Anda di halaman 1dari 57

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN JIWA

“KONSEP KEPERAWATAN JIWA”


Disusun oleh:
Kelompok 1
1. Emmy Putri Wahyuni
2. Guntur Saputra Prayudi
3. Muhammad Setiawan
4. Putri Rahmah Jamal
5. Ratu Kardina
6. Rivan Firdaus

Dosen Pembimbing:
Ns. Gajali Rahman, S. Kep., M. Kep.

HALAMAN JUDUL

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulisan makalah Konsep Keperawatan Jiwa dapat kami
selesaikan.
Shalawat beriring salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah
saw, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang istiqamah di jalan-Nya hingga
akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar
Keperawatan Jiwa. Selain itu, agar pembaca dapat memperluas ilmu yang
berkaitan dengan judul laporan, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber dan hasil kegiatan yang telah dilakukan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, terutama
kepada dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran
dalam penyelesaian makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Dan kami menyadari masih banyak kekurangan yang mendasar dalam
makalah ini. Oleh karena itu, kami memohon keterbukaan dalam pemberian saran
dan kritik agar lebih baik lagi untuk ke depannya.

Samarinda, November 2018

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan..................................................................................................................2
D. Sistematika Penulisan.........................................................................................3
BAB II TELAAH PUSTAKA..........................................................................................4

A. Sejarah Perkembangan Keperawatan Kesehatan Jiwa Di Dunia dan


Indonesia..............................................................................................................4
B. Trend/Curent Issue dan Kecenderungan dalam Keperawatan Jiwa.............10
C. Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri................................23
D. Issue Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri.............................................24
E. Proses Terjadinya Gangguan Jiwa..................................................................24
F. Psikopatologi dan Patofisiologi........................................................................25
G. Konsep Sress, Rentang Sehat Sakit Jiwa dan Koping....................................26
H. Model Konseptual Keperawatan Jiwa.............................................................38
BAB III PENUTUP........................................................................................................54

A. KESIMPULAN..................................................................................................54
B. SARAN...............................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................56

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang
terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 27 orang terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Tren ini juga terjadi di Indonesia. Melihat
dari berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman
penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang
berdampak pada penambahan beban Negara dan penurunan produktivitas
manusia untuk jangka panjang.
Data Riskesdas (2013) menunjukkan prevalensi gangguan mental
emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan
untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari
jumlah penduduk di Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat,
seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7% per
1.000 penduduk.
Kesehatan jiwa menurut undang-undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014
merupakan suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
dan mampu memberikaan kontribusi untuk komunitasnya. Menurut Riyadi
dan Purwanto (2013), kesehatan jiwa suatu kondisi perasaan sejahtera secara
subyektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencakup aspek konsep diri,
kebugaran dan kemampuan pengendalian diri.
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya
meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada
fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu,
keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American Nurses’

1
2

Association mendefenisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang


spesialisasi bidang keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia
sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya (Stuart,
2013).
Center for Mental Health Services (CMHS) secara resmi mengakui
keperawatan kesehatan jiwa adalah salah satu dari lima inti disiplin kesehatan
jiwa. American Nurses Association (ANA) sependapat dengan CMHS, yang
menjelaskan bahwa keperawatan kesehatan jiwa merupakan area khusus
dalam praktik keperawatan yang menggunakan ilmu perilaku manusia sebagai
dasar dan menggunakan diri sendiri (ekspresi, gerak tubuh, bahasa, tatapan
mata, sentuhan, dan nada suara) secara terapeutik sebagai kiatnya
meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental pasien dan
masyarakat dimanapun berada. Caroline (dalam Prabowo, 2014) memperjelas
bahwa keahlian keperawatan kesehatan jiwa adalah merawat
seseorang dengan penyimpangan mental dimana perawat harus memiliki
pengetahuan dan ketrampilan (peka, mau mendengar, tidak menyalahkan, dan
memberikan dorongan) untuk menemukan kebutuhan dasar pasien yang
terganggu seperti kebutuhsn fisik, aman dan nyaman, kebutuhan mencintai
dan dicintai, harga diri, dan aktualisasi diri
.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu bagaimana konsep keperawatan jiwa dihubungkan dengan
asuhan keperawatan jiwa?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menganalisis proses terjadinya gangguan jiwa dalam
perspektif keperawatan jiwa dan konseptual model dalam keperawatan
jiwa
2. Mahasiswa mampu menganalisis konseptual model dalam keperawatan
jiwa
3. Mahasiswa mampu menganalisis sejarah keperawatan jiwa dan trend serta
isu dalam keperawatan jiwa global.
3

D. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika

penulisan.
Bab II : Berisi telaah pustaka yang terdiri dari konsep proses

terjadinya gangguan jiwa dalam perspektif keperawatan

jiwa, konsep stress, rentang sehat sakit jiwa, koping, dan

sejarah keperawatan jiwa dan trend serta isu dalam

keperawatan jiwa global.


Bab III : Berisi tinjauan kasus yang terdiri dari bentuk asuhan

keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan fraktur

multiple.
Bab IV : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
4

BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Sejarah Perkembangan Keperawatan Kesehatan Jiwa Di Dunia dan


Indonesia
1. Sejarah Perkembangan Keperawatan Kesehatan Jiwa Di Dunia
a. Zaman Mesir Kuno
Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena
adanya roh jahat yang bersarang di otak. Oleh karena itu, cara
menyembuhkannya dengan membuat lubang pada tengkorak kepala
untuk mengeluarkan roh jahat yang bersarang di otak tersebut.
Hal ini terbukti dengan ditemukannya lubang di kepala pada
orang yang pernah mengalami gangguan jiwa. Selain itu, ditemukan
pada tulisan Mesir Kuno tentang siapa saja yang pernah kena roh jahat
dan telah dilubangi kepalanya.
Tahun-tahun berikutnya, pasien yang mengalami gangguan
jiwa diobati dengan dibakar, dipukuli, atau dimasukkan dalam air
dingin dengan cara diajak jalan melewati sebuah jembatan lalu
diceburkan dalam air dingin dengan maksud agar terkejut, yakni
semacam syok terapi dengan harapan agar gangguannya menghilang.
Hasil pengamatan berikutnya diketahui ternyata orang yang
menderita skizofrenia tidak ada yang mengalami epilepsi (kejang atau
hiperplasia). Padahal penderita epilepsi setelah kejangnya hilang
dapat pulih kembali. Oleh karenanya, pada orang skizofrenia dicoba
dibuat hiperplasia dengan membuat terapi koma insulin dan terapi
kejang listrik (elektro convulsif theraphy).
b. Zaman Yunani (Hypocrates)
Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu
penyakit. Upaya pengobatannya dilakukan oleh dokter dan orang
yang berdoa untuk mengeluarkan roh jahat. Pada waktu itu,
orangsakit jiwa yang miskin dikumpulkan dan dimasukkan dalam
rumah sakit jiwa. Jadi, rumah sakit jiwa lebih banyak digunakan
sebagai tempat penampungan orang gangguan jiwa yang miskin,
5

sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok. Sementara orang kaya


yang mangalami gangguan jiwa dirawat di rumah sendiri.
Pada tahun 1841, Dorothea Line Dick melihat keadaan
perawatan gangguan jiwa. Ia tersentuh hatinya, sehingga berusaha
memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa. Bersamaan dengan itu,
Herophillus dan Erasistratus memikirkan apa yang sebenarnya ada
dalam otak, sehingga ia mempelajari anatomi otak pada binatang.
Khale kurang puas hanya mempelajari otak, sehingga ia berusaha
mempelajari seluruh sistem tubuh hewan (Notosoedirjo, 2001).
c. Zaman Vesalius
Vesalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi
hewan saja, sehingga ia ingin mempelajari otak dan sistem tubuh
manusia. Namun, membelah kepala manusia untuk dipelajari
merupakan hal yang mustahil, apalagi mempelajari seluruh sistem
tubuh manusia. Akhirnya, ia berusaha mencuri mayat manusia untuk
dipelajari. Sayangnya kegiatannya tersebut diketahui masyarakat,
sehingga ia ditangkap, diadili, dan diancam hukuman mati
(pancung). Namun, ia bisa membuktikan bahwa kegiatannya itu
untuk kepentingan keilmuan, maka akhirnya ia dibebaskan. Versailus
bahkan mendapat penghargaan karena bisa menunjukkan adanya
perbedaan antara manusia dan binatang. Sejak saat itu dapat diterima
bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit. Namun kenyatannya,
pelayanan di rumah sakit jiwa tidak pernah berubah. Orang yang
mengalami gangguan jiwa dirantai, karena petugasnya khawatir dengan
keadaan pasien.

d. Revolusi Kesehatan Jiwa I


Phillipe Pinel, seorang direktur di RS Bicetri Prancis, berusaha
memanfaatkan Revolusi Prancis untuk membebaskan belenggu pada
pasien gangguan jiwa. Revolusi Prancis ini dikenal dengan revolusi
humanisme dengan semboyan utamanya “Liberty, Equality,
Fraternity”. Ia meminta kepada walikota agar melepaskan belenggu
6

untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya, walikota menolak.


