kredibilitas biologik.5
Koherensi adalah keadaan hubungan kausal yang diuji (sedang dibuktikan) sesuai
atau memiliki dasar teori dan pengetahuan yang telah ada. Ada beberapa
klasifikasi koherensi, yaitu4 :
a. Theoritical coherence artinya adanya hubungan informasi (hubungan
kausal) yang ditemukan sesuai teori yang berlaku
b. Factual coherence (plausibility), artinya hubungan kausal cocok dengan
pengetahuan yang ada pada saat sekarang. Contoh : penyelidikan wabah
tahun 1849-1854 oleh John Snow memperkirakan muntaber terjadi karena
adanya agen penyebab yang disebut Miasma dengan penularan melalui
kontak. Penemuan John Snow yang kemudian diperkuat dengan penemuan
Pasteur tentang adanya kuman sebagai agen penyebab yaitu agen
infeksius, dan penemuan Koch tentang basil TBC. Penemuan kuman dan
basil itu terealisasi karena penemuan mikroskop oleh Leewwnhoek.
c. Biologic coherence, artinya hubungan kausal cocok dengan pengetahuan
biologi yang berlaku yang diperoleh dari spesies lain (dari manusia), pada
manusia atau dari populasi yang lebih luas (diluar subjek penelitian)

11
d. Statistical coherence, artinya hubungan kausal sesuai dengan suatu model
distribusi penyebab dan efek secara menyeluruh, misalnya yang dapat
menunjukkan adanya dose respone relationship.

8. Bukti experimen.
Apakah tindakan pencegahan yang diambil atas dasar asosiasi sebab-
akibat menunjukkan perubahan frekuensi hasilnya? Dari pandangan Bradford
Hill, dukungan terkuat dari interpretasi kausal adalah kriteria ini. Eksperimen
laboratorium dan uji klinis pada manusia memungkinkan manipulasi paparan
dalam lingkungan yang terkendali seperti studi epidemiologi observasional
manusia. Hewan laboratorium dibiakkan untuk mensimulasikan kepekaan
terhadap paparan lingkungan tertentu, terpajan dengan cara yang terukur, dipantau
untuk pengembangan penyakit dan kemudian dikorbankan untuk memeriksa
perubahan patologis. RCT bertujuan untuk mengontrol bias dan membingungkan
dalam studi manusia untuk memungkinkan estimasi hubungan yang benar antara
paparan dan hasil.5
Dukungan temuan riset eksperimental memperkuat kesimpulan hubungan
kausal. Blalock (1971) dan Suser (1973) mengemukakan, bahwa hubungan kausal
dapat diyakinkan melalui bukti-bukti eksperimental, jika perubahan variabel
independen (faktor penelitian) selalu diikuti oleh perubahan variabel dependen
(penyakit). Dalam praktiknya, pembuktian eksperimental, seringkali tidak praktis,
tidak layak, atau bahkan tidak etis, terutama jika menyangkut faktor-faktor
penelitian yang bersifat merugikan manusia (misalnya, merokok, paparan bahan-
bahan kimia, obat-obat yang dihipotesiskan teratogenik).2

9. Analogi.
Analogi adalah keadaan terbuktinya suatu hubungan dapat digunakan
secara deduktif untuk menjelaskan keadaan yang belum diketahui sebagai
konsekuensi dari adanya hubungan yang telah terbuktikan sebelumnya atau suatu
kriteria sebab akibat menurut pola yang kira-kira serupa.4
Hubungan sebab-akibat diperkuat jika ada contoh penyebab memiliki
analogi dengan satu pertanyaan. Sebagaimana yang kita ketahui, virus dapat

12
menyebabkan penyakit kronik, penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat
(subacute sclerosing panencephalitis), namun lebih mudah untuk menerima
bahwa virus lain dapat menyebabkan degenerasi sistem imun (acquired
immunodeficiency syndrome). Secara keseluruhan, analogi merupakan bukti yang
lemah untuk sebuah penyebab.1
Kriteria analogi kurang kuat untuk mendukung hubungan kasual. Sebab
imajinasi para ilmuan tentu akan banyak mencetuskan gagasan-gagasan analogik,
dengan akibat analogi menjadi tidak spesifik untuk di pakai sebagai dasar
dukungan hubungan kausal. Pada beberapa situasi, kriteria analogi memang bisa
dipakai, misalnya jika sebuah obat menyebabkan cacat lahir, maka bukan tidak
mungkin obat lain yang mempunyai sifat farmakologi yang serupa akan
memberikan akibat yang sama.2

