Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN KRITIS

“ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS SECARA KOMPREHENSIF


( BIO PSIKOSOSIAL & SPIRITUAL ) ”

Dosen Pembimbing:
Ns. Frana Andrianur, S. Kep., M. Kep

Di Susun Oleh :
1. Ade Baginda
2. Didit Aditiya Dimas Monit
3. Nazua
4. Ummi Rusiana

PRODI NERS POLITEKNIK KESEHATAN


KEMENTRIAN KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang selalu


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Kritis Secara Komprehensif meliputi Bio-Psiko-
Sosial-Spiritual”.
Makalah ini dimaksudkan dalam upaya meningkatkan pengetahuan
mahasiswa mengenai Asuhan keperawatan kritis secara komprehensif/menyeluruh.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah di masa mendatang.
Dalam penulisan makalah ini, kami banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada :
1. H. Supriadi B, S.Kp., M. Kep. selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kalimantan
Timur.
2. Hj. Umi Kalsum, S. Pd., M. Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Kalimantan Timur.
3. Ns. Parellangi, S. Kep., M. Kep., selaku Ketua Prodi Ners Poltekkes Kemenkes
Kalimantan Timur.
4. Ns. Frana Andrianur, S. Kep., M. Kep selaku dosen pembimbing mata ajar
keperawatan kritis
5. Seluruh dosen, tenaga kependidikan dan pustakawan Poltekkes Kemenkes
Kaltim.
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan instansi terkait serta ilmu pengetahuan.

Samarinda, 6 Agustus 2019


Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................... iiv
BAB I ........................................................................................................................................1
A. Latar belakang ...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................................3
C. Tujuan ...........................................................................................................................3
D. Manfaat .........................................................................................................................3
E. Sistematika Penulisan ...................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................5
A. Pengkajian Fisiologis .................................................................................................5
B. Asuhan Keperawatan Psikososial ...............................................................................15
C. Kebutuhan Spiritual .................................................................................................26
BAB III ...................................................................................................................................30
A. Kesimpulan .................................................................................................................30
B. Saran ...........................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 International Jurnal of caring sciences, 2015 : the effect of music on


comfort, anxiety and pain in the intensive care unit : a case in Turkey
Lampiran 2 Belitung Nursing Journal, 2018 : The effects of spiritual counseling on
the anxiety level of patient’s family at the intensive care unit (ICU) of
dr. Dradjat Prawiranegara Hospital In Serang, Banten Province
Lampiran 3 International Jurnal of Nursing, 2016 : effect of music therapy in
intensive care patient

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Standar asuhan keperawatan intensif adalah acuan minimal asuhan

keperawatan yang harus diberikan oleh perawat di unit/intalasi perawatan

intensif. Asuhan keperawatan intensif adalah kegiatan praktek keperawatan

intensif yang diberikan pada pasien/keluarga. Asuhan keperawatan dilakukan

dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang merupakan

metode ilmiah dan panduan dalam memberikan asuhan keperawatan yang

berkualitas guna mengatasi masalah pasien. Langkah-langkah yang harus

dilakukan meliputi pengkajian, masalah/diagnosa keperawatan, rencana

tindakan, tindakan keperawatan dan evaluasi (Kemenkes, 2006)

Proses keperawatan memberikan pendekatan yang sistematis, dimana

perawat keperawatan kritis dapat mengevaluasi masalah pasien dengan cepat.

Pasien pada unit perawatan kritis saat ini dikelilingi oleh teknologi canggih

yang penting untuk menyelamatkan kehidupan, namun dapat menimbulkan

keasingan untuk pasien tersebut. Sebagai perawat harus memiliki keahlian

dalam menggunakan teknologi ini, disamping itu perawat juga harus

menyadari tentang rasa takut pasien terhadap peralatan yang dapat membuat

reaksi stres yang serius. Perawat harus secara seimbang dalam memenuhi

kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun kliennya dalam suatu

1
lingkungan yang dapat menimbulkan stress dan dehumanis. Dukungan

psikososial dibutuhkan oleh pasien pada unit perawatan kritis termasuk

bantuan dalam mengatasi efek perawatan di rumah sakit sebanding dengan

penyakit kritis.

Pengakajian awal di dalam keperawatan intensif sama dengan

pengkajian umumnya yaitu dengan pendekatan sistem yang meliputi aspek

bio-psiko-sosio kultural-spiritual, namun ketika klien yang dirawat telah

menggunakan alat-alat bantu mekanik seperti alat bantu napas, hemodialisa,

pengkajian juga diarahkan ke hal-hal yang lebih khusus yakni terkait dengan

terapi dan dampak dari penggunaan alat-alat tersebut. (Kemenkes, 2006)

Pasien dalam penanganan perawatan kritis dapat memberikan efek


negatif yang dapat mempengaruhi kondisi pasien tersebut diantaranya pada
aspek psikososial. Aspek psikososial dari sakit kritis merupakan suatu
tantangan bagi perawat pada keperawatan kritis. Dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien yang dirawat di ICU atau perawatan kritis selalu
mempertimbangkan aspek biologis, psikologis, sosiologis, spiritual, secara
komprehensif. Hal ini berarti pasien yang dirawat di ICU membutuhkan
asuhan keperawatan tidak hanya masalah patofisiologi tetapi juga masalah
psiko sosial, lingkungan dan keluarga yang secara erat terkait dengan
penyakit fisiknya (FK Unair, RSUD Dr. Soetomo, 2001).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk
membuat makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Kritis secara
Komprehensif meliputi Bio-Psiko-Sosial Spiritual”

2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu bagaimana penerapan asuhan
keperawatan kritis secara komprehensif ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep asuhan keperawatan kritis secara komprehensif
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini yaitu:
a. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan secara fisiologis
b. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan secara bio psiko social
c. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan secara spiritual

D. Manfaat
1. Teoritis
Dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengembangan mata ajar
keperawatan kritis dalam memahami asuhan keperawatan kritis secara
komprehensif.

