KEPERAWATAN KRITIS
Dosen Pembimbing:
Ns. Frana Andrianur, S. Kep., M. Kep
Di Susun Oleh :
1. Ade Baginda
2. Didit Aditiya Dimas Monit
3. Nazua
4. Ummi Rusiana
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Standar asuhan keperawatan intensif adalah acuan minimal asuhan
Pasien pada unit perawatan kritis saat ini dikelilingi oleh teknologi canggih
menyadari tentang rasa takut pasien terhadap peralatan yang dapat membuat
reaksi stres yang serius. Perawat harus secara seimbang dalam memenuhi
1
lingkungan yang dapat menimbulkan stress dan dehumanis. Dukungan
penyakit kritis.
pengkajian juga diarahkan ke hal-hal yang lebih khusus yakni terkait dengan
2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu bagaimana penerapan asuhan
keperawatan kritis secara komprehensif ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui konsep asuhan keperawatan kritis secara komprehensif
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini yaitu:
a. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan secara fisiologis
b. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan secara bio psiko social
c. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan secara spiritual
D. Manfaat
1. Teoritis
Dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengembangan mata ajar
keperawatan kritis dalam memahami asuhan keperawatan kritis secara
komprehensif.
2. Praktisi
Dapat digunakan sebagai standar acuan dalam memberikan /
mengaplikasikan asuhan keperawatan kritis secara komprehensif sehingga
dapat memenuhi kebutuhan pasien secara bio-psiko-sosial-spiritual pada
pasien dengan kondisi kritis.
3
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini terdiri dari empat bab yaitu bab I
terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat dan sistematika
penulisan, bab II terdiri dari telaah pustaka, bab III penutup terdiri dari
kesimpulan dan saran.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengkajian Fisiologis
ABCDE yaitu Airway, breathing, circulation, drugs (obat-obatan yang saat ini
dipakai termasuk apakah alergi terhadap obat atau makanan tertentu) dan
Frekuensi nafas
a) Faktor-faktor yang bisa menggambarkan kesulitan bernafas :
1) ortopnea atau membungkuk untuk bernafas
2) ekspansi paru asimetris
3) pernafasan cuping hidung
5
4) adanya tanda tanda sianosis
5) periksa adanya tanda tanda clubbing
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
1) Pengkajian kulit : warna, kondisi kulit, turgor kulit, tidak ada rambut yang
tumbuh menandakan sirkulasi perifer yang buruk
6
2) PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal
ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan
adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis.
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
1) Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
a) S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi
akibat penutupan katup mitral dan trikuspid.
b) S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat
penutupan katup pulmonal dan katup aorta.
c) S3 : Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya
dilatasi ventrikel.
d) Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulensi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
3. B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
a. Inspeksi
Tingkat kesadaran menggunakan APVU (Alert, Pain, Verbal, Unrespon)
b. Palpasi
7
Perawat harus mempakpasi area tubuh pasien yang terasa nyeri dan tidak
nyaman sebagai tanda-tanda adanya fraktur deformitas, berkurangnya
kapabilitas fungsi dan dislokasi
c. Perkusi :
1) Refleks Tendon Dalam
2) Refleks Kedip dan Respon Kornea
3) Tanda Iritasi Meningeal :
a) Tanda Brudzinski : fleksi panggul secara tidak sadar (involuntary)
ketika leher pasien difleksikan ke arah dada
b) Tanda Kering : nyeri leher jelas ada ketika paha ditekukkan ke atas
abdomen dan kaki diluruskan.
8
c. Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan
memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat
juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV.
Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah
stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya
terapi antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
d. Nyeri : dapat menunjukan adanya perdarahan gastrointestinal
e. Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
f. Mual dan muntah.
9
Setelah melakukan pengkajian data dikumpulkan dan diintrepretasikan
data yang menyimpang dari keadaan fisiologis. Kriteria hasil ditetapkan untuk
pada kebutuhan klien yang dapat diukur dan realistis (Craven & Himle, 2000).