Namun, Pinel menggunakan alasan revolusi, yaitu “Jika tidak, kita
harus siap diterkam binatang buas yang berwajah manusia”.
Perjuangan ini diteruskan oleh murid- murid Pinel sampai Revolusi II.
e. Revolusi Kesehatan Jiwa II
Dengan diterima gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka
terjadilah perubahan orientasi pada organo biologis. Pada saat ini,
Qubius menuntut agar gangguan jiwa masuk dalam bidang kedokteran.
Oleh karena itu, ganguan jiwa dituntut mengikuti paradigma natural
sciences, yaitu ada taksonomi (penggolongan penyakit) dan nosologi
(ada tanda/gejala penyakit). Akhirnya, Emil Craepelee mampu
membuat penggolongan dari tanda-tanda gangguan jiwa. Sejak saat
itu, kesehatan jiwa terus berkembang dengan berbagai tokoh dan
spesfikasinya masing-masing.
f. Revolusi Kesehatan Jiwa III
Pola perkembangan pada Revolusi Kesehatan Jiwa II masih
berorientasi pada berbasis rumah sakit (hospital base), maka pada
perkembangan berikutnya dikembangkanlah basis komunitas
(community base) dengan adanya upaya pusat kesehatan mental
komunitas (community mental health centre) yang dipelopori oleh J.F.
Kennedy. Pada saat inilah disebut revolusi kesehatan jiwa III.
2. Sejarah Perkembangan Keperawatan Kesehatan Jiwa Di Indonesia
Sejak zaman dahulu di Indonesia sudah dikenal adanya gangguan
jiwa. Namun demikian tidak diketahui secara pasti bagaimana mereka
diperlakukan pada saat itu. Beberapa tindakan terhadap pasien gangguan
jiwa sekarang dianggap merupakan warisan nenek moyang kita, maka
dapat dibayangkan tindakan yang dimaksud adalah dipasung, dirantai atau
diikat lalu ditempatkan tersendiri di rumah atau hutan apabila gangguan
jiwanya berat dan membahayakan. Bila pasien tidak membahayakan maka
dibiarkan berkeliaran di desa sambil mencari makan sendiri dan menjadi
bahan tontonan masyarakat. Ada juga yang diperlakukan sebagai orang
sakti atau perantara roh dan manusia.
7

Jika belajar dari sejarah, usaha kesehatan jiwa dan perawatannya di


Indonesia dibagi menjadi dua yaitu zaman kolonial dan setelah
kemerdekaan.
a. Zaman Kolonial
Sebelum didirikan rumah sakit jiwa di Indonesia pasien
gangguan jiwa ditampung di rumah sakit sipil atau militer di Jakarta,
Semarang dan Surabaya. Pasien yang ditampung adalah mereka yang
sakit jiwa berat saja. Perawatan yang dijalankan saat itu hanya bersifat
penjagaan saja. Tahun 1862 pemerintah Hindia Belanda melakukan
sensus pasien gangguan jiwa di seluruh Indonesia di Pulau Jawa dan
Madura ditemukan pasien sekitar 600 orang, sedangkan di daerah lain
ditemukan sekitar 200 orang. Berdasarkan temua tersebut pemerintah
mendirikan rumah sakit jiwa bagi pasien gangguan jiwa.
Pada tanggal 1 Juli 1882 didirikan rumah sakit jiwa pertama di
Indonesia, di Cilendek Bogor Jawa Barat dengan kapasitas 400 tempat
tidur. Rumah sakit jiwa yang kedua didirikan di Lawang Jawa Timur
tanggal 23 Juni 1902. Rumah sakit jiwa ini adalah terbesar di Asia
Tenggara dangan kapasitas 3.300 tempat tidur. Rumah sakit jiwa yang
ke-3 didirikan di Magelang pada tahun 1923, dengan kapasitas 1.400
tempat tidur. Rumah sakit jiwa di Sabang tahun 1927. Menyusul
didirikannya rumah sakit jiwa lainnya di Grogol Jakarta, Padang,
Palembang, Banjarmasin dan Manado masing-masing memiliki
kapasitas yang berbeda.
Pemerintah Hindia Belanda mengenal empat macam tempat
perawatan pasien gangguan jiwa:
1) Rumah Sakit Jiwa
Rumah sakit jiwa diperuntukkan bagi pasien jiwa yang
membutuhkan perawatan lama. Pasien demikian ditempatkan di
RSJ Bogor, Magelang, Lawang dan Sabang. Perawatan bersifat
isolasi dan penjagaan (custodial care).
2) Rumah Sakit Sementara
Merupakan tempat penampungan sementara bagi pasien
psikotik akut yang dipulangkan setelah sembuh. Pasien dari RS ini
8

masih butuh perawatan lama dikirim ke RSJ Jakarta, Semarang,


Surabaya, Palembang, Padang, Manado atau Medan.
3) Rumah perawatan
Berfungsi sebagai rumah sakit jiwa, dikepalai seorang
perawat berijazah di bawah pengawasan dokter umum.
4) Koloni
Merupakan tempat penampungan pasien yang sudah tenang
dan mereka bekerja di lahan pertanian. Mereka tinggal di rumah
penduduk, tuan rumahnya diberikan biaya oleh pemerintah. Pasien
tetap diawasi oleh dokter atau perawat. Rumah semacam ini
dibangun jauh dari kota dan masyarakat umum.
Diketahui pendidikan perawat jiwa mulai dibuka pada bulan
September 1940 di Bogor, berupa kursus. Yang diterima adalah orang
Belanda atau Indo-Belanda, yang sudah lulus MULO atau setaraf
Sekolah menengah pertama. Lulusannya mendapat sertifikat Diploma
B.

b. Zaman Setelah Kemerdekaan


Perkembangan usaha kesehatan jiwa di Indonesia meningkat,
ditandai terbentuknya jawatan urusan penyakit jiwa pada bulan
Oktober 1947. Usaha kesehatan jiwa tetap berjalan walaupun lambat.
Pada saat itu masih terjadi revolusi fisik, tetapi pembinaan dan
penyelenggaraan kesehatan jiwa tetap dilaksanakan. Pada tahun 1951
dibuka sekolah perawat jiwa untuk orang Indonesia. Perawatan
kesehatan jiwa mulai dikerjakan secara modern dan tidak lagi
ditempatkan secara tertutup. Pasien dirawat diruangan dan bebas
berinteraksi dengan orang lain. Pasien dihargai martabatnya sama
dengan manusia lainnya. Jawatan urusan kesehatan jiwa bernaung di
bawah Departemen Kesehatan terus membenahi system pengelolaan
dan pelayanan kesehatan. Tahun 1966 dirubah menjadi Direktorat
Kesehatan jiwa dan sampai sekarang dipimpin oleh Kepala direktorat
Kesehatan jiwa No. 3 Tahun 1966 oleh pemerintah, sehinga membuka
9

peluang untuk melaksanakan modernisasi semua system RSJ dan


pelayanannya.
Direktorat kesehatan jiwa bekerja sama dengan berbagai
instansi pemerintah, fakultas kedokteran, badan internasional, rapat
kerja nasional dan daerah. Adanya system pelaporan, tersusunnya
Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) I tahun
1973 tetapi baru diterbitkan pada tahun 1975. Pada tahun tersebut
kesehatan jiwa diintegrasikan dengan pelayanan di Puskesmas.
Kesehatan jiwa terus berkembang pesat pada abad ke-21 ini.
Metode perawatan dan pengobatan bersifat ilmiah. Pengobatan
disesuaikan dengan perkembangan Iptek, menggunakan obat-obatan
psikofarmaka, komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan
dengan kerangka ilmu pengetahuan yang mendasari praktek
professional.
Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan
professional untuk melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan
jiwa. Pada saat ini pelayanan keperawatan kesehatan jiwa berorientasi
pada pelayanan komunitas. Komitmen ini sesuai dengan hasil
Konferensi Nasional I Keperawatan jiwa pada bulan Oktober 2004,
bahwa pelayanan keperawatan diarahkan pada tindakan preventif dan
promotif. Hal ini juga sejalan dengan paradigm sehat yang digariskan
WHO dan dijalankan departemen kesehatan RI, bahwa upaya proaktif
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya
proaktif ini melibatkan banyak profesi termasuk psikiater dan perawat.
Penanganan kesehatan jiwa bergeser pada upaya kuratif/keperawatan
rumah sakit menjadi perawatan kesehatan jiwa masyarakat. Pusat
kesehatan jiwa masyarakat akan memberikan pelayanan di rumah
berdasarkan wilayah kerjanya, diharapkan pasien dekat dengan
keluarganya sebagai system pendukung yang dapat membantu pasien
mandiri dan boleh berfungsi sebagai individu yang berguna.
10

B. Trend/Curent Issue dan Kecenderungan dalam Keperawatan Jiwa


Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-
masalah yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-
masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan
berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun
global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam
keperawatan jiwa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan Jiwa Dimulai pada Masa Konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai
pada saat onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di
Indonesia banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita
jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum anak lahir.
Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan
jiwa harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus dimulai dari
masa pranikah. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan
masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di
masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa
kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi
sedang berada pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko
yang leih tinggi untuk menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan
penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar yang terjadi pada waktu
yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko menderita
skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan
neurokognitif, yang menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi
kelainan perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa
kelainan neurokognitif seperti berkurangnya kemampuan dalam
mempertahankan perhatian, membedakan suara rangsang yang berurutan,
11

working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai pada


penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam
kandungan dan dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan,
misalnya, tekanan berat dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau
terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba.
Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari
gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir,
waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
2. Trend Peningkatan Masalah Kesehatan Jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh
jumlah penderita sakit jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa
Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat
kelas bawah, kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas
juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater
dan dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik
strata sosial maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat,
setelah kehilangan semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu
kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan kecenderungan
meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan yang
mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang
berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas
penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu.
Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan
sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada
anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik.
Trauma nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau
masalah keluarga.
12

Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik.