2. Praktisi
Dapat digunakan sebagai standar acuan dalam memberikan /
mengaplikasikan asuhan keperawatan kritis secara komprehensif sehingga
dapat memenuhi kebutuhan pasien secara bio-psiko-sosial-spiritual pada
pasien dengan kondisi kritis.

3
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini terdiri dari empat bab yaitu bab I
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika
penulisan, bab II terdiri dari telaah pustaka, bab III penutup terdiri dari
kesimpulan dan saran.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengkajian Fisiologis

Pengakajian yang dilakukan segera setelah pasien tiba di ICU meliputi

ABCDE yaitu Airway, breathing, circulation, drugs (obat-obatan yang saat ini

dipakai termasuk apakah alergi terhadap obat atau makanan tertentu) dan

equipment (adakah alat yang terpasang pada pasien).

Hal-hal yang perlu diingat dalam pemeriksaan fisik adalah :


1. Pemeriksaan fisik dilakukan pada saat pasien masuk, dan diulang kembali
dalam interval waktu tertentu sesuai kondisi pasien.
2. Setiap pemeriksaan harus dikomunikasikan kepada pasien.
3. Privacy pasien harus terus dipertahankan (walaupun pasien dalam keadaan
koma)
4. Tehnik yang digunakan adalah : inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
5. Pemeriksaan dilakukan secara “Head to toe”
6. Pemeriksaan dilakukan pada semua sistem tubuh.
Format pengkajian pada kondisi kritis meliputi pengkajian persistem
( Review Of Sistem ) menggunakan B6 :
1. B 1 : Breathing (Pernafasan/Respirasi)
a. Inspeksi

Frekuensi nafas
a) Faktor-faktor yang bisa menggambarkan kesulitan bernafas :
1) ortopnea atau membungkuk untuk bernafas
2) ekspansi paru asimetris
3) pernafasan cuping hidung

5
4) adanya tanda tanda sianosis
5) periksa adanya tanda tanda clubbing

b. Palpasi

1. Evaluasi kesimetrisan dinding dada


2. Fermittus taktil
3. Krepitus atau emfisema subkutan menimbulkan crackling
4. Pemeriksaan letak trakea

c. Perkusi

a. Langsung : dengan menggunakan kepalan tangan


b. Tidak Langsung : tangan dan jari
c. Suara paru harus bergetar secara resonan, hiperesonasi mengindikasi
inflamasi akibat emfisema, pneumothorak atau asma
d. Suara dullness atau suara datar diatas area paru menunjukkan
ateletaksis, efusi pleura atau konsolidasi paru

d. Auskultasi

Bunyi paru-paru yang tidak diharapkan pada auskultasi dianggap


abnormal, bunyi nafas dapat berkurang atau tidak sama sekali jika cairan
atau nanah telah menumpuk dalam ruang pleura yang kemudan
mengurangi aliran udara ke dalam para-paru.

2. B 2 : Bleeding (Kardiovaskuler / Sirkulasi)


a. Inspeksi

1) Pengkajian kulit : warna, kondisi kulit, turgor kulit, tidak ada rambut yang
tumbuh menandakan sirkulasi perifer yang buruk

6
2) PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal
ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan
adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
b. Palpasi

Mengkaji turgor kulit, kapiler, suhu kulit, adanya edema, nadi

c. Perkusi

Perkusi dalam pemeriksaan fisik jantung dilakukan dengan cara


mengetuk permukaan dada dan jari tangan. Bunyi ketukan yang dihasilkan
akan digunakan sebagai indicator kondisi jantung dan organ disekitarnya
terutama paru paru.

d. Auskultasi
1) Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
a) S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi
akibat penutupan katup mitral dan trikuspid.
b) S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup pulmonal dan katup aorta.
c) S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya
dilatasi ventrikel.
d) Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulensi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.

3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a. Inspeksi
Tingkat kesadaran menggunakan APVU (Alert, Pain, Verbal, Unrespon)
b. Palpasi

7
Perawat harus mempakpasi area tubuh pasien yang terasa nyeri dan tidak
nyaman sebagai tanda-tanda adanya fraktur deformitas, berkurangnya
kapabilitas fungsi dan dislokasi
c. Perkusi :
1) Refleks Tendon Dalam
2) Refleks Kedip dan Respon Kornea
3) Tanda Iritasi Meningeal :
a) Tanda Brudzinski : fleksi panggul secara tidak sadar (involuntary)
ketika leher pasien difleksikan ke arah dada
b) Tanda Kering : nyeri leher jelas ada ketika paha ditekukkan ke atas
abdomen dan kaki diluruskan.

4. B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)


a. Kateter urin
b. Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
c. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.
d. Distensi kandung kemih

5. B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)


a. Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan
pada lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi.
b. Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan
palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus
dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang
endotrakeal dan nasotrakeal.

8
c. Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan
memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat
juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV.
Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah
stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya
terapi antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
d. Nyeri : dapat menunjukan adanya perdarahan gastrointestinal
e. Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
f. Mual dan muntah.