Contoh diagnosa keperawatan yang sering muncul pada intensif care adalah :
respiratory)
g. Resiko jatuh
8. Perencanaan
a. Merumuskan tujuan :
10
4) Realistis
b. Rencana tindakan :
3) Realistis
c. Kriteria hasil :
2) Dapat dimodifikasi
3) Spesifik
terhadap klien sesuai dengan rencana tindakan. Hal ini penting untuk
kesehatan dala tindakan perlu ada pengawasan terus menerus terhadap kondisi
10. Evaluasi
Evaluasi adalah langkah kelima dalam proses keperawatan dan merupakan dasar
11
dan sekaligus merupakan alat untuk melakukan pengkajian ulang dalam upaya
setiap akhir tindakan peberian asuhan yang disebut sebagai evaluasi proses dan
evaluasi hasil yang dilakukan untuk menilai keadaan kesehatan klien selama dan
Ruang Intensif Care Unit (ICU) merupakan ruangan khusus untuk merawat
pasien yang dalam keadaan kritis. Ruangan ini digambarkan sebagai ruangan yang
penuh stress tidak hanya bagi pasien dan keluarganya, tetapi juga bagi tenaga
kesehatan yang bekerja di ruangan tersebut. Karena itu bagi perawat dan tenaga
kesehatan lainnya yang bekerja di ruangan ICU perlu memahami tentang stressor
(penyebab stress) di ruangan ini dan juga tentang bagaimana mengatasi stress
tersebut. (Jastremski, 2000)
12
Sebagai seorang perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi berbagai
masalah kesehatan pasien termasuk masalah psikososialnya. Perawat tidak boleh
hanya berfokus pada masalah fisik yang dialami pasien. Kegagalan dalam mengatasi
masalah psikososial pasien bisa berdampak pada semakin memburuknya keadaan
pasien karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang semakin berat dan
menolak pengobatan.
13
Gambar 1. Ruang ICU
Ruang ICU sudah ada sejak tahun 1950 yang pada awalnya ruangan ini
dirancang untuk merawat pasien dengan kondisi yang tidak stabil. Akan tetapi
dengan meningkatnya kebutuhan akan peralatan dan ruangan yang dibutuhkan oleh
pasien – pasien yang dirawat di ruangan tersebut, maka ruangan ICU menjadi
semakin komplek yang menyebabkan ruangan ini penuh stress (Jastremski, 2000)
14
sebagai dukungan emosional, disisi lain kunjungan keluarga bias mempengaruhi
pekerjaan perawat dan dokter yang harus bekerja secara serius menangani pasiennya.
Hingga saat ini sudah banyak yang membicarakan bahwa ruang ICU
merupakan tempat atau ruangan yang penuh stres (stressful place) tidak hanya bagi
pasien yang dirawat tetapi juga bagi keluarga dan perawat ICU berkaitan dengan
berbagai macam prosedur yang dilakukan di ruang ICU, peralatan yang ada di ruang
ICU, keadaan penyakit, suasana lingkungan di ICU dan kecemasan akan ancaman
kematian (Jastremski, 2000).
15
dan hidup terus menerus, kebisingan yang tidak familiar dan tidak biasa didengarnya.
Selain itu terdapat beberapa stressor seperti alarm dari monitor, mesin - mesin yang
canggih dan asing, ada laki laki dan perempuan dalam satu ruangan, dan tidak ada
privacy. Cornock (1998) menyimpulkan perlu dipikirkan bagaimana mengatasi
lingkungan ICU yang tidak bersahabat tersebut.
Penelitian lain oleh Simpson, Lee dan Cameron (1996) di Amerika dengan
102 pasien pasca operasi jantung yang masuk ICCU, tentang persepsinya terhadap
faktor - faktor yang menyebabkan mereka sulit tidur menemukan bahwa nyeri dan
kesulitan mendapatkan rasa nyaman sebagai faktor utama yang menyebabkan mereka
tidak bisa tidur. Faktor lain termasuk tidak bisa melakukan ritual sebelum tidur, suara
bising, lampu yang terang, alarm, ada orang yang bicara di malam hari, dan suara
intercom.
16
misinterpretasi terhadap lingkungan yang menimbulkan kecemasan, paranoid dan
bingung yang merupakan ciri dari psikosa.
Konsep interdisiplin juga berdampak pada pasien dan ini juga bisa menjadi
stressor tersendiri bagi pasien. Banyaknya tenaga profesi yang keluar masuk dan
melakukan pengkajian atau intervensi dan seringnya mereka mendiskusikan tentang
penyakit pasien bisa menyebabkan stress bagi pasien yang sedang dirawat. Pasien
mungkin akan merasa cemas, semakin takut dan bahkan merasa putus asa terhadap
penyakitnya (Jastremski, 2000).
Hal lain yang merupakan stressor bagi pasien yang dirawat di ICU adalah kurangnya
kontak dengan keluarga mereka padahal mereka sangat membutuhkan kehadiran
keluarganya dalam keadaan mereka yang kritis seperti itu (Davis-Martin,1994).
Keluarga membutuhkan informasi tentang perkembangan pasien. Pada umumnya
ICU masih membatasi kunjungan keluarga (Jastremski, 2000).