Klien yang menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata.
Inilah orang yang kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal
yang bisa membahayakan dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.
3. Kecenderungan Faktor Penyebab Gangguan Jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan
merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan
berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World
Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh
dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001)
menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami
masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia
yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan
kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450
juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang
diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini
lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para
penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan
banyak hal. Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu
Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini.
Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara lain
berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus,
hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain.
Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena
salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang
patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan
tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya
13

dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua,


hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan
hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor
keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
4. Kecenderungan Situasi di Era Globalisasi
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas
sebagai ciri globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk
kesehatan. Perawat dituntut mampu memberikan askep yang profesional
dan dapat mempertanggung jawabkan secara ilmiah. Perawat dituntut
senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang keperawatan
khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus
membekali diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan
pemanfaatan teknologi komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa
entrepreneurship.
5. Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan
termasuk keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan
persaingan penyelenggaraan pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga
kesehatan (perawat “jiwa”) harus mempunyai standar global dalam
memberikan pelayanan kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan. Fenomena
masalah kesehatan jiwa, indicator kesehatan jiwa di masa mendatang
bukan lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan
berorientasi pada konteks kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan
hanya menangani orang sakit, melainkan pada peningkatan kualitas hidup.
Jadi konsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit, tetapi kondisi
optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social
Paradigma sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk
pencegahan daripada menunggu di RS, orientasi upaya kesehatan jiwa
lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif. Penangan kesehatan jiwa
14

bergeser dari hospital base menjad community base. Empat Ciri


Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg
diperalat oleh orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang
diperalat/ memperalat diri sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat
dari semua aktivitas ekonomi maupun politik diturunkan pada tujuan
perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya,
merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu
membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa
seni dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan
berlebihan, narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup
keuntungan material tanpa batas.
d. Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam
dimensi-dimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif
dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Untuk
mewujudkan struktur masyarakat sehat, kuncinya : Setiap orang harus
meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi
sehat yang sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang
lain merupakan orientasi paradigma kesehatan jiwa
6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of
disease” (Michard & Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan
bagi “Public Health Policy” yang secara tradisional memberi perhatian
yang lebih pada penyakit infeksi. Standar pengukuran untuk kebutuhan
kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian akibat penyakit.
Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah. Dengan
adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe Year)
diketahuilah bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama
secara internasional.
15

Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial


politik yang tidak menentu menyebabkan semakin tigginya angka
pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan
angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan manusia (Antai
Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga-
kesehatan seperti psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri
yang memadai baik dari segi kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar
dengan kejadian Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-
kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya
dan mereka yang cedera serta yang dalam ancaman terhadap integritas
fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa rasa takut
yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma
diluar rentang. Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam
kejadian sehari-hari. Pengalaman katastropik dalam berbagai bentuk, baik
peperangan (memang sedang terjadi), pemerkosaan (banyak dialami
sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa dan bencana
tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan
dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam
kriteria klinik seperti yang disusun dalam Diagnostic and Statical Manual
Of Mental Disorder III dan Lv serta Pedoman Pengggolongan dan
Diagnosis gangguan jiwa III di Indonesia menyatakan, gejala yang
ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi
manusia yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante
akhir penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui
16

ada diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami pengalaman


katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya
Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Kondisi itu
memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi
kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian
yang mirip, terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan
terjadi. Mereka juga menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan
terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, tidur yang seharusnya kan
membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang terjadi adalah
sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada dalam
kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-
akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi,
halusinasi, dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai
memahami bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang
bersifat individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan
antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang
mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan
bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan
kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan
menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi
keamanan di daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang trauma
sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang bersifat personal
mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami
bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri
pernah mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi.
Dan, karena direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak
sadar dalam periode yang cukup lama. Guncangan psikologis yang
17

disebabkan oleh ingatan mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang


mayat-mayat yang berserakan, dan tentang kehilangan banyak anggota
keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni
kajian trauma, juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi
sering disebut sebagai transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“
pengalaman traumatis yang terjadi dari orang yang secara fisik langsung
mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang lain yang tak secara
langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa psikoanalis juga
dapat mengalami proses transference saat ia secara tak sadar melakukan
identifikasi dengan korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang
terlibat dalam pembuatan Shoah, mengatakan bahwa transference itu bisa
terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang melakukan wawancara
dengan korban.
7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder
Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman
trauma yang umum di alami manusia dlm kejadian sehari-hari.
Mengakibatkan keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak
mengalami stress yang demikian. Mereka menjdi manusia yang invalid
dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi tidak produktif.
Trauma bukan semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual, trauma
muncul sebagai akibat saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan.
8. Meningkatnya Masalah Psikososial
Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga
saling berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu
pada undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Ilmu
Kedokteran Jiwa (psychitri), secara garis besar masalah kesehatan jiwa
digolongkan menjadi :
18

a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan


kualitas, hidup yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan
nilai-nilai kehidupan manusia, misalnya:
1) Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan
manusia, mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan,
balita, anak, remaja, dewasa, usia lanjut.
2) Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan
disabilitas.
3) Pemukiman yang sehat.
4) Pemindahan tempat tinggal.
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul
sebagai aikbat terjadinya perubahan sosial, misalnya :
1) Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum
dan diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap
mengganggu ketertiban/keamanan lingkungan).
2) Pemasungan penderita gangguan jiwa.
3) Masalah anak jalanan.
4) Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
5) Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-
lain).
1) Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi
nafkah, korban kekerasaan pada anak dan lain-lain).
2) Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali
merasakan kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam,
ledakan, kekerasaan, penyerangan/penganiyaan secara fisik atau
seksual, termasuk pemerkosaan, terorisme dan lain-lain).
3) Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul
sebagai akibat terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas,
depresi, stress pascatrauma, dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik,
gangguan psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan,
perubahan minat, gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada
daya ingat, dll).
19

e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga


kerja, penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).
9. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja
Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat
mengancam Sejak tahun 1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang
diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Sedangkan untuk negara Austria,
Denmark, dan Inggris, rata-rata 25 orang. Urutan pertama diduduki Jerman
dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di Amerika tiap 24 menit
seorang meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang
sebenarnya 10 kali lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong.
Kini yang mengkhawatirkan trend bunuh diri mulai tampak meningkat
terjadi pada anak-anak dan remaja.
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering
diberitakan bahwa warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri
(menikam atau merobek perut sendiri) sering dilakukan bawahan untuk
melindungi nama baik atasannya. Sebagai contoh, sekretaris pribadi
mantan Perdana Menteri Takeshita melakukan bunuh diri, ketika skandal
suap perusahaan Recruits Cosmos terbongkar pada tahun 1984 atau yang
paling terkenal kasus bunuh dirinya sopir pribadi mantan Perdana menteri
Tanaka, ketika skandal suap Lockheed terbongkar. Sang sopir menusuk
perutnya, demi menjaga kehormatan pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003
mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya
atau terjadi dalam seiap 40 detiknya. Bunuh diri juga termasuk satu dari
tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain faktor
kecelakaan.

10. Masalah Napza dan HIV/AIDS


Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan
merupakan dampak dari pembangunan serta teknologi dari suatu negara
20

yang semakin maju. Hal terpenting yang mendukung merebaknya NAPZA


di negara kita adalah perangkat hukum yang lemah bahkan terkadang
oknum aparat hukum seringkali menjadi backing, ditambah dengan
keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga
dampaknya SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak
tegas terhadap pengedar dan pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin
menigkat untuk masa yang akan datang khususnya dalam era globalisasi.
Dalam era globalisasi tersebut terdapat gerakan yang sangat besar yang
disebut dengan istilah “Gerakan Kafirisasi“. Bila beberapa dekade yang
lalu kita mengenal istilah zionisme, maka dengan ini sejalan dengan
globalisasi kita berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang disebut
dengan Neozionisme, sebuah ideologi yang ingin menciptakan tatanan
dunia global yang sekuler dan terlepas sama sekali dari ajaran agama yang
mereka anggap sebagai kepalsuan, racun, dan dogmatis fundamentalis.
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan
tercabiknya wajah kaum beragama, utamanya umat muslim, mereka
menuduh umat islam sebagai fundamentalis, ekstrimis, dan tiran. Bahkan
Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah mengatakan : “Musuh Barat
terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam“. Salah satu program mereka
adalah menghancurkan islam melalui penghancuran generasi mudanya
dengan cara menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi
yang tersimpan dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang
berusia 15-25 tahun melalui NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya)
dan telah membunuh 30 orang perbulannya. Masalah lainnya muncul
seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA. Menjelang tahun 2008
pertumbuhan HIV-AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang permenit. Ini
merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil
menyelamatkan generasi penerus bangsa dari cangkraman NAPZA
21

(Narkotika, Alkohol, psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya). Perawat


merupakan komponen terbesar dari seluruh tim kesehatan, maka upaya-
upaya pengcegahan dan penatalaksanaan keperawatan menjadi hal yang
sangat penting karena perawat senantiasa berada di sisi klien dalam
rentang waktu yang lama di banding tim kesehatan lainnya. Melalui forum
presentasi orientasi keperawatan jiwa kami berusaha memaparkan suatu
topic dengan tema Asuhan Keperawatan pada Pengguna NAPZA.
11. Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa
Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini
pola asuh keluarga menjadi sorotan. Pola aush yang baik adalah pola asuh
dimana orang tua menerapkan kehangatan tinggi yang disertai dengan
kontrol yang tinggi. Kehangatan adalah bagaimana orang tua menjadi
teman curhat, teman bermain, teman yang menyenangkan bagi anak
terutama saat rekreasi, belajar, dan berkomunikasi. Adakalanya kehangatan
diwujudkan dengan mendekap, mencium, menggendong atau mengajak
anak menjalajahi alam sambil belajar. Kehangatan adalah upaya-upaya
yang dilakukan orang tua agar anak dekat dan berani bicara pada orang
tuanya pada saat anak mendapatkan masalah. Orang tua menjadi teman
dalam express feeling anak sehingga anak menjadi sehat jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan
mengenal disiplin di rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat
penting dalam kesehatan jiwa. Anak mandiri terbiasa menyelesaikan
masalahnya, ia akan memiliki self confidence yang cukup. Contoh kontrol
yang diterapkan orang tua adalah kapan anak harus bangun pagi, kapan
belajar, kapan anak berlatih memakai kaos kaki sendiri, makan sendiri dan
berpakaian secara mandiri. Orang tua juga melatih anak bertanggung
jawab mengerjakan tugas-tugas di rumah seperi mencuci, menyiram
bunga, dan sebagainya.
Tipe pola asuh :
22

a. Autoriatif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol yang
tinggi dan kehangatan tinggi.
b. Otoriter : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol tinggi
kehangatan rendah.
c. Permisif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah

kehangatan tinggi.
d. Neglected : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol
rendah
kehangatan rendah.
12. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan
Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat
Indonesia semakin terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah,
lingkungan buruk, kurang gizi, mudah terigitasi, kekebalan menurun dan
infrastruktur yang masih rendahmenyebabkan banyaknya rakyat Indonesia
yang mengalami gangguan jiwa. Masalah ekonomi merupaka masalah
yang paling dominant menjadi pencetus gangguan jiwa di Indonesia. Hal
ini bisa dibuktikan bahwa saat terjadi kenaikan BBM selalu dsertai dengan
peningkatan dua kali lipat angka gangguan jiwa. Hal ini diperparah dengan
biaya sekolah yang mahal, biaya pengobatan tak terjangkau dan
penggusuran yang kerap terjadi.

C. Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri


Sejarah Keperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi
pada awal abad ke-19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental
psikiatri mulai berkembang pesat, tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah
Sakit (Antai Otong, 1994). Hal ini terjadi sejalan dengan program
deinstitusionalisasi. Deinstitusionalisasi adalah suatu program pembebasan
klien gangguan jiwa kronik dari institusi rumah sakit dan mengembalikan
mereka ke lingkungan rehabilitas di masyarakat (Lefley, 1996). Angka
kejadian gangguan jiwa dapat diminimalkan dengan menggunakan cara-cara
23

preventif seperti menemukan kasus-kasus secara dini, diagnosa dini da


intervensi krisis (Gerald Kaplan dikutip oleh Antai Otong, 1994).

D. Issue Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri


1. Stuart Sundeen (1998) mengemukakan bahwa hasil riset Keperawatan
Jiwa masih sangat kurang.
2. Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena
pendidikan yang rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang bisa
diakui secara Internasional.
3. Perbedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman
sering kali tidak jelas dalam “Position Description,” job responsibility dan
system reward di dakam pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja
(Stuart Sudeen, 1998).
4. Di negara lain pun mempunyai kecenderungan yang sama, hasil penelitian
di Ireland menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai persepsi yang salah
tentang peran perawat psikiatri (Wells, 2000).

E. Proses Terjadinya Gangguan Jiwa


Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa
awal sampai dengan umur pertengahan dengan melalui beberapa fase
antara lain:
1. Fase Prodomal: Berlangsung antara 6 bula sampai 1 tahun. Gangguan
dapat berupa Self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam
pekerjaan, gangguan fungsi sosial, gangguan pikiran dan persepsi.
2. Fase Aktif: Berlangsung kurang lebih 1 bulan. Gangguan dapat berupa
gejala psikotik; Halusinasi, delusi, disorganisasi proses berfikir,
gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimiawi
3. Fase Residual: Kien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan
gangguan peran, serangan biasanya berulang.
24

Menurut Janice Clack (1962), klien yang mengalami gangguan jiwa


sebagian besar disertai Halusinasi dan Delusi yang meliputi beberapa
tahapan antara lain:
1. Tahap Comforting: Timbul kecemasan ringan disertai gejala kesepian,
perasaan berdosa, klien biasanya mengkompensasikan stressornya
dengan coping imajinasi sehingga merasa senang dan terhindar dari
ancaman.
2. Tahap Condeming: Timbul kecemasan moderate, cemas biasanya makin
meninggi selanjutnya klien merasa mendengarkan sesuatu, klien merasa
takut apabila orang lain ikut mendengarkan apa-apa yang ia rasakan
sehingga timbul perilaku menarik diri (With drawl).
3. Tahap Controling: Timbul kecemasan berat, klien berusaha memerangi
suara yang timbul tetapi suara tersebut terus- menerus mengikuti,
sehingga menyebabkan klien susah berhubungan dengan orang lain.
Apabila suara tersebut hilang klien merasa sangat kesepian/sedih.
4. Tahap Conquering: Klien merasa panik, suara atau ide yang datang
mengancam apabila tidak diikuti perilaku klien dapat bersipat merusak
atau dapat timbul perilaku suicide.

F. Psikopatologi dan Patofisiologi


Perubahan-perubahan apakah yang terjadi pada susunan saraf pusat
(otak) pasien skizofrenia? Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa
perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf
otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan
serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan perilaku
yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif
skizofrenia.
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas,
dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan
pula perubahan pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis.
25

Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian


depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).

G. Konsep Sress, Rentang Sehat Sakit Jiwa dan Koping


1. Stress
a. Konsep Stress
Stres adalah segala situasi di mana tuntunan non-spesifik
mengharuskan seorang individu untuk merespon atau melakukan
tindakan (Selye, 1976). Respon atau tindakan ini termasuk respon
fisiologis dan psikologis. Stresor adalah stimulus yang mengawali atau
mencetuskan perubahan.
Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang (demam,
kondisi seperti kehamilan, menopause atau suatu keadaan emosi
seperti rasa bersalah). Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang
(perubahan bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan peran dalam
keluarga atau sosial, atau tekanan dari pasangan).
Berbagai pandangan manusia mengenai stres menghasilkan
pengertian yang berbeda-beda tentang stres itu sendiri. Stres hanyalah
sekedar gangguan sistem syaraf yang menyebabkan tubuh berkeringat,
tangan menggenggam, jantung berdetak kencang, dan wajah memerah.
Paham realistik memandang stress sebagai suatu fenomena jiwa yang
terpisah dengan jasmani atau tubuh manusia atau fenomena tubuh
belaka tanpa ada hubungan dengan kejiwaan. Sedangkan paham idealis
menganggap stres adalah murni fenomena jiwa. Hal ini membuat kita
sulit untuk menjelaskan kenapa jika fenomena stres hanyalah
fenomena jiwa namun memberikan dampak pada fisik seseorang
seperti dada yang berdebar-debar, keringat, dan sebagainya.
Tak seorang pun dapat menghindari stres karena untuk
menghilangkannya berarti akan menghancurkan hidupnya sendiri
(Hans Selye, 1978). Stres merupakan interaksi antara individu dengan
lingkungan. Pendekatan ini telah dibatasi sebagai “model psikologi”.
26

Model psikologi ini menggambarkan stress sebagai suatu proses yang


meliputi stresor dan ketegangan (strain). Interaksi antara individu
dengan lingkungannya yang saling mempengaruhi itu dinamakan
dengan interaksi transaksional yang di dalamnya terdapat proses
penyesuaian. Stres bukan hanya stimulus atau respon tetapi juga agen
aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi prilaku,
kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi yang
berbeda terhadap stresor yang sama.
Definisi tentang stres yang sangat beragam menunjukan bahwa
stres bukanlah suatu hal yang sederhana. Salah satu definisinya adalah
stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh
perubahan dan tuntutan kehidupan (Vincent Cornelli, dalam Mustamir
Pedak, 2007). Kesimpulan dari para ahli tentang stres yaitu stres bisa
terjadi karena manusia begitu kuat dalam mengejar keinginannya serta
kebutuhannya dengan mengandalkan segala kemampuannya dan
potensinya.
b. Manifestasi stress
Stres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama
dapat merasakannya, tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau
diversity. Sesuai dengan karakteristik individu, maka responnya
berbeda- beda untuk setiap orang. Seseorang yang mengalami stres
dapat mengalami perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya,
antara lain:
1) Perubahan warna rambut kusam, ubanan, kerontokan
2) Wajah tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai,
bicara berat, sulit tersenyum/tertawa dan kulit muka kedutan
(ticfacialis)
3) Nafas terasa berat dan sesak, timbul asma
4) Jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar atau menyempit
(constriksi) sehingga mukanya nampak merah atau pucat.
27

Pembuluh darah tepi (perifer) terutama ujung-ujung jari juga


menyempit sehingga terasa dingin dan kesemutan.
5) Lambung mual, kembung, pedih, mules, sembelit atau diare.
6) Sering berkemih.
7) Otot sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang pada tulang
terasa linu atau kaku bila digerakkan.
8) Kadar gula meningkat, pada wanita mens tidak teratur dan sakit
(dysmenorhea)
9) Libido menurun atau bisa juga meningkat.
10) Gangguan makan bisa nafsu makan meningkat atau tidak ada nafsu
makan.
11) Tidak bisa tidur
12) Sakit mental-histeris
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut
stressors. Meskipun stress dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors,
biasanya karyawan mengalami stress karena kombinasi stressors.
Menurut Robbins (2001:565-567) ada tiga sumber utama yang
dapat menyebabkan timbulnya stress yaitu:
1) Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan
pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat
terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang
dapat menimbulkan stress bagi karyawan yaitu ekonomi, politik
dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya
penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang
mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya
perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru
terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan
pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan
dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat
dengan adanya teknologi yang digunakannya.
2) Faktor Organisasi
28

Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat


menimbulkan stress yaitu role demands, interpersonal demands,
organizational structure dan organizational leadership.
Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah
sebagai berikut :
a) Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam
suatu organisasi akan mempengaruhi peranan seorang
karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin dicapai
bersama dalam suatu organisasi tersebut.
b) Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya
dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara
karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat
menyebabkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga
pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang
berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat
perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu
dengan karyawan lainnya.
c) Organizational Structure
Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana
keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam
struktur pembuat keputusan atau peraturan maka akan dapat
mempengaruhi kinerja seorang karyawan dalam organisasi.
d) Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang
pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin
menurut The Michigan group (Robbins, 2001:316) dibagi dua
yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau
menekankan pada hubungan yang secara langsung antara
pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin
29

yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal


pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan
dalam mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat
stress itu sendiri adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu
pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan oleh
individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau
permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan
keinginannya dan dimana hasilnya diterima sebagai sesuatu yang
tidak pasti tapi penting (Robbins, 2001: 563).
3. Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam
keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari
keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik
akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan
karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang.
Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang
tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi
kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut
dengan seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap
individu yang dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar
alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu,
gejala stress yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur
dengan benar dalam kepribadian seseorang.
2. Rentang sehat sakit jiwa
a. Definisi
Sehat Menurut Dunn (1959) adalah sesuatu kejadian dimana
tidak adanya tanda-tanda dan gejala dari penyakit. Sehat Menurut
Perkin,s. adalah suatu keadaan keseimbangan yang dinamis setara
bentuk tubuh dan fungsinya yang dapat mengadakan penyesuaian,
30

sehingga tubuh dapat mengatasi gangguan dari luar. Sedangkan Sehat


Menurut UU No.23 tahun 1992 Tentang Kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Ada 4 unsur pendatang tentang sehat:
1) Biologis : bebas dari penyakit.
2) Psikologis : sejahtera dan aktualisasi diri.
3) Sosial : mampu mangadaptasi tanggung jawab sosial, dan fungsi
peran.
4) Adaptasi : mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan
lingkungan.
Kriteria sehat menurut WHO, Seseorang dikatakan sehat jiwa:
1) Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan,
meskipun kenyataan itu buruk.
2) Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
3) Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
4) Dapat berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan
saling memuaskan.
5) Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
6) Dapat menerima kecemasan untuk dipakainya sebagai pelajaran
dikemudian hari
7) Dan akhirnya, tidak kalah pentingnya mempunyai rasa kasih
sayang yang besar.
Sakit adalah gangguan dalam siklus hidup. (Imogene King).
Sakit adalah suatu keadaan gangguan yang tidak menyenangkan
menimpa seseorang sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-
hari, baik aktivitas jasmani, rohani dan sosial (Perkin’s).
Sakit merupakan ketidak seimbangan dari kondisi normal
tubuh manusia diantaranya sistem biologik dan kondisi penyesuaian.
31

Sakit menurut Bauman, 1985. mengemukakan tiga kriteria dari


keadaan sakit:
1) Adanya gejala
2) Persepsi tentang keadaan yang dirasakan.
3) Kemampuan dalam aktivitas sehari-hari.
b. Konsep Sehat-Sakit Mental (Jiwa)
Menurut Jinis ”kemampuan individu untuk mengatasi sterss secara
fungsional dengan baik”. Kesehatan jiwa menurut WHO yaitu suatu
keadaan yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan
emosional seseorang individu secara optimal dan sejauh ini cocok
dengan perkembangan optimal individu-individu yang lain. Definisi
kesehatan jiwa berdasarkan UU No.23 tahun 1992. tentang kesehatan
Jiwa Pasal 24 ayat 1 ”Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk
mewujudkan jiwa yang sehat secara optimal baik intelektual maupun
emosional”.
d. Kondisi sehat jiwa dan kriteria-kriterianya
Kondisi sehat jiwa menurut, Maria Johada: Sehat jiwa tak dapat
dijelaskan dengan konsep sederhana dan item tunggal dari perilaku
tidak adekuat. Kriteria untuk menilai sehat jiwa harus dalam bentuk
yang operasional dengan sekala dan utama.
1) Masing-masing kriteria dengan rentang.
2) Kriteria sehat jiwa menunjukan kecenderungan kearah sehat atau
sakit.
3) Kriteria ini memuat atribut individu.
4) Kriteria sehat jiwa di katakan optimal bukan absolut.
Kriteria sehat jiwa menurut, Maria Johanda:
1) Sikap positif pada diri sendiri, menerima diri sendiri identitas diri
yang memadai, penilaian yang realistik terhadap kemampuan dan
kekurangannya.
2) Serapan terhadap kenyataan.
32

3) Integrasi kesatuan kepribadian.


4) Kemampuan pengembangan kemampuan dasar secara fisik,
intelegtual, emosional dan sosial.
3. Konsep koping
a. Definisi
Koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang
dihadapi atau beban yang diterima tubuh dan beban tersebut
menimbulkan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres.
Apabila mekanisme coping ini berhasil, seseorang akan dapat
beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut (Ahyar, 2010).
Individu dapat mengatasi stres dengan menggerakkan sumber
koping di lingkungan. Ada lima sumber koping yaitu: aset ekonomi,
kemampuan dan keterampilan individu, teknik-teknik pertahanan,
dukungan sosial dan dorongan motivasi (Hidayat, 2008).
b. Metode koping
Bell (1977, dalam Rasmun 2004) menyatakan ada dua
metode koping yang di gunakan oleh individu dalam mengatasi
masalah psikologis yaitu: metode koping jangka panjang dan metode
koping jangka pendek.
Metode koping jangka panjang bersifat konstruktif dan
merupakan cara yang efektif dan realitas dalam menangani masalah
psikologis untuk kurun waktu yang lama, hal ini seperti; berbicara
dengan orang lain, teman, keluarga atau profesi tentang masalah
yang sedang dihadapi, mencoba mencari informasi yang lebih banyak
tentang masalah yang sedang dihadapi, menghubungkan situasi atau
masalah yang sedang dihadapi dalam kekuatan supra natural,
melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan/masalah,
membuat berbagai alternative tindakan untuk mengurangi situasi,
mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
33

Sedangkan metode koping jangka pendek digunakan untuk


mengurangi stres/ketegangan psikologis dan cukup efektif untuk waktu
sementara, tetapi tidak efektif jika digunakan dalam jangka panjang
contohnya adalah; mengunakan alkohol, melamun fantasi, mencoba
melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu,
dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, banyak tidur,
banyak merokok, menangis, beralih pada aktifitas lain agar dapat
melupakan masalah.
Pada tingkat keluarga koping yang dilakukan dalam
menghadapi masalah seperti yang di kemukakan oleh Mc.Cubbin
(1979, dalam Rasmun, 2004) adalah; mencari dukungan sosial seperti
minta bantuan keluarga, tetangga, teman, atau keluarga jauh, reframing
yaitu mengkaji ulang kejadian masa lalu agar lebih dapat menanganinya
dan menerima, menggunakan pengalaman masa lalu untuk mengurangi
stres/kecemasa, mencari dukungan spiritual, berdoa, menemui
pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah, menggerakkan
keluarga untuk mencari dan menerima bantuan, penilaian secara
pasive terhadap peristiwa yang di alami dengan cara menonton tv, atau
diam saja.
c. Mekanisme Koping dan Strategi Koping
Menurut Keliat (1999, dalam Suliswati, 2005), mekanisme
koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap
situasi yang mengancam. Mekanisme koping terbentuk melalui proses
belajar dan mengingat, yang dimulai sejak awal timbulnya stressor dan
saat mulai disadari dampak stressor tersebut. Kemampuan belajar ini
tergantung pada kondisi eksternal dan internal, sehingga yang berperan
bukan hanya bagaimana lingkungan membentuk stressor tetapi juga
kondisi temperamen individu, persepsi, serta kognisi terhadap stressor
tersebut.
34

Mekanisme koping bersumber dari ego, sering di sebut sebagai


mekanisme pertahanan mental, yaitu yang terdiri dari; denial (
menyangkal) menghindarkan realitas ketidak setujuan dengan
mengabaikan atau menolah untuk mengenalinya, projeksi yaitu
mekanisme perilaku dengan menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada
objek di luar diri atau melemparkan kekurangan diri sendiri pada org
lain, regresi yaitu menghindarkan stres terhadap karakteristik
perilaku dari tahap perkembangan yang lebih awal, displacement
(mengisar) yaitu mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada
orang atau benda tertentu ke benda atau orang yang netral atau tidak
membahayakan, mencari dukungan sosial seperti keluarga mencari
dukunga atau bantuan dari kelurga, tetangga, teman atau keluarga
jauh, reframing yaitu mengkaji ulang kejadian stres agar lebih dapat
menanganinya dan menerimanya, mencari dukungan spiritual seperti
mencari dan berusaha secara spiritual, berdoa, menemui pemuka agama
atau aktif pada pertemuan ibadah, dan yang terakhir adalah
menggerakkan keluarga untuk dapat menerima bantuan, keluarga
berusaha mencari sumber-sumber komunitas dan menerima bantuan
orang lain. Sedangkan mekanisme koping yang berorientasi pada tugas
di gunakan untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan konflik dan
memenuhi kebutuhan dasar. Terdapat 3 macam reaksi yang
berorientasipada tugas yaitu; prilaku menyerang (Fight), prilaku
menarik diri (withdrawl), dan kompromi (Rasmun, 2004).
Pada prilaku menyerang, individu menggunakan energinya
untuk melakukan perlawanan dalam rangka mempertahankan integritas
pribadinya. Prilaku yang di tampilkan dapat merupakan tindakan
konstruktif maupun destruktif yaitu tindakan agreesif (menyerang)
terhadap obyek, dapat berupa benda, barang, orang lain atau bahkan
terhadap diri sendiri. Sedangkan tindakan konstruktif adalah upaya
individu dalam menyelesaikan masalah secara asertif, yaitu dengan
35