6. B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)


Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
a. Adanya perubahan warna kulit ; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat
pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya
kadar hemoglobin atau shock. Pucat, sianosis pada pasien yang menggunakan
ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
b. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang menggunakan respirator dapat
terjadi akibat penurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan FRC
dalam jangka waktu lama. Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna
tersebut tidak begitu jelas terlihat.
c. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam, infeksi. Pada
pasien yang menggunakan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat gangguan
pembersihan jalan napas dan suction yang tidak steril. Integritas kulit : perlu
dikaji adanya lesi, dan decubitus.

7. Penetapan masalah/Diagnosa keperawatan

9
Setelah melakukan pengkajian data dikumpulkan dan diintrepretasikan

kemudian dianalisa lalu ditetapkan masalah/diagnosa keperawatan berdasarkan

data yang menyimpang dari keadaan fisiologis. Kriteria hasil ditetapkan untuk

mencapai tujuan dari tindakan keperawatan yang diformulasikan berdasarkan

pada kebutuhan klien yang dapat diukur dan realistis (Craven & Himle, 2000).

Contoh diagnosa keperawatan yang sering muncul pada intensif care adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif (RC : Sepsis)

b. Gangguan pertukaran gas : Airway-Obstruction (RC : Acidosis ; metabolic/

respiratory)

c. Pola nafas tidak efektif (RC : Hypoxemia)

d. Gangguan perfusi jaringan (RC : Hypoxemia)

e. Nyeri Akut (RC : Syok Neurogenik)

f. Gangguan intergritas kulit/jaringan (RC : Sepsis)

g. Resiko jatuh

8. Perencanaan

Perencanaan tindakan keperawatan dibuat apabila diagnosa telah diproritaskan.

Langkah awal adalah :

a. Merumuskan tujuan :

1) Berfokus pada pasien

2) Jelas dan singkat

3) Dapat diukur dan diobservasi

10
4) Realistis

5) Ada target waktu

6) Melibatkan peran serta masyarakat

b. Rencana tindakan :

1) Tetapkan tehnik dan prosedur yang akan digunakan

2) Mengarah pada tujuan yang akan dicapai

3) Realistis

4) Disusun berurutan da nada rasionalnya

c. Kriteria hasil :

1) Menggunakan kata kerja yang tepat

2) Dapat dimodifikasi

3) Spesifik

9. Melaksanakan tindakan keperawatan

Semua kegiatan yang dilakukan dalam memberikan asuhan keperawatan

terhadap klien sesuai dengan rencana tindakan. Hal ini penting untuk

mendukung pencapaian tujuan. Tindakan keperawatan dapat dalam bentuk

observasi, tindakan prosedur tertentu, tindakan kolaboratif dan pendidikan

kesehatan dala tindakan perlu ada pengawasan terus menerus terhadap kondisi

klien termasuk evaluasi perilaku.

10. Evaluasi

Evaluasi adalah langkah kelima dalam proses keperawatan dan merupakan dasar

pertimbangan yang sistematis untuk menilai keberhasilan tindakan keperawatan

11
dan sekaligus merupakan alat untuk melakukan pengkajian ulang dalam upaya

melakukan modifikasi/revisi diagnosa dan tindakan. Evaluasi dapat dilakukan

setiap akhir tindakan peberian asuhan yang disebut sebagai evaluasi proses dan

evaluasi hasil yang dilakukan untuk menilai keadaan kesehatan klien selama dan

pada akhir perawatan. Evaluasi dicatat pada catatan perkembangan klien.

B. Asuhan Keperawatan Psikososial

Ruang Intensif Care Unit (ICU) merupakan ruangan khusus untuk merawat
pasien yang dalam keadaan kritis. Ruangan ini digambarkan sebagai ruangan yang
penuh stress tidak hanya bagi pasien dan keluarganya, tetapi juga bagi tenaga
kesehatan yang bekerja di ruangan tersebut. Karena itu bagi perawat dan tenaga
kesehatan lainnya yang bekerja di ruangan ICU perlu memahami tentang stressor
(penyebab stress) di ruangan ini dan juga tentang bagaimana mengatasi stress
tersebut. (Jastremski, 2000)

Ketika merawat pasien kritis perawat dituntut untuk secara seimbang


memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun pasien dan keluarganya.
Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang
bagaimana keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial
pasien, keluarga dan petugas kesehatan. Keadaan sehat dan sakit jiwa merupakan
suatu rentang yang dinamis dari kehidupan seseorang. Keadaaan penyakit kritis
sangat besar pengaruhnya terhadap kedinamisan dari rentang sehat sakit jiwa karena
dalam keadaan mengalami penyakit kritis, seseorang mengalami stress yang berat
dimana pasien mengalami kehilangan kesehatan, kehilangan kemandirian,
kehilangan rasa nyaman dan rasa sakit akibat penyakit yang dideritanya. Semua
keadaan tersebut bisa memperburuk status kesehatan mereka.

12
Sebagai seorang perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi berbagai
masalah kesehatan pasien termasuk masalah psikososialnya. Perawat tidak boleh
hanya berfokus pada masalah fisik yang dialami pasien. Kegagalan dalam mengatasi
masalah psikososial pasien bisa berdampak pada semakin memburuknya keadaan
pasien karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang semakin berat dan
menolak pengobatan.