Kesembilan kriteria di atas sangat membantu kita dalam menentukan


apakah suatu paparan atau karekteristik merupakan penyebab suatu penyakit.
Meski demikian, penyerapannya tidak semudah yang diuraikan. Hill sendiri
mengingatkan, tidak satupun kriteria diatas bersifat necessary (mutlak di
perlukan) maupun sufficient (mencukupi). Terlalu mengandalkan salah satu
kriteria tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain akan menghasilkan
kesimpulan yang keliru. Namun, kriteria keempat, yakni kronologi waktu,
kiranya tak bisa di bantah merupakan kriteria yang mutlak di perlukan (sine qua
non).⁴

2.2.3 Kriteria Sussers


Menurut sussers (1991) konsep penyebab dihindari di dalam epidemiologi,
gantinya digunakan determinan (penentu), pemaparan dan faktor resiko. Hal ini
disebabkan ketidaksepakatan mengenai definisi penyebab (causal), kausalitas dan
penetapan secara pasti suatu hubungan kausal. Selain itu juga perubahan
paradigma dari penyebab tunggal (single causation) menjadi penyebab ganda
(multiple causation).
Faktor-faktor yang dapat menjadi faktor resiko (selanjutnya disebut
penyebab) dapat dikelompokkan menjadi :

13
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)
Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat menciptakan status kerentanan
(susceptibility) terhadap agen penyakit, misalnya umur, jenis kelamin, penyakit
sebelumnya, dan lain-lain
2. Faktor yang Memungkinkan (Enabling Factor)
Faktor yang memungkinkan adalah faktor yang mungkin menguntungkan
untuk perkembangan penyakit atau tidak membantu untuk menyembuhkan
penyakit atau memelihara kesehatan yang baik, misalnya : pendapatan yang
rendah, gizi buruk, rumah tidak sehat, pelayanan medis yang tidak cukup
3. Faktor yang Memastikan (Precipitating Factor)
Faktor yang memastikan adalah faktor yang dihubungkan dengan serangan
suatu penyakit atau status kesehatan, misalnya : keterpaparan terhadap agen
infeksius atau agen keracunan
4. Faktor yang Memperkuat (Reinforcing Factors)
Keterpaparan yang berulang dan kerja berlebihan dapat memperberat
penyakit yang ada.4

2.3 Model Kausalitas


Pada prinsipnya terdapat dua pendekatan yang mengetahui hubungan
sebab-akibat antara faktor yang diteliti dan penyakit, yaitu pendekatan
detirminisme dan pendekatan probabilitas. Dalam pendekatan detirminisme,
hubungan antara variabel dependen (penyakit) dan variabel independen (faktor
penelitian) berjalan sempurna, persis dengan yang digambarkan pada model
matematik. Disini diasumsikan tidak terdapat satu jenis kesalahan pun yang
mempengaruhi sifat hubungan kedua variabel itu. Contohnya: postulat Henle-
Koch.² Terdapat beberapa jenis model kausalitas yang berhubungan dengan
pendekatan detirminisme, yaitu, necessary cause dimana penyebabnya harus
selalu mendahului efeknya dan efek ini tidak perlu menjadi satu-satunya hasil dari
salah satu penyebab, sufficient cause dimana penyebabnya pasti medahului atau
menghasilkan efek, termasuk "komponen penyebab" atau kombinasi daripada
kedua jenis kausa ini.5

14
Pendekatan probabilitas, memberikan ruang terhadap kemungkinan
terjadinya kesalahan-kesalahan, baik yang bersifat acak (sampling error), bias,
maupun kerancuan. Dalam pendekatan probabilitas digunakan teori statistic untuk
meyakinkan apakah terdapat hubungan yang valid antara faktor penelitian dan
penyakit. Penaksiran hubungan yang valid adalah penaksiran hubungan yang telah
memperhitungkan faktor peluang, bias dan kerancuan. Contoh dalam mempelajari
hubungan antara tekanan darah dan umur, orang yang seumur belum tentu
memiliki tekanan darah yang sama. Tetapi, dengan metode statistik yang layak,
kita dapat menyimpulkan bahwa, secara rata-rata tekanan darah meningkat dengan
bertambahnya umur. Dengan model statistik bahkan kita dapat meramalkan
tekanan darah untuk suatu umur tertentu.²