kata-kata terhadap rasa ketidak senangannya. Seperti kompromi juga


merupakan tindakan konstruktif yang dilakukan oleh individu
untuk menyelesaikan masalah. Lazimnya kompromi dilakukan
dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapi. Secara umum kompromi dapat
mengurangi ketegangan dan masalah dapat diselesaikan.
Perilaku menarik diri adalah perilaku yang menunjukkan
pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara physik dan
psikologis individu secara sadar pergi meninggalkan lingkungan yang
menjadi sumber stressor misalnya; individu melarikan diri dari sumber
stres, menjauhi sumber beracun, polusi dan sumber infeksi. Sedangkan
reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis, pendiam
dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu
(Ramun, 2004). Selain mekanisme koping, juga di kenal istilah strategi
koping. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah
lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang
dirasakan/dihadapi (Rasmun, 2004).
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) Mekanisme koping juga
dapat di golongkan menjadi 2 (dua) yaitu: mekanisme koping adaptif
dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif
merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan
orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan seimbang dan aktivitas konstruktif (kecemasan yang dianggap
sebagai sinyal peringatan dan individu menerima peringatan dan
individu menerima kecemasan itu sebagai tantangan untuk di
selesaikan).
Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme
yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan
cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan
36

berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas


destruktif (mencegah suatu konflik dengan melakukan pengelakan
terhadap solusi).
Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang biasanya
digunakan oleh individu, yaitu: problem-solving focused coping,
dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah
untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan
emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha
untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan
dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi
yang penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu
menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah
yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari
(Lazarus & Folkman, 1984). Ahyar (2010), menyebutkan faktor-
faktor yang mempengaruhi strategi koping, yaitu; kesehatan fisik,
keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah,
keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi.
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam
usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga
yang cukup besar. Sementara itu keyakinan menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external
locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian
ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan
strategi coping tipe: problem-solving focused coping.
Pada sisi lain keterampilan juga menjadi salah satu sumber
koping, yaitu keterampilan memecahkan masalah dan keterampilan
sosial. Keterampilan memecahkan masalah meliputi kemampuan untuk
mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah
dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian
mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang
37

ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan


melakukan suatu tindakan yang tepat. Sedangkan keterampilan sosial
meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku
dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku
dimasyarakat.
Dukungan sosial dan materi juga merupakan faktor strategi
koping. Dukungan sosial meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan
informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang
tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat
sekitarnya. Sedangkan materi merupakan dukungan sumber daya
berupa uang, barang barang dapat dibeli.

H. Model Konseptual Keperawatan Jiwa


1. Pengertian Model Konseptual Keperawatan Jiwa
Model adalah contoh, menyerupai, merupakan pernyataan simbolik
tentang fenomena, menggambarkan teori dari skema konseptual melalui
penggunaan symbol dan diafragma, dan Konsep adalah suatu keyakinan
yang kompleks terhadap suatu obyek, benda, suatu peristiwa atau
fenomena berdasarkan pengalaman dan persepsi seseorang berupa ide,
pandangan atau keyakinan. Model konsepadalah rangkaian konstruksi
yang sangat abstrak dan berkaitan yang menjelaskan secara luas
fenomena-fenomena, mengekspresikan asumsi dan mencerminkan
masalah (Christensen, 2009).
Model konseptual merupakan kerangka kerja konseptual, sistem
atau skema yang menerangkan tentang serangkaian ide global tentang
keterlibatan individu, kelompok, situasi, atau kejadian terhadap suatu ilmu
dan perkembangannya. Model konseptual memberikan keteraturan untuk
berfikir, mengobservasi dan menginterpretasi apa yang dilihat,
memberikan arah riset untuk mengidentifikasi suatu pertanyaan untuk
menanyakan tentang fenomena dan menunjukkan pemecahan masalah
(Perry & Potter, 2005).
38

Model konseptual keperawatan jiwa merupakan suatu kerangka


rancangan terstruktur untuk melakukan praktik pada setiap tenaga
kesehatan mental. Hal ini merupakan upaya yang dilakukan baik oleh
tenaga kesehatan mental maupun perawat untuk menolong seseorang
dalam mempertahankan kesehatan jiwanya melalui mekanisme
penyelesaian masalah yang positif untuk mengatasi stressor atau cemas
yang dialaminya. Perawat psikiatri dapat bekerja lebih efektif bila tindakan
yang dilakukan didasarkan pada suatu model yang mengenai keberadaan
sehat atau sakit sebagai suatu hasil dari berbagai karakteristik individu
yang berinteraksi dengan sejumlah factor di lingkungan (Videbeck, 2008).
2. Tujuan dari model konseptual keperawatan
Tujuan dari model konseptual keperawatan menurut Christensen
(2009) adalah:
1. Menjaga konsisten asuhan keperawatan.
2. Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan
asuhan keperawatan oleh tim keperawatan.
3. Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.
4. Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan dan
keputusan.
5. Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan
keperawatan bagi setiap anggota tim keperawatan.
3. Model konsep keperawatan jiwa
Model konseptual keperawatan jiwa, dapat dikelompokkan
menjadi beberapa model yaitu:

1. Model Psikoanalisa (Freud, Erickson)


Teori ini berfokus pada proses-proses intra psikis dan
perkembangan psikoseksual. Merupakan model yang pertama
dikemukakan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa meyakini bahwa
penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan dengan
perkembangan pada masa anak. Setiap fase perkembangan mempunyai
39

tugas perkembangan yang harus dicapai. Gejala merupakan simbol


dari konflik.
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada
seseorang apabila ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id
(kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam
menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan
norma, agama (super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya
penyimpangan perilaku (deviation of behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah
adanya konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya
ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu
secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata-kata,
dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya
pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic
yang membekas pada masa dewasa.
Menurut Erickson, perkembangan ego terjadi akibat interaksi
sosial, tugas-tugas perkembangan bersifat berurutan dan bergantung
pada keberhasilan penyelesaian sebelumnya. Individu yang gagal
menyelesaikan tugas perkembangan pada usia seharusnya, dapat
kembali lagi nanti untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Di dalam gerakannya, psikoanalisis mempunyai beberapa
prinsip, yakni:
a. Prinsip konstansi, artinya bahwa kehidupan psikis manusia
cenderung untuk mempertahankan kuantitas konflik psikis pada
taraf yang serendah mungkin, atau setidak-tidaknya taraf yang
stabil. Dengan perkataan lain bahwa kondisi psikis manusia
cenderung dalam keadaan konflik yang permanen (tetap)
b. Prinsip kesenangan, artinya kehidupan psikis manusia cenderung
menghindarkan ketidaksenangan dan sebanyak mungkin
memperoleh kesenangan (pleasure principle).
c. Prinsip realitas, yakni prinsip kesenangan yang disesuaikan dengan
keadaan nyata
40

Dalam terapi psikoanalisis ini terdapat lima tekhnik dasar, yaitu:


a. Asosiasi bebas
Yaitu pasien diupayakan untuk mencernihkan atau
mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran
sehari-hari sekarang ini, sehingga pasien mudah
mengungkapkan pengalaman masa lalunya.
Tujuan tekhnik ini untuk mengungkapkan pengalaman
masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan
dengan pengalaman traumatic masa lampau. Hal itu disebut
juga katarsis.
b. Interpretasi
Adalah tekhnik yang digunakan oleh terapis untuk
menganalisis asosiasi bebas, mimpi, resistensi dan transferensi
pasien.
Terapis menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar
pasien tentang makna perilaku yang termanifestasi dalam
mimpi, asosiasi bebas, resistensi dan transferensi pasien.
Tujuannya adalah agar ego pasien dapat mencerna materi baru
dan mempercepat proses penyadaran.
1) Analisis mimpi
Yaitu suatu tekhnik untuk membuka hal-hal yang
tak disadari dan memberi kesempatan pasien untuk menilik
masalah-masalah yang belum terpecahkan.
Proses terjadinya mimpi adalah karena diwaktu
tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang
tersdesakpun muncul kepermukaan. Oleh Freud mimpi itu
ditafsirkan sebagai jalan raya terhadap keinginan-keinginan
dan kecemasan yang tak disadari yang diekspresikan.
2) Analisis resistensi
Analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan
pasien taerhadap alasan-alasan terjadinya resistensinya.
Konselor/terapis meminta perhatian pasien untuk
menafsirkan resistensinya.
3) Analisis transferensi
41

Terapis mengusahakan agar pasien mengembangkan


transferensinya agar terungkap neurosisnya terutama pada
usia selama lima tahun pertama dalam hidupnya. Konselor
menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonym dan pasif
agar terungkap transferensi tersebut.
Proses terapi pada model ini adalah lebih sering menggunakan
metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk
memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya pasien dibuat dalam
keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya
pengalaman alam bawah sadarnya digali dengan pertanyaan-
pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal
dengan metode hypnotis yang memerlukan keahlian dan latihan yang
khusus. Dengan cara demikian, pasien akan mengungkapkan semua
pikiran dan mimpinya, sedangkan terapis berupaya untuk
menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.
Model psikoanalisis ini mempunyai ciri unik dalam proses
terapinya. Yaitu konselor bersikap anonym, artinya konselor berusaha
tidak dikenal pasien, dan tidak bertindak sedikit sekali memperlihatkan
perasaan dan pengalamannya. Tujuannya adalah agar pasien dengan
mudah memantulkan perasaan kepada konselor. Pemantulan itu
merupakan proyeksi pasien yang menjadi bahan analisis bagi konselor
atau terapis. Pada tahap awal konseling, konselor membuat suatu
hubungan kerja dengan pasien, selanjutnya kegiatan konselor adalah
mendengarkan dan kemudian memberikan tafsiran terhadap
pernyataan pasien.
Hal yang penting dalam proses terapi adalah memberikan
perhatian terhadap keadaan resistensi pasien yaitu suatu keadaan
dimana pasien melindungi suatu perasaan, trauma, atau kegagalan
pasien terhadap konselor. Keadaan resistensi pasien ditandai oleh
42