1. ICU sebagai lingkungan yang penuh stress

Menurut KepMenKes RI Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang


Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) penertian ICU
adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri atau sebuah instalasi di bawah
direktur pelayanan yang mempunyai perlengkapan dan staf yang khusus di tujukan
untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera
atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa.

Peralatan yang digunakan di ruangan ICU sangat kompleks dan canggih.


Secara garis besar alat yang digunakan dalam ruangan ICU terdiri dari dua kelompok
yaitu alat-alat pemantau (monitor) seperti : ECG, EEG, monitor tekanan
intravaskuler dan intrakranial, komputer cardiac output, oksimeter nadi, monitor faal
paru, bedside dan monitor sentral, analiser karbondioksida, fungsi serebral/monitor,
monitor temperatur, analisa kimia darah, analisa gas dan elektrolit, radiologi (X-ray
viewers, portable X-ray machine, Image intensifier), alat-alat respirasi (ventilator,
humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi (airway control equipment), dan alat-alat
pembantu termasuk alat bantu nafas (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat
intubasi (airway control equipment), resusitator otomatik), hemodialisa dan berbagai
alat lainnya termasuk defibrilator.

13
Gambar 1. Ruang ICU

Ruang ICU sudah ada sejak tahun 1950 yang pada awalnya ruangan ini
dirancang untuk merawat pasien dengan kondisi yang tidak stabil. Akan tetapi
dengan meningkatnya kebutuhan akan peralatan dan ruangan yang dibutuhkan oleh
pasien – pasien yang dirawat di ruangan tersebut, maka ruangan ICU menjadi
semakin komplek yang menyebabkan ruangan ini penuh stress (Jastremski, 2000)

Peralatan yang begitu beragam dan kompleks ditambah dengan


ketergantungan pasien yang sangat tinggi terhadap perawat dan dokter, dimana setiap
perubahan yang terjadi pada pasien harus dianalisa secara cermat untuk mendapat
tindakan yang tepat dan cepat, menyebabkan adanya keterbatasan ruang gerak
pelayanan termasuk kunjungan keluarga. Pembatasan kunjungan keluarga ini juga
sebenarnya dilematis. Disatu sisi kunjungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien

14
sebagai dukungan emosional, disisi lain kunjungan keluarga bias mempengaruhi
pekerjaan perawat dan dokter yang harus bekerja secara serius menangani pasiennya.

Hingga saat ini sudah banyak yang membicarakan bahwa ruang ICU
merupakan tempat atau ruangan yang penuh stres (stressful place) tidak hanya bagi
pasien yang dirawat tetapi juga bagi keluarga dan perawat ICU berkaitan dengan
berbagai macam prosedur yang dilakukan di ruang ICU, peralatan yang ada di ruang
ICU, keadaan penyakit, suasana lingkungan di ICU dan kecemasan akan ancaman
kematian (Jastremski, 2000).

Gambar 2. Keadaan pasien yang dirawat di ruang ICU

Sebuah penelitian tentang persepsi pasien dan perawat tentang stressor di


ICU yang dilakukan oleh Cornock (1998) di Amerika Serikat dengan menggunakan
sample 71 perawat dan 71 pasien dengan menggunakan the ICU Environmental
Stressor Scale menemukan bahwa baik perawat maupun pasien mempersepsikan
ruang ICU sebagai ruangan yang stressfull (penuh stres). Beberapa faktor lingkungan
yang menjadi stressor menurut pasien di ICU adalah adanya slang di hidung dan di
mulut, tempat tidur yang tidak nyaman, keterbatasan gerak karena banyaknya alat
yang dipasang di tubuh mereka, sulit tidur, tidak mampu berkomunikasi, mendengar
pembicaraan orang (perawat dan dokter), kurangnya kunjungan, lampu yang terang

15
dan hidup terus menerus, kebisingan yang tidak familiar dan tidak biasa didengarnya.
Selain itu terdapat beberapa stressor seperti alarm dari monitor, mesin - mesin yang
canggih dan asing, ada laki laki dan perempuan dalam satu ruangan, dan tidak ada
privacy. Cornock (1998) menyimpulkan perlu dipikirkan bagaimana mengatasi
lingkungan ICU yang tidak bersahabat tersebut.

Penelitian lain oleh Simpson, Lee dan Cameron (1996) di Amerika dengan
102 pasien pasca operasi jantung yang masuk ICCU, tentang persepsinya terhadap
faktor - faktor yang menyebabkan mereka sulit tidur menemukan bahwa nyeri dan
kesulitan mendapatkan rasa nyaman sebagai faktor utama yang menyebabkan mereka
tidak bisa tidur. Faktor lain termasuk tidak bisa melakukan ritual sebelum tidur, suara
bising, lampu yang terang, alarm, ada orang yang bicara di malam hari, dan suara
intercom.

Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian kualitatif


tentang menemukan 3 tema besar antara lain: pasien yang dirawat di ruang ICU
mengalami stress yang berkaitan dengan tubuh mereka, dengan ruangan ICU serta
relationship dengan orang lain. Stres yang berkaitan dengan tubuh antara lain reaksi
stres tubuh, menurunnya kontrol terhadap diri sendiri, reaksi emosi berkaitan dengan
prosedur tindakan, dan loss of meaning (kehilangan makna hidup). Stres yang
berkaitan dengan ruangan antara lain berkaitan dengan situasi dan kondisi yang
terjadi di ruangan ICU dan yang berkaitan dengan relationship yaitu perpisahan
dengan orang yang penting dalam hidupnya

Keadaan ICU psychosis ini disebabkan oleh ketidakmampuan perawat


melakukan komunikasi yang efektif dan kesulitan perawat dalam membangun
hubungan yang therapeutik dengan pasiennya, sehingga menyebabkan kecemasan
bagi pasien, meningkatkan ketakutannya sampai mengalami psikosa. Lingkungan
yang asing merubah persepsi lingkungan pasien. Kesalahan persepsi ini mencetuskan

16
misinterpretasi terhadap lingkungan yang menimbulkan kecemasan, paranoid dan
bingung yang merupakan ciri dari psikosa.