15
BAB 3
KESIMPULAN

Riset etiologi adalah riset epidemiologi yang bertujuan mengetahui


penyebab-penyebab penyakit, hubungan satu penyebab dengan penyebab lainnya,
serta besarnya pengaruh terhadap penyakit.
Webster mendefinisikan kausa sebagai “sesuatu yang memberikan efek
atau suatu hasil. Dalam buku teks kedokteran, kausa atau penyebab biasanya
dibahas dengan judul “etiologi”, “patogenesis”, “mekanisme” atau “faktor resiko”.
Kausa penting untuk melatih dokter terutama dalam membimbing pendekatan
mereka untuk tiga tugas klinis yaitu pencegahan, diagnosis, dan pengobatan.
Kata etiologi berasal dari bahasa Yunani “aitia” yang berarti sebab dan
logos yang artinya ilmu. Etiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
penyebab. Etilogi adalah ilmu pengetahuan atau teori tentang faktor-faktor yang
menyebabkan penyakit serta metode masuknya faktor tersebut ke tubuh pejamu.
Etiologi juga merupakan penyebab atau asal mula penyakit atau gangguan.
Konsep penyebab menurut Honle dan Robert Koch, khususnya untuk
menentukan pengaruh organisme hidup yang menyebabkan penyakit tertentu,
memerlukan persyaratan-persyaratan sebagai berikut : organisme tersebut selalu
dijumpai dalam setiap kasus penyakit, organisme tersebut dapat di isolasi dan
dikembangkan dalam media (kultur) yang murni, organisme tersebut jika
diinokulasi ke dalam binatang yang sensitif menyebabkan penyakit tertentu,
organisme tersebut mesti dipulihkan dari binatang dan diidentifikasi.
Terdapat sembilan kriteria Hills atau pedoman yang diberikan penekanan
khusus yaitu temporalitas hubungan, kekuatannya, kehadiran hubungan dosis-
respons yang masuk akal, konsistensi temuan dalam studi yang beragam, dan
koherensi dengan temuan disiplin lain dan teori biomedis. Kriteria tersebut yaitu
kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, kronologi waktu, efek dosis-respon,
kredibilitas biologik suatu hipotesis, koherensi, bukti eksperimen, analogi.
Menurut sussers (1991) konsep penyebab dihindari di dalam
epidemiologi, gantinya digunakan determinan (penentu), pemaparan dan faktor
resiko. Hal ini disebabkan ketidaksepakatan mengenai definisi penyebab (causal),

16
kausalitas dan penetapan secara pasti suatu hubungan kausal. Faktor-faktor yang
dapat menjadi faktor resiko (selanjutnya disebut penyebab) dapat dikelompokkan
menjadi : faktor predisposisi (predisposing factor), faktor yang memungkinkan
(enabling factor), faktor yang memastikan (precipitating factor), faktor yang
memperkuat (reinforcing factors).
Pada prinsipnya terdapat dua pendekatan yang mengetahui hubungan
sebab-akibat antara faktor yang diteliti dan penyakit, yaitu pendekatan
detirminisme dan pendekatan probabilitas.

17
REFERENSI

1. Flecthcer, R.H . Clnical Epidemiology -The Essentials 4th Edition. Boston:


Wiliams & Wilkins.1996; 228-247.
2. Ridwan A, Arsin, A.A. Modul Epidemiologi Dasar. Makasar: Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin. 2011; 74 - 84.
3. Dorland, W.A. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta : EGC. 2012;
768.
4. Sulistyaningsih. Epidemiologi Dalam Praktik Kebidanan. Yogyakarta : Graha
Ilmu. 2011; 15-29.
5. Tugwell, P. Assessing Claims of Causation In B. Haynes, Clinical
Epidemiology. Ontario: Lippincott Williams & Wilkins. 2005;374-397.

18

Anda mungkin juga menyukai