munculnya reaksi dalam bentuk pertahanan diri terhadap interpretasi


yang tidak mengenakan dari konselor.
Fungsi konselor atau terapis adalah mepercepat proses
penyadaran hal-hal yang tersimpan dalam ketaksadaran pasien yang
dilindunginya dengan cara transferensi itu. Peran perawat adalah
berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaan-
keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa
lalu misalnya (pernah disiksa orang tua, pernah disodomi,
diperlakukan secara kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan,
diperkosa masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi
terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).
Proses terapi psikoanalisa memakan waktu yang lama dan
mahal. Karakter psikoanalisis adalah terapis atau analisa membiarkan
dirinya anonym serta hanya berbagi sedikit perasaan dan pengalaman
sehingga pasien memproyeksikan dirinya kepada analisis. Proyeksi-
proyeksi pasien, yang terjadi bahan terapi, ditafsirkan dan dianalisis.
Analisis terutama berurusan dengan usaha membantu pasien dalam
mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan, dalam melakukan
hubungan personal, dalam menangani kecemasan secara realistis serta
dalam memperoleh kendali atas tingkah laku yang impulsive dan
irasional. Analisis terlebih dahulu harus memabngun hubungan kerja
dengan pasien, kemudian perlu banyak mendengar dan menafsirkan.
Analisisis memberikan penelitian khusus pada penolakan-penolakan
pasien. Sementara yang dilakukan oleh pasien adalah mendengarkan
dan berusaha untuk mengetahui kapan dia harus membuat penafsiran-
penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkipan hal-hal
yang tak disadari.
Analisis mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan
pertentangan-pertentangan pada cerita pasien, mengartikan mimpi-
mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan oleh pasien mengamati
43

pasien secara cermat selama pertemuan terapi berlangsung, dan peka


terhadap isyarat-isyarat yang menyangkut perasaan-perasaan pasien
kepada analisis. Pengorganisasian proses-proses terapeutik dalam
konteks pemahaman terhadap struktur kepribadia dan psikodinamik-
psikodinamik itu memungkinkan analisis bias merumuskan sifat
sesungguhnya dari masalah-masalah pasien. Salah satu fungsi utama
analisis adalah mengajarkan arti proses-proses ini kepada pasien
sehingga pasien mampu memperoleh pemahaman terhadap masalah-
masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara
untuk berubah. Dengan demikian, memperoleh kendali yang lebih
rasional atas kehidupannya sendiri.
2. Model interpersonal
Model ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan. Titik
pandang Sullivan diidentifikasi dengan teori-teori social-psikologis. Ia
menekankan peran hubungan-hubungan personal dan studi tentang
manusia dalam hubungan dengan orang-orang lain yang berpengaruh.
Jadi, unit studinya adalah situasi interpersonal bukan hanya individu
itu semata-mata. Kepribadian mengejawantahkan dirinya dalam
tingkah laku individu dalam hubungan dengan ancaman-ancaman
terhadap rasa aman. Yang membawahi segenap dorongan adalah motif
kekuasaan yang bekerja sepanjang hidup untuk mengatasi perasaan tak
berdaya yang mendasar. System diri seseorang berkembang sebagai
reaksi melawan kecemasan yang ditetapkan oleh hubungan-hubungan
interpersonal.
Sullivan menekankan peran proses-proses kognitif dalam
perkembangan kepribadian. Tiga corak pengalaman terlibat dalam
pembentukan ego sebagai berikut :
a. Corak Protaktis: menandai tahun pertama kehidupan : tidak ada
pemisahan antara waktu dan tempat, merupakan prasyarat bagi dua
corak pengalaman yang lainnya.
44

b. Corak Prataktis: ditandai oleh keseluruhan pengalaman yang tak


terdiferensiasi yang dipecah kedalam bagian-bagian tanpa kaitan
yang logis, muncul pada masa kanak-kanak awal, anak menerima
apapun yang terjadi tanpa evaluasi, dan bereaksi terhadap orang
lain dalam basis yang tidak realistis.
c. Corak Sintaksis: ditandai oleh kurangnya distorsi, terdiri dari
aktivitas symbol yang disahihkan secara mufakat, yang menjadi
dasar bagi anak untuk mengevaluasi pemikiran-pemikiran dan
perasaan-perasaan orang lain, dan lambat laun anak mengenal pola-
pola hubungan dalam masyarakat, sikap-sikap diri dibentuk oleh
reaksi-reaksi orang-orang lain yang berpengaruh.
Sullivan menekankan bawa kepribadian tidak ditetapkan pada
usia dini, dan kepribadian itu bisa berubah dikemudian hari seiring
dengan berkembangnya hubungan-hubungan interpersonal baru.
Manusia adalah makhluk yang mampu menyesuaikan diri. Ia juga
menekankan bahwa kepribadian dibentuk melalui tahap-tahap
perkembangan tertentu yang mencakup masa bayi, masa kanak-kanak,
masa kanak-kanak akhir, praremaja, remaja awal, remaja akhir dan
kematangan. Determinan-determinan sosial dari perkembangan
kepribadian amatlah penting.
Sebagai tambahan Hildegard Peplau mengembangkan teori
interpersonal perawatan. Pandangan interpersonal terhadap
penyimpangan perilaku, teori interpersonal meyakini bahwa perilaku
berkembang dari hubungan interpersonal Sullivan menekankan
besarnya pengaruh perkembangan masa anak-anak terhadap kesehatan
jiwa individu. Kecemasan pertama yang sungguh-sungguh dialami
sewaktu bayi pada saat merasakan kecemasan ibu. Selanjutnya
kecemasan dihubungkan dengan penolakan/tidak direstui oleh orang-
orang yang dekat/penting bagi individu. Jika anak hanya menerima
stimulus penolakan atau kecemasan atau kritik, maka anak akan
mengembangkan system diri yang negative.
45

Menurut Sullivan: individu memanang orang lain sesuai


dengan yang ada pada dirinya. Ada 2 dorongan yang dimiliki pada
individu:
a. Dorongan untuk kepuasan berhubungan dengan kebutuhan dasar
seperti: lapar, tidur, kesepian, nafsu.
b. Dorongan untuk keamanan Berhubungan dengan kebutuhan
budaya seperti penyesuaian norma sosial, nilai suatu kelompok
tertentu. Proses terapi Mengoreksi pengalaman interpersonal
dengan mengalami hubungan yang sehat dengan terapis, pasien
akan belajar berhubungan interpersonal yang memuaskan dengan
re-eduksi dan mengembangkan hubungan saling percaya.
Menurut konsep model ini kelainan jiwa seseorang bisa muncul
akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan
(anviety). Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik
saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep
ini, perasaan takut seseorang didasari adanya ketakutan ditolak atau
tidak diterima oleh orang sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalah build feeling security
(berupaya membangun rasa aman pada pasien), trusting relationship
and interpersonal satisfaction (menjalin hubungan yang saling
percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain
sehingga pasien merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi ini adalah share anxieties (berupaya
melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan pasien, apa yang
biasa dicemaskan oleh pasien saat berhubungan dengan orang lain),
therapist use empathy and relationship (perawat berupaya bersikap
empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pasien).
Perawat memberikan respon verbal yang mendorong rasa aman pasien
dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Model Social
Model ini berfokus pada lingkungan sosial yang mempengaruhi
individu dan pengalaman hidupnya. Pandangan sosial terhadap
46

penyimpangan perilaku, kondisi sosial bertanggung jawab terhadap


penyimpangan perilaku, perilaku yang dianggap normal pada suatu
daerah tertentu mungkin sebagai penyimpangan pada daerah yang lain.
Individu yang sudah dilabel/dicap jika tidak dapat menyesuaikan diri
dengan norma lingkungan, maka perilaku tersebut memerlukan
perawatan/dirawat.
Menurut Szazz, individu bertanggung jawab terhadap
perilakunya. Individu tersebut harus mampu mengontrol untuk
menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan masyarakatnya,
mengontrol untuk menyesuaikan perilakunya dengan yang diharapkan
masyarakatnya.
Kaplan, meyakini bahwa situasi sosial dapat mencetuskan
gangguan jiwa. Oleh karena itu, konsep pencegahan primer, sekunder,
dan tersier sangat penting. Sitausi yang dapat menjadi pencetus:
a. Kemiskinan, situasi keuangan tidak stabil, pendidikan tidak
adekuat.
b. Kurang mampu mengatasi stress.
c. Kurang support system.
Situasi tersebut diatas dapat diantisipasi dan dapat dicegah.
Proses terapi:
a. Prevensi primer
b. Kesehatan jiwa masyarakat
c. Crisis intervensi
Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa
atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya faktor sosial dan faktor
lingkungan akan memicu timbulnya stress pada seseorang (social and
environmental factors create stress, which cause anxiety symptom).
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model
ini adalah environment manipulation and social support (pentingnya
modifikasi dan adanya dukungan sosial). Peran perawat dalam
memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus
menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada dimasyarakat
melibatkan teman sejawat, atasa, keluarga atau suami-istri. Sedangkan
47

therapist berupaya: menggali system sosial pasien, seperti suasana di


rumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
4. Model Eksistensi
Teori ini berfokus pada pengalaman individu pada saat ini dan
disini. Pandangan model eksistensi terhadap penyimpangan perilaku,
penyimpangan perilaku terjadi jika individu putus hubungan dengan
dirinya dan lingkungan. Keasingan akan dirinya dan lingkungan dapat
terjadi karena hambatan atau larangan pada diri individu. Individu
merasa putus asa, sedih, sepi, kurang kesadaran akan dirinya dan
penerimaan diri yang mencegah partisipasi dan penghargaan pada
hubungan dengan orang lain. Pasien sudah kehilangan atau tidak
mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada eksistensinya.
Proses terapi:
a. Rational emotif therapy (RET), konfrontasi digunakan untuk
bertanggung jawab terhadap perilakunya, pasien didorong untuk
menerima dirinya, bagaimana adanaya bukan karena apa yang akan
dilakukan. Konsep dasar RET yang dikembangkan oleh Albert
Ellis adalah sebagi berikut :
1) Pemikiran manusia adalah penyebab dasar dari gangguan
emosional. Reaksi emosional yang sehat maupun yang tidak
bersumber dari pemikiran itu.
2) Manusia mempunyai potensi pemikiran rasional dan irasional.
Dengan pemikiran rasional dan inteleknya manusia dapat
terbebas dari gangguan emosional.
3) Pemikiran irasional bersumber pada disposisi biologis lewat
pengalaman masa kecil dan pengaruh budaya.
4) Pemikiran dan emosi tidak dapat dipisahkan.
5) Berpikir logis dan tidak logis dapat dilakukan dengan symbol-
symbol bahasa.
6) Pada diri manusia sering terjadi self-verbalization. Yaitu
mengatakan sesuatu terus-menerus kepada dirinya.
7) Pemikiran tak logis-irasional dapat dikembalikan pada
pemikiran logis dengan reorganisasi persepsi. Pemikiran tak
logis itu merusak dan merendahkan diri melalui emosinalnya.
48