Konsep interdisiplin juga berdampak pada pasien dan ini juga bisa menjadi
stressor tersendiri bagi pasien. Banyaknya tenaga profesi yang keluar masuk dan
melakukan pengkajian atau intervensi dan seringnya mereka mendiskusikan tentang
penyakit pasien bisa menyebabkan stress bagi pasien yang sedang dirawat. Pasien
mungkin akan merasa cemas, semakin takut dan bahkan merasa putus asa terhadap
penyakitnya (Jastremski, 2000).

Gambar 3. Interdisipliner dalam perawatan pasien ICU

Hal lain yang merupakan stressor bagi pasien yang dirawat di ICU adalah kurangnya
kontak dengan keluarga mereka padahal mereka sangat membutuhkan kehadiran
keluarganya dalam keadaan mereka yang kritis seperti itu (Davis-Martin,1994).
Keluarga membutuhkan informasi tentang perkembangan pasien. Pada umumnya
ICU masih membatasi kunjungan keluarga (Jastremski, 2000).

17
2. Caring pada pasien kritis

Gambar 4. Seorang perawat ICU yang stres

a. Perawat harus mengatasi dulu masalahnya sendiri

Sebelum mampu mengatasi stress pada pasien yang dirawat, seorang perawat
ICU harus mampu mengatasi stressnya sendiri. Perawat yang bertugas di ruang ICU
mempunyai stress yang lebih tinggi daripada perawat yang bertugas di ruangan lain.
Menurut hasil penelitian pakar ICU dari Texas Amerika Serikat, Barr dan Bush
(1998), ada 4 faktor yang dapat mendukung perawat untuk mengatasi stressnya.
Pertama adalah dukungan dari teman, atasan dan keluarga. Seorang perawat ICU
akan merasa berarti kalau mendapatkan pujian dari temannya atau atasannya. Pujian
- pujian kecil setiap hari bisa menyemangati teman atau kolega. Seperti misalnya
“wah, kamu melakukannya dengan baik hari ini”. Atau “tadi kamu berkomunikasi
dengan baik dengan keluarga”. Dengan saling mendukung tentunya sesama perawat
ICU akan merasa tidak sungkan untuk saling meminta dan menerima advice (Barr &
Bush,1998).

18
Kedua adalah adanya perawat yang menjadi model. Seorang perawat senior
tentu bisa menjadi model bagi perawat lainnya. Seorang role model mempunyai
sikap yang baik terhadap pekerjaannya dan pasiennya. Mereka biasanya mempunyai
sikap kind, emphatic and thoughtful tentang pasien dan orang lain disekitarnya.
Ketika dia punya masalah dia tidak memperlihatkannya kepada temanya dan juga
pasiennya.

Ketiga adalah melihat perkembangan pasien yang positif dan interaksi yang
positif dengan pasien dan keluarga. Seorang perawat mengatakan bahwa sebaiknya
keluarga lebih sering berkunjung sehingga kita lebih bisa memahami kebutuhan
pasien. Mengizinkan seorang istri untuk melakukan perawatan mulut bagi suaminya
merupakan suatu contoh bagaimana caranya melibatkan keluarga dalam merawat
pasien dan memberikan waktu mereka untuk bersama yang membuat mereka merasa
spesial. Mengizinkan keluarga untuk menyentuh pasien dan bicara singkat dengan
pasien. Menjelaskan keadaan pasien, prosedur dan peraturan rumah sakit kepada
keluarga.

Keempat adalah perawat ICU harus mendapatkan saleri yang pantas sesuai
dengan tanggung jawabnya. Jika penghasilannya kecil maka performance mereka
menjadi menurun.

b. Upaya untuk mengatasi masalah psikososial pasien kritis

Setelah perawat mampu mengatasi stresnya sendiri, baru dia bisa berupaya
mengatasi stress pasien dan keluarga. Berikut adalah beberapa tindakan yang bisa
dilakukan oleh perawat untuk menurunkan stress pada pasien di ruang ICU:

1). Modifikasi lingkungan

Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU sebaiknya


senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun menggunakan banyak sekali
peralatan dengan teknologi canggih, serta meningkatkan lingkungan yang lebih

19
mendukung kepada proses recovery /penyembuhan pasien (Jastremski, 2000).
Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien memungkinkan untuk mempromosikan
the universal room. Ketersediaan alat yang portable dan lebih kecil meningkatkan
keinginan untuk mendekatkan pelayanan pada pasien daripada pasien yang datang ke
tempat pelayanan. Kemungkinan untuk membuat work stasiun kecil (decentralization
of nursing activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagi pasien
(Jastremski, 2000). Peralatan yang super canggih seperti remote monitoring untuk
semua pasien melalui monitor pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor
lewat TV. Jadi perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat
pasien Bed 2 (Jastremski, 2000).