17
2. Caring pada pasien kritis
Sebelum mampu mengatasi stress pada pasien yang dirawat, seorang perawat
ICU harus mampu mengatasi stressnya sendiri. Perawat yang bertugas di ruang ICU
mempunyai stress yang lebih tinggi daripada perawat yang bertugas di ruangan lain.
Menurut hasil penelitian pakar ICU dari Texas Amerika Serikat, Barr dan Bush
(1998), ada 4 faktor yang dapat mendukung perawat untuk mengatasi stressnya.
Pertama adalah dukungan dari teman, atasan dan keluarga. Seorang perawat ICU
akan merasa berarti kalau mendapatkan pujian dari temannya atau atasannya. Pujian
- pujian kecil setiap hari bisa menyemangati teman atau kolega. Seperti misalnya
“wah, kamu melakukannya dengan baik hari ini”. Atau “tadi kamu berkomunikasi
dengan baik dengan keluarga”. Dengan saling mendukung tentunya sesama perawat
ICU akan merasa tidak sungkan untuk saling meminta dan menerima advice (Barr &
Bush,1998).
18
Kedua adalah adanya perawat yang menjadi model. Seorang perawat senior
tentu bisa menjadi model bagi perawat lainnya. Seorang role model mempunyai
sikap yang baik terhadap pekerjaannya dan pasiennya. Mereka biasanya mempunyai
sikap kind, emphatic and thoughtful tentang pasien dan orang lain disekitarnya.
Ketika dia punya masalah dia tidak memperlihatkannya kepada temanya dan juga
pasiennya.
Ketiga adalah melihat perkembangan pasien yang positif dan interaksi yang
positif dengan pasien dan keluarga. Seorang perawat mengatakan bahwa sebaiknya
keluarga lebih sering berkunjung sehingga kita lebih bisa memahami kebutuhan
pasien. Mengizinkan seorang istri untuk melakukan perawatan mulut bagi suaminya
merupakan suatu contoh bagaimana caranya melibatkan keluarga dalam merawat
pasien dan memberikan waktu mereka untuk bersama yang membuat mereka merasa
spesial. Mengizinkan keluarga untuk menyentuh pasien dan bicara singkat dengan
pasien. Menjelaskan keadaan pasien, prosedur dan peraturan rumah sakit kepada
keluarga.
Keempat adalah perawat ICU harus mendapatkan saleri yang pantas sesuai
dengan tanggung jawabnya. Jika penghasilannya kecil maka performance mereka
menjadi menurun.
Setelah perawat mampu mengatasi stresnya sendiri, baru dia bisa berupaya
mengatasi stress pasien dan keluarga. Berikut adalah beberapa tindakan yang bisa
dilakukan oleh perawat untuk menurunkan stress pada pasien di ruang ICU:
19
mendukung kepada proses recovery /penyembuhan pasien (Jastremski, 2000).
Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien memungkinkan untuk mempromosikan
the universal room. Ketersediaan alat yang portable dan lebih kecil meningkatkan
keinginan untuk mendekatkan pelayanan pada pasien daripada pasien yang datang ke
tempat pelayanan. Kemungkinan untuk membuat work stasiun kecil (decentralization
of nursing activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagi pasien
(Jastremski, 2000). Peralatan yang super canggih seperti remote monitoring untuk
semua pasien melalui monitor pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor
lewat TV. Jadi perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat
pasien Bed 2 (Jastremski, 2000).
Cara lain untuk menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah
terapi musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan dan
isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada physiology pasien yang
sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan heart rate,
komplikasi jantung dan meningkatkan suhu perifer pada pasien AMI. Juga
ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan stress pasien (Jastremski, 2000;
Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang digunakan bisa berupa suara air, suara
hujan, suara angin atau suara alam (Jastremski,1998). Masing - masing pasien
20
diberikan headset untuk mendengarkannya. Pengurangan cahaya di malam hari juga
akan mengurangi stressor bagi pasien.
21
4). Komunikasi terapeutik
22
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan untuk menggambarkan pendekatan filosofis untuk a particular mode of
care (model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari person-centred care
adalah sebuah komitmen untuk menemukan kebutuhan pelayanan keperawatan
individu dalam konteks pengalaman sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi
keluarga, gaya hidup dan kemampuan untuk memahami apa yang sedang
dirasakan oleh pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari
sekedar hanya memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk
memahami dan responsif terhadap the inner world of the individual – their
personal world of experiences and what this means to them (Hasnain, et al., 2011;
Clift, 2012).