Ide-ide irasional bahkan dapat menimbulkan neurosis dan


psikosis. Sebuah contoh ide irasioanl adalah “seseorang yang
hidup dalam masyarakat harus mempersipakan diri secara
kompeten dan adekuat, agar ia dapat mencapai kehidupan yang
layak dan berguna bagi masyarakat”. Pemikiran lain adalah
“sifat jahat, kejam, dan lain-lain harus dipersalahkan dan
dihukum”. RET bertujuan untuk memperbaiki dan mengubah
sikap, persepsi, dan cara berpikir, keyakinan serta pandangan
pasien yang irasional menjadi rasional, sehingga ia dapat
mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang optimal.
Menghilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri
seperti : benci, takut, rasa bersalah, was-was, marah sebagai
akibat berpikir yang irasional, dan melatih serta mendidik
pasien agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional
dan membangkitkan kepercayaan diri, nilai-nilai kemampuan
diri. Proses terapi, terapis berusaha menunjukkan pasien
kesulitan yang dihadapi sangat berhubungan dengan keyakinan
irrasional dan menunjukkan bagaimana pasien harus bersikap
rasional dan mampu memisahkan keyakinan irrasional dengan
rasional, setelah pasien menyadari gangguan emosi yang
bersumber dari pemikiran irrasional, maka terapis
menunjukkan pemikiran pasien yang irrasional, serta pasien
berusaha mengubah kepada keyakinan menjadi rasional, terapis
berusaha agar pasien menghindarkan diri dari ide-ide
irrasionalnya, dan konselor berusaha menghubungkan antara
ide tersebut dengan proses penyalahan dan perusakkan diri,
proses terakhir terapis adalah terapis berusaha menantang
pasien untuk mengembangkan filosofis kehidupannya yang
rasional, dan menolak kehidupan yang irrasional yang fiktif.
49

b. Terapi logo, merupakan tahap orientasi masa depan (future


orientated therapy). Individu meneliti arti kehidupan, karena tahap
arti berarti tidak eksis. Tujuan: agar individu sadar akan
tanggungjawabnya. Atau pasien akan dapat menemukan makna
dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan penemuan itu
pasien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah
tersebut. Terapi logo masih menginduk kepada aliran psikoanalisis,
akan tetapi menganut paham eksistensialisme. Mengenai teknik
terapinya digunakan semua teknik yang kiranya sesuai dengan
kasus yang dihadapi. Tampaknya kemampuan menggali hal-hal
yang bermakna dari pasien, amat penting.
Menurut teori model eksistensial gangguan perilaku atau
gangguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan
tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggaan akan dirinya.
Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-image-
nya.
Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan
individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami
riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap
sebagai panutan (experience in relationship), memperluas kesadaran
diri dengan cara intropeksi diri (self assessment), bergaul dengan
kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong
untuk menerima jati dirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback
tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and
control behavior).
Psikoterapi memperkuat proses pembelajaran seseorang untuk
sepenuhnya menjadi dirinya sendiri. Rogers yakin bahwa penyakit
jiwa terjadi akibat kegagalan mengembangkan diri sepenuhnya sebagai
manusia. Ahli terapi harus tulus dan tanpa ada yang ditutup-tutupi
ketika berhubungan dengan pasien. Ahli terapis harus bersikap aktif
dan mengekspresikan perasaan serta emosinya sendiri secara langsung
50

dan jujur. Perliaku pasien berubah kearah fungsi diri yang positif bila
ahli terapinya mau menerima, menghargai dan secara tulus bersimpati
terhadap pasien.
Prinsp keperawatannya adalah: pasien dianjurkan untuk
berperan serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk
mempelajari dirinya dan mendapatkan feed back dari orang lain,
misalnya melalui terapi aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk
memperluas kesadaran diru pasien melalu feed back, kritik, saran, atau
reward and punishment.
5. Supportive Therapy (Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: faktor
biopsikososial dan respon maladaptive saat ini, aspek biologisnya
menjadi masalah seperti : sering sakit maag, migrane, batuk-batuk.
Aspek psikoloisnya mengalami banyak keluhan seperti: mudah cemas,
kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek
sosialnya memiliki masalah seperti: susah bergaul, menarik diri, tidak
disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan
sebagianya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab
gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akbat ketidakmampuan
dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul dan tidak ada
kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon koping
adaptif, individu diupayakan mengenal terlebih dahulu kekuatan-
kekuatan apa yang ada pada dirinya, kekuatan mana yang dapat
dipakai alternative pemecahan masalahnya, fokusnya pada saat ini dan
bukan pada masa lalu.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan
identifikasi coping yang dimiliki danyang biasa digunakan pasien.
Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan
pasien untuk menyiapkan koping pasien yang adaptif.
6. Medical (Meyer, Kraeplin)
51

Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat


multifactor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetik, lingkungan
dan faktor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap
melalui pemeriksaan diagnostik, terapi somatik, farmakologik, dan
teknik interpersonal.
Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam
melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist
berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi,
menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan yang
digunakan.
Konsep berfokus pada diagnose penyakit, sehingga pengobatan
didasarkan pada diagnose itu. Medical model terus mengeksplorasi
penyebab gangguan jiwa secara ilmiah. Banyak pendapat medical
model bahwa penyimpangan perilaku merupakan manifestasi
gangguan system syaraf pusat (SSP). Dicurigai bahwa depresi dan
schizophrenia dipengaruhi oleh tranmisi impuls neural, serta gangguan
synaptic, yaitu masalah biokimia, faktor lingkungam dan sosial
diperhitungkan sebagai faktor pencetus proses terapi.
Hubungan pasien dokter merupakan hubungan percaya dan
mengikuti rencana pengobatan.
a. Pengobatan meliputi jangka pendek dan jangka panjang
b. Terap supportif
c. Insight oriented terapi yaitu belajar meroda mengatasi stress
Proses media terapi didefinisikan dengan baik dan akrab
dengan sebagian besar pasien. Pemeriksaan dokter pasien termasuk
sejarah penyakit ini, sejarah masa lalu, sejarah sosial, sejarah medis,
tinjauan system tubuh, pemeriksaan fisik, dan status mental. Peran
pasien melibatkan mengakui sedang sakit, yang bisa menjadi masalah
dalam psikiatri. Pasien kadang tidak sadar perilaku terganggu dan
mungkin menolak pengobatan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak ganguan jiwa,
melainkan mengandung berbagai karakteristik yang adalah perawatan
langsung, komunikasi dan management, bersifat positif yang menggambarkan
keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan
kepribadian yang bersangkutan.
Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang
situasi dan kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model
konseptual keperawatan memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana
perawat mendapatkan informasi agar mereka peka terhadap apa yang terjadi
pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan tahu apa
yang harus perawat kerjakan.
Model konseptual keperawatan kesehatan jiwa terdiri dari 6 model yang
terdiri dari Model Psikoanalisa, Model Interpersonal, Model Sosial, Model
Eksistensi, Supportive Therapy dan Model Medikal.

B. SARAN
1. Mahasiswa
Makalah ini sangat bagus untuk dibaca sebagai pedoman kita
dalam memahami teori peplau mengenai konseptual model keperawatan
jiwa interpersonal, Sehingga kedepan nanti kita bias berkerja dengan baik,
dan hubungan interpersonal yang kita lakukan baik. Sehingga kita bisa
memberikan keperawatan yang baik kepada pasien.
2. Perawat
Diharapkan lebih mengetahui dan memahami tentang berbagai
macam model keperawatan jiwa yang dapat diterapkan kepada pasien

52
53

3. Pelayanan kesehatan
Diharapkan dapat melayani dan menangani klien yang mengalami
gangguan psikososial maupun gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Christensen, P. J. dan Kenney, J.W. (2009), Proses Keperawatan Aplikasi Model


Konseptual, Ed.4, Jakarta, EGC.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta :


Salemba Medika

Indrono, Wahyu & Endang Caturini. 2012. Implementasi Teknik De-Eskalasi


Terhadap Penurunan Respon Marah Klien Dengan Perilaku Kekerasan.
Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, 2.

Isaacs, Ann. 2005. Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri
Edisi 3. Jakarta: EGC

Keliat, Budi Anna, dkk. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Rahayu, Mubin & Nurhidayati. 2014. Perspektif Kejiwaan dalam Keluarga:


Gambaran Kerentanan Sosial Keluarga Buruh Migran Internasional. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 2 (1).

Stuart dan Larai. 2001. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis
Mossour: Westline Industrial Drive

Stuart dan Sundeen’s. 1998. Principle Practice of Psychiatric Nursing Sixth


Edition. St Louis, Missour: Mosby-Year Book

Stuart Gail. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC

Suliswati dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Toluliu, Keliat & Rekawati.2012. Pengaruh Latihan Coping With Stress Terhadap
Risiko Bunuh Diri Pada Remaja Di Smp Kasih Kota Depok Tahun
2010.Juiperdo, 1(1).

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Zaidin, Ali. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: Widya Medika

Anda mungkin juga menyukai