Disamping menggunakan tekhnologi canggih seperti diatas untuk efisiensi


dan efektifitas pelayanan kepada pasien, lingkungan yang menyembuhkan (healing
environtment) juga perlu diciptakan. Fleksibilitas dari lingkungan tempat tidur
(bedside environtment) bisa dimaksimalkan ketika semua lingkungan yang terkontrol
disediakan di ruangan pasien. Thermostats, light switches, sound systems, window
blinds dan lain-lain harus bisa dikontrol secara terpisah untuk setiap pasien
(Jastremski, 2000). Pengontrolan level suara (noise) dan promoting normal sleep
penting sebagai pengaturan fluid intake.

2). Terapi musik

Cara lain untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah
terapi musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan dan
isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada physiology pasien yang
sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan heart rate,
komplikasi jantung dan meningkatkan suhu perifer pada pasien AMI. Juga
ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan stress pasien (Jastremski, 2000;
Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang digunakan bisa berupa suara air, suara
hujan, suara angin atau suara alam (Jastremski,1998). Masing - masing pasien

20
diberikan headset untuk mendengarkannya. Pengurangan cahaya di malam hari juga
akan mengurangi stressor bagi pasien.

3). Melibatkan dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien kritis

Lingkungan ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan


keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan dukungan
emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen, 2009) karenanya jam besuk
harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2 kali sehari. Hal ini perlu
dimodifikasi terutama untuk seseorang yang sangat berarti bagi pasien. Disamping
itu keluarga perlu diberikan ruangan tunggu yang nyaman dengan fasilitas kamar
mandi, TV dan internet connection (Hamilton, 1999).

Gambar 5. Ruang tunggu keluarga yang kurang mendukung

21
4). Komunikasi terapeutik

Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa / kurang perhatian


terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan keluarganya. Berdasarkan
sistematic review yang dilakukan oleh Lenore & Ogle (1999) terhadap penelitian
tentang komunikasi perawat pasien di ruang ICU di Australia menemukan bahwa
komunikasi perawat di ruang ICU masih sangat kurang meskipun mereka
mempunyai pengetahuan yang sangat tinggi tentang komunikasi terapeutik.
Komunikasi yang dilakukan sangat tidak supportive dan cenderung apathy.
Penelitian lain oleh McCabe (2002) di Ireland dengan pendekatan phenomenology
juga menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi, perawat bisa melakukan
komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien ketika perawat menggunakan
pendekatan person-centered care.

Gambar 4. Perawat berkomunikasi dengan pasien kritis

22
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan untuk menggambarkan pendekatan filosofis untuk a particular mode of
care (model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari person-centred care
adalah sebuah komitmen untuk menemukan kebutuhan pelayanan keperawatan
individu dalam konteks pengalaman sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi
keluarga, gaya hidup dan kemampuan untuk memahami apa yang sedang
dirasakan oleh pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari
sekedar hanya memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk
memahami dan responsif terhadap the inner world of the individual – their
personal world of experiences and what this means to them (Hasnain, et al., 2011;
Clift, 2012).

C. Kebutuhan Spiritual.

Spritual juga dimaknai sebagai suatu jalinan antara pikiran, tubuh, dan
emosi (McEwan, 2004), mengidentifikasi karakteristik umum bahwa
spiritualitas melibatkan aspek keterkaitan (relatedness), keterhubungan
(connectedness), kehadiran (prescence), transendensi (transcendence), harapan
(hope), kemaknaan (meaning) and tujuan (purpose). Manusia memelihara dan
meningkatkan spiritualitasnya dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya
memfokuskan pada pengembangan internal dirinya atau dunianya, sementara
itu, yang lainnya lebih memfokuskan pada dunia luar dirinya.
Keterhubungan dengan internal diri dapat dicapai melalui dialog internal
dengan Tuhan atau kekuatan yang Maha Tinggi melalui berdoa, meditasi, atau
melalui penganalisaan mimpi, berkomunikasi dengan alam, atau melalui
pengalaman inspirasi seni (seperti drama, musik, menari). Ekspresi energi
spiritual seseorang terhadap orang lain dimanifestasikan melalui mencintai
hubungan dengan orang lain, melayani orang lain, kegembiraan, tertawa,
keterlibatan dalam pelayanan keagamaan, melalui persahabatan dan aktivitas
bersama, rasa haru, empati, ampunan dan harapan (Kozier et al, 2004).

23
1. Karakteristik sehat spiritual meliputi : perasaan damai dalam diri, haru
pada orang lain, mempunyai rujukan hidup, bersyukur/berterimakasih,
apresiasi terhadap kesamaan dan keragaman, Humor, arif/bijaksana,
dermawan/murah hati, mampu transendensi diri dan mampu mencintai tanpa
syarat/ikhlas.