C. Kebutuhan Spiritual.
Spritual juga dimaknai sebagai suatu jalinan antara pikiran, tubuh, dan
emosi (McEwan, 2004), mengidentifikasi karakteristik umum bahwa
spiritualitas melibatkan aspek keterkaitan (relatedness), keterhubungan
(connectedness), kehadiran (prescence), transendensi (transcendence), harapan
(hope), kemaknaan (meaning) and tujuan (purpose). Manusia memelihara dan
meningkatkan spiritualitasnya dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya
memfokuskan pada pengembangan internal dirinya atau dunianya, sementara
itu, yang lainnya lebih memfokuskan pada dunia luar dirinya.
Keterhubungan dengan internal diri dapat dicapai melalui dialog internal
dengan Tuhan atau kekuatan yang Maha Tinggi melalui berdoa, meditasi, atau
melalui penganalisaan mimpi, berkomunikasi dengan alam, atau melalui
pengalaman inspirasi seni (seperti drama, musik, menari). Ekspresi energi
spiritual seseorang terhadap orang lain dimanifestasikan melalui mencintai
hubungan dengan orang lain, melayani orang lain, kegembiraan, tertawa,
keterlibatan dalam pelayanan keagamaan, melalui persahabatan dan aktivitas
bersama, rasa haru, empati, ampunan dan harapan (Kozier et al, 2004).
23
1. Karakteristik sehat spiritual meliputi : perasaan damai dalam diri, haru
pada orang lain, mempunyai rujukan hidup, bersyukur/berterimakasih,
apresiasi terhadap kesamaan dan keragaman, Humor, arif/bijaksana,
dermawan/murah hati, mampu transendensi diri dan mampu mencintai tanpa
syarat/ikhlas.
2. Distres spiritual
Kata distres dalam Kamus Inggris-Indonesia oleh Echols dan
Shadily (1997) : keadaan yang sukar, menyusahkan, menyedihkan, atau
menderita. Kozier et al (2004): distres spiritual (spiritual distress)
merupakan suatu tantangan terhadap kesehatan/kesejahteraan spiritual atau
terhadap sistem keyakinan yang memberikan kekuatan, harapan dan makna
hidup. Faktor yang berkontribusi terhadap distress spiritual: masalah-
masalah fisiologis, konsen terkait dengan terapi/pengobatan, atau faktor
situasional.
a. Faktor fisiologis meliputi diagnosis penyakit terminal, penyakit yang
menimbulkan kecacatan/kelemahan, nyeri, kehilangan bagian tubuh
atau fungsi tubuh, atau kematian bayi saat lahir.
b. Faktor yang berkaitan dengan terapi/pengobatan meliputi: anjuran
transfusi darah, aborsi, pembedahan, pembatasan diet, amputasi bagian
tubuh, atau isolasi.
c. Faktor situasional meliputi kematian atau penyakit pada orang
tercinta/terdekat, ketidakmampuan seseorang dalam mempraktikan
ritual spiritual, atau perasaan-perasaan yang memalukan ketika
mempraktikannya
24
a. mengekspresikan kurang/rendahnya harapan dan tujuan dalam hidup,
pengampunan diri
b. mengekspresikan dibuang/dijauhi oleh Tuhan atau marah pada
Tuhan
c. menolak berinteraksi dengan teman, termasuk keluarga
d. perubahan yang mendadak dalam praktik-paktik spiritual
e. meminta untuk melihat pemimpin keagamaan
f. dan tidak minat terhadap alam dan tidak minat membaca literatur spiritual.
25
1). Adakah praktik keagamaan tertentu yang penting bagi anda? Jika
ada, dapatkah anda menceritakannya kepada saya?
2). Apa dan bagaimana sesuatu dapat mengganggu praktik keagamaan
anda saat ini?
3). Bagaimana keyakinan/keimanan anda menolong/bermanfaat bagi
anda? Apakah cara-cara itu penting bagi kebaikan anda sekarang?
4). Dengan cara bagaimana saya dapat memberi dukungan pada praktik
spiritual anda? (misalnya, berkenankah anda, jika saya membacakan
buku doa kepada anda?)
5). Apakah anda menginginkan dikunjungi pemuka agama di rumah
sakit ini?
6). Apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan anda
sekarang?
7). Apa yang membuat anda nyaman selama masa-masa sulit ini?
1). Lingkungan
Perhatikan di lingkungan/ruangan pasien, adakah hal berikut ; kitab suci,
buku doa, literatur keagamaan, pengarahan keagamaan, simbol/lambang
keagamaan seperti tasbih, salib, kiriman bunga dan buletin dari
masjid/gereja.