2. Distres spiritual
Kata distres dalam Kamus Inggris-Indonesia oleh Echols dan
Shadily (1997) : keadaan yang sukar, menyusahkan, menyedihkan, atau
menderita. Kozier et al (2004): distres spiritual (spiritual distress)
merupakan suatu tantangan terhadap kesehatan/kesejahteraan spiritual atau
terhadap sistem keyakinan yang memberikan kekuatan, harapan dan makna
hidup. Faktor yang berkontribusi terhadap distress spiritual: masalah-
masalah fisiologis, konsen terkait dengan terapi/pengobatan, atau faktor
situasional.
a. Faktor fisiologis meliputi diagnosis penyakit terminal, penyakit yang
menimbulkan kecacatan/kelemahan, nyeri, kehilangan bagian tubuh
atau fungsi tubuh, atau kematian bayi saat lahir.
b. Faktor yang berkaitan dengan terapi/pengobatan meliputi: anjuran
transfusi darah, aborsi, pembedahan, pembatasan diet, amputasi bagian
tubuh, atau isolasi.
c. Faktor situasional meliputi kematian atau penyakit pada orang
tercinta/terdekat, ketidakmampuan seseorang dalam mempraktikan
ritual spiritual, atau perasaan-perasaan yang memalukan ketika
mempraktikannya

Karakteristik distres spiritual (North American Nursing Diagnosis


Association/NANDA) :

24
a. mengekspresikan kurang/rendahnya harapan dan tujuan dalam hidup,
pengampunan diri
b. mengekspresikan dibuang/dijauhi oleh Tuhan atau marah pada
Tuhan
c. menolak berinteraksi dengan teman, termasuk keluarga
d. perubahan yang mendadak dalam praktik-paktik spiritual
e. meminta untuk melihat pemimpin keagamaan
f. dan tidak minat terhadap alam dan tidak minat membaca literatur spiritual.

3. Definisi Asuhan Spiritual :

Praktik dan prosedur yang dilakukan oleh perawat untuk memenuhi


kebutuhan spiritual guna menopang kesehatan dan kesejahteraan klien
(Oswald, 2004). Asuhan spiritual sebagai cara-cara dalam membantu pasien
untuk memahami lebih baik makna/arti dan tujuan hidup, memberikan
keyakinannya pada Tuhan, meningkatkan kapasitas pasien untuk mencintai,
dan memberikan dukungan lebih jauh dalam nilai-nilai spiritual.
Peran perawat dalam asuhan spiritual dilakukan melalui : peran
pendampingan (accompanying), pemberian bantuan (helping), kehadiran
(presencing), penghargaan (valuing) dan peran sebagai perantara
(intercessory roles).

Pengkajian aspek spiritual klien diarahkan untuk : menggali data ttg


konsep ketuhanan klien, menggali sumber-sumber harapan dan kekuatan
klien, menggali ritual-ritual & praktik keagamaan klien serta menggali
persepsi hubungan antara keyakinan spiritual dan kesehatan (Stoll 1989,
dalam Kozier et al, 2004). Berikut ini adalah pertanyaan dalam wawancara
spiritual :

25
1). Adakah praktik keagamaan tertentu yang penting bagi anda? Jika
ada, dapatkah anda menceritakannya kepada saya?
2). Apa dan bagaimana sesuatu dapat mengganggu praktik keagamaan
anda saat ini?
3). Bagaimana keyakinan/keimanan anda menolong/bermanfaat bagi
anda? Apakah cara-cara itu penting bagi kebaikan anda sekarang?
4). Dengan cara bagaimana saya dapat memberi dukungan pada praktik
spiritual anda? (misalnya, berkenankah anda, jika saya membacakan
buku doa kepada anda?)
5). Apakah anda menginginkan dikunjungi pemuka agama di rumah
sakit ini?
6). Apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan anda
sekarang?
7). Apa yang membuat anda nyaman selama masa-masa sulit ini?

Pengkajian klinik spiritual terdiri dari aspek : lingkungan, perilaku,


verbalisasi, afek dan sikap serta hubungan interpersonal.

1). Lingkungan
Perhatikan di lingkungan/ruangan pasien, adakah hal berikut ; kitab suci,
buku doa, literatur keagamaan, pengarahan keagamaan, simbol/lambang
keagamaan seperti tasbih, salib, kiriman bunga dan buletin dari
masjid/gereja.

2). Perilaku yang dapat diamati ;


Apakah pasien tampak berdoa sebelum/sesudah makan/ waktu
lainnya, tampak membaca literatur keagamaan, ekspresi kemarahan
pada representasi keagamaan atau pada Tuhan.

26
3). Verbalisasi ;
a. Menyebut tentang Tuhan/kekuatan Maha Tinggi.
b. Mengucapkan doa-doa.
c. Membicarakan keimanan/keyakinan, masjid, gereja, sinagog, kuil,
pemimpin spiritual atau keagamaan, atau topik-topik keagamaan.
d. Mengungkapan kunjungan pemuka agama
e. Mengungkapkan berkunjung ke/dari tempat ibadah
f. Ekspresi ketakutan akan kematian
g. Konsen dengan makna kehidupan
h. Mengungkapkan konflik internal tentang keyakinan keagamaan
i. Menanyakan tentang keberadaan di dunia
j. Menanyakan makna tentang penderitaan
k. Membicarakan implikasi etika dan moral dari terapi

4). Afek dan Sikap yang dapat diamati : tampak kesepian, tampak
depresi, tampak marah, memperlihatkan kecemasan, memperlihatkan
agitasi, tampak apatis, tampak khusyu.

4. Masalah/diagnosa keperawatan terkait kebutuhan spiritual (NANDA,


2008) :
a. Distres spiritual (spiritual distress),
b. Risiko terhadap distres spiritual (risk for spiritual distress),
c. Potensial terhadap perbaikan/peningkatan kesejahteraan spiritual (spiritual
well-being, readiness for enhanced).

5. Perencanaan Keperawatan Terkait Kebutuhan Spiritual :


a. Membantu klien untuk memenuhi kewajiban agamanya.