26
3). Verbalisasi ;
a. Menyebut tentang Tuhan/kekuatan Maha Tinggi.
b. Mengucapkan doa-doa.
c. Membicarakan keimanan/keyakinan, masjid, gereja, sinagog, kuil,
pemimpin spiritual atau keagamaan, atau topik-topik keagamaan.
d. Mengungkapan kunjungan pemuka agama
e. Mengungkapkan berkunjung ke/dari tempat ibadah
f. Ekspresi ketakutan akan kematian
g. Konsen dengan makna kehidupan
h. Mengungkapkan konflik internal tentang keyakinan keagamaan
i. Menanyakan tentang keberadaan di dunia
j. Menanyakan makna tentang penderitaan
k. Membicarakan implikasi etika dan moral dari terapi
4). Afek dan Sikap yang dapat diamati : tampak kesepian, tampak
depresi, tampak marah, memperlihatkan kecemasan, memperlihatkan
agitasi, tampak apatis, tampak khusyu.
27
b. Membantu klien untuk mengambil nilai-nilai ke dalam dirinya dan
menggunakan sumber-sumber dalam dirinya secara lebih efektif untuk
memenuhi situasi/keadaan saat ini.
c. Membantu klien memelihara atau membangun hubungan personal yang
dinamis dengan yang maha tinggi dalam menghadapi situasi yang tidak
menyenangkan.
d. Membantu klien menemukan makna/arti tentang situasi yang ada.
e. Meningkatkan harapan.
f. Memberikan sumber-sumber spiritual jika tidak tersedia
Pendampingan
Pendampingan digambarkan sebagai hadir dan menyatu dengan klien
Pendampingan, sering merupakan yang terbaik dan kadang-kadang satu-satunya
intervensi untuk mendukung penderitaan klien dimana intervensi medik tidak
dapat mengatasinya (Kozier, 2004). Ketika klien tidak mempunyai harapan
(hopless), tidak berdaya (powerless), dan rentan, maka pendampingan oleh
perawat dapat sangat bermanfaat (Taylor, 2002, dalam Kozier, 2004).
28
kematian, berpakaian, diet, berdoa, tulisan/pesan suci dan symbol-simbol suci
lainnya.
Membantu berdoa/mendoakan
Klien dapat memilih untuk berpartisipasi dalam berdoa secara pribadi
atau secara kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama. Pada situasi
seperti ini, tanggung jawab utama perawat adalah memastikan ketenangan
lingkungan dan privacy pribadi klien.
Karena berdoa melibatkan perasaan yang dalam, perawat perlu
menyediakan waktu dengan klien setelah selesai berdoa, untuk memberi
kesempatan klien mengekspresikan perasaannya (Kozier, 2004).
29
BAB 3
A. Kesimpulan
1. Pasien – pasien yang dirawat diruangan ICU adalah pasien – pasien yang
sedang mengalami keadaan kritis yaitu suatu keadaan penyakit kritis dimana
pasien sangat beresiko untuk meninggal. Pada keadaan kritis ini pasien
mengalami masalah psikososial dan spiritual yang cukup serius dan
karenanya perlu perhatian dan penanganan yang serius pula dari perawat dan
tenaga kesehatan lain yang merawatnya.
2. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien kritis ini, perawat
harus menunjukkan sikap professional dan tulus dengan pendekatan yang
baik serta berkomunikasi yang efektif kepada pasien.
B. Saran.
1. Perawat harus memahami bagaimana konsep asuhan keperawatan secara
komprehensif di area kritis.
2. Perawat harus memiliki kemampuan dalam memberikan layanan asuhan
keperawatan di area kritis secara komprehensif meliputi bio-psiko-sosial-
spiritual.
30
DAFTAR PUSTAKA
Barr W.J. & Bush H.A.(1998). Four factors of nurse caring in the ICU. Dimensions
of Critical Care Nursing, 17(4), 214-223
Cornock M (1998). Stress and the intensive care patient: Perceptions of patients and
nurses. Jounal of Advand Nursing, 27,18.
Hamilton K. (1999): Design for flexibility in critical care. New Horizon, 7, 205
Harvey M.A. (1998): Critical care unit bedside design and furnishing: Impact on
nosocomial infection. Infection Control Hospital Epidemiology, 19, 597,
31
Kozier B, Berman A, Snyder SJ. (2012). Fundamental of nursing: Concept,
Process, and Practice. New Jersey : Pearson Prentice Hall.
McCabe, C. (2004). Nurse–patient communication: an exploration of patients’
experiences. Journal of Clinical Nursing, 13, 41–49
Potter PA. & Perry AG. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 1. Jakarta : EGC.
Suryani, Dr (2012) Aspek Psikososial dalam merawat pasien kritis disampaikan
pada Workshop Nasional Keperawatan Kritis
32