27
b. Membantu klien untuk mengambil nilai-nilai ke dalam dirinya dan
menggunakan sumber-sumber dalam dirinya secara lebih efektif untuk
memenuhi situasi/keadaan saat ini.
c. Membantu klien memelihara atau membangun hubungan personal yang
dinamis dengan yang maha tinggi dalam menghadapi situasi yang tidak
menyenangkan.
d. Membantu klien menemukan makna/arti tentang situasi yang ada.
e. Meningkatkan harapan.
f. Memberikan sumber-sumber spiritual jika tidak tersedia

6. Implementasi keperawatan terkait pemenuhan kebutuhan spiritual


( Kozier, 2004) :
a. Pendampingan (providing prescence)
b. Dukungan praktik keagamaan
c. Membantu berdoa/mendoakan
d. Rujukan konseling spiritual.

Pendampingan
Pendampingan digambarkan sebagai hadir dan menyatu dengan klien
Pendampingan, sering merupakan yang terbaik dan kadang-kadang satu-satunya
intervensi untuk mendukung penderitaan klien dimana intervensi medik tidak
dapat mengatasinya (Kozier, 2004). Ketika klien tidak mempunyai harapan
(hopless), tidak berdaya (powerless), dan rentan, maka pendampingan oleh
perawat dapat sangat bermanfaat (Taylor, 2002, dalam Kozier, 2004).

Dukungan praktik keagamaan


Perawat perlu mempertimbangkan praktik keagamaan tertentu yang akan
mempengaruhi asuhan keperawatan, seperti: keyakian klien tentang kelahiran,

28
kematian, berpakaian, diet, berdoa, tulisan/pesan suci dan symbol-simbol suci
lainnya.

Membantu berdoa/mendoakan
Klien dapat memilih untuk berpartisipasi dalam berdoa secara pribadi
atau secara kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama. Pada situasi
seperti ini, tanggung jawab utama perawat adalah memastikan ketenangan
lingkungan dan privacy pribadi klien.
Karena berdoa melibatkan perasaan yang dalam, perawat perlu
menyediakan waktu dengan klien setelah selesai berdoa, untuk memberi
kesempatan klien mengekspresikan perasaannya (Kozier, 2004).

Rujukan konseling spiritual.


Menurut Kozier (2004) rujukan mungkin diperlukan ketika perawat membuat
diagnosa distress spiritual. Pada situasi ini, perawat dan konselor keagamaan
dapat bekerja bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan klien.

29
BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pasien – pasien yang dirawat diruangan ICU adalah pasien – pasien yang
sedang mengalami keadaan kritis yaitu suatu keadaan penyakit kritis dimana
pasien sangat beresiko untuk meninggal. Pada keadaan kritis ini pasien
mengalami masalah psikososial dan spiritual yang cukup serius dan
karenanya perlu perhatian dan penanganan yang serius pula dari perawat dan
tenaga kesehatan lain yang merawatnya.
2. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien kritis ini, perawat
harus menunjukkan sikap professional dan tulus dengan pendekatan yang
baik serta berkomunikasi yang efektif kepada pasien.

B. Saran.
1. Perawat harus memahami bagaimana konsep asuhan keperawatan secara
komprehensif di area kritis.
2. Perawat harus memiliki kemampuan dalam memberikan layanan asuhan
keperawatan di area kritis secara komprehensif meliputi bio-psiko-sosial-
spiritual.

30
DAFTAR PUSTAKA

Barr W.J. & Bush H.A.(1998). Four factors of nurse caring in the ICU. Dimensions
of Critical Care Nursing, 17(4), 214-223

Cornock M (1998). Stress and the intensive care patient: Perceptions of patients and
nurses. Jounal of Advand Nursing, 27,18.

Davis-Martin S (1994). Perceived needs of families of long-term critical care


patients: A brief report. Heart Lung, 23, 515

Dyson M. (1999). Intensive care unit psychosis, the therapeutic nurse-patient


relationship and the influence of the intensive care setting: Analysis of
interrelating factors. Journal of Clinical Nursing, 8, 284

Hamilton K. (1999): Design for flexibility in critical care. New Horizon, 7, 205

Harvey M.A. (1998): Critical care unit bedside design and furnishing: Impact on
nosocomial infection. Infection Control Hospital Epidemiology, 19, 597,

Hardianto. (2017). Pemenuhan Kebutuhan Spiritual pasien di RSUD Haji


Makasar. Skripsi dipublikasikan Universitas Islam Negeri Alaudin Makasar
Hidayat AA. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia 1 : aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Hudak & Gallo. (2010). Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik Edisi 6 Volume
1. Jakarta : EGC

Jastremski, C. A. (2000). ICU bedside environtment : a Nursing perspective.Critical


Care Clinics,16 (4), 723 – 734.

Judith M, Wilkinson NR.( 2004). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis


NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC.

31
Kozier B, Berman A, Snyder SJ. (2012). Fundamental of nursing: Concept,
Process, and Practice. New Jersey : Pearson Prentice Hall.
McCabe, C. (2004). Nurse–patient communication: an exploration of patients’
experiences. Journal of Clinical Nursing, 13, 41–49

NANDA (2008). Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2007–2008

Potter PA. & Perry AG. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 1. Jakarta : EGC.
Suryani, Dr (2012) Aspek Psikososial dalam merawat pasien kritis disampaikan
pada Workshop Nasional Keperawatan Kritis

Wardhani DP. (2017). Pengalaman Perawat Dalam Pemenuhan kebutuhan


Spiritual Islam pada pasien di ICU. Skripsi dipublikasikan Universitas
Diponegoro Semarang

32

Anda mungkin juga menyukai